Dewi Maut 30
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 30
"Kalian orang-orang tua datang menyusul kami mau apa?"
"Heh-heh-heh, Yap In Hong, engkau masih bertanya kepada kami? Bukankah pertanyaan itu sebaiknya diajukan kepadamu? Mau apa engkau mengajak tawanan dan Ratu Khamila ke tempat seperti ini?"
Sebelum In Hong menjawab, tiba-tiba Kaisar yang sudah bangkit berdiri sambil menggandeng tangan Khamila itu berkata dengan lantang,
"Kami lihat bahwa kalian adalah orang-orang Han yang menjadi kaki tangan si pengkhianat Wang Cin! Apakah sampai sekarang kalian tidak menyadari bahwa Wang Cin menyeret kalian orang-orang tua ke lembah penghinaan, hendak menjual negara kepada bangsa lain dan bahwa sekarang usaha Wang Cin sudah mengalami kegagalan dan di ambang kehancuran? Dengan suka rela kami ikut melarikan diri bersama nona Hong. Kalian mengejar ini mau apa? Hayo jawab!"
Kaisar yang muda itu memang memiliki wibawa yang hebat. Pandang matanya, sikapnya, kata-katanya semua mengandung wibawa besar sehingga sejenak empat orang tua itu tidak mampu menjawab. Bahkan Go-bi Sin-kouw yang biasa pandai bicara, kini menunduk dengan muka merah. Akan tetapi, segera nenek ini dapat menguasai dirinya lagi dan dengan suara yang kurang galak dia berkata,
"Kami mengejar untuk membawa Kaisar dan ratu kembali ke benteng."
Kaisar menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tua itu, gerakan yang juga mengandung wibawa kemudian katanya lanteng,
"Dengarlah, hai para pengkhianat bangsa! Aku lebih percaya kepada seorang musuh seperti Raja Sabutai daripada kepada pengkhianat-pengkhianat seperti kalian! Kalau Sabutai yang datang menyusul, aku akan menyerah tanpa perlawanan. Akan tetapi aku tidak sudi menjadi tawanan kalian, dan lebih baik mati. Nona, beranikah engkau melawan mereka?"
In Hong mengangkat dadanya yang sudah membusung itu sehingga makin menonjol karena dia merasa kebanggaannya timbul dapat melindungi Kaisar yang begini gagah sikapnya.
"Tentu saja hamba berani!"
Jawabnya tegas.
"Nah, aku perintahkan engkau untuk membasmi pengkhianat-pengkhianat bangsa seperti mereka itu, nona!"
Kata pula Kaisar dan dengan sikap tenang dia lalu menggandeng tangan Khamila, diajaknya duduk di bawah sebatang pohon agar wanita muda itu tidak kepanasan, duduk di atas rumput hijau sambil siap untuk menonton pertandingan. Biarpun dia yang terancam bahaya, namun Kaisar bersikap tenang saja seolah-olah dia yakin akan kemenangan In Hong, atau seolah-olah dia tidak perduli lagi dengan apa yang akan terjadi pada dirinya.
"Enci Hong, hati-hatilah...!"
Ratu Khamila juga berseru ke arah In Hong. In Hong menoleh dan memandang ke arah ratu yang cantik itu dengan senyum terima kasih. Dia makin bangga. Kaisar itu muda dan gagah berani, ratu itu cantik jelita dan manis budi, sungguh tidak percuma membela orang-orang seperti mereka. Apalagi dia sendiri memang sejak dahulu merasa tidak suka kepada empat orang ini, terutama kepada Go-bi Sin-kouw karena dia masih teringat akan kematian kakak iparnya, isteri dari kakak kandungnya, Yap Kun Liong, yaitu wanita cantik yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu. Sampai sekarang, dia mempunyai dugaan keras bahwa nenek inilah yang telah membunuh isteri kakak kandungnya itu. In Hong melangkah maju menghadapi empat orang itu, sinar matanya menyambar-nyambar, kemudian dia berkata,
"Aku tahu bahwa tiga orang locianpwe, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu hanyalah terbawa-bawa saja oleh Lima Bayangan Dewa dan yang menjadi perantara adalah Go-bi Sin-kouw! Kalau sam-wi locianpwe masih dapat menyadari kesalahan, boleh meninggalkan tempat ini dan kembali ke tempat masing-masing, akan tetapi kalau hendak menemani Go-bi Sin-kouw mati di sini, silakan!"
Hebat sekali ucapan gadis muda ini, karena biarpun kata-kata yang halus itu ditujukan kepada tiga orang tokoh yang merupakan datuk-datuk golongan hitam itu, namun jelas bahwa dia merendahkan Go-bi Sin-kouw dan juga membayangkan bahwa dia tidak takut menghadapi pengeroyokan mereka berempat!
"Heh-heh-heh, sungguh lancang mulutmu, bocah setan! Kau kira menghadapi kami akan semudah itu? Kau kira membunuh kami akan semudah kau membunuh isteri Yap Kun Liong yang tidak berdaya itu? Heh-heh, jangan mimpi!"
Kata-kata Go-bi Sin-kouw ini membuat seseorang yang sejak tadi bersembunyi di balik sebatang pohon besar hampir saja berseru kaget. Mukanya berobah dan dia mengintai dengan hati-hati dan perhatiannya makin tercurah karena hatinya tertarik sekali. Dia seorang laki-laki tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan sikapnya masih gagah sekali. Tiba-tiba laki-laki tua ini menyelinap, gerakannya cepat bukan main dan tahu-tahu dia telah lenyaip ke dalam semak-semak belukar. Yang menyebabkan dia menghilang ini adalah karena dia melihat berkelebatnya seorang lain yang baru datang, seorang yang juga seperti dia, menyelinap dan mengintai ke depan dan kini orang itu, seorang wanita cantik,
Dengan gerakan ringan sekali telah meloncat ke atas sebatang pohon besar dan dari cabang ke cabang dia berloncatan seperti seekor tupai saja, mendekati tempat In Hong menghadapi empat orang tua itu. In Hong dan empat orang tua yang dihadapinya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka sedang dalam keadaan siap untuk bertanding, dalam keadaan tegang dan perhatian mereka tercurah kepada lawan yang berada di depan masing-masing. Andaikata tidak sedang demikian, betapapun ringan dan cepat gerakan laki-laki tua dan wanita cantik itu, agaknya mereka berempat tentu akan dapat melihatnya atau setidaknya dapat menimbulkan kecurigaan mereka akan adanya orang yang mengintai. Mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw itu, In Hong menjadi merah mukanya, matanya menyorotkan sinar berkilat dan dia tersenyum mengejek.
"Memang engkau seorang yang rendah, Go-bi Sin-kouw. Sejak dulu aku tahu bahwa engkau seorang pengecut yang suka memutarbalikkan kenyataan! Kau mengatakan bahwa aku membunuh isteri kakakku itu, akan tetapi tuduhanmu itu hanya untuk menutupi perbuatanmu yang hina! Tidak ada alasan bagiku mengapa aku harus membunuh isteri kakakku, sungguhpun aku tidak berhubungan dengan kakakku. Sebaliknya, isteri kakakku itu adalah bekas muridmu, dan sejak dahulu kau tidak setuju muridmu itu menjadi isteri kakakku. Kau memang nenek tua bangka hina..."
"Bocah setan, makanlah tongkatku!"
Teriak Go-bi Sin-kouw yang sudah marah sekali dan tongkatnya yang butut dan berwarna hitam itu sudah meluncur digerakkan oleh tangannya, mengirim serangan kilat ke arah perut In Hong.
"Huh!"
In Hong mendengus dengan nada mengejek, lalu dia mengelak dengan mudah dan di detik berikutnya, sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam telah menyambar ganas ke arah leher Go-bi Sin-kouw.
"Tranggg...!"
Bunga api berpijar ketika tongkat nenek itu menangkis pedang akan tetapi nenek itu terhuyung dan hampir jatuh. Go-bi Sin-kouw sudah terlalu tua, usianya sudah tujuh puluh lima tahunan, tenaganya sudah banyak berkurang maka biarpun dia masih lihai dan ilmu pedangnya yang dimainkan dengan tongkat, yaitu Pek-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Garuda Putih) amat berbahaya namun karena sudah mulai lemah maka benturan tongkat dengan pedang In Hong yang masih memiliki tenaga sepenuhnya membuat dia hampir roboh.
