Pedang Kayu Harum 46
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 46
Ia lalu menoleh dan melihat betapa Cui Im juga terdesak hebat, dikeroyok oleh Biauw Eng, Cong San dan lima orang hwesio Siauw-lim-pai. Bahkan Mo-kiam Siauw-ong agaknya sudah terluka dan Yan Cu sudah bersiap membantu pengeroyokan atas diri Cui Im. Nenek itu tiba-tiba melengking nyaring dan dari kebutannya menyambar sinar-sinar kecil ke arah Keng Hong. Itulah bulu-bulu kebutan yang hampir separuh dari seluruh bulu kebutan itu meluncur seperti jarum-jarum panjang menyerang Keng Hong. Pemuda ini sudah maklum akan kelihaian si nenek iblis dan betapa bahayanya bulu-bulu itu, maka cepat pedangnya berkelebat membentuk gulungan sinar meruntuhkan semua senjata rahasia itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Go-bi Thai-houw untuk mencelat ke belakang dan sekali sambar ia memegang lengan Mo-kiam Siauw-ong sambil berseru,
"Muridku kita pergi dulu!"
Cui Im yang sudah terdesak hebat itu tertawa, kemudian pedangnya berputar cepat membuat para pengeroyoknya menangkis dan mundur. Ia lalu meloncat ke belakang dan tangannya terayun. Berhamburanlah jarum-jarum merah ke arah para pengeroyok. Tentu saja para pengeroyok yang terdiri dari orang-orang pandai itu dapat menghindarkan diri dari jarum-jarum ini,
Bahkan Biauw Eng yang maklum bahwa sekali terlepas akan sukar melepas bekas sucinya, sudah melepaskan senjata-senjata rahasianya yang tidak kalah hebatnya daripada jarum-jarum merah Cui Im, yaitu bola-bola kecil putih berduri dan sebatang tusuk konde bunga bwee. Terdengar suara berdencingan nyaring dan ternyata semua senjata rahasia itu runtuh disambar kebutan Go-bi Thai-houw yang memberi kesempatan kepada Cui Im untuk lari lebih dulu. Para pengeroyok Cui Im kini menerjang nenek itu, akan tetapi dengan memutar kebutan, nenek itu dapat menghalau semua pengeroyok kemudia sekali melesat dia telah meloncat jauh sambil menarik tubuh Mo-kiam Siauw-ong. Keng Hong tidak mengejar karena dia telah berlutut dekat tubuh nenek Tung Sun Nio, memeriksa sebentar kemudian tetap berlutut dengan wajah berduka. Tanpa menoleh dia berteriak,
"Sumoi.....!"
Yan Cu dan Biauw Eng ingin sekali mengejar musuh, akan tetapi mendengar suara panggilan suhengnya, Yan Cu menoleh dan wajahnya berubah pucat. Cepat ia lari menghampiri dan begitu melihat subonya yang masih duduk bersila, dia cepat berlutut dan menangis.
"Subo.....! Subo.....!"
Suaranya tercekik di kerongkongan dan ia tentu roboh pingsan kalau tidak cepat dirangkul oleh Keng Hong yang menghiburnya,
"Sumoi, kuatkan hatimu!"
Biauw Eng juga berlutut di depan tubuh Tung Sun Nio yang telah menjadi mayat itu. Ketika Cong San hendak lari menghampiri, Thian Lee Hwesio berkata,
"Yap-sute.....!"
Cong San tersentak kaget dan menoleh. Suara suhengnya terdengar keras seperti mengandung kemarahan, apalagi ketika dia memandang kelima orang suhengnya dan melihat sikap mereka yang kaku dan dingin.
"Ada apakah.....?"
Ia tergagap bertanya.
"Sute, hayo tingalkan tempat ini dan ikut kami menghadap suhu. Tempat dan keluarga ini tidak layak bagimu dan ada urusan besar mengenai kedudukan suhu sebagai ketua Siauw-lim-pai!"
Cong San makin terbelalak heran dan kaget.
"Akan tetapi.....!"
Ia menoleh dan melihat Yan Cu, isterinya, menangis tersedu-sedu dihibur Keng Hong yang merangkulnya. Ada perasaan yang amat tidak enak naik ke hati dan kepalanya, akan tetapi cepat ditekannya dan dia menjawab.
"Mana mungkin, Suheng? Aku baru saja menikah dan....dan guru isteriku agaknya meninggal.... biarlah kelak aku menyusul Suheng."
"Yap Cong San! Kalau engkau tidak mau memutuskan hubungan dengan isterimu dan keluarganya, engkau bukan sute kami lagi, bukan murid Siauw-lim-pai lagi!"
Kata Thian Lee Hwesio dengan sikap dingin dan suara mengandung kemarahan.
Cong San menjadi terkejut sekali.
"Suheng! Ada apakah......? Apa artinya semua ini......?"
Thian Lee Hwesio mengerti bahwa tadi sutenya ini tidak mendengar kata-kata Go-bi Thai-houw dan belum tahu akan rahasia yang amat memalukan dari suhu mereka.
"Mari engkau ikut kami dan akan kami ceritakan semua. Pendeknya, kalau engkau ingin dianggap murid Siauw-lim-pai, engkau harus mentaati kami dan memutuskan hubunganmu dengan mereka itu!"
Cong San mengerutkan keningnya. Apapun yang terjadi, tidak mungkin dia harus memutuskan hubungannya sebagai suami isteri dengan Yan Cu yang dicintanya, dan dia merasa penasaran melihat sikap suheng-suhengnya.
"Suheng tidak adil. Biarlah kelak aku menghadap suhu dan minta pengadilan!"
Lima orang itu menghela napas, kemudian mereka pergi tanpa berkata apa-apa meninggalkan tempat itu, meninggalkan Cong San yang masih berdiri dengan kedua alis berkerut. Setelah menggerakan kedua pundak karena benar-benar merasa bingung dan tidak mengerti akan sikap lima orang suhengnya, dia lalu menghampiri Yan Cu yang masih menangis. Tanpa berkata apa-apa dia lalu berlutut di dekat isterinya. Keng Hong melepaskan rangkulannya dan berbisik,
"Cong San, kau hiburlah isterimu,"
Katanya perlahan yang tidak dijawab oleh Cong San, akan tetapi dia lalu merangkul pundak isterinya. Yan Cu tersedu dan menyandarkan kepalanya di dada suaminya.
"Aihhh..... Subo..... tewas dalam membela kita......! Si keparat Bhe Cui Im, aku bersumpah hendak membalas kematian Subo!"
Teriak Yan Cu. Baginya, nenek Tung Sun Nio bukan hanya merupakan seorang guru, melainkan juga menjadi pengganti ibu karena sejak kecil dia dirawat dan dididik oleh nenek itu.
"Sumoi, tenanglah. Lupakah engkau bahwa kematian adalah kehendak Tuhan? Tangan Cui Im dan Go-bi Thai-houw hanya merupakan alat saja bagi kematian Subo. Kalau Thian tidak menghendaki, biar ada sepuluh Go-bi Thai-houw tak mungkin Subo sampai tewas. Pula, Subo sudah berusia tinggi dan beliau tewas sebagai seorang gagah perkasa, tewas dalam pertempuran melawan musuh yang memang amat sakti. Lebih baik kita mengurus jenazahnya secara baik-baik."
Pertempuran telah selesai karena para sisa anak buah bajak yang melihat betapa pimpinan mereka melarikan diri, cepat melarikan diri pula. Ada beberapa orang di antara mereka yang tidak sempat dan roboh oleh para tokoh kang-ouw yang mengamuk.
