Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Harum 41


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 41



"Keng Hong dan Biauw Eng! Aku masih bersabar terhadap Keng Hong mengingat akan hubungan cinta kasihnya denganku dahulu, dan aku bersedia memaafkan Biauw Eng karena mengingat akan hubungan persaudarann. Akan tetapi kesabaran ada batasnya! Kalau engkau suka menurunkan ilmu itu kepadaku Keng Hong, bukan hanya engkau dan Biauw Eng yang akan bebas, melainkan juga Gui Yan Cu dan Yap Cong San. Akan tetapi kalau engkau menolak, berarti bukan hanya kalian berdua yang akan mati tersiksa, juga kedua orang muda itu!"

   "Ha-ha-ha! Mereka berdua pun adalah dua orang gagah perkasa yang menganggap kematian seperti pulang ke kampung halaman!"

   Keng Hong menantang, Dan sesungghunya pemuda ini bukan hanya omong kosong atau bicara besar, karena dia sudah memperhitungkan bahwa Cui Im tidak akan mudah begitu saja menyerah sebelum kehendaknya dipenuhi maka tidak akan membunuh mereka secara tergesa-gesa, sedangkan sebaliknya, sekali kehendaknya tercapai, tentu Cui Im akan membunuh mereka tanpa di tunda-tunda lagi. Selain ini, dia pun sudah bersiap sedia untuk turun tangan apabila keadaan sudah mendesak dan tidak ada jalan lagi untuk mengatasinya. Akan tetapi tiba-tiba Cui Im tertawa, suara ketawanya bergelak menyeramkan seperti suara kuntianak menangis karena kehausan darah.

   "Mereka kini hampir mati, dan engkau masih bicara tentang kegagahan mereka? Aku telah menyerahkan gadis ayu yang menjadi sumoimu itu kepada Thai-lek Sin-mo. Hi-hi-hik,. Engkau tentu tahu siapa Thai-lek sin-mo Cou Seng, si raksasa yang tubuhnya seperti gajah! Hi-hi-hik, kalau tidak ada urusan dengan kalian di sini, ingin sekali aku menyaksikan betapa Yan Cu menggeliat-geliat digagahi oleh raksasa itu. Mungkin saat ini sedang merintih-rintih atau mungkin juga mampu. Gadis mana yang akan dapat bertahan terhadap Thai-lek Sin-mo? Sayang, aku masih banyak urusan, terutama sekali denganmu, Biauw Eng. Engkau keras kepala, sepatutnya dihukum seperti yang diderita Yan Cu. Akan tetapi Yan Cu masih untung setidaknya menerima penghinaan dari seorang di antara Iblis-iblis Tembok Besar. Adapun engkau, engkau akan kuberikan kepada dua orang raksasa kasar yang lebih rendah derajatnya daripada dua ekor. Di sini! Di kamar ini dan engkau akan menjadi saksinya, Keng Hong! Engkau dan aku, hi-hi-hik! Kita berdua akan menikmati pemandangan yang amat mesra! Hi-hi-hik!"

   Biauw Eng dan Keng Hong terkejut bukan main, bukan mengkhawatirkan nasib mereka sendiri, melainkan mengkhawatirkan nasib dua orang teman mereka, Yan Cu dan Cong San. Mereka saling pandang dan menduga-duga, apa gerangan yang terjadi dengan mereka itu?

   Malapetaka apakah yang menimpa mereka? Cui Im memang tidak membohong ketika menceritakan tentang Yan Cu. Memang ada saja akal yang aneh-aneh dan keji-keji dalam benak iblis betina ini untuk menyiksa musuh-musuhnya. Menyaksikan sikap mesra Yan Cu terhadap Keng hong, biarpun dia tahu bahwa Yan Cu adalah sumoi dari Keng Hong, namun tak dapat ia tahan rasa cemburu yang timbul di hatinya. Yan Cu demikian muda dan demikian cantik jelita, rasa cemburu bercampur dengan rasa iri yang menimbulkan kebencian hebat. Oleh karena Yan Cu tidak ada gunanya baginya, maka gadis itu harus dibunuh, akan tetapi selain untuk menyiksanya, juga dia hendak mempergunakan kesempatan itu untuk menyenangkan hati Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang haus wanita pula.

   Hal ini mudah saja ia tangkap dari pandang mata Cou Seng yang ditujukan kepadanya. Karena dia sendiri enggan melayani raksasa gendut itu, biarlah raksasa itu memuaskan nafsunya kepada Yan Cu. Dan untuk menyiksa Cong San, di samping membangkitkan gairahnya agar kelak mudah dia merayu pemuda tampan yang menarik hatinya itu, dia mengatur agar Cong San berada di dalam kamar menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh Cou Seng terhadap Yan Cu! Malam itu memang merupakan malam yang menyeramkan, malam yang penuh ancaman mengerikan bagi empat orang muda yang menjadi tawanan di benteng Pat-jiu Sian-ong di lereng Pegunungan Tai-hang-san itu. Mereka berempat tidak tahu bahwa tiga hari yang lalu, Hun Bwee telah membunuh Lian Ci Sengjin dan gadis itu melarikan diri dari benteng.

   Pada malam hari itu, Yan Cu yang tadinya di tahan dalam kamar terpisah, didatangi Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang tertawa-tawa dan tanpa banyak bicara raksasa ini memondong tubuh Yan Cu yang dibelenggu kaki tangannya lalu dibawa keluar dari kamar tahanan. Empat orang penjaga di luar pintu kamar tahanan hanya tertawa dengan pandang mata iri karena mereka sudah menerima perintah dari Cui Im bahwa tawanan yang jelita itu "diserahkan"

   Kepada Thai-lek Sin-mo. Yan Cu maklum akan bahaya yang mengancam, akan tetapi dia sama sekali tidak berdaya dalam kempitan lengan yang amat kuat itu, apalagi dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Sementara itu, Yap Cong San yang merasa prihatin sekali, tidak pernah berhenti dengan usahanya mematahkan belenggu. Dengan pengerahan tenaga sinkang,

   Berkali-kali dia berusaha merenggut belenggu baja yang mengikat kedua tangannya pada tiang di dalam kamar tahanan, namun belenggu itu amat kuat sehingga semua usahanya hanya mengakibatkan kulit kedua pergelangan tangannya lecet-lecet. Kemudian dia mengubah cara usahanya. Pemuda ini sambil berdiri lalu menghimpun tenaga dalam, dan mulai bersamadhi untuk mempergunakan ilmu sakti dari Siauw-lim-pai, yaitu ilmu Sia-kut-sin-hoat, semacam ilmu untuk membuat tulangnya seolah-olah terlepas dan tubuhnya menjadi lemas dan licin. Untuk dapat mencapai ilmu ini diperlukan pengarahan hawa murni di tubuh sehingga dia bersamadhi sampai dua hari dua malam, barulah berhasil. Tulang pergelangan tangannya dapat dia gerakkan sedemikian rupa sehingga dapat tergeser dan dagingnya menjadi lemas sehingga akhirnya dia dapat meloloskan kedua tangannya dari belenggu demikian pula membebaskan kedua kakinya!

   Namun, setelah berhasil dia harus mengatur napas sampai lama untuk memulihkan tenaga. Belum lama dia berdiri tak bergerak mengatur napas, tiba-tiba dia mendengar jejak kaki yang berat mendatangi dari luar kamarnya. Ia terkejut, cepat dia mengatur belenggu kaki tangannya sehingga tampak seolah-olah dia masih terbelenggu, dan dia melanjutkan usahanya memulihkan tenaga yang banyak diperasnya untuk mempergunakan Ilmu Sin-kut-sin-hoat tadi. Pintu kamarnya terbuka dan dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah hatinya ketika dia melihat bahwa yang memasuki kamarnya adalah raksasa gendut Thai-lek Sin-mo yang memondong tubuh Yan Cu yang masih terbelenggu kaki tangannya dan kemudian melemparkan tubuh Yan Cu di atas pembaringan yang berada di dalam kamar itu, di depannya.

   "Ha-ha-ha!"

   Thai-lek Sin-mo tertawa bergelak dan bertolak pingang menghadapi Cong San. Pemuda ini bersikap tenang dan siap untuk melawan Yan Cu kalau si raksasa gendut ini hendak melakukan kekejian.