Kembali kakek yang mengintai dari dalam semak-semak belukar itu membelalakkan matanya ketika melihat pedang di tangan In Hong yang tadinya dipakai sebagai sabuk. Dia memandang heran dan juga kagum, apalagi ketika kini tanpa banyak cakap Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu maju mengeroyok! Kakek yang bersembunyi itu mengerutkan alisnya dan seluruh urat di tubuhnya menegang. Dia melirik ke arah Kaisar dan kakek ini menggeleng-geleng kepala dengan kagum. Kaisar muda itu menonton dengan tenang, sedikitpun tidak khawatir dan dia masih merangkul leher Khamila yang cantik itu dengan amat mesra, kadang-kadang mencium rambut atau muka wanita itu sekilas dengan gerakan penuh kasih sayang!
"Gila... sungguh gila!"
Kakek yang bersembunyi itu mengomel seorang diri.
"Gila dan aneh."
Akan tetapi perhatiannya kembali tercurah ke tempat pertempuran di mana In Hong menghadapi pengeroyokan empat orang tua itu dari empat penjuru. Gadis itu memang hebat sekali. Tubuhnya sampai lenyap terbungkus sinar pedang keemasan yang bergulung-gulung menyelimuti dirinya, bahkan kadang-kadang sinar pedang yang bergulung-gulung itu mencuat ke sana-sini menyambar ke arah empat orang pengeroyoknya secara yang tidak tersangka-sangka dan dengan kecepatan kilat. Go-bi Sin-kouw menggerakkan tongkat butut hitam dengan penasaran. Dia masih berusaha mendapatkan kembali ketangkasannya puluhan tahun yang lalu,
Namun percuma, karena memang tenaganya sudah banyak berkurang, padahal Pek-eng Kiam-sut membutuhkan gin-kang hebat dan kecepatan seperti seekor burung garuda. Hwa Hwa Cinjin memainkan kebutannya yang terbuat dari bulu monyet salju yang hanya hidup di kutub utara dan kebutan ini amat kuat. Karena maklum bahwa gadis itu tidak boleh dipandang ringan, tosu ini tidak malu-malu untuk ikut mengeroyok dengan senjata di tangan, ditemani pula oleh Hek I Siankouw yang sudah menyerang pula dengan pedang hitamnya yang berbahaya. Akan tetapi, yang paling berbahaya di antara ketiga orang tua itu adalah Bouw Thaisu. Biarpun pertapa ini hanya mempergunakan lengan baju kanan kiri, akan tetapi ternyata sambaran lengan bajunya sedemikian kuatnya sehingga mengejutkan hati In Hong.
Dia dapat menangkis semua senjata yang tiga macam itu dengan baik, bahkan setiap kali bertemu senjata, Go-bi Sin-kouw dan Hek I Siankouw selalu terhuyung atau terpental senjata mereka, dan Hwa Hwa Cinjinpun dengan susah payah dapat mengimbangi tenaganya, akan tetapi setiap kali pedangnya bertemu dengan lengan baju Bouw Thaisu, dia merasa betapa telapek tangannya tergetar! Lima puluh jurus telah lewat dan tetap saja empat orang tua itu belum dapat merobohkan In Hong. Jangankan merobohkan, mendesakpun tidak mampu dan dara itu dapat membalas setiap serangan lawan dengan serangannya yang tidak kalah ampuhnya. Bahkan ujung baju Go-bi Sin-kouw telah putus terbabat pedang dan paha Hwa Hwa Cinjin tercium ujung sepatu In Hong, merobek celana tosu itu dan membuat pahanya terasa nyeri.
Marahlah Hwa Hwa Cinjin dan dia memberi tanda kepada partnernya, yaitu Hek I Siankouw dan mereka mulai bergerak dengan ilmu Im-yang-lian-hoan-kun! Dengan ilmu ini, gerakan mereka berdua menjadi otomatis dan saling melindungi, dan mereka berdua benar-benar merupakan pasangan yang amat tangguh setelah menggunakan ilmu ini. Bouw Thaisu sendiri juga merasa malu bahwa sampai demikian lamanya dia dan teman-temannya belum juga mampu mengalahkan dara muda ini, maka dia berseru melengking nyaring dan gerakan sepasang lengan bajunya meniadi lebih antep dan kuat. In Hong terkejut. Melihat pedang hitam menyambar dari kanan dan tongkat hitam menyambar dari depan, dia cepat mengelebatkan pedangnya.
"Cring-cring... singggg...!"
Sekaligus pedangnya menangkis pedang dan tongkat, dan terus meluncur ke arah Bouw Thaisu.
"Wuuttt... plakkk!"
Pedang di tangan In Hong terpukul sampai terpental dan membuat tubuh dara itu miring.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Hwa Hwa Cinjin yang cepat "memasuki"
Lowongan itu dengan totokan kebutannya. Hudtim yang terbuat dari rambut monyet yang lemas itu digerakkan dengan pengerahan sin-kang keras, sehingga rambut itu menjadi kaku sehingga hudtim itu seolah-olah berobah menjadi sebatang pedang yang menotok ke arah ulu hatinya! Terkejutlah In Hong karena pada saat itu, pedangnya sudah diputarnya lagi untuk menghalau sinar hitam dari pedang di tangan Hek I Siankouw sehingga tidak mungkin dipakai menangkis hudtim yang mengancam ulu hati, sedangkan untuk mengelak, kedudukan tubuhnya tidak mengijinkan. Otomatis tangan kirinya bergerak dan otomatis pula dia telah mengerahkan Thian-te Sin-ciang yang pernah dia terima sebagal "hadiah"
Dari Kok Beng Lama.
"Wuuuttt... plakkk... dessss...! Aughhhhh...!"
Tubuh Hwa Hwa Cinjin melayang dan terhuyung seperti sebuah layang-layang putus talinya karena tadi begitu dapat menangkis hudtim,
Tangan yang digerakkan secara aneh itu dan mengandung tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang, terus meluncur dan berhasil menggempur dada kakek itu. Tubuh Hwa Hwa Cinjin terbanting ke atas tanah dan tak dapat bergerak lagi, mulutnya mengeluarkan banyak darah dan agaknya nyawanya hampir putus di saat itu juga. Tubuhnya yang sudah tua tidak kuat menerima gempuran Thian-te Sin-ciang! Melihat ini, Hek I Siankouw menjerit dan bersama Go-bi Sin-kouw dia sudah menyerang dengan nekat, pedang hitamnya mengeluarkan bunyi mendesing-desing ketika menyerang In Hong secara bertubi-tubi, diseling oleh totokan-totokan maut yang dilakukan Go-bi Sin-kouw dengan tongkat hitamnya. In Hong yang juga tergetar ketika melakukan serangan tangan kiri dengan Thian-te Sin-ciang tadi kini cepat memutar pedangnya menangkis.
Dia harus cepat-cepat menggerakkan pedang kerena dua orang nenek itu kini benar-benar nekat dan marah sekali, dan dia sampai terdesak ke belakang, akan tetapi dengan mengeluarkan suara berdencingan nyaring, pedangnya berhasil juga menghalau dua senjata nenek itu. Akan tetapi pada saat itu, Hwa Hwa Cinjin yang sudah sekarat, tiba-tiba menggerakkan hudtimnya. Dari tempat dia rebah, bulu-bulu hudtim itu meluncur seperti anak panah menuju ke arah tubuh In Hong! Setelah bulu-bulu hudtim itu melesat cepat, barulah kakek itu terkulai dan tewas. In Hong terkejut bukan main, tidak mengira bahwa kakek yang disangkanya sudah tewas itu dapat menyerang sedemikian hebatnya. Cepat dia menjejak tanah dan tubuhnya mencelat ke atas, pedangnya masih sempat diputar menangkis senjata dua orang nenek yang lagi-lagi sudah menyerangnya.