Ternyata perang kecil itu menjatuhkan korban yang amat banyak, terutama sekali di fihak bajak yang kehilangan lebih dari lima puluh orang yang kini malang melintang menjadi mayat. Belasan orang tamu yang tidak berkepandaian juga menjadi korban, dan enam orang kang-ouw yang tadinya menjadi tamu, tewas pula. Beberapa orang terluka, di antaranya Ouw Kian ketua Tiat-ciang-pang yang terluka pahanya karena sabetan golok. Kini mereka sibuk mengobati yang luka dan mengurus mayat-mayat yang memenuhi lereng Gunung Cin-ling-san. Pesta bersukaria menyambut pernikahan dua pasang mempelai kini berubah menjadi perkabungan yang menyedihkan disertai sumpah serapah terhadap para bajak yang datang mengacau, terutama sekali terhadap dua orang tokoh golongan hitam, yaitu Ang-kiam Bu-tek dan Go-bi Thai-houw.
Biauw Eng dan Yan Cu menangisi jenazah Tung Sun Nio dan setelah mereka mengangkat jenazah itu ke dalam ruangan rumah yang masih belum dimakan api yang keburu dipadamkan oleh para tokoh kang-ouw yang tadi ikut bertanding membantu fihak tuan rumah, kedua orang pengantin wanita ini lalu mencari ganti pakaian untuk mengganti pakaian pengantin mereka. Ketika Yan Cu bertukar pakaian menanggalkan pakaian pengantinya, baru ia terkejut melihat tanda darah di pakaian dalam yang dipakainya ketika bertanding tadi. Maklumlah ia bahwa tendangan kaki Go-bi Thai-houw tadi biarpun tidak mendatangkan luka dalam yang parah, namun telah mengakibatkan sesuatu di bagian tubuhnya yang membuat ia merasa terkejut dan juga cemas sekali. Kedua pipinya menjadi pucat, kemudian merah dan dia cepat membersihkan darah dan berganti pakaian, kemudian keluar lagi untuk mengurus jenazah gurunya dengan hati penuh duka.
Sementara itu, Keng Hog dan Cong San sibuk mengurus mayat-mayat para tamu yang menjadi korban dan para sahabat kang-ouw yang juga tewas dalam pertandingan tadi. Setelah senja baru mereka, dibantu orang-orang kang-ouw dan penduduk di wilayah Pegunungan Cin-ling-san, menyelesaikan tugas mereka mengubur semua mayat termasuk mayat-mayat para bajak. Jenazah nenek Tung Sun Nio dimasukan peti dan selama sehari semalam mereka mengadakan upacara sembahyang dengan penuh duka. Pada hari kedua, peti itu dikubur, diiringi tangis Yan Cu dan Biauw Eng. Setelah selesai, barulah Yan Cu teringat akan ucapan nenek Go-bi Thai-houw, maka ia menghampiri suaminya yang kelihatannya selalu bermuram sambil berkata,
"Kita harus cepat pergi ke Siauw-lim-si. Aku amat mengkhawatirkan keadaan gurumu, ketua Siauw-lim-pai."
"Hemmm.... mengapa?"
Mendengar suara suaminya, Yan Cu memandang dengan heran. Suara itu demikian kaku dan dingin, sedangkan pandang mata suaminya selalu seperti hendak menghindari pertemuan secara langsung. Semenjak mereka bersembahyang sebagai suami isteri, mereka tidak memdapat kesempatan untuk banyak bicara dan berkumpul berdua saja sehingga pada saat itu dia hanya menjadi isteri dalam sebutan saja.
"Apakah yang terjadi, Sumoi?"
Keng Hong yang mendengar percakapan mereka, bertanya, memandang Yan Cu dengan sinar mata penuh selidik. Juga Biauw Eng menghampiri dan memegang lengan Yan Cu sambil bertanya,
"Mengapa engkau mengkhawatirkan keadaan ketua Siauw-lim-pai?"
Dengan suara tersendat-sendat dan air mata kembali mengalir mengingat akan nasib subonya yang sebelum tewas di tangan Go-bi Thai-houw lebih dahulu harus mendengar betapa rahasia pribadinya yang tidak harum itu dibongkar oleh nenek iblis itu, yang tidak didengar oleh Cong San, Keng Hong dan Yan Cu, lalu menceritakan akan ucapan-ucapan Go-bi Thai-houw.
"Pembongkaran rahasia Subo yang sudah sama kita ketahui itu didengar pula oleh lima orang hwesio Siauw-lim-pai sehingga mereka itu kelihatan marah. Mereka menghentikan pertandingan dan mendesak kepada mendiang Subo untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Subo mengaku dan.... dan para hwesio itu agaknya menjadi benci dan menyesal, sehingga mereka tidak mau membantu kami, bahkan baru turun tangan membantu mengeroyok Cui Im setelah didesak oleh Subo. Aku khawatir kalau-kalau mereka itu akan membawa perkara ini ke Siauw-lim-pai dan......."
"Ahhh! Begitukah? Pantas saja sikap mereka menjadi murung dan marah-marah kepadaku!"
Cong San tiba-tiba berkata.
"Sikap mereka bagaimana, Cong San?"
Keng Hong bertanya. Cong San sejenak memandang Keng Hong dan pendekar muda yang sakti ini, seperti juga Yan Cu, melihat sesuatu yang aneh dalam pandang mata Cong San, seolah-olah pemuda itu menjadi dingin terhadapnya. Cong San membuang muka dan menggeleng kepala.
"Tidak apa-apa, hanya aku........ aku sekarang juga harus menyusul para suheng itu ke Siauw-lim-si! Aku akan berangkat sekarang!"
Sambil berkata demikian, murid Siauw-lim-pai itu bangkit berdiri, membalikan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.
"San-koko......!"
Tiba-tiba Yan Cu meloncat bangun dan menghampiri Cong San yang membalikan lagi tubuhnya secara acuh tak acuh.
"Apakah engkau tidak mengajak aku?"
"Ahhh..... maaf, kusangka kau....... akan mengabungi kematian subomu dan...... dan.....ah, aku menjadi bingung oleh urusan suhu sehingga terlupa........"
"Aku ikut bersamamu!"
Kata Yan Cu yang memandang suaminya dengan terheran-heran dan juga kasihan karena dia mengira bahwa suaminya benar-benar karena terlalu mengkhawatirkan keadaan gurunya dan karena pukulan batin yang terjadi akibat penyerbuan bajak-bajak itu menjadi seperti linglung!
"Marilah....."
Jawab Cong San, sikapnya masih dingin.
"Suheng, Biauw Eng cici, aku pergi dulu!"
Kata Yan Cu. Biauw Eng dan Keng Hong hanya bisa mengangguk dan setelah mereka berdua pergi, mereka saling berpandangan dengan penuh keheranan. Keadaan di situ sunyi karena para tamu telah pulang semua, sunyi dan amat menyeramkan kalau mereka teringat akan peristiwa hebat yang terjadi dua hari yang lalu.
Keng Hong menjadi terharu sekali ketika memandang bayangan Yan Cu yang menghilang bersama suaminya. Ia merasa kasihan kepada sumoinya itu yang harus mengalami kedukaan hebat di saat pernikahannya. Saat yang mestinya menjadi saat yang paling mengembirakan bagi sumoinya berubah menjadi saat yang menyedihkan. Pemuda yang sudah banyak tergembleng oleh pengalaman-pengalaman pahit dalam hidupnya ini, walapun masih muda, sudah pandai menyisihkan diri pribadi ke samping dan lebih memprihatikan keadaan orang lain. Dia lupa bahwa malapetaka itu bukan hanya menimpa diri sumoinya, akan tetapi juga dia sendiri, akan tetapi tidak ada penyesalan untuk dirinya sendiri!
"Kasihan sekali Sumoi....., heran, mengapa sikap Cong San seperti itu?"
Ia menggumam seperti bicara kepada diri sendiri.
"Aihhh...., aku mengerti sekarang!"
Tiba-tiba Biauw Eng berseru. Sejak tadi dia pun memikirkan Cong San yang dingin dan wajahnya yang muram itu.
"Dia cemburu!!"
Keng Hong tertegun, tidak mengerti.
"Siapa yang cemburu?"
(Lanjut ke Jilid 42)
Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 42
"Yap Cong San, hatinya penuh cemburu, pantas saja sikapnya seperti itu!"
"Hah? Cemburu? Kepada siapa?"
"Kepada Yan Cu tentu! Kalau tidak cemburu kepada isterinya, kepada siapa lagi?"
