Ceritasilat Novel Online

Dewi Maut 44


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 44



"Suheng, aku cinta padamu... bukan untuk itu saja... oohhh..."

   Tubuh itu menjadi lemas dan Giok Keng roboh pingsan. Kun Liong terkejut sekali. Cepat dia membersihkan semua lumpur yang menempel di tubuh Giok Keng, kemudian mengangkat tubuh itu keluar dari air, merebahkannya di atas alang-alang kering dan menyelimutinya dengan baju luarnya yang dia tanggalkan. Setelah memeriksa dengan cepat, dia memperoleh kenyataan bahwa Giok Keng keracunan, sungguhpun tidak berapa hebat racun itu, namun ditambah dengan kengerian hebat tadi, agaknya membuat wanita itu roboh pingan.

   Kun Liong cepat mencuci pakaian Giok Keng yang berlumpur, memeras airnya dan beberapa kali dia menggerakkan pakaian itu dengan cepat sehingga pakaian itu berkibar dan sebentar saja mengering, kemudian dia mengenakan kembali pakaian itu ke tubuh Giok Keng yang masih pingsan. Dibantu oleh hawa murni yang mengalir dari telapak tangan Kun Liong, sebentar saja hawa beracun dari gigitan lintah-lintah tadi telah lenyap dan Giok Keng mengeluh, lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk. Ketika dia melihat bahwa tubuhnya telah memakai pakaiannya, dia menoleh kepada Kun Liong dan memandang dengan penuh rasa haru dan terima kasih. Akan tetapi kedua pipinya berobah merah sekali ketika dia teringat akan keadaannya tadi.

   "Syukur engkau tidak apa-apa, sumoi,"

   Kata Kun Liong. Giok Keng menarik napas panjang,

   "Sungguh berbahaya... terima kasih atas pertolonganmu dan atas... atas segala-galanya yang telah kau lakukan untukku, suheng."

   Kun Liong tersenyum, memegang tangan wanita itu dan menariknya berdiri sambil tersenyum dan berkata,

   "Masih perlukah lagi sikap sungkan-sungkan dan kata-kata tentang budi dan pertolongan di antara kita, sumoi?"

   Dengan saling berpegangan tangan, mereka diam tak bergerak, saling pandang dan sadar, mata mereka seolah-olah menyorot sampai ke lubuk hati masing-masing, mendatangkan perasaan hangat dan bahagia.

   "Mari kita lanjutkan perjalanan ini, sumoi."

   "Baik, suheng. Dan kita harus berhati-hati sekali. Tempat ini ternyata amat berbahaya."

   Keduanya lalu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan. Mereka saling berpegang tangan bukan untuk menurutkan kemesraan hati, melainkan agar dapat saling menolong dengan secepat mungkin kalau ada bahaya menyerang mereka. Andaikata tadi mereka saling bergandengan ketika kaki Giok Keng terjeblos, tentu Kun Liong dapat seketika menolongnya. Berkat ilmu mereka yang tinggi dan sikap mereka yang amat hati-hati, akhirnya kedua orang pendekar ini dapat melampaui Padang Bangkai, memasuki perkampungan, menyeberangi jembatan dan melanjutkan perjalanan mereka ke daerah Lembah Naga.

   Kedua orang itu kini merasakan sesuatu yang amat mendalam di antara mereka, perasaan kasih sayang yang jauh lebih tinggi dan lebih murni daripada perasaan cinta yang hanya menuntut pemuasan nafsu berahi semata. Lebih mirip cinta antara sahabat yang tanpa pamrih memuaskan hasrat nafsu pribadi, bersih daripada keinginan untuk disenangkan, bahkan ingin membuat orang yang dicinta itu selalu bahagia dan gembira, perasaan yang timbul dari belas kasihan dan penyesalan atas kesalahan diri sendiri. Matahari telah condong ke barat ketika mereka tiba di daerah Lembah Naga. Tiba-tiba Giok Keng menahan seruannya dan menunjuk ke depan, ke arah titik-titik hitam yang bergerak dan beterbangan di atas sebatang pohon. Kun Liong juga memandang dan berkata,

   "Agaknya itu adalah burung-burung rajawali..."

   "Bukan, suheng. Burung rejawali lebih besar, seperti burung elang."

   Mereka mempercepat langkah mereka menuju ke lembah di depan dan kini mereka dapat melihat dengan lebih jelas.

   "Ah, burung nazar, burung pemakan bangkai!"

   Kata Kun Liong.

   "Mari kita ke sana, suheng. Menurut cerita, burung seperti itu tidak akan beterbangan lagi kalau di sana terdapat bangkai. Mereka hanya beterbangan menanti kalau di bawah terdapat mahluk yang mereka harapkan akan mati tak lama lagi."

   "Mari, sumoi. Tempat ini memang menyeramkan dan segala hal bisa saja terjadi!"

   Mereka kini menggunakan kepandaian untuk mendaki tempat itu, namun masih tetap waspada dan hati-hati sekali. Dari jauh mereka melihat tiga orang yang terikat di tonggak kayu di tengah lapangan terbuka itu.

   "Ah, benar saja ada orang-orang disiksa di sana dan burung-burung itu menanti mereka mati,"

   Kata Kun Liong. Mereka cepat memasuki lapangan. Dari jauh terlihat oleh mereka dua orang laki-laki dewasa dan seorang anak laki-laki terikat di tonggak kayu salib masing-masing dalam keadaan lemah dan hampir pingsan dan sudah ada dua ekor burung nazar dengan berani hinggap di atas kayu salib di mana bocah itu terikat. Tiba-tiba terdengar Giok Keng menjerit. Wanita ini menyambar dua buah batu kerikil dan sekali tangannya bergerak, dua ekor burung nazar yang hinggap di atas kayu salib itu memekik, bergerak terbang ke atas akan tetapi tak lama kemudian jatuh ke atas tanah, berkelojotan mandi darah karena mereka telah menjadi korban sambitan batu kerikil yang dilakukan oleh Giok Keng dengan penuh kemarahan itu.

   "Seng-ji...!"

   Teriak Giok Keng sambil berlari dan menahan isak tangisnya melihat bahwa anak itu bukan lain adalah puteranya!

   "Ibu...!"

   Lie Seng juga berteriak girang.

   "Sumoi, nanti dulu...!"

   Kun Liong berseru akan tetapi Giok Keng yang sudah tidak dapat menahan perasaannya melihat puteranya diikat di tonggak kayu salib itu sudah meloncat ke dalam lapangan dan lari menghampiri. Terpaksa Kun Liong juga melompat dengan cepat sekali untuk melindungi Giok Keng dan pada saat itu, dari empat penjuru menyambar anak panah yang banyak sekali ke arah tubuh Giok Keng! Wanita itu tentu saja tahu akan datangnya bahaya, dan dia sudah cepat mencabut Gin-hwa-kiam dan memutar pedang melindungi tubuhnya.

   Baiknya Kun Liong sudah tiba di sampingnya dan pendekar ini juga sudah meruntuhkan banyak anak panah dengan kebutan kedua tangannya. Bermunculan banyak sekali orang mengepung mereka sehingga Giok Keng tidak sempat lagi menolong puteranya karena antara dia dan tempat di mana Lie Seng terikat sudah dihadang oleh banyak orang, Ketika Kun Liong memandang, dia melihat banyak orang banyak itu dipimpin oleh Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, dan dua orang lain yang dikenalnya. Mereka itu adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li. Anak buah Lembah Naga yang mengurung tempat itu tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya! Giok Keng tidak mau membuang waktu lagi. Dia sudah menggerakkan pedang dan sabuk merahnya, menerjang mereka yang menghadangnya untuk membuka jalan darah agar dia dapat membebaskan puteranya, akan tetapi,

   Hek I Siankouw sudah menghadangnya dan nenek ini menyambut amukan puteri ketua Cin-ling-pai itu dengan pedang hitamnya. Kun Liong juga menerjang maju untuk melindungi Giok Keng, akan tetapi diapun disambut oleh Bouw Thaisu yang sudah menyerangnya dengan kedua ujung lengan bajunya. Karena pendekar ini maklum bahwa mereka memang telah dinanti-nanti oleh fihak musuh dan bahwa fihak musuh amat banyak dan lihai, maka begitu bergerak dia sudah menggunakan gerakan-gerakan dari ilmu mujijat yang didapatnya dari kitab Keng-lun Tai-pun sehingga dalam beberapa gebrakan saja, Bouw Thaisu yang amat tinggi kepandaiannya itu terpaksa banyak meloncat mundur dan mengeluarkan seruan kaget sekali. Kun Liong tidak perduli dan terus mendesak, kini dia menampar dengan tenaga Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) yang mujijat.