Akan tetapi pada saat itu, Bouw Thaisu yang penasaran dan agaknya sudah menanti-nanti kesempatan itu, membentak keras, kedua tangannya bergerak dan dua lengan bajunya menyerang dengan amat hebatnya! Karena tubuh In Hong masih di udara, dia berusaha menghindarkan serangan maut ini dengan elakan, dan tangan kirinya menyambar, menangkis dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, gerakan untung-untungan karena dia tahu bahwa ujung lengan baju kakek itu kuat seperti senjata pusaka, dan dia menangkis dengan tangan kosong saja! Aken tetapi dia teringat akan pesan Kok Beng Lama bahwa Thian-te Sin-ciang cukup kuat melindungi tangan kosong untuk menangkis senjata pusaka, maka daripada tubuhnya di"makan"
Senjata ujung lengan baju, lebih baik dia mencoba tangan kirinya.
"Desss...! Plakk...!"
Tubuh Bouw Thaisu berputar dan terhuyung. Kakek ini kaget setengah mati karena tangan kiri dara itu ternyata dapat menangkis dan mengembalikan lengan baju kirinya dengan tenaga yang sedemikian dahsyatnya sehingga tubuhnya ikut berputar, akan tetapi In Hong mengeluh dan pundaknya kena diserempet ujung lengan baju kanan sehingga dia terlempar dan cepat dia berjungkir-balik untuk menghindarkan serbuan musuh. In Hong menggigit bibirnya. Pundaknya yang kiri terkena sabetan ujung lengan baju dan nyerinya bukan main. Biarpun tulang-tulangnya tidak patah, akan tetapi pundak kiri itu terasa panas dan nyeri sehingga tangan kirinya menjadi setengah lumpuh! Bouw Thaisu dan dua orang nenek itu menerjang lagi, akan tetapi tiba-tiba dari atas pohon terdengar seruan,
"Tua bangka-tua bangka pengecut!"
Sesosok bayangan wanita menyambar turun dan tahu-tahu Yo Bi Kiok telah berada di situ! "Kalian hanya berani mengeroyok seorang kanak-kanak seperti muridku. Inilah gurunya, majulah kalau kalian sudah bosan hidup!"
Hek I Siankouw sudah marah sekali, marah karena berduka melihat sababatnya, juga kekasihnya semenjak mereka masih sama muda itu kini telah menggeletak tewas, maka tanpa memperdulikan munculnya ketua Giok-hong-pang yang dia tahu amat lihai itu, dia sudah membentak lagi dan melanjutkan serangannya kepada In Hong!
Melihat ini, Bouw Thaisu dan Go-bi Sin-kouw juga menerjang maju menghadapi Yo Bi Kiok ketua Giok-hong-pang yang telah mencabut keluar Lui-kong-kiam di tangan kanan dan menghadapi mereka berdua dengan senyum mengejek. Terjadilah kini pertandingan dua rombongan yang amat seru. In Hong hanya menghadapi seorang lawan, tentu saja lawan ini amat lunak baginya, akan tetapi karena pundak kirinya terasa nyeri kalau digerakkan dan tangan kirinya masih agak lumpuh, maka tentu saja ketangkasannya menurun banyak dan dia hanya mengandalkan geraken pedangnya saja. Dalam keadaan seperti itu, keadaannya menjadi seimbang juga dengan Hek I Siankouw dan mereka saling menyerang secara mati-matian. Biarpun Yo Bi Kiok amat lihai dan memandang rendah kedua orang lawannya, akan tetapi pertandingan antara dia dan dua orang tua itupun hebat dan seru sekali.
Boleh jadi tingkat Go-bi Sin-kouw masih jauh kalah olehnya, akan tetapi tingkat Bouw Thaisu tidak berselisih banyak dengan ketua Giok-hong-pang ini. Dia hanya menang cepat dan juga memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi yang murni, warisan dari Panglima The Hoo si manusia sakti. Juga pedang Lui-kong-kiam di tangannya adalah pedang kilat yang amat hebat sehingga setelah bertanding lima puluh jurus, ujung lengan baju kiri Bouw Thaisu kena dibabat buntung! Bouw Thaisu kaget dan marah, membentak beberapa kali dengan pengerahan khi-kang dan kedua tangannya melakukan pukulan jarak jauh. Angin dahsyat menyambar ganas ke arah ketua Giok-hong-pang itu, akan tetapi Yo Bi Kiok tertawa, mengelak dan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat itu menghantam ke arah Go-bi Sin-kouw yang cepat menangkis.
"Trakkk!"
Tongkat butut hitam itu patah menjadi dua dan Go-bi Sin-kouw cepat meloncat jauh ke belakang. Tiba-tiba nenek yang curang ini meloncat lagi dan tahu-tahu dia sudah berada di belakang Kaisar dan Khamila, menodongkan sisa tongkatnya yang tinggal sepotong dan membentak.
"Tahan senjata! Kalau tidak, akan kubunuh Kaisar!"
"Subo, harap mundur...!"
In Hong berteriak kaget dan dia sendiri cepat mundur meninggalkan Hek I Siankouw yang sudah didesaknya tadi.
"Jangan mundur, kalian basmi saja pengkhianat-pengkhianat itu kemudian nenek iblis ini. Biarlah kalau dia mau membunuh kami!"
Kaisar berkata, sedikitpun tidak takut biarpun tongkat itu sudah menodong kepalanya.
"Subo... harap mundur...!"
Kembali In Hong berteriak dan dengan ketawa mengejek Yo Bi Kiok meloncat, mundur meninggalkan Bouw Thaisu yang kini dapat bernapas lega. Dia sudah terdesak hebat tadi, nyaris tewas oleh sinar pedang kilat yang bergulung-gulung.
"Hemm, tua bangka curang!"
Yo Bi Kiok berseru.
"Akan tetapi memang cukup berharga kalau Sri Baginda Kaisar ditukar dengan nyawa anjing kalian bertiga!"
"Sri Baginda akan kubunuh kalau kalian tidak mau membiarkan kami pergi,"
Kata Go-bi Sin-kouw.
"Yo-Pangcu, sebagai ketua Giok-hong-pang, kau berjanjilah bahwa kau akan membiarkan kami pergi kalau aku melepaskan Kaisar! Hayo berjanji!"
Yo Bi Kiok kembali tersenyum mengejek. Melihat betapa Go-bi Sin-kouw yang sudah ketakutan itu bisa saja berlaku nekat dan membunuh Kaisar dan Khamila, In Hong berkata,
"Subo, berjanjilah! Nyawa beliau terlalu berharga untuk dikorbankan!"
Yo Bi Kiok mendengus, kemudian dengan gemas dia berkata,
"Nenek iblis tua bangka, biarlah sekarang aku berjanji akan membiarkan kalian bertiga pergi kalau kau membebaskan Kaisar. Akan tetapi lain kali, begitu bertemu dengan aku, kepalamu yang sudah tua bangka itu akan kuhancurkan!"
"Nona In Hong, kaupun berjanji yang sama?"
Go-bi Sin-kouw bertanya lagi, ditujukan kepada In Hong. Gadis ini mendongkol sekali. Nenek itu ternyata amat cerdik, karena kalau saja dia tidak disuruh berjanji, begitu Kaisar dibebaskan tentu dia akan menyerang nenek itu! Karena nenek itu ternyata cerdik dan menanyanya, terpaksa dia mengangguk.
"Aku berjanji akan membiarkan kalian bertiga pergi asal Sri Baginda dibebaskan."
Tiba-tiba nenek dari Go-bi itu terkekeh girang,
"Bagus, kalian tentu orang-orang yang memegang janji, bukan manusia hina. Khamila, engkaulah yang menjadi gara-gara sampai Kaisar dapat lolos, maka aku takkan mengampunimu!"
Dia mengangkat tongkatnya, hendak memukul ratu itu.
"Go-bi Sin-kouw! Kau sudah berjanji...!"
Akan tetapi In Hong menjadi pucat karena dia teringat bahwa janji tadi hanya mengenai diri Kaisar, sama sekali tidak menyebut nama Khamila!
