Ceritasilat Novel Online

Petualang Asmara 3


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



Orang yang terancam bahaya maut kadang-kadang dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, yang tidak dapat dilakukannya dalam keadaan biasa, seolah-olah ancaman bahaya maut itu menimbulkan tenaga tersembunyi yang selama itu tidak pernah muncul dan hanya akan muncul apabila dirinya terancam bahaya maut dan tenaga mujijat itu akan bekerja di luar kesadarannya. Demikian pula dengan Kun Liong. Memang harus diakui bahwa anak ini semenjak kecil digembleng oleh ayah bundanya, dua orang ahli yang pandai. Akan tetapi karena usianya baru sepuluh tahun, sepandai-pandainya, dia tentu tidak mungkin dapat melawan tukang-tukang pukul dan penduduk dusun yang sedang marah dan berjumlah banyak itu. Namun ketika anak itu sadar akan bahaya maut yang mengancamnya dan dia melakukan perlawanan,
(Lanjut ke Jilid 03)

   Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03
Secara tiba-tiba tubuhnya yang penuh luka dan hampir kehabisan tenaga itu mendadak menjadi sangat tangkas dan dia dapat bergerak cepat sekali, melompat ke sana-sini, merobohkan siapa saja yang mencoba menghalanginya dan akhirnya dia dapat melarikan diri ke dalam kegelapan malam, dikejar oleh banyak orang yang berteriak-teriak marah. Malam yang amat gelap menolongnya, dan teriakan-teriakan itu menambah kesukaran mereka yang mencari dan mengejarnya karena suara riuh rendah itu menelan lenyap suara kaki Kun Liong yang berlari cepat menyelinap di antara rumah-rumah orang dan pohon-pohon, kemudian keluar dari dusun dan terus lari, tidak mempedulikan arah karena tujuannya hanya satu, lari menjauhi orang-orang yang mengejarnya secepat dan sejauh mungkin!

   Dibantu oleh isterinya, Yap Cong San mempergunakan semua kepandaiannya untuk mengobati dan menolong tiga orang perwira pengawal Ma-taijin. Akan tetapi, tanpa bantuan obat khusus, mana mungkin mereka menyembuhkan luka akibat pukulan jari tangan Sakti Pek-tok-ci? Obat yang mereka dapakan dari Siauw-lim-pai, satu-satunya obat yang mungkin menyembuhkan luka beracun itu, telah tumpah dan hanya tinggal sedikit! Untuk mencari obat semacam itu lagi ke Siauw-lim-si, waktunya sudah tidak cukup lagi. Setelah membawa sisa obat yang tumpah seadanya, ditambah obat-obat buatan sendiri, dibantu oleh Gui Yan Cu, isterinya yang lebih pandai dalam hal ilmu pengobatan, kemudian menggunakan sin-kang mereka berdua untuk mengobati tiga orang perwira itu secara bergantian, akhirnya Yap Cong San dan isterinya pulang untuk beristirahat. Pengobatan dengan obat khusus yang amat kurang itu membuat mereka lelah dan khawatir akan hasil pengobatan itu.

   "Aihh, ke manakah perginya anak bengal itu?"

   Cong San menggerutu setelah tiba di rumah tidak melihat adanya Kun Liong.

   "Tentu saja dia pergi meninggalkan rumah, takut pulang karena di rumah menanti ayahnya yang siap untuk memaki dan memukulnya,"

   Yan Cu menjawab. Suami itu memandang isterinya, lalu menarik napas panjang.

   "Kalau terlalu dimanja, begitulah jadinya!"

   "Kalau terlalu ditekan dengan kekerasan, begitulah jadinya?"

   Keduanya saling memandang, kemudian Cong San yang mengalah dan menarik napas panjang lagi.

   "Isteriku, aku tidak menekan dan tidak bersikap keras terhadap anak kita. Akan tetapi tidaklah engkau melihat bahwa keadaan tiga orang perwira itu berbahaya sekali dan karena perbuatan Kun Liong, maka obat menjadi tumpah dan kini sukar mengobati mereka sampai sembuh?"

   "Yang menumpahkan obat bukan Liong-ji (Anak Liong), melainkan Pek-pek, anjing peliharaan kita. Siapapun yang menumpahkan obat, yang tumpah sudah tumpah, mau diapakan lagi? Hal itu merupakan kecelakaan. Siapapun yang menumpahkan tentu bukan dilakukan dengan sengaja. Kalau sampai hal itu membuat tiga orang perwira itu tidak sembuh, berarti memang sudah semestinya demikian. Kita harus dapat dan berani menghadapi segala kenyataan yang menimpa kita, suamiku."

   Kembali Cong San menarik napas panjang. Apa pun yang terjadi, dia tidak menghendaki bentrokan pendapat dan kesalahan paham dengan isterinya. Dan akan menjadi gelap baginya, hidup akan menjadi penderitaan kalau hal itu terjadi. Dipandangnya wajah isterinya yang baginya luar biasa cantik jelitanya itu, ditangkapnya tangan isterinya dan ditarik sehingga tubuh Yan Cu berada dalam pelukannya. Dalam keadaan begini, dengan tubuh isterinya berada demikian dekat, didekap dalam pelukan di atas dadanya, segala kekhawatiran lenyap dari hati Cong San. Dan inilah yang dia inginkan. Ia kembali menghela napas, kini helaan napas penuh kelegaan dan kebahagiaan.

   "Semua ucapan mereka memang benar, isteriku. Biarlah kita hadapi apa yang akan terjadi kalau sampai pengobatan kita gagal."

   Yan Cu menengadah, memandang wajah suaminya, mengangkat kedua lengan merangkul leher sehingga muka suaminya menunduk, menempel di dahinya, kemudian dengan sikap penuh kasih sayang dan agak manja, kemanjaan seorang isteri yang membutuhkan kasih suaminya selama dia hidup, Yan Cu berkata lirih,

   "Gagal atau berhasil pengobatan kita, tergantung dari nasib mereka sendiri, perlu apa kita khawatir? Yang lebih penting adalah memikirkan anak kita yang sudah pergi. Sebaiknya aku pergi mencarinya."

   Cong Sang memperketat pelukannya.

   "Jangan! Biarkan dia menyesali kenakalannya. Kalau dicari, tentu dia akan merasa amat dimanjakan. Dia sudah besar, sudah pandai menjaga diri, biarlah dia pergi semalam lagi, tidak akan berbahaya. Besok pagi-pagi barulah engkau pergi mencarinya kalau dia belum kembali. Malam ini aku lebih membutuhkan engkau isteriku."

   Cong San menunduk dan mencium dengan pandang mata dan gerakan yang sudah amat dikenal oleh Yan Cu.

   "Ihhh, seperti pengantin baru saja! Dua persoalan menghimpit kita, pertama adalah kemungkinan gagal pengobatan para perwira, ke dua adalah perginya Kun Liong tanpa pamit, dan engkau bersikap seperti pengantin baru saja!"