   "Plak-plak-plak!"

   Tiga kali mereka bertemu tangan dan Bouw Thaisu terhuyung ke belakang.

   "Ahhh...!"

   Kakek itu berseru dengan muka pucat. Jantungnya tergetar hebat ketika tangannya beradu dengan tangan pendekar itu. Akan tetapi diapun merasa penasaran sekali dan tiba-tiba dia menubruk ke depan, kedua tangannya menyerang ke arah ulu hati dan pelipis, serangan yang amat hebat dan mematikan.

   "Plakk!"

   Kun Liong mengelak ke kanan sambil menggerakkan tangan menangkis dari samping dan berbareng dia mengerahkan Ilmu Thi-khi-i-beng.

   "Aughhhh... lepaskan...!"

   Bouw Thaisu berseru keras ketika merasa betapa tenaga sin-kang dari tubuhnya membanjir keluar, tersedot melalui tangannya yang menempel pada lengan lawan. Betapapun dia berusaha menarik tangannya, tetap saja tangannya itu menempel pada lengan lawan dan tenaga murni terus membanjir keluar.

   "Wuuttt... pyarrr...!"

   Terpaksa Kun Liong melepaskan Bouw Thaisu guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi mengancam kepalanya dan dari mulut guci itu menyembur keluar arak merah yang mengancam kedua matanya. Bouw Thaisu terhuyung dan mukanva agak pucat.

   Dengan marah kakek itu menyerang dengan ujung lengan bajunya, membantu Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah menyerang Kun Liong, karena dia maklum bahwa pendekar ini lihai bukan main. Sementara itu, Giok Keng yang dilawan oleh Hek I Siankouw yang dibantu oleh banyak anak buah Lembah Naga, juga terdesak hebat. Namun, mengingat bahwa puteranya diikat di kayu salib dan terancam kematian yang mengerikan, pendekar wanita ini menjadi marah dan gerakannya menjadi berbahaya sekali, seperti seekor harimau betina diganggu anaknya. Juga Kun Liong, biarpun dikeroyok banyak sekali orang, karena mengkhawatirkan keselamatan Giok Keng, Lie Seng, Tio Sun dan Kwi Beng yang sudah dikenalnya, mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga dia mengamuk seperti seekor naga sakti.

   "Ayah...!"

   Tiba-tiba sesosok bayangan yang gerakannya gesit sekali berkelebat memasuki medan pertempuran dan kepalan tangannya yang kecil merobohkan seorang anak buah Lembah Naga ketika dia meloncat ke dekat Kun Liong.

   "Mei Lan...!"

   Tentu saja Kun Liong terkejut bukan main dan juga girang bercampur khawatir melihat anaknya yang sudah lama dicari-carinya itu. Terkejut karena tidak menyangka akan bertemu dengan puterinya di tempat itu, girang mendapat kenyataan bahwa puterinya masih hidup dalam keadaan sehat dan khawatir karena dia tahu betapa bahayanya tempat itu.

   Mei Lan ikut mengamuk membantu ayahnya dan anak yang cerdik ini tentu saja hanya menyerang anak buah Lembah Naga, tidak berani mendekati Bouw Thaisu, Ang-bin Ciu-kwi, atau Coa-tok Sian-li. Tentu saja di dalam hatinya, Kun Liong ingin sekali membawa puterinya ke tempat sunyi untuk diajak bicara untuk melepaskan rindunya, untuk bertanya ke mana saja perginya anak itu dan apa saja yang dialaminya. Akan tetapi jangankan untuk bercakap-cakap, untuk melirik saja ke arah puterinya itu dia kekurangan waktu! Sementara itu, Giok Keng yang mendengar suara Kun Liong menyebut nama "Mei Lan", cepat menengok dan diapun girang bukan main melihat bahwa benar-benar Mei Lan yang dicari-cari itu berada di situ.

   "Plakkk!"

   Giok Keng terhuyung dan hampir roboh kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik dan pedangnya menyambar merobohkan anak buah Lembah Naga yang tadi menghantam punggungnya dengan ruyung itu. Wanita ini merasa punggungnya agak sakit, akan tetapi dia tidak merasakannya karena semangatnya bertambah ketika dia melihat Mei Lan! Dia harus menyelamatkan Mei Lan di samping Lie Seng pula!

   Kun Liong maklum bahwa kalau saja Tio Sun dan Kwi Beng dapat terbebas dari belenggu mereka, dua orang pemuda itu tentu akan dapat membantu dia dan Giok Keng menghadapi lawan yang begitu banyak. Bantuan Mei Lan saja kurang berarti, dan tanpa bantuan, dia khawatir bahwa dia dan Giok Keng akhirnya tidak akan kuat melawan lagi. Mengingat akan itu, Kun Liong mengeluarkan bentakan-bentakan keras dan serangannya yang amat hebat dengan Ilmu Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) membuat orang-orang selihai Bouw Thaisu sekalipun sampai meloncat mundur sedangkan Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya sampai terdorong ke belakang oleh sambaran angin pukulan-pukulan kedua tangan Kun Liong, dan sedikitnya ada empat orang anak buah Lembah Naga terlempar dan terbanting. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong untuk meloncat ke dekat Mei Lan dan berbisik,

   "Lan-ji, kau cepat menyelinap dan bebaskan tiga orang itu!"

   Mei Lan memang cerdik. Dia mengangguk karena dia tahu apa yang dimaksudkan oleh ayahnya. Tentu tiga orang itu perlu cepat dibebaskan agar dapat membantu mereka menghadapi musuh yang demikian banyaknya. Diam-diam gadis cilik ini merasa menyesal sekali mengapa bibinya, Yap In Hong, yang baru sekali itu dilihatnya, berada dalam kamar tahanan bersama Cia Bun Houw dan keduanya seolah-olah tidak memperdulikan apa-apa lagi, melainkan "bermesraan"

   Berdua di dalam kamar! Tentu saja gadis cilik ini tidak tahu apa artinya ketika dia berhasil sampai di tempat tahanan tadi dan mengintai,

   Melihat betapa In Hong dan Bun Houw duduk berhadapan sambil bersila, memejamkan mata dan kedua telapak tangan mereka saling menempel dengan mesra! Maka setelah dia memanggil-manggil tanpa hasil, kemudian dia meninggalkan pesan yang harus ia sampaikan menurut apa yang dikatakan oleh Tio Sun kepadanya. Kini Mei Lan cepat meloncat, menyelinap ke belakang ayahnya sehingga dia terlindung oleh gerakan ayahnya dan dengan cepat dia menggunakan gin-kang, lari meninggalkan gelanggang pertandingan menuju ke tempat di mana Tio Sun, Kwi Beng, dan Lie Seng terbelenggu dan terikat pada tonggak kayu salib. Dengan tergesa-gesa dia mencoba untuk melepaskan ikatan kedua tangan Kwi Beng. Makin tergesa-gesa, makin sukarlah bagi gadis cilik ini untuk melepaskan tali yang amat kuat itu.

   "Terima kasih, adik yang baik, terima kasih..."

   Suara Kwi Beng ini makin menggugupkan Mei Lan.

   "Jangan berterima kasih dulu! Kau belum bebas!"