   "Ang-kiam Bu-tek sungguh aneh sekali! Memberikan si jelita ini memakai syarat pula, harus kulakukan di kamar ini, di depan matamu, orang muda! Ha-ha-ha! Entah apa kehendaknya, akan tetapi di depanmu atau di mana saja, apa bedanya? Hanya kuharap engkau akan cukup sopan untuk memejamkan matamu dan hanya menikmati pertunjukkan ini dengan telingamu saja. Ha-ha-ha! Gadis manis seperti bidadari, kau bersiaplah menerima aku!"

   Thai-lek Sin-mo membalikkan tubuh dan hendak menerkam tubuh Yan Cu yang rebah terlentang di atas pembaringan. Gadis itu memandang dengan mata terbelalak, maklum dia terancam bahaya yang hebat, maka mengambil keputusan untuk melawan mati-matian biarpun tangan kakinya terbelenggu. Sebagai murid tersayang dari Tung Sun Nio, ia memiliki ginkang yang hebat. Kini melihat raksasa gendut itu melangkah maju dengan kedua lengan berbulu dipentang lebar, baju atas terbuka memperlihatkan dada yang berbulu lebat, muka yang menyeringai mengerikan, Yan Cu menggerakkan tangan dan kaki yang membelenggu ke atas dipan dan sekali mengenjot tubuh, ia telah menendangkan kedua kaki yang terbelenggu itu ke arah pusat Thai-lek Sin-mo!

   "Blukkk!"

   Serangan ini sama sekali tidak tersangka-sangka oleh Thai-lek Sin-o yang sedang dimabuk nafsu berahi, maka mengenai perutnya dengan keras. Namun ternyata raksasa gendut berbangsa Kerait ini memiliki kekebalan sehingga tendangan yang amat kuat itu hanya membuat dia terhuyung dan mengerutkan kening dengan perut terasa agak mulas. Sebaliknya, karena kaki tangannya terbelenggu, ketika kaki tangannya terbelenggu, ketika kedua kaki Yan Cu bertemu dengan perut yang gendut dan keras itu, tubuhnya sendiri terbanting kembali ke atas pembaringan dengan keras.

   "Ha-ha-ha, engkau benar-benar liar! Aku senang... Aku senang sekali... Makin hebat kau melakukan perlawanan, makin menyenangkan, Manis!"

   Cou Seng sudah melangkah maju lagi mendekati pembaringan sambil tertawa terkekeh-kekeh, dari sudut mulutnya yang lebar menetes air liur seperti seekor anjing melihat daging.

   "Thai-lek Sin-mo, tahan!"

   Tiba-tiba Cong San berseru. Sudah gatal-gatal tangan pemuda ini hendak menerjang raksasa gendut itu. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda yang tenang dan cerdik. Kalau dia menerjang raksasa gendut itu di dalam kamar tahanan, mungkin dia akan berhasil membunuh lawan ini, akan tetapi tidak mungkin akan dapat membebaskan diri dan menolong Yan Cu. Kalau terjadi perkelahian di situ, tentu tokoh-tokoh fihak lawan akan datang dan mana mungkin dia dapat melawan mereka? Fihak musuh amat banyak dan banyak di antara mereka yang memiliki kepandaian amat tinggi. Thai-lek Sin-mo memutar tubuh seperti singa menoleh.

   "Mengapa banyak cerewet? Kalau kau tidak suka menonton, pejamkan matamu!"

   Bentaknya.

   "Thai-lek Sin-mo, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi dan gagah perkasa, siapa kira ternyata engkau hanya seorang pengecut dan penakut!"

   Thai-lek Sin-mo mendelik marah dan inilah yang diharapkan Cong San. Lengan yang besar itu bergerak.

   "Plakkk!"

   Pipi Cong San ditamparnya keras sekali sehingga pemuda ini merasa kepalanya pening dan ujung bibirnya berdarah. Akan tetapi dia menahan sabar dan melajutkan kata-katanya.

   "Engkau hendak menikmati tubuh gadis ini adalah hal yang wajar dan tidak aneh, akan tetapi ke mana perginya sifat gagahmu, sifat laki-lakimu sehingga engkau begitu merendah diri untuk melakukannya di sini, terlihat oleh orang lain? Hal itu akan membuat engkau malu dan hina! Apakah kalau engkau membawa dia itu ke hutan dan menikmatinya di tempat sunyi sepuas hatimu, engkau tidak berani? Takut kalau gadis yang sudah terbelenggu itu melawanmu? Begitu penakutnya engkau yang berjuluk Thai-lek Sin-mo?"

   "Yap-twako...!! Kau... Kau...!! Yan Cu terbelalak marah. Saking marahnya, Yan Cu kembali meloncat dan menerjang Thai-lek Sin-mo dengan kakinya, akan tetapi sekali ini, raksasa gendut itu cepat menyambar dan mengempit pinggangnya. Kemudian sambil menyeringai ke arah Cong San dia berkata,

   "Kalau dipikir, omonganmu benar juga. Tempat ini, terlalu sempit untuk menaklukan kuda betina liar macam ini, ha-ha-ha!"

   Setelah berkata demikian Thai-lek Sin-mo lalu membawa Yan Cu keluar dari tempat tahanan sambil tertawa-tawa Yan Cu berteriak-teriak memaki,

   "Yap Cong San, kiranya engkau hanya seorang yang berwatak pengecut dan rendah!"

   Tentu saja tidak ada penjaga yang merintangi larinya Thai-lek Sin-mo yang memondong tubuh Yan Cu yang masih berteriak-teriak memaki dan meronta-ronta itu. Ia memasuki sebuah hutan lebat yang sunyi, kemudian sambil tertawa-tawa dia merenggut pakaian Yan Cu, menelanjangi gadis itu yang menyepak-nyepak dan meronta-ronta tanpa hasil. Melihat tubuh yang menggairahkan itu di bawah sinar bulan, nafsu berahi bernyala-nyala di dalam hatinya dan dia lalu melemparkan tubuh Yan Cu ke atas rumput, sambil menyeringai dia tergesa-gesa melepas bajunya sendiri kemudian dia mendekati tubuh Yan Cu.

   Yan Cu menggulingkan tubuhnya, berusaha menjauhi orang yang mengerikan itu. Tentu saja usahanya sia-sia saja karena sambil tertawa-tawa seenaknya raksasa gendut itu melangkah lebar mengikuti ke mana tubuh gadis itu bergulingan, lagaknya seperti seekor kucing mempermainkan tikus dan hendak mempermainkan dulu sepuasnya sebelum akhirnya menerkamnya. Yan Cu mengerti bahwa dia tak mungkin dapat membebaskan diri, maka ketika melihat tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah jurang, tiba-tiba ia menggerakkan tenaga dengan kaki dan tangan menekan tanah dan tubuhnya sudah meloncat untuk terjun ke jurang. Dia memilih hancur ke dalam jurang daripada menjadi korban perkosaan Thai-lek Sin-mo. Akan tetapi, lengan raksasa itu sudah menyambarnya.

   "Ha-ha-ha, tidak boleh, Manis!"

   Kata raksasa itu dan membawa tubuh Yan Cu ke tempat tadi, merebahkan di atas rumput dan dia sendiri berlutut. Yan Cu memejamkan mata, tak tertahan lagi ia terisak menghadapi saat yang mengerikan itu.

   "Keparat, lepaskan dia!"

   Tiba-tiba Cong San muncul dan mengirim pukulan dari belakang.

   "Aihhh!"

   Cong San terkejut dan cepat meloncat bangun sambil menangis. Ke dua lengan mereka bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang. Ternyata tenaga raksasa itu benar-benar hebat sekali.

