Ceritasilat Novel Online

Petualang Asmara 21


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



Karena kini jumlah pasukan pemerintah lebih banyak, terutama sekali karena amukan Tio Hok Gwan dan Souw Li Hwa perang itu tidak berlangsung terlalu lama dan pasukan pemberontak dipukul hancur, banyak jatuh korban, banyak para pimpinan pemberontak ditawan dan banyak pula yang melarikan diri, termasuk Hendrik. Perkampungan nelayan yang dijadikan sarang pemberontak itu dapat direbut dan Li Hwa segera bersama Tio Hok Gwan mengerahkan pasukan mengadakan pembersihan dan mengumpulkan tawanan di sebuah pondok besar dan dijaga ketat. Setelah perang selesai dan anak buahnya sibuk mengurus korban, karena pakaiannya kotor ternoda darah musuh dan tubuhnya terasa lelah, Li Hwa lalu pergi ke sebuah tempat sunyi yang terlindung oleh tebing-tebing batu dan pepohonan,

   Menanggalkan semua pakaiannya yang kotor dan menaruh pakaian bersih pengganti di tepi sungai, kemudian dia terjun ke air sungai yang amat tenang dan cukup jernih di bagian itu. Sambil merendam di air yang sejuk sedalam pinggang, Li Hwa mencuci seluruh tubuhnya, merasa segar dan gembira. Akan tetapi sambil menggosok-gosok tubuhnya, dia termenung dan alisnya berkerut ketika dia teringat akan semua yang terjadi selama beberapa hari ini. Terbayang di depan matanya wajah tiga orang pemuda yang amat mengesankan hatinya dan yang menimbulkan bermacam perasaan. Wajah Hendrik yang telah menawannya, menciumnya dengan paksa, mendatangkan perasaan benci yang besar dan diam-diam mengharapkan agar pemuda asing yang dibencinya itu tewas dalam perang atau setidaknya berada di antara para tawanan!

   Wajah ke dua adalah wajah Yuan de Gama, pemuda asing yang telah menolongnya dan teringat akan Yuan, kedua pipi Li Hwa menjadi merah, Yuan juga menciumnya, mencium mulutnya dengan amat mesra, akan tetapi bukan mencium dengan paksa atau sengaja untuk berbuat kurang sopan, melainkan ciuman untuk menghindarkan kecurigaan para penjaga, ciuman untuk menolongnya dan membebaskannya. Dan entah mengapa, teringat akan ini Li Hwa merasa malu sekali, jantungnya berdebar aneh dan ada keinginan mendesak di hatinya, keinginan untuk bertemu lagi dengan Yuan de Gama! Wajah ke tiga adalah wajah pemuda berkepala gundul, Yap Kun Liong, dan wajah ini menimbulkan kegemasan di hatinya, geram kecewa, akan tetapi juga kagum. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan dua orang pemuda seperti Yuan de Gama dan Yap Kun Liong.

   Kalau teringat akan bokor emas, hatinya menjadi makin gemas kepada Kun Liong. Celaka benar pemuda itu. Bokor sudah terdapat, diserahkan kepada Kwi-eng Niocu! Dia ingin sekali mendapatkan bokor emas itu. Dia tahu betapa akan gembiranya hati gurunya, Panglima Besar The Hoo kalau dia dapat menyerahkan bokor itu kepada gurunya. Gurunya merupakan orang satu-satunya di dunia ini, pengganti orang tuanya yang telah tiada. Li Hwa telah menjadi seorang yatim piatu karena ayah bundanya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Ayahnya, Souw Bun Hok, bekas juru mudi suhunya, telah meninggal lebih dahulu tujuh tahun yang lalu. Kemudian ibunya terserang penyakit menular, meninggal dua tahun yang lalu. Karena dia tidak mempunyai keluarga lain, maka hanya Panglima The Hoo,

   Gurunya itulah yang menjadi pengganti orang tuanya. Bahkan kini dia meninggalkan rumah orang tuanya di Liok-ek-tung, diminta oleh suhunya untuk tinggal di istana panglima itu, sebagai murid, juga seperti anak sendiri karena suhunya tidak mempunyai anak. Tentu saja dia ingin menggembirakan hati gurunya yang sudah dianggap seperti orang tua sendiri itu. Celakanya, semua menjadi gagal karena ketololan Kun Liong! Memang The Hoo yang tidak mempunyai anak merasa amat suka kepada muridnya ini. Semenjak kecil, Li Hwa yang mempunyai bakat dan tulang baik itu telah diambil murid oleh The Hoo. Biarpun orang sakti ini tidak sempat menurunkan seluruh kepandaiannya yang tinggi dan hanya di waktu dia datang ke rumah juru mudinya saja dia mengajar Li Hwa, namun dara ini telah memiliki ilmu kepandaian hebat sekali,

   Terutama sekali Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat yang mempergunakan tenaga Im-yang-sin-kang dan yang lebih menakutkan lawannya adalah ilmunya It-ci-san, yaitu ilmu menotok yang lihai. Ketika melihat betapa dara itu ditinggal mati ayah bundanya, The Hoo merasa makin kasihan dan memanggil muridnya untuk tinggal di kota raja, di dalam istananya. Di tempat ini, selain menjadi pengurus rumah tangga gurunya, mengepalai semua pelayan dalam, juga kadang-kadang Li Hwa mewakili gurunya dalam urusan besar seperti menumpas kaum penjahat dan pemberontak. Ketika The Hoo menerima laporan Pendekar Sakti Cia Keng Hong tentang pemberontakan yang timbul di Ceng-to, dia lalu mengerahkan tenaga para pembantunya, bahkan Li Hwa sendiri disuruh mengepalai pasukan untuk mengadakan pembersihan di sepanjang Sungai Huang-ho!

   Tio Hok Gwan pengawal kepala yang lihai itu pun mengepalai pasukan sedangkan pasukan besar yang menyerbu ke Ceng-to selain dipimpin panglima-panglima perang yang berpengalaman, juga dibantu oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri atas permintaan Panglima Besar The Hoo! Sambil mandi membersihkan tubuhnya, Li Hwa mengenangkan ini semua, dan dia menjadi kecewa karena gagal mendapatkan bokor emas. Dia bermaksud untuk memimpin pasukannya untuk menyerbu ke Telaga Kwi-ouw, menyerang Kwi-eng-pang untuk merampas kembali bokor emas, sedangkan para tawanan pemberontak akan dia serahkan kepada Tio Hok Gwan agar digiring ke kota raja sebagai tawanan perang. Suara orang berdehem membuat Li Hwa terkejut sekali. Dia menoleh dan...

   "Ihhh...!"

   Dara itu menjerit ketika melihat Kun Liong si kepala gundul telah duduk metongkrong di atas sebuah batu di pinggir sungai, dekat tumpukan pakaian Li Hwa!

   "Heh-heh-heh, indah dan sedap sekali pemandangan di sini!"

   Kun Liong berkata ke arah punggung Li Hwa yang putih mulus itu.

   "Bedebah! Setan iblis siluman keparat kau, Kun Liong!"

   Li Hwa menjerit-jerit sambil merendam tubuhnya makin dalam. Dia berjongkok ke dalam air sehingga air sampai ke lehernya, baru dia berani memutar tubuh dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan. Yang dimarahi tersenyum-senyum lebar, menggerak-gerakkan alis dan matanya seperti orang tidak mengerti.

   "Lho, kenapa marah-marah tidak karuan? Apa salahku sekali ini, Nona manis?"

   "Yap Kun Liong manusia cabul! Hayo lekas pergi kau, kalau tidak... hemm... aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!"

   "Heh-heh-heh..."

   Kun Liong terkekeh dan menjadi makin gembira. Kini dia merasa dapat membalas dendam kepada dara yang telah beberapa kali menghinanya itu.

   "Engkau memang seorang dara yang jelita, manis dan galak, dan engkau memang menjadi pemimpin pasukan. Akan tetapi aku belum mendengar bahwa kau telah menjadi siluman penunggu Sungai Huang-ho."

   "Apa... apa maksudmu?"