   Akhirnya Mei Lan berkata karena suara yang penuh keharuan itu benar-benar membikin dia gugup. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia lebih dulu menghampiri pemuda berambut keemasan ini untuk dibebaskan lebih dulu!

   Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan-bentakan dan empat orang anak buah Lembah Naga sudah menerjang maju ketika mereka melihat usaha Mei Lan untuk membebaskan tawanan. Mei Lan terpaksa melepaskan tali pengikat kedua lengan Kwi Beng yang belum sempat dilepaskannya untuk menghadapi serangan empat orang itu. Sebatang golok menyambar ke arah kepalanya. Mei Lan cepat membuang diri ke kiri dan ketika golok itu menyambar lewat, dia mengetuk dengan tangan kanan dimiringkan ke arah pergelangan tangan pemegang golok. Orang itu mengeluh, goloknya terlepas dan cepat Mei Lan menyambar golok itu dan membacok ke arah punggung lawan. Teringat bahwa mungkin dia dapat membunuh orang itu, Mei Lan mengurangi tenaga bacokannya sehingga sasarannyapun berobah ke bawah.

   "Crokk! Aduhhh...!"

   Orang itu menjerit-jerit dan celananya basah oleh darah karena yang terbacok adalah daging tebal dari pinggulnya.

   "Trang-trang...!"

   Berturut-turut Mei Lan menangkis tombak dan pedang dari tiga orang pengeroyoknya, akan tetapi karena golok yang dirampas oleh Mei Lan adalah sebatang golok yang besar tebal dan berat sekali, maka tangkisan yang ketiga kalinya melawan pedang seorang anak buah Lembah Naga yang bertenaga kuat, goloknya terlepas dari tangannya. Dan tiga orang itu menubruk maju dengan senjata mereka! Mei Lan cepat melempar tubuhnya ke belakang, ke atas tanah dan ketika tiga orang pengeroyoknya itu menghujankan senjata mereka, gadis cilik ini bergulingan dan terus mengelak dengan cepat. Melihat ini, Kwi Beng memejamkan mata, tidak tega menyaksikan gadis cilik itu terancam bahaya maut tanpa dia mampu menolong sama sekali.

   Tio Sun dan Lie Seng juga memandang dengan mata terbelalak penuh kegelisahan. Tio Sun sendiri tahu bahwa gadis cilik itu kecil sekali harapannya untuk dapat terhindar dari serangan bertubi-tubi dari tiga orang kasar yang seperti harimau-harimau kelaparan dan haus darah itu. Pemegang tombak itu menjadi gemas melihat betapa gadis cilik itu selalu mampu menghindarkan diri. Dengan teriakan buas dia meloncat dan menghunjamkan tombaknya ke arah perut Mei Lan ketika gadis cilik ini bergulingan. Mei Lan maklum akan bahaya yang mengancamnya, maka tiba-tiba saja dia meloncat ke atas, membiarkan tombak itu lewat dekat perutnya dan dengan lincahnya dia lalu miringkan tubuh dan menangkap tombak itu dengan kedua tangannya, memutar tombak itu sedemikian rupa sehingga tangan pemegang tombak itu terpuntir, lalu kakinya yang kecil menendang bawah pusar.

   "Bocah setan!"

   Teriak pemegang pedang yang menusukkan pedangnya, akan tetapi Mei Lan menarik tombak itu secara tiba-tiba kemudian ketika si pemegang tombak mendoyong ke depan, dia menyelinap ke belakang tubuh si pemegang tombak sehingga nyaris pedang itu mengenai si pemegang tombak sendiri. Pada saat itu, pemegang ruyung menghantamkan ruyungnya dan dengan kakinya, Mei Lan mengait belakang lutut pemegang tombak sambil melepaskan tombaknya secara tiba-tiba.

   "Desss!"

   Pundak si pemegang tombak itu menggantikannya menerima pukulan ruyung sehingga orangnya gelayaran.

   "Bagus! Enci Mei Lan, bagus! Lawan terus, jangan menyerah terhadap monyet-monyet itu!"

   Lie Seng berteriak-teriak gembira melihat sepak-terjang Mei Lan dan mendengar ini,

   Kwi Beng membuka matanya. Akan tetapi terpaksa dia memejamkan matanya lagi karena pada saat itu, enam orang anak buah Lembah Naga telah datang mengeroyok Mei Lan! Sekali ini keadaan Mei Lan benar-benar terancam bahaya besar. Dia terhuyung dan roboh terlentang ketika pahanya kena tendangan dan agaknya orang-orang kasar itu sambil menyeringai bermaksud menubruk dan memperebutkan gadis cilik yang cantik itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking yang amat luar biasa dan akibatnya, enam orang kasar itu terguling roboh semua! Mereka itu roboh bukan hanya mendengar suara melengking yang amat hebat itu, melainkan karena sambaran angin yang seperti badai mengamuk.

   "Suhu...!"

   Lie Seng berteriak girang.

   "Suhu, lekas tolong enci Mei Lan!"

   Ternyata yang muncul itu adalah Kok Beng Lama! Dengan kedua lengannya yang besar, didahului oleh lengan bajunya yang lebar dan setiap digerakkan mendatangkan angin yang amat kuat, Kok Beng Lama mengamuk. Setiap kali dia menggerakkan tangan, tentu ada dua tiga orang anak buah Lembah Naga yang terpelanting, dan kakek gundul ini tertawa-tawa seperti seorang raksasa mempermainkan sekumpulan anak-anak nakal!

   "Kok Beng Lama, bagus engkau datang menyerahkan nyawa!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang langsung saja menerjang kepada Kok Beng Lama dengan hebat. Agaknya sekali ini dua orang kakek dan nenek itu tidak hanya mengandalkan dua tangan mereka yang ampuh, melainkan langsung mereka menggunakan sebatang tongkat butut untuk menyerang Kok Beng Lama yang mereka tahu amat sakti, bahkan mereka pernah dihajar jatuh bagun oleh pendeta Lama jubah merah ini. Tongkat butut mereka adalah senjata mereka yang amat berbahaya dan begitu kedua orang kakek dan nenek ini menyerang, Kok Beng Lama hanya mengeluarkan suara ketawa satu kali karena dia harus menggerakkan kedua lengannya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya untuk membendung banjir serangan dari dua orang kakek dan nenek yang lihai itu.

   "Enci Mei Lan, lekas bebaskan aku. Aku harus membantu suhu!"

   Lie Seng berteriak dan sekali ini Mei Lan lari menghampiri Lie Seng dan akhirnya, karena ikatan kedua tangan Lie Seng tidak sekuat ikatan di tangan dua orang pemuda itu, dia dapat membebaskan Lie Seng. Bocah ini bersorak dan lalu menyerbu ke depan, ikut mengamuk melawan anak buah Lembah Naga! Akan tetapi, Mei Lan merasa sukar untuk dapat membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng karena kini dari pusat Lembah Naga, agaknya mengikuti munculnya Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, muncul pula sisa anak buah Lembah Naga yang amat banyak sehingga jumlah mereka kini ada seratus orang, dikurangi mereka yang sudah roboh oleh amukan Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong.

   Mei Lan harus membela diri pula karena sudah ada beberapa orang yang mengurungnya dan menyerangnya. Pertandingan itu berlangsung hebat bukan main, terutama sekali antara Kok Beng Lama yang dikeroyok dua oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Beberapa kali pukulan Thian-te Sin-ciang yang menjadi pukulannya paling ampuh, berhasil mengenai tubuh dua orang pengeroyoknya. Pukulan ini pula yang dulu pernah dia pergunakan untuk menghajar dua orang manusia iblis itu. Akan tetapi sekali ini, Kok Beng Lama terkejut bukan main. Setiap kali terkena tamparan Thian-te Sin-ciang, kakek atau nenek itu memang terpelanting dan bergulingan sampai jauh, akan tetapi cepat meloncat bangun kembali dan agaknya sama sekali tidak terluka!