"Apa? Cong San cemburu kepada Yan Cu? Apa maksudmu? Dicemburukan dengan siapa?"
"Dengan siapa lagi kalau bukan dengan engkau, Keng Hong! Betapa bodohnya engkau?"
Keng Hong makin melongo.
"Apa? Mencemburukan Yan Cu dengan aku? Dia sumoiku sendiri? Dan mengapa Cong San mencemburukannya dengan aku?"
Melihat keheranan suaminya, Biauw Eng tersenyum menggoda,
"Justeru karena suhengnya engkau inilah maka dia cemburu setengah mati!"
Keng Hong mengerutkan keningnya melihat isterinya tersenyum seperti itu.
"Eh, Moi-moi, jangan main-main, Kau! Ini urusan penting dan besar. Apakah sesungguhnya yang telah terjadi sehingga kau menduga Cong San cemburu?"
"Bukan hanya menduga, bahkan aku yakin. Dan semua ini gara-gara si keparat Bhe Cui Im!"
Mendengar ini, Keng Hong menjadi makin khawatir. Terbayanglah olehnya akan semua pengalamannya dahulu ketika dia pun termakan racun cemburu terhadap Biauw Eng akibat perbuatan Cui Im yang amat licik, maka dia cepat bertanya,
"Apa maksudmu? Ceritakanlah!"
Biauw Eng lalu menceritakan tentang ucapan-ucapan Cui Im yang merupakan racun berbahaya, fitnahan-fitnahan yang dilontarkan oleh Cui Im terhadap hubungan antara Yan Cu dan Keng Hong di depan Cong San.
"Melihat sikap Cong San, tidak salah lagi dugaanku bahwa tentu dia telah terkena racun itu dan menjadi cemburu terhadap isterinya, dalam hubungannya dengan engkau."
Wajah Keng Hong berubah merah sekali mendengar penuturan ini dan dia mengepal tinjunya.
"Celaka! Kalau begitu aku harus cepat mengejar mereka untuk meyakinkan hati Cong San!"
Biauw Eng cepat memegang lengan suaminya yang sudah hendak melompat dan lari mengejar Cong San dan Yan Cu.
"Tenanglah. Orang yang bersalah selalu ingin tergesa-gesa menyangkal kesalahannya, sebaliknya orang yang sabar akan tetap tenang karena yakin akan kebenarannya. Kalau Cong San demikian dangkal kepercayaannya terhadap isteri sendiri sehingga hatinya diracun cemburu, biarlah dia merasakannya dan mengalami penderitaan dari kebodohannya sendiri. Kalau engkau tergesa-gesa mengejar mereka dan menyangkal semua itu, hatinya bukan menjadi yakin malah akan lebih besar rasa cemburunya. Biarkan mereka pergi."
Keng Hong menghela napas panjang.
"Engkau benar, isteriku. Engkau selalu benar karena dalam hal cemburu ini aku sendiri sudah merasakannya, sudah banyak menderita karena kebodohanku itu. Akan tetapi, menurut penuturan Yan Cu tadi, akan terjadi hal-hal yang hebat di Siauw-lim-pai, mengenai diri dan kedudukan Tiong Pek Hosiang berkenaan dengan urusannya di waktu muda dengan subo. Karena hal ini menyangkut diri mendiang suhu dan suboku, juga berarti menyangkut diri mendiang ayah kandungmu dan ibu tirimu, sudah sepatutnya kalau kita berusaha meredakannya dan mengunjungi Siauw-lim-pai."
Biauw Eng mengangguk-angguk kemudian menjawab tenang,
"Sepatutnya, memang. Akan tetapi tidak semestinya. Urusan ketua Siauw-lim-pai dan para muridnya adalah urusan dalam partai itu sendiri. Cong San adalah murid Siauw-lim-pai, dan Yan Cu adalah isterinya, sudah semestinya kalau mereka itu menyusul ke Siauw-lim-si. Akan tetapi, kita berdua adalah orang-orang luar, bagaimana kita boleh lancang mencampuri urusan dalam Siauw-lim-pai? Jangan-jangan malah akan timbul salah faham dan akan mengakibatkan permusuhan.Keng Hong, engkau telah berhasil, sungguhpun tidak sempurna, untuk melenyapkan sikap bermusuh dunia kang-ouw terhadap mendiang ayahku dan engaku telah mengalami banyak hal yang tidak menyenangkan dari permusuhan itu. Apakah tidak mengerikan kalau sampai fihak Siauw-lim-pai menjadi salah faham oleh campur tangan kita dan memusuhi kita? Alasan apa yang akan kau kemukakan, hak apa yang kau miliki untuk mencampuri urusan dalam mereka?"
Keng Hong merasa terpukul dan sejenak dia tidak mampu menjawab, hanya memandang wajah isterinya itu sampai lama, baru kemudian dia menjawab dengan ketenangan goyah,
"Eng-moi....... isteriku yang bijaksana, habis bagaimana baiknya menurut pendapatmu?"
"Kita tidak perlu mencampuri urusan pribadi ketua Siauw-lim-pai kalau kita tidak ingin terlibat ke dalam permusuhan yang tidak enak, akan tetapi benar seperti katamu tadi bahwa urusan itu masih menyangkut pula diri mendiang ayahku dan ibu tiriku, sebaiknya kita melihat-lihat dari dekat dan melakukan perjalanan tamasya di dekat daerah Siauw-lim-si. Bukankah kita dalam masa pengantin baru dan dalam suasana bulan madu? Adapun tentang Cong San yang cemburu, kelak engkau mengirim surat saja kepadanya, mencoba untuk meyakinkan hatinya dan mengusir perasaan cemburu yang berbahaya itu dari hatinya. Bagaimana, setujukah?"
Keng Hong menjadi girang sekali, wajahnya berseri dan dia memeluk isterinya.
"Engkau hebat, Moi-moi. Satu pertanyaan lagi."
"Perlukah itu?" "Perlu sekali, pertanyaan yang timbul dari sikap Cong San yang terkena racun omongan Cui Im. Hatiku takkan tenteram sebelum mendapat jawabanmu."
"Tanyalah."
"Mendengar ucapan-ucapan Cui Im yang beracun, Cong San menjadi cemburu kepada Sumoi, bagaimana dengan engkau? Apakah engkau tidak cemburu kepadaku? Mengingat akan tingkah lakuku di masa lalu......"
"Hussshhh....... sudahlah. Aku bukan orang yang suka menangisi masa lalu, melainkan sorang yang melihat masa depan. Hal-hal yang telah lalu itu kuanggap sebagai ujian terhadap cinta kasihmu kepadaku, Keng Hong. Buktinya, pada saat terakhir engkau tetap memilih aku sebagai isterimu!"
"Biauw Eng......"
Keng Hong menjadi terharu dan merasa bahagia sekali, dirangkulnya leher isterinya dan diciumnya bibir yang mengucapkan kata-kata bijaksana itu. Akan tetapi hanya sebentar saja Biauw Eng membalas ciumannya, lalu merenggutkan dirinya terlepas dari ciuman dan pelukan suaminya.
"Jangan di sini! Apa kau tidak malu?"
Keng Hong tersenyum mengoda.
"Malu-malu kucing! Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang....."
Biauw Eng melotot dan bertolak pinggang, dengan sikap marah buatan.
"Di depan makam subomu kau masih berani bilang di sini tidak ada orang?"
"Wah-wah-wah, kau benar..... aku salah lagi. Maafkan aku, Moi-moi, akan tetapi ada satu permintaan lagi dariku."
"Asal yang pantas, sebagai isterimu tentu saja aku akan memenuhi permintaanmu."
"Setelah kita menikah, mengapa engaku masih saja menyebut aku dengan namaku begitu saja? Engkau benar-benar isteri yang kurang ajar!"
Biauw Eng menjadi merah kedua pipinya.
"Maafkan aku....... Koko......"
