Pedang Kayu Harum 18
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
"Siancai.. siancai.. siancai...!"
Terdengar Kiang Tojin dan para tosu berdoa sambil menundukkan kepala.
"Cia Keng Hong, untuk kesekian kalinya pinto percaya akan segala keteranganmu ini. Bangkitlah dan katakanlah apa yang kau maksudkan dengan menyampaikan pesan Couwsu kami kepada pinto tadi."
Keng Hong bangkit berdiri dan mengeluarkan kitab kuno peninggalan Thai Kek Couwsu, dipegangnya dengan suara lantang.
"Saya mendapatkan kitab pusaka peninggalan Thai Kek Couwsu ini di atas meja dekat rangka Thai Kek Couwsu dan karena di situ terdapat pesan agar kitab pusaka ini diserahkan kepada calon ketua yang baik dari Kun-lun-pai, maka saya anggap bahwa Kiang Tojin seoranglah yang berhak menerimanya!"
"Bocah jahat, berani engkau mengacau Kun-lun-pai? Serahkan kitab itu kepada pinto!"
Teriak Sian Ti Tojin dan tubuh ketua baru Kun-lun-pai ini meloncat naik ke atas genteng dengan cepat sekali dan berada di atas kepala Keng Hong, kemudian tubuh itu membalik dan menukik membuat salto, tongkatnya ke bawah dan meluncur dalam penyerangannya, menusuk ubun-ubun Keng Hong, sedangkan tangan kirinya meraih ke depan merampas kitab. Melihat betapa sutenya menggunakan jurus maut dengan ilmu tongkatnya ini, Kiang Tojin berseru terkejut,
"Sute..!"
"Aha, Sian Ti Tojin, masa sebagai ketua Kun-lun-pai, jurusmu Hek-liong-lo-hai hanya seperti ini? Jauh kurang sempurna..!"
Keng Hong berkata cepat ketika menyaksikan gerakan serangan ketua Kun-lun-pai itu. Ia tidak mengelak, malah merendahkan tubuhnya sampai berjongkok dan menanti sampai tongkat itu dekat di atas ubun-ubunnya. Baru dia cepat-cepat miringkan pundak dan kepala, secepat kilat tangan kirinya menyambar ujung tongkat, dibetot terus ke bawah lalu dikempit sedangkan kaki kanannya secara tiba-tiba menendang perut Sian Ti Tojin! Kakek ini terkejut, mempertahankan tongkatnya berarti perutnya akan tertendang dan dia mengenal jurus yang lihai ini dan tahu pula bahwa pemuda ini memiliki sinkang yang luar biasa sekali. Menurut peraturan, tongkat pegangan ketua yang merupakan "tongkat komando"
Sama harganya dengan nyawa si ketua, sama sekali tidak boleh terampas lawan.
Tentu saja Sian Ti tojin sebagai ketua baru Kun-lun-pai, juga amat sayang kepada tongkatnya itu, akan tetapi ternyata menghadapi bahaya maut, tosu ini lebih sayang nyawanya daripada tongkatnya. Hal ini terbukti ketika dia melepaskan tongkatnya untuk menyelamatkan diri dengan meloncat ke belakang. Akan tetapi gerakannya kurang cepat dan ujung kaki Keng Hong masih saja menendang paha Sian Ti Tojin sehingga kakek ini berteriak nyaring dan tubuhnya terlempar ke bawah genteng. Untung kepandaiannya cukup tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting. Pada saat yang hampir bersamaan tadi, Lian Ci Tojin juga melayang naik sambil membawa pedangnya yang sudah dia cabut dari atas tanah. Ia pun menggunakan pedang itu menyerang Keng Hong dengan bacokan dahsyat, tepat pada saat Keng Hong habis menendang roboh Sian Ti Tojin.
"Ngo-sute (adik kelima), sungguh keterlaluan engkau!"
Kiang Tojin berkata dan sebelum Keng Hong bergerak menyambut serangan Lian Ci Tojin, Kiang Tojin sudah mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu dan menyambut sambaran pedang itu.
"Cring-tranggggg..! Auhhh!"
Tubuh Lian Ci Tojin juga terlempar ke bawah gentang, pedangnya terlepas dari pegangan ketika bertemu dua kali dengan baja belenggu dan dia roboh oleh tendangan Kiang Tojin yang gerakannya sama dengan gerakan Keng Hong merobohkan Sian Ti Tojin tadi!
"Cia Keng Hong, bagaimana engkau dapat mengenal Hek-liong-lo-hai tadi dan dapat mainkan jurus Hui-eng-coan-in (Garuda Terbang menerjang Awan) tadi? Kedua jurus itu adalah jurus-jurus simpanan tingkat tinggi dari Kun-lun-pai!"
Tegur Kiang Tojin, lebih merasa kagum akan kesempurnaan gerakan Keng Hong yang bahkan melebihi gerakannya sendiri itu daripada marah dan penasaran. Keng Hong kembali menyodorkan kitab pusaka itu dengan kedua tangannya kepada Kiang Tojin.
"Maaf, Totiang, saya bukan sengaja mencuri dan tidak akan saya berani membuka rahasia ilmu-ilmu itu kepada orang lain. Saya mendapatkannya dari sini, dan terimalah pusaka peninggalan Thai Kek Couwsu ini! Dan karena Sian To Tojin telah begitu baik hati untuk menyerahkan tongkat ketua kepada Totiang, sebaiknya Totiang menerimanya sekalian!"
Kiang Tojin tertegun, seperti orang terpesona dia memandang ke arah kitab, suaranya gemetar dan kedua kakinya menggigil ketika dia bertanya lirih.
"Keng Hong, bersumpahlah. Benarkah kitab itu peninggalan Couwsu?"
"Saya bersumpah demi kehormatan saya, Totiang."
Mendengar ini, Kiang Tojin menerima kitab dengan kedua tangan, membukanya dan membaca huruf-huruf indah di halaman pertama:
THAI-KEK-SIN-KUN INI DICIPTA UNTUK CALON-CALON KETUA KUN-LUN-PAI.
Wajah Kiang Tojin makin berseri ketika dia membuka-buka kitab itu, kemudian mengangkat tinggi-tinggi kitab itu di atas kepalanya, menghadapi semua tosu di bawah genteng dan berteriak,
"Para murid Kun-lun-pai! Kitab ini benar-benar peninggalan Couwsu kita! Marilah kita menghaturkan terima kasih kepada Couwsu!"
Kiang Tojin, menjatuhkan diri berlutut dan semua tosu di bawah genteng pun lalu menjatuhkan diri berlutut di atas tanah!
"Teecu sekalian menghaturkan syukur dan terima kasih atas budi kecintaan Couwsu yang telah meninggalkan kitab teecu sekalian. Teecu bersumpah untuk menjunjung tinggi peninggalan Couwsu dan mencamkan semua ajaran Couwsu!"
Wajah Kiang Tojin berseri-seri dan matanya bersinar ketika dia bangkit berdiri lagi. Dengan lantang dia berkata,
"Engkau benar, Keng Hong. Kesulitan-kesulitan dan urusan-urusan pribadi harus disingkirkan dan dikesampingkan jika menghadapi urusan perkumpulan! Kun-lun-pai perlu dibangun, perlu diperkuat dan karena couwsu berkenan meninggalkan pusaka ini kepada pinto, maka pinto berhak menjadi ketua! Juga tongkat ketua, berkat ketangkasanmu, telah dapat dirampas kembali. Siapakah di antara para saudara yang tidak setuju kalau pinto menjadi ketua Kun-lun-pai?"
Tak seorang pun di antara para tosu berani mengeluarkan suara, bahkan empat orang tosu yang menjadi adik-adik seperguruan Kiang Tojin, memandang kepada kakek seperguruan tertua itu dengan sinar mata penuh harapan. Kemudian semua tosu mengerling ke arah Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin yang berdiri dengan muka pucat.
"Cia Keng Hong, selama hidup pinto takkan melupakan perbuatanmu ini dan sekali waktu pinto akan membalas dendam ini!"