"Heh-heh, siapa berjanji untuk wanita yang tidak setia ini?"
Dia mengangkat tongkatnya. Yo Bi Kiok hanya memandang dengan senyum mengejek, sedangkan In Hong berdiri terlalu jauh untuk dapat menyelamatkan nyawa Khamila.
"Mampuslah kau!"
Go-bi Sin-kouw menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah kepala Khamila. Pada saat itu, tiba-tiba dari balik semak-semak berkelebat bayangan putih dan orang itu adalah kakek yang tadi bersembunyi, tangannya diangkat menangkis dengan pengerahan tenaga.
"Plakkk... krakkkk!"
Tubuh Go-bi Sin-kouw terguling roboh dan kepalanya pecah karena ternyata tangkisan kakek itu sedemikian kuatnya sehingga pukulan tongkat itu membalik mengenai kepalanya sendiri sampai pecah! In Hong memandang dengan mata terbelalak. Dia mengenal kakek yang amat lihai itu, yang bukan lain adalah Cia Keng Hong, ketua dari Cin-ling-pai! Adapun Kaisar sendiri menjadi girang bukan main melihat betapa kekasihnya selamat, maka dia lalu merangkul Khamila yang menangis dalam pelukannya. Kaisar yang sejak muda dahulu sudah tahu akan sepak terjang kakek ini, mengenal pendekar sakti itu, maka dia lalu berkata girang,
"Ahh, kiranya Cia-Taihiap ketua Cin-ling-pai yang telah menyelamatkan nyawa Ratu Khamila! Sungguh kami merasa girang sekali, Cia-Taihiap!"
Cia Keng Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar itu dan memberi hormat. Kaisar menggerakkan tangan menerima penghormatan itu dan menyuruh pendekar sakti itu berdiri lagi.
Sementara itu, Yo Bi Ktok menjadi marah karena kemunculan Cia Keng Hong itu seolah-olah menonjolkan pendekar itu dan menaruh dia di belakang, karena nyatanya pendekar sakti itulah yang sempat menyelamatkan nyawa Khamila. Dengan marah dia lalu menggerakkan pedangnya, menuding ke arah muka Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw.
"Kalian ini anjing-anjing tua harus mampus!"
Bouw Thaisu dan Hek I Slankouw terkejut, akan tetapi mereka berdua siap menghadapi wanita sakti yang galak itu.
"Subo, kita sudah berjanji melepaskan mereka tadi!"
In Hong memperingatkan. Yo Bi Kiok meragu, dan tiba-tiba Cia Keng Hong, kakek itu yang diam-diam merasa kagum akan sepak terjang Yap In Hong, lalu kini tahu mengapa gadis puteri sahabat baiknya itu menjadi seorang gadis yang demikian dingin dan ganas sepak terjangnya. Kiranya yang menjadi biang keladi adalah wanita yang menjadi gurunya ini! Dia di dalam pengintaiannya tadi dapat mengenal dasar watak In Hong yang baik, tidak seperti gurunya ini yang benar-benar merupakan Dewi Maut yang tak mengenal ampun. Maka diapun berkata, suaranya berwibawa.
"Orang yang tidak memegang janjinya adalah orang yang rendah wataknya!"
Yo Bi Kiok seperti disambar petir. Dia membalik dan memandang ketua Cin-ling-pai itu dengan mata berapi-api. Sementara itu, In Hong yang sudah mengenal watak gurunya yang amat keras, cepat menggunaken kesempatan itu berkata kepada Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw,
"Ji-wi locianpwe harap segera pergi dan membawa jenazah mereka."
Bouw Thaisu sejenak memandang kepada Cia Keng Hong, kemudian berkata,
"Kiranya engkau yang bernama Cia Keng Hong, ketua dari Cin-ling-pai."
Dia mengangguk-angguk.
"Pinto ada peninggalan pesanan dari mendiang Thian Hwa Cinjin, biarlah lain kali saja pinto sampaikan, sekarang tidak ada waktu."
Dia lalu melangkah pergi, menyambar jenazah Hwa Hwa Cinjin, diikuti oleh Hek I Siankouw yang juga memanggul jenazah Go-bi Sin-kouw.
Sebentar saja bayangan kedua orang kakek dan nenek yang lihai itu sudah lenyap dari tempat itu. Yo Bi Kiok sejak tadi memandang kepada ketua Cin-ling-pai dengan mata mendelik dan muka merah. Dia tidak memperdulikan lagi kakek dan nenek yang melarikan diri itu. Ketika Cia Keng Hong yang merasa akan pandang mata itu menoleh kepadanya, Yo Bi Kiok tersenyum mengejek, wajahnya dingin sekali. Melihat ini, berdebar jantung In Hong. Dia telah mengenal gurunya dengan baik dan tahu benar bahwa saat ini gurunya marah bukan main dan tentu akan terjadi hal yang hebat. Akan tetapi yang dihadapi gurunya adalah Cia Keng Rong, kakek ketua Cin-ling-pai yang sudah terkenal di seluruh dunia akan kesaktiannya. Maka diapun tidak berani mencegah keduanya dan dia hanya mendekati Kaisar dan Khamila yang masih duduk di tempat tadi dengan sikap tenang.
"Hemmm, kiranya inikah yang telah terkenal di seluruh dunia, ketua dari Cin-ling-pai yang pernah diobrak-abrik oleh Lima Bayangan Dewa!"
Terdengar Yo Bi Kiok berkata, suaranya mengandung penuh ejekan. Cia Keng Hong tersenyum. Dia adalah searang pendekar sakti, pendekar besar, ketua perkumpulan yang telah terkenal akan kegagahannya, maka diapun bukan seperti kanak-kanak yang mudah dibakar hatinya. Mendengar ucapan itu, dia memandang Bi Kiok seperti memandang seorang anak nakal.
"Dan kiranya engkaulah yang telah merusak anak sahabat baikku, Yap In Hong adik Yap Kun Liong ini..."
"Aku merusak keluarga Kun Liong atau akan membikin mampus padanya, kau perduli apa? Apakah kau hendak membela Yap Kun Liong?"
Yo Bi Kiok membentak makin marah karena dia diingatkan kepada Kun Liong, satu-satunya pria di dunia ini yang pernah dan selalu dicintanya, akan tetapi yang telah menyakitkan hati karena menolaknya. Cia Keng Hong menggeleng kepalanya.
"Aku tidak hendak membela siapa-siapa, hanya sayang bahwa engkau telah menyeleweng, padahal engkaulah kiranya yang telah mewarisi pusaka bokor emas milik mendiang Panglima Besar The Hoo itu."
Yo Bi Kiok tertawa.
"Tak kau sangka, ya? Engkau sama bodohnya dengan para datuk yang pernah memperebutkannya. Dan dengan kepandaian yang kuperoleh ini, dengan mudah aku akan dapat mengalahkan engkau, orang she Cia!"
"Subo, harap subo bersabar. Apa perlunya mencari keributan lagi?"
In Hong yang merasa betapa sikap gurunya itu keterlaluan sekali, tak dapat tinggal diam lagi dan menegur dengan halus. Yo Bi Kiok menoleh kepadanya.
"Huh, kau penakut! In Hong, mari kita bawa tawanan itu kembali kepada Raja Sabutai."
Sambil berkata demikian, tanpa menghiraukan lagi kepada kakek itu, dia menghampiri Kaisar Ceng Tung. Akan tetapi tiba-tiba Cia Keng Hong melangkah maju dan menghadang di depan Yo Bi Kiok.
"Pangcu dari Giok-hong-pang, engkau tidak boleh membawa pergi Kaisar karena aku akan mengantar beliau kembali ke kota raja!"
Tiba-tiba Bi Kiok menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya dengan sikap penuh ancaman kepada Cia Keng Hong.
"Orang tua..."
Geramnya.
"Mengingat akan nama baikmu, aku masih berlaku sabar dan tidak menyerangmu! Akan tetapi sekarang engkau malah menantangku!"
"Tidak ada siapa-siapa yang kutantang, akan tetapi Sri Baginda Kaisar telah berhasil lolos dari tawanan. Itu baik sekali dan aku akan mengawalnya ke kota raja."