Demikianlah, hanya mereka yang pernah mengalami masa pengantin baru sajalah yang dapat merasakan kebahagian yang dirasakan Keng Hong dan Biauw Eng di saat itu. Omongan-omongan yang kecil-kecil dan kosong, pandang mata yang saling mencurahkan percakapan tanpa kata denqan kasih sayang mendalam dan mesra, gerakan-gerakan yang kelihatan tidak berarti, senyuman-senyuman penuh madu,
Semua ini membuat sinar matahari kelihatan amat cerah, warna-warni di permukaan bumi menjadi lebih cemerlang dan dunia kelihatan indah sekali, seakan-akan dalam sekejap mata berubah menjadi sorga! Ketika hendak berangkat meninggalkan bekas tempat tinggal nenek Tung Sun Nio yang kini menjadi makamnya, Biauw Eng memasuki bekas rumah yang terbakar untuk mencari sisa-sisa pakaian dan barang-barang berharga untuk dibawa pergi sebagai bekal dalam perjalanannya berbulan madu dengan suaminya. Ia melihat pakaian pengantin yan Cu bertumpuk di sudut kamar yang tadinya disediakan untuk kamar pengantin Yan Cu dan Cong San. Sambil menghela napas panjang, diam-diam ia mengkhawatirkan kebahagiaan Yan Cu dengan suaminya, diambilnya pakaian pengantin itu dengan maksud untuk dibawanya dan kelak diberikannya kepada Yan Cu.
Pakaian pengantin tidak boleh dibuang begitu saja karena pakaian itu merupakan benda pusaka peringatan bagi seorang isteri. Akan tetapi, betapa kagetnta ketika ia melihat tanda-tandadarah di pakaian bagian bawah. Ia memegangi pakaian itu dengan alis berkerut. Jelas bahwa Yan Cu terluka dalam pertempuran tadi, akan tetapi mengapa Yan Cu diam saja, bahkan tidak kelihatan seperti orang menderita luka sama sekali? Tentu hanya luka ringan, akan tetapi sampai berdarah! Biauw Eng memutar otaknya, kemudian menganguk-anguk dan hatinya makin khawatir akan kebahagiaan Yan Cu, akan tetapi ia diam-diam menyimpan pakaian itu dan mengambil keputusan untuk tidak menceritakan kepada siapa juga.
Tak lama kemudian, suami isteri yang masih pengantin baru ini bergandengan tangan meninggalkan lereng Pegunungan Cin-ling-san, menuju ke timur di mana matahari pagi yang cerah menyinarkan cahaya keemasan. Pertama yang baik bagi mereka, seolah-olah mereka sedang mulai dengan perjalanan hidup baru, kepada sinar terang! Akan tetapi siapa tahu apa yang menanti di depan? Perjalanan hidup penuh lika-liku, penuh rahasia dan peristiwa yang tak terduga-duga sebelumnya, seolah-olah keadaan laut yang kadang-kadang tenang kadang-kadang bergelombang. Cong San dan Yan Cu melakukan perjalanan yang cepat Ilmu ginkang mereka yang tinggi membuat mereka dapat lari cepat dengan kaki yang ringan sekali. Akan tetapi, hati mereka tidaklah seringan gerakan kaki mereka.
Hati mereka berat dan terhimpit, tertekan oleh duka dan keraguan. Di sepanjang perjalanan itu, Cong San selalu murung dan pendiam, sedangkan Yan Cu yang mengira bahwa suaminya tentu amat gelisah memikirkan gurunya dan masih berduka oleh peristiwa yang menimpa saat pernikahan mereka, ikut pula berprihatin dan sekali-kali kalau ada kesempatan, berusaha menghibur suaminya yang disambut oleh Cong San dengan dingin. Tidak keliru dugaan Biuaw Eng. hati Cong San terhimpit oleh rasa cemburu. Dan karena pemuda ini berusaha sekuat tenaga batinnya untuk mengusir dan melawan perasaan ini, maka terjadilah perang hebat di dalam hatinya yang membuatnya di sepanjang perjalanan itu murung dan pendiam. Terngiang dalam telingannya selalu ucapan Cui Im ketika dia bertanding melawan iblis betina itu.
"Yap Cong San, apakah kau kira isterimu itu belum ditiduri Keng Hong."
Ia mengerutkan alis dan berusaha mengusir gema suara ini, akan tetapi dia malah mendengar suara Cui Im yang melontarkan tuduhan-tuduhan keji,
"Kau pemuda tolol yang tidak mau melihat kenyataan! Engkau mengenal siapa Keng Hong. Aku berani bertaruh bahwa isterimu itu bukan gadis lagi. Karena hanya Biauw Eng satu-satunya gadis yang belum bisa dia dapatkan, maka dia memilih Biauw Eng. Isterimu adalah bekasnya, hi-hi-hik!"
Keparat betina bermulut keji Bhe Cui Im dan berusaha sekuat tenaga untuk melupakan semua ucapan itu. Fitnah belaka, pikirnya. Akan tetapi, seolah-olah setan selalu mendekati benaknya, tiba-tiba di depan matanya terbayang adegan yang dianggapnya tidak semestinya, di depan tubuh Tung Sun Nio yang telah menjadi mayat.
Yan Cu menangis dan dirangkul oleh Keng Hong yang berbisik-bisik dengan sikap mesra! Setelah gadis itu menjadi isterinya, Keng Hong masih merangkulnya, apalagi sebelum menjadi isterinya! Mereka telah melakukan perjalanan berdua, selama berbulan-bulan. Yan Cu demikian cantik jelita tak mungkin ada pria yang tidak timbul gairahnya jika melihat Yan Cu. Dan Keng Hong seorang pria yang tampan dan gagah perkasa. Gagah perkasa dan lihai sekali, jauh melebihi dirinya! Juga dia sudah tahu akan sifat Keng Hong yang mata keranjang, suka akan wanita-wanita cantik. Hanya Biauw Eng yang belum bisa didapatkannya, maka Keng Hong memilih Biauw Eng! Yan Cu adalah bekasnya, pernah ditidurinya! Bekasnya! Pernah ditidurinya! Ucapan ini terngiang berkali-kali di dalam kepala dan langsung menusuk hati Cong San sehingga tiba-tiba dia mengeluarkan seruan keras,
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak! Keparat! Tidak.....!!"
Ia berhenti dan memejamkan kedua matanya tubuhnya bergoyang-goyang. Yan Cu terkejut sekali dan mendepak pundak suaminya,
"Koko, engkau kenapakah? Ada apakah?"
Ia bingung dan khawatir menyaksikan suaminya.
Bisikan-bisikan mengejek memenuhi telinga Cong San. Huh, perempuan rendah seperti ini, lemparkan saja. Dia membujuk-bujukmu mengandalkan kecantikannya, tahu? Tidak, bantah suara lain di hati Cong San. Engkau gila oleh cemburu yang dibangkitkan oleh omongan beracun Bhe Cui Im. Dalam beberapa detik itu terjadi perang hebat dan akhirnya suara ke dua yang menang. Cong San balas merangkul isterinya, mendekap kepala isterinya di dadanya. Yan Cu merasa demikian bahagia dan terharu sehingga ia menangis, menangis karena lega. Baru saat ini agaknya suaminya sadar dari cengkeraman duka dan gelisah. Mendengar isterinya terisak menangis dan air mata yang hangat membasahi dadanya, Cong San membelai rambut yang halus hitam panjang mengharum itu.
"Maafkan aku, Moi-moi. Aku seperti gila karena........ duka dan khawatir. Kalau sampai urusan suhu tersiar....., aihhh, kasihan sekali suhu. Dan para suheng itu....... mereka adalah orang-orang beragama yang amat fanatik, tentu akan terjadi apa-apa dengan kedudukan suhu sebagai ketua Siauw-lim-pai."
Yan Cu merenggangkan mukanya dan menengadah, memandang wajah suaminya dengan air mata masih membasahi pipinya, akan tetapi sinar matanya mesra penuh kasih dan mulutnya tersenyum penuh hiburan.