   "Ha-ha-ha, Lama yang hampir mampus! Pukulanmu tidak dapat melukai kami lagi!"

   Pek-hiat Mo-ko berseru sambil tertawa mengejek, lalu menyerang lagi dengan hebatnya. Tentu saja Kok Beng Lama menjadi terkejut dan heran, juga penasaran. Dia mengerahkan semua tenaganya dan kembali menggunakan Thian-te Sin-ciang. Dua orang kakek dan nenek itu berusaha mengelak dan beberapa kali mereka berbasil, akan tetapi akhirnya mereka terkena juga oleh pukulan sakti itu dan keduanya seperti daun kering tertiup angin, terlempar dan terguling-guling. Akan tetapi, kembali mereka bangkit sambil tertawa-tawa tanpa menderita luka sedikitpun.

   Kini mengertilah Kok Beng Lama bahwa dua orang lawannya itu benar-benar telah menciptakan ilmu yang amat mujijat dan tubuh mereka telah terlindung oleh kekebalan yang bahkan tidak dapat ditembus oleh tenaga Thian-te Sin-ciang. Kok Beng Lama yang melihat betapa kini mata kiri Hek-hiat Mo-li telah rusak dan buta, maklum bahwa agaknya hanya di bagian mata saja dari dua orang itu yang tidak kebal, maka dia kini selalu mengarahkan serangannya kepada mata mereka. Akan tetapi, tentu saja dua orang itu sudah melindungi mata mereka dan amat sukarlah bagi Kok Beng Lama kalau hanya menyerang ke arah mata saja sedangkan dua orang lawannya membalas dengan serangan-serangan tongkat mereka yang ampuh ke seluruh bagian tubuhnya. Dan kakek raksasa dari Tibet ini harus mengakui bahwa bagi dia, yang kebal dan berani menerima senjata pusaka lawan hanyalah kedua lengannya,

   Sedangkan tubuh bagian lain tentu saja tidak berani menerima totokan-totokan tongkat yang amat berbahaya itu. Dengan sendirinya, karena kurang sasaran, dia mulai terdesak hebat oleh kakek dan nenek iblis itu. Juga Kun Liong dan Giok Keng terdesak hebat saking banyaknya fihak lawan yang mengeroyok. Bahkan Kun Liong sendiri yang sudah amat tinggi ilmunya, menjadi kewalahan menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai dan pendekar ini makin khawatir menyaksikan keadaan yang berbahaya itu, apalagi setelah dia melihat bahwa di situ terdapat puterinys dan Lie Seng yang bagaimanapun juga harus dapat diselamatkan keluar dari tempat itu. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai yang gegap gempita dan muncullah pasukan yang langsung menyerbu tempat pertempuran dan menyerang anak buah Lembah Naga.

   Kiranya itu adalah pasukan pengawal dari kota raja, dipimpin oleh komandan pasukan pengawal Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Berbaju Emas), yaitu Lee Cin, dan dibantu pula oleh seorang tokoh pengawal tua yang dahulu amat terkenal, yaitu Tio Hok Gwan ayah dari Tio Sun! Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng girang bukan main melihat datangnya pasukan ini, apalagi Tio Sun yang juga melihat ayahnya datang membantu. Dua orang pemuda ini terharu juga ketika melihat bahwa pasukan itu mempunyai seorang penunjuk jalan yang bukan lain adalah gadis cantik yang buntung lengan kirinya sebatas pergelangan tangan, yaitu Liong Si Kwi! Memang sesungguhnya Si Kwi yang menjadi penunjuk jalan. Gadis ini bertemu dengan rombongan pasukan itu di luar Padang Bangkai dan segera dia menemui komandan pasukan itu,

   Menceritakan tentang keadaan Lembah Naga dan tentang bahayanya melalui Padang Bangkai. Maka dia sendiri lalu menjadi penunjuk jalan sehingga semua pasukan dapat melalui Padang Bangkai dengan selamat dan tiba di Lembah Naga sewaktu di situ terjadi pertempuran hebat itu. Andaikata tidak ada penunjuk jalan ini, agaknya akan banyak perajurit yang menjadi korban keganasan tempat-tempat berbahaya di Padang Bangkai. Hek I Siankouw marah sekali melihat bahwa muridnya yang menjadi penunjuk jalan bagi pasukan pemerintah itu, akan tetapi dia tidak dapat melampiaskan kemarahannya karena kini keadaannya menjadi berubah sama sekali. Jumlah pasukan pemerintah itu seratus lima puluh orang dan mereka adalah pesukan Kim-i-wi yang yang terdiri dari perajurit-perajurit pengawal pilihan dan rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi.

   Maka begitu mereka menyerbu, pasukan anak buah Lembah Naga segera terdesak hebat. Kini, dengan bantuan Si Kwi, Mei Lan berhasil membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng, dan dua orang pemuda itu segera terjun ke dalam gelanggang pertempuran, mengamuk dengan hebatnya! Juga Mei Lan tidak tinggal diam, mendampingi Lie Seng mengamuk pula. Hanya Si Kwi yang menjauh dan tidak ikut dalam pertempuran, karena bagaimanapun juga, dia merasa sungkan kepada subonya, dan menjauhkan diri, hanya menonton dengan hati tegang. Munculnya pasukan Kim-i-wi membuat pertandingan antara tokoh-tokoh kedua fihak menjadi seimbang dan makin seru. Kun Liong yang tahu akan kelihaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sudah menerjang dan membantu ayah mertuanya, Kok Beng Lama sehingga kakek dan nenek itu terpecah menjadi dua.

   Kun Liong melawan Hek-hiat Mo-li sedangkan Kok Beng Lama melawan Pek-hiat Mo-ko. Bouw Thaisu dihadapi oleh Giok Keng yang dibantu Kwi Beng, sedangkan Hek I Siankouw berhadapan dengan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan yang dibantu oleh puteranya sendiri, Tio Sun. Sedangkan Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li, mengamuk dikeroyok oleh pasukan Kim-i-wi. Perang kecil antara anak buah Lembah Naga melawan pasukan Kim-i-wi terjadi berat sebelah dan fihak anak buah Lembah Naga mulai berjatuhan. Hanya pertandingan antara para tokoh masih berlangsung seru dan ramai sekali karena keadaan mereka seimbang. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun amat berwibawa dan suara ini menembus semua suara hiruk pikuk pertempuran itu, seolah-olah datang dari angkasa.

   "Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tahan senjata! Para cu-wi sekalian, harap mundur dan biarkan saya menyelesaikan urusan pribadi dengan mereka!"

   Mendengar suara yang penuh wibawa dan halus ini, Kok Beng Lama sudah meloncat mundur dan terdengar suaranya yang mengguntur,

   "Semua mundur, biarkan ketua Cin-ling-pai bicara dengan mereka!"

   Suara Pendekar Sakti Cia Keng Hong tadi ditambah dengan suara Kok Beng Lama ini cukup berpengaruh untuk membuat semua yang bertanding mundur dengan sendirinya, terbagi menjadi dua kelompok. Cia Keng Hong yang sudah berada di situ kini melangkah maju dan berkata dengan suara lantang,

   "Pek-hiat Mo-ko, bukankah engkau dan Hek-hiat Mo-li mengharapkan kedatanganku?"

   Dari fihak Lembah Naga muncul Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, membawa tongkat butut mereka dan memandang kepada pendekar sakti itu dengan sinar mata marah karena kedua orang kakek dan nenek ini memang marah sekali menyaksikan betapa fihaknya menderita banyak kerugian dalam pertempuran tadi.

   "Ketua Cin-ling-pai, engkau mau bicara apa?"