   Li Hwa membentak dengan kedua tangan menutupi dada, seolah-olah air yang menutupi dadanya masih belum cukup untuk menyembunyikan bagian tubuh ini dari pandang mata Kun Liong yang tajam.

   "Kau mengusir aku pergi seolah-olah tempat ini menjadi hakmu, maka agaknya engkau telah menjadi siluman penunggu sungai maka kau menghaki tempat ini dan mengusir aku pergi!"

   "Jahanam kau! Sengaja mengintai orang mandi, ya? Tak tahu malu! Cihhh, laki-laki mata keranjang, cabul, muka tembok!"

   "Ha, hendak kulihat siapa yang lebih kuat bertahan. Kau yang memaki-maki di situ atau aku yang duduk di sini. Aku akan duduk di sini selama engkau masih memaki-maki aku."

   Kun Liong duduk seenaknya dan kini dia mengembil baju Li Hwa, mempermainkan baju itu sambil mengomel,

   "Bagaimana ya rasanya baju dirobek-robek, orang?"

   Dan dia membuat gerakan seperti hendak merobek-robek baju itu.

   "Kun Liong keparat kau! Jangan robek-robek bajuku!"

   Saking marahnya, Li Hwa sampai lupa diri, bangkit berdiri sehingga tubuh bagian atasnya tampak. Lengan kirinya dilingkarkan sedapatnya menutupi dadanya yang membusung, tangan kanannya menuding ke arah Kun Liong di sebelah belakangnya dengan marah. Kun Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini memegang baju Li Hwa. Kun Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini memegang baju Li Hwa.

   "Sabar Nona manis, aku tidak merobek bajumu. Aku hanya ingin melihat tubuhmu seperti kau telah melihat tubuh. Duhaiii... indahnya, halusnya... hemm..."

   "Celuppp...!"

   Li Hwa sudah berjongkok lagi.

   "Kun Liong... jangan... jangan kau goda aku begini..."

   Dia hampir menangis, kedua pipinya kemerahan. Kemarahannya yang memuncak masih kalah oleh rasa malu dan bingungnya.

   "Siapa menggoda siapa? Kau merobek-robek bajuku dengan sengaja, kau menampar pipiku, kau membelenggu tanganku. Apa saja yang tidak kau lakukan terhadap diriku? Dan aku datang bukan sengaja menelanjangimu, kau bertelanjang sendiri, tidak ada yang menyuruhmu. Siapa menggoda?"

   "Kun Liong... demi Tuhan! Kasihanilah, pergilah kau... biarkan aku berpakaian lebih dulu..."

   "Kau mau berpakaian? Siapa yang melarang? Nah, berpakaianlah!"

   Kun Liong kembali mengulurkan kedua tangannya yang memegang baju sambil tersenyum mengoda, penuh kegembiraan, matanya bersinar-sinar, mukanya berseri dan diam-diam ia kagum bukan main karena baru sekarang dia melihat keindahan tubuh seorang dara, biarpun ditutup-tutupi akan tetapi menambah keindahan yang melampaui apa yang pernah dimimpikannya itu.

   "Lemparkan pakaianku ke sini!"

   Li Hwa berteriak. Kun Liong menggeleng kepala dan kembali duduk di atas batu.

   "Tidak, kau harus mengambilnya ke sini."

   "Kun Liong, tidak malukah kau dengan perbuatanmu ini? Kau tidak sopan, kau cabul!"

   "Heh-heh, apanya yang cabul? Aku tidak berniat menjamahmu, tidak berniat menggagahimu. Aku hanya ingin melihat dan mengagumi keindahan tubuhnya, seperti engkau telah melihat dan menghina keburukan tubuhku. Nah, apa salahnya?"

   "Kun Liong, aku... aku malu. Pergilah kau lebih dulu. Atau kau berpaling, jangan menghadap ke sini. Setelah aku berpakaian, baru kita bicara."

   Kun Liong tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya yang gundul. Kemudian dia bersenandung! Rantai yang membelenggu kedua tangannya dipukul-pukulkan ke atas batu sehingga menimbulkan suara berdencing dan berirama mengikuti suara senandungnya.

   Li Hwa masih berjongkok. Kedua pipinya basah, akan tetapi Kun Liong mengira bahwa yang membasahi pipi itu adalah air sungai. Dia belum tahu bahwa sebetulnya sudah ada beberapa butir air mata yang meloncat turun dari sepasang mata yang kebingungan dan kehabisan akal itu. Betapapun lihainya Li Hwa, betapapun galaknya dia, dalam keadaan bertelanjang bulat di dalam air dan pakaiannya dikuasai oleh Kun Liong, membuat dara ini sama sekali kehabisan akal dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Satu-satunya hal yang dapat dia lakukan hanya memaki-maki dan menangis! Akan tetapi, dia tahu bahwa memaki-maki tidak ada gunanya, sedangkan untuk terang-terangan menangis, dia tidak sudi! Kini Kun Liong bernyanyi! Suaranya memang cukup merdu, karena sejak kecil dia gemar bernyanyi, dan dia menguasai lagu nyanyian itu, tidak sumbang.

   "Sang Dewi mandi di telaga
duhai cantik jelita
perawan remaja!"

   "Kun Liong, lemparkan pakaianku kesini!"

   Li Hwa kembali menjerit.

   "Rambutnya awan tipis di angkasa
matanya sepasang bintang bercahaya
dagu dan lehernya... amboiii"

   "Kun Liong, kasihanilah aku...!"

   "Tubuhnya batang pohon yangliu penuh lekuk lengkung sempurna kulitnya lilin putih diraut..."

   "Kun Liong...!"

   "Hidung mancung bibir... haiii... gandewa terpentang... dadanya..."

   "Kun Liong!"

   "Dadanya... wah, dadanya..."

   "Kun Liong..."

   Pemuda itu terkejut karena panggilan ini disertai isak. Dia memandang penuh perhatian dan melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata itu. Dara itu menangis!

   "Datanglah seorang penggembala melarikan pakaian Si Juwita menangislah perawan remaja..."

   Tangis Li Hwa makin mengguguk. Dengan tubuh terendam air sampai ke leher, dara itu menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya.

   "Li Hwa, jangan menangis. Aku hanya main-main... wah, maafkan aku. Jangan menangis, tak tahan aku melihatnya. Nah, ini pakaianmu. Aku akan berdiri membelakangimu kalau kau malu. Padahal tidak semestinya malu. Kalau aku memiliki tubuh seperti engkau, hemmm... sebaliknya daripada malu, aku malah akan merasa bangga sekali, Li Hwa."

   Melihat pemuda itu sudah berdiri membelakanginya, Li Hwa melangkah keluar dari air, matanya tidak pernah berkejap memandang punggung pemuda itu dan untuk mencegah pemuda itu menoleh, dia cepat berkata sambil menyambar pakaiannya.

   "Jadi engkau menjadi penggembala itu?"

   "Heh-heh!"

   Kun Liong terkekeh dan mengangguk.

   "Pantas kau berbau kerbau."

   Li Hwa berkata saja, karena maksudnya untuk menarik perhatian Kun Liong agar jangan menoleh sebelum dia selesai berpakaian. Akan tetapi karena tergesa-gesa, kedua tangannya menggigil dan dia menjadi panik. Baru sekali ini selama hidupnya dia merasa betapa
(Lanjut ke Jilid 21)
Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21
sukarnya berpakaian! Seolah-olah pakaiannya membantu Kun Liong menggodanya, mencekik di bagian leher, buntu ketika dimasuki kaki tangannya.

   "Sudah selesaikah?"

   Kun Liong bertanya.

   "Nanti dulu...!"

   Akan tetapi dengan ketajaman pendengarannya, Kun Liong maklum bahwa dara itu telah selesai mengenakan pakaian dalamnya, maka dia lalu memutar tubuhnya. Dengan penuh kagum dia memandang dara yang kini telah memakai pakaian dalam yang serba ketat dan berwarna merah muda itu.

   "Betapa cantiknya engkau, Li Hwa..."

