Ceritasilat Novel Online

Dewi Maut 39


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 39



"Hong-moi..."

   Kembali jari-jari tangannya menyentuh, perlahan saja, di ujung pundak gadis itu. Pundak itu tertutup baju dan sentuhan itu hanya perlahan saja, akan tetapi sungguh aneh. Sentuhan yang ringan ini mendatangkan getaran hebat yang membuat seluruh tubuh In Hong menggigil dan juga Bun Houw merasa betapa gairah yang dahsyat mendorongnya untuk merangkul gadis itu dan mendekap sekuatnya. Dengan seluruh kekuatan batinnya, dilawannya gairah ini dan kedua kakinya menggigil!

   "Ada apa... koko...?"

   Dara itu mengangkat mukanya, mukanya benar saja merah sekali setelah kini tertimpa sinar dari luar dan sepasang mata itu amat bercahaya seperti ada apinya, seolah-olah di dalam tubuh gadis itu terjadi kebakaran!

   "Tidak... eh, aku hanya hendak mengatakan eh, kau... kau cantik sekali, Hong-moi!"

   Bun Houw sendiri terkejut mendengar kata-katanya ini. Apa yang telah terjadi? Dia menanti kemarahan dara itu andaikata akan menamparnya, dia akan menerimanya dengan rela karena dia menyadari betapa lancang mulutnya. Akan tetapi aneh! In Hong tidak marah, malah tersenyum, senyum manja dan senyum yang membayangkan kebesaran hati yang bangga!

   "Terima kasih... Houw-ko..."

   Suaranya tersendat-sendat. Mereka masih saling pandang dan akhirnya tak kuat lagi menahan gelora hatinya yang membuatnya seperti mabok dan tidak sadar, Bun Houw merangkul leher gadis itu. Anehnya, In Hong juga balas merangkul pinggangnya, kini muka mereka saling berdekatan, begitu dekat sehingga mereka saling merasakan tiupan nafas masing-masing. Bibir mereka hampir saling bersentuhan, akan tetapi naluri kewanitaannya membuat In Hong menundukkan muka dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw, mendekap dada itu dengan mukanya dan mengeluh.

   "Houw-ko..."

   "Hong-moi ah, Hong-moi..."

   Bun Houw terengah sambil mendekap kepala itu ke dadanya, timbul berahinya yang amat hebat sehingga ingin rasanya dia memasukkan kepala itu, seluruh tubuh gadis itu, ke dalam dirinya agar menjadi satu dan takkan terpisah lagi dengan dia!

   "Hi-hi-hik!"

   Suara ketawa ini seperti halilintar menyambar Bun Houw dan In Hong. Keadaan setengah sadar tadi kini buyar dan seperti ada sinar terang memasuki benak mereka, membuat mereka maklum behwa mereka sedang diintai orang! Bun Houw mclepaskan pelukannya, berseru kaget dan meloncat ke belakang. Dia terhuyung. In Hong juga memandangnya dengan mata terbelalak, kedua tangannya menekan pipi sendiri, bingung dan terkejut.

   "Hong-moi... celaka... kita keracunan...!"

   Bun Houw berseru dan mengepal tinjunya karena ada rangsangan yang makin hebat mendorongnya untuk mendekati gadis itu.

   "Ahhh... pantas aku merasa tidak wajar... panas sekali... tentu dalam makanan tadi..."

   "Dalam arak mungkin..."

   "Ha-ha-ha!"

   Terdengar suata ketawa Ang-bin Ciu-kwi.

   "Memang kau pintar, putera Cin-ling-pai. Racun itu berada dalam arak tadi dan kalian sudah meminumnya. Kalian tahu racun apa? Eh, isteriku yang cantik dan cerdik, kau ceritakan agar mereka itu dapat bersenang sepuasnya, ha-ha!"

   "Hi-hik, sebetulnya bukan racun berbahaya, kalian boleh tenang-tenang saja. Lebih baik dinamakan obat, dan arak itu kuciptakan sendiri, namanya Arak Malam Pengantin! Bersenanglah kalian!"

   "Coa-tok Sian-li iblis betina cabul!"

   In Hong membentak marah.

   "Kalau sekali aku dapat berhadapan denganmu, akan kuhancurkan kepalamu!"

   "Jangan harap kau dapat mempermainkan kami!"

   Bun Houw juga berteriak, namun jantungnya berdebar aneh dan ada suatu kekhawatiran besar timbul di dalam hatinya.

   "Ha-ha, mari kita sama lihat! Binatang-binatang seperti kuda dan kerbau saja tidak kuat menahan pengaruh obat ciptaan isteriku itu, apalagi manusia, dan masih muda seperti kalian! Ha-ha, ingin kulihat putera ketua Cin-ling-pai berjina di dalam kamar tahanan!"

   Kata pula Ang-bin Ciu-kwi.

   "Dan aku ingin sekali melihat Yap In Hong perawan sombong yang telah membunuh sahabatku Hwa Hwa Cinjin itu menyerahkan kehormatannya secara murah seperti seorang pelacur!"

   Terdengar suara Hek I Siankouw. Mendengar ini, terkejutlah Bun Houw. Kiranya itulah rencana mereka! Dia dan In Hong sengaja diberi minum racun yang agaknya merupakan racun perangsang nafsu berahi agar mereka berdua dalam keadaan tidak sadar melakukan hubungan kelamin, berjina di dalam kamar tahanan itu dan disaksikan oleh mereka. Maksud mereka tidak lain tentu agar mereka dapat menyebarluaskan peristiwa itu untuk menghancurkan nama dan kehormatan dia sebagai putera ketua Cin-ling-pai dan Yap In Hong sebagai seorang puteri yang dipercaya oleh Kaisar!

   "Manusia-manusia iblis! Jangan mengharap kalian akan dapat memaksa kami melakukan perbuatan hina! Kami bukanlah manusia-manusia macam kalian!"

   Bun Houw membentak marah.

   "Hayo masuklah kalian ke sini kalau berani!"

   In Hong juga berteriak.

   "Akan kuhancurkan kepala kalian satu demi satu!"

   "Hi-hik, malam pengantin kenapa diisi dengan ribut-ribut? Yang tidak tahu akan menyangka pengantinnya cekcok!"

   Coa-tok Sian-li mengejek.

   "Sssttt... isteriku, diamlah. Kita beri kesempatan mereka bermesra-mesraan,"

   Terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi dan akhimya mereka bertiga itu tidak bersuara lagi, akan tetapi dua orang muda itu merasa yakin bahwa mereka, setidaknya suami isteri cabul itu, tentu diam-diam mengintai dari luar! Mereka berdiri berhadapan, hati mereka penuh ketegangan, akan tetapi juga penuh dengan gelora nafsu berahi yang menyesakkan dada.

   "Hong-moi... bagaimana rasanya tubuhmu...?"

   In Hong yang merasa kepalanya pening itu duduk di tepi pembaringan.

   "Kepalaku pening, Houw-ko, dan tubuhku panas sekali... seolah-olah ada api yang membakar di dalam tubuh... hampir tak tertahankan rasanya, Houw-ko..."

   "Demikianpun keadaanku, Hong-moi. Kita tahu bahwa ini adalah akibat racun mereka. Kita harus melawannya, Hong-moi. Duduklah dan atur pernapasan, masukkan hawa murni sebanyaknya, pergunakan sin-kang untuk mengusir hawa yang memabokkan."

   Bun Houw sendiri lalu duduk bersila di atas lantai, sedangkan In Hong duduk bersila di atas pembaringan, keduanya memejamkan mata dan melawan dorongan hasrat nafsu berahi yang makin kuat. Akan tetapi dua orang muda itu tidak tahu bahwa arak beracun buatan Coa-tok Sian-li itu memang amat luar biasa.