Bentak Lian Ci Tojin sambil mengertakkan giginya.
"Cia Keng Hong, engkau telah berani merampas tongkat ketua dan menggunakan kekerasan untuk mencampuri urusan Kun-lun-pai. Selamanya Kun-lun-pai akan mengutukmu dan menganggapmu sebagai musuh besar!"
Kata pula Sian Ti Tojin. Keng Hong tertawa,
"Pemutarbalikan fakta merupakan fitnah keji, Ji-wi Totiang. Aku tidak mencampuri urusan Kun-lun-pai dan tentang tongkat, siapakah yang bergerak lebih dulu melakukan serangan ? Aku hanya membela diri dan salahmu sendiri mengapa sebagai ketua kurang sempurna ilmumu, dan mengapa pula kau meninggalkan tongkatmu ke tanganku. Bukankah seorang ketua Kun-lun-pai harus menjaga tongkatnya seperti menjaga nyawa sendiri? Sekarang terserah kepadamu. Lawanlah Kiang Tojin kalau memang kau merasa lebih berhak dan lebih pandai. Adapun aku.., hemm, aku hanya menjadi saksi dan aku yang akan turun tangan menghadapinya kalau kau minta bantuan tokoh-tokoh kaum sesat!" Melihat betapa dua orang tosu itu diam saja, hanya memandang kepada Keng Hong dengan pandang mata melotot penuh kebencian, Kiang Tojin lalu menggerakkan kedua tangannya dan terdengarlah suara berkerotokan ketika belenggu pergelangan tangannya patah-patah.
"Ji-sute dan Ngo-sute, kalian juga mengerti sendiri mengapa pinto mengalah. Pertama untuk memenuhi janji bahwa siapa yang kalah harus memberikan kedudukan ketua. Pinto telah kalah oleh Ang-kiam Bu-tek yang mewakilimu, dan tongkat ketua telah dapat dirampas dari tangan pinto. Hanya karena pinto tidak menghendaki perpecahan di Kun-lun-pai sesuai dengan pesan suhu, maka pinto mengalah, suka diperlakukan sebagai orang hukuman. Andaikata pinto tidak mau menerima dan melawan setelah Ang-kiam Bu-tek pergi tentu kalian berdua tidak akan mampu melawan dan mengalahkan pinto. Kini, pinto sadar bahwa sesungguhnya kalian telah menyelewengkan Kun-lun-pai dan bahwa sikap mengalah dari pinto tidak benar, bahkan merupakan pengkhianatan terhadap Kun-lun-pai, terhadap suhu yang telah menaruh kepercayaan kepada pinto. Dahulu tongkat ini dirampas dari tangan pinto oleh Ang-kiam Bu-tek, kini kembali ke tangan pinto atas bantuan Cia Keng Hong. Hal ini sudah sewajarnya maka pinto suka menerima kembali ini. Apalagi setelah pinto harus meminpin para anak murid Kun-lun-pai seperti yang dikehendaki pendirinya yaitu Couwsu kita!"
"Kiang Tojin, kelak kita akan saling berjumpa kembali!"
Terdengar suara Sian Ti Tojin penuh kemarahan dan dendam.
"Mulai detik ini, aku bukan lagi tosu Kun-lun-pai!"
"Sute...!!"
Kiang Tojin berseru, akan tetapi Sian Ti Tojin sudah menoleh kepada Lian Ci Tojin dan berkata singkat.
"Hayo kita pergi!"
Dua orang tosu itu sudah meloncat pergi. Keng hong bergerak hendak mengejar sambil berkata lirih.
"Dia harus dibasmi..!"
Kiang Tojin mengira bahwa Keng Hong hendak mebunuh mereka karena sikap mereka sebagai murid-murid Kun-lu-pai yang murtad, maka dia cepat mencegah,
"Jangan, biarkan mereka pergi.. ini urusan Kun-lun-pai"."
Sebetulnya Keng Hong berniat membunuh Lian Ci Tojin atas perbuatannya terhadap Tan Hun Bwee dahulu, akan tetapi mendengar cegahan ini, dia menjadi tidak enak hati terhadap Kiang Tojin dan mengurungkan niatnya. Sikap dua orang tokoh Kun-lun-pai itu sudah cukup menghancurkan hati Kiang Tojin.
Para tosu yang tadinya bersekutu dengan Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin menjadi ketakutan sendiri dan mereka itu menerima dengan penuh kerelaan hati ketika Kiang Tojin mengatakan bahwa siapa yang merasa bersalah dipersilakan untuk menghukum diri sendiri di dalam ruangan "pencuci dosa"
Dan kamar-kamar "penyesalan diri". Berbondong-bondong para tosu yang merasa bersalah, hampir dua puluh orang banyaknya, pergi memasuki tempat-tempat yang khusus di adakan oleh Kun-lun-pai untuk menyesali perbuatan sendiri yang tersesat bagi murid-murid Kun-lun-pai. Diam-diam Keng Hong menjadi girang dan juga kagum sekali. Ternyata bahwa Kiang Tojin masih cukup berwibawa dan para tosu yang bermain asmara dengan wanita dusun di lereng gunung dan dia tersenyum sendiri. Salahkah tosu itu? Tidak! Tidak salah, hanya lemah terhadap pantangan yang memang diadakan oleh golongan mereka dan yang sudah diakui olehnya sendiri! Bersalah kiranya orang yang melanggar larangan yang sudah diakuinya sendiri bahwa larangan itu tak boleh dilanggar.
"Keng Hong, kedatanganmu seperti datangnya dewa yang menyadarkan pinto dari mimpi buruk. Dan besar sekali budimu terhadap Kun-lun-pai dan terhadap Couwsu kami. Tidaklah percuma kiranya ketika Thian dahulu menggerakkan hati pinto untuk membawamu ke sini, Keng Hong. Sekarang ceritakanlah, bagaimana engkau dapat menemukan tempat bertapa mendiang Couwsu, dan bagaimana pula semua pusaka gurumu sampai dapat tercuri oleh Ang-kiam Tok-sian-li yang sekarang menjadi begitu lihai dan berjuluk Ang-kiam Bu-tek?"
Keng hong yang kini diajak duduk di ruangan dalam oleh Kiang Tojin yang sudah menjadi ketua Kun-lun-pai, segera menceritakan pengalamannya semenjak dia dikejar-kejar dan naik ke puncak batu pedang. Di antara seluruh manusia di dunia ini, hanya kepada Kiang Tojinlah satu-satunya tokoh kang-ouw yang boleh dipercaya dan yang sama sekali tidak memiliki niat buruk terhadap dirinya, tidak pula menginginkan harta pusaka dan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, Ia menceritakan betapa akhirnya dia berhasil mendapatkan tempat rahasia penyimpanan pusaka gurunya, akan tetapi betapa terpaksa dia mengajak Cui Im karena selain gadis itu telah menolongnya, juga kalau tidak dia ajak, tentu gadis itu terancam keselamatannya oleh para tokoh kang-ouw yang mengejarnya.
Diceritakan selanjutnya betapa dia tertipu oleh Cui Im itu, terjebak di ujung seberang jurang akan tetapi akhirnya kekejian Cui Im itu bahkan membuat dia berhasil menemukan tempat rahasia di mana terdapat rangka dan kitab peninggalan Thai Kek Couwsu! Akhirnya dia menceritakan perjalanannya keluar dari tempat rahasia itu. Ia menceritakan dengan singkat, melewatkan saja keterangan tentang tempat itu sendiri, dan tidak menyebut-nyebut hal lain, misalnya pengetahuannya terhadap kekejian Lian Ci Tojin terhadap Tan Hun Bwee, maupun tosu Kun-lun-pai yang bermain cinta dengan wanita dusun. Kiang Tojin mengelus jenggotnya yang panjang dan menarik napas panjang.
"Aaah, baru empat tahun mempelajari kitab-kitab peninggalan suhumu, gadis itu sudah sedemikian lihainya sehingga aku roboh di tangannya! Dan kitab-kitab itu dibawanya semua!"