(Lanjut ke Jilid 29)
Dewi Maut (Seri ke 03 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 29
"Enak saja kau bicara! Akulah yang menentukan dia hendak dibawa ke mana! Dan aku akan membawanya kembali kepada Raja Sabutai."
"Tidak! Terpaksa aku akan menentangmu, Yo-Pangcu."
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Subo, biarlah Sri Baginda Kaisar dikawal ke kota raja oleh Cia-locianpwe, dan kita mengantar Ratu Khamila kembali,"
In Hong berkata dan Cia Keng Hong menoleh ke arah gadis itu dengan pandang mata senang.
Akan tetapi, pada saat itu dia mendengar sambaran angin yang dahsyat sekali, dari arah Yo Bi Kiok berdiri. Tahulah pendekar sakti ini bahwa ketua Giok-hong-pang itu telah menyerangnya. Dia tadi sudah menyaksikan gerak-gerik Yo Bi Kiok dan mengenal sebagian dari gerakan yang bersumber pada ilmu kepandaian Panglima The Hoo, maka dia segera menduga bahwa tentu wanita inilah yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari bokor emas itu. Yo Bi Kiok telah menyerang dengan pukulan kilat yang bertubi-tubi, juga mengandung tenaga sakti yang hebat sekali, Cia Keng Hong tidak berani memandang rendah, juga pendekar ini mengerahkan tenaga saktinya, menggerakkan kedua tangannya menangkis.
"Wuuuutttt... plak-plak-duk-duk-dukk!"
Berkali-kali kedua pasang lengan yang sama-sama mengandung tenaga sakti itu bertemu dan akibatnya kedudukan kaki Yo Bi Kiok tergeser mundur sampai dua langkah jauhnya! Wanita itu terkejut bukan main. Ketua Cin-ling-pai itu hanya menangkis saja berkali-kali, namun tenaga tangkisan itu telah membuat dia terdorong ke belakang. Padahal baru menangkis, belum menyerang!
"Orang she Cia yang sombong, lihat pedangku ini!"
"Singggg...!"
Tampak sinar kilat ketika Lui-kong-kiam dicabut. Cia Keng Hong lalu memungut sebatang ranting dari atas tanah, sebatang ranting yang panjangnya tidak melebihi lengannya.
"Yo-Pangcu, bukankah itu Lui-kong-kiam yang dahulu pernah menjadi milik Liong Bu Kong?"
Tanyanya sambil memandang pedang bersinar kilat yang berada di tangan ketua Giok-hong-pang itu. Yo Bi Kiok tersenyum mengejek.
"Dia mampus di tanganku seperti juga engkau akan mati di tanganku sekarang, orang she Cia. Hayo kaukeluarkan pedangmu Siang-bhok-kiam yang terkenal itu!"
Cia Keng Hong menghela napas panjang. Dia merasa betapa wanita ini seperti seorang anak kecil saja.
"Yo Bi Kiok, sembarang rantingpun cukuplah untuk menghadapi pedangmu itu."
Tentu saja Yo Bi Kiok menjadi marah sekali. Selama ini, kecuali ketika bertemu dengan pendeta Lama tinggi besar yang seperti setan itu, dia tidak pernah menemui tandingan. Kini, kakek Cin-ling-pai ini menghadapi pedangnya dengan hanya sebatang ranting! Tentu saja dia merasa dipandang rendah dan dihina sekali.
Sambil berteriak mengeluarkan suara lengkingan tajam tinggi dan panjang, tubuhnya menerjang ke depan, pedang kilatnya menjadi sinar bergulung-gulung. In Hong memandang dengan khawatir. Dia tahu akan kelihaian ketua Cin-ling-pai itu, akan tetapi hanya menggunakan ranting menghadapi pedang subonya, benar-benar merupakan bunuh diri! Tampak sinar hijau di antara sinar kilat itu, sinar hijau yang meluncur dan membelit-belit di antara sinar kilat, disusul suara berdencingan dan tiba-tiba terdengar jeritan Yo Bi Kiok yang meloncat ke belakang dan dia mengusap lengan kanannya yang kena disabet oleh ranting itu, sakitnya bukan kepalang dan menimbulkan goresan panjang, padahal lengan bajunya tidak robek! Yo Bi Kiok memandang terbelalak, hidungnya kembang-kempis dan kemarahannya memuncak. Kemudian dia menjerit dan menyerang lebih hebat daripada tadi.
"Suboooo... jangan...!"
In Hong yang melihat kehebatan serangan ini, serangan maut yang juga merupakan serangan mengadu nyawa karena dalam serangan ini, seluruhnya dicurahkan kepada penyerangan tanpa memperhatikan pertahanan sama sekali.
"Cringgg... ceppppp!!"
Ranting di tangan Cia Keng Hong patah menjadi dua, akan tetapi, pedang Lui-kong-kiam itu terlepas dari tangan pemiliknya dan menancap di atas tanah di depan kaki Yo Bi Kiok. Sejenak wanita itu terbelalak, hampir tidak mempercayai pandangan matanya sendiri bahwa pedangnya benar-benar sampai dapat terpukul lepas dari tangannya. Tahulah dia bahwa pendekar di depannya ini benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa, maka dia menjadi malu sekali. Dia menyambar pedangnya, kemudian lari dari situ dan dari tenggorokannya keluar suara yang sukar ditentukan apakah itu suara ketawa ataukah suara menangis! Cia Keng Hong menghela napas dan menoleh kepada In Hong yang memandangnya dengan penuh kagum.
"Gurumu itu tinggi sekali ilmunya, sayang dia dikuasai oleh watak yang ganas dan aneh, mendekati kegilaan,"
Katanya.
"Memang dia mendekati kegilaan oleh perasaan hatinya yang gagal karena ditolak oleh Kun Liong koko,"
Kata In Hong.
"Ahhhhh... begitukah...?"
Cia Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya. Dia tidak merasa heran karena dia tahu bahwa akibat cinta gagal banyak mendatangkan bencana pada manusia, sejak jaman gurunya masih muda (baca cerita Siang-bhok-kiam) sampai pengalamannya sendiri.
"In Hong,"
Katanya teringat kepada orang tua gadis itu dan memanggil nama gadis itu dengan mesra.
"Kau telah melakukan perbuatan baik sekali dengan melindungi Sri Baginda. Sekarang, aku akan mengawal Sri Baginda Kaisar kembali ke kota raja."
In Hong mengangguk. Dia tunduk dan kagum kepada kakek ini sekarang, tidak hanya kagum akan kepandaiannya yang benar-benar hebat, akan tetapi juga kagum akan sikapnya.
"Baiklah, locianpwe. Saya akan mengantar ratu kembali ke benteng Raja Sabutai."
Cia Keng Hong menghampiri Sri Baginda dan menjura dengan hormat.
"Marilah, Sri Baginda, hamba mengawal paduka kembali ke kota raja."
Kaisar Ceng Tung saling pandang dengan Khamila dan wanita cantik itu sudah bercucuran air mata. Mereka saling pandang, juga Kaisar itu kelihatan berduka dan terharu sekali. Kemudian, Khamila mengeluarkan suara jerit lirih dan mereka saling rangkul. In Hong menundukkan kepala dan Keng Hong membalikkan tubuhnya dengan alis berkerut. Tentu saja dia tidak tahu apa yang terjadi antara dua orang ini, seorang tawanan dan seorang isteri dari si penawan. Akan tetapi hal itu bukan urusannya dan dia tidak ingin mengetahuinya, akan tetapi telinganya tetap saja mendengar isak tangis Khamila.
"Sri Baginda... terpaksa... terpaksa saya harus meninggalkan paduka..."
Terdengar Khamila terisak.
"Khamila, tidak bisakah... kau ikut dengan aku untuk selamanya?"
Suara Kaisar penuh kelembutan dan permohonan seperti suara seorang pemuda biasa merayu dan membujuk kekasihnya.
"Tidak mungkin, paduka juga tahu... betapa baiknya Sabutai... sudah menjadi kewajibanku untuk kembali kepadanya... selamat tinggal, Sri Baginda."