   Untung bahwa Cong San tidak terlambat datangnya dan bahwa Thai-lek Sin-mo hendak mempermainkan dulu korbannya sehingga gadis itu terhindar daripada perkosaan. Ketika tadi melihat Thai-lek Sin-mo melarikan Yan Cu, Cong San cepat berkelebat keluar, kaki tangannya bergerak cepat merobohkan empat orang penjaga di depan pintu kamar tahanan sehingga mereka roboh tanpa sempat berteriak lagi, kemudian Cong San menyelinap keluar, mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk meloncat-loncat dan menyelinap di antara pohon-pohon mengejar Thai-lek Sin-mo. Kalau saja dia tidak mendengar suara Thai-lek Sin-mo tertawa-tawa, agaknya akan sukar baginya untuk dapat menyusul dengan cepat. Ketika melihat raksasa itu berlutut dan Yan Cu menangis, kemarahan membuat dada Cong San seperti hendak meledak maka dia langsung mengirim pukulan yang dapat ditangkis oleh raksasa gendut itu.

   "Tar-tar-tarrr...!"

   Thai-lek Sin-mo sudah melolos cambuk bajanya menyerang Cong San.

   Raksasa gendut ini marah sekali karena dalam saat terakhir kerika dia hendak menikmati korbannya muncul pemuda ini yang sama sekali tidak disangkanya. Dia tidak sempat lagi menyelidiki bagaimana pemuda itu dapat terlepas dan muncul, kemarahan membuat dia gelap mata dan langsung menyerang kalang kabut dengan sambaran pecut bajanya yang lihai. Cong San bertangan kosong. Kedua macam senjatanya, yaitu senjata rahasia Touw-kut-chi (Uang logam Penebus Tulang) dan sepasang Im-yang-pit telah dirampas musuh. Namun pemuda gemblengan ketua Siauw-lim-pai ini bersikap tenang dan tabah. Melihat gulungan sinar hitam dari pecut baja lawan yang menyambar-nyambar, dia lalu mengerahkan ginkangnya, melesat ke kanan kiri dan berusaha membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh dan dekat.

   "Yap Cong San manusia hina! Aku tidak membutuhkan bantuanmu!"

   Terdengar Yan Cu memaki, menahan isak. Hatinya masih panas sekali mengingat akan sikap Cong San dalam kamar tahanan tadi yang seolah-olah tidak memperdulikan nasibnya malah memberi nasihat kepada raksasa gendut untuk melarikannya dan memperkosanya di dalam hutan. Sambil meloncat tinggi mengelak sambaran pecut yang menyerampang kakinya, Cong San membela diri terhadap makian gadis yang menjatuhkan hatinya itu,

   "Harap jangan salah sangka, Moi-moi. Aku sengaja memancing dia ke tempat sunyi ini agar dapat menolongmu tanpa gangguan musuh-musuh yang lain!"

   "Oohhh... maaf... maaf...!"

   Yan Cu kini terisak lagi seperti tadi, hanya bedanya, kini ia terisak karena menyesal akan dugaannya yang keliru sehingga dia memaki pemuda itu, dan karena girang mengharapkan pertolongan. Mendengar isak tangis gadis itu, Cong San mendapat semangat baru dan gerakkannya makin lincah. Ketika cambuk itu dengan suara bercuitan menyambar lehernya, dia mengerahkan sinkang, membiarkan ujung cambuk baja membelit leher, namun secepat kilat dia menangkap cambuk dan kedua kakinya mengirim tendangan berantai ke arah pusar dan tangan lawan yang memegang cabuk.

   Gerakannya cepat sekali, juga amat kuatnya. Dalam hal ilmu silat, memang pemuda ini masih menang setingkat dibandingkan lawannya, menang cepat dan ilmu silatnya lebih murni, gerakannya lebih teratur, hanya dalam hal tenaga dia kalah sedikit. Menghadapi tendangan yang susul-menyusul amat cepatnya ini, Cou Seng terkejut dan mengeluarkan gerengan dahsyat ketika dia terpaksa melepaskan gagang cambuk untuk menyelamatkan pergelangan tangannya dari sebuah tendangan kilat. Cong San cepat melepaskan cambuk dan melempar cambuk itu jauh dari tempat itu. Akan tetapi, tiba-tiba lawannya yang bertubuh gemuk bundar itu sudah menubruknya dan tahu-tahu kedua lengan yang berbulu dan besar telah memeluk pinggangnya. Betapapun Cong San mengerahkan tenaga, tetap saja tubuhnya terangkat ke atas dan di banting!

   "Brukkk!"

   Tubuh Cong San terguling-guling dan kembali raksasa gendut itu menubruk. Namun sekali ini Cong San yang merasa sakit-sakit pinggul dan punggungnya, telah siap dan kakinya menendang dari bawah.

   "Desssss!"

   Tubuh Cou Seng yang sedang menubruk maju itu kena ditendang dadanya. Raksasa itu terbatuk-batuk dan napasnya seperti kan putus.

   Ternyata dia kuat sekali karena ketika Cong San meloncat bangun dan memukul ke arah ulu hatinya dengan pukulan keras, raksasa itu masih dapat mengelak miring dan tahu-tahu lengan kanan Cong San sudah ditangkapnya. Dengan jurus ilmu gulat yang tidak dikenal Cong San, tahu-tahu lengan itu dipelintir dan tubuh Cong San sudah ditelikung, hendak dipatahkan sambungan lengan dari pundaknya! Cong San merasa betapa pundaknya nyeri bukan main. Cepat dia membalik, mengendorkan lengan kanan yang hendak dipatahkan, jari tangan kirinya menyambar dan menotok pinggang lawan karena keadaan tubuhnya sudah dihimpit ke bawah. Sedetik saja dia terlambat tentu sudah terlepas sambungan lengannya dari pundak! Totokan itu membuat tubuh Cou Seng tiba-tiba lemas dan kesempatan ini dipergunakan oleh Cong San untuk merenggut lengannya terlepas,

   Kemudian secepat kilat dia menamparkan tangan kirinya ke arah kepala lawan yang masih lemas dan belum pulih kekuatannya itu. Kalau tamparan itu mengenai sasaran, betapa pun kebal tubuh Cou Seng, tentu akan pecah kepalanya. Akan tetapi, Cou Seng bukanlah seorang lemah dan dia sudah mengalami banyak perkelahian mati-matian. Biar pun kepalanya pening dan tubuhnya lemas akibat totokan di pinggangnya tadi, melihat datangnya tamparan, dia merasa sempar melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan sehingga jalan darahnya pulih kebali. Ketika Con San meloncat mengejar dan mengirim tendangan, tangan kirinya menyambar. Ia memang ahli dalam ilmu gulat yang menggunakan kecepatan gerak jari tangan untuk menangkap bagian tubuh lawan.

   Kini jari-jari tangan kirinya berhasil menangkap tumit kaki Cong San yang menendang, lalu menggunakan tenaga sentakan karena untuk memegang terlalu lama pun berbahaya baginya. Cong San mengeluarkan seruan kaget. Untuk menjaga kakinya yang bisa terkilir atau bahkan patah, dia tidak melawan, bahkan mengikuti gerak putaran lawan sehingga tubuhnya terbanting ke kiri. Terbanting keras namun cepat dia melanjutkan bantingan itu dengan loncatan ke atas terjungkir balik beberapa kali. Setelah dia meloncat turun, dia melihat Cou Seng sudah lari. Celaka, pikirnya, kalau setan itu memanggil kawan-kawannya, dia dan Yan Cu akan tertawan kembali! Cepat dia mengambil sebuah batu dan dengan kepandaiannya menyambitkan senjata rahasianya, batu itu melayang ke arah tubuh Cou Seng.

   "Aduhhh...!"

   Tubuh raksasa itu terguling. Cong San cepat meloncat dekat dan hampir saja dia menjadi korban tipu muslihat Thai-lek Sin-mo. Ketika pemuda ini membungkuk, tiba-tiba kedua tangan raksasa itu menyambar ke atas hendak mencekik lehar.

   "Aihhh...!"

   Cong San cepat menggunakan tangannya, bukan menangkis karena dia sudah maklum akan kekuatan kedua tangan yang sudah menyentuh kulit lehernya sehingga tangkisan mungkin takkan menyelamatkan lehernya yang tentu akan remuk oleh cengkeraman lawan. Sebaliknya dia menggunakan kedua lengan lawan dekat siku. Pemuda murid Siauw-lim-pai ini memang ahli totok jalan darah karena sepasang senjatanya, Im-yang-pit memang merupakan senjata untuk menotok. Tentu saja totokannya tepat mengenai sasaran sehingga kedua lengan lawan menjadi lumpuh dan cekikan itu pun terlepas. Cou Seng memang hebat sekali ilmu gulatnya.