   Li Hwa makin panik. Dia membalikkan tubuh dan karena paniknya, dia mengenakan pakaian luarnya dengan terbalik! Setelah selesai, dia melibat Kun Liong tertawa bergelak, maka marahlah dia.

   "Jahanam keparat!"

   "Ha-ha-ha, pakaian luarmu terbalik. Ho-ho, lucunya! Jahitannya di luar... eh, lucu benar... ha-ha!"

   Li Hwa memandang pakaiannya dan merapatkan giginya ketika melihat bahwa benar-benar pakaian luarnya terbalik.

   "Hihhh... kubunuh kau...!"

   Gerutunya dan direnggutnya terlepas pakaian luarnya lagi, kini saking marahnya tidak peduli lagi kepada Kun Liong, tidak membalikkan tubuh sehingga Kun Liong dapat menikmati tubuh depan yang hanya tertutup pakaian dalam yang tipis merah muda itu. Setelah mengenakan pakaian luarnya, Li Hwa menggelung rambutnya dan memandang Kun Liong dengan mata bernyala. Kun Liong terpesona. Baru sekarang dia melihat seorang dara menggelung rambut di depannya. Gerakan kedua tangang sepasang lengan diangkat di atas kepala. Betapa manisnya!

   "Li Hwa, tahukah engkau akan dongeng penggembala dan puteri yang mandi? Setelah Si Penggembala melarikan pakaian Si Puteri, puteri itu menangis, Si Penggembala merasa kasihan, mengembalikan pakaian dan akhirnya mereka... kawin!"

   "Kau... kau..."

   Muka Li Hwa merah sekali.

   "Aahh, jangan marah, Li Hwa. Penggembala itu mengawini Si Puteri Mandi, akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mengawinimu. Tidak, kita tidak akan menjadi suami isteri seperti mereka."

   Alangkah kaget dan heran hati Kun Liong ketika dia melihat betapa kata-katanya ini malah membuat dara itu marah bukan main. Li Hwa melangkah maju dan dengan mata berapi-api dia berkata,

   "Kun Liong, penghinaanmu kepadaku sudah tiada taranya, dan hanya dapat ditebus dengan nyawa! Biarpun engkau mencurigakan dan mungkin bersekutu dengan pemberontak, dan biarpun engkau telah berkhianat dengan menyerahkan bokor kepada Kwi-eng Niocu, namun mengingat engkau murid Bun Hoat Tosu, aku masih segan untuk membunuhmu dan akan menyerahkanmu kepada Suhu. Akan tetapi, penghinaan-penghinaan yang kau lakukan kepadaku merupakan urusan kita pribadi dan harus diselesaikan sekarang juga!"

   "Aihh, Li Hwa. Apa maksudmu?"

   "Aku tahu bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian dan sebagai murid Bun Hoat Tosu, kiranya engkau tidak diajar menjadi seorang pengecut oleh kakek terhormat itu. Mungkin engkau bukan pemberontak, akan tetapi yang jelas, engkau sudah bersikap kurang ajar dan menghinaku. Mari kita bereskan persoalan antara kita dengan mengadu kepandaian. Kalau aku kalah, aku berjanji tidak akan menawanmu lagi dan bokor itu akan kucari sendiri."

   "Kalau aku yang kalah?"

   "Engkau harus berlutut minta ampun atas kekurangajaranmu, selanjutnya menurut segala kehendakku tanpa membantah, atau kau akan kubunuh."

   "Hemm, keputusan yang adil juga. Dan memang aku mempunyai banyak urusan dan sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat ini. Engkau tentu akan penasaran kalau belum berhasil memukul jatuh aku, biarpun kau sudah beberapa kali menampar dan memaki. Nah, aku sudah siap!"

   Kun Liong bangkit berdiri lalu meloncat ke belakang, ke tempat yang datar. Li Hwa juga menyusul dengan loncatan ringan, akan tetapi dara ini tidak mencabut pedangnya yang sudah diikat di punggungnya. Bahkan dia tidak menyerang, hanya memandang pemuda gundul itu, kemudian berkata,

   "Dekatkan kedua tanganmu, akan kubuka dulu belenggumu."

   Akan tetapi Kun Liong menggelengkan kepalanya.

   "Biarlah, Li Hwa, kukira hal itu tidak perlu."

   "Hemm, kau kira aku berwatak pengecut, melawan orang yang kedua tangannya terbelenggu? Akan kubebaskan dulu kau."

   "Tidak usah, aku dapat membebaskan kedua tanganku sendiri."

   Kun Liong menggerakkan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sin-kang.

   "Krekkrekkk...!"

   Belenggu kedua tangannya itu patah-patah! Li Hwa memandang dengan kaget dan kagum, akan tetapi juga marah sekali karena dia tahu bahwa selama ini, Kun Liong sengaja membiarkan dirinya ditawan dan dibelenggu sehingga diam-diam tentu mentertawakannya dan hal itu sama dengan mempermainkannya.

   "Bagus! Sekarang tidak perlu kau berpura-pura lagi. Sambutlah!"

   Li Hwa menerjang maju, gerakannya cepat bukan main seperti seekor burung walet menyambar, tangan kirinya menampar ke arah ubun-ubun kepala lawan sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat dan berbahaya karena selain cepat, juga mengandung hawa pukulan yang antep dan kuat. Tidaklah mengherankan karena memang dia telah mengeluarkan jurus ampuh dari Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga sakti Im-yang-sin-kang.

   "Hayaaa...!"

   Kun Liong terkejut sekali, cepat membuang tubuh ke kanan untuk menghindarkan tamparan, kemudian lengan kirinya menangkis cengkeraman tangan kanan lawannya yang lihai. Akan tetapi, begitu jurus pertama gagal, Li Hwa dengan kecepatan mengagumkan sudah menerjang dengan jurus susulan yang lebih ampuh lagi.

   Gerakan dara ini memang gesit sekali dan ilmu silat yang dimainkannya adalah limu silat tinggi yang dipelajarinya dari gurunya, The Hoo yang sakti, maka tentu saja semua serangannya merupakan serangan maut yang berbahaya. Kun Liong tidak sempat main-main lagi karena dia mak-lum bahwa tingkat kepandaian dara ini sudah amat tinggi dan sekali saja dia terkena cium tangan dara itu, tentu kekebalannya akan dapat melin-dunginya baik-baik. Maka dia pun lalu mengimbangi semua terjangan dara itu dengan permainan Ilmu Silai Pat-hong-sin-kun. Dia sengaja memilih Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) ini karena ilmu inilah yang paiing cepat gerakannya di antara semua ilmu yang diketahuinya dan paling tepat untuk mengimbangi gerakan Li Hwa yang demi-kian gesitnya.

   Betapapun juga, dia terus terdesak karena memang Kun Liong tidak pernah membalas dan tidak mau membalas, hanya menjaga diri dengan elakan dan tangkisan. Setelah lewat lima puluh jurus belum juga dapat merobohkan lawan, apalagi merobohkan bahkan satu kali pun belum pernah dia dapat memukul tubuh Kun Liong, padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah membalas serangannya, Li Hwa menjadi terkejut heran, kagum dan juga penasaran! Dia sudah menduga bahwa sebagai murid Bun Hoat Tosu, pemuda gundul itu tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa pemuda itu akan dapat melawannya tanpa balas menyerang, padahal dia sudah mempergunakan seluruh sin-kang dan gin-kang yang dilatihnya bertahun-tahun, dan mainkan Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat ciptaan suhunya yang amat dahsyat!

   Sesungguhnya tidak mengherankan kalau saja Li Hwa mengetahui bahwa lawannya selain menerima latihan dari Bun Hoat Tosu yang sakti selama lima tahun, juga sudah digembleng secara hebat di dalam kamar rahasia oleh tokoh utama Siauw-lim-pai, yaitu Tiang Pek Hosiang! Dari kakek luar blasa ini, selain ilmu-ilmu kbusus seperti Im-yang Sin-kun dan Pek-in-ciang-hoat, juga Kun Liong telah digembleng dengan ilmu yang menjadi inti sari dari semua ilmu Siauw-lim-pai, yaitu Ilmu Mujijat I-kin-keng! I-kin-keng adalah ilmu silat mujijat yang dahulunya diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, pendiri Siauw-lim-pai. Mula--mula I-kin-keng diajarkan oleh Tat Mo Couwsu untuk mendatangkan kesehatan dan kekuatan kepada para pendeta yang menjadi muridnya ketika dia melihat murid-murid ini lesu dan mengantuk selagi mendengarkan pelajaran kebatinan.