"Khamila... ah, perpisahan ini... mungkinkah pertemuan ini yang penghabisan? Bila kita dapat berjumpa kembali...?"
"Agaknya hanya di alam baka kita dapat saling bertemu kembali, baginda. Biarlah kalau di dunia ini kita tidak dapat berjodoh, di dalam kehidupan kelak hamba akan menjadi pelayan paduka, menjadi..."
"Ssstttt... di dalam pertemuan antara kita kelak, aku ingin menjadi suamimu, Khamila..."
Kaisar muda yang lagi gandrung asmara itu lalu melepaskan sebuah kalung dari lehernya dan mengalungkan benda itu ke leher Khamila sambil barbisik.
"Khamila, kalung ini pemberian ibundaku dan hanya boleh diberikan kepada permaisuriku."
Khamila menggenggam kalung yang melingkari lehernya itu, matanya yang berair memandang terbelalak.
"Tapi... tapi... kita..."
"Kita berpisah, akan tetapi hati kita tidak. Kau akan kukenang sebagai satu-satunya isteriku yang tercinta, biar aku lahiriah akan dilayani seribu orang wanita sekalipun."
"Ah, Sri Baginda..."
Khamila menangis dan makin terharu dan beratlah hatinya untuk berpisah.
"Kau mintalah kebijaksanaan suamimu, Sabutai, agar jika engkau melahirkan seorang putera, di samping nama pemberian Sabutai, juga diberi alias nama pemberianku, yaitu Ceng Han Houw."
Khamila membisikkan nama itu untuk menghafalnya sambil mengangguk, kemudian berbisik,
"Kalau perempuan?"
"Terserah kepadamu."
Setelah mendekap sekali lagi mereka berpisah. Khamila digandeng tangannya oleh In Hong dan pergi dari situ, dlikuti pandang mata Kaisar yang berdiri dengan muka pucat. Ratu Khamila juga beberapa kali menoleh dan agaknya dia tentu akan lari kembali kepada kekasihnya kalau saja tidak digandeng dengan kuat oleh In Hong. Setelah bayangan dua orang wanita itu lenyap, barulah Kaisar menghela napas panjang dan bertanya kepada kakek Cin-ling-pai yang masih menantinya itu,
"Cia-locianpwe, apakah yang lebih menyedihkan daripada dua orang yang saling mencinta terpaksa harus berpisah?"
Cia Keng Hong yang semasa mudanya juga banyak mengalami suka dukanya cinta, dapat memaklumi perasaan Kaisar saat itu, akan tetapi dengan jujur dia mengingatkan.
"Maaf, Sri Baginda, akan tetapi hamba kira bahwa cinta antara pria dan wanitapun hanya merupakan sebagian saja daripada hidup yang luas ini, apalagi bagi paduka sebagai Kaisar, karena di sana masih menanti tugas yang menyangkut kehidupan rakyat senegara. Dan kedudukan paduka kini telah dipegang oleh lain orang."
Ini merupakan berita baru bagi Kaisar dan dia cepat mendekati Keng Hong, memandang tajam dan bertanya,
"Siapa dia?"
"Beliau itu bukan lain adalah Pangeran Cing Ti, adik paduka sendiri yang dipaksa oleh para pembesar yang tidak setia kepada paduka, macam Wang Cin dan kawan-kawannya itu. Kaisar mengerutkan alisnya.
"Sungguh benar kata orang bijak jaman dahulu bahwa lebih mudah membedakan mana binatang buas dan mana yang jinak, karena manusia sukar ditentukan keadaan hatinya dari wajahnya. Locianpwe, engkau yang sejak dahulu sudah menjadi sahabat dan pembantu mendiang Panglima Besar The Hoo, yang sudah kuketahui sejak kecil akan kesetiaanmu terhadap negara dan bangsa, ceritakanlah apa yang terjadi semenjak aku ditawan oleh Sabutai."
Cia Keng Hong lalu menuturkan semua yang dialaminya dan diketahuinya melalui penyelidikannya selama ini. Diceritakannya betapa pasukan orang-orang Mancu dan Khitan yang dipimpinnya tidak berhasil menolong Sri Baginda yang ditawan karena tidak ada bantuan sama sekali dari fihak kota raja,
Kemudian betapa dia pergi menyelidiki kota raja dan tahu bahwa pembesar-pembesar yang berkuasa, yang menjadi sekutu Wang Cin, sengaja membiarkan Kaisar tertawan tanpa ada usaha untuk menolong, kemudian malah mereka itu menentang para pembesar yang setia dan memaksa pengangkatan Pangeran Cing Ti sebagai pengganti Kaisar. Kaisar mengangguk-angguk dan kini kedukaannya karena perpisahan dengan Khamila itu sama sekali telah terlupakan olehnya! Kini pikirannya terisi penuh dengan persoalan kerajaan, maka persoalan lain terusir sama sekali. Demikianlah keadaan pikiran manusia pada umumnya. Kita dipermainkan oleh pikiran yang selalu mengejar pengalaman yang menyenangkan dan menjauhi yang tidak menyenangkan. Selama keinginan mengejar kesenangan ini masih menguasai kita,
Maka kita tidak akan pernah merasa tenteram. Kalau sudah terpegang kesenangan yang kita kejar-kejar itu, maka hal itu bukan hanya berhenti sampai sekian saja karena pikiran kita sudah bergerak lagi mengejar kesenangan yang lain. Padahal setiap kesenangan itu selalu disanding oleh kekecewaan, kebosanan, dan kedukaan, juga ketakutan. Kita sendirilah yang membuatnya, bukan orang lain. Sumber segala kedukaan berada di dalam diri kita sendiri. Juga sumber dari segala kebijaksanaan dan kebahagiaan juga berada di dalam diri kita sendiri. Oleh karena itu, memandang atau mengawasi diri sendiri, mengamatinya setiap saat lahir batin kita membuat kita mengenal diri sendiri yang akan menimbulkan pengertian dan kesadaran. Pengertian mendalam ini akan mengakibatkan terjadinya perobahan mujijat dalam diri kita.
"Bagaimana dengan para petugas kami yang setia?"
Kaisar beetanya.
"Sebetulnya masih banyak menteri dan jenderal yang setia terhadap paduka, akan tetapi karena paduka tidak ada dan mereka tidak menghendaki perang saudara, tidak berani bertindak tanpa perintah paduka, maka sekarang hamba ingin mengantar paduka kepada mereka di kota raja."
"Hemm, baiklah. Mari kita berangkat, Cia Keng Hong locianpwe."
Kita tinggalkan dulu Kaisar Ceng Tung yang sedang menuju ke kota raja untuk memulihkan kembali keadaan kota raja yang kacau karena penggantian Kaisar secara paksa itu, dan mari kita mengikuti perjalanan In Hong yang mengantar Ratu Khamila kembali ke benteng Sabutai. Di dalam perjalanan kembali ke tempat suaminya ini, sering kali Khamila menangis dan dihibur oleh In Hong.
"Paduka telah melakukan hal yang baik sekali dengan membantu membebaskan Sri Baginda Kaisar, mengapa paduka selalu berduka?"
Khamila menarik napas panjang.
"Enci Hong, engkau benar. Aku telah membebaskan orang yang kucinta dari bahaya, seharusnya aku bergembira. Akan tetapi... ah, perasaan mementingkan kesenangan sendiri belum juga mau meninggalkan aku. Padahal... demi keselamatannya, demi nama baiknya dan... demi negara terpaksa aku harus berpisah darinya... yang ada hanya ini..."
Dia mengelus perutnya akan tetapi segera teringat bahwa dia harus merahasiakan kandungannya itu dari siapapun juga, maka tangannya yang mengusap perut itu terus menuju ke ikat pinggangnya dan dia mengeluarkan sesampul surat.
"Hanya ini yang diserahkan padaku..."
Katanya pula dan In Hong kini baru mengerti bahwa Kaisar menyerahkan sesampul surat kepada Khamila.
"Untuk siapa?"
Tanyanya.