   Arak seperti itu terkenal dimiliki oleh para raja kuno di Sailan. Seperti raja-raja di negara manapun juga di dunia ini di jaman kuno, mereka tidak hanya memiliki seorang isteri, melainkan memelihara banyak selir. Tentu saja jika mereka mendapatkan seorang selir baru, seorang perawan yang usianya baru belasan tahun, raja itu tidak dapat mengharapkan pelayanan yang baik dari dara remaja itu. Pertama-tama karena anak itu memang belum tahu apa-apa, kedua kalinya karena tentu saja wanita muda itu tidak suka melayani seorang pria tua, sungguhpun pria itu seorang raja. Karena ini, untuk menyenangkan hati raja yang pada masa itu dianggap sebagai utusan Tuhan atau manusia pilihan, maka para ahli pengobatan lalu membuatkan minuman arak yang mengandung racun atau obat perangsang yang amat kuat.

   Obat ini juga sekaligus merupakan racun, kalau pada ukuran tertentu merupakan obat mujarab untuk mendatangkan rangsangan berahi sehingga raja yang tua itu akan memperoleh pelayanan istimewa dari seorang gadis yang masih perawan sekalipun, juga untuk raja sendiri yang sudah kekurangan gairah itu dapat dirangsang kembali oleh pengaruh obat. Akan tetapi kalau melewati ukuran tertentu akan dapat mematikan orang yang bagaimana kuatpun. Coa-tok Sian-li adalah seorang ahli racun, maka tentu saja dia dapat membuat obat perangsang ini yang dibuatnya dari sebangsa lalat istimewa yang hanya terdapat di rawa-rawa di daerah utara Sailan. Lalat-lalat ini dikeringkan dan ditumbuk halus, dicampur beberapa macam akar yang mempunyai daya panas, lalu dicampur arak.

   Sama sekali tidak merobah rasa arak sehingga mudah saja meracuni orang lain. Bun Houw dan In Hong adalah dua orang muda yang sudah memiliki dasar sin-kang kuat. Kalau hanya terkena pukulan beracun saja, atau hawa beracun mengeram di tubuh, tentu mereka akan dapat menyelamatkan diri dengan pengerahan sin-kang mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi, arak itu langsung menyerang darah dan otak, langsung menembus bagian otak yang menggerakkan nafsu berahi sehingga biarpun mereka mengerahkan sin-kang, tetap saja tidak mampu mengusir rangsangan berahi itu. Makin malam, makin tersiksalah mereka berdua. Lebih-lebih lagi In Hong yang pada dasarnya sebetulnya memiliki gairah yang menggelora dan darah yang panas, hanya sejak kecil semua itu ditutupi oleh sikap dingin akibat didikan gurunya.

   Keadaan dara ini seperti gunung api tertutup salju, kelihatan dingin luarnya, akan tetapi di sebelah dalam menggelora dan panas sekali! Kini, beberapa kali In Hong mengeluh dan merintih dan duduknya sudah tidak tetap lagi. Beberapa kali dia membuka mata memandang ke arah Bun Houw dengan mata sayu dan setengah terpejam, seperti mata orang mengantuk, agak basah, hidungnya kembang-kempis, mulutnya setengah terbuka, bibirnya bergerak-gerak dan napasnya memburu, terdengar rintihan halus dari dalam kerongkongannya. Semua ini merupakan tanda-tanda seorang wanita yang sedang diamuk rangsangan berahi! Bun Houw juga sukar dapat mempertahankan dirinya. Diapun sudah membuka mata, memandang ke arah In Hong, melihat gadis itu kini merebahkan diri, menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas.

   "Oohhhh... Houw-ko... ahhhh... Houw-ko... tolonglah aku, tolonglah..."

   In Hong merintih-rintih memelas sekali.

   "Pertahankanlah, Hong-moi. Memang, pengerahan sin-kang tidak menolong, jalan satu-satunya hanya bertahan sampai pengaruhnya lenyap kembali bersama waktu. Kita harus mempertahankan... harus ahhh..."

   Dan Bun Houw cepat memejamkan matanya kembali karena dalam keadaan terangsang hebat seperti itu, melihat In Hong menggeliat-geliat merupakan pemandangan yang menambah rangsangan makin hebat.

   "Houw-koko... aku tidak tahan lagi... Houw-koko... panas sekali... ah, panas sekali tubuhku..."

   Dan In Hong mulai melepaskan bajunya, direnggutnya begitu saja sehingga ada yang robek dan nampaklah sebagian dari dadanya yang putih mulus!

   "Hong-moi... jangan, Hong-moi!"

   Bun Houw meloncat, hampir jatuh karena dia terhuyung dan mendekati pembaringan itu, cepat dia menutupkan kembali baju In Hong yang setengah terbuka.

   "Houw-koko, panas sekali... aku tak tahan..."

   In Hong mengeluh dan setengah terisak.

   "Pertahankan, adikku, pertahankan..."

   "Ohhh, Houw-ko..."

   In Hong merintih dan terisak, merangkul leher pemuda itu. Bun Houw memejamkan matanya dan memalingkan mukanya agar jangan sampai mukanya menyentuh muka dara itu. Akhirnya In Hong terisak dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw.

   "Houw-koko..."

   Suaranya memelas sekali, tergetar dan berbisik serak.

   "Bagaimana, Hong-moi..."

   "Houw-koko... selama hidupku... belum pernah aku mengalami seperti ini... aku tidak kuat, koko... ah, aku tidak perduli... kaulakukanlah sekehendak hatimu..."

   Kedua lengan In Hong yang merangkul itu makin menguat dan mukanya dibenamkan di dada pemuda itu, tubuhnya tergetar dan panas sekali, matanya terpejam dan ada beberapa titik air mata di atas kedua pipinya. Bun Houw merasakan suatu dorongan yang amat kuat dan diapun merangkul akan tetapi dia menekan perasaan hatinya sedemikian rupa agar tidak sampai melakukan hal yang lebih jauh daripada berpelukan itu.

   "Tidak, Hong-moi, tidak...! Kita harus kuat...! Hong-moi, betapa aku cinta padamu, Hong-moi. Aku cinta padamu...!"

   "Houw-ko..."

   In Hong terisak, tidak karuan perasaan hatinya mendengar pengakuan ini. Dia masih memejamkan matanya karena kepalanya pening dan dia dalam keadaan hampir tidak sadar, sama sekali tidak ingat lagi berada di mana dan berada dalam keadaan bagaimana "Kalau kau cinta padaku... apa salahnya lagi... ah, aku... aku rela... menyerahkan jiwa ragaku..."

   "Hong-moi, tidak...!"

   Bun Houw yang hampir tidak kuat lagi itu melepaskan pelukannya dan meloncat jauh ke belakang, sampai tubuhnya menabrak dinding dan dia roboh terguling. Dia lalu duduk bersila dan memejamkan mata, berusaha sekuatnya untuk melawan dorongan hasrat yang bernyala-nyala itu. In Hong terisak di atas pembaringan. Selama hidupnya, belum pernah dia menangis, dan baru sekarang ini dara perkasa yang biasanya berhati baja itu terisak dan merintih-rintih.

   "Kau benar... Houw-ko, kau benar..."

   Hening kini di kamar itu, yang terdengar hanya isak tertahan dari In Hong yang masih rebah di atas pembaringan. Pakaian gadis itu sudah tidak karuan, di sana-sini terbuka karena dia menggeliat-geliat tadi. Beberapa kancing baju terbuka didiamkannya saja karena memang dia pun tidak menyadarinya. Rambutnya morat-marit kondenya terlepas dan rambut yang panjang itu awut-awutan,

   Namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya kalau tak dapat dikatakan bahkan menambah keaslian wajah yang amat jelita itu. Bun Houw sendiri masih berjuang dengan diri sendiri, karena setelah dia berdiam diri duduk di lantai, dia merasa tubuhnya seperti dibakar dan keadaannva malah makin menderita lagi. Mendengar suara rintihan dan isak tangis tertahan dari In Hong, Bun Houw membuka mata dan mengangkat muka memandang. Dia melihat betapa In Hong rebah terlentang, dadanya agak diangkat dan terengah-engah, kedua tangan menutupi muka dan gadis itu jelas kelihatan tersiksa sekali. Dia tidak tahan untuk mengawasi saja dan Bun Houw bangkit berdiri, terhuyung menghampiri pembaringan itu, lalu berdiri di dekat pembaringan sambil memandang gadis itu dengan perasaan kasihan sekali.