   Maklumlah Tat Mo Couwsu betapa pentingnya olah raga untuk menjaga kesehatan para pendeta itu, maka mulailah Tat Mo Couwsu mengajarkan olah raga yang dinamakan I-kin-keng dan yang harus dilatih oleh semua anak murid setiap pagi. Pada mulanya, hanya ada dua belas gerakan atau jurus saja yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, akan tetapi dua belas jurus ini kemudian berkembang biak menjadi delapan belas, bahkan kemudian oleh pendeta Chueh Yuan dikembangkan menjadi tujuh puluh dua jurus, yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Kemudian, bersama-sama dua orang kakek sakti yang bemama Li Cheng dan Pai Yu Feng, dari Kansu dan Shansi, Chueh Yuan mengembangkan lagi,

   Dari tujuh puluh dua jurus menjadi seratus tujuh puluh gerakan. Semua ini dibagi menjadi lima kelompok yang disebut Gaya Naga, Gaya Harimau, Gaya Macan Tutul, Gaya Ular dan Gaya Bangau. Gaya Naga Melatih Semangat, Gaya Harimau Melatih Tulang, Gaya Macan Tutul Melatih Kekuatan, Gaya Ular Melatih Khi-kang, Gaya Bangau Melatih Otot. Kun Liong telah digembleng dengan I-kin-keng yang aseli oleh Tiang Pek Hosiang sehingga selain tubuhnya kuat, juga dia memiliki kecepatan yang didasari khi-kang dan gin-kang. Karena inilah, biarpun Li Hwa adalah murid The Hoo yang sakti, dia tetap dapat mengimbangi gerakan dara itu. Kalau dibuat perbandingan, biarpun gerakan Li Hwa kelihatan lebih lincah dan indah, namun dia kalah gemblengan! Kun Liong digembleng oleh dua orang kakek sakti terus-menerus selama sepuluh tahun,

   Sebaliknya Li Hwa hanya kadang-kadang saja bertemu dengan gurunya yang mempunyai kedudukan tinggi dan tugas yang amat berat, dan banyak. Apalagi karena berhubung dengan tugasnya, The Hoo sering kali mengadakan pelayaran ke negeri-negeri jauh di seberang lautan sehingga Li Hwa harus berlatih sendiri. Saking penasaran dan marah, Li Hwa mengeluarkan lengking panjang kemudian dia menyerang dengan ilmu yang paling diandalkannya, yaitu ilmu It-ci-san yang ampuh. It-ci-san adalah ilmu tiam-hiat-boat (menotok jalan darah) menggunakan sebuah jari, hebat bukan main karena dengan totokan satu jari ini dia dapat merobohkan orang, bahkan kalau mengenai sasaran jalan darah kematian, bisa mendatangkan maut. Dua tangan yang mungil itu kini seolah-olah memegang senjata yang amat ampuh dan berbahaya, dan tusukan-tusukannya sampai mengeluarkan desir angin dingin!

   "Waduhhh, kau memang hebat, Li Hwa...!"

   Li Hwa tidak mempedulikan pujian Kun Liong yang mengelak ke sana-sini, dia terus mengejar dan mengambil keputusan untuk merobohken lawan dengan cara apapun juga, karena kalau tidak, dia tidak akan berhenti merasa penasaran sekali.

   "Plak-plak-plak!"

   Bertubi-tubi datangnya serangan totokan Li Hwa, akan tetapi dapat ditangkis oleh Kun Liong dan sekali ini pemuda itu mengerahkan sin-kangnya sehingga kedua tangannya mengandung tenaga Pek-in-ciang-hoat, uap putih mengepul dari kedua telapak tangannya sehingga ketika dia menangkis, tubuh Li Hwa terdorong ke belakang dan hampir terjengkang.

   "Aihhh...!"

   Li Hwa menjadi marah sekali.

   "Singgg...!"

   Dia sudah mencabut pedang.

   "Nah, ini dia... dia lari ke sini...!"

   Lima belas orang perajurit muncul dan serta-merta mengepung dan mengeroyok Kun Liong. Mereka adalah orang-orang yang tadi ditugaskan untuk menjaga Kun Liong ketika Li Hwa pergi mandi. Melihat mereka, timbul rasa gemas di hati dara itu dan dia bertanya kepada perwira yang mempimpin pasukan kecil itu.

   "Bagaimana dia sampai dapat lolos?"

   "Maaf, Li-hiap. Dia bilang ingin kencing, terpaksa kami antar ke pinggir sungai, dan tiba-tiba dia meloncat ke atas pohon, ketika kami mencarinya, dia telah lenyap. Tahu-tahu berada di sini dan untung ada Li-hiap yang menahannya..."

   "Sudahlah, kalian semua tolol!"

   Li Hwa membentak dan dengan hati kesal dia menyimpan kembali pedangnya. Dia merasa malu kalau harus mengeroyok, bahkan dia harus mengakui bahwa dalam pertandingan tadi, biarpun dia tidak sampai roboh, akan tetapi terang bahwa dia kalah lihai oleh Kun Liong. Kalau tadi dia mencabut pedang hanya karena dorongan kemarahannya, akan tetapi setelah dia menyadari bahwa dia tidak mampu menang, dia pun teringat janjinya untuk membebaskan Kun Liong, maka dia menyimpan pedangnya dan tidak mau ikut mengeroyok. Setelah Li Hwa tidak menyerangnya, legalah hati Kun Liong. Biarpun kini ada lima belas orang perajurit yang mengeroyoknya dengan bermacam senjata, dengan enak saja dia dapat mengelak ke sana-sini, meloncat tinggi melampaui kepala mereka, turun ke depan Li Hwa, menjura dan berkata,

   
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Terima kasih atas kebaikanmu, Li Hwa. Kulihat Yuan de Gama itu amat baik terhadapmu akan tetapi berhati-hatilah terhadap Hendrik. Nah, selamat tinggal dan sampai jumpa pula!"

   Setelah berkata demikian, melihat para perajurit sudah mengejarnya lagi, Kun Liong lalu melompat jauh dan lari dari tempat itu. Para perajurit mengejar, akan tetapi Li Hwa lalu kembali ke perkampungan pemberontak yang telah mereka duduki. Dia bertemu dengan Tio Hok Gwan yang mengatakan bahwa lebih dari lima puluh orang pemberontak tertawan, termasuk lima orang asing.

   "Apa yang harus kita lakukan dengan mereka?"

   Tanya Tio Hok Gwan.

   "Jumlah mereka terlalu banyak dan kiranya hanya akan mendatangkan kesukaran saja bagi kita."

   "Habis, apakah kita harus membunuh mereka begitu saja?"

   Li Hwa berkata.

   "Tio-lopek, tawanan tetap tawanan apalagi kalau diingat bahwa mereka itu pun adalah perajurit-perajurit pemerintah. Kalau mereka dapat diinsyafkan, tentu tidak akan melanjutkan penyelewengan mereka. Sebaiknya Lopek memimpin sebagian pasukan Lopek, mengawal para tawanan ke kota raja. Terserah bagaimana keputusan pengadilan di kota raja. Adapun aku sendiri akan memimpin pasukan untuk mengejar orang yang telah merampas bokor emas."

   "Hehh? Siapa dia?"

   "Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang."

   Li Hwa lalu menceritakan pengakuan Kun Liong tentang bokor yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu.

   "Memang harus cepat dikejar dan dirampas kembali bokor itu,"

   Kata kakek pengantuk yang lihai ini.