   Kedua lengannya sudah lumpuh untuk sementara, akan tetapi kedua kakinya tidak dan sebelum Cong San tahu apa yang akan dilakukan oleh jago gulat yang lihai ini, tahu-tahu kedua kaki raksasa gendut itu sudah membelit dan "menggunting"

   Kedua kakinya sehingga tanpa dapat ditahannya lagi, tubuhnya terguling menindih tubuh Cou Seng. Hebatnya, raksasa gendut ini biarpun perutnya gendut seperti kerbau, ternyata gerakan tubuhnya di atas tanah cepat bukan main karena begitu lawan roboh karena dia "sengkelit"

   Kakinya, dia sudah menggulingkan tubuh dan tahu-tahu tubuhnya sendiri yang besar dan berat sudah menindih malang pada tubuh Cong San! Dalam keadaan rebah tertelungkup ditindih tubuh sebesar Thai-lek Sin-mo yang masih menggunakan tenaga itu sama saja dengan ditindih tubuh seekor gajah sehingga Cong San sampai tak mampu berkutik!

   Masih untung bagi murid Siauw-li-pai itu bahwa kedua tangan lawannya masih setengah lumpuh, karena kalau kedua tangan lawannya sudah pulih tenaganya, dalam keadaan tertelungkup dan terhimpit itu tentu saja lawannya akan dapat mengirim pukulan maut dengan amat mudahnya! Cong San cepat menjangkau untuk meraih dan memukul, akan tetapi jago gulat itu sudah memperhitungkan ini sehingga dia menghimpit tubuh bagian bawah lawan, dan kedua tangan Cong San tidak dapat memukulnya. Dalam keadaan amat berbahaya ini, Cong San tidak memperdulikan lagi akan penuturan kaum persilatan karena lawannya pun menggunakan ilmu gulat. Ia mencengkeram ke atas dan berhasil menjambak rambut lawan yang terurai lepas, terus menarik rambut itu sekuatnya.

   "Wadouuhhh...!"

   Kulit Thai-lek Sin-mo boleh jadi kebal, akan tetapi kalau akar-akar rambutnya hendak tercabut, sakitnya bukan kepalang dan terpaksa dia menjulurkan kepalanya agar tidak terlalu keras tertarik. Namun gerakannya inilah yang mencelakakannya karena kini tangan Cong San dapat bergerak cepat, melepas rambut dan jari tangannya di tusukkan ke ubun-ubun lawan.

   "Crokkk!"

   Tiga buah jari tangan pemuda itu amblas memasuki batok kepala kurang lebih lima senti dalamnya, menembus otak. Teriakan dahsyat keluar dari mulut Cou Seng, tubuhnya berkelojotan dan nyawanya melayang. Cong San keluar dari himpitan tubuh berat itu, memandang dan setelah merasa pasti bahwa lawannya tewas, dia lalu lari menghampiri Yan Cu. Melihat keadaan gadis yang telanjang bulat, Cong San cepat menyambar pakaian gadis itu dan dengan menahan debaran jantungnya serta menahan agar matanya tidak terlalu liar memandang tubuh itu, dia mengenakan pakaian pada tubuh Yan Cu sedapatnya. Yan Cu membantu sebisanya dengan gerakan tubuh karena kedua tangannya terbelenggu ke belakang sedangkan kedua kakinya masih terbelenggu pula.

   "Kita harus cepat membuka belenggumu,"

   Bisik Cong San.

   "Twako, maafkan aku..."

   "Hushhh... sudahlah, aku yang salah, menggunakan akal kau keliru menyangka...!"

   "Dan terima kasih atas pertolonganmu yang tak ternilai besarnya..."

   "Ssttttt..., jangan ucapkan itu, Moi-moi. Yang penting sekarang bagaimana kita dapat mematahkan belenggu."

   "Kau sendiri, bagaimana dapat meloloskan diri?"

   "Dengan Ilmu Sia-kun-sin-hot, akan tetapi terlalu lama dan... ah..."

   "Eh, kau terluka, Twako?"

   Yan Cu bertanya kaget. Cong San mengusap bibirnya yang berdarah. Memang dia terluka, luka di sebelah dalam tubuh yang dia derita dalam perkelahian mati-matian tadi. Selain luka dalam akibat bantingan dan pukulan, juga lehernya masih nyeri bekas libatan ujung cambuk baja, pundaknya agaknya terkilir ketika lengannya hendak dilepaskan dari pundak oleh lawan tadi.

   "Luka tidak berarti, yang penting mematahkan belenggumu. Sayang kita tidak membawa senjata..."

   Cong San lalu pergi mengambil dua buah batu besar. Sebuah batu yang terbesar dia letakkan di atas tanah, kemudian dia minta supaya Yan Cu merebahkan tubuh miring sehingga kedua tangannya berada di dekat batu. Setelah mengatur agar belenggu tangan itu berada di atas batu, dia berbisik,

   "Tahankanlah, Moi-moi, aku akan mencoba untuk mematahkan belenggu dengan batu ini!"

   Yan Cu mengangguk dan mulailah Cong San mengempur belenggu itu bertubi-tubi dengan batu yang dipegangnya kuat-kuat. Tentu saja tidak mungkin mematahkan belenggu besi dengan batu tanpa menggunakan tenaga sinkang dan untuk perkerjaan ini, Cong San mengerahkan seluruh tenaganya. Rasa sakit-sakit di tubuhnya bertambah dan keringat telah membasahi seluruh muka dan lehernya ketika akhirnya dia dapat juga mematahkan belenggu kedua tangan Yan Cu. Gadis ini pun bukannya tidak menderita. Setiap kali belenggu tangannya dipukul, rasa pedih dan panas menjalar dari pergelangan tangan seperti menusuk jantung. Maka begitu kedua tangannya terlepas, ia lalu merangkul leher pemuda itu dan ia membenamkan mukanya di dada yang basah oleh keringat.

   "Eh...! Ah...! Belenggu kakimu, Moi-moi...!"

   Cong San tidak tahu mana yang lebih membingungkan hatinya, rangkulan kedua lengan itu ataukah belenggu kaki Yan Cu yang belum patah! Untuk menyembunyikan kebingungannya, Cong San lalu mulai hendak mematahkan belenggu kaki dengan batu tadi sungguhpun tenaganya sudah hampir habis dan dadanya terasa sasak. Karena kaki gadis itu agak jauh dari batu yang dipakai landasan, maka Cong San memegang pergelangan kaki gadis itu untuk di dekatkan dengan batu.

   "Plakkk!"

   Cong San terkejut sekali karena tangannya yang memegangi kaki itu ditampar. Lebih kaget lagi ketika dia menengok, dia melihat pandang mata gadis itu penuh kemarahan.

   "Yap-twako, apakah engkau juga menjadi kurang ajar?!"

   Cong San terbelalak kaget,

   "Apa...??"

   "Kau meraba-raba kaki, mau apa?"

   "Eh... ohhh ... aku... aku hendak mematahkan belenggu kakimu..."

   Sejenak pandang mata gadis itu menatapnya tajam penuh selidik, kemudian tersenyum dan merangkul pundak pemuda itu, melonjorkan kakinya, dan berkata lirih,

   "Maafkan aku... ah. Aku selalu berprasangka buruk terhadap dirimu, Twako. Lakukanlah... dan... terima kasih."

   Hemmm, sungguh gadis yang aneh dan... Menggemaskan, pikir Cong San. Bukan gemas marah, melainkan gemas mengkal membuat orang ingin mencubitnya! Gadis itu merangkul lehernya, kini merangkul pundaknya dan meletakkan pipinya di atas pundaknya, semua itu dilakukan dan tidak apa-apa. Sedangkan dia, baru meraba kaki karena hendak mematahkan belenggu saja, tangannya ditampar dan disangka kurang ajar! Aturan mana ini? Mau menang sendiri saja! Dengan hati gemas Cong San lalu memukuli batu yang dipegangnya pada belenggu kaki dan karena besi belenggu itu lebih besar daripada belenggu tangan, tentu saja lebih sukar dipatahkan. Namun dia bekerja terus, tidak sadar betapa gadis itu memandangnya dengan sinar mata sayu, tidak merasa betapa keringatnya bercucuran dari dagu dan lehernya.