   "Hong-moi, ah, Hong-moi..."

   Perasaan kasihan mempunyai daya yang kuat sekali mendorong berahi. Kini Bun Houw yang sudah tidak kuat lagi dan dia lalu memeluk In Hong. Gadis itupun otomatis menggerakkan kedua lengan memeluknya. Bun Houw mendekatkan muka, seperti orang mabok dia berada di antara sadar dan tidak dan akhirnya dorongan nafsu membuat pertahanannya bobol dan dia mencium mulut dara itu. Begitu bibir mereka saling bertemu, naluri kewanitaan In Hong bangkit dan untuk sekilat cepatnya dia sadar. Dia menjerit dan cepat mendorong dada Bun Houw, lalu bangkit dan kepalanya bergoyang-goyang.

   "Tidak...! Jangan, Houw-ko...! Tidak boleh...!"

   Teriaknya.

   "Hong-moi... aku tidak tahan lagi... Hong-moi..."

   Bun Houw kembali hendak merangkul, akan tetapi untuk kedua kalinya In Hong mendorong dadanya sehingga Bun Houw terjengkang dan jatuh dari atas pembaringan, berdebuk ke atas lantai seperti orang yang sama sekali tidak memiliki kepandaian atau tenaga.

   "Houw-ko...!"

   Melihat pemuda itu terbanting jatuh, In Hong cepat turun dan berlutut.

   "Kau... kau tidak apa-apa...?"

   Dengan mulut mengigau seperti orang mabok Bun Houw kembali memeluknya. Sejenak In Hong membiarkan pemuda itu memeluknya, akan tetapi ketika Bun Houw hendak menciumnya, dara ini sekuat tenaga menekan gairahnya sendiri dan dia memalingkan muka,

   "Houw-koko... kau begitu kuat, kenapa sekarang berbalik menjadi lemah? Koko, kita tidak boleh... kita harus mempertahankan sekuat tenaga..."

   "Ah, Hong-moi..."

   "Maafkan, aku, koko..."

   In Hong meronta dan melepaskan pelukan pemuda itu, kemudian dia menjauhkan diri. Bun Houw menjambak rambutnya sendiri.

   "Ah, apa yang kulakukan tadi? Kau benar, Hong-moi... lebih baik mati daripada tunduk kepada mereka..."

   Untung bagi Bun Houw bahwa In Hong pada saat terakhir itu disadarkan oleh naluri kewanitaannya yang sejak kecil memang jauh daripada penghambaan nafsu berahi sehingga dara itu menolak ketika pemuda ini sudah tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Dan untung bagi In Hong bahwa tadi, ketika dara ini memuncak nafsunya sehingga dia tidak sadar, Bun Houw yang masih ingat dan yang menyadarkannya. Dengan demikian, tidak sampai terjadi perjinaan atau hubungan kelamin seperti yang diharapkan oleh dua orang suami isteri di luar tempat tahanan itu dan oleh Hek I Siankouw yang tidak ikut mengintai karena tokouw ini sama sekali tidak cabul seperti mereka,

   Sungguhpun di waktu mudanya Hek I Siankouw juga tidak dapat menahan godaan nafsu sehingga sebagai pendeta dia melakukan perjinaan dengan mendiang Hwa Hwa Cinjin dan hidup seperti suami isteri tidak sah saja dengan pendeta itu. Waktu itu hampir tengah malam. Pengaruh obat perangsang ttu sudah mencapai puncaknya sehingga kedua orang muda itu mengerang dan menggeliat-gellat di tempat masing-masing! In Hong di atas pembaringan dan Bun Houw di atas lantai. In Hong sudah hampir telanjang dan dara ini merosot turun dari pembaringan, tidak kuat lagi berdiri dan dengan merangkak dia menghampiri Bun Houw, tangannya meraba-raba karena matanya terpejam dan dia hanya dapat menghampiri karena mendengar suara rintihan Bun Houw saja.

   "Koko..."

   "Hong-moi..."

   Mereka otomatis saling berdekapan dan kini adalah In Hong yang mendahului, mencium atau lebih tepat merapatkan mukanya dengan muka Bun Houw karena dorongan hati hendak membelai pemuda itu dan merapatkan tubuhnya sedekat mungkin. Bun Houw tidak tahan, lalu dia mencium mulut In Hong. Hanya satu kali saja mereka berciuman sampai napas mereka hampir putus, lalu Bun Houw cepat merenggut dirinya lepas.

   "Hong-moi, hanya ini satu-satunya jalan, maafkan aku..."

   Tangannya bergerak dan menotok tengkuk In Hong. Karena dia sudah hampir pingsan, maka tentu saja totokannya tidak tepat dan In Hong mengeluh, terkulai. Begitu melihat dari itu terkulai, Bun Houw bangkit, terhuyung menjauhi dan roboh dalam keadaan setengah pingsan pula.

   "Terkutuk!"

   "Keparat!"

   Suami isteri di luar tempat tahanan itu menyumpah-nyumpah karena kecewa. Mereka telah menanggung resiko dimarahi oleh kakek dan nenek iblis itu hanya karena mereka mempunyai kesukaan yang luar biasa, yaitu menonton kecabulan. Dan kini, setelah mereka berhasil meracuni dua orang muda itu, ternyata mereka gagal! Hampir pada umumnya manusia memiliki kesukaan yang sama atau mirip dengan kesukaan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li! Hal ini dapat kita selidiki sendiri, karena merupakan kenyataan. Hampir semua orang, secara berbeda tentunya, ada yang terang-terangan ada pula yang sembunyi-sembunyi, ada yang kasar ada pula yang halus, suka menonton berlangsungnya kecabulan, baik itu berupa tontonan atau mendengar penuturan orang maupun membaca.

   Kalau toh ada yang menyangkal, penyangkalan itu timbul dari penekanan kemauan yang didasari oleh pengetahuan bahwa hal itu adalah tidak baik, maka terjadilah penyangkalan bahwa dia tidak suka melihat atau mendengar itu. Namun kenyataannya, rasa suka itu ada! Dicobanya dilenyapkan dengan keyakinan atas dasar pelajaran, kesusilaan, agama dan lain-lain bahwa hal itu tidak baik dan tidak seharusnya dilakukan! Namun, cara demikian tidak akan melenyapkan kesukaan itu. Seperti api, kesukaan itu belum padam! Hanya ditutup saja. Bersembunyi di balik pelejaran-pelajaran tentang kesusilaan dan sebagainya tidak akan ada gunanya. Lari dari kenyataan ini tidak ada gunanya. Yang penting adalah menghadapinya sebagai suatu kenyataan! Menghadapinya, mendekatinya dan memandangnya penuh kewaspadaan.

   Pandangan penuh kewaspadaan tanpa mencelanya, tanpa menerima atau menolaknya, akan menimbulkan pengertian akan segala hal-ihwal mengenai kesukaan aneh ini. Dari manakah timbulnya rasa suka melihat kecabulan? Sesungguhnya, kecabulan bukan berada di luar diri kita! Tidak ada kecabulan dalam hubungan kelamin (sex). Cabulkah kalau kita melihat binatang, terutama yang kecil sedang mengadakan hubungan kelamin? Kiranya tidak! Akan tetapi mengapa kalau melihat binatang yang besar, teruhama manusia, metakukan hubungan sex, lalu timbul istilah cabul? Barangkali karena melihat binatang besar terutama manusia melakukan hubungen sex mempunyai daya rangsang yang merangsang gairah dan nafsu berahi kita! Inilah sebabnya mengapa timbul istilah cabul. Yaitu pemandangan yang merangsang gairah nafsu berahi dianggap cabul! Padahal, tidak ada peristiwa apapun di dunia ini yang merangsang gairah nafsu berahi.