   "Akan tetapi amatlah berbahaya kalau kau mengejar ke sana, Nona Souw, Kwi-eng Niocu amat lihai, anak buahnya juga banyak, belum lagi dengan adanya Siang-tok Mo-li yang juga tinggal di Kwi-ouw."

   "Aku tahu, Lopek. Aku pun tidak akan bertindak sembrono. Kalau Lopek sudah selesai mengawal tawanan sampai ke kota raja, Lopek dapat segera menyusul aku dan membantu pencarian kembali bokor yang terampas oleh mereka."

   Terpaksa kakek itu setuju dan Li Hwa lalu memasuki tempat tawanan. Ketika dia berjalan-jalan memeriksa, di sudut terdengar ribut-ribut.

   "Manusia biadab, apa engkau sudah bosan hidup? Kubunuh engkau!"

   Seerang penjaga berteriak marah sambil mengacungkan goloknya di luar sebuah kerangkeng tahanan.

   "Hemm, mau bunuh boleh saja. Siapa takut mati? Setelah aku berada di dalam cengkeraman kalian, memang terserah kepada kalian akan mati hidupku. Akan tetapi jangan mengira bahwa setelah tertawan aku boleh diperlakukan sembarangan saja! Aku bukan anjing dan aku tidak sudi makan makanan anjing!"

   Terdengar suara berkerontangan ketika piring dilempar ke luar dari tempat tahanan itu.

   "Bedebah, mampuslah!"

   Penjaga yang marah itu hendak membacok ke dalam kerangkeng.

   "Tahan...!"

   Li Hwa meloncat dan memegang lengan penjaga itu, kemudian mendorongnya mundur. Penjaga yang marah-marah itu penasaran akan tetapi tidak berani membantah dan segera pergi ketika Li Hwa menyuruhnya. Seperti telah diduga oleh Li Hwa ketika mendengar suara tawanan yang menolak makanan tadi, ketika dia tiba di depan kerangkeng, dia melihat Yuan de Gama berdiri di situ dengan sikap angkuh! Pemuda asing yang tampan itu terluka dadanya dan lukanya dibalut dengan robekan bajunya sendiri.

   Tubuh atasnya tidak berbaju, telanjang memperlihatkan kulit yang putih kemerahan, dada yang bidang dan terhias bulu-bulu pirang yang lembut, kedua lengannya berotot dan lehernya masih terbelit kain leher, tubuh bawahnya memakai celana dengan sabuk kulit, rambutnya yang pirang itu masih rapi, matanya penuh semangat, mata yang biru warnanya itu memandang tajam dan dengan sikap angkuh melirik ke arah Li Hwa. Akan tetapi begitu dia mengenal gadis itu, sikap angkuhnya segera berubah. Kedua lengah yang tadinya bersedakap dengan sikap tak acuh segera terlepas dan dia membalikkan tubuh memandang gadis itu dengan mata terbelalak dan bibirnya membentuk senyum, dagunya yang terbelah dua itu bergerak-gerak menandakan bahwa perasaannya bergelora ketika dia bertemu dengan dara ini.

   "Nona Souw...! Ahhh, betapa gembira hatiku melihat nona dalam selamat dan tidak terluka dalam perang yang dahsyat itu."

   Kedua pipi Li Hwa menjadi merah. Betapa anehnya pemuda asing ini, dalam keadaan terluka dan tertawan masih menyatakan kegembiraannya bahwa dia selamat! Padahal dialah yang memimpin pasukan yang menghancurkan pemberontakan dan yang menawan pemuda itu.

   "Kau... kau terluka...!"

   Li Hwa melirik ke arah dada yang terbalut, akan tetapi segera mengalihkan pandangan. Tidak kuat dia memandang terlalu lama dada telanjang yang terhias bulu pirang halus itu.

   "Aku...? Ah, hanya terluka sedikit. Kau hebat sekali, Nona. Baru saja dikalahkan, sudah cepat sekali dapat menyusun kekuatan dan sebaliknya menghancurkan kami. Bonar-benar aku kagum!"

   Sepasang mata biru itu benar-benar memandang penuh kagum, tanpa disembunyikan lagi penuh kagum dan penuh sayang yang dirasakan benar oleh Li Hwa, membuat dia makin tertunduk dan bingung.

   "Mengapa kau menolak makanan? Dalam keadaan seperti ini, menyesal sekali kami tidak dapat menyediakan hidangan yang lebih baik."

   Muka pemuda itu menjadi marah dan dia kelihatan tersipu malu, kemudian menjawab,

   "Maafkan aku Nona. Sebetulnya bukan hidanganya yang menjadi soal, akan tetapi ada dua hal yang membuat aku sengaja bersikap buruk menolak makanan. Pertama, karena sikap para penjaga yang amat menghina sehingga aku lebih senang kelaparan daripada menerima hidangan seperti orang memberi kepada anjing. Ke dua, dalam keadaan tertawan dan tidak berdaya seperti ini, apalagi yang kuharapkan? Tidak urung aku akan dihukum mati dan aku tidak ingin memperpanjang hidup seperti ini. Kalau pintu kamar ini dibuka, aku akan mengamuk sampai mati. Aku telah meninggalkan kapalku di mana aku menjadi kaptennya, berarti aku akan mati konyol di sini. Ah... semua ini adalah karena Ayah telah keliru menyewakan kapal kepada petualang-petualang seperti keluarga Selado itu."

   Li Hwa merasa tertarik sekali. Pemuda ini bukanlah orang biasa, bukan pula orang jahat.

   "Di mana kapalmu?"

   "Di tepi teluk Po-hai. Ahh, betapa ingin aku mati di atas kapalku sebagai seorang kapten yang tak terpisahkan dari kapal yang dikuasainya."

   Hening sejenak dan beberapa kali mereka saling berpandangan.

   "Yuan..."

   Wajah pemuda itu berseri mendengar namanya disebut oleh bibir yang dikaguminya itu.

   "Apa yang hendak kau katakan, Li Hwa?"

   "Kau pernah menyelamatkan aku, membebaskan dari tawanan bangsamu. Maka jangan kau khawatir, aku pasti akan berusaha untuk membebaskanmu untuk membalas budimu itu."

   "Jangan...!"

   Yuan de Gama cepat memegang kedua tangan Li Hwa yang memegangi ruji besi.

   "Jangan kau korbankan dirimu untukku, Li Hwa!"

   Sejenak Li Hwa membiarkan jari-jari tangan pemuda asing itu menggenggam kedua tangannya yang kecil. Kemudian perlahan-lahan dia menarik kedua tangannya dan berkata,

   "Jangan khawatir, aku tidak akan membebaskanmu dengan menggelap, akan tetapi terang-terangan."

   "Akan tetapi... ada empat orang temanku yang tertawan juga. Aku tidak takut mati terhukum, kalau engkau membebaskan aku dan empat orang temanku itu tidak dibebaskan, tentu aku akan dianggap pengecut. Tidak, Li Hwa, terima kasih atas kebaikanmu..."

   Li Hwa makin kagum. Tepat persangkaannya bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. Seorang yang halus tutur sapanya, baik budi bahasanya, tampan dan gagah serta memiliki setia kawan yang besar.

   "Kalau begitu, aku akan membebaskan pula empat orang temanmu itu."

   Yuan de Gama membelalakkan matanya dan memandang Li Hwa yang sudah melangkah pergi dari tempat itu.

   "Wanita yang hebat... betapa aku cinta kepadamu...."

   Bisiknya. Lapat-lapat dia mendengar perintah diucapkan oleh dara itu kepada kepala penjaga, dan agaknya dara itu menegur para penjaga yang bersikap kasar karena buktinya, tak lama kemudian kepala penjaga sendiri datang membawa hidangan dengan sikap biasa, tidak memperlihatkan sikap menghina seperti yang sudah-sudah. Karena maklum bahwa semua ini adalah hasil usaha dara yang dicintanya, biarpun hidangan itu masih serupa, amat sederhana, Yuan de Gama lalu makan dengan lahapnya, kadang-kadang tersenyum dan matanya bersinar-sinar penuh bahagia. Dia bukan girang mengingat bahwa dia akan dibebaskan sungguhpun hal ini merupakan berita yang amat mengejutkan dan baik.