"Jangan khawatir, suamiku. Suhumu adalah seorang sakti yang bijaksana sekali, tentu akan dapat mengatasi segala macam hal yang datang menimpa. Harap kau jangan terlalu banyak berduka dan bergelisah, karena kalau sampai engkau jatuh sakti....... ahhh, akulah yang akan bersedih dan bergelisah."
"Yan Cu.....! Isteriku, aku....... aku cinta padamu!"
Yan Cu tersenyum dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Matanya yang indah itu mengerling penuh kemanjaan dan kemesraan, bibirnya berbisik,
"Kalau tidak mencinta, masa mau menjadi suamiku? Aku pun cinta padamu, Koko......"
Cong San menunduk dan menciumnya. Sejenak mereka berdekapan dan lenyaplah semua duka dan kegelisahan, bahkan dalam saat itu Cong San seolah-olah mendengar sumpah-serapah setan yang suaranya selalu membujuk-bujuknya tadi, suara".. Cui Im. Hampir dia tertawa sendiri, mentertawakan Cui Im, mentertawakan diri sendiri. Akan tetapi dia teringat akan suhunya, melepaskan pelukan dan menggandeng tangan Yan Cu.
"Betapapun juga, kita tidak boleh terlambat. Aku harus hadir kalau para suheng hendak menuntut suhu karena peristiwa di waktu mudanya itu, dan aku akan membela suhu."
Mereka melanjutkan perjalanan, berlari cepat sambil bergandengan tangan. Cemburu bagaikan api yang menyala dan membakar perlahan-lahan. Kalau tidak cepat dipadamkan, akan dapat mengakibatkan kebakaran besar di dalam hati. Semenjak muda, Cong San telah mendapat gemblengan batin dari gurunya sehingga biarpun ucapan-ucapan Cui Im merupakan racun hebat yang menyerangnya, merupakan api yang mulai membakar hatinya, namun dengan kebijaksanaan, tanpa adanya bukti, dia dapat menguasainya dan dapat memadamkan api cemburu yang berbahaya itu. Dia cukup bijaksana untuk menahan perasaannya sehingga ketika dia dilanda nafsu cemburu tadi,
Dia tidak pernah menyatakan sesuatu kepada Yan Cu, isterinya yang amat dicintanya itu, karena kalau sampai hal itu dilakukannya, tentu akan menimbulkan akibat yang lebih parah lagi. Kedatangan Cong San dan Yan Cu di kuil Siauw-lim-si tepat pada waktu persidangan besar antara pimpinan Siauw-lim-pai diadakan. Cong San, sebagai murid termuda akan tetapi juga murid terpandai dari ketua Siauw-lim-pai, langsung memasuki ruangan persidangan itu tanpa ada yang berani mencegah. Begitu masuk, melihat wajah Tiong Pek Hosiang yang tenang namun pucat, menghadapi seluruh pimpinan Siauw-lim-pai yang terdiri dari hwesio-hwesio berkedudukan tinggi, para sute sang ketua sendiri dan para tokoh tua lainnya dalam suasana yang sunyi dan tegang, Cong San mengajak Yan Cu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tiong Pek Hosiang.
Semua mata para dewan pimpinan memandang ke arah Cong San penuh keraguan dan ke arah Yan Cu penuh penyesalan. Mereka tadi sudah mendengar penuturan Thian Lee Hwesio dan empat orang sutenya akan peristiwa yang terjadi di lereng Cin-ling-san dan akan pembongkaran rahasia pribadi ketua Siauw-lim-pai oleh Go-bi Thai-houw dan pengakuan terang-terangan dari Tung Sun Nio, isteri mendiang Sin-jiu Kiam-ong. Tentu saja mereka menganggap dara yang cantik itu keturunan atau murid dari golongan-golongan sesat yang terkutuk sehingga mereka sependapat dengan Thian Lee Hwesio, yaitu bahwa gadis itu tidak patut menjadi isteri seorang murid Siauw-lim-pai yang paling mereka banggakan. Tiong Pek Hosiang memandang muridnya dengan senyum di bibir, sikapnya tenang sekali dan di menganguk-angguk.
"Baik sekali engkau mengambil keputusan untuk datang, Cong San. Engkau berhak untuk mengikuti persidangan ini, dan isterimu karena dia telah menjadi isterimu dan dia pun murid Tung Sun Nio, dia pun pinceng perbolehkan untuk mengikuti persidangan ini. Duduklah kalian di sana."
Hwesio tua itu menuding ke kiri dan tanpa banyak cakap karena dia mengerti bahwa suhunya tentu telah mendengar akan pembongkaran rahasia pribadinya, Cong san mengajak Yan Cu duduk di atas bangku sebelah kiri, kemudian menanti dilanjutkan persidangan itu dengan hati tenang.
Hadirnya Thian Kek Hwesio yang duduk di kursi sama tinggi dengan ketua membuat hati Cong San makin tegang. Dia tahu apa artinya persidangan ini karena dia mengenal Thian Kek Hwesio sebagai tokoh Siauw-lim-pai yang selalu diangkat menjadi ketua penengah atau semacam hakim untuk mengadili jalannya persidangan! Hwesio ini bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, bermata lebar, sikapnya kasar akan tetapi dia jujur sekali dan karena kejujurannya inilah, karena semua orang tahu bahwa Thian Kek Hwesio ini menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan melebihi segala apa di dunia, maka dia selalu diangkat untuk mengadili perkara-perkara yang timbul di kalangan para anggauta Siauw-lim-pai sendiri.
Dan memang dalam kedudukan atau tingkat, Thian Kek Hwesio menjadi orang ke dua setelah ketuanya. Biarpun Thian Kek Hwesio juga menerima pelajaran ilmu dari Tiong Pek Hosiang dan berarti masih muridnya, murid ke dua karena murid pertama, Thian Ti Hwesio telah tewas di tangan Cui Im, namun hwesio tinggi besar berkulit hitam ini telah sejak kecil menjadi hwesio dan sebelumnya telah menerima ilmu silat dan pelajaran agama dari ketua yang lama. Ilmu silatnya, biarpun tidak setinggi tingkat Cong San yang mewarisi kepandaian suhunya, namun sudah membuat hwesio ini merupakan seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal.
"Thian Lee, teruskan kata-katamu yang terputus oleh datangnya Cong San tadi,"
Terdengar ketua Siauw-lim-pai berkata dengan suara halus dan sikap tenang. Thian Lee Hwesio mengusap keringat dari dahi dengan ujung bajunya. Tugasnya amat berat dan menekan hatinya. Betapa dia tidak akan merasa berat kalau harus menjadi penuntut gurunya sendiri, bahkan ketuanya sendiri? Namun, dengan keyakinan bahwa yang dilakukannya adalah demi kebenaran, dia lalu mengangkat muka dan berkata dengan suara nyaring.
"Teecu telah menceritakan semua yang terjadi di lereng Cin-ling-san dan semua kata-kata busuk yang diucapkan Go-bi Thai-houw. Seandainya kata-kata nenek itu hanya merupakan fitnah belaka, teecu bersumpah akan membela kebersihan nama Suhu dengan pertaruhan nyawa teecu. Akan tetapi karena yang bersangkutan telah mengaku, terpaksa teecu mengajukannya ke sidang ini, sekali-kali bukan untuk mencelakakan Suhu, melainkan semata-mata demi menjaga kebersihan dan kehormatan nama Siauw-lim-pai. Setelah nenek iblis itu membocorkan rahasia, tentu dia akan menyebar luaskannya ke dunia kang-ouw dan kalau hal ini terjadi, dan pasti akan terjadi karena ketika dia bicara di lereng Cin-ling-san, banyak pula orang kang-ouw yang mendengarnya, maka menurut pendapat pinceng beserta semua anggauta Siauw-lim-pai, kedudukan Suhu sebagai ketua tak mungkin dapat dipertahankan lagi. Selain itu, juga pernikahan sute Yap Cong San sebagai seorang tokoh muda Siauw-lim-pai yang diharapkan bersetia dan menjunjung tinggi nama Siauw-lim-pai, jika tidak dibatalkan dan dia melanjutkan hubungan jodoh itu dengan anggauta keluarga yang sudah demikian tercemar namanya, juga akan merendahkan nama besar Siauw-lim-pai. Teecu mewakili seluruh anggauta Siauw-lim-pai mohon keputusan yang seadilnya demi kehormatan Siauw-lim-pai!"