   Yan Cu mengomel manja dan mengelak dari ciuman suaminya. Cong San tersenyum, dan biarpun mereka sudah menjadi suami isteri sebelas tahun lamanya, tetap saja senyum pria itu masih memiliki daya tarik yang selalu mendatangkan debar penuh gairah kasih di hati Yan Cu.

   "Kita akan selalu seperti pengantin baru sampai selama kita hidup!"

   "Aihhh! Tidak ingat anak kita? Engkau sudah menjadi ayah, aku sudah menjadi ibu, bukan muda remaja lagi!"

   Yan Cu mencela manja. Cong San menciumnya dan sekali ini Yan Cu sama sekali tidak mengelak, bahkan menerima dan menyambut pencurahan kasih sayang suaminya itu dengan hangat.

   "Biar kelak aku menjadi kakek dan engkau menjadi nenek yang sudah mempunyai selosin buyut (anak cucu), kita akan tetap seperti pengantin baru!"

   Yan Cu tidak dapat membantah lagi dan malam itu, sepasang suami isteri ini benar-benar seperti sepasang pengaritin baru yang sedang berbulan madu, lupa akan segala persoalan yang mengganggu, lupa akan ancaman Ma-taijin dan lupa pula akan anak mereka yang pergi tanpa pamit. Pada keesokan harinya, setelah bangun dari tidur dan menghadapi sarapan pagi, barulah teringat kembali mereka akan persoalan yang mereka hadapi. Demikianlah hidup! Alangkah bedanya keadaan hati dan pikiran mereka berdua malam tadi dan pagi ini! Seperti siang dan malam. Kebalikannya! Dan memang sesungguhnyalah bahwa suka dan duka, puas dan kecewa, menang dan kalah, hanyalah sebuah benda dengan dua muka, keduanya tidak dapat saling dipisahkan dan siapa mengejar yang satu sudah pasti akan bertemu dengan yang lain.

   Pengalaman akan suka, puas, dan menang akan dihidupkan oleh ingatan dan mendorong orang untuk terus mengejarnya, untuk mengalaminya kembali sehingga untuk selamanya orang hidup dalam mengejar ingatan mengejar bayangan. Sebaliknya, pengalaman akan duka, kecewa, dan kalah yang dihidupkan oleh ingatan mendorong orang untuk selalu menjauhinya, tidak tahu bahwa pengejaran akan bayangan suka menimbulkan duka, akan bayangan puas menimbulkan kecewa dan akan bayangan menang menimbulkan kalah karena keduanya itu tak dapat dipisahkan. Maka terjadilah perlumbaan antar manusia dalam mengejar kesukaan menjauhkan kedukaan, bukan hanya saling berlumba, juga saling mendorong, saling menjegal, saling memukul, bahkan saling membunuh untuk memperebutkan bayangan ingatan!

   "Aku akan menengok para perwira, mudah-mudahan mereka dapat sembuh,"

   Kata Cong San sehabis sarapan suaranya berat.

   "Aku akan mencari Kun Liong, mudah-mudahan dapat kutemukan,"

   Kata Yan Cu, juga suaranya tidak segembira malam tadi karena dia maklum bahwa mereka berdua menghadapi persoalan yang tidak menyenangkan. Dengan ucapan-ucapan itu, suami isteri ini saling berpisah. Cong San pergi ke gedung tempat tinggal Ma-taijin, sedangkan Yan Cu segera pergi melakukan penyelidikan dan bertanya-tanya kepada para tetangga akan diri puteranya yang telah pergi sehari dua malam meninggalkan rumah tanpa pamit.

   Gui Yan Cu adalah seorang wanita yang cerdik. Dia maklum bahwa puteranya tentu tidak melarikan diri ke utara, timur atau barat karena dusun-dusun di bagian ini merupakan tempat tinggal orang-orang yang sudah mengenal keluarganya. Kalau puteranya itu melarikan diri, tentu anak yang dia tahu amat cerdik itu melarikan diri ke arah selatan, daerah yang asing bagi mereka dan dusun-dusunnya terletak jauh dari Leng-kok. Sebagai pelarian yang takut ditemukan ayah bundanya anak itu tentu mengambil jurusan yang satu ini. Karena itu, maka Yan Cu lalu melakukan penyelidikan ke arah selatan, setelah para tetangganya tidak ada yang melihat Kun Liong dan tak searang pun di antara mereka tahu ke mana perginya anak itu. Dan dugaan nyonya itu memang tepat sekali! Ketika melarikan diri, memang Kun Liong sengaja mengambil jalan ke jurusan selatan, karena tepat seperti diduga ibunya,

   Dia tidak ingin ada orang mengenalnya karena kalau hal ini terjadi, sudah pasti sekali dalam waktu singkat ayahnya atau ibunya akan dapat mengejar dan memaksanya pulang! Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, Gui Yan Cu melakukan pengejaran dan jarak yang ditempuh oleh puteranya dalam waktu sehari semalam, hanya membutuhkan waktu setengah hari saja baginya. Tibalah dia di dusun di mana Kun Liong menjadi sebab kebakaran dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melakukan penyelidikan, dia mendengar akan seorang anak laki-laki yang menyebabkan kebakaran dengan melepaskan ular-ular beracun di dalam rumah yang sedang pesta, kemudian betapa anak itu ditangkap dan dipukuli orang-orang, akan tetapi secara aneh anak itu dapat melarikan diri dan tak seorang pun tahu ke mana perginya.

   "Semalam suntuk kepala dusun dan tukang-tukang pukulnya pergi mencari akan tetapi sia-sia. Anak setan itu seperti menghilang. Kalau dapat dicari, tentu dia akan dipukul sampai mampus!"

   Tukang warung nasi menutup keterangannya. Gui Yan Cu menahan kemarahan hatinya. Kalau dahulu, sepuluh tahun yang lalu, dia mendengar penuturan ini, tentu dia akan mengamuk dan menghajar orang sekampung itu, atau setidaknya dia akan menghajar kepala kampung, atau paling sedikit dia akan menampar pipi tukang warung nasi yang menceritakan perihal anaknya. Akan tetapi sekarang dia bukanlah seorang dara remaja yang ganas lagi, melainkan seorang nyonya dan ibu yang bingung memikirkan puteranya, dan yang maklum betapa sakit hati para penduduk karena ada yang mengacau pesta, dan betapa jahat pandangan mereka terhadap kenakalan anaknya.

   Karena dia tidak berhasil mencari di sekitar dusun itu, pula karena dia khawatir akan keadaan suaminya yang harus menghadapi ancaman kepala daerah kalau tidak berhasil menyembuhkan tiga orang perwira yang terluka, Yan Cu mengambil keputusan untuk pulang dahulu, kemudian setelah urusan Leng-kok beres, baru dia akan mengajak suaminya untuk mencari Kun Liong. Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati nyonya perkasa ini ketika dia tiba di rumah pada waktu senja hari itu, dia disambut oleh seorang kakek dengan wajah keruh dan penuh kegelisahan. Kakek itu adalah Liok Sui Hok, paman tua suaminya. Kakek inilah yang membantu suaminya membuka toko obat di Leng-kok, dan karena Liok Sui Hok tidak mempunyai keturunan pula, sudah duda dan hidup seorang diri di rumahnya yang besar di Leng-kok kakek ini menganggap keponakannya itu seperti anak sendiri.

