Ceritasilat Novel Online

Petualang Asmara 26


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 26



"Tuan... kekasihku..."

   Suara yang basah parau namun lunak merdu, suara Nina! Kun Liong terpesona dan bagaikan seekor kelinci mencium bau harimau, dia bangkit duduk, kemudian mengambil keputusan untuk cepat meninggalkan kamar itu karena keadaannya amat "berbahaya". Tanpa berkata apa-apa dia lalu meloncat dan lari dari kamarnya, akan tetapi baru saja keluar dari pintu, dia sudah diserbu wanita itu, dirangkul dan ditarik kembali ke dalam kamar yang gelap! Wanita itu melempar daun pintu tertutup, kemudian terdengar langkahnya mendekatinya, membuat Kun Liong menggigil dan duduk di atas pembaringannya, tak dapat mengeluarkan suara sedikit pun.

   "Yuan... gelap amat..."

   Wanita itu berbisik lagi akan tetapi kini dua buah tangan meraba pundak Kun Liong. Dua buah lengan merangkul dan sebuah tubuh yang lunak hangat mendekapnya, sepasang bibir yang basah terengah-engah menjelajahi mukanya untuk kemudian berhenti mengecup mulutnya dalam sebuah ciuman yang membuat Kun Liong hampir pingsan! Tak pernah dia dapat membayangkan akan ada ciuman seperti itu! Yuanita sudah merupakan pengalaman luar biasa ketika menciumnya, akan tetapi dibandingkan dengan ini, Yuanita bukan apa-apa! Ciuman wanita ini seolah-olah menembus jantungnya, terasa sampai di tulang sumsum dan membuat seluruh tubuh Kun Liong panas dingin, kaki tangannya menggigil, kepalanya berdenyut dan pandang matanya berkunang!

   "Haiii...!"

   Tiba-tiba Nina berteriak lirih, tangan wanita yang halus itu membelai, meraba muka dan kepala yang gundul, kemudian terdengar wanita itu menahan tawa, terkekeh genit.

   "Kaukah ini...? Kau... pemuda yang katanya seorang pendekar yang sakti? Ahh, aku mendengar bahwa pendekar memiliki kekuatan yang luar biasa... aku kagum padamu..."

   Kun Liong gelagapan ketika wanita itu merayunya, membelainya, memeluk dan menciumnya. Ucapan Nina dalam bahasa daerah bercampur bahasa asing membuatnya bingung. Bau minyak wangi yang aneh memabokkannya, dan terutama sekali tubuh wanita yang hidup mendekapnya itu membuat Kun Liong kehilangan akal.

   "Jangan... Nyonya... jangan... maafkan aku, harap suka tinggalkan aku, aku... aku takut kalau ketahuan orang..."

   Kata-nya gagap.

   "Hi-hik, beginikah pendekar? Mengapa penakut? Tidak sukakah kau kepadaku? Tidak senangkah kau kucium seperti ini?"

   Nina kembali menciuminya, mencium kepalanya, mukanya, bibirnya dan kedua lengannya merangkul ketat sehingga tubuh Kun Liong menjadi panas dingin dibuatnya.

   Kun Liong hanyalah seorang manusia biasa seorang pria muda yang tentu saja berdarah panas. Menghadapi rayuan yang amat luar biasa itu, hampir dia tidak dapat menahan dirinya. Tubuhnya panas dingin dan gemetar, dan seperti seorang yang mabok, pandang matanya berkunang. Tubuh wanita yang masak itu kelihatan luar biasa menariknya tersorot cahaya remang-remang dari sinar lampu yang memasuki kamar itu melalui celah-celah jendela dan pintu. Akan tetapi dia masih teringat bahwa wanita ini adalah isteri Legaspi Selado, bahwa merupakan perbuatan terkutuk untuk berjina dengan isteri orang lain! Ingatan ini mengeraskan hatinya dan dia mendorong tubuh wanita itu dengan halus.

   "Nyonya, jangan lakukan ini! Jangan lanjutkan perbuatan gila ini!"

   Katanya lirih.

   "Ahhh... berani engkau menolak aku? Engkau yang sudah menggigil penuh nafsu ini... hi-hik, orang muda yang kuat, jangan kau berpura-pura alim..."

   Mereka seperti bergulat. Kun Liong mencegah dan wanita itu hendak menggelutinya. Pada saat itu terdengar suara Yuan,

   "Kun Liong, dengan siapakah kau di dalam?"

   Kun Liong terkejut bukan main. Apalagi pintu kamar itu terbuka dari luar dan Yuan de Gama masuk membawa sebuah lampu! Kun Liong cepat meloncat menjauhi Nina dan membetulkan kancing bajunya yang hampir terlepas semua. Wanita itu hanya tersenyum dengan mulut agak terengah, matanya seperti mata seekor singa kelaparan!

   "Yuan... dia... dia ini..."

   Kun Liong berkata gagap. Yuan mengangguk.

   "Aku tahu, Kun Liong. Karena itu aku masuk ke sini untuk menolong dan membebaskanmu dari harimau betina kelaparan!"

   Lega rasa hati Kun Liong. Dia memandang kepada sahabatnya itu penuh terima kasih, kemudian tanpa berkata apa-apa dia meloncat keluar dari kamar, langsung menuju ke dek kapal untuk mencari "hawa segar".

   "Nina, sungguh kau terlalu sekali! Dia adalah penolong dan tamu terhormat, mengapa kau begitu tidak tahu malu untuk..."

   Yuan de Gama menegur wanita muda yang kini duduk di pembaringan Kun Liong dengan baju atas setengah terbuka membayangkan dada yang membusung penuh, yang tersenyum dengan muka kemerahan dan mata mengerling basah ke arah Yuan, senyum yang penuh ejekan dan tantangan!

   "Yuan, kau tidak tahu. Semua ini gara-gara engkaulah! Betapa rinduku kepadamu hampir tak dapat aku menguasai diriku lagi, dan kau selalu berpura-pura, selalu menjauhkan diri setelah dahulu..."

   "Cukup, Nina! Satu kali saja sudah cukup. Aku pernah gila, akan tetapi semua adalah karena bujuk rayumu. Aku tidak akan mengulanginya lagi perbuatan terkutuk kita itu!"

   "Hi-hik, Yuan! Ketahuilah, aku tidak sengaja masuk ke kamar ini. Siapa sudi bercumbu dengan Si Gundul itu kalau ada engkau di gini? Kukira ini kamarmu, aku lupa bahwa kau memberikan kamar ini kepada Si Gundul. Aku kesalahan masuk, dan karena sudah terlanjur, untuk menutupi maluku, aku... hemm... dia pun..."

   "Sudahlah, Nina. Tak perlu berpura-pura. Aku mengenal pemuda seperti Kun Liong, seorang pendekar sakti, seorang jantan sejati yang tak mungkin akan sudi mengganggu seorang wanita kalau tidak kau bujuk rayu. Keluarlah dari kamar ini sebelum Tuan Selado mengetahuinya sehingga terjadi hal yang memalukan."

   Akan tetapi Nina malah bangkit, dengan melenggang-lenggok menggairahkan menghampiri Yuan de Gama, merangkulnya dan berkata dengan sikap dan suara manja.

   "Yuan, tidak kasihankah kau kepadaku? Aku rindu kepadamu, aku cinta kepadamu..."

   "Diam!"

   Yuan merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan wanita itu.

   "Orang seperti engkau tidak patut bicara tentang cinta! Dan aku tidak cinta kepadamu! Ketahuilah, hanya ada seorang wanita saja di dunia ini yang benar-benar patut kucinta, yang kucinta sepenuh nyawaku. Dia adalah Souw Li Hwa!"