   "Twako...!"

   Suara itu terdengar dekat sekali dengan telinga, bisikan yang menghembuskan napas halus ke kuduknya.

   "Hemmm...?"

   Cong San tidak menghentikan usahanya mematahkan belenggu, menghantam terus sampai telapak tangannya lecet-lecet berdarah.

   "Kenapa engkau begini baik terhadapku, Twako?"

   "Hemmm....?"

   Kini Cong San menghentikan hantamannya pada belenggu kaki itu dan melirik ke kanan, ke arah pundaknya di mana gadis itu meletakkan pipinya. Tiba-tiba jantung pemuda ini berdebar keras. Wajah itu begitu dekat sehingga dia dapat merasakan hembusan napas hangat di pipinya, dan pandang mata itu begitu lembut, jari-jari tangan yang halus itu kini mengusap peluh dari lehernya, begitu mesra!

   "Moi-moi, mengapa kau masih bertanya lagi? Aku bersedia membela dan melindungi dengan taruhan nyawaku."

   "Aku tidak menanyakan hal itu, Twako. Yang aku ingin ketahui adalah mengapa engkau amat baik terhadap aku?"

   Benar-benar gadis yang aneh. Apa bedanya? Jawaban tadi bukankah sudah menjelaskan isi hatinya? Diam-diam Cong San tersenyum di dalam hatinya. Hemmm, agaknya gadis ini menghendaki jawaban yang langsung. Baiklah!

   "Aku akan selalu bersikap baik terhadap dirimu, Moi-moi, selama hidupku, karena aku cinta padamu, Moi-moi."

   "Benarkah Twako? Benarkah engkau mencintaku? Sungguh-sungguh?"

   Hemmm! Betapa mengemaskan! Cong San menarik napas panjang.

   "Tentu saja, Moi-moi, tentu saja sungguh-sungguh. Aku berani bersumpah!"

   Ketika dia memberanikan diri untuk bertanya.

   "Dan bagaimana tanggapanmu, Moi-moi?"

   "Apa? Tanggapan bagaimana?"

   Hemmm, bocah ini! Ingin Cong San mencubit bibir yang bertanya seperti orang yang pura-pura tidak mengerti itu.

   "Bagaimana dengan hatimu? Dapatkah aku menerima cinta kasihku? Apakah... Apakah mungkin seorang gadis jelita seperti engkau mencintaku?"

   Yan Cu membelalakkan matanya dan merenggangkan matanya dari atas pundak Cong San, tidak tahu betapa gerangan itu amat mengecewakan hati pemuda itu. Cinta?

   "Apa sih cinta itu, Twako?"

   "Cinta ya cinta! Bagaimana, Moi-moi? Bagaimana perasaan hatimu terhadap diriku? Apakah engkau juga cinta kepadaku?"

   Yan Cu mengeleng-geleng kepala, membuat hati Cong San seperti tertindih anak gunung.

   "Sampai kini pun aku belum mengerti jelas bagaimana cinta itu sebenarnya, Twako. Karena belum mengerti, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu itu?"

   Cong San menarik napas panjang, hatinya tidak seberat tadi akan tetapi tetap saja dia masih belum puas, merasa seperti tergantung di awang-awang, tenggelam tidak terapung pun belum! Kemudian dia teringat akan pekerjaannya dan tanpa berkata apa-apa dia lalu melanjutkan menghantam belenggu kaki dengan batu sekuat tenaga.

   "Yap-twako, kau marah?"

   "Hemmm? Tidak.."

   Akan tetapi hantamannya makin keras saja.

   "Biar kugantikan kau, Twako. Lihat tanganmu sudah lecet-lecet. Kasihan engkau, Twako."

   Suara lembut ini merupakan kompres yang mendinginkan hati Cong San. Akan tetapi pada saat dia hendak menyerahkan batu itu kepada Yan Cu, tiba-tiba dia meloncat bangun dengan kaget.

   Juga Yan Cu meloncat berdiri, lupa bahwa kakinya masih terbelenggu sehingga dia hampir terguling kalau tidak disambar lengannya oleh Cong San. Ternyata di depan mereka telah berdiri Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong, dua orang di antara Empat Datuk Golongan Sesat yang sakti! Namun, melihat dua orang musuh ini, Cong San berteriak keras dan menyerang dengan nekat ke arah Pat-jiu Sian-ong, menggunakan batu yang dipegangnya. Pat-jiu Sian-ong menangkis dengan tangan kiri. Batu ini hancur bertemu dengan tangan Pat-jiu Sian-ong dan Cong San yang sudah kehabisan tenaga itu terhuyung, kemudian roboh terkena tepukan tangan kakek kecil itu pada pundaknya. Yan Cu yang kakinya masih terbelenggu akan tetapi kedua tangannnya sudah bebas itu pun secara nekat telah meloncat ke kedua tangannya.

   
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hebat pukulan gadis ini, akan tetapi yang diserangnya adalah seorang tokoh yang menjadi datuk hitam. Kalau saja dia tidak terbelenggu kakinya, mungkin dengan kepandaiannya yang sudah amat tinggi itu Yan Cu akan dapat melawan. Akan tetapi kini gerakannya kaku dan sebuah tamparan dari samping seperti raksasa dengan kulit hitam arang itu membuat Yan Cu terlempar dan terbanting di dekat Cong San. Sebelum dua orang muda itu sempat bergerak, ujung jari tangan kedua kakek itu telah menotok mereka lumpuh dan dengan mudah dua orang kakek itu mengempit tubuh mereka dan dibawa kembali ke dalam benteng! Demikianlah keadaan dua orang muda itu yang kini sudah berada di dalam kamar tahanannya kembali. Mereka di lempar ke dalam kamar tahanan dan setelah Yan Cu dapat bergerak lagi, biar pun kedua tangannya kini telah dipasangi belenggu baru,

   Gadis ini cepat menghampiri Cong San yang masih pingsan dan menggunakan pengertiannya tentang pengobatan untuk merawat pemuda itu memulihkan tenaga serta mengobati luka-luka di dalam tubuh yang tidak membahayakan nyawanya namun memerlukan perawatan yang teliti. Peristiwa itu terjadi sehari sebelum Cui Im mengunjungi kamar tahanan Keng Hong dan membawa Biauw Eng ke kamar pemuda itu. Dia sengaja membohong dan menceritakan bahwa dia telah menghadiahkan Yan Cu kepada Thai-lek Sin-mo, tidak mengatakan bahwa kawannya itu telah tewas di tangan Cong San. Setelah membuat Keng Hong dan Biauw Eng menjadi gelisah memikirkan keselamatan Yan Cu dan Cong San, Cui Im bertepuk tangan lagi dan muncullah kedua orang murid Pat-jiu Sian-ong yaitu Thian-te Siang-to.

   "Panggil dua ekor babi itu ke sini!"

   Dua orang murid Pat-jiu Sian-ong itu saling pandang. Jelas mereka merasa kecewa dan ragu-ragu dan memang sayang sekali kalau Biauw Eng yang demikian cantik jelita hanya diberikan kepada dua orang anggauta anak buah benteng itu yang tingkatnya paling rendah! Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah dan cepat pergi. Tak lama keudian muncullah dua orang laki-laki bangsa Mongol yang setengah liar. Tubuh mereka tinggi besar dengan otot-otot menonjol pada kaki tangan dan dada mereka yang bertelanjang. Hanya sehelai cawat yang kecil kotor saja menutup tubuh mereka, tubuh yang kulitnya retak-retak seperti kulit buaya, kering keras dan kasar. Muka mereka buruk sekali, dengan mata sipit yang dilebar-lebarkan, mulut yang tak dapat tertutup rapat. Kedatangan mereka berdua ke dalam kamar itu membawa bau yang apek dan tidak enak.