   "Sungguh celaka... suamimu gagal mengobati para perwira, dan dia kini ditahan oleh Ma-taijin..."

   Demikianiah sambutan kakek itu begitu melihat Yan Cu datang. Yan Cu menggigit bibirnya, sejenak tak dapat berkata-kata. Memang hal ini sudah dikhawatirkannya, akan tetapi sungguh tak disangka bahwa kepala daerah she Ma itu benar-benar berani menahan suaminya!

   "Hemm... si keparat Ma itu perlu dihajar!"

   Katanya dan dia sudah membalikkan tubuh hendak pergi lagi ke rumah pembesar itu.

   "Wah-wah, nanti dulu! Harap kau bersabar, perlu apa menggunakan kekerasan menghadapi pembesar? Jangan-jangan engkau malah akan dianggap pemberontak dan melawan pemerintah!"

   "Paman! Pemerintah mempunyai hukum dan kalau suamiku bersalah berarti dia melanggar hukum, tentu saja saya tidak berani menggunakan kekerasan. Akan tetapi dalam hal ini, suamiku tidak bersalah. Kalau sampai dia ditahan, hal itu berarti bahwa Ma-taijin mempergunakan hukumnya sendiri, dan aku pun bisa menggunakan hukumku sendiri terhadap dia!"

   "Sabarlah! Dia adalah kepala daerah di sini, di Leng-kok ini kekuasaannya paling besar dan harus ditaati oleh seluruh rakyat."

   "Apakah dia raja?"

   "Bukan, akan tetapi biasanya, setiap kepala daerah merasa menjadi raja kecil dalam daerah masing-masing. Karena itu, besok aku akan pergi ke kota Khan-bun, kepala daerah di sana lebih tinggi pangkatnya dan dengan bantuan teman-teman yang tinggal di sana, agaknya aku akan dapat menarik pengaruh dan bantuannya untuk menolong suamimu."

   Yan Cu mengerutkan alisnya. Dia sudah banyak mendengar akan tindakan sewenang-wenang para pembesar setempat. Keadilan yang berlaku pada waktu itu hanyalah keadilan uang! Siapa yang dapat menyogok, dialah yang akan dilindungi dan dimenangkan oleh mereka yang berkuasa!

   "Paman, saya dan suami saya tidak mau dilindungi dengan cara menyogok! Kalau memang kami bersalah, kami rela dihukum! Akan tetapi kalau kami tidak bersalah, kami siap melawan siapa saja yang hendak melakukan tindakan sewenang-wenang! Sekarang juga saya mau menghadap Ma-taijin menuntut keadilan!"

   Tanpa menanti jawaban, Yan Cu berlari meninggalkan Liok Sui Hok yang berdiri bengong dan menggeleng kepala, menarik napas panjang berkali-kali. Dia maklum bahwa keponakannya, Yap Cong San, adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi sekali, sedangkan isterinya, yang cantik jelita itu bukan hanya ahli dalam pengobatan, akan tetapi juga memiliki ilmu silat yang amat lihai. Celaka, pikirnya, tentu akan terjadi keributan. Dan lebih celaka lagi adalah nasib yang dihadapi Ma-taijin! Kakek itu maklum bahwa kalau keponakan dan mantu keponakannya itu mengamuk, tidak ada seorang pun di antara jagoan-jagoan pengawal kepala daerah akan mampu menandingi mereka.

   "Hemm... orang-orang muda... kurang perhitungan, asal berani dan kuat saja... hemm, ke mana perginya Kun Liong cucuku?"

   Sambil menggeleng-geleng kepalanya yang penuh uban, kakek itu melangkah perlahan-lahan, pulang ke rumahnya sendiri. Dengan menggunakan ilmunya berlari cepat, tidak mempedulikan seruan-seruan dan pandang mata penuh keheranan dari para penduduk Leng-kok yang kebetulan melihat nyonya ini berlari demikian cepatnya seperti terbang, Yan Cu menuju gedung kepala daerah yang berada di ujung kota sebelah utara. Sebuah rumah gedung yang mewah dan megah, paling besar di dalam kota Leng-kok.

   "Berhenti!!"

   Seorang penjaga pintu gerbang di depan gedung itu membentak, dan lima orang kawannya sudah muncul ke luar dari tempat penjagaan menghadapi Yan Cu dengan tombak ditodongkan.

   Ketika mereka mengenal nyonya itu, timbul dua macam perasaan yang tampak dalam sikap mereka yang ragu-ragu. Mereka itu sedikit banyak merasa segan dan menghormat nyonya cantik jelita yang sudah terkenal banyak menolong orang sakit di kota Leng-kok ini, bahkan di antara mareka tidak ada seorang pun yang tidak pernah ditolong, ketika seorang di antara keluarga mereka atau mereka sendiri sakit. Di samping ini, mereka juga sudah tahu bahwa suami nyonya ini telah ditahan dan dimasukkan dalam rumah penjara, dijaga ketat atas perintah Ma-taijin sendiri dengan tuduhan memberontak dan bersekutu dengan Pek-lian-kauw! Tuduhan yang amat berat dan menakutkan, sehingga tidak ada seorang pun di antara para penjaga ini yang berani memperlihatkan sikap yang lunak dan bersahabat terhadap seorang sekutu Pek-lian-kauw karena khawatir dituduh bersekutu pula.

   "Eh... Toanio... hendak ke manakah?"

   Komandan jaga, yang berkumis tebal dan bertubuh tinggi besar, menegur ragu-ragu.

   "Aku hendak bertemu dan bicara dengan Ma-taijin!"

   Jawab Yan Cu singkat.

   "Tapi... tapi..."

   Komandan jaga itu membantah, makin meragu, dan bingung karena dia maklum bahwa kalau dia melapor ke dalam tentu dia akan didamprat oleh atasannya.

   "Tidak ada tapi, tinggal kaupilih. Kau melapor ke dalam minta Ma-taijin keluar menyambutku, atau aku yang akan langsung masuk mencarinya sendiri di dalam gedungnya!"

   "Wah, Toanio membuat kami susah payah. Menemui Ma-taijin tentu saja tidak begitu mudah. Kalau memang Toanio ada keperluan dan hendak menghadap, harap suka membuat surat permohonan dan besok siang, setelah Ma-taijin berada di kantornya, Toanio boleh saja menghadap melalui peraturan biasa. Sekarang, sudah malam begini..."

   "Dia pun hanya manusia biasa, mengapa aku tidak bisa bertemu dan bicara dengan dia sekarang juga? Sudahlah, biar aku mencarinya sendiri!"

   Yan Cu melangkah memasuki halaman depan gedung itu, akan tetapi enam orang penjaga itu sudah melompat ke depan, menghadangnya dengan tombak di tangan dipalangkan menghalang majunya nyonya itu.