   Kun Liong yang sudah kembali dan mendengarkan dari luar, terkejut dan menyelinap pergi, akan tetapi dia tidak mengira bahwa pemuda asing itu akan terang-terangan mengaku di depan Nina bahwa dia hanya mencinta Li Hwa seorang. Diam-diam Kun Liong merasa terharu dan kasihan kepada Yuan de Gama. Li Hwa adalah seorang gadis gagah perkasa dan keras hati, murid tunggal Pendekar Sakti The Hoo yang berkedudukan tinggi. Mungkinkah seorang dara seperti Li Hwa akan dapat membalas cinta seorang pemuda asing seperti Yuan de Gama? Terjadi kegaduhan di kamar itu karena dengan berkeras Yuan menolak bujuk rayu Nina. Akhirnya tampak oleh Kun Liong yang menyelinap bersembunyi betapa Nina berlari keluar dari kamar itu sambil terisak menangis.

   Diam-diam Kun Liong merasa kasihan juga kepada wanita itu, maka dia menyelinap dan membayangi dari jauh untuk melihat apa yang akan terjadi dengan wanita yang dianggapnya bernasib malang itu. Biarpun dia sendiri belum berpengalaman, namun dia dapat merasakan bahwa wanita itu tersiksa oleh nafsunya sendiri, nafsu yang mendesak-desaknya membutuhkan penyaluran, akan tetapi celaka bagi wanita itu, dua orang pria muda yang ditemuinya, dia sendiri dan Yuan de Gama, tidak bersedia melayaninya. Nina berlari menuju ke sebuah kamar di sudut depan, akan tetapi sebelum dia mengetuk pintu kamar itu, pintu kamar dibuka orang dan keluarlah Legaspi Selado! Kakek botak itu membawa sebuah botol yang tinggal sedikit isinya, mukanya merah dan begitu melihat Nina, dia mengayun tangan kirinya menampar,

   "Plakkk!!"

   "Aughhh...!"

   Nina menjerit lirih dan mengelus pipinya yang membengkak merah, matanya terbelalak memandang suaminya. Melihat ini, Kun Liong merasa langannya gatal dan hatinya panas. Kalau dia tidak ingat bahwa yang menampar adalah suami sedangkan yang ditampar adalah isterinya tentu dia sudah keluar menegur kakek botak itu!

   "Perempuan rendah! Perempuan tak tahu malu!"

   Legapsi Selado memaki lalu menenggak minuman keras yang masih tinggal sedikit di dalam botol, setelah itu sekali mengayun tangan, botol yang sudah kosong itu melayang jauh sekali keluar dari kapal menuju ke laut gelap. Kun Liong mendengar betapa Nina bicara dengan penuh semangat, agaknya wanita itu marah-marah, mengata-ngatainya dengan gerakan tangan dan sambil bercucuran air mata. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan wa-nita itu, akan tetapi dia melihat betapa Nina kelihatan berduka, penasaran, dan marah sekali sedangkan Legaspi Selado hanya menunduk, kemudian kakek itu menggerakkan pundak dengan acuh tak acuh dan pergi meninggalkan Nina.

   Wanita itu membanting-banting kaki, berteriak-teriak dan menangis. Tak lama kemudian muncullah seorang pemuda yang bukan lain adalah Hendrik Selado, putera Legapsi Selado. Melihat pemuda ini, Nina menubruk dan merangkulnya, bergantung pada pundak pemuda itu, dan menangis terisak-isak. Hendrik mengeluarkan kata-kata menghibur, bahkan mencium pipi ibu tirinya, kemudian dia menarik tubuh ibu tirinya, diajak memasuki kamar dan lenyaplah kedua orang itu di balik pintu kamar yang tertutup. Kun Liong berdiri tertegun. Semua pengalaman tadi merupakan hal yang baru dan aneh sekali. Kelakuan Nina benar-benar mengejutkan hatinya. Tiba-tiba terdengar suara tarikan napas panjang di belakangnya. Dia cepat menengok dan melihat bahwa Yunita telah berdiri tak jauh dari situ.

   "Keluarga yang luar biasa..."

   Yuanita berkata lirih.

   "Kotor dan mengerikan sekali..."

   Kun Liong menghampiri.

   "Apa maksudmu, Yuanita? Aku tidak mengerti."

   "Mereka itu..."

   Yuanita mengangkat muka ke arah pintu kamar di mana ibu tiri dan pemuda itu tadi lenyap.

   "Sungguh mengerikan! Tentu engkau tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Nina tadi kepada suaminya."

   Kun Liong menggeleng kepalanya dan memandang wajah dara itu penuh perhatian. Wajah yang cantik sekali, agak pucat tertimpa sinar bulan, agaknya dara itu terkejut menyaksikan adegan yang menegangkan tadi antara Nina, suaminya dan putera tirinya.

   "Dia menegur dan menyalahkan suaminya. Dia berkata bahwa dia tidak pernah mendapat kepuasan batiniah dari suaminya. Dia mengatakan bahwa suami-nya hanya namanya saja suami, akan tetapi tidak pernah mencintanya, tidak pernah memperlakukannya sebagai isteri, tidak pernah tidur dengannya. Dia bilang... suaminya yang terkenal sebagai seorang sakti dan kuat itu hanyalah seorang yang mati kejantanannya, tidak mampu lagi melakukan kewajiban seorang suami terhadap isterinya. Nina menuntut dan mengatakan bahwa dia adalah seorang wanita yang masih muda, yang membutuhkan cinta kasih seorang pria. Dia tidak mau disiksa lebih lama lagi dan katanya kalau dia mencari pria lain yang suka melayani kebutuhan tubuhnya sebagai seorang wanita muda, bukan semata-mata karena dia serong dan suka berjina, melainkan karena kesalahan suaminya yang tak pernah dapat melayani nafsu birahinya..."

   "Sudahlah, Yuanita... sudah cukup..."

   Kata Kun Liong yang menjadi merah sekali mukanya sampai kepalanya. Dia merasa heran sekali akan kebebasan sikap dan kata-kata orang wanita barat ini. Begitu bebas bicara tentang urusan yang bagi bangsanya merupakan pelanggaran susila yang memalukan! Sungguhpun dia sendiri tidak melihat sebabnya mengapa urusan manusia ini dianggap pentang untuk dibicarakan! Yuanita memegang lengan Kun Liong dan tanpa berkata-kata kedua orang muda ini berjalan bergandeng tangan menuju ke ujung kapal yang sunyi.

   "Kasihan sekali Nina"

   Kata Yuanita.

   "Dia hanya dipermainkan oleh nafsu birahi, dan tidak mengenal cinta kasih. Aku merasa jauh lebih berbahagia karena aku mengenal cinta. Kun Liong, engkau tahu siapa yang kumaksudkan. Tadinya sebelum berjumpa denganmu, aku pun hanya melamunkan cinta, tak pernah aku mengenalnya. Akan tetapi, begitu bertemu denganmu, tahulah aku apa yang disebut cinta itu, Kun Liong, dan setelah mengenal cinta, nafsu birahi sama sekali bukan hal yang terpenting."

   Mereka duduk di atas dek di ujung kapal yang sunyi dan agak gelap karena terselimut bayangan tihang-tihang layar dan tidak tampak dari tempat penjagaan di atas. Duduk berdampingan dan sejenak mereka tidak bicara, hanya saling pandang dengan bantuan sinar bulan yang menimpa di atas wajah masing-masing. Kemudian Kun Liong menarik napas panjang dan berkata,

   "Tetap saja aku harus mengecewakan hatimu, Yuanita. Aku tidak dapat membalas cinta kasihmu yang demikian murni, bahkan agaknya aku tidak akan pernah dapat jatuh cinta kepada wanita yang manapun juga."

   Yuanita menatap wajah pemuda gundul itu dengan tajam penuh selidik, kemudian dia berbisik,

   "Aku tahu bahwa engkau tidak dapat mencintaku, Kun Liong. Mungkin seleramu berbeda dan kau tidak dapat memandang aku sebagai seorang wanita cantik yang menarik hatimu karena aku memang seorang asing. Mataku kebiruan tidak seperti matamu yang hitam, rambutku keemasan tidak seperti rambutmu yang hitam arang dan kulit tubuhku putih berbulu halus seperti kulitmu yang kekuningan dan halus licin tak berbulu. Akan tetapi, kalau kau bilang bahwa kau tidak akan pernah dapat jatuh cinta kepada wanita yang mana pun, hal itu... ah, bagaimana aku dapat percaya?"