"Saya pun merasa menyesal sekali, Totiang. Semua itu akibat kelalaian saya, merupakan kesalahan dan tanggung jawab saya. Saya sudah mengambil keputusan untuk mencari Cui Im sampai dapat, merampas semua kitab-kitab peninggalan suhu yang dicurinya, kemudian saya akan mengembalikan kitab-kitab dan pedang-pedang pusaka kepada orang yang berhak."
"Baik sekali pendirianmu, Keng Hong. Gurumu Sie Cun Hong bukanlah seorang yang jahat atau berdasarkan watak yang buruk. Tidak sama sekali, dia adalah seorang taihiap, seorang pendekar besar yang selain lihai sekali, juga selalu siap menentang segala kejahatan dan mempertaruhkan nyawa untuk membela kebenaran, keadilan dan kebajikan. Akan tetapi dia berwatak aneh, tidak mengindahkan hukum-hukum yang diperbuat manusia, bertindak seenak hatinya sendiri asalkan bersandar kebenaran menurut penilaiannya. Boleh jadi gurumu telah menolong ribuan orang, telah menentang ribuan kejahatan, akan tetapi karena wataknya yang ugal-ugalan, sukanya akan wanita cantik tanpa memperdulikan apakah wanita itu isteri orang ataukah gadis, asal suka kepadanya tentu akan dia layani, kemudian ditambah dengan kesukaannya akan benda-benda pusaka yang tidak segan dicurinya dari tangan orang lain menggunakan kepandaiannya, maka segala kebaikannya itu dilupakan orang dan dia dimusuhi. Karena itu, pendirianmu untuk mengembalikan benda-benda pusaka yang dahulu dicuri atau dirampas suhumu, merupakan kebaktian pada gurumu, mencuci noda pada namanya. Dan engkau tidak perlu menjadi penasaran menghadapi kenyataan bahwa benda-benda pusaka itu dicuri orang, karena benda yang mudah didapat akan mudah lenyap pula, benda yang didapat dengan mencuri tentu akan lenyap tercuri, siapa menanam pohonnya dia memetik buahnya."
Keng Hong mengangguk-angguk dan berkata.
"Saya mengenal watak mendiang suhu, Totiang, dan saya tidak dapat menyalahkannya. Memang, selagi masih hidup tidak menikmatinya, apa gunanya segala anugerah yang diberikan Thian kepada manusia? Menikmati kesenangan hidup adalah hak manusia, asalkan si manusia dapat mengekang diri, dapat mengendalikan nafsu yang mendorongnya untuk menikmati kesenangan duniawi, sehingga tidak sampai mabuk, tidak sampai melupakan kebajikan dan melakukan kejahatan hanya untuk pemuasan nafsu. Pemuasan nafsu dilakukan dengan wajar tanpa merugikan orang lain adalah kenikmatan yang menjadi anugerah Thian, mengapa ditolak? Maaf, Totiang, tentu saja pendirian seorang pendeta seperti Totiang lain lagi. Hanya sebaiknya diingat bahwa suhu bukanlah pendeta, melainkan manusia biasa."
Kiang Tojin mengerutkan alis dan menghela napas panjang.
"Pinto tidak dapat menyalahkan siapa-siapa. Ada baik ada buruk, hal itu sudah wajar. Ada senang ada susah, memang saudara kembarnya yang takkan dapat dipisahkan. Yang mencari senang akan bertemu susah, itu memang resikonya dan sudah semestinya. Pengertian saja belum cukup. Karena itu, engkau yang masih muda memang baru akan dapat mengerti dengan sempurna setelah digodok pengalaman dan sudah menjadi hakmu untuk mengalami segala hal di dunia ini. Hanya pesanku Keng Hong, pengalaman pahit jauh lebih berharga daripada pengalaman manis, dan ingat pula bahwa sesal kemudian sama sekali tiada gunanya. Ingat bahwa kebenaran yang mendatangkan kesenangan di hati sendiri belum tentu kebenaran yang sejati. Kebenaran yang mendatangkan kesenangan di hati orang lain itu pun hanya lebih dekat dengan yang sejati, Engkau bebas untuk bergerak dalam hidup, dan guru yang paling dapat diandalkan adalah GURU SEJATI yang berada di dalam dirimu pribadi."
Setelah banyak-banyak menerima wejangan Kiang Tojin, akhirnya Keng Hong meninggalkan Kun-lun-pai dengan dada lapang bahwa dia telah dapat membantu memulihkan keadaan Kun-lun-pai dan biarpun sedikit dapat pula menebus budi kebaikan Kiang Tojin.
"Aaauuuuuuhhhh... toloooooonggg...!"
Jerit melengking wanita ini tiba-tiba terdiam, memang leher yang dicekik tentu saja takkan dapat menjerit lagi. Jerit itu keluar dari sebuah kamar yang indah dan diterangi sinar lilin terbungkus sutera merah, remang-remang romantis menambah keindahan kamar yang berbau harum itu.
Akan tetapi apa yang terjadi di dalam kamar pada malam hari itu, seorang gadis remaja, puteri hartawan dan bangsawan yang menjadi kembang kota itu, tertimpa malapetaka. Ketika ia sedang tidur pulas tadi, tiba-tiba ia terbangun dan hampir ia pingsan ketika melihat betapa seorang laki-laki yang berpakaian mewah dan berwajah tampan sedang memeluk dan menciuminya dan jari-jari tangan laki-laki ini merenggut-renggutkan pakaiannya sehingga robek-robek. Sejenak gadis itu tidak dapat menjerit saking kaget dan juga karena mulutnya tertutup oleh ciuman-ciuman penuh nafsu yang membuatnya bernapas pun sukar, apalagi menjerit. Ia hanya dapat membelalakkan mata dan meronta-ronta, namun agaknya gerakannya meronta ini menambah berkobarnya nafsu jalang laki-laki itu.
"Diamlah manisku, diamlah nona... aduh, betapa cantik jelita engkau.."
Laki-laki itu berbisik dengan napas mendengus-dengus dan kesempatan ini dipergunakan oleh nona yang mulutnya bebas. Akan tetapi hanya satu kali saja dia dapat menjerit karena mulutnya segera tertutup kembali oleh mulut laki-laki itu dan lehernya dilingkari jari-jari tangan yang kuat.
"Kalau kau menjerit lagi, kucekik mampus kau!"
Laki-laki itu mendesiskan bisikan marah, akan tetapi gadis itu tak dapat menjerit lagi karena saking ngeri dan takutnya ia telah kehilangan suara dan setengah pingsan. Akan tetapi jeritnya yang satu kali tadi sudah cukup. Ayahnya adalah seorang bangsawan, seorang bangsawan, seorang pembesar militer yang berjasa dalam perang, sebagai seorang di antara panglia dari utara. Pada malam hari itu, ayahnya sedang menjamu banyak orang gagah yang dahulu membantu gerakan bala tentara dari utara yang dipimpin oleh Raja Muda Yung Lo yang gagah perkasa. Malam hari itu, ada lima orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi sedang dijamu ayahnya. Karena ini, jerit melengking itu segera terdengar oleh mereka dan bersama panglima ayah gadis itu sendiri mereka berenam sudah berkelebat cepat sekali menuju ke kamar si gadis.
"A-hwi..!"
Panglima itu berseru memanggil puterinya, akan tetapi tidak ada jawaban. Sambil menggereng penuh kekhawatiran, yang tinggi besar menerjang daun pintu kamar puterinya. Daun pintu bobol dan roboh, disusul enam bayangan orang gagah itu berkelebat memasuki kamar.
"A-hwi....!"