   "Toanio, kami tidak bermaksud bersikap kasar terhadap seorang wanita, apalagi terhadap Toanio. Akan tetapi, jangan Toanio mendesak kami dan membuat kami tersudut..., kami hanya memenuhi kewajiban kami..."

   "Minggirlah!"

   Yan Cu berseru nyaring, kedua tangannya bergerak secepat kilat ke kanan kiri dan enam orang penjaga itu rpboh terpelanting ke kanan kiri seperti segenggam rumput tertiup angin!

   Ketika mereka merangkak bangun dengan mata terbelalak mencari-cari, ternyata bayangan nyonya itu telah lenyap dari situ! Dengan cepat sekali, setelah berhasil merobohkan enam orang penjaga dengan sekali dorong, Yan Cu meloncat ke depan, langsung dia menyerbu ke ruangan depan gedung yang megah itu. Akan tetapi, baru saja kedua kakinya yang tadinya melompat dari jauh itu menyentuh lantai, belasan orang penjaga telah muncul dan menghadangnya dengan golok di tangan. Komandan pengawal di ruangan depan itu pun mengenal nyonya itu dan memang dia telah mendapat perintah dari atasan untuk berjaga-jaga dengan anak buahnya berhubung dengan ditangkapnya Yap Cong San. Mereka semua sudah mendengar bahwa tidak hanya Yap-sinshe yang pandai ilmu silat, juga isterinya adalah seorang pendekar wanita yang lihai.

   "Tangkap isteri pemberontak!"

   Komandan itu berseru dan anak buahnya yang berjumlah selosin orang itu telah bergerak mengurung Yan Cu dengan golok di tangan,

   Sikap mereka mengancam sekali karena betapapun juga, mereka memandang rendah kalau lawannya hanya seorang wanita cantik seperti ini. Biarpun mereka sudah mendengar bahwa wanita ini pandai main silat, akan tetapi mereka yang berjumlah tiga belas orang itu, ditambah lagi dengan para pengawal yang dipersiapkan di dalam menjaga keselamatan Ma-taijin, tentu saja tidak perlu merasa jerih terhadap seorang wanita! Yan Cu mengerling ke kanan kiri, sikapnya angker penuh wibawa, sepasang pipinya yang halus itu menjadi merah dan matanya yang indah mengeluarkan sinar berkilat. Sudah bertahun-tahun dia hidup aman tenteram di samping suaminya, tidak pernah lagi mempergunakan ilmu silatnya untuk bertempur dan hampir lupa dia akan semua pengalamannya dahulu di waktu dia masih gadis,

   Pengalaman yang penuh dengan pertempuran hebat dan mati-matian (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Sudah sebelas tahun dia tidak pemah memukul orang, dan tadi di pintu gerbang adalah gerakan pertama selama ini, gerakan untuk merobohkan orang sungguhpun dia merobohkan enam orang tadi bukan dengan niat membunuh, hanya cukup untuk membuat mereka tidak menghalanginya. Kini, dikurung oleh belasan orang, timbul kembali semangat kependekarannya. Kini dia bergerak untuk membela suaminya, jangankan hanya belasan orang pengawal biar ada barisan setan dan iblis sekalipun dia tidak akan menjadi gentar dan akan dilawannya! Timbulnya semangat ini menimbulkan pula kegembiraannya! Kegembiraan yang hanya dapat dirasakan oleh seorang pendekar, atau seorang tentara dalam medan perang yang sudah kebal akan rasa takut.

   "Apakah kalian sudah bosan hidup?"

   Pertanyaan ini keluar dari mulutnya dengan suara halus, seperti suara seorang ibu menegur anaknya, akan tetapi nadanya mengandung penghinaan dan sindiran.

   "Aku mau bertemu dan bicara dengan Ma-taijin! Dia mau atau tidak harus menjumpai aku, dan kalau kalian hendak mencoba menghalangiku, jangan persalahkan aku kalau kaki tanganku yang tidah bermata akan membuat kalian jatuh untuk tidak bangun kembali!"

   "Tangkap pemberontak sombong!"

   Komandan yang bertubuh tinggi gendut itu mukanya penuh bopeng bekas penyakit cacar itu kembali berteriak. Komandan ini adalah seorang perwira pengawal baru yang datang dari kota raja. Dia belum mengenal Yap-sinshe dan isterinya, maka dia pun tidak merasa sungkan terhadap suami isteri itu seperti yang dirasakan oleh banyak pengawal yang telah mengenal dan sedikit banyak berhutang budi kepada mereka. Dua belas orang anak buahnya yang semua bersenjata golok karena memang mereka adalah anggauta pasukan bergolok besar, segera maju menyerbu, namun mereka itu masih merasa sungkan, hanya menggerakkan tangan kiri yang tidak bersenjata, berlumba menangkap nyonya yang biarpun usianya sudah tiga puluh tahun namun masih amat cantik jelita dan kelihatan seperti seorang dara berusia dua puluh tahun saja!

   Dahulu, ketika masih dara remaja, Gui Yan Cu mempunyai watak halus namun jenaka dan juga tegas menghadapi penjahat atau musuh. Akan tetapi, sekarang, setelah sepuluh tahun lebih menjadi isteri Yap Cong San, setelah dia menjadi seorang ibu dan sudah lama tidak pernah bertempur atau bermusuhan, biarpun dia masih memiliki keberanian dan ketegasan bertindak, namun hatinya menjadi makin lembut dan dia tidak tega untuk menjatuhkan tangan besi terhadap para pengawal ini. Dia bukan seorang dara muda yang ganas lagi, yang berpemandangan sempit dan suka merobohkan orang tanpa perhitungan lagi. Dia kini berpemandangan luas dan jauh, maka dia maklum bahwa semua pengawal ini hanyalah menjalankan tugas masing-masing, sama sekali tidak mempunyai permusuhan pribadi terhadap dirinya atau suaminya. Melihat cara mereka bergerak menyerbunya,

   Tidak menggunakan golok melainkan menggunakan tangan kiri untuk menangkapnya saja sudah membuktikan bahwa mereka itu sedikit banyak mempunyai rasa segan terhadap dirinya. Hal ini mengurangi banyak nafsu amarahnya dan meniup lenyap niatnya memberi hajaran keras kepada mereka. Melihat semua orang menubruk maju, Yan Cu menggerakkan kedua kakinya menekan lantai dan tiba-tiba tubuhnya melesat dan meluncur ke atas, melewati kepala mereka dan gegerlah para pengawal yang saling tubruk dan saling pandang karena tahu-tahu "burung"

   Di tengah yang mereka kurung tadi telah terbang lenyap begitu saja! Cepat-cepat mereka membalikkan tubuh mencari-cari dan berlari-larian menyerbu ke arah komandan gemuk mereka yang berteriak-teriak kesakitan karena sedang ditampari oleh Yan Cu, seperti seorang anak kecil yang nakal dipukuli ibunya!