   "Percaya atau tidak terserah, Yuanita, akan tetapi setelah melihat segala peristiwa tentang cinta, aku menjadi ngeri untuk jatuh cinta!"

   "Aihh, mengapa?"

   "Karena melihat cinta yang ada sekarang ini bagiku tampak palsu dan hanya mendatangkan kesengsaraan belaka. Cinta yang banyak disebut-sebut orang, cinta antara pria dan wanita, cinta antara sahabat, cinta antara orang tua dan anak-anaknya, cinta antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan tanah airnya, antara manusia dengan dunia, harta, kemuliaan, kedudukan dan lain-lain, ternyata hanyalah pengikatan diri belaka. Cinta yang ada sekarang ini adalah pengikatan diri, dan dengan apapun juga kita mengikatkan diri, berarti kita menanam bibit kesengsaraan. Bibit itu berakar di hati, kita terikat, dan sekali waktu tentu akan datang saat perpisahan sehingga akar yang sudah mengikat itu akan membuat hati kita terluka dan membuat kita sengsara. Ikatan itu akan mendatangkan cemburu, iri hati, dendam dan kebencian, karena itu cintakah ikatan itu? Kurasa bukan!"

   Yuanita memandang kepada Kun Liong dengan mata terbelalak.

   "Tentu saja itu cinta! Cinta antara pria dan wanita yang disebut asmara! Cinta seperti itu memang mengandung pengikatan diri, ingin memilikinya sendiri, ingin memberi dan diberi, ingin menikmati kesenangan, dan tentu saja di situ terdapat pula cemburu, iri, dendam dan kebencian. Itulah memangnya cinta!"

   Kun Liong tersenyum dan memandang wajah yang cantik itu.

   "Kalau begitu, kasihan sekali orang yang terjun ke dalam jurang cinta, Berarti hanya menanti kesengsaraan hidup belaka. Aku tidak mau terperosok ke dalam perangkap cinta yang hanya menimbulkan kesengsaraan seperti itu, Yuanita."

   "Habis kalau menurut pendapatmu, apakah cinta itu?"

   Kun Liong menggeleng kepalanya yang gundul.

   "Aku sendiri tidak tahu, Yuanita. Aku belum mengenal cinta, karenanya aku tidak berani jatuh cinta."

   Yuanita merangkul dan merebahkan dirinya di atas pangkuan Kun Liong, menarik napas panjang.

   "Orang yang menajiskan cinta asmara seperti engkau ini, Kun Liong, sekali jatuh cinta benar-benar tentu akan hebat sekali! Ah, sungguh buruk nasibku, tidak dapat memiliki cinta seorang pria seperti engkau."

   "Jangan berduka, Yuanita. Betapapun juga, aku tetap sahabatmu, sahabat yang baik yang siap mengorbankan nyawa demi untuk membelamu."

   Mendengar ucapan ini, ucapan yang sebenarnya biasa saja bagi seorang yang berwatak pendekar, membual hati Yuanita terharu sekali dan dia terisak menangis di atas dada Kun Liong yang memeluk dan menghiburnya, mengelus rambutnya. Sampai lama mereka berdiam diri, karena bagi mereka, kata-kata sudah tidak ada artinya lagi, detak jantung dan perasaan mereka melebihi seribu kata-kata indah. Tak tama kemudian, Kun Liong berkata,

   "Yuanita, kembalilah kau ke kamarmu. Biarpun aku suka sekali berada di sini bersamamu, akan tetapi kau tahu bahwa pertemuan seperti ini amatlah berbahaya bagi kita berdua dan tidak baik bagi namamu. Engkau adalah seorang dara terhormat, tidak seperti Nina. Maka kalau ada yang melihatnya, tentu namamu akan tercemar. Pergilah tidur, sahabatku yang baik."

   Yuanita menghela napas, melepaskan diri dari atas pangkuan Kun Liong, bangkit berdiri dan membereskan rambutnya yang kusut. Sejenak dia memandang wajah pemuda itu lalu berkata,

   "Selama hidupku, pertemuan kita malam ini takkan pernah kulupakan, Kun Liong. Apa pun yang terjadi dengan diriku, di lubuk hati setalu tersimpan cinta kasih murni untukmu."

   "Ahhh, engkau memang seorang dara yang baik sekali."

   Kun Liong merangkul dan mencium dahi dara itu.

   Ciuman yang mesra dan lembut seperti ciuman seorang kakak kepada adiknya, akan tetapi sikap dan ciuman ini seperti merobek hati Yuanita. Dara itu terisak, merenggutkan dirinya lalu membalik dan melarikan diri kembali ke kamarnya. Kun Liong berdiri tertegun, menyesal bahwa dia terpaksa harus menyakiti hati seorang dara sebaik Yuanita dengan menolak cintanya. Belum juga Kun Liong pulas, tiba-tiba dia mendengar suara orang-orang di atas dek, terdengar suara pukulan dan orang merintih. Seperti dia sendiri yang merasakan pukulan itu, Kun Liong meloncat turun dan lari keluar dari kamarnya. Di atas dek itu dia melihat seorang pribumi merintih-rintih dan merangkak di depan kaki seorang laki-laki asing yang bertubuh tinggi besar. Laki-laki itu dengan suara kaku membentak,

   "Hayo kau mau mengaku tidak bahwa kau telah membunuh nona itu!"

   Orang pribumi yang kurus itu berlutut dan berkata dengan logat orang daerah Pantai Pohai,

   "Ampunkan saya, Tuan... ampun.... saya sungguh mati tidak melakukan pembunuhan itu."

   "Bukkkk...!"

   Sebuah pukulan disusul tendangan membuat tubuh kurus itu terguling-guling. Penyiksa itu kembali membentak.

   "Hayo, mengaku atau tidak? Tuan muda Hendrik sendiri melihatmu melakukan pembunuhan dan kau masih hendak mungkir? Hayo mengaku!"

   Dengan tubuh matang biru dan mulutnya mengeluarkan darah karena giginya rontok, orang itu berkata lemah,

   "Tidak... tidak... saya tidak membunuhnya..."

   Raksasa itu melotot dan melangkah maju.

   "Kalau begitu kau ingin mati!"

   Diayunnya lengan yang sebesar paha orang itu dengan tangan dikepalnya. Tentu akan pecah atau setidaknya gegar otak kepala itu kalau terkena hantaman dahsyat itu.

   "Dukkkk!"

   Raksasa itu berteriak kesaktian dan terhuyung ke belakang memegangi lengan kanannya yang tertangkis oleh Kun Liong.

   "Adouuww... kau... kau mau membela bangsamu?"

   Raksasa itu membentak ketika mengenal pemuda gundul yang telah membuat hatinya iri dan benci karena pemuda asing gundul ini diaku sahabat oleh Tuan Muda Yuan bahkan Nona Yuanita kelihatannya begitu akrab dengan pemuda ini!

   "Menyaksikan orang disiksa tanpa jelas kesalahannya, saya tidak peduli dia itu bangsa apa. Yang sudah jelas, baik penyiksanya maupun yang disiksa adalah manusia. Tuan mengapa kau menyiksa orang ini?"

   Kun Liong melirik dan kini dia mengenal orang kurus itu sebagai seorang di antara enam tujuh orang pribumi yang bekerja di kapal itu sebagai pelayan.

   "Dia telah membunuh seorang di antara lima orang wanita pelayan Nona Yuanita yang bemama Ketty. Dia memperkosa dan mencekiknya. Apakah kau hendak bilang bahwa orang macam ini tidak pantas disiksa dan dihukum?"

   Raksasa itu menghardik. Kun Liong memandang kepada orang kurus itu. Orang itu masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya dan biarpun tubuhnya kurus akan tetapi wajahnya tampan. Orang itu segera berlutut menghadapi Kun Liong dan berkata,

   "Demi Tuhan, saya tidah membunuh Nona Kitty, saya... mana mungkin saya tega untuk membunuhnya? Menyusahkannya saja saya tidak tega... Nona Kitty begitu baik..."