   Agaknya mereka telah diberi tahu sebelumnya akan tugas mereka, karena begitu memasuki kamar, mereka langsung memandang ke arah Biauw Eng dan tertawa-tawa ha-ha-he-he-he seperti sikap orang yang tidak normal pikirannya. Akan tetapi, betapa pun bodohnya, kedua orang liar kasar ini agaknya takut kepada Cui Im dan mereka hanya berdiri menghadapi Cui Im sambil menanti perintah. Cui Im menoleh kepada Keng Hong dan hatinya yang penuh kebencian itu menjadi girang menyaksikan betapa wajah Keng Hong yang biasanya tenang itu kini berubah, memandang ke arah dua orang pria itu dengan penuh kengerian dan kebencian, juga ia gembira sekali melihat betapa wajah Biauw Eng pucat ketika pandang mata gadis itu tertuju kepada dua orang laki-laki setengah telanjang itu.

   "Hi-hi-hik, Biauw Eng. Boleh jadi engkau tahan siksaan dan tidak takut mati, akan tetapi kuat dan beranikah engkau menghadapi kedua ekor babi hutan ini yang akan memperkosamu sampai mati di depan pandang mata kekasihmu, Keng Hong?"

   Biauw Eng menggeleng-geleng kepala kuat-kuat dan bibirnya mengeluarkan suara gemetar. Cui Im tertawa terkekeh-kekeh.

   "Ha-ha-heh-heh-heh, Sie Biauw Eng yang terkenal sebagai seorang wanita tak pernah mengenal takut, yang berwatak dan berdarah dingin seperti mayat hidup, sekarang baru mengenai artinya takut dan baru ngeri hatinya. Hi-hi-hik, alangkah lucunya!"

   "Bhe Cui Im!"

   Suara bentakan Biauw Eng terdengar melengking dan mengandung hawa dingin yang mengejutkan Cui Im. Suara ini mengingatkan dia akan masa dahulu ketika ia masih menjadi suci dari gadis itu dan ketika tingkat kepandaiannya masih jauh berada di bawah Biauw Eng sehingga dia tunduk kepada sumoinya. Ia memandang dan melihat sinar mata Biauw Eng yang mengandung keberanian luar biasa seperti dahulu.

   "Cui Im, jangan kira bahwa aku merasa takut atau ngeri menghadapi rencanamu yang keji. Engkau tahu bahwa dengan kepandaianku, aku dapat membuat tubuhku seperti mati dan apa pun yang akan dilakukan orang terhadap tubuhku, tidak akan dapat menyentuh perasaan hatiku. Akan tetapi, aku kasihan kepada Keng Hong yang akan menyaksikannya Cui Im, apa sih untungmu menyiksa kami seperti ini? Kalau memang sudah tidak ada jalan lain, kau bunuh saja kami."

   Diam-diam Cui Im menjadi makin marah dan habislah harapannya untuk dapat memaksa Keng Hong agar memberikan ilmu yang diinginkannya. Maka ia tangannya kepada dua orang raksasa telanjang itu. Kedua orang Mongol ini saling pandang, menyeringai seperti dua ekor anjing yang hendak memperebutkan tulang. Melihat ini, Cui Im cepat berkata,

   "Bedebah! Jangan berebut, lakukan berdua dengan kerja sama yang baik!"

   Dua orang raksasa itu menjadi takut dan mereka bergerak perlahan menghampiri pembaringan di mana tubuh Biauw Eng rebah terlentang. Setelah dekat dengan pembaringan dan Biauw Eng yang sudah putus asa itu telah memejamkan mata dan menggunakan kepandaiannya untuk mematikan segala panca indera, dua pasang lengan yang panjang lengan yang panjang dan jari-jari tangan yang besar dan kasar itu bergerak hendak menjamah tubuh Biauw Eng, hendak merenggut lepas pakaian gadis sebagai langkah pertama kedua orang laki-laki liar yang melaksanakan tugas penuh gairah itu.

   "Tahan! Kalau tangan-tanganmu yang kotor menyentuh gadis itu, kalian akan mampus!"

   Bentak Keng Hong yang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan sepasang matanya memandang seperti mengeluarkan api bernyala-nyala kepada kedua orang raksasa Mongol. Kedua orang itu terkejut mendengar suara yang mengandung khikang kuat dan amat berwibawa itu, akan tetapi ketika mereka menoleh dan melihat betapa Cui Im hanya tertawa mengejek, mereka pun tertawa lalu melanjutkan gerakannya yang tertunda. Seorang meraih baju, seorang lagi meraih celana.

   "Krakkkkk-krakkkkk!"

   Tiba-tiba terdengar suara keras, belenggu tangan dan kaki Keng Hong hancur berantakan dan tubuhnya sudah mencelat ke depan.

   Saking kagetnya menyaksikan hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu, Cui Im hanya memandang terbelalak melihat betapa tubuh Keng Hong sudah berkelebat maju, kedua tangannya menjambak rambut kepala dua orang raksasa itu dan sekali gerak, dia sudah membenturkan dua buah kepala itu satu sama lain sehingga terdengar suara keras dan dua buah kepala itu pecah berhamburan! Tanpa bersambat lagi dua orang raksasa Mongol itu tewas seketika. Demikian cepat gerakan Keng Hong sehingga kedua orang itu sama sekali tidak sempat untuk membela diri. Keng Hong meraba belenggu kaki tangan Biauw Eng dan beberapa kali renggutan dengan pengerahan sinkangnya yang sudah mencapai tingkat amat tinggi, belenggu pada kaki tangan Biauw Eng patah-patah.

   "Lekas kau pergi menolong mereka..."

   Keng Hong berkata sambil cepat membalikkan tubuh menghadapi Cui Im. Biauw Eng mengerti apa yang dimaksudkan Keng Hong, maka dia lalu meloncat keluar melalui pintu kamar tahanan itu, membiarkan Keng Hong yang ia percaya penuh akan kelihaiannya untuk menghadapi Cui Im yang merupakan lawan terkuat. Biauw Eng maklum pula bahwa saatnya untuk memberontak dan melawan mati-matian telah tiba, maka ia pun tidak mau ragu-ragu lagi.

   Begitu tiba di luar pintu kamar itu, empat orang penjaga yang datang karena kaget mendengar suara ribut-ribut, dirobohkan oleh Biauw Eng dalam sekejap mata, bahkan gadis itu lalu menyambar sebatang pedang yang dirampasnya dari seorang di antara mereka yang dirobohkannya. Cui Im telah dapat menguasai hatinya yang sejenak mengalami guncangan saking kagetnya melihat Keng Hong tiba-tiba dapat membebaskan diri itu. Kini mengertilah ia bahwa selama ini Keng Hong hanya berpura-pura manjadi tawanan dan bahwa kalau dikehendaki, pemuda luar biasa itu setiap saat dapat membebaskan diri sendiri. Akan tetapi Cui Im tidak menjadi takut. Cepat ia mencabut pedang Siang-bhok-kiam, pedang kayu milik Keng Hong yang telah dirampasnya dan ia telah siap melawan Keng Hong dengan pedang itu.

   "Hemmm... kiranya engkau telah mengatur semua rencana untuk menyelamatkan diri, Keng Hong. Jangan kira akan mudah saja!"

   Ia tertawa dan memandang Pedang Kayu Harum di tangannya lalu menyambung.

   "Sungguh tidak kusangka sama sekali bahwa akhirnya Cia Keng Hong, pewaris utama Siang-bhok-kiam, akan mati di ujung Siang-bhok-kiam sendiri!"

   Setelah berkata demikian, Cui Im lalu menerjang maju dengan pedang digerakkan cepat sekali, mengirim serangan kilat ke arah tenggorokan Keng hong dengan ujung digetarkan dan siap melanjutkan serangan dengan goresan ke bawah untuk membelah dada! Hebat sekali penyerangan Cui Im ini, selain cepat, juga mengandung sinkang yang kuat sekali. Keng Hong meraba ke arah pusarnya dan ketika tangan itu diangkat ke atas, berkelebatlah sinar kehijauan menangkis pedang kayu di tangan Cui Im.

   "Krekkkkkk!"

   "Aihhh...!"

   Cui Im terkejut bukan main melihat Pedang Kayu Harum di tangannya itu hancur berkeping-keping ketika bertemu dengan pedang di tangan Keng Hong. Ketika ia memandang, hatinya makin terkejut melihat bahwa pemuda itu ternyata juga memegang sebatang pedang kayu yang serupa benar dengan pedangnya tadi. Teringatlah ia akan akal Keng Hong dahulu mengelabui para pimpinan Kun-lun-pai, dan tahulah ia bahwa pedang Siang-bhok-kiam yang dirampasnya dari Keng Hong dan yang tadi ia pergunakan itu ternyata pun hanya sebatang Siang-bhok-kiam palsu saja, sedangkan Pedang Kayu Harum yang aslinya masih berada di tangan Keng Hong, disembunyikan di dalam celananya!