   "Plak! Plak! Plak!"

   Kedua pipi komandan gendut itu menjadi bengkak-bengkak dan dari ujung kedua bibirnya mengalir darah yang keluar dari bekas tempat gigi yang coplok! Yan Cu menendang tubuh komandan Itu yang terlempar dan terbanting mengaduh-aduh meraba kedua pipinya dengan kedua tangan, matanya terbelalak memandang kepada nyonya itu karena dia masih kaget dan heran akan serangan itu. Tadi dia melihat betapa tubuh nyonya itu melayang melalui kepala para pengepungnya, menyambar ke arahnya. Dia cepat menggerakkan golok menyambut dengan bacokan ke arah muka nyonya itu, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu goloknya direnggut lepas dari pegangannya, dan seperti kilat menyambar-nyambar, kedua tangan nyonya itu telah menggaplok kedua pipinya sampai matanya menjadi gelap dan berkunang-kunang!

   "Biarlah itu menjadi pelajaran bagimu agar jangan lancang menggunakan mulut!"

   Yan Cu berkata.

   Akan tetapi pada saat itu, dua belas pengawal yang melihat betapa komandan mereka ditampari dan dirobohkan, menjadi terkejut sekali dan terpaksa mereka kini menerjang maju dengan golok besar mereka di tangan. Kalau mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, tentu mereka akan ditegur dan dihukum, disangka menaruh kasihan dan membela seorang isteri pemberontak! Terjadilah pengeroyokan yang kacau balau, diseling suara hiruk-pikuk teriakan-teriakan mereka. Yan Cu melompat ke sana-sini mengelak sambaran-sambaran golok, kemudian dengan sentuhan ujung kaki mengenai pergelangan tangan seorang pengeroyok cukup membuat jari tangan itu memegang terbuka dan goloknya terlepas. Yan Cu menyambar golok ini dan terdengarlah suara berdenting-denting nyaring disusul teriakan-teriakan para pengeroyok karena begitu nyonya itu menggerakkan goloknya menghadapi para pengeroyok,

   Dalam beberapa jurus saja, empat batang golok yang kena ditangkis terlempar ke sana-sini, dua orang lagi terpaksa melepaskan golok karena lengan mereka tergores ujung golok Yan Cu dan berdarah sungguhpun bukan merupakan luka yang parah. Dalam sekejap mata saja tujuh orang pengeroyok, dibuat tidak berdaya. Tentu saja lima orang yang lain menjadi gentar, dan dengan muka pucat mereka itu masih mengurung tanpa berani bergerak! Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah puluhan orang pengawal dari dalam, diikuti oleh Ma-taijin sendiri! Pembesar ini tentu saja berani keluar dari kamarnya karena dia dijaga oleh empat puluh orang pengawal dan berkepandaian tinggi! Dengan sikap tenang akan tetapi nyata menyinarkan kemarahan dia mengikuti pasukan pengawal itu keluar ke ruangan depan,

   "Tangkap pemberontak itu!"

   Terdengar Ma-taijin sendiri mengeluarkan aba-aba,

   "Tahan semua...!!"

   Bentakan Yan Cu mengandung tenaga khi-kang yang hebat, membuat semua pengawal yang sudah mulai bergerak itu terkejut dan terguncang jantungnya, memandang kepada nyonya yang sudah berdiri tegak dan memalangkan golok rampasan di depan dada, tidak mempedulikan para pengawal yang sudah membuat gerakan mengurungnya, melainkan menunjukkan perhatian dan pandang matanya ke arah Ma-taijin.

   "Ma-taijin, aku datang bukan untuk berkelahi, bukan untuk mengamuk, akan tetapi untuk bertemu dan bicara denganmu!"

   "Hemmm, perempuan tak berbudi!"

   Pembesar itu membentak karena merasa malu mendengar kata-kata dan melihat sikap yang sama sekali tidak menghormatinya itu, malu kepada para pengawalnya karena sikap wanita itu benar-benar telah menyeret turun wibawa dan derajatnya! "Seorang pemberontak dan berdosa besar seperti suamimu dan engkau apalagi setelah berani datang mengacau di sini, mau bicara apa lagi?"

   "Ma-taijn, seorang pembesar tentu mengerti akan hukuman pemerintah, akan tetapi mengapa engkau bicara tanpa bukti, melainkan fitnah yang bukan-bukan? Engkau tahu sendiri bahwa suamiku dan aku telah menjadi penduduk Leng-kok selama sebelas tahun. Siapakah di antara penduduk Leng-kok yang pernah melihat perbuatan kami yang memberontak? Pernahkan kami melakukan sesuatu yang merugikan negara dan rakyat? Baru sekarang ada orang yang melakukan fitnah, menuduh kami pemberontak, dan orang itu adalah engkau, Taijin. Apakah engkau tidak takut akan bayangan sendiri menjatuhkan fitnah palsu kepada kami?"

   "Berani benar engkau berkata demikian, perempuan berdosa! Sudah jelas bahwa suamimu Yap Sinshe melakukan dua kali pelanggaran dosa terhadap pemerintah, dan sekarang ditambah lagi dengan sebuah pelanggaran yang dilakukan olehmu sendiri!"

   "Sebutkah dosa-dosa itu, Ma-taijin, agar tidak membikin hati penasaran!"

   Yan Cu berkata, menahan kemarahannya.

   "Dosa pertama suamimu adalah bahwa dia tidak membunuh tosu Pek-lian-kauw, dia melindungi Pek-lian-kauw atau kemungkinan besar dia bersekutu dengan Pek-lian-kauw."

   "Bohong besar!"

   Yan Cu berteriak.

   "Adakah dalam hukum pemerintah bahwa setiap orang warga harus dan berkewajiban uatuk membunuh seorang anggota Pek-lian-kauw? Pek-lian-kauw adalah musuh pemerintah, dan menjadi orang-orang seperti engkau dan para pengawalmulah untuk memusuhi, dan membasminya! Kami, atau dalam hal ini suamiku, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Pek-lian-kauw, bahkan sebagai seorang warga negara yang baik telah menolong tiga orang perwira pengawalmu yang akan dibunuh. Mencegah pembunuh adalah kewajiban setiap orang, apalagi kami yang berjiwa Pendekar. Akan tetapi, membunuh tosu Pek-lian-kauw bukanlah tugas suamiku."

   "Dosa kedua adalah kegagalan suamimu menyembuhkan tiga orang perwiraku. Tiga orang perwira pemerintah."

   "Sungguh tidak masuk akal! Sejak kapan pemerintah mengeluarkan undang-undang bahwa kegagalan menyembuhkan merupakan dosa dan pelanggaran hukum?"

   "Suamimu, terutama engkau, telah terkenal sekali di Leng-kok sebagai ahli pengobatan. Jarang ada penyakit yang tidak terobati sampai sembuh oleh kalian berdua! Akan tetapi justeru mengobati tiga orang perwira pemerintah, kalian gagal! Bukankah ini merupakan kesengajaan dan perbuatan yang condong membantu Pek-lian-kauw? Dosa yang ke tiga adalah engkau yang berani memberontak dan melawan kami!"