Kini teriakan panglima itu adalah teriakan yang menyayat hati, teriakan setengah marah setengah menangis menyaksikan keadaan puterinya yang rebah terlentang dalam keadaan telanjang dan matanya mendelik, lidahnya keluar, tidak bernapas lagi! Jelas bahwa dia mati tercekik. Lima orang gagah itu adalah orang-orang yang berpengalaman. Melihat keadaan kamar sekelebatan saja, mereka sudah menemukan lubang di atas rumah, maka seperti berlumba mereka lalu melayang naik melalui lubang itu menembus atap dan hinggap di atas genteng. Mereka melihat bayangan orang berjalan seenaknya di atas genteng meninggalkan tempat itu.
"Berhenti...!"
Lima orang itu meloncat maju mengejar. Bayangan yang melangkah seenaknya di atas genteng itu berhenti lalu membalikkan tubuhnya menghadapi lima orang itu. Mereka berlima tercegang ketika melihat bahwa bayangan itu adalah seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan sekali dan tubuhnya tinggi besar gagah. Pakaiannya indah dan mewah, muka dan rambutnya juga terpelihara baik-baik. Seorang laki-laki pesolek yang menambah halusnya wajah dengan bedak halus tipis bahkan kehitaman alis dan kemerahan bibir itu pun amat diragukan keasliannya. Ketika lima orang kang-ouw yang tak mengenal laki-laki ini melihat perhiasan bunga teratai emas di atas dada laki-laki itu, mereka terkejut dan seorang diantara mereka berseru.
"Kim-lian jai-hwa-ong!!"
Nama ini memang amat terkenal di dunia kang-ouw semenjak belasan tahun yang lalu. Dunia kang-ouw sudah geger sejak lama oleh munculnya nama ini,
Akan tetapi karena tokoh dunia hitam ini tak pernah mengganggu orang-orang kang-ouw dan selalu menjauhkan diri dari bentrokan, maka jarang ada yang mengenal orangnya. Hal ini bukan saja karena tokoh ini jarang memperlihatkan muka, juga hebatnya adalah bahwa setiap kali ada tokoh kang-ouw bertemu dengan dia, tentu tokoh kang-ouw itu kedapatan tewas. Dengan demikian orang kang-ouw yang pernah bertemu dengan dia tidak ada kesempatan lagi menceritakan kepada lain orang bagaimana macamnya tokoh ini. Dia dijuluki Kim-lian (Teratai Emas) karena bajunya selalu dihiasi perhiasan bunga teratai dari emas. Dan julukannya Jai-hwa-hong (Raja Pemetik Bunga) sudah jelas menyatakan apakah macam "pekerjaan"
Tokoh ini, yaitu memetik bunga atau pemerkosa wanita di samping menyambar perhiasan-perhiasan berharga yang berada di kamar wanita-wanita itu.
Itulah sebabnya mengapa lima orang kang-ouw itu kaget setengah mati ketika melihat hiasan bunga teratai merah di dada laki-laki itu. Sudah menjadi kembang bibir di dunia kang-ouw bahwa bertemu Kim-lian Jai-hwa-ong berarti bertemu dengan maut sendiri! Akan tetapi, mereka berlima adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi maka tentu saja tidak menjadi gentar, apalagi mengingat betapa penjahat ini telah membunuh puteri tuan rumah, membuat mereka marah sekali. Jai-hwa-ong itu tersenyum dan sinar bulan yang menimpa wajahnya membuat wajah itu tampak makin tampan, senyumnya memikat dan giginya berkilauan putih bersih. Kumis tipis dia atas bibir itu bergerak-gerak ketika dia berkata lirih mengejek.
"Kalian berlima sudah mengenal aku, tahukah kalian apa jadinya dengan orang yang mengenalku?"
"Kim-lian Jai-hwa-ong, engkau boleh saja terkenal sebagai pembunuh setiap orang kang-ouw yang bertemu denganmu. Akan tetapi jangan mengira kami takut menghadapi seorang penjahat rendah macam engkau! Kami Pak-san Ngo-houw (Lima Harimau Pegunungan Utara) sudah mengikuti penyerbuan tentara utara ke selatan, sudah menghadapi penderitaan dan ancaman maut ribuan kali, dan entah sudah berapa ratus penjahat macam engkau ini kami basmi!"
Bentak seorang di antara lima orang tokoh dengan ucapan ini, mereka berlima sudah mencabut golok masing-masing sehingga tampak sinar-sinar berkilat. Namun laki-laki pesolek itu tidak keliatan marah memperlebar
(Lanjut ke Jilid 17)
Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
senyumnya lalu berkata,
"Aha, kiranya kalian adalah lima ekor tikus pegunungan utara? Bagus sekali! Biarlah kalian tidak akan mati penasaran dan kenalilah aku baik-baik. Aku bernama Siauw Lek dan aku adalah murid Go-bi Chit-kwi, maka kini sekali bertemu dengan aku jangan harap kalian akan dapat hidup lagi!"
Lima orang gagah itu sudah menerjang sambil membentak marah sekali, golok mereka berkelebat seperti kilat menyabar ke arah tubuh laki-laki pesolek yang masih tersenyum itu. Akan tetapi penjahat bernama Siauw lek itu ternyata bukan bersikap sombong yang kosong belaka. Tubuhnya berkelebat dan semua serangan golok lima buah itu mengenai tempat kosong. Cepat sekali gerakan penjahat itu dan ginkangnya sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga begitu diserang dia lenyap dan tahu-tahu telah berada di belakang lima orang itu sambil tertawa mengejek! Lima orang itu cepat membalikkan tubuh sambil melintangkan golok, kemudian pemimpin mereka yang teringat bahwa mungkin penjahat ini merupakan utusan sisa-sisa musuh di selatan, segera menahan senjatanya dan bertanya dengan suar nyaring.
"Penjahat hina she Siauw! Sebelum engkau mampus di tangan kami, katakanlah mengapa engkau membunuh puteri The-ciangkun?"
Penjahat itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kalian ingin tahu pula tentang hal itu? Nah. Dengarlah. Aku di sebut Raja Pemetik Bunga dan memang aku suka sekali akan kembang-kembang harum bermadu. Aku seperti seorang kumbang yang mencari madu-madu bunga. Kalau ada bunga dengan senang hati membuka kelopaknya dan menyerahkan madunya kepadaku, aku akan terbang pergi dengan kenang-kenangan manis. Akan tetapi kalau ada bunga tidak suka menyerahkan madunya, akan kurontokkan dia! Dara di bawah itu tidak mau menyerah, bahkan menjerit, terpaksa ku cekik dia sampai mati. Ada jalan hidup senang dia memilih mati konyol! Kalau dia menyerah, aku akan puas, dia akan hidup dan senang dan... Ha-ha-ha, dasar nasib, kalian pun akan mampus!"
"Keparat hina!"
Lima orang harimau gunung utara itu menjadi marah sekali dan kembali lima batang golok mereka menyambar, Tiba-tiba tampak sinar hitam berkelebat dan di susul suara trang-trang lima kali. Lima orang kang-ouw itu terkejut karena pedang hitam di tangan Siauw Lek yang tadi berkelebat telah menangkis golok-golok mereka dan begitu bertemu, golok mereka patah semua!
"Tangkap penjahat...!"
Terdengar seruan dari bawah dan belasan orang pengawal The-ciangkun yang berkepandaian lumayan sudah melayang naik ke atas genteng. Akan tetapi terdengar Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek tertawa, tangan kirinya bergerak dan belasan batang senjata berberntuk paku-paku yang disebut Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam) meluncur cepat sekali, menyambut tubuh para pengawal yang sedang meloncat sehingga tubuh mereka terkena senjata rahasia dan jatuh kembali ke bawah didahului teriakan-teriakan mengerikan karena sebelum tubuh mereka terbanting ke tanah, mereka itu telah tewas oleh paku-paku yang mengandung racun jahat itu!
"Lima ekor tikus rebahlah!"
Kini Siauw Lek menggerakkan pedangnya yang berwarna hitam, cepat sekali gerakannya, pedangnya berubah menjadi sinar panjang yang mengeluarkan suara bercuitan. Lima orang gagah itu mencoba mengelak sambil menangkis dengan golok buntung, namun sia-sia belaka karena sinar pedang itu menebas tangan yang memegang golok terus meluncur ke arah leher mereka.