   Bentak Pek-hiat Mo-ko. Cia Keng Hong dengan sekilas pandang saja sudah melihat bahwa fihaknya sebetulnya lebih kuat, apalagi di situ terdapat Kok Beng Lama dan Yap Kun Liong, juga terdapat pasukan Kim-i-wi yang kuat dan banyak jumlahnya. Akan tetapi, dia tidak ingin melihat banyak orang menjadi korban dan terlibat dalam urusan ini, maka dia lalu berkata,

   "Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tadinya, mendengar bahwa kalian telah menahan Siang-bhok-kiam sebagai pusaka Cin-ling-pai, saya menganggap bahwa kalian sengaja hendak menentang dan menantang kami dari fihak Cin-ling-pai. Akan tetepi, kalian kemudian menculik Yap In Hong dari kota raja. Apakah sesungguhnya maksud hati kalian? Kalau hanya untuk urusan Siang-bhok-kiam dan kalian maksudkan untuk menantang kami, tidak perlu kita mengorbankan banyak orang, cukup hal ini diselesaikan di antara kita saja. Oleh karena itu, sebelum pertempuran berlarut-larut, saya datang dan minta agar engkau suka membebaskan Yap In Hong dan tentang Siang-bhok-kiam, mari kita perebutkan dengan adu kepandaian."

   "Hemm, orang she Cia! Memang sesungguhnya kami sudah lama mengharapkan kedatanganmu! Memang kami menahan Siang-bhok-kiam untuk mencoba sampai di mana kelihaian ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi bukan untuk itu saja! Kami menahan nona Yap untuk menentang semua pembantu mendiang The Hoo, musuh besar kami. Karena dia sudah mati, maka biarlah semua bekas pembantu dan sahabatnya mewakilinya untuk menyerahkan nyawa kepada kami!"

   "Mo-ko dan Mo-li!"

   Cia Keng Hong membentak.

   "Caramu amat curang! Kalau kalian menantang mendiang Panglima The Hoo, biarlah saya sekalian yang menjadi wakilnya. Kau bebaskan Yap In Hong dan mari kita selesaikan dengan kepandaian antara kita."

   "Kong-kong! Dua iblis itu juga menahan paman Cia Bun Houw!"

   Tiba-tiba terdengar suara Lie Seng berteriak. Mendengar ini berkerut kening ketua Cin-ling-pai. Sungguh dia belum tahu bahwa puteranya juga tertawan. Kini dia memandang tajam kepada mereka dan bertanya,

   "Benarkah itu?"

   "Benar, dan engkau hanya dapat membebaskan puteramu melalui mayat kami!"

   Kata Hek-hiat Mo-li dan langsung nenek ini menerjang dengan tongkatnya.

   "Bagus, kalau begitu terpaksa hari ini aku melenyapkan kalian!"

   Cia Keng Hong berkata sambil mengelak dan balas menyerang. Maka berlangsunglah petandingan yang amat seru dan mengagumkan antara ketua Cin-ling-pai dan kedua orang kakek dan nenek iblis itu. Cia Keng Hong adalah scorang pendekar sakti yang amat tinggi kepandaiannya. Biarpun usianya sudah kurang lebih enam puluh lima tahun, namun kehidupan yang bersih membuat tubuhnya masih tegap dan kuat, kesehatannya baik sekali sehingga biarpun sudah lama dia tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw,

   Namun gerakan-gerakannya ketika bertanding tidak kelihatan kaku karena dia selalu berlatih diri di puncak Cin-ling-pai. Dengan ilmunya yang amat tinggi, yaitu Ilmu Silat Thai-kek-sin-kun, dia menghadapi tongkat kakek dan nenek itu dan selalu dapat menghindarkan diri dengan mudah, sebaliknya dia telah mendesak dua orang lawannya dengan pukulan-pukulan sakti dari Thai-kek-sin-kun. Akan tetapi, seperti juga dengan Kok Beng Lama, ketika pendekar sakti ini berhasil "memasukkan"

   Pukulannya dan dengan tepat berhasil menghantam mereka, baik Mo-ko maupun Mo-li hanya terpelanting dan bergulingan saja, kemudian meloncat bangun lagi sambil tertawa dan menyerang lebih hebat lagi! Cia Keng Hong menjadi terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, maklumlah dia bahwa dua orang lawannya itu telah memiliki ilmu kekebalan yang mujijat! Biasanya,

   Ilmu kekebalan yang mujijat seperti itu diperoleh dengan cara yang tidak lumrah, dengan ilmu yang mendekati ilmu hitam yang mengerikan dan biasanya hanya dapat dipecahkan kalau orang menguasai rahasianya. Setiap ilmu kekebalan yang didapat secara tidak wajar melalui ilmu hitam pasti ada rahasia kelemahannya, dan tanpa mengetahui akan rahasia kelemahan itu, sukarlah melukai mereka! Pada saat itu, Pek-hiat Mo-ko menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Cia Keng Hong dari samping kanan, sedangkan dari kiri Hek-hiat Mo-li menusukkan ujung tongkat dengan totokan-totokan maut ke arah lambung. Cia Keng Hong cepat menggerakkan kakinya, menggeser kedudukan tubuhnya dan secepat kilat dia menangkis dengan lengannya, bukan menangkis tongkat melainkan langsung menangkis lengan Pek-hiat Mo-ko dengan mendorongkan tubuhnya ke depan.

   "Plakk!"

   Cia Keng Hong terpaksa menggunakan ilmunya yang paling dirahasiakan dan yang jarang dikeluarkan karena limu ini memang amat mujijat, yaitu Thi-khi-i-beng! Seperti kita ketahui, di dunia pada waktu itu hanya ada dua orang saja yang menguasai Thi-khi-i-beng, yaitu pertama Cia Keng Hong dan kedua adalah Yap Kun Liong,

   Karena, hanya kepada Yap Kun Liong saja ketua Cin-ling-pai ini menurunkan ilmu mujijat itu. Bahkan
(Lanjut ke Jilid 43)
Dewi Maut (Seri ke 03 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 43
dua orang anaknya, Giok Keng dan Bun Houw, tidak diwarisi ilmu itu. Tentu saja dibandingkan dengan Thi-khi-i-beng yang dimiliki Kun Liong, tenaga Cia Keng Hong jauh lebih kuat. Maka begitu kedua lengan bertemu, Pek-hiat Mo-ko terkejut bukan main karena lengannya melekat dan ada tenaga sedot yang luar biasa dari lawan, yang menyedot tenaga sin-kangnya. Akan tetapi, kakek bermuka putih ini segera menghentikan pengerahan tenaga sin-kangnya dan sebagai gantinya, dia mengeluarkan ilmu kebalnya dan... daya sedot dan tempel itu lenyaplah! Cia Keng Hong terkejut bukan main! Tadinya dia tahu bahwa di dunia hanya ada tiga orang tokoh yang mampu menghadapi Thi-khi-i-beng, bahkan mampu membuyarkan tenaga Thi-khi-i-beng.

   Pertama adalah mendiang Tiang Pek Hosiang yang telah meninggal dunia, kedua adalah Bun Hoat Tosu, dan ketiga adalah Kok Beng Lama. Siapa tahu, kini agaknya kakek dan nenek inipun menguasai ilmu kekebalan yang dahsyat membuyarkan tenaga Thi-khi-i-beng pula! Tidak ada seorangpun yang berani maju membantu Cia Ktmg Hong karena dalam hal pertandingan mengadu ilmu seperti itu, bantuan merupakan penghinaan bagi yang dibantu. Akan tetapi Kok Beng Lama yang sejak tadi menonton dengan penuh perhatian, maklum bahwa ilmu kekebalan dua orang kakek dan nenek iblis itu agaknya juga membuat ketua Cin-ling-pai yang lihai itu kewalahan. Dia sendiri tadi sudah merasakan kehebatan kakek dan nenek iblis itu, maka dia dapat menduga bahwa tanpa dibantu, agaknya ketua Cin-ling-pai itu mungkin sekali akan kalah!

   "Ha-ha-ha!"

   Kok Beng Lama tertawa.