   "Bohong semua! Suamiku dan aku bukanlah malaikat pengatur nyawa yang dapat memanjangkan usia manusia! Juga kami bukanlah malaikat maut yang suka mencabut nyawa! Kami sudah berusaha mati-matian mengobati, akan tetapi tiga perwira yang menderita luka pukulan beracun Pek-tok-ci tak dapat ditolong dan mati, itu bukanlah urusan dan wewenang kami. Mengatur nyawa sendiri pun tidak mampu, bagaimana harus mengatur nyawa orang lain? Adapun aku ke sini dengan maksud bicara denganmu dan minta dibebaskannya suamiku yang tidak berdosa, akan tetapi para anjing-anjing penjagamu menghalangi sehingga aku menggunakan kekerasan, siapa yang bersalah dalam hal ini? Ma-taijin, sekali lagi kuminta, karena suamiku tidak berdosa, sekarang juga harus kaubebaskan dia!"

   "Sombong! Pemberontak rendah! Tangkap dia...!"

   Akan tetapi sebelum para pengawal bergerak mentaati perintah ini, tubuh Yan Cu sudah berkelebat dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka oleh semua orang. Tahu-tahu wanita perkasa itu telah meloncat ke dekat Ma-taijin!

   "Toloooonggg"

   Tangkap"

   Ahhhh!"

   Ma-taijin tak berani bergerak atau berteriak lagi karena golok tajam telah menempel di kulit lehernya, terasa dingin sekali!

   "Mundur semua!!"

   Yan Cu melengking dengan suara mengandung getaran hebat.

   "Kalau kalian maju, dia akan kubunuh lebih dulu sebelum kubasmi kalian semua!"

   Para pengawal menjadi bingung dan Ma-taijin merasa ngeri dan takut bukan main. Terbayang di depan matanya selir-selir yang muda-muda dan banyak, gedungnya, gudangnya, harta benda dan kedudukannya, dan tiba-tiba perutnya terasa mulas dan air matanya bercucuran.

   "Jangan bunuh aku..."

   Ratapnya.

   "Suruh mereka mundur, dan suruh kepala pengawal membebaskan suamiku, membawanya ke sini. Cepat, kalau aku kehabisan sabar, lehermu akan putus dan aku sanggup membebaskan suamiku dengan kekerasan!"

   Yan Cu membentak dan memberi sedikit tekanan pada goloknya sehingga pembesar itu merasa kulit lehernya perih dan sedikit darah mengucur!

   "Aihhh... jangan... haiii, semua mundur, dengar tidak? Mundur semua kataku, bedebah! Dan kau, Kwa-ciangkun, lekas kau pergi ke penjara, bebaskan Yap-sinshe, ehhh... ajak dia ke sini... cepat!!"

   Semua pengawal terpaksa mengundurkan diri dan hanya menjaga dari sekeliling ruangan depan itu sambil saling pandang dengan bingung. Sebagian besar antara mereka merasa lega dengan perintah Ma-taijin itu, karena tadi mereka merasa khawatir sekali, menyerbu berarti membahayakan keselamatan Ma-taijin, tidak bergerak bagaimana pula melihat pembesar itu diancam!

   "Duduklah, Ma-taijin, kita menunggu datangnya suamiku. Engkau lihat, bagaimana mudahnya untuk membunuhmu dan para pengawalmu kalau kami benar-benar merupakan pemberontakan-pemberontakan atau sekutu Pek-lian-kauw. Kami bukan pemberontak, namun aku tahu bahwa dengan perbuatan ini, kami takkan dapat tinggal di Leng-kok lagi. Hanya pesanku, lain kali janganlah engkau sebagai kepala daerah menggunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Aku dan suamiku terpaksa menjadi orang-orang kang-ouw lagi karena engkau, dan setelah kami kembali ke dunia kang-ouw, begitu aku mendengar bahwa engkau bertindak sewenang-wenang menindas dan menjatuhkan fitnah kepada rakyat, aku akan datang sendiri untuk mencabut nyawamu!"

   Ma-taijin tidak dapat menjawab dan berterima kasih sekali diperbolehkan duduk di atas kursi karena kedua kakinya menggigil dan terutama sekali, yang amat menyiksanya adalah perutnya yang mulas sejak tadi dan hampir dia tidak dapat menahan segala kotoran yang hendak membanjir keluar dari dalam perutnya! Dia hanya mengangguk-angguk tanpa bicara, seperti seekor ayam makan jagung. Yan Cu berdiri di dekatnya, menodongkan ujung golok di leher dan mengawasi gerak-gerik para pengawal. Diam-diam dia mengharapkan agar jangan ada pengawal yang lancang berani menyerangnya, karena sesungguhnya dia tidak ingin membebaskan suaminya dengan jalan melakukan pembunuhan. Semua ini dia lakukan hanya untuk mengancam belaka, agar suaminya dapat segera bebas. Tak lama kemudian, datangnya kepala pengawal bersama Yap Cong San. Melihat isterinya menodong Ma-taijin, Cong San melompat dan menegur,

   "Aihhh, apa yang kau lakukan, isteriku? Aku sengaja tidak mau menggunakan kekerasan. Aku yakin akan dibebaskan karena tidak bersalah. Akan tetapi engkau""

   "Hemm, orang seperti dia ini mana bisa dipercaya akan menggunakan keadilan suamiku? Pula, aku ingin engkau segera bebas, sekarang juga karena aku tidak berhasil mencari Liong-ji! Mari kita pergi!"

   Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sebelum Cong San sempat membantah, Yan Cu sudah menarik tangan suaminya dan mengajaknya melompat pergi dari tempat itu, melemparkan golok rampasan tadi menancap di depan kaki Ma-taijin sampai ke gagangnya! Demikian cepatnya gerakan suami isteri itu sehingga yang tampak hanya dua bayangan mereka berkelebat dan lenyap.

   "Kejar mereka! Kumpulkan semua pengawal! Minta bantuan pasukan! Tangkap, cepat! Tolol kalian semua!"

   Ma-taijin berteriak-teriak sambil menuding-nudingkan telunjuknya,

   Akan tetapi dia sendiri memasuki ruangan dalam, terus ke kamar kecil karena perutnya yang memberontak sudah mengeluarkan sebagian isinya ke dalam celananya! Para pengawal tersebar dan berlari-lari mencari, akan tetapi tentu saja dengan hati kebat-kebit dan penuh keraguan. Setelah bala bantuan datang dan jumlah mereka ada seratus orang, barulah mereka berani melakukan pengejaran dan mendatangi rumah obat tempat tinggal Yap-sinshe. Akan tetapi tentu saja mereka hanya mendapatkan sebuah toko yang kosong, tidak ada lagi penghuninya kecuali dua orang pelayan yang tidak tahu apa-apa. Dalam kemarahannya, Ma-taijin hanya menyita toko itu, merampas barang-barang toko dan mengumumkan nama Yap Cong San dan Gui Yan Cu sebagai dua orang pelarian!