"Untuk suamiku, untuk Sabutai. Sri Baginda Kaisar dalam suratnya ini menyatakan terima kasih atas kebaikan Sabutai."
Dia menarik napas panjang lagi dan menyimpan surat itu ke dalam ikat pinggangnya, lalu memandang In Hong dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Aih, sering kalau aku memandangmu, timbul rasa iri di dalam hatiku, enci Hong."
"Iri hati? Kedudukan paduka begitu tinggi, sedangkan saya hanyalah seorang manusia pengembara."
"Justeru itulah! Engkau memiliki kebebasan dan aku tidak! Engkau bebas pergi ke manapun menurut kesukaan hatimu, engkau bebas menentukan semua perbuatanmu sendiri, bebas memilih jalan hidupmu sendiri, dan terutama bebas memilih kawan hidupmu sendiri. Aku? Ah, aku hanya seperti barang berharga yang dijual dan aku tidak boleh memilih pembeli. Aku tidak pernah mengenal cinta kasih sebelum berjumpa dengan Kaisar Ceng Tung. Perjumpaan yang amat terlambat, yang hanya mendatangkan kebahagiaan sejenak namun segera disusul perpisahan selamanya yang akan mendatangkan duka saja."
Ucapan itu membuat In Hong termenung. Benarkah dia bebas dan bahagia? Bebas, memang benar akan tetapi dia yang sejak dahulu bebas tidak lagi dapat memakan kesenangan dari kebebasannya itu. Hanya orang yang tidak bebas seperti Khamila itu, yang akan dapat membayangkan betapa senangnya orang kalau bebas! Akan tetapi bahagia? Dan cinta kasih? Memilih kawan hidup sendiri? Otomatis tangannya meraba pedang Hong-cu-kiam karena dia teringat akan wajah Bun Houw. Heran dia, mengapa sering benar, di waktu pikirannya kosong termenung, di waktu dia mengenang akan nasib orang yang dilanda cinta kasih, dia selalu teringat kepada pemuda itu? Tak disadarinya pula, kedua pipi gadis ini menjadi merah dan dadanya berdebar aneh. Sekarang dia tidak lagi marah kepada pemuda itu, karena ternyata pemuda itu tidak menuduhnya membunuh orang secara sembarangan saja,
Bukan fitnah kosong, melainkan karena semua itu adalah perbuatan subonya yang mungkin saja oleh Bun Houw disangka dia. Akan tetapi, Bun Houw yang dia tahu amat setia kepada negara itu, tentu akan terkejut dan terheran-heran mendengar bahwa dia yang menyelundupkan Kaisar, yang menyelamatkan Kaisar keluar dari tahanan, padahal ketua Cin-ling-pai sendiri dengan pasukannya tak pernah berhasil menolong Kaisar. Ingin dia bertemu dengan pemuda itu dan melihat bagaimana sinar mata pemuda itu memandangnya kalau mendengar tentang jasanya terhadap Kaisar itu! Oleh karena keinginan yang timbul di dalam hatinya inilah yang membuat In Hong tersentak kaget kemudian wajahnya menjadi makin berseri kemerahan ketika dia mendengar suara yang sudah amat dikenalnya,
"Hong-moi...!"
In Hong segera menoleh ke kiri dan hampir saja dia lari menyambut pemuda yang muncul dari balik semak-semak itu kalau saja dia tidak ingat bahwa hal itu amat memalukan. Maka dia cepat mengambil sikap dingin biasa, bahkan seolah-olah dia masih menyimpan kemarahannya dahulu.
"Hong-moi...!"
In Hong memandang wajah tampan yang selama ini sering terbayang di depan matanya itu. Heran dia, karena wajah itu kini tidak merah lagi seperti dulu, pandang matanya tidak menyinarkan kemarahan dan penyesalan seperti pada pertemuan mereka yang terakhir.
"Hemm, mau apa engkau menghadang perjalanan kami?"
Bun Houw hendak membuka mulut, akan tetapt ketika dia melihat Khamila, dia cepat menjura dan berkata,
"Maaf, bukankah paduka ini ratu dari Raja Sabutai?"
Khamila memandang wajah tampan itu penuh perhatian, lalu dia mengangguk.
"Enci Hong, siapakah dia ini?"
"Dia orang she Bun, dia... dia kenalan saya,"
Jawab In Hong sederhana. Lalu dia bertanya lagi.
"Bun-ko, engkau mau apa menjumpaiku?"
"Aku... aku telah mendengar akan perbuatanmu yang amat gagah berani dan mulia, engkau telah membebaskan Sri Baginda Kaisar! Hebat, aku kagum padamu, Hong-moi!"
In Hong menatap wajah itu dan jantungnya berdebar keras. Pandang mata pemuda itu memang seperti yang dia bayangkan tadi, penuh kagum dan takjub, akan tetapi, sinar penyesalan masih belum meninggalkan sinar mata itu, penyesalan karena dia disangka membunuh gadis dusun itu! Maka hatinya menjadi dingin kembali.
"Hemm, kalau sudah begitu mengapa?"
Tanyanya, dingin dan angkuh. Dengan wajah berseri Bun Houw memberi hormat dan berkata,
"Perbuatanmu itu hebat dan mulia, aku ingin menghaturkan terima kasih, Hong-moi. Apalagi aku mendengar betapa engkau mempergunakan Hong-cu-kiam untuk melindungi Sri Baginda Kaisar. Aku kagum dan bangga sekali!"
"Bun-Taihiap, apakah engkau sudah bertemu dengan Sri Baginda Kaisar?"
Tiba-tiba Khamila bertanya. Bun Houw mengangguk membenarkan.
"Bagaimana kesehatan beliau?"
Tanya pula ratu itu sehingga Bun Houw terheran-heran melihat betapa ratu musuh ini begitu menaruh perhatian atas kesehatan diri Kaisar yang pernah ditawan suaminya! Dia memang sudah berjumpa dengan ayahnya, akan tetapi karena tergesa-gesa, ayahnya tidak menceritakan secara lengkap, apalagi tentang hubungan kasih antara ratu musuh itu dengan Kaisar.
"Terima kasih, kesehatan beliau baik-baik saja."
"Hemm, jadi engkau mendengar semua itu dari Cia-locianpwe, ketua Cin-ling-pai?"
Kini In Hong bertanya.
"Benar, Hong-moi. Aku sungguh kagum mendengarnya dan aku cepat-cepat menyusul ke sini untuk membantumu apabila engkau menghadapi kesukaran. A... eh, Cia-locianpwe juga yang mengutus aku karena beliau tergesa-gesa berangkat ke kota raja bersama semua pengawal."
"Perlu apa engkau menyusul aku? Engkau sudah tidak sudi bekerja sama dengan aku. Lupakah engkau?"
Bun Houw mengerutkan alisnya karena ucapan nona itu mengingatkan dia akan hal-hal yang tidak menyenangkan.
"Akan tetapi... sebagai penyelamat Kaisar... engkau harus dibantu..."
"Dan engkau masih menganggap aku sebagai pembunuh gadis dusun tak berdosa itu?"
"Hemmm... tentang itu... eh, bukti-bukti menunjukkan demikian. Siapa lagi kalau bukan... sudahlah, Hong-moi, aku tidak lagi mau membicarakan hal itu. Yang penting sekarang aku harus membantumu mengawal Ratu Khamila kembali ke benteng Raja Sabutai sesuai yang diperintahkan oleh... oleh Cia-locianpwe."
In Hong menjadi marah.
"Siapa sudi bekerja sama dengan engkau? Aku seorang pembunuh. Nih, kauterima kembali pedangmu, bisa kotor terjatuh ke tangan seorang pembunuh terkutuk seperti aku. Dan Giok-hong itu kembalikan padaku!"
Bun Houw mendekap saku bajunya. Perhiasan yang dia terima dari gadis itu selalu dibawanya, menjadi teman yang tak pernah terpisah.
"Tidak akan kukembalikan. Tidak boleh!"
"Huh, kalau begitu nih terima pedangmu!"
"Tidak, akupun tidak mau menerimanya kembali."