Hening setelah hwesio ini menghentikan kata-katanya. Suasanya menjadi sunyi dan tegang sekali, hampir semua orang yang hadir tidak ada yang berani memandang langsung ke arah ketua mereka. Di dalam hati, mereka semua membenarkan ucapan Thian Lee Hwesio yang tidak mungkin dapat disangkal kebenarannya, akan tetapi, urusan ini bukanlah menyangkut diri seorang anggauta biasa dari Siauw-lim-pai, bukan seorang murid biasa melainkan ketua mereka sendiri! Mereka yang biasanya suka mengemukakan pendapatnya dalam persidangan seperti itu apabila ada seorang anggauta Siauw-lim-pai yang diadili, kini bungkam dan tidak membuka mulut!
Terdengar suara batuk-batuk yang memecahkan kesunyian, suara Thian Kek Hwesio yang juga selama hidupnya baru sekali ini menghadapi perkara yang menegangkan dan yang membuat hatinya amat tidak enak. Betapapun juga, diam-diam dia harus mengakui bahwa selama menjadi ketua, Tiong Pek Hosiang telah banyak jasanya untuk Siauw-lim-pai dan belum pernah melakukan penyelewengan, namun dia pun harus membenarkan pendapat dan tuntutan Thian Lee Hwesio yang dia merasa yakin tidak menuntut karena hati benci atau dendam kepada ketua Siauw-lim-pai yang juga menjadi gurunya. Setelah terbatuk-batuk, terdengarlah suara Thian Kek Hwesio, suara yang besar parau dan terdengar jelas satu-satu oleh mereka yang berada di situ,
"Kami telah mendengar bunyi tuntutan dan menimbang bahwa isi tuntutan memang seluruhnya demi kepentingan nama Siauw-lim-pai, maka tuntutan dapat di terima untuk diteruskan kepada fihak tertuntut. Kami persilahkan ketua Siauw-lim-pai untuk mengajukan pembelaannya."
Kembali hening sejenak dan semua orang tanpa memandang muka ketua Siauw-lim-pai, menahan napas untuk mendengar apa yang akan diucapkan sang ketua menghadapi tuntutan berat itu. Akhirnya, Tiong Pek Hosiang menarik napas panjang dan berkata,
"Omitohud..... betapa melegakan hati menghadapi hukuman yang timbul akibat dari perbuatan sendiri, dan betapa menggembirakan menyaksikan para anggauta Siauw-lim-pai sedemikian setia terhadap Siauww-lim-pai dan berjiwa gagah, berdasarkan keadilan dan kebenaran sehingga kalau perlu berani menentang fihak atasan demi nama baik dan kehormatan Siauw-lim-pai! Pembelaan apa yang harus pinceng katakan! Ucapan Go-bi Thai-houw bukanlah fitnah belaka dan pinceng mengakui bahwa memang perbuatan maksiat itu pernah pinceng lakukan di waktu muda!"
Kini semua orang mengangkat muka memandang sang ketua dengan wajah pucat. Tadinya mereka masih mengharapkan bahwa ketua itu akan menyangkal karena mungkin saja orang-orang seperti Go-bi Thai-houw dan Tung Sun Nio itu sengaja mengeluarkan fitnahan untuk menjatuhkan nama baik ketua Siauw-lim-pai. Akan tetapi ternyata kini ketua mereka telah mengaku! Biarpun wajahnya agak pucat, sikap ketua Siauw-lim-pai itu tenang sekali ketika ia memandang semua orang dan melanjutkan kata-katanya dengan mengucapkan syair pelajaran Agama Buddha,
"Tidak di langit tidak di tengah lautan tidak pula di dalam gua-gua atau di puncak gunung-gunung tiada sebuah tempat pun untuk menyembunyikan diri untuk membebaskan diri dari akibat perbuatan jahatnya!"
Cong San menjadi terharu sekali. Dialah satu-satunya orang diantara semua anggauta Siauw-lim-pai yang telah tahu akan berbuatan gurunya yang di waktu mudanya berjinah dengan isteri Sin-jiu Kiam-ong. Sudah semenjak pertama mendengarnya dia memaafkan suhunya, maka dia tidak dapat menahan dirinya lagi, cepat dia berkata,
"Maaf, Suheng....."
Katanya sambil memandang Thian Kek Hwesio.
"bolehkan saya membela Suhu?"
Thian Kek Hwesio mengangguk.
"Sidang pengadilan di Siauw-lim-pai selalu berdasarkan perundingan di antara saudara sendiri untuk mengambil keputusan yang paling adil dan tepat. Silahkan kalau Sute mempunyai sesuatu yang akan dikemukakan mengenai urusan ini."
"Tiada gading yang tak retak, tiada manusia tanpa cacad di seluruh jagad ini. Suhu pun hanya seorang manusia, dengan sendirinya, seperti seluruh manusia lain, juga mempunyai cacad berupa perbuatan yang dilakukan sebelum mendapat penerangan, sebelum sadar. Biarpun sebagai seorang anggauta Siauw-lim-pai saya tidak menjadi hwesio, namun pelajaran Sang Buddha sudah bertahun-tahun diajarkan oleh Suhu kepada saya. Teringat saya akan pelajaran yang berbunyi, Tiada api sepanas nafsu tiada jerat sebahaya kebencian tiada perangkap selicin kedangkalan pikiran tiada arus sederas keinginan hati. Kesalahan orang lain sudah dilihat kesalahan diri sendiri sukar dirasai meniup-niupkan kesalahan orang lain seperti menapi dedak seperti seorang penipu menyembunyikan dadu lemparannya yang sial dari pemain lain."
Semua orang yang mendengar mengerti bahwa pemuda itu mengeluarkan ayat-ayat pelajaran untuk membela suhunya. Cong San melanjutkan kata-katanya penuh semangat,
"Agama kita mengajarkan orang memupuk rasa kasih sayang antara yang hidup, mempertebal pemberian maaf kepada orang bersalah, memperbesar sikap mengalah kepada orang lain. Marilah dengan modal pelajaran ini kita menghadapi Tiong Pek Hosiang, suhu kita, ketua kita dengan kesadaran dan pengertian bahwa biarpun Suhu telah mengakui perbuatannya yang menyeleweng dengan mendiang nenek Tung Sun Cio, akan tetapi perbuatan itu dilakukannya di waktu Suhu masih muda. Sekianlah pembelaan saya yang bukan hanya didasari semata-mata karena memberatkan Suhu daripada Siauw-lim-pai, melainkan dengan dasar kebenaran dan keadilan."
Suasana menjadi makin tegang, bahkan beberapa orang di antara para hadirin mulai merasa betapa suasana agak panas. Namun, Thian Kek Hwesio yang bersikap tenang dan keras, bagaikan sebuah batu karang kokoh kuat yang takkan mudah digoyangkan hantaman ombak, tidak mudah digerakan oleh tiupan angin taufan, kembali berkata,
"Pembelaan Yap Cong San sudah kami dengar dan kami terima. Sekarang kami persilahkan fihak penuntut untuk mengeluarkan pendapat dan sanggahannya terhadap pembelaan itu."
Thian Lee Hwesio berbisik-bisik dengan para sutenya, kemudian dia menghadap sidang dan berkata,
"Apa yang dikemukakan oleh sute Yap Cong san sebagai pembela tak dapat kami sangkal kebenarannya. Sejak semula memang telah pinceng kemukakan bahwa para anggauta Siauw-lim-pai bukan sekali-kali menjatuhkan tuntutan dengan dasar membenci, melainkan semata-mata untuk melindungi kehormatan dan nama Siauw-lim-pai. Tidak dapat disangkal bahwa perbuatan itu dilakukan Suhu di waktu muda dan secara pribadi kami semua dapat memaklumi dan tidak akan merentang panjang urusan itu. Akan tetapi, sekali diketahui oleh dunia kang-ouw, akan bagaimanakah jadinya dengan nama dan kehormatan Siauw-lim-pai yang tentu akan dikabarkan bahwa Siauw-lim-pai diketahui oleh seorang yang...... harap Suhu maafkan teecu, telah melakukan perbuatan seperti itu?"