   "Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li agaknya bukan hanya mengandalkan ilmu kekebalan dari iblis itu, akan tetapi juga mengandalkan kecurangan dan sifat pengecut mereka. Mereka maju berdua menghadapi seorang lawan, sungguh kakek dan nenek tua bangka hampir mampus yang tidak tahu malu sama sekali!"

   Suara raksasa dari Tibet ini memang keras dan nyaring sekali, terdengar sampai jauh dan memasuki telinga kakek dan nenek itu seperti ratusan jarum yang menusuk langsung ke jantung.

   Pek-hiat Mo-ko yang cerdik maklum bahwa pendeta Lama itu sengaja hendak membakar hati mereka, maka dia menulikan telinga dan diam saja tidak menjawab, melainkan mendesak Cia Keng Hong dengan tongkatnya. Akan tetapi tidak demikian dengan Hek-hiat Mo-li. Nenek ini merasa bahwa ilmu kekebalannya cukup dapat diandalkan dan sudah dibuktikan ketika dia menghadapi lawan-lawan tangguh seperti Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong. Memang, dalam hal ilmu silat, agaknya dia dan Pek-hiat Mo-ko tidak dapat menandingi ketua Cin-ling-pai atau pendeta Tibet itu, akan tetapi dengan perlindungan ilmu kekebalan mereka, musuh-musuh itu dapat berbuat apakah? Hal ini membesarkan hatinya dan mendengar ejekan dan penghinaan Kok Beng Lama, dia tidak dapat menahan kemarahannya.

   "Pendeta gundul! Siapa takut padamu? Majulah kalau sudah bosan hidup!"

   Tantangnya.

   "Ha-ha-ha! Ketua Cin-ling-pai, aku sama sekali bukan membantumu, akan tetapi aku malu karena aku ditantang oleh nenek gila itu, ha-ha."

   
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kok Beng Lama sudah melangkah lebar dan memasuki gelanggang pertempuran.

   Tentu saja Cia Keng Hong tidak bisa melarang dan biarpun dia merasa kurang senang karena masuknya Kok Beng Lama seolah-olah menurunkan kehormatannya, seolah-olah dia telah kewalahan, namun sesungguhnya memang harus diakui bahwa tanpa dibantu oleh Kok Beng Lama, agaknya tidak mungkin dia dapat mengalahkan kakek dan nenek yang kebal dan tidak dapat terluka ini. Pada saat itu, terdengarlah suara keras disusul suara bangunan roboh dan debu mengebul tinggi! Suara hiruk-pikuk ini datangnya dari perkampungan Lembah Naga dan semua orang menengok dan otomatis pertempuran itupun terhenti. Dan di antara debu-debu yang mengebul tinggi, muncullah dua orang laki-laki dan wanita. Mereka ini ternyata adalah Cia Bun Houw dan Yap In Hong yang datang sambil bergandengan tangan! Wajah mereka berseri-seri dan agak kemerahan, dua pasang mata itu mencorong aneh.

   "Omitohud...! Mereka berhasil menyatukan Thian-te Sin-ciang sampai di puncaknya!"

   Seru Kok Beng Lama dengan kagum dan juga heran. Dari pandang mata dua orang muda itu pendeta Lama ini tentu saja dapat mengenal pancaran Ilmu Thian-te Sin-ciang.

   Dan memang benarlah apa yang disangkanya itu. Seperti telah kita ketahui, Cia Bun Houw dan Yap In Hong setelah terbebas dari malepetaka yang akan mencemarkan nama dan kehormatan mereka, lolos dari racun pembangkit nafsu berahi di dalam kamar tahanan, Cia Bun Houw lalu menyalurkan tenaga Thian-te Sin-ciang, melatih dan memperkuat tenaga yang telah dimiliki In Hong. Ketika diam-diam Yap Mei Lan datang ke kamar tahanan, mereka berdua masih melatih diri dan menghimpun tenaga Thian-te Sin-ciang dengan duduk berhadapan dalam keadaan bersila dan kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan menempel, Mei Lan dapat menyelinap ke tempat tahanan karena semua anak buah Lembah Naga sudah keluar dan siap menghadapi musuh yang datang menyerbu.

   Karena Mei Lan tidak berhasil menyadarkan mereka dari luar pintu kamar tahanan, maka terpaksa Mei Lan lalu meninggalkan sehelai daun yang sudah dia tulisi dan meninggalkan tempat itu. Ketika itu, sudah sehari semalam Bun Houw dan In Hong menghimpun tenaga dan akhirnya mereka merasa bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang telah mencapai tingkat yang amat tinggi, terasa sampai ke ubun-ubun kepala mereka. Maka, mereka menghentikan latihan itu dan begitu mereka sadar, mereka mendengar suara ribut-ribut di luar kamar tahanan. Suara itu terdengar agak jauh, namun kini pendengaran mereka ternyata menjadi jauh lebih tajam sehingga seolah-olah mereka mendengar semua yang terjadi di luar itu seperti di dekat mereka saja, bahkan Bun Houw mengenal hawa pukulan ayahnya yang bertanding melawan dua orang kakek dan nenek iblis itu.

   "Eh, lihat ini...!"

   Kata In Hong sambil memungut daun yang berada di kamar itu. Kiranya itulah daun yang ditinggalkan oleh Mei Lan dengan menyelipkannya di antara celah di bawah pintu kamar tahanan yang kokoh kuat itu. Mereka cepat membaca tulisan di atas daun yang dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa, namun cukup jelas untuk dibaca.

   "Kelemahan Hek Pek berada di antara lutut ke bawah."

   Hanya itulah kata-kata yang tercoret di atas daun, akan tetapi sudah cukup bagi Bun Houw dan In Hong.

   "Entah siapa yang menulis ini dan entah benar ataukah hanya bohong, akan tetapi kita harus keluar dari sini sekarang juga, Hong-moi!"

   Hek I Siankouw juga menghadapi lawan yang terlalu berat baginya, yaitu pendekar Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Biarpun dia telah memainkan pedang hitamnya dengan sekuat tenaga, juga kadang-kadang dia mempersiapkan Hek-tok-ting (Paku Beracun Hitam) yang berbahaya itu, namun dia tidak banyak berdaya menghadapi ketua Cin-ling-pai ini.

   Padahal pendekar sakti ini sama sekali tidak mempergunakan senjata, hanya menggerakkan kedua tangan dan kaki untuk menghadapi nenek berpakaian hitam ini. Pedang hitam di tangan Hek I Siankouw mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar-nyambar ganas, namun semua sambaran itu dapat dielakkan oleh Cia Keng Hong dengan mudah, dan kalau sekali-kali ada sinar hitam paku beracun menyambar, paku itu tahu-tahu sudah dapat dijepit oleh jari-jari tangan ketua Cin-ling-pai itu dan dikembalikan kepada pemiliknya, membuat Hek I Siankouw terkejut dan hampir termakan oleh senjata rahasianya sendiri sehingga setelah tiga kali selalu berakibat membahayakan dirinya sendiri, dia tidak berani lagi menggunakan paku-paku beracun dan hanya mainkan pedang hitamnya dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

   Ang-bin Ciu-kwi juga menghadapi lawan yang terlalu tangguh bagiriya, yaitu Yap Kun Liong, dan isterinya, Coa-tok Sian-li diserang dengan hebat oleh Cia Giok Keng yang dibantu oleh Tio Sun. Tentu saja suami isteri ini menjadi repot sekali dan hanya mampu menangkis dan mempertahankan diri saja tanpa dapat membalas sedikitpun juga. Sementara itu, Tio Hok Gwan, komandan pasukan, dibantu oleh Souw Kwi Beng dan semua anggauta pasukan, bahkan nampak pula Lie Seng mengamuk bahu membahu dengan Yap Mei Lan, menghadapi para anggauta Lembah Naga yang berkelahi dengan nekat dan mati-matian sungguhpun mereka terdesak hebat dan satu demi satu mereka roboh oleh fihak lawan yang lebih banyak dan lebih kuat itu. Di antara para tokoh Lembah Naga, yang lebih dulu roboh adalah Bouw Thaisu.