   Dan laki-laki itu menangis!

   "Dia, bohong! Pasti dia yang membunuhnya setelah memperkosanya. Dia takut kalau Nona Kitty menuduhnya, maka dia membunuhnya,"

   Raksasa itu berkata.

   "Saya hanya seorang petugas yang disuruh oleh Tuan Muda Hendrik untuk menyiksanya agar dia mengakui perbuatannya yang biadab!"

   Kun Liong merasa curiga. Agaknya orang kurus itu suka kepada Nona Kitty, bahkan sekarang pun menangis bukan karena didakwa, melainkan menangisi kematian nona itu. Ia mengingat-ingat. Lima orang pelayan wanita itu memang itu memang cantik dan genit-genit. Agaknya seorang laki-laki muda seperti Si Kurus ini, dengan wajahnya yang tampan, tidak perlu harus menggunakan paksaan untuk bermain-main dengan seorang di antara mereka.

   "Soal pembunuhan adalah soal yang ruwet kalau tidak dilihat sendiri buktinya. Memaksa orang melakukan pengakuan dengan cara menyiksa adalah perbuatan yang biadab, tidak kalah biadabnya dengan pemerkosa dan pembunuh. Seorang penegak hukum adalah seorang yang menentang dan memberantas perbuatan jahat, akan tetapi apa jadinya dunia ini kalau si penegak hukum lebih kejam, lebih ganas, lebih ngawur, dan lebih jahat daripada si penjahat sendiri? Seperti semua bangsamu, engkau tentu seorang berTuhan, dan perbuatanmu ini mencemarkan Ketuhanan, juga kau sebagai seorang manusia, dia pun manusia, perbuatanmu ini jelas melanggar perikemanusiaan. Tak perlu lagi bicara tentang keadilan dan kebebasan seorang manusia. Dia boleh jadi bersalah, akan tetapi pe-meriksaan harus dilakukan dengan teliti dan hukuman dijatuhkan sesuai dengan kesalahannya. Untuk itu telah tersedia di daerah. Mengapa kau menggunakan hukum rimba?"

   Ribut-ribut itu menarik perhatian orang dan muncullah berturut-turut Yuan de Gama, Yuanita, Richardo de Gama, Hendrik, Nina dan Legaspi Selado sendiri. Yuan de Gama heran melihat Kun Liong bertengkar dengan seorang anak buah yang terkenal sebagai tukang pukulnya Hendrik Selado.

   "Kun Liong, apa yang terjadi?"

   Dia bertanya.

   "Yuan aku hanya mencegah penyiksaan sewenang-wenang. Orang ini dituduh melakukan pembunuhan. Pembunuhan yang tidak diketahui dilakukan oleh siapa sepatutnya diselidiki oleh orang pandai, menggunakan kecerdikan untuk membongkar rahasia itu. Akan tetapi kulihat sekarang, usaha penyelidikan diserahkan kepada segala macam tukang pukul yang kasar, kejam dan sepatutnya menjadi penjahat."

   Dimaki seperti itu di depan banyak orang, apalagi di situ terdapat Hendrik yang menjadi majikannya, raksasa itu marah sekali dan sambil menggereng dia sudah menerjang Kun Liong dengan gaya seorang petinju jagoan. Kepalan kanannya menghantam lurus ke arah dada Kun Liong sedangkan kepalan kirinya dari bawah melakukan uppercut, yaitu pukulan dengan lengan ditekuk, dari bawah menyambar ke atas mengarah dagu lawan. Dua pukulan ini dilakukan susul-menyusul dan hanya berselisih dua detik saja. Kun Liong bersikap tenang. Dari gerakan pundak raksasa itu saja dia sudah tahu ke arah mana dua kepalan itu menyerang dirinya. Setelah pukulan mendekat, secepat kedua tangannya bergerak dari kanan kiri, membuat gerakan memotong dengan tangan terbuka.

   "Krekk! Krekk! Oouuuwww...!"

   Raksasa itu terpelanting, mengaduh-aduh menggerak-gerakkan kedua tangannya yang sudah patah tulang lengan dekat pergelangan dan menimbulkan rasa nyeri yang menusuk jantung.

   "Kau berani melukai orangku...?"

   Hendrik menghampiri Kun Liong yang bersikap tenang dan sama sekali tidak mempedulikan pemuda ini, karenanya Kun Liong mencurahkan sebagian besar perhatiannya ke arah Legaspi Selado yang dianggapnya orang yang paling berbahaya.

   "Tahan!"

   Yuan melompat maju menghalangi Hendrik.

   "Hendrik, kau tidak boleh menimbulkan ribut-ribut di kapal ini!"

   "Tapi dia melukai orangku, Yuan!"

   "Hemmm, semua mata melihat bahwa orangmu yang memukul, Kun Liong hanya menangkis. Aku tidak ingin terjadi ribut di sini. Aku adalah kapten kapal ini, akulah yang bertanggung jawab akan segala urusan. Siapapun juga, bahkan ayahku sendiri, kalau berada di kapal ini harus tunduk kepada keputusanku sebagai kapten kapal. Aku yang bertanggung jawab dan membela kapal ini dengan keamanannya, kupertaruhkan nyawa sebagai seorang kapten. Urusan ini, aku yang berhak untuk menyelidiki."

   Hendrik terpaksa mundur dan Yuan menghampiri laki-laki yang masih berlutut dan menundukkan mukanya, merintih perlahan karena tubuhnya nyeri semua akibat penyiksaan raksasa tadi yang kini telah dibawa pergi semuanya untuk mengobati kedua lengannya.

   "Hayo katakan terus terang, apa yang kauketahui tentang pembunuhan itu!"

   Kata Yuan kepada orang tersiksa tadi. Sedangkan Yuanita mendekati Kin Liong dan merasa kaget dan ngeri mendengar bahwa seorang di antara pelayan-pelayannya telah diperkosa dan dibunuh orang. Orang itu mengangkat muka memandang Yuan de Gama, kemudian melirik ke arah Hendrik dan menunduk lagi, menangis! Kun Liong yang mengikuti semua ini dengan pandang mata tajam, melihat betapa orang itu tadi memandang Yuan de Gama penuh permohonan dan pertolongan, kemudian lirikannya kepada Hendrik penuh ketakutan melihat betapa Hendrik memandangnya dengan mata melotot penuh ancaman maut! Melihat semua itu, Kun Liong berkata kepada orang yang menangis itu,

   "Kawan, kau dituduh membunuh, kalau kau tidak mengaku, mungkin kau akan dihukum mati, dan sungguh tidak enak mati penasaran sebagai seorang pembohong. Kalau kau bercerita terus terang, andaikata kau mati pun, kau mati sebagai seorang terhormat dan gagah. Pula, kalau kau tidak bersalah, mengapa takut bicara?"

   Mendengar ini, orang itu mengangkat mukanya dan berkata kepada Yuan,

   
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tuan Muda Yuan, saya telah berhutang banyak budi kepada Tuan, maka saya akan bercerita terus terang. Saya telah berbuat dosa karena saya... saya mencinta Nona Kitty, sudah lama ada hubungan cinta di antara kami. Sampai tadi... tadi pertemuan antara kami diketahui orang. Saya melarikan diri dan mendengar Nona Kitty menjerit akan tetapi saya tidak berani keluar, kemudian saya diseret dan disiksa di sini."

   Yuan de Gama mengerutkan alisnya, dan Kun Liong dapat bertanya,

   "Siapa orang yang melihat pertemuan kalian itu?"

   "Dia... dia adalah... darrr!"

   Tubuh orang itu terjengkang dan dia mati seketika karena kepalannya ditembus sebutir peluru. Asap mengepul dari pistol yang berada di tangan Hendrik. Melihat ini, Kun Liong marah sekali dan mukanya menjadi merah, akan tetapi Yuan memegang lengannya.

   "Hendrik, mengapa kau membunuh dia?"

   Yuan bertanya dengan nada menegur.