   Akan tetapi yang amat menggirangkan hatinya adalah bahwa yang akan membebaskannya adalah Souw Li Hwa, dara yang telah menjatuhkan hatinya karena kegagahan dan kecantikannya. Bukankah hal itu mendatangkan harapan di hatinya bahwa cinta kasihnya tidak sia-sia, bahwa setidaknya dara itu juga menaruh perhatian terhadap dirinya? Tentu saja dia belum berani mengharapkan bahwa Li Hwa mencintanya. Hal ini merupakan ketidakmungkinan. Li Hwa adalah murid Panglima Besar The Hoo, mana mungkin jatuh cinta kepadanya, seorang pemuda asing yang dianggap bangsa "biadab"

   Oleh para pribumi? Akan tetapi belum tentu, bantah suara hatinya. Cinta kasib mengalahkan apa pun di dunia ini! Sementara itu, di dalam pondok yang dipergunakan sebagai pusat komando dan ditinggali untuk sementara oleh para pemimpin pasukan termasuk Li Hwa dan Tio Hok Gwan, dara itu bercakap-cakap dengan pengawal tua pengantuk itu.

   "Nona Souw, apakah sudah kau pikir baik-baik keputusanmu untuk membebaskan para orang asing yang menjadi tawanan itu?"

   Tanya Tio Hok Gwan sambil mengerutkan alisnya.

   "Sudah saya pertimbangkan masak-masak, Lopek, dan saya berani menanggung semua akibatnya. Dalam penyerbuan pertama, saya kurang hati-hati, pingsan oleh ledakan dan tertawan musuh. Dalam keadaan tidak berdaya sama sekali itu, saya telah ditolong oleh Yuan de Gama. Kini dia sendiri menjadi tawanan kita, maka sudah sepatutnya kalau saya membalas kebaikannya dan membebaskannya."

   "Akan tetapi empat yang lain?"

   "Lopek, andaikata engkau menjadi tawanan musuh, saya akan rela menukarkan Lopek dengan sepuluh orang tawanan dari pihak musuh. Maka, saya menganggap bahwa saya telah ditukar dengan Yuan de Gama dan empat orang temannya. Saya kira hal itu tidak terlalu merugikan kita. Selain itu, kita hanya berurusan dengan para pemberontak. Merekalah yang harus kita hukum. Orang-orang asing itu hanya pedagang-pedagang, kalau kita menawan mereka, berarti kita melibatkan pemerintah ke dalam permusuhan dengan bangsa dan negara lain."

   Tio Hok Gwan mengelus dagunya dan menarik napas panjang.

   "Hemm, semenjak dahulu aku tidak mengerti tentang urusan pemerintah. Yang jelas saja, andaikata engkau tertawan musuh, aku tentu dengan rela akan menukar pembebasanmu dengan pembebasan sepuluh orang musuh yang tertawan olehku, Nona. Terserah, lakukan apa yang kaukehendaki."

   Lega hati Li Hwa setelah mendapat persetujuan rekannya itu, sungguhpun dia tahu bahwa perbuatan membebaskan tawanan ini adalah tanggung jawabnya sendiri. Malam hari itu dia sendiri mengawal lima orang tawanan keluar dari tempat tahanan dan menuju ke luar kota. Setiba mereka di luar pintu gerbang dusun itu, empat orang teman Yuan de Gama mendahului pergi sedangkan Yuan de Gama berhenti dan bicara dengan Li Hwa.

   "Nona Souw... tak tahu aku bagaimana aku harus berterima kasih kepadamu..."

   "Yuan, tak perlu berterima kasih. Aku hanya membalas budimu."

   "Li Hwa, ketika aku membebaskanmu, hal itu lain lagi kedudukannya. Engkau terancam oleh kekejian niat Hendrik, maka aku harus membebaskanmu atau membebaskan wanita mana saja yang terancam olehnya. Akan tetapi aku adalah seorang tawanan resmi..."

   "Sudahlah, tidak perlu kita bicara tentang itu."

   "Li Hwa, betapa akan kagum hati Ayah dan adik perempuanku kalau mendengar penuturanku tentang dirimu. Mereka akan datang menyusul dengan kapal lain."

   "Engkau punya adik perempuan? Tentu cantik sekali..."

   "Cantik jelita seperti bidadari, Li Hwa. Akan tetapi... ahh, tidak secantik engkau..."

   "Hemmm, ceritakan tentang dia."

   Li Hwa memotong dan mukan terasa panas.

   "Ayahku adalah Richardo de Gama, seorang duda yang sudah tua dan seorang juragan kapal di negara kami. Adikku bernama Yuanita de Gama, berusia sembilan belas tahun. Kapal Kuda Terbang milik Ayah telah disewa oleh Legaspi Selado..."

   "Hemm, pimpinan orang asing yang membantu pemberontak?"

   Yuan menarik napas panjang.

   "Demikianlah. Akan tetapi... dia adalah guruku. Legaspi Selado adalah seorang bekas panglima di negeri kami, seorang perantau yang sudah menjelajah banyak negara dan sudah belasan tahun tinggal di India dan Nepal, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Hendrik Selado adalah puteranya. Ketika guruku itu menyewa kapal Ayah, tentu saja Ayah tidak tahu bahwa kapalnya dan anaknya akan dibawa oleh Legaspi Selado terlibat dalam urusan pemberontakan di negeri ini. Aku merasa menyesal sekali karena sebagai muridnya, aku pun tidak dapat membantah perintahnya. Aku merasa menyesal bahwa guruku bersekutu dengan pemberontak di negeri yang indah dengan rakyatnya ramah. Akan tetapi aku pun merasa bahagia karena hal ini memungkinkan aku berjumpa dengan engkau, Li Hwa."

   "Hemm..."

   Li Hwa tak mampu menjawab dan merasa betapa mukanya makin panas. Untung malam itu gelap sehingga tidak tampak dua titik air mata membasahi bulu matanya.

   "Aku cinta kepadamu, Li Hwa. Demi Tuhan, aku cinta kepadamu, dan kalau keadaan mengijinkan... tidak dalam keadaan sebagai musuh dalam perang, betapa ingin hatiku untuk meminangmu kepada orang tuamu, sebagai isteriku..."

   Tiba-tiba Li Hwa terisak, tak dapat menahan keharuan hatinya karena selain pernyataan Yuan itu mengharukan, juga dia diingatkan kepada orang tuanya yang telah tiada.

   "Li Hwa... maafkan aku... ah, harap jangan menangis, sayang..."

   Yuan segera merangkul pundak dara itu penuh kasih sayang. Sejenak Li Hwa membenamkan kepalanya di dada pemuda itu. Setelah keharuan hatinya agak mereda, dia cepat merenggangkan diri dan berkata lirih,

   "Yuan, ayah bundaku telah meninggal dunia. Aku yatim piatu..."

   "Aduhhh... maafkan aku, Li Hwa... kau kasihan sekali."

   "Tidak Yuan. Aku telah mempunyai pengganti orang tuaku, yaitu guruku, Panglima Besar The Hoo yang bijaksana. Karena ini pula, maka harap kau jangan melamun yang bukan-bukan. Aku adalah murid dan seperti anak sendiri dari Panglima Besar The Hoo, panglima dan pahlawan negara kami, sedangkan kau... biarpun di dalam hatimu kau tidak setuju, akan tetapi engkau adalah seorang di antara orang-orang yang membantu pemberontak. Dan aku adalah seorang asing. Tidak mungkin lagi bicara tentang jodoh."

   "Akan tetapi... kalau aku tidak salah mengira... bukankah engkau pun cinta kepadaku, Li Hwa? Biarpun masih ragu-ragu, dan mungkin hanya sedikit, tidakkah kau cinta pula kepadaku seperti aku mencintaimu dengan sepenuh jiwa ragaku?"