Lima orang gagah itu tidak sempat untuk berteriak pula. Tubuh mereka menggelundung dari atas genteng dengan kepala terpisah dari tubuh! Panglima The yang menjadi marah sekali melihat belasan orang pengawalnya roboh binasa termakan paku-paku beracun, sudah mengepalai banyak sekali pengawal dan melompat naik ke atas genteng. Akan tetapi mereka tidak melihat sesuatu di atas genteng. Sunyi saja dan tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Panglima ini menjadi marah bukan main melihat lima orang sahabatnya tewas dengan leher putus, dan malam itu juga dia mengerahkan pasukan melakukan pengejaran dan mencari si penjahat. Akan tetapi, mereka yang pernah melihat penjahat itu,
Lima Harimau Pegunungan Utara dan para pengawal yang meloncat naik pertama kali, semua telah tewas. Tak seorang pun di antara yang lain sempat melihatnya. Kemana hendak mengejar dan mencari? Orangnya pun tidak dikenal! Kembali dunia kang-ouw menjadi geger dengan terjadinya peristiwa mengerikan itu, dan biarpun tidak ada yang melihat penjahat itu, namun paku-paku hitam beracun itu cukup menyatakan bahwa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu bukan lain adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek! Apalagi ketika di antara para pengawal yang masih berada di bawah genteng menyatakan bahwa dia melihat berkelebatnya sinar pedang hitam, maka orang-orang di dunia kang-ouw tidak ragu-ragu lagi bahwa pedang itu tentulah pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) senjata penjahat cabul itu.
Memang lihai sekali Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek. Kelihaiannya tidak lah mengherankan kalau diingat bahwa dia adalah murid tunggal Go-bi Chit-kwi yang amat lihai itu. Go-bi Chit-kwi sebelum mengundurkan diri dari dunia ramai merupakan datuk-datuk hitam yang amat ditakuti di seluruh dunia kang-ouw. Bahkan Bu-tek Su-kwi si empat iblis yang kini menjagoi di antara golongan sesat, masih merupakan orang-orang muda yang belum begitu ternama ketika Go-bi Chit-kwi sudah amat terkenal. Ketika Bu-tek Su-kwi masih muda, mereka pun gentar menghadapi Tujuh Setan Go-bi, dan orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, yaitu Lam-hai Sin-ni, pernah dirobohkan dan hampir diperkosa oleh tujuh setan ini kalau saja tidak muncul mendiang Sin-jiu Kiam-ong yang menolong wanita itu.
Kini Go-bi Chit-kwi telah meninggal dunia di sebuah puncak di Pegunungan Go-bi-san. Akan tetapi sebelum mereka meninggal dunia, mereka menurunkan ilmu kepada murid mereka yang hanya seorang, yaitu Siauw Lek. Untuk menamatkan pelajarannya pada tujuh orang guru itu, Siauw Lek belajar sampai dua puluh tahun, dan baru setelah dia berusia tiga puluh tahun, dia turun gunung dan begitu turun gunung setelah memiliki ilmu kepandaian tinggi, gegerlah dunia kang-ouw dengan munculnya seorang jago yang mengumbar nafsunya dengan memperkosa wanita-wanita yang disukainya! Maka muncullah julukan Kim-lian Jai-hwa-ong yang tak pernah dilihat orang, atau pernah pula dilihat orang-orang yang begitu bertemu dengannya tentu dibunuhnya! Malam hari itu hati Siauw Lek murung dan tidak puas. Ia gagal bersenang-senang dengan puteri The-ciangkun yang tidak mau melayani hasrat hatinya bahkan berani menjerit sehingga terpaksa dibunuhnya.
Siauw Lek memang seorang Jai-hwa-ong (penjahat pemerkosa wanita), namun dia mempunyai kebiasaan aneh yang dia beritahukan kepada lima orang Pak-san Ngo-houw sebelum mereka dia bunuh, yaitu bahwa dia hanya mau memiliki wanita yang bersedia melayaninya! Kalau wanita itu menolak, tentu dibunuhnya! Banyak wanita yang karena takut dibunuh,atau memang tertarik oleh wajahnya yang tampan dan tubuhnya tinggi besar, suka melayaninya dan tentu saja setelah melayani hasrat nafsu penjahat ini. Wanita-wanita itu menyimpannya sebagai rahasia besar dan tidak berani menceritakan keadaan penjahat itu kepada orang lain karena hal itu sama saja dia telah dinodai penjahat itu! Mereka yang menolaknya pun tidak dapat menceritakan kepada orang lain karena mereka ini tentu dibunuh oleh Siauw Lek. Ada kalanya Siauw Lek berhasil mendapatkan pelayanan wanita yang memang tertarik kepadanya,
Akan tetapi ada pula yang harus dia dapatkan dengan cara mengancam dan dalam hal ini dia memiliki banyak cara yang keji dan tidak mengenal perikemanusiann. Dalam mencengkeram nafsu berahinya sendiri, Siauw Lek kadang-kadang seperti bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang memasuki tubuhnya. Malam itu dia murung. Ia hanya berhasil membunuh banyak orang, namun dia makin ditekan dan dihimpit oleh nafsunya sendiri yang tidak terpuaskan. Biasanya, sebelum mendatangi korbannya pada malam hari, siangnya dia sudah melihat-lihat dan mencari-cari. Malam ini dia tidak ada tujuan tertentu karena siang tadi dia mencurahkan perhatiannya kepada puteri panglima itu. Untuk mencari korban di malam hari seperti itu, amat sukar karena tak mungkin dia harus mengintai setiap rumah untuk mencari wanita yang disukainya.
"Bedebah!"
Ia menyumpahi nasibnya yang dianggapnya sial malam itu. Penjahat yang berilmu tinggi ini sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang amat gesit gerakannya, yang seolah-olah terbang saja ketika mengikutinya dari jauh. Tiba-tiba Siauw Lek berhenti berlari dan bayangan di belakangnya pun cepat menyelinap dan bersembunyi di balik wuwungan rumah.
Kiranya Siauw Lek berhenti bukan karena mengerti bahwa dia dibayangi orang, melainkan karena dia mendengar suara bayi menangis dari rumah di sebelah depan, sebuah rumah kecil terpencil. Hatinya tergerak. Hemmm, ada bayinya tentu ada ibunya yang muda, pikir otaknya yang sudah terlalu kotor karena selalu dipenuhi nafsu berahi yang tidak wajar. Ia lalu melompat ke depan, ke atas genteng rumah di depan itu dan kini tangis bayi sudah tak terdengar lagi. Dari atas genteng, Jai-hwa-ong ini mengintai dengan jalan membuka genteng. Di bawah tampak sebuah kamar yang sederhana namun bersih, diterangi lampu minyak yang cukup terang. Seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun tidur meringkuk di sudut ranjang dengan muka menghadap dinding.
Di pinggir ranjang itu sendiri, seorang wanita muda sedang duduk menyusui bayinya yang baru berusia beberapa bulan. Ibu ini masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya dan karena ia menyusui bayinya sendiri di dalam kamar, wanita ini tidak ragu-ragu membuka penutup dadanya lepas-lepas sehingga tampak dua buah bukit dada yang berkulit putih halus dan penuh seperti biasa dimiliki ibu-ibu muda yang sedang menyusui anaknya. Biasanya, biar mata laki-laki yang bagaiana jalang sekalipun, pemandangan ini, yaitu melihat seorang ibu menyusui anaknya, mendatangkan pemandangan yang mengharukan, yang menyentuh perasaan karena setiap orang pernah menyusu dada ibunya, sebuah pemandangan yang sama sekali jauh daripada daya perangsang nafsu.