   "Hemm, manusia rendah itu sedang membohong dan hendak menghina orang. Terang dia bersalah dan karena takut dia hendak melemparkan tuduhan kepada orang lain. Aku tidak sabar lagi mendengar omongannya."

   "Ha-ha-ha, Yuan! Urusan seekor anjing pribumi hina ini saja mengapa perlu diributkan? Lempar saja bangkainya ke laut dan habis perkara!"

   Legaspi Selado berkata sambil tertawa akan tetapi matanya melirik ke arah Kun Liong. Pemuda ini makin merah mukanya, akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia kena pancingan sehingga terjadi pertempuran di kapal itu, hal ini akan menyusahkan Yuan dan keluarganya. Apalagi, orang itu sudah mati, dan betapapun juga dia telah mencari penyakit sendiri dengan bercintaan dengan Kitty. Di samping itu, tugas ke Pulau Ular lebih penting lagi. Maka dia lalu membalikkan tubuhnya tanpa menoleh lagi memasuki kamarnya dan tidur. Di atas pembaringannya dia mengenangkan peristiwa tadi. Dia dapat menduga apa yang terjadi. Orang yang menjadi korban itu tentu karena rayuan Kitty,

   Kalau tidak mana mungkin seorang pelayan berani main gila dengan seorang nona asing? Dan agaknya Kitty itu merupakan seorang di antara kekasih Hendrik maka melihat keduanya bermain cinta, Hendrik lalu membunuh Kitty dan menimpakan kesalahannya kepada orang itu. Hemm... cinta selalu mendatangkan persoalan dan korban. Akan tetapi, apakah itu patut dinamakan cinta? Wajahnya yang cantik kelihatan agak pucat seperti menderita sakit. Namun sepasang matanya yang jernih dan tajam itu masih bersinar-sinar penuh semangat perlawanan, sungguhpun keadaannya amat mengkhawatirkan. Dengan sikap gagah dan sama sekali tidak membayangkan tanda-tanda menyerah atau takut, Souw Li Hwa yang dibelenggu tubuhnya pada sebuah tihang di ruangan batu itu memandang kepada pemuda yang berdiri di depannya.

   Ouwyang Bouw hampir kehilangan kesabaran menghadapi tawanan wanita yang dicintanya ini. Terhadap Li Hwa, dia tidak mau menggunakan pemaksaan, tidak mau menggunakan kekerasan
(Lanjut ke Jilid 26)
Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 26
untuk menggagahinya. Dia benar-benar jatuh hati kepada dara ini dan mengharapkan Li Hwa suka menjadi isterinya dengan suka rela. Namun, setelah berhari-hari dia membujuk dengan halus dan kasar, tetap saja Li Hwa tidak mengacuhkan, bahkan setiap kali membuka mulut tentu menghinanya dan menantang minta dibunuh. Hal ini membuat hati Ouwyang Bouw marah, pesaaran, juga duka sekali sehingga beberapa hari dia tidak enak makan tidak nyenyak tidur, dan tubuhnya menjadi kurus, matanya makin liar dan terhadap orang lain dia mudah marah-marah.

   "Li Hwa, mengapa engkau begini keras kepala? Biarpun engkau murid Panglima Besar The Hoo, akan tetapi aku pun bukan pemuda sembarangan. Aku putera dan sekaligus murid Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang dahulu juga pernah menjabat kedudukan tinggi di Mongolia. Engkau tidak turun derajat jika menjadi isteriku dan aku bersumpah bahwa aku akan menjadi suami yang baik dan penurut, sayangku!"

   "Phuih! Laki-laki rendah budi tak mengenal malu. Sudah berapa ribu kali kukatakan bahwa aku tidak sudi menjadi isterimu, dan kalau menggunakan paksaan memperkosaku, kemudian aku akan membunuh diri dan rohku akan menjadi setan yang selalu akan mengejar dan menganggumu sampai kau mampus!"

   Wajah tampan yang tadinya menyeringai itu kini berubah beringas. Matanya yang memang liar itu berputaran menakutkan. Dia sudah bangkit dari duduknya, tangannya sudah gemetar hendak membunuh saja dara yang membuatnya sengsara ini.

   "Kalau begitu, engkau akan kubunuh!"

   "Terima kasih, memang aku suka mati daripada melihat mukamu lebih lama lagi!"

   "Keparat, engkau tidak akan mati begitu enak!"

   Dia mengeluarkan sebatang suling, suling biasa tidak seperti terompetnya, kemudian dia meniup suling itu dengan suara meliuk-liuk yang sifatnya liar. Li Hwa dapat menduga bahwa Putera Raja Ular ini tentu sedang mememanggil ular.

   Di dalam hatinya, tentu saja sebagai wanita dia jijik dan takut melihat ular, akan tetapi menghadapi bujukan pemuda gila ini, dia sanggup menghadapi siksaan apa saja dan lebih baik mati daripada harus menyerahkan diri secara sukar rela. Tepat dugaan Li Hwa. Tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan muncullah seekor ular merayap cepat memasuki ruangan itu. Li Hwa membelalakkan matanya melihat ular itu besar sekali, sebesar pahanya dan panjangnya luar biasa. Dia tidak dapat menahan kengerian hatinya dan memejamkan matanya. Ular itu mendekati Ouwyang Bouw dan Si Pemuda menggunakan tangan kiri mengusap kepala ular itu seperti orang mengelus kepala seekor anjing kesayangannya, tiupan sulingnya dihentikan dan dia tertawa melibat Li Hwa memejamkan mata.

   "Nah, kau melihatnya, bukan? Li Hwa, jangan kau memaksa aku menyuruh dia membelit-belit tubuhmu yang indah itu, kemudian mengganyang dagingnya sedikit demi sedikit."

   Biarpun tadinya dia merasa ngeri, jijik dan takut, akan tetapi mendengar suara Ouwyang Bouw semua rasa takut lenyap seketika terganti rasa marah dan kebencian hebat. Dia membuka mata, tidak peduli lagi kepada ular itu, matanya mendelik memandang Ouwyang Bouw sambil membentak,

   "Mau bunuh, bunuhlah dengan jalan apa pun terserah, aku tidak takut!"

   Habislah kesabaran Ouwyang Bouw. Dia melangkah maju, kedua tangannya menjangkau dan mencengkeram.

   "Bret-brett-brettt!"

   Pakaian yang melekat di tubuh Li Hwa cabik-cabik sehingga sebagian besar tubuh dara itu telanjang. Li Hwa meludah sambil mengerahkan tenaganya. Air ludah itu dapat dijadikan senjata untuk menyerang lawan, akan tetapi Ouwyang Bouw yang lihai dapat mengelak, kemudian meniup lagi sulingnya. Ular besar yang berwarna hitam berbelang hijau dan merah itu mengangkat kepala agak tinggi, matanya bersinar-sinar menoleh ke arah Li Hwa, lidahnya yang panjang dan berwarna itu menjilat-jilat keluar, kemudian dengan lambat karena tubuhnya yang besar membuat gerakannya lamban, ular itu merayap menghampiri Li Hwa!

   Li Hwa mencoba untuk bersikap tabah membuka mata lebar-lebar memandang binatang itu, menekan rasa jijiknya dan mencari akal bagaimana dia akan dapat melepaskan diri dari bahaya maut ini. Namun dia tidak dapat menemukan jalan itu, dan agaknya terpaksa dia harus menerima kematian oleh ular itu. Biarpun dia berusaha bersikap tabah, akan tetapi ketika ular itu mulai menyentuh kakinya, naik ke betis dan pahanya yang telanjang, merasakan tubuh ular yang dingin menggeliat-geliat, dia tidak kuat menahan dan memejamkan kedua matanya rapat-rapat dan berusaha melakukan samadhi mematikan rasa. Namun hal ini sukar sekali, karena kini ular itu merayap naik terus, menjilati seluruh tubuhnya dan seolah-olah ular itu sedang memaksanya bermain cinta! Dia hampir pingsan akan tetapi masih mendengar suara Ouw-yang Bouw,

   "Li Hwa, katakanlah engkau suka menjadi isteriku dan aku akan membebaskanmu."