Sekali ini benar-benar semua orang menjadi tegang. Thian Lee Hwesio dalam mengajukan dan membela tuntutannya, terlalu berani dan terlalu....... benar! Cong San dapat menerima dan harus mengakui kebenaran ucapan itu, maka dia membungkam dan kini Tiong Pek Hosiang yang berkata,
"Omitohud..... semoga dosa yang hamba lakukan tidak sampai mendatangkan akibat buruk yang menimpa lain orang, kecuali hamba sendiri!"
Dia memejamkan mata sejenak, kemudiam membukanya lagi dan memandang kepada semua yang hadir, lalu berkata,
"Pinceng sudah merasa bersalah dan pinceng siap menerima akibat daripada perbuatan pinceng sendiri, siap menerima hukuman yang akan diputuskan oleh sidang ini. Pinceng tidak akan membela diri, akan tetapi mengenai pernikahan antara Yap Con San dan Gui Yan Cu, pinceng harus membela Cong San, bukan sekali-kali karena pinceng berat sebelah dan pilih kasih, melainkan demi keadilan pula. Kalian semua maklum bahwa perjodohan antara mereka ini adalah tanggung jawab pinceng sendiri karena pincenglah yang mengikatkan perjodohan itu. Cong San tidak bersalah apa-apa dalam hal ini, hanya memenuhi perintah pinceng. Kalau keputusan itu dilaksanakan dan dianggap bersalah, biarlah pinceng yang menerima hukumannya pula. Kemudian terserah keputusan sidang."
Kini semua orang memandang Thian Kek Hwesio. Mereka memandang penuh harapan, karena hanya kepada hwesio tua tinggi besar berkulit hitam inilah mereka menggantungkan harapan mereka untuk dapat mencari jalan keluar yang paling baik. Hwesio tinggi besar berusia tujuh puluh tahun lebih ini pun maklum bahwa tugasnya amat berat dan amat penting, maka setelah berdoa sejenak sambil memejamkan mata, mohon kekuatan batin, dia membuka mata dan berkata,
"Setelah mendengar semua pendapat yang dikemukakan oleh fihak penuntut, fihak tertuntut dan fihak pembela, atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa, atas nama Buddha yang maha kasih, atas nama kebenaran dan keadilan yang kita junjung bersama, kami telah mengambil kesimpulan dan telah mempertimbangkan untuk menjatuhkan keputusan yang hendaknya akan ditaati oleh semua fihak yang bersangkutan! Tiong Pek Hosiang telah melakukan perbuatan yang menyeleweng, akan tetapi karena perbuatan itu dilakukannya di waktu muda, di waktu belum menjadi anggauta, apalagi ketua Siauw-lim-pai, maka Siauw-lim-pai tidak berhak memberi hukuman atas perbuatannya itu yang dilakukannya sebagai orang luar di waktu itu. Akan tetapi, mengingat bahwa perbuatan itu merupakan lembaran riwayat yang hitam bagi pribadinya, sedangkan sekarang dia telah menjadi ketua Siauw-lim-pai, maka demi menjaga nama dan kehormatan Siauw-lim-pai, Tiong Pek Hosiang dipecat dari kedudukannya sebagai ketua Siauw-lim-pai. Untuk pemilihan ketua baru akan kita adakan kemudian. Mengenai pernikahan antara Yap Cong San dan Gui Yan Cu, mengingat akan pertimbangan yang sama pula, yaitu bahwa biarpun perbuatan itu dilakukan di luar kesalahannya akan tetapi akibatnya akan mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai, maka kami memutuskan untuk tidak mencampuri urusan pernikahan karena kami menganggap Yap Cong San bukan anak murid Siauw-lim-pai lagi. Selanjutnya harap Yap Cong San tidak membawa nama Siauw-lim-pai sebagai perguruannya."
Sunyi senyap setelah Thian Kek Hwesio mengucapkan keputusannya itu. Semua anggauta Siauw-lim-pai menundukan muka, tidak ada yang berani memandang kepada Tiong pek Hosiang yang selama ini menjadi ketua mereka yang mereka hormati, juga menjadi guru besar mereka.
"Suhu......!"
Kesunyian dipecahkan oleh keluhan Cong San yang menubruk kaki gurunya dan berlutut sambil terisak penuh kedukaan, penyesalan dan keharuan. Tiong Pek Hosiang tersenyum, mengelus rambut kepala muridnya itu sambil membaca doa pelajaran Buddha,
"Dunia ini bagaikan sebuah gelembung sabun! dunia ini bagaikan sebuah khayalan! dia yang memandang dunia sedemikian takkan bertemu lagi dengan raja kematian! Pandanglah dunia ini sebagai sebuah kereta kendaraan raja yang bercat indah si dungu terpikat oleh keindahannya tapi orang bijaksana takkan terpikat olehnya. Dia yang tadinya lengah dan tak sadar kemudian menjadi sadar dan rendah hati akan menerangi dunia seperti bulan yang terbebas dari gumpalan awan."
"Suhu, betapa hati teecu tidak akan berduka dan menyesal? Suhu telah melakukan banyak perbuatan mulia dan telah berjasa besar terhadap Siauw-lim-pai, akan tetapi sekarang....."
"Hushhhhh..... Cong San, bangkitlah, hapus air matamu, usir semua kedukaan dan penyesalan hatimu. Pengadilan yang telah disidangkan oleh saudara-saudaramu sudah tepat, benar dan adil! Perbuatan sesat mendapat hukuman, ini sudah tepat dan patut. Mengapa disusahkan dan disesalkan? Siapa yang mengharuskan kita menyesal dan berduka menghadapi sesuatu yang menimpa diri kita? Tidak ada yang mengharuskan dan hanya kesadaran kita sendirilah yang menentukan. Apa yang menimbulkan susah dan senang? Bukan dari luar, muridku, melainkan dari dalam, dari hati kita sendiri yang dicengkeram nafsu mementingkan diri sendiri, nafsu iba diri. Jika dirugikan, kita susah, jika diuntungkan, kita senang.
"Bukankah itu picik sekali? Susah dan senang hanya permainan perasaan sendiri seperti air laut yang pasang surut. Suatu penipuan dari nafsu yang hanya dapat kita atasi dengan kesadaran karena kesadaran akan mengangkat kita lebih tinggi daripada permainan susah senang itu, mendatangkan ketenangan dan tidak akan mudah dipengaruhi oleh perasaan. Andaikata engkau belum dapat mencapai tingkat itu, masih harus memilih antara susah dan senang, mengapa engkau tidak memilih? Susah menimbulkan tangis, senang menimbulkan tawa. Baik diterima dengan susah atau senang, persoalannya tidak akan berubah. Mengapa harus menangis? Tangis hanya akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik, karena dapat menimbulkan kelemahan batin sendiri, dapat mendatangkan keharuan pada orang lain. Tangis susah akan mudah mengukirkan dendam dalam hati, melahirkan dosa-dosa lain. Dalam menghadapi sesuatu, sama-sama menggerakan bibir, mengapa tidak memilih tawa daripada tangis? hasilnya lebih baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Cong San, ingatlah engkau bahwa yang terpenting daripada segala dalam menjalani penderitaan hidup ini hanyalah PENERIMAAN! Penerimaan akan segala hal yang menimpa diri kita disertai kesadaran bahwa segala yang terjadi adalah akibat daripada perbuatan kita sendiri, sesuai dengan kehendak Tuhan. Kesadaran ini akan menuntun kita untuk menerima segala peristiwa dengan penuh penyerahan kepada kekuasaan Tuhan, karenanya akan tetap tenang karena sudah waspada bahwa segala peristiwa yang terjadi takkan dapat dihindarkan oleh kekuasaan manusia yang sesunguhnya hanya mahluk lemah yang selalu menjadi permainan dari nafsu-nafsunya sendiri."