Sejenak mereka berdua saling pandang, sama-sama memperlihatkan kekerasan hatinya, kemudian In Hong mendengus dan menyimpan kembali pedang yang sesungguhnya amat disayangnya itu.
"Huh, sesukamulah. Akan tetapi karena engkau seorang yang bersih, seorang yang suci, jangan dekat-dekat dengan pembunuh seperti aku. Lupakah engkau bahwa aku adalah Dewi Maut, kejam seperti iblis seperti pernah kau katakan?"
Dada gadis itu makin panas dan naik turun bergelombang karena dia teringat akan sikap Bun Houw kepadanya.
"Mari kita pergi saja!"
Dia menyambar tangan Ratu Khamila agak kasar dan mengajak ratu itu pergi meninggalkan Bun Houw yang masih berdiri bengong karena dia memang bingung melihat sikap In Hong dan dia memang mulai merasa ragu-ragu. Benarkah dara ini, yang telah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan Kaisar, seperti yang dia dengar dari ayahnya, benarkah dara segagah ini melakukan perbuatan serendah itu, membunuh gadis dusun yang lemah tak berdosa? Dia mengikuti terus dan selagi In Hong berhenti, memutar tubuh dan hendak membentak, tiba-tiba terdengar suara berisik dan tahu-tahu tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang perajurit Sabutai, dikepalai oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang berdiri memandang seperti patung yang hidup, menyeramkan sekali. Mereka berdua tidak berkata apa-apa, hanya komandan pasukan itu yang cepat memberi hormat kepada Ratu Khamila dan berkata,
"Hamba diutus oleh Sri Baginda untuk mengawal paduka kembali ke benteng."
Puteri Khamila mengerutkan alisnya.
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akupun sedang hendak kembali ke benteng dikawal oleh enci Hong dan Bun-Taihiap ini."
Puteri Khamila memandang kepada In Hong dan Bun Houw dengan sinar mata melindungi, kemudian mengangguk kepada mereka.
"Mari, enci Hong dan Bun-Taihiap, mari ikut bersamaku menemui suamiku, Sri Baginda Sabutai dan semua hal akan menjadi terang dan beres. Aku yang akan bertanggung jawab dan membela kalian kalau kalian dipersalahkan."
Tadinya In Hong dan Bun Houw sudah siap untuk melawan, akan tetapi In Hong diam-diam khawatir akan keselamatan Bun Houw, karena dia tahu betul betapa hebatnya kepandaian kakek dan nenek guru Sabutai itu, apalagi di situ masih ada ratusan orang perajurit yang sudah mengepung mereka berdua. Maka diapun mengangguk, dan Bun Houw juga tidak banyak membantah. Jangankan baru memasuki benteng Sabutai, biarpun disuruh memasuki nEraka, kalau bersama nona Hong itu, dia akan bersedia! Maka, berangkatlah mereka, diiringkan oleh ratusan orang perajurit yang seolah-olah "mengawal"
Mereka, kembali ke benteng di mana Sabutai sendiri telah menanti. Wajah Sabutai yang tadinya keruh itu menjadi berseri seketika setelah dia melihat isterinya melangkah masuk ke ruangan itu dengan agungnya. Dia cepat bangkit berdiri, memegang tangan isterinya dan menuntunnya duduk di atas kursi kebesaran, di sampingnya sambil berkata,
"Engkau harus menjaga kesehatanmu, jangan banyak terkena angin."
Khamila memandang suaminya dengan mata merah membasah karena tangis tadi, lalu berbisik,
"...hamba... Kaisar..."
Raja Sabutai tersenyum dan menyentuh tangan isterinya.
"Aku memang bermaksud membebaskannya..."
Dia mengangguk dan tersenyum sehingga legalah hati Khamila.
Sementara itu, In Hong melirik ke seluruh ruangan. Dia tidak melihat Bouw Taisu dan Hek I Siankouw. Akan tetapi subonya sudah berada di situ, duduk di atas kursi dengan muka dingin dan mata membayangkan kemarahan. Tentu saja subonya marah kepadanya, dan masih merasa penasaran dan malu karena dikalahkan oleh ketua Cin-ling-pai! Dua orang kakek dan nenek guru Sabutai kini telah mengambil tempat duduk di belakang raja itu. Adapun pembesar Wang Cin juga hadir di situ, bersama anak buahnya yang kini hanya tinggal tiga orang yang dapat dia andalkan, yaitu tiga orang Bayangan Dewa. Mereka itu agaknya belum tahu apa yang telah menimpa diri empat orang undangan pembantu mereka, tidak tahu akan kematian Go-bi Sin-kouw dan Hwa Hwa Cinjin yang jenazah-jenazahnya dibawa pergi oleh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw.
Komandan pasukan pengawal tadi melaporkan kepada rajanya tentang sang ratu yang ditemukan di dalam hutan bersama In Hong dan pemuda yang kini ikut pula dibawa menghadap dan menyerahkan keputusannya kepada raja. Karena laporan itu dilakukan dalam bahasa mereka sendiri, baik In Hong maupun Bun Houw tidak tahu artinya, akan tetapi melihat wajah Khamila yang tenang-tenang saja bahkan kelihatan lega, hati merekapun tidak khawatir. Setelah mendengarkan pelaporan komandang pasukan itu, Sabutai lalu memberi isyarat menyuruh mundur semua pasukan sehingga ruangan ini sekarang menjadi sunyi, hanya ada mereka dan Wang Cin bersama tiga orang Bayangan Dewa, Raja Sabutai, isterinya dan dua orang gurunya saja. Raja Sabutai kini menghadapi In Hong, memandang kagum kemudian dia berkata,
"Nona Hong, engkau sungguh menepati janji, terus mengawal isteri kami sampai ke manapun sehingga telah kembali pula ke sini dengan selamat. Sayang engkau mempergunakan akal untuk meloloskan Kaisar keluar dari benteng. Kenapa engkau tidak terang-terangan saja minta ijin dariku? Apakah engkau tidak tahu bahwa memang kami tidak mempunyai niat untuk membunuhnya? Kalau memang kami bermaksud membunuhnya, sudah sejak lama dia kami bunuh!"
In Hong melirik ke arah Khamila, kemudian dia menjura dan berkata dengan gagah,
"Saya telah melakukan hal itu, dan memang saya menyelundupkan Kaisar keluar dari tempat tahanan. Setelah saya mengaku, maka terserah atas kebijaksanaan paduka!"
Ucapan gagah ini sekaligus juga menyatakan bahwa dia tidak takut akan akibat dari perbuatannya itu. Mendengar ini, tentu saja Bun Houw merasa khawatir sekali. Dia salah duga, mengira bahwa In Hong hendak menyerahkan diri menerima segala hukuman, maka cepat dia berkata,
"Harap paduka maafkan kelancangan saya. Akan tetapi sepanjang pengetahuan saya, bukanlah nona Hong yang meloloskan Kaisar, melainkan isteri paduka, sang ratu! Sebagai seorang pengawal yang setia, tentu saja nona Hong menyertai sang ratu ketika beliau meloloskan tawanan keluar dari benteng, maka tidak semestinya kesalahan ditimpakan kepada nona Hong."
Semua orang memandang kepada pemuda itu, dan Raja Sabutai memandang dengan mata menyelidik. Sementara itu, Khamila berbisik kepada suaminya bahwa dia sudah menanggung keselamatan mereka dan agar pemuda yang menjadi sahabat baik nona Hong itu jangan diganggu.
"Mereka saling mencinta..."
Bisik ratu itu akhimya. Sabutai tersenyum dan mengertilah dia kini mengapa pemuda itu mati-matian mempertahankan dan membela nona Hong. Juga In Hong terheran-heran bagaimana Bun Houw dapat menduga demikian tepat tentang larinya Kaisar bersama Ratu Khamila. Dia tidak mengira bahwa pemuda ini adalah putera pendekar sakti Cia Keng Hong dan telah mendengar penuturan ayahnya tentang Kaisar yang melarikan diri dibantu oleh Ratu Khamila itu.
Petualang Asmara Eps 42 Petualang Asmara Eps 18 Petualang Asmara Eps 39