   Biarpun kedua matanya masih terpejam dan alisnya berkerut-merut menahan kegelian dan kejijikannya Li Hwa masih mampu menggeleng kepala kuat-kuat dan baru berhenti ketika ular itu juga membelit leher, kemudian melepaskannya lagi, membelit bagian tubuh yang lain dari kaki sampai ke leher, menyelusuri tubuh itu dan belum menggigitnya, seolah-olah hendak main-main dulu sampai puas dengan calon bangsa yang bertubuh putih mulus, halus dan hangat itu. Kegelian dan kejijikan itu akhirnya dapat diatasi Li Hwa. Dia membuka-mata dan melihat kepala ular itu dengan moncong terbuka lebar berada di depan mukanya seperti hendak menelan kepalanya sqkaligus! Tak dapat dia menaham kengerian itu dan dia memejamkan mata, tubuhnya lemas dan dia pingsan!

   Ular itu sudah menarik kepala ke belakang, siap untuk mematuk dan menggigit, akan tetapi tiba-tiba Owyang Bouw meniup sulingnya keras-keras. Ular itu terkejut, menoleh ke arah majikannya, lehernya bergoyang-goyang seperti dalam keadaan ragu-ragu, akan tetapi suara suling makin hebat, penuh ancaman kepadanya. Ular yang sudah terlatih ini, lalu mengendurkan libatan, perlahan-lahan merayap turun dan meninggalkan ruangan itu. Dengan mata merah saking marah dan kecewanya, Ouwyang Bouw menanti sampai Li Hwa mengeluh dan membuka mata. Dara itu, terheran akan tetapi jelas merasa lega karena dia menarik napas panjang ketika melihat dia masib terbelenggu dan ular mengerikan itu telah tidak ada lagi. Mimpikah dia tadi? Mimpi menyeramkan dan sekarang baru bangun dari tidur? Akan tetapi Ouwyang Bouw masih berdiri di depannya.

   "Li Hwa, aku tidak tega membunuhmu. Celaka! Keparat benar! Aku tidak mau membunuhmu. Aku harus membebaskanmu demi cintaku. Akan tetapi, kalau aku tidak boleh memiliki hatimu, aku harus memiliki tubuhmu. Aku akan memperkosamu!"

   "Cih, laki-laki pengecut, rendah dan tak tahu malu!"

   Li Hwa mendesak. Ouwyang Bouw tidak mempedulikan makian dara itu, tubuhnya bergerak ke depan, kedua tangannya menyambar empat kali dan Li Hwa telah tertotok, totokan yang membuat kedua lengan dan kedua kakinya lumpuh! Pemuda itu lalu membuka belenggu kaki tangan, memondong tubuh Li Hwa dan membawanya pergi ke dalam kamamya sendiri. Dia sudah melempar tubuh Li Hwa ke atas pembaringannya dan mulai membuka bajunya sendiri ketika tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara kentungan gencar dari luar. Tanda bahaya! Segencar itu kentungan dipukul, bukan hanya satu melainkan banyak sekali, tanda bahwa bahaya yang mengancam Pulau Ular bukanlah main-main! Dia mengancingkan lagi bajunya dan menoleh kepada Li Hwa.

   "Kau tunggu sebentar, manis, aku hendak melihat apa yang terjadi di luar."

   Dia lalu meloncat ke luar, maklum bahwa totokannya yang membuat dara itu lumpuh akan bertahan sampai beberapa jam lamanya. Li Hwa tak dapat bergerak, atau lebih tepat tidak dapat menggerakkan kedua kaki tangannya, hanya lehernya saja yang dapat digerakkan. Dia rebah telentang, pakaiannya setengah telanjang, robek-robek tidak karuan dan dia mendengar suara di luar dengan teliti dan penuh harapan. Apakah pertolongan datang? Gurunya? Pasukan gurunya? Atau panglima Tio Hok Gwan? Bahkan mungkin juga Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Akan tetapi terdengar suara ledakan-ledakan senjata dan dia makin heran. Biasanya yang menggunakan senjata api hanyalah orang-orang asing! Yuan!

   Jantungnya berdebar-debar penuh harapan, bukan hanya harapan tertolong, akan tetapi harapan berjumpa dengan Yuan de Gama. Baru sekarang dia sadar dengan hati kaget sekali bahwa dia mencinta pemuda asing itu! Tak terasa lagi air mata bertitik turun di atas pipinya. Akan tetapi dia khawatir lagi melihat yang berkelebat masuk adalah Ouw-yang Bouw. Muka pemuda itu agak pucat dan tanpa berkata-kata pemuda itu kembali membelenggu kaki dan tangan Li Hwa, kemudian menyambar pedang ular yang tergantung di atas dinding kamarnya itu, menyambar pula kantung jarum merahnya yang amat berbahaya, dan meloncat keluar dari kamar itu setelah menutup dan mengunci pintu kamar itu dari luar. Li Hwa menarik napas panjang. Dia benar-benar kecewa dan menyesal. Siapa kira pemuda gila itu ingat untuk membuat dia makin tidak berdaya.

   Kalau tidak terbelenggu, mungkin perlahan-lahan dia dapat membuyarkan totokan dan dapat bebas, akan tetapi sekarang, andaikata totokannya buyar sekalipun, dia tetap saja masib terbelenggu dan tidak dapat bebas! Nemun dia masih penuh harapan dan di hatinya bertanya-tanya, apakah yang sedang terjadi di luar? Setiap pagi, permukaan bumi dimulai dengan kesunyian dan keheningan yang indah sekali. Seperti pagi hari itu. Harinya indah sekali! Kun Liong bangun pagi-pagi dan sudah berada di atas dek kapal, sempat menikmati munculnya matahari yang merupakan sebuah bola api merah yang muncul dari permukaan laut sebelah timur selatan (tenggara). Kun Liong seperti terbenam dalam semua keindahan itu. Matahari seperti bola api besar kemerahan yang mulai menyinarkan cahayanya, seperti membakar seluruh permukaan laut dengan warna kemerahan.

   Laut merah ini tampak berkeriput kecil, seperti tidak pernah bergerak. Tidak ada suara terdengar kecuali percikan air di tubuh kapal. Langit biru kemerahan mulai ditinggalkan titik-titik bintang dan di sana-sini tampak burung-burung camar laut beterbangan di angkasa dengan bebasnya. Mereka tidak tampak menggerakkan sayap, hanya meluncur dengan halusnya membuat lingkaran-lingkaran lebar. Pada saat seperti itu, Kun Liong sudah lupa diri, seolah-olah dia tidak ada lagi, yang ada hanyalah kesadaran akan keindahan itu. Tidak lagi akunya yang menikmati keindahan, yang ada hanyalah memandang. Dia seperti matahari, seperti air laut, seperti burung camar, dia merupakan sebagian dari dalam dan keindahan itu yang tak terpisahkan. Semua ini akan membuyar jika pikiran datang mengaduk keheningan dengan bentukan aku-nya.

   Kalau ada si aku yang menjadi pemandang, yang menjadi penonton, maka timbullah perbandingan. Keindahan pagi ini tidak seindah yang kulihat sepekan yang lalu, atau keindahan ini lebih indah dari yang kemarin, atau aku ingin melihat keindahan ini lagi atau aku tak ingin melihatnya lagi dan sebagainya. Kalau sudah begitu, kalau si aku sudah muncul, rusaklah semuanya. Keindahan itu tercemar, menjadi gambaran yang melekat di dalam ingatan sehingga kelak akan menimbulkan keinginan melihat lagi, menimbulkan perbandingan, menimbulkan suka dan tidak suka. Demikian pula dengan segala keindahan di dunia ini. Selama si aku yang menjadi pemandang dan penilai, selalu terjadi pertentangan. Dia lebih kaya dari aku dan timbullah iri hati. Dia lebih miskin dari aku dan timbullah kesombongan. Dan sebagainya dan sebagainya.