   Kedua ujung lengan bajunya dapat ditangkap oleh cengkeraman tangan Kok Beng Lama yang tertawa bergelak dan ketika Bouw Thaisu mengerahkan tenaganya sehingga ujung lengan bajunya terobek dan kedua telapak tangannya menghantam dada Kok Beng Lama, pendeta raksasa ini sambil tertawa juga mendorongkan kedua telapak tangannya. Dua pasang telapak tangan yang penuh dengan tenaga sin-kang itu bertemu di udara. Hebat bukan main getaran hawa yang terasa oleh semua orang yang sedang bertempur. Bumi seolah-olah guncang dibuatnya. Tubuh Bouw Thaisu tergetar hebat seperti orang sakit demam, kemudian dia terhuyung ke belakang, kedua tangan memegang dadanya, dari mulutnya keluar darah segar dan dia terpelanting dan roboh miring di atas tanah dengan nyawa putus! Kok Beng Lama tertawa bergelak lalu berkata,

   "Omitohud, kedua tanganku kembali berlepotan darah...!"

   Tidak lama setelah Bouw Thaisu roboh, menyusul Hek I Siankouw yang roboh dengan pedang hitam menembus dadanya sendiri! Ketika dia menyerang dengan jurus nekat, yaitu seluruh tubuh mendoyong dan pedangnya menusuk ke arah dada Cia Keng Hong, pendekar sakti ini terkejut. Serangan itu hebat bukan main dan penuh dengan tenaga sakti karena nenek itu sudah nekat, mengerahkan seluruh tenaganya dan didorong oleh loncatan tubuhnya. Cia Keng Hong maklum bahwa kalau mengelak, dia menghadapi bahaya, maka dia lalu mengerahkan tenaga sakti di kedua tangannya lalu dia menangkis dari samping sambil mengeluar kan lengkingan keras.

   Itulah sebuah jurus dari Thai-kek-sin-kun. Tangkisan ini mengandung kekuatan yang demikian dahsyatnya sehingga ketika mengenai pedang maka pedang itu membalik dengan cepatnya dan menusuk dada Hek I Siankouw sendiri sampai tembus di punggung! Tentu saja nenek itu terjengkang roboh dan tewas seketika. Cia Keng Hong berdiri terbelalak memandang. Dia tidak sengaja membunuh nenek itu dan dia menarik napas panjang, merasa ngeri dan menyesal mengapa dalam usia tuanya dia masih harus membunuh orang sengeri itu keadaanya. Ang-bin Ciu-kwi yang kasar itupun roboh tewas oleh tamparan tangan kiri Kun Liong, sedangkan isterinyapun roboh dan tewas oleh pedang di tangan Cia Giok Keng setelah hampir saja wanita perkasa ini menjadi korban jarum racun ular yang dilepas oleh Coa-tok Sian-li.

   Sedangkan pasukan Lembah Naga tinggal sedikit lagi yang masih bertahan, namun mereka terdesak hebat dan tak lama kemudian, orang terakhir dari merekapun roboh. Memang hebat sekali pasukan yang diberikan oleh Raja Sabutai kepada gurunya itu, karena pasukan itu merupakan pasukan berani mati yang melawan musuh sampai orang terakhir roboh dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang melarikan diri sungguhpun mereka sudah dari tadi tahu bahwa fihak mereka sudah pasti kalah. Kini tinggal kakek dan nenek iblis itu saja yang ternyata masih sanggup bertahan melawan Bun Houw dan In Hong! Bukan main hebatnya pertandingan antara mereka ini dan biarpun In Hong dan Bun Houw sudah berhasil menguasai Ilmu Thian-te Sin-ciang secara sempurna, namun ternyata tidak mudah bagi mereka untuk mengalahkan dua orang tua iblis itu.

   Kekebalan tubuh mereka memang menggiriskan sekali dan biarpun dua orang muda itu sudah memperoleh petunjuk melalui Mei Lan tentang kelemahan mereka dan sudah terus-menerus menujukan serangan mereka ke arah bawah lutut kaki, namun mereka belum juga berhasil. Selain kedua orang kakek dan nenek itu terus melindungi kaki mereka, juga dua orang muda itu tidak tahu dengan pasti di mana letak kelemahan itu dan biarpun mereka telah beberapa kali berhasil menghantam betis, tulang kering dan mata kaki, namun dua orang itu hanya terlempar dan bergulingan, namun ternyata bukan di situlah letak kelemahan itu karena mereka masih mampu melawan makin dahsyat dan nekat! Memang kakek dan nenek iblis itu telah nekat ketika mereka melihat bahwa semua teman mereka telah roboh!

   Cia Giok Keng dan Tio Sun sudah bergerak maju hendak membantu, akan tetapi Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong mengangkat tangan melarang mereka atau siapapun juga membantu! Mereka ini melihat betapa Bun Houw dan In Hong dapat menandingi kakek dan nenek itu dan agaknya dua orang muda itu tahu akan kelemahan lawan yang jelas dapat diduga tentu berada di kaki mereka. Buktinya mereka selalu melindungi kaki mereka dan kelihatan terkejut dan gugup ketika kaki mereka terus-menerus diserang. Cia Keng Hong tanpa disengaja berdiri di sebelah Kok Beng Lama. Mereka saling pandang dan melalui pandang mata mereka, kedua orang sakti ini mengerti akan keadaan yang sedang bertanding. Mereka tadipun sudah mengukur tenaga dengan kakek dan nenek iblis itu dan mendapatkan kenyataan bahwa mereka berdua itu memang memiliki kekebalan yang mujijat.

   "Hemm, di kaki sebelah mana agaknya kelemahan mereka?"

   Kok Beng Lama mengomel seorang diri, suaranya lirih akan tetapi terdengar oleh Cia Keng Hong.

   "Di mana kalau menurut dugaan locianpwe?"

   Tanya Cia Keng Hong sambil menoleh. Keduanya saling pandang dan keduanya berpikir keras, menggali ingatan mereka tentang pengetahuan mengenai ilmu-ilmu yang mujijat dan aneh.

   "Dan dugaan Taihiap?"

   Tanya pula Kok Beng Lama. Kedua orang sakti itu lalu menggunakan ujung sepatu mereka untuk menggores-gores di atas tanah dan keduanya lalu saling membaca tulisan kaki mereka. Ternyata keduanya berbunyi sama, yaitu.

   "telapak kaki". Mereka tertawa dan mengangguk-angguk.

   "Locianpwe harap suka memberi tahu kepada In Hong, saya akan memberi tahu kepada Bun Houw,"

   Kata Cia Keng Hong. Kok Beng Lama mengangguk dan kedua orang sakti ini lalu mengerahkan ilmu mereka yang hebat, yaitu Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) dengan kekuatan khi-kang mereka. Bibir mereka bergerak-gerak dan tidak ada orang lain yang mendengar suara mereka kecuali orang yang ditujunya! Bun Houw mendengar bisikan suara ayahnya dan In Hong juga mendengar bisikan suara Kok Beng Lama yang parau.

   "Kelemahan mereka itu mungkin sekali terletak di telapak kaki mereka."

   Tentu saja kedua orang muda itu merasa girang mendengar ini.

   Sudah sejak tadi mereka menyerang ke arah kaki tanpa hasil dan mereka bahkan mulai meragukan kebenaran pemberitahuan yang ditulis di atas daun itu. Melihat kenyataan betapa kakek dan nenek itu mati-matian melindungi kedua kaki mereka, agaknya pemberitahuan itu memang benar, akan tetapi mengapa semua serangan mereka yang berhasil mengenai bagian kaki tidak merobohkan mereka? Mengapa kedua orang sakti, Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama dapat menduga bahwa mungkin sekah kelemahan kakek dan nenek itu berada di telapak kaki? Mereka teringat akan ilmu kekebalan mujijat kaum hitam atau golongen sesat, yang berbeda dengan latihan limu kekebalan kaum putih yang melatihnya dengan dasar sin-kang yang kuat. Golongan sesat melatih ilmu kekebalan dengan bermacam cara, dicampur dengan ilmu hitam, ilmu sihir dan dengan ramuan-ramuan racun yang berbahaya.