   "Aihhh, semua ini gara-gara Kun Liong, anak bengal itu! Kalau saja dia tidak menumpahkan obat, tentu tidak terjadi semua ini! Dan setelah melakukan perbuatan yang menimbulkan bencana kepada ayah bundanya, dia malah lari minggat, mendatangkan kepusingan baru bagi kita!"

   Yan Cu cemberut. Mereka sudah lari ke luar kota Leng-kok, menuju ke selatan dan tadi dia sudah menceritakan suaminya tentang kegagalan usahanya mencari Kun Liong sehingga dia terpaksa pulang karena mengkhawatirkan suaminya. Dia sengaja tidak menceritakan suaminya tentang perbuatan Kun Liong yang baru di dusun yang ditemuinya yaitu membakar rumah kepala dusun yang sedang berpesta! Tanpa dibicarakan hal itu pun suaminya sudah marah-marah dan mengomel tentang anak mereka.

   "Siapa bilang gara-gara Kun Liong? Memang anak itu menumpahkan obat, akan tetapi apakah dia sengaja menumpahkannya? Kalau dipikir-pikir semua peristiwa ada sebabnya dan jangan kau menyalahkan peristiwa itu. Kalau aku ikut-ikut engkau, tentu aku mencari sebabnya dan kiranya engkaulah yang menjadi gara-garanya."

   "Aku....?"

   Cong San bertanya mengalah dan selalu bersikap sabar kepada isterinya semenjak terjadi peristiwa hebat yang hampir saja menghancurkar cinta kasih di antara mereka karena dia telah dibuat gila oleh cemburu (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Karena dia merasa berdosa dan bersalah kepada isterinya yang tercinta, maka dia bertobat dan bersikap hati-hati, selalu mengalah kepada isterinya sebagai tebusan dosanya yang lalu. Akan tetapi ketika dalam urusan dengan Ma-taijin ini isterinya mengatakan bahwa dia yang menjadi gara-gara, dia terkejut juga dan merasa penasaran sehingga dia menghentikan langkah kakinya.

   "Ya, engkau..."

   Yan Cu berkata. Mereka telah lari jauh dan malam telah hampir pagi, kedua kakinya sudah lelah. Yan Cu berhenti dan duduk di atas sebuah batu besar di dalam hutan itu. Suaminya juga duduk di depannya. Sinar matahari pagi sudah mulai mengusir kegelapan malam, disambut dengan riang gembira oleh suara burung hutan.

   "Mengapa aku...?"

   "Kalau-kalau dicari sebabnya menjadi panjang sekali. Kun Liong melarikan diri karena takut kepadamu, karena engkau terlalu keras kepadanya. Engkau marah karena dia menumpahkan obat. Dia menumpahkan obat karena dia bermain-main dengan Pek-pek, dan dia murung dan bosan di kamamya, bermain-main dengan Pek-pek karena dia merasa betapa engkau memarahinya ketika dia pergi dan berjumpa dengan tosu Pek-lian-kauw. Andaikata engkau tidak marah kepadanya, tentu dia tidak murung dan tidak bermain-main dengan anjing dan tidak menumpahkan obat, dan para perwira tidak mati, dan aku tidak mengamuk di gedung Ma-taijin, dan anak itu tidak minggat, dan..."

   "Stoppp...!"

   Cong San mengangkat kedua tangan ke atas, lalu merangkul dan menciumi isterinya.

   "Pusing aku! Sudah... jangan bicara tentang sebab akibat, kalau ditelusur terus, bisa-bisa akibatnya dimulai semenjak nenek moyang kita..."

   "Mungkin dimulai sejak dunia berkembang, sejak manusia pertama..."

   Yan Cu juga tertawa. Keduanya tertawa, saling rangkul dan saling berciuman, kemudian saling pandang dengan sinar mata penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh keheranan, kemudian menjadi penuh pengertian.

   "Aihhh... apa yang kita lakukan ini"?"

   Yan Cu berkata lirih. Cong San melepaskan pelukannya dan memandang isterinya.

   "Mengertikah engkau apa yang kumengerti? Apakah engkau merasakan apa yang kurasakan saat ini?"

   Yan Cu mengangguk. Suaminya mengangguk. Akan tetapi suaminya penasaran dan mendesak,

   "Kalau memang mengerti, apa?"

   "Keanehan yang sama kita rasakan! Peristiwa hebat melanda kita, memaksa kita meniadi orang-orang pelarian, dianggap pemberontak, kehilangan rumah, kehilangan toko, kehilangan harta benda, bahkan anak tunggal lari entah ke mana. Akan tetapi saat tadi yang terasa hanya kegembiraan. Aneh!"

   "Memang aneh bagi umum, akan tetapi sesungguhnya tidaklah aneh. Setiap peristiwa yang terjadi, terjadilah! Tergantung kita yang menghadapinya, kita yang tertimpa oleh peristiwa itu. Diterima dengan marah boleh. Diterima dengan susah, tidak ada yang melarang. Diterima dengan tenang seperti kita sekarang ini pun bisa. Tidak perlu kita saling menyalahkan, kita hadapi segala yang terjadi, sebagai sewajarnya dan kita bertindak sesuai dengan gerak hati dan pikiran yang benar."

   "Nah, itu baru cocok! Engkau suamiku yang hebat!"

   Yan Cu menarik leher suaminya dan mencium bibir suaminya penuh kasih sayang. Cong San membalasnya penuh rasa terima kasih dan bersyukur atas pernyataan cinta yang demikian mesra.

   "Dari pada ribut-ribut saling menyalahkan, lebih baik kita pergi mencari Kun Liong dan melanjutkan perjalanan bertiga. Betapa senangnya!"

   "Wah-wah, betapa anehnya. Kehilangan segala-galanya, engkau malah bergembira! Di dunia ini mana ada wanita ke dua sehebat engkau, isteriku?"

   "Hemm, wajahmu juga berseri-seri, engkau malah lebih bergembira daripada aku! Uang tiada, rumah tak punya, pakaian pun hanya yang berada di dalam buntalan kita. Hayo jawab, mengapa engkau malah gembira?"

   Cong San mengerutkan kulit di antara kedua alisnya, berpikir.

   "Hemm... agaknya, yang paling menggirangkan adalah kini terbebas dari orang-orang penyakitan itu. Setiap saat kita mengganggu kita, datang minta obat, minta periksa penyakitnya, membosankan!"

   "Iihhhh, kalau begitu tipis perikemanusiaanmu!"

   Isterinya mencela.

   "Mungkin! Akan tetapi sebutan perikemanusiaan itu pun palsu belaka, isteriku. Hanya dipergunakan untuk kedok, padahal sesungguhnya yang terpenting bagi kita kalau mengobati orang adalah jika orang itu sembuh. Kita merasa bangga, merasa senang, merasa lega dan puas. Bukan hanya karena upah dan keuntungannya, melainkan terutama sekali karena bangga itulah. Akan tetapi lambat laun menjadi membosankan juga..."