   Semua timbul dari perbandingan, perbandingan timbul dari si aku yang dibentuk pikiran. Kalau kita menghadapi keadaan kita dan yang kita hadapi sewajarnya, menghadapi hanya memandang penuh kewaspadaan tanpa si aku yang menjadi pengawas dan penilai, maka tidak akan timbul konflik batin yang hanya menelurkan pertentangan lahir. Kalau sudah begitu, baru ada kemungkinan kita melakukan setiap perbuatan berdasarkan kasih, kasih suci murni tanpa pamrih tanpa tujuan tanpa keinginan tanpa DISADARI bahwa perbuatannya itu baik! Namun, hanya beberapa jam saja Kun Liong berada dalam keadaan hening yang penuh rahasia keindahan itu karena perhatiannya tertarik oleh bayangan sebuah pulau di selatan. Agaknya itulah Pulau Ular! Tak salah lagi, cocok dengan gambaran yang diberikan oleh supeknya, Cia Keng Hong!

   Bukan hanya dia seorang yang melihat pulau ini, juga penjaga di atas yang segera memberi tanda ke bawah. Tak lama kemudian, semua penghuni kapal sudah bangun dan berkumpul di dek. Keadaan menjadi sibuk ketika Yuan menyerukan perintah. Legaspi Selado memberi petunjuk-petunjuk. Perahu besar Ikan Duyung mendekati kapal dan Richardo de Gama bersama Yuanita, Nina Selado dan empat orang pelayan wanita, mengungsi ke perahu besar itu. Kapal Kuda Terbang sudah siap untuk menyerbu ke Pulau Ular sedangkan Kapal Ikan Duyung hanya menanti di pantai bersama Richardo de Gama, puterinya dan pelayan-pelayan itu termasuk anak buah perahu. Sebelum pindah ke perahu, Yuanita lari menghampiri Kun Liong, secara terang-terangan di depan banyak orang, Yuanita merangkul leher Kun Liong, menariknya ke bawah dan memberi kecupan pada bibir pemuda itu sambil berbisik,

   "Hati-hatilah kau..."

   Tentu saja Kun Liong gelagapan dan mukanya menjadi merah sampai ke kepalanya, akan tetapi dia agak merasa terhibur dan berkurang rasa malunya ketika melihat Yuanita juga merangkul kakaknya dan memberi ciuman, bukan di bibir melainkan di pipi. Setelah itu Yuanita lari kepada ayahnya dan bersama-sama pindah ke perahu Ikan Duyung. Tak sengaja Kun Liong melirik dan melibat Hendrik memandangnya dengan mata bernyala-nyala penuh kebencian! Meriam-meriam Kapal Kuda Terbang sudah disiapkan, pistol dan bedil sudah dibersihkan dan peluru-pelurunya dibagi-bagi. Ketika Yuan menyerahkan sebuah pistol kepada Kun Liong, pemuda ini menolak.

   "Senjata apimu itu sama saja dengan senjata gelap berupa piauw, paku, jarum dan lain-lain. Dan aku tidak pernah menggunakan am-gi (senjata gelap), bahkan tidak pernah menggunakan senjata karena aku benci perkelahian, benci perang, benci kekerasan. Suruh aku menggunakan senjata untuk membunuh atau melukai orang? Sama saja dengan menyuruh aku memotong kedua tanganku!"

   "Aihh! Habis kalau kau berhadapan dengan orang jahat yang menyerangmu?"

   "Akan kubela dengan kedua tangan, dan kalau dalam membela diri aku melukainya, sungguhpun kuusahakan agar jangan terlalu hebat, hal itu tentu saja lain lagi, bukan sengaja aku hendak melukai atau membunuh orang."

   Yuan memandang sahabatnya itu.

   "Kau orang aneh! Mungkin karena keanehanmu inilah adikku jatuh cinta kepadamu!"

   Kun Liong tidak menjawab, akan tetapi mukanya menjadi merah sekali.

   "Sayang kau tidak membalas cintanya."

   Kun Liong kaget, mengangkat muka. Agaknya antara kakak dan adik itu tidak ada rahasia!

   "Maafkan aku..."

   Katanya lirih. Yuan menepuk-nepuk pundaknya.

   "Tidak ada yang dimaafkan. Engkau jujur dan gagah, tidak menggunakan kesempatan selagi ada gadis cantik mencintamu kaupergunakan untuk memuaskan diri seperti hampir semua pria lain. Cinta tak dapat dipaksakan. Sudahlah, lupakan saja. Kun Liong, karena aku tahu bahwa engkau memiliki kepandaian, hanya engkau yang pantas menghadapi dua orang datuk kaum sesat itu..."

   "Tuan, dengarlah baik-baik. Tugasku hanya dua, pertama merampas kembali bokor emas dan ke dua menolong Nona Souw Li Hwa."

   "Serahkan nona itu kepada tanggungjawabku!"

   Ucapan itu dikeluarkan keras-keras sehingga mengagetkan Kun Liong, akan tetapi karena maklum bahwa hal ini terdorong oleh rasa cinta pemuda ini, maka dia mengangguk dan berkata lirih.

   "Engkau pun gila oleh cinta seperti adikmu."

   Yuan menghela napas duka.

   "Agaknya memang sudah nasib kami berduka, menjadi korban cinta sepihak."

   "Bagimu belum tentu, Yuan."

   Agaknya Yuan tidak menghendaki persoalan itu dilanjutkan, maka dia berkata,

   "Semua sudah diatur seperti siasat yang direncanakan. Kau dan Tuan Legaspi Selado menghadapi Toat-beng Hoat-su dan Ouwyang Bouw, dibantu oleh Hendrik, anak buahku menghadapi anak buah Pulau Ular, kupimpin sendiri dan aku sekalian mencari Li Hwa. Harap saja engkau suka mentaati perintah ini, sesuai dengan rencana penyerbuan."

   Kun Liong meniru gerakan salut seorang anak buah kapal sambil berkata,

   "Aku siap dan taat, Kapten!"

   Yuan tertawa dan menampar pundak Kun Liong.

   "Gila kau!"

   Sesuai rencana, Kapal Kuda Terbang mendekat pantai lalu menembakkan meriamnya. Para anak buah Pulau Ular yang berkumpul di pantai untuk menyambut penyerbuan itu, kocar-kacir dan lari bersembunyi, lalu mundur. Hal ini dipergunakan oleh Yuan dan anak buahnya serta pembantu-pembantunya untuk meloncat turun mendarat.

   Mulailah terjadi pertempuran hebat di pantai. Ledakan-ledakan senjata api membuat bising, diseling teriakan-teriakan dan hujan anak panah yang membalas perang jarak jauh ini. Akan tetapi pihak Yuan terus mendesak sampai ke tengah pulau di mana terjadi sergapan-sergapan mendadak sehingga pistol-pistol makin tidak berguna, lebih banyak terjadi perang tanding dengan senjata tajam dan kepalan tangan. Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong sudah siap menyambut, Kun Liong bersama Legaspi Selado dan Hendrik, seperti direncanakan, menghadapi mereka. Kun Liong melawan Toat-beng Hoat-su sedangkan Legaspi dan puteranya mengeroyok Ban-tok Coa-ong. Akan tetapi pertandingan yang seru ini tidak berlangsung lama karena terdengar Legaspi berkata kepada Kun Liong sambil meloncat jauh,

   "Aku mencari benda itu!"

   Dan pergilah dia diikuti oleh Hendrik, membiarkan Kun Liong dikeroyok dua oleh Ban-tok Coa-ong. Agaknya Ban-tok Coa-ong tidak mengejar kakek asing yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi dan setingkat dengannya itu, karena dia yakin bahwa kakek itu takkan mungkin dapat menemukan bokor yang telah disimpannya di tempat rahasia. Hanya dia, Toat-beng Hoat-su dan Ouwyang Bouw saja yang tahu di mana rahasia tempat itu.