Namun tidaklah demikian bagi seorang hamba nafsu berahi yang sudah separah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek. Hati dan pikirannya sudah penuh dengan bayangan kecabulan. Sudah penuh dengan rangsangan-rangsangan nafsu berahi sehingga penglihatan seorang ibu muda menyusui anaknya itu mendatangkan nafsu yang menyala-nyala dalam dirinya. Ibu muda itu memang cantik dan terutama sekali berkulit putih kuning dan halus, kini agaknya terbangun dari tidur, kelihatannya demikian penuh sifat kelembutan seorang wanita. Seketika lenyaplah kemurungan dan kekecewaannya, lenyaplah bayangan puteri Panglima The yang urung dia dapatkan dan terpaksa dia bunuh. Dengan gerakan tangannya yang kuat dia membuka beberapa buah genteng, keudian tubuhnya menyelinap turun melalui lubang itu dan meloncat ke dalam kamar.
"Aihhhh....!"
Wanita itu berseru kaget ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki asing berdiri di depannya. Akan tetapi dia tidak sempat menjerit lagi karena jari tangan Siauw Lek telah bergerak cepat menotok leher wanita itu sehingga jeritannya tertahan di kerongkongan, tak dapat berteriak lagi. Wanita itu dengan muka pucat lalu memeluk bayinya di rapatkan ke dada, bukan hanya untuk melindungi bayinya, juga untuk menutupi buah dadanya yang telanjang.
"Manis, jangan takut. Aku telah melihatmu dan jatuh cinta kepadau. Kalau engkau mau melayani aku dengan manis, engkau takkan kubunuh, akan tetapi kalau engkau menolak, suamimu ini akan kubunuh lebih dulu!"
Agaknya suami wanita itu mendengar suara ribut-ribut dan menggeliat lalu membalikkan tubuh, mengedipkan matanya yang menjadi terbelalak ketika dia melihat isterinya berdiri ketakutan dan seorang laki-laki asing berdiri di situ. Akan tetapi dia tak dapat bergerak, hanya dapat memandang dengan sinar mata penuh kemarahan dan kekhawatiran karena pada saat itu, jari tangan Siauw Lek secepat kilat telah menotok jalan darahnya yang membuat laki-laki di atas ranjang itu lemas dan tak dapat bergerak.
"Jangan engkau berteriak, Manis, aku tidak akan menyusahkanmu, tidak akan menyakitimu..."
Kembali Siauw Lek merayu dan tangannya bergerak menotok leher membebaskan jalan darah wanita itu sehingga dapat mengeluarkan suara lagi.
"Ampunkan saya...."
Wanita itu berkata lemah. Siauw Lek tersenyum penuh keenangan. Ia lalu mengulur tangan menyentuh pundak yang setengah terbuka itu, pundak yang kecil berkulit putih halus.
"Engkau tidak bersalah apa-apa, Manis, kenapa minta ampun? Aku hanya akan mencintaimu, kau layanilah aku baik-baik, balaslah cintaku dan aku tidak akan menganggu selembar rambutmu yang halus ini..."
"Ohhh, ampun jangan ..."
Wanita itu mengeluh penuh kepanikan sambil melirik ke arah suaminya yang rebah miring tak dapat bergerak itu. Siauw Lek mengikuti pandang mata wanita itu, menoleh ke arah laki-laki di atas ranjang lalu tersenyum.
"Ah, engkau takut kepada suamimu?"
Tak usah takut, dia takkan dapat berbuat sesuatu kecuali menonton!"
"Tidak.... lebih baik kau bunuh saja aku...!"
Tiba-tiba itu menangis terisak-isak sambil mendekap tubuh anaknya.
"Aku tidak bisa... aku tidak mau...!"
Sinar bengis dan marah membayangi wajah Siauw Lek . Haruskah dia mengalami dua kali kegagalan dalam semalam? Apakah dia kini sudah terlalu tua dan kurang pandai merayu sehingga dalam satu malam ada dua orang wanita yang menolak cintanya?
"Hemmm, haruskah ku bunuh suamimu lebih dulu? Lihat, sekali tusuk suamimu akan mampus. Apakah engkau masih berani mengatakan tidak mau?"
Untuk menakut-nakuti, Siauw Lek sudah mencabut pedang hitamnya dan menodongkan pedang itu di leher suami wanita itu yang terbelalak penuh kengerian. Wanita itu memandang dengan muka pucat, hatinya bimbang. Manakah yang harus dia pilih? Melihat suaminya dibunuh ataukah membiarkan dirinya diperkosa di depan pandang mata suaminya? Ah, lebih baik mati, mati bersama suaminya. Ia tersedu menangis dan berkata.
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bunuhlah kami berdua.... bunuhlah suamiku dan aku... Dan aku... Aku tidak dapat menuruti kehendakmu... Aku tidak mau....!"
Kini wajah Siauw Lek menjadi merah. Kalau menurutkan nafsu kemarahan hatinya, ingin dia mengelabatkan pedangnya membunuh wanita itu, suaminya dan anaknya. Akan tetapi dia tidak mau gagal untuk kedua kalinya malam ini, dan wanita yang baru tiga empat bulan melahirkan dan masih menyusui nafsunya, menyentuh perasaan hatinya yang keruh oleh nafsu berahi. Tiba-tiba Siauw Lek, tertawa dan ketika tangannya bergerak, tahu-tahu dia telah merampas bayi yang berada di dalam pelukan ibunya tadi. Anak itu menjerit, akan tetapi kalah oleh jeritan ibunya yang amat kaget melihat anaknya dirampas.
"Anakku.... kembalikan anakku!!"
"Hemmm, kau ingin anakmu hidup? Nah, pilihlah. Engkau melayani cintaku dengan baik-baik dan manis atau.. melihat perut anakmu kubelek dengan ujung pedang ini!"
"Ouuuhhh.... jangan... jangan....!"
Wanita itu menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kedua kaki Siauw Lek sambil meratap-ratap minta agar anaknya jangan dibunuh.
"Manis, engkau ingin agar anakmu hidup dan tidak kubunuh?"
Siauw Lek bertanya penuh nada keenangan dalam suaranya sambil menunduk dan melihat wajah ayu yang menengadah penuh permohonan itu.
"Ya.... ya....., mohon kau ampuni kami, jangan bunuh anakku..."
"Hemmm, mudah saja, aku takkan membunuh anakmu akan tetapi engkau harus menuruti segala kehendakku!"
Sambil berkata demikian, Siauw Lek mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dan membuat gerakan seakan hendak membantingnya ke lantai. Wanita itu tersedak, menelan ludah seperti ada sesuatu mengganjal kerongkongannya, dan mengangguk-angguk dengan mata terbelalak memandang anaknya.
"Ya.... ya... ya, apa saja perintahmu... Akan tetapi lepaskan anakku...."
"Nah, Manis, bangkitlah."
Siauw Lek menggunakan sebelah tangannya menarik tubuh wanita itu berdiri dengan bayi masih diangkat tinggi-tinggi di tangan yang lain, dan bagaikan tak sadar diri wanita itu bangkit berdiri, seolah-olah tidak merasa betapa tangan yang menariknya bangkit itu menggerayang dan meraba-raba tubuhnya, bahkan ketika tangan itu merangkul lehernya dan mulutnya yang masih setengah terisak itu dicium oleh bibir Siauw Lek dengan penuh nafsu, ia seperti tidak merasakannya, matanya masih terbelalak melirik ke arah anaknya yang diangkat tinggi oleh tangan kiri Siauw Lek. Baru setelah matanya mendapat kepastian bahwa anaknya tidak diapa-apakan ia sadar betapa tubuhnya diremas-remas dan mulutnya dicium penuh nafsu sehingga ia tersedu dan meronta sedikit.
"Hemmm, kau melawan? Engkau tidak mau....?"
".. Tidak.... oh, bukan... Aku... Aku tidak melawan..."
Wanita itu menggagap kepalanya pening, matanya berkunang dan kedua kakinya menggigil karena setelah kin kepanikannya menghadapi ancaman terhadap anaknya lenyap, ia ngeri menghadapi hal yang mengancam dirinya sendiri.
"Bagus, engkau manis sekali. Nah, kau tanggalkan pakaianmu. Semuanya!"