   Hubungan sex adalah sesuatu yang wajar dan sama sekali tidak merangsang gairah nafsu berahi. Yang merangsang adalah PIKIRAN KITA SENDIRI! Pikiran kitalah yang menambah penglihatan itu dengan bayangan-bayangan yang mendatangkan kenikmatan lahir batin kita, mengenang kembali semua pengalaman sex kita, atau bagi yang belum pernah mengalaminya secara badaniah, tentu membayangkan pengalaman yang pernah dibacanya, dilihatnya, atau didengarnya dari orang lain. Permainan pikiran kita sendiri itulah yang merangsang dan membangkitkan gairah berahi kita sendiri. Dan bagi orang-orang seperti Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, perbuatan menonton kecabulan itu yang menimbulkan semacam kerikmatan tertentu, menjadi suatu kebiasaan yang telah mencandu sehingga sukar untuk dihentikan kembali dan telah menjadi sesuatu yang dicari-cari.
(Lanjut ke Jilid 38)
Dewi Maut (Seri ke 03 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 38
Kenyataan itu hanya dapat terlihat oleh siapa saja yang mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri pribadi, sehingga akan tampaklah bahwa segala hal yang oleh umum dianggap yang buruk-buruk, seperti kecabulan, kemaksiatan, kepalsuan, kemunafikan, kemarahan, kebencian, iri hati dan segalanya itu tidak terletak di tempat jauh di luar kita, melainkan terletak di dalam diri kita sendiri! Dan semua itu pasti timbul karena kita selalu mengejar kesenangan dalam bentuk apapun juga, kesenangan lahir maupun kesenangan batin. Pengejaran kesenangan menjadi sumber daripada semua kesengsaraan hidup yang timbul karena pertentangan dan kedukaan. Bukan KESENANGAN yang merusak hidup, melainkan PENGEJARAN kesenangan!

   In Hong rebah pingsan di atas lantai, sedangkan Bun Houw juga sudah setengah pingsan. Karena inilah maka mereka berdua tidak mendengar suara apa-apa, bahkan tidak melihat ketika lantai di sudut belakang kamar itu dibobol dari bawah dan tak lama kemudian muncullah sebuah kepala orang. Kepala seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Liong Si Kwi! Seperti kita ketahui, gadis murid Hek I Siankouw ini telah diselamatkan oleh Bun Houw ketika dia hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi dan gadis ini selain merasa utang budi, juga gadis itu sekaligus jatuh cinta kepada pemuda itu. Apalagi ketika pemuda itu, yang telah dikurung dan diancam keselamatannya, namun masih juga membelanya di depan subonya, benar-benar membuat hati gadis ini jatuh!

   Diam-diam dia mengambil keputusan nekat untuk menolong pemuda itu. Kini terbuka matanya betapa demi untuk memuaskan nafsu dendam dan sakit hatinya, subonya tidak segan-segan untuk bersekutu dengan manusia-manusia iblis! Dia harus menyelamatkan Bun Houw, dia harus membebaskan putera ketua Cin-ling-pai yang gagah perkasa itu, kalau perlu dengan taruhan nyawanya. Hatinya makin kagum, akan tetapi juga iri sekali melihat betapa pemuda yang gagah perkasa itu telah mengorbankan dirinya, menyerah untuk menebus Yap In Hong yang dibebaskan. Kemudian, diapun iri kepada In Hong yang ternyata juga merupakan seorang gadis yang amat gagah, yang datang kembali dengan nekat untuk membebaskan pemuda itu.

   Dia merasa iri karena dia dapat menduga bahwa tentu ada hubungan cinta kasih antara pemuda dan dara itu. Namun, rasa cemburu dan iri hati ini tidak menghentikan tekadnya untuk menolong Bun Houw dengan cara apapun juga. Ketika dia melihat bahwa yang menjaga kamar tahanan adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, dan betapa Cia Bun Houw serta Yap In Hong dimasukkan dalam kamar tahanan tanpa dibelenggu dan bebas, timbullah harapannya. Asal saja dia dapat mengeluarkan mereka itu dari dalam kurungan, tentu dua orang yang memiliki kesaktian luar biasa itu akan mampu membebaskan diri, atau lebih penting baginya, asal Bun Houw dapat keluar dari kurungan, tentu pemuda itu akan dapat melarikan diri! Demikianlah, karena kebetulan sekali kamar yang ia dapat sebagai tamu Lembah Naga itu berdekatan dengan kamar tahanan,

   Sore-sore dia telah menutup diri di dalam kamarnya, memberi alasan bahwa dia merasa tidak sehat, dan diam-diam dia telah menyelundupkan sebuah cangkul ke dalam kamarnya. Mulailah dia menggali lantai kamarnya, membuat terowongan di dalam tanah menuju ke kamar tahanan. Dia bekerja keras sampai kedua tangannya lecet-lecet berdarah, namun tidak pernah dia berhenti sebentarpun. Dengan penuh semangat dia terus menggali dan akhirnya, lewat tengah malam, dia dapat menembus kamar tahanan dan muncul di dalam kamar itu di waktu In Hong masih pingsan dan Bun Houw dalam keadaan setengah sadar karena saat itu pengaruh racaun perangsang sudah mencapai puncak kekuatannya yang hampir tak tertahan olehnya. Baiknya In Hong telah menggeletak pingsang, kalau tidak entah apa yang akan terjadi antara dia dan gadis itu!

   Liong Si Kwi yang sudah berhasil masuk ke kamar itu, ketika melihat Bun Houw menggeletak seperti orang yang bernyawa lagi, segera meloncat mendekati dan berlutut di dekat pemuda itu, memeriksa dan legalah hatinya ketika melihat Bun Houw ternyata masih bernapas, bahkan bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan suara lemah yang tak dimengertinya karena pada saat itu hati Si Kwi tegang bukan main, khawatir kalau-kalau perbuatannya diketahui penjaga sebelum dia berhasil membebaskan Bun Houw dihalangi oleh orang-orang berkepandaian tinggi di tempat itu. Dia tidak tahu akan apa yang dilakukan oleh suami isteri majikan Padang Bangkai itu, maka dia bingung melihat Bun Houw yang siang tadi masih sehat kini menggeletak di lantai dalam keadaan seperti orang yang tidak sadar. Juga dia melihat In Hong pingsan.

   Tadinya memang dia berniat untuk membebaskan mereka berdua, karena dengan adanya mereka berdua yang berilmu tinggi, kesempatan atau harapan untuk lolos lebih banyak lagi. Kini, melihat keadaan Bun Houw setengah pingsan dan gadis perkasa itu malah pingsan sama sekali, Si Kwi menjadi bingung, akan tetapi akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw saja. Cepat dia mendukung tubuh Bun Houw dan membawanya masuk ke dalam lubang terowongan yang dibuatnya. Biarpun tidak mudah membawa Bun Houw yang merangkulnya, dan yang mengelus rambutnya, mendekapnya dan kadang-kadang mencium pipi dan lehernya sepertu orang mabok itu, namun akhirnya berhasil jugalah Si Kwi membawa pemuda itu keluar dari lubang terowongan dan tiba di dalam kamarnya.

   "Eh... eh, Taihiap...!"

   Si Kwi terkejut sekali karena kini Bun Houw membuka matanya yang merah dan pemuda itu langsung merangkul dan menciumi bibirnya dengan penuh nafsu. Si Kwi telah lama merindukan seorang pria yang akan memeluk dan menciumi seperti itu, maka kekagetan dan perlawanannya hanya sebentar saja, dan tak lama kemudian dia balas memeluk dan balas menciumi, tidak kalah hebatnya dengan orang yang terpengaruh obat perangsang.