   "Sudahlah, jangan bicara tentang itu, Yuan. Kau tahu bahwa aku suka kepadamu karena kau seorang yang amat baik dalam pandanganku. Pergilah, kita bersahabat dalam kenangan saja!"

   "Li Hwa...!"

   Yuan meloncat ke depan, menjatuhkan diri berlutut dan memegang kedua tangan Li Hwa.

   "Mungkinkah ini? Mungkinkah cinta kasih dihancurkan dan diputuskan secara begini saja? Hanya karena kedudukan kita? Li Hwa, cinta kasih tidak dapat dikalahkan oleh apapun juga. Bahwa kematian pun tidak akan dapat mengalahkan cinta kasih. Aku cinta padamu, Li Hwa, apa pun yang akan terjadi!"

   "Yuan...!"

   Dengan hati terharu, di luar kesadarannya jari tangan Li Hwa memegang tangan pemuda itu erat-erat.

   "Li Hwa sayang...!"

   Yuan bangkit berdiri, memeluk dara itu dan sebelum Li Hwa dapat menguasai dirinya, mulutnya telah dicium dengan penuh kemesraan oleh pemuda itu. Sejenak Li Hwa menjadi lemas, tak dapat menguasai dirinya dan hatinya yang berdebar tidak karuan, kemudian dia mendorong dada yang tak berbaju itu sambil meloncat ke belakang ketika Yuan merenggangkan bibir untuk bernapas.

   "Yuan, jangan!"

   Mendengar bentakan ini, Yuan hanya mengulurkan kedua lengan. Akan tetapi Li Hwa melangkah mundur dan berkata,

   "Yuan, aku suka kepadamu, akan tetapi aku pun melihat jelas hubungan antara kita tak mungkin dilanjutkan dan kalau kau memaksa, aku akan menganggap engkau sama saja dengan Hendrik..."

   "Li Hwa! Engkau tahu bahwa cintaku kepadamu murni dan aku bersumpah tidak akan meninggalkan bumi Tiongkok dalam keadaan bernyawa kalau aku tidak dapat menggandengmu sebagai isteriku yang tercinta. Li Hwa, selamat berpisah dan sampai jumpa pula."

   Pemuda ini membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi menyusul teman-temannya. Li Hwa berdiri seperti arca di tempat itu, pipinya basah air mata. Diangkatnya perlahan tangan kanannya menyentuh bibir yang masih berdenyut panas oleh ciuman pemuda itu. Kemudian dia terisak sambil menutupi muka dengan kedua tangannya dan menunduk, dari mulutnya terdengar bisikan bingung,

   "... Aku cinta padanya... aihhh... aku cinta padanya..."

   Kun Liong berjalan seorang diri memasuki hutan besar itu. Berkali-kali dia menghela napas panjang kalau dia mengenangkan semua pengalamannya. Mengapa nasibnya demikian sial? Semenjak sepuluh tahun lebih yang lalu dia meninggalkan rumah orang tuanya di Leng-kok,

   Dia selalu mengalami bermacam kesialan dalam hidupnya. Akhir-akhir ini pun tidak pernah ada hasil baik dalam setiap usahanya. Mencari ayah bundanya masih belum ada hasilnya sama sekali. Mencari dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai juga masih belum berhasil. Bahkan bokor emas yang sudah berada di tangannya, terpaksa harus dia serahkan kepada Kwi-eng Niocu! Sekali ini dia tidak mau gagal lagi. Dia akan pergi ke Kwi-ouw, memasuki pulau yang menjadi sarang Kwi-eng-pang dan terang-terangan dia akan menemui Kwi-eng Niocu minta dua benda pusaka Siauw-lim-pai, bokor emas milik Panglima The Hoo, dan bertanya siapa yang membunuh Thian Lee, sekalian menegur Kwi-eng-pang yang telah mengacau di Siauw-lim-si! Setelah itu, baru dia akan mencurahkan semua perhatiannya untuk mencari ayah bundanya.

   Ketika dia tiba di tengah hutan, tiba-tiba Kun Liong mendengar suara ribut-ribut banyak orang. Cepat dia menuju ke tempat suara itu dan sebuah tikungan tampaklah olehnya seorang kakek tua duduk bersila di atas sebuah batu besar dikurung oleh dua puluh orang lebih yang mengeluarkan suara ribut-ribut tadi. Kun Liong menyelinap di balik sebuah pohon tak jauh dari tempat itu dan memandang penuh perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang sudah putih digelung ke atas. Melihat cara dia berpakaian dan melihat sanggul rambutnya, tentu dia seorang pertapa atau seorang pendeta To. Di punggung kakek itu tergantung sebuah buntalan kain kuning besar. Kakek itu duduk bersila diam seperti orang tidur, duduk tegak dengan kedua tangan di atas pangkuannya, agaknya sama sekali tidak mendengar suara ribut-ribut dari orang-orang yang mengurungnya.

   "Hee, Kakek tua bangka! Apa kau sudah mampus?"

   "Tosu hidung kerbau! Serahkan buntalan di punggungmu!"

   "Kita ambil bungkusannya dan pakaian yang dipakainya!"

   "Benar! Kita tinggalkan dia telanjang bulat di sini, ha-ha!"

   Tingkah dua puluh orang itu seperti segerombolan anjing liar dalam pandangan Kun Liong yang sudah menjadi marah sekali.

   "Dia diam saja, berarti menghina kita! Biar kuhantam kepalanya!"

   Seorang di antara mereka berteriak, tangannya bergerak memukul kepala kakek itu.

   "Desss...! Auuduhhh... tanganku..."

   Orang itu meringis dan mengaduh-aduh memegangi kepalan tangan kanannya yang tadi menghantam kepala itu dan menjadi bengkak.

   "Dia melawan! Bunuh saja!"

   Orang-orang kasar itu adalah perampok-perampok rendahan yang biasa mengganggu orang lewat di hutan yang lebat dan sunyi itu. Kini mereka sudah mencabut senjata, masing-masing ada golok, pedang dan toya, dan beramai-ramai mereka menerjang kakek yang duduk bersila tanpa bergerak itu.

   "Heiii...! Kalian jahat...!"

   Kun Liong keluar dari tempat persembunyiannya namun dia terlambat, karena senjata-senjata itu telah menyambar ke arah tubuh si kakek tua seperti hujan. Akibatnya, orang-orang itu mundur ketakutan karena semua bacokan yang mengenai tubuh kakek itu membuat senjata mereka terpental sedangkan tubuh kakek itu sedikit pun tidak terluka, seolah-olah mereka menyerang sebuah arca baja yang amat kuat. Hanya pakaian kakek itu yang terobek di sana-sini.

   "Siluman... dia siluman...!"

   "Wah, golokku malah rompal..."

   "Toyaku bengkok!"

   "Celaka...! Dia setan..."

   Orang-orang kasar itu ketakutan dan tiba-tiba mereka mendengar hentakan Kun Liong yang sudah melompat dekat,

   "Kalian ini manusia-manusia kejam!"

   Ketika mereka menoleh dan melihat Kun Liong mereka makin kaget.

   "Wah ini tentu temannya!"

   "Setan gundul...!"

   "Lari kawan-kawan...!"

   Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maka larilah dua puluh orang lebih itu tunggang-langgang karena kesaktian kakek itu telah membuat mereka benar-benar menyangka bahwa Si Kakek adalah sebangsa setan, dan pemuda gondul yang muncul itu adalah setan gundul. Kun Liong menjadi geli menyaksikan tingkah mereka itu dan dia tertawa. Akan tetapi dia segera menghentikan suara ketawanya ketika mendengar suara halus di belakangnya,

   "Mereka itu patut dikasihani, bukan ditertawakan."

   Kiranya kakek itu telah membuka matanya akan tetapi masih tetap duduk bersila di atas batu. Sejenak mereka berpandangan dan diam-diam Kun Liong terkejut melihat sinar mata kakek itu. Biarpun orangnya sudah amat tua, akan tetapi sinar matanya tajam bukan main.

   "Totiang, pakaianmu robek-robek..."