   "Keparat, penipu busuk!"

   Cui Im menjerit penuh kemangkalan dan membuang gagang pedang kayu palsu, kemudian sekali tangannya bergerak, tampak sinar merah menyilaukan mata dan pedang merahnya yang terkenal telah berada di tangannya, kemudian langsung ia mengirim tusukan dengan pedang merahnya. Keng Hong cepat menangkis dan melanjutkan tangkisan dengan tusukan Siang-bhok-kiam dengan gerakan melengkung, mengarah ubun-ubun lawan.

   "Cringgggg...!"

   Cui Im maklum akan bahaya maut ini maka cepat menangkis sekuat tenaga. Namun tetap saja ia merasa betapa tangan kanan sampai ia cepat-cepat meloncat mundur. Pada saat itu, dari pintu muncullah Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong. Tanpa banyak cakap lagi, dua orang kakek yang sudah maklum akan kelihaian Keng Hong, maju menerjang pemuda itu dengan senjata mereka. Keng Hong tahu akan bahayanya dikeroyok tiga orang sakti ini, apalagi di tempat yang sempit. Sebenarnya, dia tidak merasa takut dan merasa yakin akan sanggup menandingi mereka, akan tetapi hatinya penuh kekhawatiran akan nasib tiga orang temannya,

   Terutama sekali tentu saja nasib Biauw Eng. Karena ini, tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring, pedang Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak cepat menangkis kebutan hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong dan pedang merah di tangan Cui Im yang menyerangnya. Sekaligus dia menangkis dua senjata lawan ini, akan tetapi dia pun waspasa terhadap serangan Pak-san Kwi-ong, maka tubuhnya cepat sekali bagaikan burung terbang melesat di antara dua buah tengkorak manusia yang menyambar-nyambar di ujung rantai yang dipegang kedua tangan kakek tinggi besar hitam itu. Sambil melesat di antara dua buah buah tengkorak. Keng hong memutar pedang dibantu tangan kiri yang mendorong dengan pukulan sinkang sehingga angin bercuitan menyambar tiga orang lawan dibarengi sinar kehijauan Siang-bhok-kiam.

   Tiga orang lawannya yang memiliki ilmu tinggi cukup waspada, maka mereka melangkah mundur dan memutar senjata melindungi tubuh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat keluar pintu kamar tahanan. Suara hiruk-pikuk beradu senjata menarik perhatiannya dan ke tempat itulah Keng Hong meloncat secepat kilat. Dugaannya benar. Di dalam sebuah kamar tahanan lain, dia melihat Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mengamuk dikeroyok banyak tokoh musuh. Biauw Eng bersenjatakan pedang, Yan Cu juga agaknya sudah berhasil merampas pedang perkasa ini juga mengamuk menggunakan kaki tangannya. Ketika tadi dibebaskan Keng Hong, Biauw Eng berhasil menemukan Yan Cu yang sedang merawat Cong San di dalam kamar tahanan.

   Biauw Eng merobohkan beberapa orang penjaga dan dengan senjata rampasannya ia berhasil pula mematahkan belenggu kaki tangan kedua orang teman itu. Akan tetapi mereka segera dikurung dan dikeroyok oleh Gu Coan Kok, Hok Ku, keempat Pak-san Su-liong yaitu murid-murid Pak-san Kwi-ong yang bersenjata rantai tengkorak, dan kemudian datang pula Thian-te Siang-to bersama tokoh-tokoh anak buah Pat-jiu Sian-ong sehingga di dalam kamar tahanan itu terjadi pertempuran yang hebat dan mati-matian. Melihat keadaan tiga orang kawannya yang masih selamat biar pun telah terdesak hebat, Keng Hong menjadi lega hatinya. Ia mengeluarkan pekik melengking tinggi dan tubuhnya menerjang maju. Bobollah kepungan itu dan beberapa orang terpelanting oleh terjangan pemuda sakti ini yang terus melompat ke dalam sambil berseru,

   "Kita terjang keluar! Cepat...!"

   Namun pada saat itu Cui Im, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong sudah datang, dalam pengejarannya terhadap Keng hong sehingga jalan keluar melalui pintu telah terhalang oleh tiga orang yang lihai ini. Pat-jiu Sian-ong menggeluarkan suara bersuit nyaring dan semua orang yang mengeroyok berloncatan keluar dari kamar itu.

   "Awas jebakan...!"

   Keng Hong memperingatkan teman-temannya, akan tetapi mereka berada di dalam kamar yang dipagari musuh dengan senjata siap menyerang kalau mereka keluar, maka jalan keluar pada saat itu sama sekali tertutup. Terdengar suara keras dan tiba-tiba lantai kamar tahanan itu turun ke bawah! Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu terkejut sekali, namun betapa pun tinggi kepandaian empat orang muda ini, mereka sama sekali tidak berdaya menyelamatkan diri dan terpaksa tubuh mereka ikut terbawa turun oleh lantai kamar itu. Ketika mereka memandang ke atas, ternyata lubang di atas telah tertutup dan mereka terjebak ke dalam sumur yang amat dalam dan gelap! Cui Im membanting-banting kaki.

   "Sialan! Mereka telah menimbulkan kekacauan besar sehingga kita telah kehilangan tiga orang pembantu!"

   "Hanya dua orang, Lian Ci Sengjin dan Thai-lek Sin-mo, bukan tiga orang,"

   Kata Pat-jiu Sian-ong menghibur.

   "Kita masih cukup kuat."

   "Tiga orang,"

   Bantah Cui Im.

   "Yang dua orang tewas, yang seorang, yaitu Sian Ti Sengjin tenggelam dalam kedukaan seperti orang kehilangan semangat."

   "Kedukaannya akan dapat diatasinya,"

   Kata Pak-san Kwi-ong.

   "Yang patut disayangkan adalah terlepasnya harapan kita mendapat bantuan Go-bi Thai-houw."

   "Lebih baik sekarang juga kita bergerak ke puncak. Siapa tahu akan terjadi perubahan yang merugikan. Pat-jiu Sian-ong, harap dipersiapkan barisan sekarang juga. Kita gempur mereka di puncak!"

   "Mereka itu, bagaimana? Tanya tuan rumah yang menudingkan telunjuknya ke arah sumur jebakan di bawah kamar tahanan di mana empat orang muda itu terjeblos.

   "Bunuh mereka! Hujani anak panah!"

   Kata Pak-san Kwi-ong. Cui Im menggeleng kepala.

   "Percuma. Mereka adalah orang-orang lihai. Mana mungkin anak-anak panah membunuh mereka? Sian-ong, apakah di dalam lubang itu tidak ada alat rahasia yang dapat membunuh mereka?"

   Pat-jiu Siang-ong menggeleng kepala.

   "Tempat itu dibuat khusus untuk menjebloskan tawanan, bukan dimaksudkan untuk membunuh."

   "Hemmm, kalau begitu kita pergunakan cara yang paling menyakitkan, biar pun agak lama akan tetapi pasti Keng Hong tidak mampu melawannya, yaitu membiarkan mereka mati kelaparan dan kehausan. Akan tetapi, tempat ini harus diteliti agar tidak sampai mereka bobol."

   Pat-jiu Sian-ong tertawa.

   "Ha-ha-ha! Jangankan manusia, biar gajah sekali pun kalau sudah terjeblos di situ takkan mampu lolos. Dindingnya terbuat dari baja, dan tidak ada cara untuk meloncat ke atas karena bagian atas tertutup pula oleh lapisan baja yang tebal."