   Keduanya lalu terguling di atas pembaringan Si Kwi dan mereka melupakan segala-galanya. Kalau tadi Bun Houw masih tidak melanggar keyakinannya dan dapat bertahan sehingga dia tidak melakukan hubungan dengan In Hong seperti yang dikehendaki oleh mereka yang sengaja meracuninya, adalah karena di fihak In Hong masih ada penolakan dan memang di lubuk hati Bun Houw, dia sama sekali tidak melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap dara yang dicintainya itu. Akan tetapi sekali ini, selagi pengaruh obat perangsang itu memuncak dan sepenuhnya menguasainya, dia mendapat pelayanan dari Si Kwi, bahkan gadis itu lebih hebat merayunya seperti orang mabok pula, maka tentu tidak ada lagi yang menahan Bun Houw dan Si Kwi! Berlangsunglah hubungan kelamin seperti yang dikehendaki oleh Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li,

   Hanya bedanya, putera ketua Cin-ling-pai itu tidak melakukannya dengan In Hong, melainkan dengan murid He I Siankow! Pada saat itu, Bun Houw sudah lupa segala-galanya, hampir tidak sadar sama sekali dan yang ada hanyalah keinginan untuk memenuhi desakan nafsu berahinya yang bernyala-nyala itu. Andaikata Si Kwi menolaknya seperti yang dilakukan oleh In Hong tadi, tentu sedikit sisa kesadaran yang masih membekas itu cukup untuk membuat pemuda ini sadar dan menghentikan perbuatannya. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Si Kwi yang sudah jatuh hati benar-benar itu dan yang maklum bahwa perbuatannya menolong pemuda itu merupakan permainan yang mempertaruhkan nyawa, ingin dalam saat terakhir dan kesempatan selagi dia masih hidup itu untuk menyerahkan jiwa dan raganya kepada pemuda yang dikagumi dan dicinta ini.

   Terjadilah hubungan dan bagaikan sebuah gunung berapi yang penuh dengan api dan uap, meledaklah Bun Houw. Menjelang pagi, barulah dia sadar karena pangaruh racun perangsang itu menipis. Begitu dia sadar dan melihat bahwa dia memeluk tubuh Si Kwi yang memandangnya dengan penuh kemesraan, pemuda ini terkejut bukan main, terkejut karena dia tahu apa yang telah terjadi. Sambil berteriak nyaring pemuda ini yang tadi bangkit duduk, terguling dan roboh pingsan! Penyesalan yang amat hebat, ditembah rasa kaget yang luar biasa besarnya, dan pemborosan tenaga yang didorong oleh racun, ketegangan-ketegangan yang dideritanya sejak dia menghadapi In Hong dalam keadaan keracunan, penggerahan tenaga kemauan yong amat hebat ketika dia menekan dorongan nafau bersama In Hong, semua itu menghantamnya di sebelah dalam sehingga dia roboh pingsan.

   "Ha-ha-ha-ha! Sungguh hebat... sungguh hebat bukan main!"

   Tiba-tiba terdengar suara tertawa Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela kamar itu. Si Kwi yang tadinya terlena oleh kepuasan hasrat yang terpenuhi, yang makin menebal rasa kasih sayangnya kepada pemuda itu yang kini dianggapnya sebagai miliknya dan yang memilikinya, sebagai suaminya walaupun tidak secara sah, kini seperti disiram air dingin. Dia sadar akan semua yang telah terjadi. Dia tidak menyesal, hanya khawatir karena dia telah ketahuan dan akan celakalah Bun Houw! Dengan cepat dia melompat dan kembali terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela.

   "Liong Si Kwi, engkau sungguh hebat! Akan tetapi sayang, dia keburu pingsan! Biarlah aku yang akan memuaskan dirimu, manis. Bukalah jendela ini, biarkan aku masuk."

   Si Kwi menyambar pakaiannya, memakai pakaian itu secepatnya dan segera disambamya siang-kiam di atas mejanya dan dicabutnya sepasang pedang itu lalu menghadapi jendela dengan beringas, siap untuk mengadu nyawa dengan Ang-bin Ciu-kwi.

   "Ha-ha-ha, tenanglah, manis. Aku datang untuk menonton pertunjukan menarik yang berlangsung di dalam kamar ini tadi, sungguh asyik sekali... hemm, dan kau membangkitkan gairahku. Bukalah jendela ini, manis dan mari kita bermain-main sebentar. Atau kau lebih suka kalau aku pergi kepada Hek I Siankouw dan melaporkon apa yang telah terjadi di sini?"

   Si Kwi yang sudah siap menerjang ke luar jendela itu menjadi terkejut. Maklumlah dia bahwa kalau sampai Setan Arak ini yang melapor kepada gurunya, nyawanya tidak tertolong lagi, demikian pula nyawa Bun Houw. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk mandahului laporan orang lain, apalagi laporan Ang-bin Ciu-kwi yang tentu akan memberi bumbu-bumbu lain yang lebih memanaskan hati subonya lagi. Memang, kalau dia menuruti kehendak Ang-bin Ciu-kwi, boleh jadi peristiwa antara dia dan Bun Houw tadi akan tertutup, akan tetapi, lebih baik dia mati saja daripada harus menuruti permintaan Ang-bin Ciu-kwi! Pula, setelah kini keadaannya sama sekali berubah daripada keadaan asyik-masuk seperti tadi, dara ini sadar pula bahwa adanya Bun Houw tadi melakukan perbuatan seperti itu adalah karena pemuda itu berada dalam keadaan tidak sadar, seperti orang mabok.

   Kini mengertilah dia halawa pemuda itu tentu terkena bius, terkena racun yang menyebabkan pemuda itu mudah saja melakukan perbuatan tadi bersama dia. Dia dapat menduga kini mengapa dia mendapatkan diri Bun Houw menggeletak hampir tidak sadar dengan tubuh panas dan sikap begitu hangat, merangkul dan hendak menciuminya, dan mengerti pula dia mengapa In Hong juga pingsan. Kiranya mereka berdua itu telah diberi racun, dan siapa lagi yang memberi racun kalau tidak suami isteri Padang Bangkai yang terkenal sebagai ahli-ahli tentang racun itu? Dia teringat akan pengalamannya sendiri ketika hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi. Diapun diberi minum arak dan segera dia diserang oleh racun perangasang yang amat hebat sehingga hampir-hampir saja dia menyerahkan diri secara suka rela kepada setan itu!

   "Aku harus cepat melapor kepada subo!"

   Pikirnya dan dara itu cepat meloncat, bukan ke jendela melainkan ke pintu yang didorongnya terbuka dan cepat dia melarikan diri ke kamar subonya. Dia terpaksa meninggalkan Bun Houw, karena dia maklum bahwa melarikan diri sendiri saja belum tentu dia selamat, apalagi kalau harus membawa tubuh Bun Houw. Lebih baik dia cepat pergi ke subonya dan minta tolong subonya. Siapa tahu kalau dia sudah memberi tahu subonyo akan semua hal dengan terus terang, subonya suka menolong Bun Houw dan suka mengakuinya sebagai mantu!

   "Subo...! Subo... tolonglah teecu, subo...!"

   
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Katanya sambil mengetuk pintu itu dengan kuat. Daun pintu terpentang lebar dan Hek I Siankouw telah berdiri di ambang pintu sambil memegang pedang hitamnya. Alisnya berkerut ketika dia melihat muridnya berdiri di situ dengan muka pucat sekali dan dengan siang-kiam di kedua tangan.

   "Si Kwi, apakah yang terjadi?"

   Tanyanya dan dia membiarkan muridnya memasuki kamamya. Dia menjenguk keluar dan karena tidak melihat siapapun juga di luar, tokouw itu lalu menutupkan kembali pintu kamarnya. Tiba-tiba Si Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya sambil menangis! Gurunya adalah satu-satunya orang yang selama ini dianggap sahabat, guru, juga orang tua! Sekarang, dalam keadaan seperti ini, terancam bahaya hebat, bukan hanya untuk dia, terutama untuk Bun Houw, tidak ada orang lain kecuali gurunya ini yang dapat diharapkan untuk menolongnya dan menolong Bun Houw.

   "Subo... sebelumnya harap subo mengampunkan dosa teecu..."

   "Si Kwi, jangan seperti anak kecil. Katakan apa yang telah terjadi!"

   Gurunya membentak.

   "Subo, teecu telah jatuh cinta... semenjak teecu diselamatkan oleh Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai... ketika teecu akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi, teecu telah jatuh cinta kepada putera ketua Cin-ling-pai itu..."

   Gurunya mengerutkan alisnya.

   "Memang kalau begitu mengapa engkau menangis?"