   Kakek itu menunduk dan memandangi bajunya yang robek di sana-sini, kemudian dia tersenyum dan menjawab,

   "Pakaian rusak dan robek bisa dijahit, orang muda. Akan tetapi kalau watak yang rusak..."

   "Maaf, Totiang. Kurasa watak yang rusak pun dapat diperbaiki oleh dirinya sendiri. Saya kira tidak benar kalau dikatakan bahwa sekali rusak watak orang, selamanya akan tetap rusak."

   Kakek itu membelalakkan matanya dan mengangguk-angguk.

   "Kau benar, orang muda. Sungguh engkau aneh. Engkau bukan hwesio akan tetapi kepalamu tidak berambut, agaknya engkau telah keracunan."

   Tahulah Kun Liong bahwa kakek ini seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bukan hanya karena tadi kebal terhadap senjata orang-orang kasar itu, akan tetapi sekali pandang dapat menduga bahwa dia keracunan, hal ini membutuhkan pandangan seorang yang ahli. Maka dia lalu duduk di atas batu di depan kakek itu, juga bersila karena dia ingin sekali bercakap-cakap dengan kakek aneh itu.

   "Totiang, mengapa Totiang tadi mengatakan bahwa orang-orang jahat tadi patut dikasihani?"

   "Orang muda, dahulu aku memang seorang tosu, akan tetapi semenjak aku menyadari bahwa ikatan terhadap sesuatu agama merampas kebebasanku, aku bukanlah seorang tosu lagi. Namun tidak mengapa kalau kau menyebutku Totiang karena sebutan adalah kosong, dan nama bukankah menunjukkan keadaan yang dinamainya. Aku merasa kasihan kepada mereka karena mereka itu buta karena nafsu keinginan mereka. Kita hidup biasanya menjadi boneka permainan nafsu keinginan kita sendiri, tidak menyadari bahwa nafsu keinginan, betapapun baiknya menurut pendapat orang, tetap saja merupakan penyeret ke arah kesesatan dan kepalsuan, maka akhirnya hanya akan mendorong kita ke dalam lembah kesengsaraan."

   "Akan tetapi, Totiang. Apakah semua perbuatan yang mengandung keinginan itu buruk? Bagaimana kalau keinginan yang terkandung dalam perbuatan itu merupakan keinginan yang baik?"

   "Baik dan buruknya keinginan hanya tergantung Si Penilai, padahal sebetulnya sama saja. Keinginan tetap keinginan, merupakan hasrat dari seorang untuk memperoleh sesuatu. Keinginan yang bersembmyi di balik sebuah perbuatan dinamakan pamrih dan perbuatan itu akan menjadi perbuatan palsu kalau berpamrih."

   "Mengapa palsu, Totiang?"

   "Kalau kita melakukan suatu perbuatan dan ada pamrihnya, bukankah si pamrih itu yang penting, bukan si perbuatan? Padahal kita harus tahu apa pamrih itu! Apakah sebenarnya pamrih itu? Bukankah pamrih itu adalah keinginan untuk menguntungkan diri sendiri, baik lahiriah maupun batiniah? Dengan pamrih, maka perbuatan itu adalah munafik, pura-pura, hanya dijadikan jembatan untuk memperoleh yang diinginkannya. Katakanlah perbuatan menolong. Kalau menolong dengan ada pamrih, apakah itu menolong namanya? Kalau yang dipamrihkan, yang diinginkan untuk didapat itu tidak ada, apakah masih mau menolong? Hati-hati orang muda, jangan kita tertipu oleh pikiran kita yang pandai sekali memabokkan kita dengan segala macam ujar-ujar dan pelajaran yang kita kenal dari kitab-kitab. Bukalah mata dan mengenal dirimu sendiri, mengenal segala gerak hati dan pikiranmu, bukan hanya mengenal wajahmu, dan engkau akan dapat melihat betapa segala macam kepalsuan diciptakan oleh pikiran. Pikiran memperkuat si aku, dan sekali kita dikuasai oleh ini, segala macam gerakan dalam hidup ini ditujukan demi keuntungan si aku, sehingga seperti perbuatan mereka tadi, seringkali menimbulkan kekerasan dan pertentangan."

   Kun Liong mengangguk-angguk. Biarpun belum jelas benar, namun dia merasa dapat melihat dan mengerti isi pembicaraan itu.

   "Jadi untuk menguasai pengaruh nafsu keinginan, maka orang-orang seperti Totiang ini lalu bertapa, dan menekan segala macam nafsu?"

   Kakek itu menggeleng kepalanya.

   "Bertapa menjauhkan diri dari dunia ramai, kalau hal itu dilakukan untuk menghindarkan nafsu keinginan, adalah perbuatan yang sama sekali salah. Nafsu keinginan timbul dari pikiran sendiri, penciptanya adalah diri sendiri. Betapa mungkin kita melarikan diri dari nafsu keinginan? Biarpun kita melarikan diri ke puncak Himalaya, nafsu keinginan takkan pernah dapat kita tinggalkan, bahkan melarikan diri ke puncak Himalaya itu pun sudah merupakan pelaksanaan keinginan kita, bukan? Keinginan untuk menghindar dari nafsu keinginan!"

   "Jadi harus ditekan setiap kali nafsu keinginan timbul, Totiang?"

   Kembali kakek itu menggelengkan kepalanya.

   "Sekali kita mengalahkan nafsu, maka nafsu itu harus setiap kali kita kalahkan. Sekali kita menekan, harus setiap kali kita menekannya kembali. Nafsu yang ditekan, seperti kuda yang dipasangi kendali, harus selalu dikendalikan. Nafsu yang ditekan, seperti api dalam sekam, setiap kali dapat berkobar kembali. Tidak ada gunanya melarikan diri dari nafsu, tiada gunanya pula menekannya. Yang penting kita menghadapinya, mengawasinya, dan mengerti akan nafsu keinginan kita, mengawasinya tanpa menyetujui, tanpa menentang, hanya mengawasi saja tanpa memikirkannya. Karena sekali pikiran masuk, sekali kita menyetujui, menentang atau mengambil kesimpulan maka terciptalah si aku yang mengawasi si nafsu dan timbul pertentangan! Akan tetapi tanpa adanya si aku dan si nafsu, yang ada hanya pengawasan itu sendiri dan di sana tidak akan ada lagi nafsu keinginan!"

   Kun Liong mengerutkan alisnya. Baru sekali ini dia mendengar itu. Dia mencari ke dalam dirinya sendiri berdasarkan keterangan kakek itu. Kemudian dia hertanya,

   "Akan tetapi, Totiang. Biasanya setiap gerak perbuatan kita didorong oteh suatu keinginan tertentu. Kalau nafsu keinginan tidak ada, habis apa yang menjadi dasar dan pendorong perbuatan kita?"

   "Lakukanlah dan engkau akan menyatakan sendiri, orang muda! Engkau akan melihat perbuatan yang wajar, bersih tanpa pamrih karena perbuatan itu hanya bergerak dalam kasih."

   "Kalau begitu, Kasih adalah kebalikan atau lawan dari Nafsu Keinginan, Totiang?"

   "Kukira tidak demikian, orang muda. Kasih bukanlah lawan Nafsu, akan tetapi untuk mengenal kasih, nafsu haruslah pergi. Nafsu keinginan menimbulkan iri, dengki, benci dan kecewa. Untuk mengenal nafsu, maka iri-dengki-benci-kecewa ini harus tidak ada. Akan tetapi bukan berarti bahwa Cinta Kasih adalah kebalikan dari semua itu."

   Hening sejenak. Kun Liong memejamkan matanya. Tiba-tiba dia mengangkat muka memandang kakek itu yang juga memandangnya dengan senyum halus penuh keagungan.

   "Totiang siapakah?"

   "Dahulu, orang memanggilku Kiang Tojin, Ketua dari Kun-lun-pai, tetapi sekarang aku hanyalah seorang pengembara yang menikmati hidup dalam alam yang amat indah ini."

   

Pedang Kayu Harum Eps 40 Pedang Kayu Harum Eps 23 Pusaka Pulau Es Eps 17

Cari Blog Ini