   Demikianlah setelah mengadakan perundingan, Cui Im dan kawan-kawannya lalu memimpin pasukan untuk menyerang ke puncak tai-hangsan di mana berkumpul tokoh-tokoh partai besar yang menetang mereka. Sian Ti Sengjin memerintahkan anak buah Phu-niu-san yang ikut bersama dia dan mendiang sutenya, akan tetapi dia sendiri tinggal di benteng itu, pertama untuk mengabungi kematian sutenya, ke dua untuk membantu penjagaan kalau-kalau para tawanan akan meloloskan diri. Cui Im menyetujui permintaannya, pertama karena kepandaian bekas tokoh Kun-lun-pai ini pun baginya tidaklah amat dibutuhkan, ke dua karena memang perlu ada orang pandai yang membenci Keng Hong ikut pula menjaga agar tawanan tidak sampai lolos.

   Dan dia tahu betapa bencinya bekas tokoh Kun-lun-pai ini kepada Keng Hong, karena bukankah pemuda itu yang telah menyeret kedudukannya yang tinggi di Kun-lun-pai? Menjelang pagi, rombongan ini berangkat dan mereka yang ditinggalkan di benteng melakukan penjagaan di sekitar benteng, dan Sian Ti Sengjin sendiri tidak pernah meninggalkan bekas kamar tahanan yang kini menjadi sumur atau kuburan bagi empat orang muda yang terjeblos. Keng Hong dan tiga orang temannya tidak mudah putus asa. Di bawah pimpinan Keng Hong, mereka melakukan segala usaha untuk mencari jalan keluar. Mereka memeriksa dinding, mencoba untuk meloncat ke atas mendobrak penutup di bagian atas. Namun semua usaha sia-sia belaka dan akhirnya mereka berempat harus mengakui bahwa sekali ini mereka benar-benar tidak berdaya.

   "Agaknya kita akan terkubur hidup-hidup di tempat ini sampai mati,"

   Kata Biauw Eng dengan suara tenang.

   "Kalau benar Tuhan menghendaki demikian, aku tidak menyesal, Biauw Eng. Hidup atau pun mati, aku tetap akan merasa bahagia karena ada engkau di sampingku."

   Hening sejenak di tempat gelap dekat itu, kemudian terdengar suara Biauw Eng lirih,

   "Setelah mendengar penuturan Cui Im, baru aku sadar betapa engkau amat baik kepadaku, Keng Hong. Engkau terlalu baik untukku..."

   Ia menahan ucapannya seolah-olah baru teringat bahwa ada dua pasang telinga lain yang mendengarkan percakapan mereka. Maka Biauw Eng diam saja dan hanya menyambut jari-jari tangan Keng Hong yang dalam gelap itu mencengkeram tangannya dan membalas dengan tangan yang menggetarkan perasaan kasih mesra. Di sudut lain dari sumur itu, Cong San memegang tangan Yan Cu dan berbisik,

   "Aku sependapat dengan Keng hong, Moi-oi. Aku tidak menyesal, biar sampai mati sekalipun, asal bersama engkau."

   "Ssttt... Didengar orang. Malu...!"

   Bisik Yan Cu akan tetapi ia tidak melepaskan tangannya. Tanpa berkata-kata, dua pasang orang muda itu saling berpegang tangan di dalam gelap. Cong San berbahagia karena sungguhpun gadis yang dicintanya belum melakukan pengakuan dengan mulut, namun dia merasa yakin bahwa Yan Cu sendiri masih ragu-ragu, mencari-cari, karena hatinya masih bimbang apakah dia mencinta Cong San ataukah mencinta Keng Hong. Keduanya merupakan pemuda yang sepenuhnya memenuhi syarat untuk dicinta, keduanya sama berharga, akan tetapi mengingat bahwa Keng Hong jelas mencinta Biauw Eng, agaknya terpaksa harus menjatuhkan pilihan hatinya kepada murid Siauw-li-pai yang perkasa ini.

   Adapun Keng Hong dan Biauw Eng yang duduk sambil berpegang tangan, mengenang semua peristiwa yang mereka alami. Masing-masing mengaku betapa mulia hati orang dicinta sehingga timbul perasaan aneh, yaitu baik diri sendiri kurang berharga untuk menjadi jodoh masing-masing. Diam-diam Biauw Eng merasa betapa orang seperti Keng Hong lebih tepat menjadi suami seorang gadis cantik jelita dan bersih seperti Yan Cu, tidak seperti dia, seorang puteri tokoh dunia hitam, seorang yang pernah menerima cinta kasih laki-laki, yaitu Sim Lai Sek. Di lain fihak, Keng Hong juga menyesal sekali atas semua kelakuannya yang sudah-sudah, merasa betapa dia sama sekali tidak berharga untuk mempersunting seorang gadis sehebat Biauw Eng!

   Demikanlah, di dalam sumur maut ini, di mana nyawa mereka tergantung di ujung rambut, tidak ada jalan keluar dan tidak ada harapan untuk hidup, hanya menanti datangnya maut entah secara bagaimana, terjadi getaran-getaran dari perasaan empat orang muda itu, empat orang muda yang dibuai oleh cinta kasih. Mereka itu sama sekali tidak memikirkan akan keadaan mereka, tidak ingat bahwa mereka akan mati, sehingga sia-sia belaka segala cita-cita mereka. Maka terbuktilah kekuatan cinta yang maha hebat, yang mengalahkan maut sendiri. Dengan senjata cinta kasih di hati, manusia sanggup menghadapi maut dengan senyum ikhlas di mulut! Tan Hun Bwee melakukan perjalanan dengan susah payah, kadang-kadang terhuyung, kadang-kadang merangkak, dalam keadaan terluka parah, dengan anak panah masih menancap di perutnya dan darah menetes-netes sepanjang jalan. Namun mulutnya tak pernah berhenti berbisik,

   "Aku harus menolong mereka... harus menyelamatkan mereka..."

   Ketetapan hati untuk dapat menolong empat orang muda terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng inilah agaknya yang memperkuat tekadnya, yang menimbulkan daya tahan luar biasa sehingga gadis yang terluka parah ini masih mampu merayap dan mendaki puncak Tai-hang-san selama tiga hari tiga malam tanpa mengaso!

   Di puncak Tai-hang-san, bertempat di pondok yang dahulu dibangun oleh seorang pertapa yang kini telah meninggal dan merupakan pondok kosong yang tidak terpakai lagi, berkumpullah tokoh-tokoh partai persilatan dan tokoh-tokoh kang-ouw untuk membicarakan keadaan pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw yang kini mengalami perubahan besar. Sementara Kaisar Yung Lo merebut kekuasaan mengalahkan keponakannya sendiri dan naik tahta kerajaan sebagai Kaisar Beng-tiauw pada tahun 1403, dan dipindahkan kota raja ke utara, maka terjadilah perubahan besar dan perang saudara terhenti. Akan tetapi, melihat betapa kaum sesat kini mulai mengulurkan tangannya mencari pengaruh di antara para pembesar kerajaan, bahkan ada yang menyusup ke istana kaisar, para tokoh partai besar dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw merasa gelisah. Munculnya tokoh-tokoh kaum sesat ini sudah pasti akan menimbulkan kekacauan, apalagi kalau mereka itu ditunggangi oleh kaum pemberontakan, yaitu mereka yang diam-diam masih bersetia kepada raja yang dikalahkan.

   Biarpun pada lahirnya mereka ini tidak bergerak, namun diam-diam mereka dapat melakukan gerakan di bawah tanah dan bersekongkol dengan tokoh tokoh kaum sesat. Inilah yang menyebabkan para tokoh partai besar mengadakan perundingan dan pertemuan di puncak Tai-hang-san. Pada waktu itu, banyak sudah tokoh kang-ouw yang hadir, tidak kurang dari lima puluh orang wakil-wakil partai besar dan perorangan yang bersepakat untuk mengirim utusan menghadap kaisar agar berhati-hati dan tidak mempergunakan tenaga tokoh-tokoh sesat. Di dalam pertemuan ini, hadirnya utusan-utusan yang merupakan tokoh-tokoh penting. Dari Siauw-lim-pai hadir Thian Kek Hwesio yang berwatak kasar dan jujur bersama tiga orang tokoh-tokoh lebih muda, dari Hoa-san-pai hadir kedua kakak beradik Coa Kiu dan Coa Bu mewakili ketua Hoa-san-pai.

   

Si Tangan Sakti Eps 18 Si Tangan Sakti Eps 18 Si Tangan Sakti Eps 19

Cari Blog Ini