   Gadis itu mengangkat muka, memandang wajah subonya dengan penuh harapan.

   "Jadi... subo... setuju...?"

   "Dia seorang pemuda yang tinggi ilmunya, putera ketua Cin-ling-pai, kalau memang dia cinta padamu, kenapa aku tidak setuju? Sayangnya, dia berada di fihak lawan."

   "Ah, terima kasih, subo...!"

   Si Kwi berseru girang dan memberi hormat.

   "Sesungguhnya... teecu... teecu telah menjadi isterinya..."

   Tiba-tiba saja wajah tokouw itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar marah.

   "Apa? Jadi kalau begitu benar laporan Ang-bin Ciu-kwi?"

   Bentak gurunya.

   "Ah, tidak...! Tidak, subo...! Bukankah subo sendiri sudah tahu, juga Hek-hiat Mo-li locianpwe, bahwa teecu... teecu masih perawan? Akan tetapi malam tadi..."

   "Malam tadi mengapa? Hayo katakan!"

   "Malam tadi, lewat tengah malam... teecu... teecu telah menjadi isterinya."

   "Eh, Apa maksudmu? Pemuda itu berada di dalam kamar tahanan bersama In Hong, dan mereka..."

   Dia teringat akan minuman yang diberi racun perangsang oleh Coa-tok Sian-li, maka timbul kecurigaannya.

   "Si Kwi!"

   Dia membentak.

   "Ceritakan, apa yang terjadi!"

   Dengan suara terputus-putus Si Kwi lalu menceritakan betapa dia telah membuat jalan terowongan dari kamarnya ke dalam kamar tahanan, dan berhasil menolong Bun Houw keluar dari kamar tahanan memasuki kamarnya sendiri.

   "Akan tetapi, subo... ketika tiba di kamar teecu... dia... dia seperti mabok atau terbius... dan dia... dia merayu... ah, teecu cinta padanya, subo, teecu tidak mampu menolongnya dan... dan teecu menyerahkan diri kepada Cia Bun Houw... kemudian pagi tadi, muncul di luar jendela kamar teecu, si keparat Ang-bin Ciu-kwi, dia ternyata telah melihat peristiwa itu dan dia... dia menuntut agar teecu suka menyerahkan diri kepadanya. Teecu tidak sudi dan teecu lari ke sini... teecu menyerahkan nyawa teecu ke tangan subo..."

   "Desss...!"

   Tubuh Si Kwi terlempar oleh tendangen gurunya. Muka gurunya sebentar pucat sebentar merah dan hati tokouw ini terasa panas dingin karena terjadi perang di dalam perasaan hatinya. Ada perasaan marah yang amat hebat mendengar penuturan muridnya itu yang telah menyerahkan diri begitu saja dengan amat mudahnya kepada seorang pria, dan biarpun pria itu adalah seorang pemuda yang harus dia akui pilihan, akan tetapi pemuda itu betapapun adalah seorang lawan, atau yang berada di fihak lawan. Akan tetapi di lain fihak, hatinya juga terharu karena dia telah menganggap Si Kwi sebagai puterinya sendiri dan sesungguhnya ada pertalian batin yang kuat antara dia dan gadis itu. Sekarang dia tahu bahwa kalau tidak dia lindungi, nyawa dara itu berada dalam ancaman bahaya hebat!

   "Murid murtad, engkau hanya akan mencelakakan gurumu saja!"

   "Harap subo sudi mengampuni teecu!"

   Kata pula Si Kwi.

   "Teecu bersedia untuk mati di tangan subo, untuk menebus kesalahan dan dosa besar teecu, akan tetapi, teecu mohon dengan sangat, mengingat akan hubungan antara kita sebagai guru dan murid, dan sebagai orang tua dan anak, teecu mohon sukalah subo menolong dan menyelamatkan Cia Bun Houw. Teecu sungguh cinta kepadanya, subo, teecu mencintanya, melebihi nyawa teecu sendiri!"

   Dan murid ini menangis lagi, menangis dengan penuh kesedihan.

   Sepasang mata Hek I Siankouw menjadi basah ketika dia mendengar dan melihat keadaan muridnya itu. Teringatlah dia ketika dia dahulu bermain cinta dengan Hwa Hwa Cinjin dan diapun amat mencinta Hwa Hwa Cinjin. Adanya dia tidak menjadi isteri yang sah dari Hwa Hwa Cinjin adalah karena sebagai pendeta-pendeta, tentu saja mereka tidak dapat menikah. Namun rasa cinta di hatinya terhadap Hwa Hwa Cinjin amat mendalam sehingga mereka berdua itu seperti suami isteri saja! Mereka saling setia dan tidak pernah mencinta orang lain sampai keduanya menjadi kakek dan nenek.

   "Akupun mencinta Hwa Hwa Cinjin melebihi nyawaku sendiri..."

   "Ahhh, subo, ampunkan teecu... teecu telah mengecewakan hati subo..."

   Kembali Si Kwi meratap dengan suara pilu.

   "Teecu rela mati di depan kaki subo, akan tetapi kalau subo sudi menyelamatkan Cia Bun Houw, biarlah roh teecu akan selalu membantu subo..."

   "Bocah yang bodoh! Mana mungkin menyelamatkan nyawa pemuda itu? Apa kau kira kita dapat menghadapi Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko? Tentang pemuda itu, tak perlu kita ributkan, yang penting, lekaslah kau pergi dari sini. Sekarang juga!"

   "Akan tetapi... subo..."

   "Tutup mulut! Tidak ada tapi lagi. Pergilah kau dari sini dan selamanya jangan kau memperlihatkan muka kepadaku!"

   "Subo...!"

   "Aku tidak mempunyai murid macammu! Pergiiiii...!"

   Hek I Siankouw membentak dan mengusir. Si Kwi terisak, akan tetapi terpaksa dia bangkit dan pergi dari kamar itu, diikuti oleh Hek I Siankouw yang kini basah kedua matanya. Tokouw ini sengaja mengusir muridnya karena dia tidak ingin muridnya terlibat dalam kesukaran. Dan dia sengaja membayangi muridnya itu agar dapat keluar dari Lembah Naga dengan selamat. Di tengah jalan, murid dan guru yang membayanginya itu bertemu dengan Hek-hiat Mo-li, Pek-hiat Mo-ko, Ang-bin Ciu-kwi, dan Coa-tok Sian-li. Dari wajah kedua orang kakek dan nenek Lembah Naga itu mengertilah Hek I Siankouw bahwa keduanya tentu telah tahu akan perbuatan Si Kwi. Akan tetapi Si Kwi sendiri berdiri dengan tenang dan air mata masih membanjiri pipinya.

   "Mo-ko dan Mo-li, karena perbuatan muridku yang mencemarkan namaku, terpaksa aku mengusirnya pergi dari sini!"

   Hek I Siankouw memecahkan kesunyian yang mencekam hatinya itu.

   "Hemm... agaknya banyak terjadi hal-hal hebat di sini semalam."

   Kata Hek-hiat Mo-li.

   "Dan kejadian-kejadian itu adalah gara-gara muridmu yang baik ini!"

   Ucapan lanjutan itu bernada keras.

   "Kalau aku boleh berterus terang, Mo-li, bukan hanya gara-gara muridku, melainkan gara-gara aku juga, dan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!"

   "Eh-eh, Hek I Siankouw, kenapa kau begitu pengecut membawa-bawa nama kami dalam persoalan ini? Sudah jelas bahwa muridmu hendak meloloskan dua orang tawanan itu, untung masih terlihat oleh kami, karena muridmu tidak dapat menahan nafsunya! Kalau tidak, bukankah tawanan-tawanan itu sudah lolos semua oleh muridmu ini?"

   Kata Coa-tok Sian-li.

   "Coa-tok Sian-li, aku hanya bicara apa adanya dan sama sekali bukan hendak membela muridku secara membuta. Memang muridku bersalah, akan tetapi kita bertigapun bersalah, bukan? Setelah akibat dari perbuatan kita seperti ini, mengapa kita tidak berani berterus terang saja kepada Mo-ko dan Mo-li?"