Kakek itu berhenti sebentar dan bukan hanya Cong San yang mendengarkan dengan hati tunduk, melainkan semua anggauta Siauw-lim-pai, bahkan Yan Cu diam-diam merasa kagum akan kebijaksanaan kakek itu. gadis ini di dalam hatinya melihat seolah-olah kakek itu telah duduk di tempat yang begitu tinggi sehingga tidak akan terseret oleh gelombang penghidupan yang mempermainkan manusia.
"Pinceng merasa bersyukur kepada sidang pengadilan dan pinceng menerima keputusan tadi. Mulai saat ini, pinceng bukan lagi ketua Siauw-lim-pai, dan sesuai dengan peraturan perkumpulan kita, pinceng persilahkan kepada para tokohnya untuk mengadakan pemilihan ketua baru. Sebagai seorang anggauta yang masih berhak, pinceng pribadi mengusulkan agar Thian Kek Hwesio untuk menduduki jabatan ketua. Adapun pinceng sendiri, pinceng minta agar diperbolehkan menghabiskan usia yang tidak berapa ini untuk bersamadhi di dalam Ruang Kesadaran yang berada di ujung belakang."
"Apa yang Suhu katakan merupakan perintah bagi teecu sekalian,"
Kata Thian Kek Hwesio.
"Karena, biarpun Suhu bukan ketua Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi tetap menjadi guru teecu semua dan teecu mengharapkan petunjuk-petunjuk dari Suhu demi kebaikan Siauw-lim-pai."
Tiong Pek Hosiang tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia yakin bahwa kalau Siauw-lim-pai dipimpin oleh muridnya tertua ini sebagai ketua, tentu akan mengalami kemajuan. Kemudian dia menoleh kepada Cong San dan Yan Cu.
"Cong San, Yan Cu, sekarang pinceng mengusir kalian pergi dari Siauw-lim-si, karena tidak boleh orang luar tinggal di sini. Engkau pasti mengerti bahwa pengusiran terhadap dirimu ini hanya merupakan hal yang sudah ditentukan oleh sidang pengadilan dan oleh peraturan yang berlaku di Siauw-lim-pai. Nah, pergilah, Cong San. Engkau bukan murid Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi percayalah bahw Siauw-lim-pai tetap akan menganggapmu sebagai seorang sahabat baik!"
Biarpun Cong San sudah menerima wejangan suhunya, namun dia seorang muda yang masih diombang-ambingkan nafsu dan perasaan yang sedang bergelora, maka tentu saja dia tidak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Melihat keadaan suaminya, Yan Cu juga menangis sesenggukan. Mereka merdua maju berlutut ke depan Tiong Pek Hosiang.
"Suhu, teecu mohon diri......."
Cong San berkata terisak. Ting Pek Hosiang tersenyum dan menggerakan tangan.
"Pergilah, muridku yang baik dan berhati-hatilah karena di luar sana menanti banyak cengkeraman-cengkeraman maut yang mengancam seluruh manusia. Yan Cu, semoga Tuhan memberkahi engkau dan suamimu."
Biarpun mulutnya tersenyum, namun sepasang alis yang putih kakek itu agak berkerut karena pandang matanya yang sudah waspada itu melihat awan gelap mengancam penghidupan kedua orang muda itu. Diam-diam dia hanya berdoa mohon kepada Tuhan agar melindungi mereka.
"Para suheng, sute dan saudara sekalian, saya mohon diri dan sudilah memaafkan segala kesalahan saya."
Cong San memberi hormat kepada semua hwesio yang dibalas oleh mereka dengan terang.
"Selamat jalan,Yap-sicu, sahabat kami!"
Thian Kek Hwesio berkata, suaranya lantang dan jelas, seolah-olah dia hendak mengingatkan bahwa hubungan antara Cong San dan Siauw-lim-pai sebagai murid dan perguruan sudah hilang, terganti oleh hubungan persahabatan! Cong San lalu keluar dari Siauw-lim-si diikuti oleh Yan Cu dengan muka pucat dan muram. Setelah mereka agak jauh dari kuil itu dan tidak tampak lagi genteng kuil, Yan Cu memegang tangan suaminya dan berhenti. Wajahnya cerah dan ia tersenyum karena ia melihat kemuraman wajah suaminya dan mengambil keputusan untuk menghiburnya.
"Koko, harap kau jangan besedih lagi. Kalau kau berduka, aku ikut pula bersedih. Kita harus ingat akan wejangan suhumu yang bijaksana. Peristiwa itu telah lalu, mengapa disedihkan dan ditangisi? Lebih baik kita tertawa, tersenyum! Senyumlah, Koko! Kita pengantin baru, bukan? Sepatutnya kita bergembira. Hayo, senyumlah!"
Cong San menatap wajah isterinya. Wajah yang cantik jelita seperti bidadari, yang tersenyum-senyum sehingga bibirnya merekah dan tampak ujung deratan gigi yang seperti mutiara, mata yang berkaca-kaca biarpun mulutnya tersenyum. Nampak jelas kasih sayang membayang di mata itu, nampak jelas betapa isterinya berusaha menghiburnya, berusaha mengusir kesedihan hatinya. Hatinya terharu bukan main dan seolah-olah bendungan yang jebol dia merangkul isterinya dan merintih,
"Yan Cu, isteriku.....!!"
Ia memeluk isterinya, mendekapnya dan terdengarlah isak tangisnya, membuat Yan Cu ikut pula sesenggukan.
"Koko..... hu-hu-huuuukkk...... jangan menangis, Koko.... suamiku......"
"Yan Cu....... ahhh, Moi-moi......."
Mereka berpelukan dan bertangisan.Setelah segala perasaan duka itu membobol keluar menjadi tangis, legalah hati Cong San dan dia memegang pundak isterinya, didorong perlahan sehingga mereka saling pandang. Kemudian, dengan air mata masih mengalir di sepanjang pipi, keduanya berpandangan dan tertawa lebar!
"Kita berbahagia...... tangis kita tangis bahagia.....!"
Bisik Cong San. Seketika tersapu bersihlah awan kedukaan karena di depan mereka terbentang jalan lebar, menuju kebahagiaan.
"Suamiku, sekarang kita ke manakah?"
Yan Cu sambil merebahkan mukanya di dada suami itu, sikapnya penuh manja dan mesra. Cong San mengelus rambut yang halus dan harum itu.
"Isteriku, kau maafkanlah aku. Karena urusan yang datang bertubi-tubi, aku yang terlalu mementingkan diri sendiri sampai seolah-olah mengabaikan engkau, isteriku yang tercinta, satu-satunya orang di dunia ini yang paling kukasihi. Semua ini gara-gara si iblis betina Bhe Cui Im. Hemmm...... sekali waktu aku harus membasminya!"
Yan Cu merangkul leher suaminya, menarik muka suaminya dan dengan manja ia menempelkan pipinya di atas pipi suaminya.
"Suamiku, kini bukan saatnya bicara tentang dia. Yang penting, kemanakah kita sekarang?"
Dengan jantung berdebar penuh kebahagiaan Cong San mencium bibir isterinya.
"Biarlah untuk beberapa hari ini kita berdiam di hutan pohon pek yang berada di depan itu. Di situlah aku dahulu seringkali melewatkan malam sunyi ketika aku masih belajar di Siauw-lim-si. Tempat itu indah sekali, kita hidup bebas di sana, jauh dari keramaian dunia, jauh dari manusia lain, hanya kita berdua! Di sana terdapat sumber air yang membentuk telaga kecil yang airnya jernih sekali. Dahulu seringkali aku tidur di pinggir telaga, bertilam rumput tebal, berlindung daun-daun pohon pek yang besar, bermimpi tidur bersendau-gurau dengan bidadari. Sekarang mimpi itu menjadi kenyataan dan engkaulah bidadarinya, isteriku."
Si Tangan Sakti Eps 16 Pusaka Pulau Es Eps 14 Si Bangau Merah Eps 1