   Diam-diam Kun Liong terkejut sekali. Tadi ketika melawan Toat-beng Hoat-su, dia repot setengah mati menghadapi serbuan kakek ini yang benar-benar amat lihai. Mula-mula kakek yang memandang rendah Kun Liong ini menyerangnya dengan tangan kosong saja. Akan tetapi, pemuda itu selalu dapat mengelak dari serangannya, bahkan berani pula menangkis dan setiap tangkisan tentu membuat seluruh lengannya tergetar, tanda bahwa pemuda gundul itu memiliki ilmu sinkang yang amat kuat! Karena penasaran, Toat-beng Hoat-su menggunakan senjatanya yang istimewa, yaitu jubahnya dan begitu diserang oleh senjata aneh yang kelihatan sepele namun membawa tangan maut, Kun Liong mulai terdesak karena setiap tangkisannya biarpun membuat jubah terpental,

   Namun lengannya terasa pedas sedangkan lawan tentu saja tidak merasakan apa-apa, berbeda kalau lengan kakek itu yang ditangkisnya! Dan sekarang tiba-tiba Hendrik dan Legaspi meninggalkannya. Mengertilah dia bahwa kakek dan puteranya itu berwatak curang, membiarkan dia dikeroyok dua orang datuk sedangkan mereka sendiri pergi mencaari bokor. Dia yakin bahwa kalau bokor emas itu terjatuh ke tangan Legaspi, tidak mungkin kakek asing yang tidak kalah jahatnya dibandingkan dengan para datuk kaum sesat ini tentu akan angkat kaki melarikan bokor pusaka. Namun, dia tidak mempedulikan kakek asing itu. Andaikata bokor terdapat oleh kakek itu, mudah kelak dicari. Sekarang yang penting dia harus mencurahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi pengeroyokan Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong yang lihai.

   Sebetulnya, mengingat akan ilmu-ilmu silat yang telah dipelajarinya dari dua orang sakti Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek Hosiang, mutu dan tingkat ilmu silat Kun Liong masih jauh lebih murni dan tinggi dibandingkan dengan kedua orang kakek sesat yang hanya memiliki ilmu silat dari golongan sesat yang sudah campur aduk tidak karuan dan semata-mata mengandalkan tipu daya licik sehingga tidak memiliki dasar yang kuat. Juga dalam hal sin-kang, pemuda gundul ini telah memiliki sin-kang Pek-in-ciang dari Tiang Pek Hosiang, sin-kang istimewa untuk membetot dari Bun Hoat Tosu, dan terutama sekali Thi-khi-i-beng dari Cia Keng Hong. Maka dalam hal ilmu tenaga sakti, dia pun jauh lebih tinggi tingkatnya dari kedua orang lawannya. Akan tetapi, dia kalah pengalaman, terutama sekali dua orang kakek itu adalah ahil-ahli ilmu muslihat licik,

   Ditambah lagi Toat-beng Hoat-su menggunakan senjata jubah sedangkan Ban-tok Coa-ong menggunakan senjata terompet di tangan kiri dan pedang ular di tangan kanan. Maka repotlah Kun Liong sekarang, harus mengerahkan sin-kangnya melindungi tubuh, mengerahkan gin-kang untuk mengelak dengan berloncatan ke sana-sini dan mainkan Pat-hong-sin-kun yang dapat membuat penjagaan delapan penjuru! Pertempuran antara Yuan dan anak buahnya juga terjadi amat ramai, akan tetapi karena tidak lagi ada kesempatan menggunakan senjata api, orang-orang barat itu dalam pertandingan senjata tajam dan kepalan tangang kalah pandai oleh anak buah Pulau Ular yang rata-rata pandai ilmu silat sehingga anak buah Yuan mulai terdesak. Akan tetapi Yuan de Gama, yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk segera menolong Li Hwa telah menangkap seorang anggauta lawan dan menyeretnya ke pinggir.

   "Lekas katakan, di mana ditahannya Nona Souw Li Hwa, baru kau akan kuampuni!"

   Orang Nepal itu yang tengkuknya dicengkeram tangan Yuan yang terlatih, merasa nyeri sekali, menjawab gagap.

   "Dia... di... pondok Kongcu...!"

   "Lekas bawa aku ke sana, kalau kau membohong akan kubunuh. Kalau tidak, akan kulepaskan!"

   Sambil mencengkeram tengkuk orang itu, Yuan memaksanya berdiri dan berjalan ke arah pondok Ouwyang Bouw. Yuan menendang pintu, sambil menyeret orang itu dia lari masuk sambil berteriak memanggil,

   "Li Hwa...! Li Hwa...!"

   "Tuan...!"

   Teriakan yang amat dikenalnya ini membuat Yuan hampir bersorak. Ditamparnya leher lawannya itu sehingga roboh terguling dan pingsan, kemudian dia lari masuk, menendang terbuka pintu kamar. Ketika melihat Li Hwa rebah di pembaringan dengan kaki tangan terikat, pakaian cabik-cabik setengah telanjang, rambut awut-awutan dan muka pucat, Yuan menjerit.

   "Duhai... Li Hwa... kau...!"

   "Yuan! Syukur kau datang...!"

   Yuan cepat melepaskan belenggu kaki tangan dara itu dan mereka seperti digerakkan tenaga mujijat saling dekap, saling cium dan keduanya menangis! Akan tetapi Yuan berbisik,

   "Tenanglah, kekasihku, dewiku... ah, Li Hwa yang kucinta, kau sudah selamat... mari kau kubawa menyingkir dari tempat terkutuk ini..."

   Sambil tersedu menangis, Li Hwa membiarkan dirinya dipondong karena tubuhnya masih lemas sekali. Pergelangan kedua tangan dan kakinya masih luka-luka bekas belenggu yang kuat, dia hanya merangkul leher pemuda yang dicintanya itu, merebahkan dan menyembunyikan mukanya di dada yang bidang sambil berbisik,

   "Yuan... aku... aku cinta padamu..."

   Ucapan ini membuat Yuan hampir menari kegirangan, akan tetapi karena keadaan tidak mengijinkan, hanya air matanya saja berderai saking terharu dan bahagianya, dan memondong tubuh orang yang dikasihinya itu seperti memondong sebuah benda pusaka keramat yang dipujanya,

   Kemudian lari keluar dari pondok itu dan terus berlari cepat menuju ke pantai, tidak lagi mempedulikan perang yang masih terjadi di situ. Setibanya di Kapal Kuda Terbang, dia memerintahkan beberapa anak buah yang melayani kapal dan tidak ikut berperang, yaitu orang-orang Han, untuk menggerakkan kapal agak ke tengah akan tetapi melepaskan perahu-perahu kecil di pantai sehingga para anak buahnya dapat menggunakan perahu itu ke kapal kalau pertandingan sudah selesai. Setelah memondong tubuh Li Hwa ke kamarnya, merebahkan dara itu ke atas pembaringan, memeluk dan menciumnya sampai keduanya gelagapan kehabisan napas, lalu mengobati dan membalut luka-luka pada pergelangan tangan dan kaki, memberikan seperangkat pakaian Yuan untuk dipakai kekasihnya ini, dan lalu berkata,

   "Li Hwa, kau menanti saja di sini dan istirahatlah, aku akan membantu kawan-kawan yang masih bertempur."

   "Jangan...!"

   Li Hwa memegang lengannya karena dia teringat akan kelihaian Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong dan Ouwyang Bow.

   "Mereka amat sakti..."

   Tahu bahwa dara yang dicintanya itu mengkhawatirkan keselamatannya, hati Yuan membesar, dia membungkuk dan mencium dara yang sudah duduk itu. Maka Li Hwa menjadi merah karena dia merasa betapa setiap ciuman pemuda itu selalu dibalasnya dengan kemesraan dan dengan seluruh cintanya. Teringat ini dia menjadi malu sendiri dan dia ikut turun dan berdiri.

   "Jangan khawatir, sayang. Di sana ada Legaspi Selado guruku, ada Hendrik, semua anak buah, dan terutama sekali, di sana ada sahabatku yang paling hebat, yaitu Yap Kun Liong."

   

Pedang Kayu Harum Eps 47 Pedang Kayu Harum Eps 22 Pedang Kayu Harum Eps 50

Cari Blog Ini