   "Hemm... apakah sebetulnya yang telah terjadi dan apa yang kalian bicarakan ini, Siankouw?"

   Pek-hiat Mo-ko membentak marah.

   "Terus terang saja, Mo-ko. Kami bertiga, yaitu aku, Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li telah main-main dengan dua orang tawanan itu. Karena aku ingin melihat gadis keparat itu tercemar, dan karena Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya ingin pula menonton hal-hal yang mereka berdua sukai, maka kami bertiga telah bersepakat untuk mencampuri racun perangsang, yaitu Arak Malam Pengantin buatan Coa-tok Sian-li ke dalam hidangan yang disuguhkan kepada dua orang tawanan itu."

   Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li mengerutkan alis mereka, akan tetapi tidak kelihatan marah.

   "Hemm, lalu?"

   Tanya Hek-hiat Mo-li.

   "Sementara itu, muridku yang murtad ini jatuh cinta kepada Bun Houw. Sama sekali dia tidak berniat untuk membebaskan tawanan, melainkan dia membuat terowongan dari kamarnya ke tempat tahanan, mengajak Cia Bun Houw yang sedang mabok oleh racun Arak Malam Pengantin itu ke kamarnya dan menyerahkan dirinya kepada pemuda itu. Hal ini diketahui oleh Ang-bin Ciu-kwi yang menyangka muridku hendak melarikan tawanan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Buktinya tawanan itu ditinggalkan pingsan di kamarnya dan muridku lalu melapor kepadaku. Dia sama sekali tidak hendak melarikan tawanan, karena kalau benar demikian, tentu dia telah mengajaknya pergi dari sini."

   Hek I Siankouw berhenti sebentar untuk melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi.

   Dia sengaja tidak menceritakan tentang ancaman Ang-bin Ciu-kwi yang hendak menuntut agar Si Kwi menyerahkan dirinya kepada Setan Arak itu dan hal ini dilakukan sebagai "pukulan simpanan"

   Kalau-kalau Ang-bin Ciu-kwi tidak mau bekerja sama melindungi muridnya! Ang-bin Ciu-kwi bukan seorang bodoh. Dia melihat bahwa yang dikemukakan oleh Hek I Siankouw memang cukup kuat dan beralasan, dan memang harus diakuinya bahwa dia mendapatkan Si Kwi dan Bun Houw sama sekali bukan dalam keadaan hendak melarikan diri. Sama sekali bukan, bahkan mereka itu bermain cinta sampai pagi! Dan diapun tahu bahwa Hek I Siankouw sengaja tidak menceritakan niatnya memaksa Si Kwi untuk menyerahkan diri dan dia maklum apa kehendak tokouw berpakaian hitam itu.

   "Keterangan yang diberikan Siankouw itu memang benar, ji-wi locianpwe,"

   Katanya mendahului isterinya karena dia khawatir kalau-kalau isterinya tidak mengerti akan uluran tangan Hek I Siankouw.

   "Memang kami tadinya hanya ingin main-main karena Arak Malam Pengantin itu tidak menyakitkan dan tidak membunuh, malah dapat dikata menyehatkan, heh-heh... dan kalau tadi kami melapor kepada ji-wi locianpwe adalah karena kami kurang mengerti akan niat nona Liong Si Kwi. Kiranya dia hanya ingin begituan dengan pemuda itu."

   "Memang harus kuakui bahwa muridku telah bersalah dan karena cintanya dia menjadi murtad terhadap gurunya yang dianggap orang tuanya. Oleh karena itu, sebagai hukumannya aku mengusirnya dan tidak mengakuinya lagi sebagai murid. Harap saja kalian berdua tidak mencampuri urusan antara guru dan murid ini, karena jelas bahwa tawanan tidak dilarikan. Dan harap kallan orang-orang tua cukup bijaksana terhadap orang muda yang gila cinta!"

   Setelah dua orang kakek dan nenek itu mendengar keterangan Hek I Siankouw dan Ang-bin Ciu-kwi, kemarahan mereka mereda, akan tetapi Hek I Siankouw maklum bahwa tidaklah begitu mudah untuk memuaskan hati dua orang kakek nenek itu, maka dia masih tetap waspada. Biarpun dia marah sekali kepada muridnya atas perbuatan muridnya itu, namun rasa kasih sayang dalam hatinya membuat dia masih selalu ingin melindungi dan agar muridnya itu menerima hukuman yang seringan mungkin atas kesalahan yang dilakukannya. Benar saja dugaannya, Hek-hiat Mo-li terdengar berkata nyaring,

   "Mendengar semua keteranganmu, Siankouw, kami boleh memandang mukamu untuk mengampunkan muridmu, akan tetapi tidak ada budi yang tidak terbalas. Oleh karena itu, sebelum kami membebaskan muridmu, dia harus meninggalkan sesuatu sebagai tanda bahwa dosanya sudah terhukum dan lunas, ditambahi janji bahwa engkau akan terus membantu kami sampai selesai."

   Hek I Siankouw mengerutkan alisnya, lalu tiba-tiba dia berkata,

   "Si Kwi, kau sudah merasa berdosa terhadap aku?"

   "Teecu menyerahkan jiwa raga teecu ke tangan subo."

   "Ke sinilah!"

   Gadis itu menghampiri gurunya dan menjatuhkan diri berlutut.

   "Singgg...crattt!"

   Nampak sinar hitam berkelebat dan pedang hitamnya menyambar ke depan. Si Kwi menjerit dan tangan kanannya memegangi lengan kirinya yang telah terbabat pedang dan buntung sebatas pergelangan tangannya! Dia masih berlutut dan mukanya pucat sekali memandang tangan kirinya yang sudah buntung itu. Dengan tenang Hek I Siankauw mengambil tangan muridnya itu, lalu menghampiri Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li sambil menyodorkan tangan berdarah itu.

   "Mo-ko dan Mo-li, harap kalian puas dengan tangan yang ditinggalkan muridku ini, dan aku berjanji akan membantu kalian sampai selesai."

   "Ha-ha-ha, engkau sungguh mencinta muridmu. Sebenarnya, harus kedua tangannya dibuntungi, akan tetapi karena kau bertindak sendiri dengan suka rela, biarlah inipun cukup,"

   Kata Hek-hiat Mo-li sambil menerima tangan yang berkulit halus itu. Hek I Siankouw menghampiri muridnya, menotok jalan darah di siku dan pundaknya, menggunakan obat bubuk ditaruh di lengan yang buntung, lalu membalutnya dengan saputangannya. Setelah selesai, diapun berkata dengan suara gemetar,

   "Nah, pergilah! Mau tunggu apa lagi?"

   Si Kwi maklum bahwa nyawanya telah ditolong oleh subonya dan sebagai penggantinya, subonya membuntungi tangan kirinya dan yang lebih berat lagi, subonya berjanji akan membantu kakek dan nenek iblis itu sampai selesai, berarti subonya telah mempertaruhkan nyawa demi untuk menyelamatkannya. Maka sambil menangis dia berlutut dan mencium kaki subonya sambil berkata,

   "Subo, terima kasih... sampai mati teecu tidak akan melupakan budi subo..."

   "Pergilah! Pergilah...!"

   Hek I Siankouw menjerit dan membalikkan tubuh, memalingkan muka tidak mau memandang muridnya dan dengan cepat tangannya menghapus dua butir air matanya. Si Kwi bangkit lalu pergi dari situ dengan cepat. Air matanya bercucuran di sepanjang kedua pipinya.

   Ketika Bun Houw siuman dari pingsannya, dia melihat In Hong telah duduk di tepi pembaringan dengan muka penuh kekhawatiran. Pemuda ini lalu teringat akan semua pengalamannya yang hanya setengah disadarinya itu, seperti sebuah mimpi yang hampir terlupa. Akan tetapi teringat bahwa dia telah bermain cinta dengan seorang gadis, dia cepat bangkit berdiri dengan gerakan kuat.

   "Ah, kau mengasolah dulu, Houw-ko... kau agaknya terserang sakit, wajahmu pucat sekali dan tubuhmu lemah."