Siauw Lek memerintah, merasa gembira sekali menyaksikan betapa korbannya itu menggigil dan bingung oleh rasa takut dan malu. Wanita itu benar-benar bingung, kedua tangannya bukan menanggalkan pakaian, bahkan kini ia baru teringat betapa bajunya tadi dibukanya separuh ketika menyusui anaknya, kini kedua tangannya malah menutupkan baju ini. Mukanya sebentar pucat sebentar merah, pandang matanya jelilatan dan hanya lewat saja di muka suaminya, agaknya ia tidak berani bertemu pandang dengan suaminya.
"Eh, engkau ragu-ragu lagi? Hendak membangkang perintahku! Hemmm, kalau begitu, lebih baik kubunuh saja anakmu ini..."
"Tidak! Oh, jangan...!"
Cepat sekali karena digerakkan oleh rasa ngeri dan khawatir akan keselamatan anaknya wanita itu meranggut lepas baju atasnya sehingga ia berdiri setengah telanjang.
"Jangan bunuh anakku".."
Siauw lek tersenyum, mengangguk-angguk puas.
"Kalau kau menuruti semua hasratku, kalau kau suka melayani cinta kasihku kepadamu, tentu aku takkan menganggu anakmu, Manis. Hayo, kesinilah...!"
Siauw Lek melangkah ke dekat ranjang akan tetapi wanita itu tidak menggerakkan kakinya. Dengan muka pucat ia berkata lemah,
"Tidak, harap... Kasihani aku.., jangan di sini"."
Siauw lek menggerakkan alisnya menoleh ke arah suami wanita itu yang rebah miring dengan mata melotot penuh kemarahan dan kebencian, lalu tersenyum. Sebetulnya, dia akan mendapatkan rangsangan lebih besar ladi, mendapat kepuasan lebih penuh kalau dia dapat memiliki wanita itu di depan suaminya, di depan mata suaminya yang melotot itu. Alangkah akan senang dan lucunya! Akan tetapi, kalau dia memaksa, tentu hal ini akan menjadi penghalang besar bagi si wanita untuk melayaninya dengan leluasa, dan kalau terjadi demikian diapun tentu tidak akan merasa puas. Sambil tertawa dia lalu menghampiri wanita itu dengan bayi masih menangis, diangkat tinggi-tinggi.
"Kalau begitu dimana?"
"Di kamar depan ..."
Wanita itu berkata sabil menundukkan muka, tidak berani sama sekali melirik ke arah suaminya.
"Baiklah, Manis. Hayo kau tunjukkan di mana kamarnya,"
Siauw Lek berkata. Wanita itu tanpa menoleh ke arah suaminya lalu membalikkan tubuh dan melangkah keluar dari kamar dengan kaki gemetar dan lesu. Siauw Lek menggerakkan tangan dan sebatang paku hitam menyambar dan menancap di antara sepasang mata yang terbelalak melotot memandangnya itu, membuat suami itu tewas dalam detik itu pun juga tanpa dapat mengeluh sedikit pun juga. Peristiwa ini terjadi cepat dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara sehingga wanita itupun tidak tahu sama sekali bahwa suaminya telah dibunuh orang. Kamar depan itu pun sederhana sekali, hanya terisi sebuah dipan dan sebuah meja, di terangi lilin yang dinyalakan oleh wanita itu dengan tangan gemetar.
"Anakku....biar kususui dia agar tidak menangis..."
Akhirnya wanita itu berkata dengan suara pilu karena sejak tadi anaknya menangis saja. Sambil tersenyum Siauw Lek memberikan bayi itu kepada ibunya, kemudian dia duduk di atas bangku menonton wanita itu yang kini tak berbaju lagi menyusui anaknya. Laki-laki yang berwatak iblis ini menonton sambil kadang-kadang menelan ludah. Melihat bayi itu menyusu dada ibunya menimbulkan berahi yang amat besar baginya, seolah-olah dia sendiri dapat merasai kesegaran susu ibu muda itu. Akan tetapi, bayi itu selalu gelisah dan tidak mau diam, bahkan tidak dapat menyusu dengan tenang, diseling tangis.
"Dia sudah kenyang, memang rewel dia!"
Cela Siauw Lek.
"Aku dapat menidurkannya. Kesinikan.."
Ibu itu mendekap anaknya.
"Jangan... Jangan menganggunya..."
"Ihhh, Manis, mengapa kau tidak percaya kepadaku? Aku mencintamu, dan aku mempunyai ilmu untuk menenangkan bocah. Kuelus-elus kepalanya sebentar saja dia akan tidur. Biarkan dia tidur agar tidak menganggu kita. Nah kesinikanlah, biar dia tidur di situ nanti, dan bantal itu.. hemmm, kita tidak memerlukannya. Nah, marilah, Manis, jangan khawatir, anakmu akan pulas."
Ibu muda itu yang memang merasa bingung melihat anaknya menangis terus sehingga dia khawatir kalau-kalau laki-laki itu menjadi marah dan membunuh anaknya, akhirnya menyerahkan bayinya yang masih menangis. Siauw Lek tersenyum dan mengelus-elus kepala bocah itu. Benar saja, tak lama kemudian anak itu tidak menangis lagi dan dengan gerakan halus Siauw Lek menidurkan bocah itu di atas meja yang sudah ditilami kain dan disediakan bantal oleh si ibu muda yang tentu saja menjadi lega hatinya melihat bayinya tidur pulas. Akan tetapi segera rasa lega ini tersusul rasa panik dan ngeri ketika Siauw Lek membalikkan tubuh dan menghadapinya dengan senyum penuh nafsu.
"Nah, bukankah benar sekali kata-kataku, Manis? Anakmu sudah tidur pulas dan kini kita dapat bersenang-senang tanpa ada yang mengganggu. Wah, engkau benar jelita dan montok. Marilah, Manis.."
Wanita itu terusik dan melangkah maju dengan muka tunduk. Patahlah seluruh pertahanannya sebagai wanita karena ia maklum bahwa kalau ia menolak, tentu anaknya akan dibunuh. Bagaikan orang yang kehilangan semangat, seperti mayat hidup, ia melangkah maju dan menyerah saja ketika kedua tangan Siauw Lek memeluk dan mendekapnya, ketika mukanya yang basah oleh air mata dihujani ciuman-ciuman bernafsu. Tiba-tiba Siauw Lek melepaskan tubuhnya, bahkan meloncat bangun sambil berteriak kaget,
"Setan...!"
Pada saat, ada sesosok tubuh menerjang memasuki kamar dan langsung menubruk Siauw Lek. Tentu saja penjahat yang lihai ini dengan mudah mengelak ke kiri dan mengirim tendangan yang tepat mengenai dada orang yang menubruknya. Orang itu terjengkang dan roboh terlentang di depan dipan, di dekat wanita yang terbelalak kaget. Ketika melihat bahwa tubuh itu adalah tubuh suaminya yang sudah mati, yang mukanya penuh darah merah yang mengucur dari luka di antara kedua matanya, wanita itu menjerit kaget dan memeluk tubuh suaminya.
Sementara itu. Siauw Lek kaget setengah mati sampai mukanya pucat. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami kaget dan serem seperti saat itu. Dia sudah yakin benar bahwa suami wanita itu telah dibunuhnya, bahkan ketika orang itu menubruknya dan dia merobohkannya kembali dengan tendangan dia tahu bahwa yang menubruknya adalah sesosok mayat! Benarkah ada mayat orang bisa hidup kembali karena merasa sakit hati melihat isterinya diganggu orang lain? Ah, tak mungkin ini! Dia tidak percaya dan tiba-tiba Siauw Lek tertawa. Yang sudah mati tetap mati, dan kalau ada gerakan-gerakan, hal ini pasti dilakukan oleh orang yang masih hidup. Ia menendang meja dan tubuh bayi itu pun mencelat jatuh ke atas lantai, akan tetapi sama sekali tidak bergerak, tidak terbangun biarpun terbanting karena sesungguhnya bayi ini telah mati pula!