   Mereka teringat bahwa latihan ilmu kekebalan yang menghasilkan kekebalan seperti yang dimiliki kakek dan nenek itu mungkin kalau tubuh mereka itu sudah seperti mati sehingga pukulan-pukulan sakti tidak lagi mempengaruhi tubuh mereka, dan tubuh yang seperti mati itu hanya dapat dicapai dengan melumurinya dengan racun-racun yang luar biasa. Biasanya, bagian yang dilumuri racun itu itu tidak boleh tertutup dan harus dibiarkan terkena angin, sinar matahari bahkan sinar bulan sehingga ada kemungkinan mereka bertapa sampai berbulan-bulan dengan tubuh dilumuri racun-racun setiap saat. Akan tetapi, tidak mungkin orang dapat melumuri racun seluruh bagian tubuhnya, misalnya andaikata dia rebah terlentang, tentu punggungnya terlewat, kalau duduk tentu pantatnya, dan kalau sambil berdiri telapak kakinya.

   Kini, melihat betapa punggung, pantat dan seluruh begian tubuh kakek dan nenek itu benar-benar kebal, agaknya satu-satunya tempat yang lemah tentu di telapak kaki dan sangat boleh jadi ketika bertapa sambil melumuri tubuh dengan racun, kakek dan nenek itu menyiksa diri dengan berdiri terus selama entah berapa hari atau berapa bulan! Jadi, kalau seluruh anggauta tubuh itu seolah-olah sudah mati, hanya kedua telapak kaki itu yang hidup! Tentu saja, selain bagian lemah ini, sepasang mata merekapun merupakan bagian lemah, akan tetapi mereka selalu melindungi kedua mata mereka, apalagi setelah mata kiri Hek-hiat Mo-li menjadi buta oleh jarum rahasia dari arca Kaisar di istana dahulu itu ketika dia dan Pek-hiat Mo-ko menyerbu istana.

   Biarpun Bun Houw dan In Hong menjadi girang sekali mendengur bisikan dua orang sakti itu, namun tidaklah mudah bagi mereka untuk menyerang bagian lemah itu. Bagaimana dapat menyerang telapak kaki lawan? Telapak kaki selalu tertutup atau terlindung karena dipakai untuk menginjak tanah! Mana mungkin bisa diserang? Kelihatanpun tidak! Dua orang muda perkasa itu menjadi bingung. Dengan ilmunya yang tinggi, lebih tinggi dari kepandaian In Hong, Bun Houw tentu saja dapat mengatasi Pek-hiat Mo-ko dengan baik. Pemuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dari ayahnya dan dari Kok Beng Lama, ilmu silatnya bermacam-macam dan kesemuanya merupakan ilmu-ilmu silat pilihan yang bertingkat tinggi.

   Kalau saja Pek-hiat Mo-ko tidak mengandalkan limu kekebalannya yang mujijat, tentu sudah sejak tadi dia roboh oleh pemuda perkasa ini. Akan tetapi, kekebalan yang amat hebat itu melindunginya sehingga biarpun dia sudah belasan kali terpelanting oleh pukulan yang amat hebat, pukulan yang akan menewaskan lawan-lawan yang bahkan lebih lihai sekalipun, namun tidak membuat Pek-hiat Mo-ko terluka dan kakek ini dapat meloncat bangun kembali sambil tertawa mengejek dan menyerang dengan dahsyatnya yang juga dapat dielakkan atau ditangkis oleh Bun Houw dengan mudahnya. Baik dalam hat ilmu silat maupun dalam hal tenaga sin-kang, pemuda ini lebih tinggi tingkatnya daripada lawannya. Akan tetapi kekebalan itu membuat dia tidak berdaya. In Hong juga bukan seorang gadis sembarangan.

   Dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang amat hebat dari gurunya, pewaris pusaka milik mendiang Panglima Sakti The Hoo. Biarpun tingkatnya belum dapat dibandingkan dengan tingkat Bun Houw, namun ilmu-ilmu silat yang murni dan bernilai tinggi itu membuat dia cukup kuat untuk mengimbangi kepandaian nenek Hek-hiat Mo-li yang lihai. Dia dengan menguasai Thian-te Sin-ciang yang sudah menjadi sempurna karena dilatih secara bergabung dengan Bun Houw, maka boleh dibilang gadis ini memiliki tenaga yang lebih kuat daripada si nenek iblis. Namun, karena diapun tidak berdaya menghadapi kekebalan nenek itu, keadannya menjadi berimbang, bahkan kadang-kadang dia seperti terdesak oleh Hek-hiat Mo-li yang menyerang tanpa memperdulikan tubuhnya sendiri yang dilindungi oleh kekebalan sehingga kadang-kadang In Hong menjadi repot juga dan melindungi diri dengan bergerak mundur

   Kini mereka telah mendengar bisikan dua orang sakti itu, akan tetapi tetap saja mereka tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyerang telapak kaki lawan! In Hong terus melindungi dirinya dari serangkaian serangan Hek-hiat Mo-li yang hanya bermata satu itu sambil memutar otak mencari akal. Untuk melindungi dirinya, ilmu silatnya cukup tinggi dan tenaganyapun cukup besar sehingga dia tidak usah khawatir akan celaka oleh serangan-serangan dahsyat itu yang dapat dielakkan atau ditangkisnya secara pasti dan tidak begitu sukar, sungguhpun tentu saja dia menjadi terdesak karenanya. Sementara itu, Bun Houw sudah memikirkan akal untuk merobohkan lawan, atau setidaknya untuk dapat menyerang telapak kaki lawan yang diharapkannya akan merobohkannya. Dia tahu bahwa memaksa lawan memperlihatkan telapak kakinya tentu saja tidak mungkin,

   Maka dia harus menggunakan akal dan dia pura-pura tidak menduga bahwa kelemahan itu berada di telapak kaki lawan itu. Dia harus dapat melakukan pertempuran jarak dekat, pikirnya. Tadi dia menganggap tongkat kakek bermuka putih itu tidak berbahaya, bahkan dia membiarkan kakek itu menghadapinya dengan senjata tongkat itu karena dia hendak membiarkan kakek itu lengah karena merasa lebih untung keadaannya yang bersenjata melawan dia yang bertangan kosong dan dia hendak menggunakan kelengahan itu untuk menyerang ke arah kaki. Akan tetapi setelah dia mendengar bisikan Cia Keng Hong tadi, dia percaya penuh akan kelihaian dan ketajaman mata ayahnya, maka untuk dapat menyerang telapak kaki dia harus lebih dulu menyingkirkan tongkat lawan agar mereka dapat bertempur dalam jarak yang lebih berdekatan.

   Ketika tongkat itu menyambar dengan tusukan ganas ke arah tenggorokan, Bun Houw sengaja memperlambat gerakannya sehingga tongkat itu sudah dekat sekali dengan lehernya. Tiba-tiba dia miringkan tubuhnya membiarkan tongkat lewat dan anginnya sudah terasa oleh kulit lehernya lalu tiba-tiba saja dia menyerang kakek itu dengan jari-jari tangan terbuka ke arah matanya. Cepat bukan main serangannya itu. Tentu saja selain bagian tubuh yang dirahasiakannya, sepasang mata sama sekali tidak terlindung oleh kekebalan. Dia terkejut dan cepat menarik mundur tubuhnya begian atas sedangkan tangan kirinya menangkis dari samping. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa serangan itu tidak dilanjutkan oleh lawan, dan kini tongkatnya yang kena ditangkap oleh tangan kanan pemuda yang lihai bukan main itu.

   

Petualang Asmara Eps 1 Petualang Asmara Eps 45 Petualang Asmara Eps 35

Cari Blog Ini