   In Hong memegang pundaknya dan dengan halus menyuruh pemuda itu berbaring kembali. Akan tetapi Bun Houw tidak mau rebah dan terus duduk di tepi pembaringan itu, matanya dipejamkan dan alisnya berkerut.

   "Hong-moi... apa yang terjadi...? Bagaimana aku bisa berada di sini lagi?"

   Dia membuka mata dan memandang ke sudut kamar tahanan itu. Ternyata di situ terdapat bekas galian yang telah ditutup kembali. Jantungnya berdebar penuh penyesalan. Tadinya dia mengharapkan bahwa apa yang diingatnya itu hanya mimpi belaka, akan tetapi begitu melihat bekas lubang yang berada di sudut kamar tahanan dan yang telah ditutup kembali itu, tahulah dia bahwa semua pengalaman itu bukan sekedar mimpi! Melainkan kenyataan! Dan dia telah bermain cinta dengan seorang gadis, kalau dia tidak salah, Liong Si Kwi! Dia telah berjina!

   "Ohhh...!"

   "Kenapa, Houw-ko?"

   In Hong memegang lengan pemuda itu ketika melihat pemuda itu menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya, seolah-olah hendak mengusir sesuatu dari depan matanya. Tanpa melepaskan kedua tangan dari depan mukanya, Bun Houw berkata lagi,

   "Hong-moi... demi Tuhan... kau ceritakanlah padaku, apa yang telah terjadi semalam?"

   "Houw-ko, aku sendiripun tidak mengerti. Bahkan aku yang hendak bertanya kepadamu. Engkau tahu, setelah kita tersiksa semalam, aku lalu... tertidur atau pingsan dan aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Akan tetapi, ketika aku siuman, aku melihat engkau telah rebah di lantai dan..."

   Wajah gadis itu menjadi merah sekali dan lehernya seperti tercekik, dan dia tidak dapat melanjutkan ceritanya. Bun Houw menurunkan kedua tangannya dan menoleh. Melihat wajah itu menjadi merah dan bibir gadis itu tersenyum menahan rasa malu, dia cepat mendesak,

   "Dan bagaimana, Hong-moi? Ceritakanlah... ceritakanlah...!"

   "Kau... kau dalam keadaan... ahhh... telanjang, Houw-ko. Dan pakaianmu bertumpuk di dekatmu. Tentu saja aku terkejut sekali dan melihat bahwa aku tidak apa-apa, hatiku lega. Maka selama engkau masih pingsan aku lalu mengenakan pakaian pada tubuhmu, memindahkanmu ke atas pembaringan dan aku menjagamu sampai kau sadar..."

   "Dan lubang itu..."

   Bun Houw bertanya, menoleh ke arah bekas lubang di sudut kamar.

   "Entahlah, sudah begitu ketika aku siuman. Houw-ko, apakah yang terjadi sebetulnya ketike aku sedang pingsan atau pulas?"

   Kembali In Hong memegang lengan pemuda itu dan tiba-tiba Bun Houw mengelak dan mundur menjauhi.

   "Aku tidak tahu... tidak tahu, Hong-moi... aku... aku terbius dan seperti orang gila..."

   Bun Houw kembali menggunakan kedua tangan menutupi mukanya. Akan tetapi tetap saja terbayang pengalaman remang-remang yang tak mungkin dapat dia lupakan selamanya itu, di dalam sebuah kamar asing, di atas pemberingan, bersama Liong Si Kwi! Dia menduga-duga apa yang terjadi dengan gadis itu! Dan mengapa pula Si Kwi membuat terowongan dari kamarnya ke kamar tahanan? Tentu untuk menolongnya keluar! Dan dia sedang dalam keadaan terbius dan di bawah pengaruh obat atau racun perangsang yang amat hebat. Tentu dia dan Si Kwi telah... ah, ingin dia mengusir semua bayangan dan kenangan itu. Dia merasa malu, malu dan menyesal sekali!

   "Aku malu... aku malu...!"

   Tak terasa lagi bibirnya berbisik.

   "Houw-koko, sudahlah. Memang amat memalukan kalau mengenangkan kembali peristiwa semalam yang hanya samar-samar teringat olehku. Akan tetapi perbuatan kita itu terjadi karena di luar kesadaran kita, bukan? Kita berdua telah minum arak beracun! Karena itu, biarlah kita lupakan semua itu. Pula, bukankah tidak terjadi sesuatu di antara kita? Kita patut bersyukur bahwa kita tidak sampai terseret... ah, dan semua ini berkat kekuatan batinmu, koko."

   "Tidak...! Tidak...! Engkaulah yang kuat dan hebat, Hong-moi. Dan aku... aku berterima kasih kepadamu, dan aku minta maaf..."

   "Sudahlah. Yang penting sekarang, kita harus mencari akal bagaimana dapat keluar dari tempat tahanan ini. Kalau kita menggabungkan tenaga dan berusaha untuk membongkar pintu ini..."

   "Hemm, sudah kupertimbangkan hal itu, Hong-moi, ketika engkau menolongku dahulu, mencarikan obat untukku, engkau bertemu dengan keponakanku, Lie Seng, putera enciku yang dibawa oleh seorang Pendeta Lama. Dan engkau pernah dapat mainkan Thian-te Sin-ciang, engkau belajar dari suhu Kok Beng Lama. Hong-moi, engkau sumoiku."

   "Bukan. Suhumu sudah kuberikan janji bahwa aku tidak mengangkatnya segai guru. Betapapun juga, mengingat bahwa mendiang ibuku adalah sumoi dari ayahmu, maka kitapun boleh saja terhitung kakak dan adik seperguruan."

   "Hong-moi coba kautampar telapak tanganku ini dengan Thian-te Sin-ciang!"

   "Apa maksudmu? Apa gunanya?"

   "Aku hendak mengukur sampai di mana tingkat ilmu itu pada dirimu."

   Bun Houw lalu berdiri dan mengulur tangannya, dengan telapak tangan terlentang. Biarpun belum mengerti sepenuhnya apa yang dimaksudkan selanjutnya oleh pemuda itu, namun karena tahu bahwa pemuda itu hendak menguji kekuatannya, In Hong lalu mengerahkan tenaga dan menghantamkan telapak tangannya ke arah telapak tangan Bun Houw, tanpa ragu-ragu karena dia tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang jauh lebih lihai daripada tingkatnya.

   "Tarrrr...!"

   Terdengar bunyi seperti ledakan ketika dua telapak tangan itu bertemu. In Hong merasakan tangannya panas dan membalik sehingga dia terhuyung.

   "Engkau hebat, Hong-moi. Baru mendapat petunjuk sebentar saja dari suhu, telah dapat menguasai Thian-te Sin-ciang hampir seperempat bagian"

   "Baru seperempat bagian?"

   In Hong bertanya dengan mata terbelalak dan kecewa.

   "Kukira sudah hampir sempurna!"

   Bun Houw tersenyum dan hatinya girang melihat kenyataan bahwa berbicara dengan In Hong, dia mulai melupakan peristiwa di dalam kamar bersama Si Kwi yang mendatangkan penyesalan amat besar di hatinya itu.

   "Hong-moi, engkau belum tahu benar kehebatan dari Thian-te Sin-ciang. Hanya suhu seoranglah yang telah memiliki ilmu itu dan menguasai secara sempurna. Kalau suhu berada di sini, pintu ini bukan apa-apa. Engkau memiliki hampir seperempat bagian sudah hebat, Hong-moi."

   "Dan engkau sendiri, koko. Engkau sudah begitu hebat!"

   Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ah, mana bisa aku menandingi suhu? Paling-paling aku baru menguasai setengahnya atau lebih sedikit. Karena itu, biarpun kita menggabungkan tenaga, tidak akan mungkin dapat menjebol pintu ini. Akan tetapi ada kemungkinan kecil kalau engkau dapat memperkuat tenagamu di sini, dengan latihan-latiban khusus."

   

Petualang Asmara Eps 18 Petualang Asmara Eps 9 Petualang Asmara Eps 49

Cari Blog Ini