Mati oleh jari tangan Siauw Lek yang "mengelus-elus"
Ubun-ubun kepala anak itu tadi, mengelus sambil menekan sehingga bayi itu tewas tanpa dapat mengeluarkan suara apa-apa dan disangka tidur oleh ibunya. Wanita muda itu ketika melihat bayinya terbanting dari atas meja, menjerit keras, meninggalkan mayat suaminya danm menubruk anaknya, terus diangkat, dipeluk dan didekapnya. Akan tetapi ia tersentak kaget, memandang muka bayinya dan tiba-tiba terdengar suaranya melengking tinggi menyayat hati dan robohlah wanita muda itu dengan tubuh lemas, roboh pingsan dengan mayat bayinya masih di dalam pondongannya! Siauw Lek sudah meloncat bangun ke tengah kamar, tidak memperdulikan keadaan wanita muda itu lagi, pandang matanya berkilat ketika ditujukan ke arah pintu kamar dari mana tadi "mayat hidup"
Itu menyerangnya.
"Siapakah berani bermain gila dengan aku?"
Bentaknya, menyangka bahwa tentu ada orang pandai mengejarnya dari rumah gedung panglima she The yang dikacaunya tadi.
Akan tetapi mata yang menyinarkan kemarahan itu berubah terbelalak penuh keheranan dan kekaguman ketika tampak oleh Siauw Lek bahwa yang muncul dari pintu itu adalah seorang wanita yang amat cantik jelita dan yang memasuki kamar itu dengan langkah lambat, dengan tubuh bergerak-gerak seperti menari ketika kedua kaki itu melangkah bergantian rapat-rapat, pinggulnya yang lebar melanggang-lenggok, pinggang yang ramping seperti patah-patah, wajah yang cantik itu tersenyum manis dengan mata menyambar penuh tantangan, namun di balik senyum itu tampak sikap memandang rendah. Wanita itu mengenakan pakaian sutera berkembang yang ketat membungkus tubuh, dipunggungnya tampak gagang pedang yang beronce merah. Sukar menaksir usia wanita ini.
Masih kelihatan amat muda seperti gadis remaja dua puluhan tahun, namun senyum bibir manis dan pandang mata tajam itu sudah amat masak sehingga patutnya dia berusia tiga puluh tahun kurang sedikit. Wanita itu bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im! Secra kebetulan saja ia melihat Siauw Lek menibulkan kekacauan di rumah Panglima The di malam hari itu ketika dalam perjalanan malamnya Cui Im lewat di kota itu. Ia amat tertarik ketika mendengar bahwa laki-laki tampan gagah itulah yang bernama julukan Kim-lian Jai-hwa-ong, julukan yang sudah banyak ia mendengarnya. Jadi inikah murid Go-bi Cjit-kwi yang dahulu menjadi musuh besar gurunya, karena gurunya Lam-hai Sin-ni pernah dahulu hampir diperkosa tujuh orang setan Go-bi itu. Ia menjadi kagum ketika menyaksikan cara Siauw Lek merobohkan lawan-lawannya, maka diam-diam ia membayangi penjahat cabul itu.
Ia ingin mencoba kepandaian murid Go-bi Chit-kwi dan juga sikap dan kepribadian Siauw Lek yang penuh kejantanan itu amat menarik hatinya, menyentuh kewanitaannya dan membangkitkan berahinya. Ketika ia membayangi laki-laki itu, Cui Im dapat menduga bahwa dalam hal kelincahan dan keringanan tubuh, dia sendiri hanya menang sendikit saja, dan kiranya tingkat kepandaian ginkang Siauw Lek tidak kalah jika dibandingkan dengan seorang di antara Bu-tek Su-kwi! Ia menjadi makin kagum dan membayangi terus. Ketika Cui Im yang mengintai perbuatan Siauw Lek di dalam pondok sederhana itu melihat kekejaman Siauw Lek membunuh suami dan bayi dari wanita yang hendak diperkosanya itu, dia tersenyum. Bukan main pria ini, pikirnya. Cerdik dan pandai, juga amat gagah perkasa, tidak gentar melakukan pembunuhan betapapun kejamnya! Orang seperti ini amat ia butuhkan.
Ia perlu mempunyai seorang pembantu seperti ini, yang berilmu tinggi, yang berwatak keras dan dingin. Dengan seorang pembantu seperti itu, barulah dia akan dapat menjagoi dunia sebagai tokoh nomor satu! Hanya ada satu hal yang masih ia ragukan, apakah pria ini patut menjadi temannya dalam petualangan cintanya! Sementara itu Siauw Lek yang biasanya memandang rendah orang lain, yang biasanya tidak gentar menghadapi siapapun juga, kini merasa bulu tengkuknya bangun berdiri. Sungguh dia tidak pernah mimpi bahwa dia akan berhadapan dengan seorang wanita secantik ini, yang dapat "menghidupkan"
Mayat, yang agaknya sejak tadi telah membayanginya tanpa dia ketahui sama sekali, yang begitu cantik akan tetapi juga mendatangkan sikap dingin yang mengerikan tersembunyi di balik kehangatan dan kegairahan yang panas membakar dan menantang!
"Eh.. siapakah engkau...?"
Siauw Lek merasa heran sendiri mengapa dia tiba-tiba menjadi gugup dan kehilangan ketenangannya. Juga gairahnya terhadap ibu muda itu lenyap sama sekali tidak kecewa melihat kenyataan bahwa kembali kesenangannya terganggu. Cui Im tersenyum dan menggunakan senyum memikat yang sudah terlatih, setengah senyum setengah tawa sehingga cukup lebar untuk memperlihatkan deretan gigi putih seperti mutiara dan sekilas pandang ujung lidahnya yang merah mencuat keluar di antara deretan gigi mutiara.
"Engkau Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek, engkau murid Go-bi Chit-kwi bukan? Hemmm, bagus sekali semua perbuatan yang kau lakukan malam ini, semenjak dari gedung panglima sampai pondok ini. Eh, orang she Siauw, apakah engkau tidak takut akan dosa dan tidak ngeri memikirkan neraka yang kelak akan menyiksamu?"
Melihat sikap dan mendengar ucapan wanita cantik ini, perlahan-lahan lenyaplah ketegangan di hati Siauw Lek. Dapatlah dia menduga bahwa wanita cantik ini bukanlah seorang anggota golongan lawan, melainkan agaknya juga seorang petualang, seorang yang tidak asing akan dunia hitam, dan mulailah pandang matanya penuh nafsu berahi menjelajahi bentuk tubuh yang ramping padat dan menjanjikan kemesraan lebih merangsang daripada ibu muda tadi.
"Nona, engkau sungguh nakal sekali, membikin aku kaget setengah mati. Mengapa engkau main-main dengan mayat itu? Kusangka betul-betul ada mayat hidup! Engkau sudah mengenal namaku, itu baik sekali. Sekarang tinggal aku yang belum mengenalmu. Kalau nona suka memperkenalkan diri, agaknya kita dapat menjadi sahabat-sahabat yang baik sekali. Bukankah begitu pendapatmu, nona yang cantik seperti bidadari?"
Cui Im mengangguk-angguk senang. Suara pria ini mendatangkan kesan baik, suaranya merdu dan mengandung rayuan yang sama mesranya dengan kata-katanya, pria yang pandai bicara, pandai menyenangkan hati wanita. Akan tetapi ia hanya tersenyum, tidak menjawab memperkenalkan diri, bahkan berkata dengan sikap memandang rendah,
"Aku harus melihat dulu apakah engkau pantas menjadi sahabatku, Jai-hwa-ong. Kita tunda dulu saja tentang namaku karena aku ingin melihat apakah engkau memiliki kepandaian seperti yang terkenal di dunia kang-ouw, ataukah hanya nama kosong belaka."
Pusaka Pulau Es Eps 3 Si Tangan Sakti Eps 6 Pusaka Pulau Es Eps 3