   "Dan kau tidak menyesal kehilangan rumah dan harta benda?"

   "Tidak sama sekali! Bahkan aku merasa lega! Seolah-olah semua harta benda itu tadinya menindih di atas kedua pundakku, membebani aku dengan penjagaan, rasa sayang, khawatir kehilangan, dan lain-lain. Sekarang, habis semua, habis pula beban itu! Dan engkau, apa yang membuatmu begini gembira?"

   "Agaknya, kebebasan seperti yang kaukatakan tadi itulah. Akan tetapi terutama sekali, aku merasa seperti burung terbang di udara, seperti dahulu lagi, hidup bebas lepas di dunia kang-ouw menghadapi segala rintangan dan bahaya, menggunakan ilmu untuk melindungi diri sendiri dan membela kebenaran, hidup malang-melintang di dunia, tidak dikurung di dalam rumah seperti seorang nyonya sinshe yang setiap hari harus memasak obat!"

   "Wah, celaka tiga belas!"

   Cong San memegang kepalanya.

   "Mengapa?"

   "Isteriku petualang! Dasar engkau berdarah petualang!"

   "Ihhhh!"

   Yan Cu mencubiti lengan dan paha suaminya yang mengaduh-aduh akan tetapi senda-gurau ini berakhir dengat peluk kasih sayang yang saling mereka curahkan di atas rumput tebal di bawah pohon pada waktu pagi itu. Tidak terasa lagi oleh mereka akan dinginnya embun yang berada di ujung-ujung rumput dan yang menyambut tubuh mereka. Matahari yang baru muncul tersenyum ria dan menyiram suami isteri itu dengan sinarnya yang keemasan.

   "Aihhh, masa di tempat terbuka begini...? Seperti orang terlantar..."

   Bisik Yan Cu.

   "Memang kita orang terlantar... petualang-petualang tak berumah..."

   Terdengar suara Cong San lirih.

   "Ingatkah kau malam-malam kita baru saja menikah? Beberapa malam kita berbulan madu di hutan, di alam terbuka seperti ini"

   Aih"

   Mesra...!"

   "Ihhh, sudah tua tak tahu malu! ah!"

   "Cinta tak mengenal usia..."

   Demikianlah, suami isteri itu tenggelam dalam madu asmara yang membuat mereka lupa segala, membuat mereka seperti ketika berbulan madu dalam suasana pengantin baru yang mereka lewatkan di dalam hutan juga, seperti keadaan mereka pada saat itu (baca ceritaPedang Kayu Harum). Setelah matahari naik tinggi, barulah tampak suami isteri ini melanjutkan perjalanan. Wajah mereka berseri-seri, mata bersinar-sinar, bibir tersenyum dan tangan mereka saling bergandengan ketika mereka melangkah keluar dari dalam hutan. Cong San mendengarkan cerita isterinya dengan sabar dan tenang.

   "Dia melepas ular beracun di dalam pesta tentu karena lapar, dan tidak sengaja menimbulkan kebakaran. Menurut penuturan orang di dusun depan, dia ditangkap dan dipukuli sampai bengkak-bengkak dan koyak-koyak pakaiannya akan tetapi dia dapat membebaskan diri dan lari entah ke mana."

   "Hemm, untung dia bisa melarikan diri. Dia mengalami banyak kesukaran, biarlah, hitung-hitung untuk gemblengan jiwanya."

   "Tapi kasihan sekali dia. Kita harus dapat segera menemukannya, kalau tidak, aku khawatir dia akan mengalami bencana. Dia masih terlalu kecil untuk merantau seorang diri, dan kepandaiannya juga masih terlalu rendah untuk dipakai melindungi diri."

   "Tentu saja kita akan mencarinya sampai dapat, isteriku. Akan tetapi, biarlah kesempatan ini kita pergunakan untuk membicarakan pendidikan terhadap anak kita itu. Biasanya, aku menuduhmu terlalu manja, sedangkan kau menuduhku terlalu keras. Ketika kita beristirahat tadi, aku meneropong kenyataan ini dan agaknya kita berdua telah berlaku terlalu mementingkan diri sendiri, isteriku."

   "Apa maksudmu?"

   Yan Cu memegang tangan suaminya dan menengadah, memandang wajah orang yang berjalan di sampingnya.

   "Baik caramu yang menyatakan kasih sayang kepada anak dengan terang-terangan sehingga kelihatan memanjakannya, maupun aku yang ingin melihat anak kita menjadi seorang anak baik sehingga aku kelihatan keras terhadap dia, sesungguhnya sikap kita berdua yang lalu itu hanya mencerminkan pendahuluan kepentingan kita sendiri."

   "Coba terangkan, aku tidak mengerti. Bukankah apa pun cara yang kita berdua pergunakan, sebagai ayah dan ibu, kita mementingkan anak kita? Bukankah kita, dengan cara kita masing-masing, ingin melihat dia menjadi seorang anak yang baik?"

   Cong San menarik napas panjang.

   "Itulah, isteriku sayang. Itulah salahnya, dan itulah kesalahan kita. Kita INGIN MELIHAT dia menjadi ini, menjadi itu. Kita ingin MEMBENTUK dia sesuai dengan keinginan dan selera kita, sehingga lupa bahwa dia itu, sebagai seorang yang hanya kebetulan terlahir sebagai anak kita, dia mempunyai hak untuk tumbuh sendiri, dia mempunyai kepribadian sendiri, dia berhak menentukan sendiri, bukan hanya menjiplak seperti yang kita paksakan untuk membentuk dia. Dia bukan boneka, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita! Kita telah keliru dalam mendidik putra kita itu, Yan Cu!"

   Yan Cu termenung. Dia dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Memang harus dia akui bahwa selama ini, baginya yang terpenting hanyalah keinginan hatinya sendiri! Dia ingin melihat puteranya begini, begitu, penurut, tekun belajar, dan lain-lain. Tidak pernah satu kali juga dia memperhatikan, apa sebenarnya yang disukai dan dikehendaki puteranya! Segala ingin dia atur sehingga jejak langkah hidup puteranya itu harus tepat seperti yang digariskannya! Betapa picik dan terlalu mementingkan diri sendiri itu! Dia mulai merasa menyesal dan terharu.

   "Habis, bagaimana baiknya dalam mendidik anak-anak kita, suamiku?"

   "Anak-anak kita? Anak kita hanya seorang Yan Cu."

   "Hemm, siapa tahu? Apakah engkau sudah merasa puas dan cukup hanya mempunyai seorang anak saja?"

   Cong San tersenyum dan merangkulkan lengannya di pundak isterinya, lalu mereka melangkah lagi perlahan-lahan.

   "Kita harus memberi kebebasan kepada anak kita, kita harus menuntun mereka agar mereka mengerti dan tahu akan arti dan pentingnya hidup bebas! Agar dia tahu belajar mengenai dirinya sendiri sehingga di dalam dirinya dia akan menemukan guru. Agar dia hidup wajar, tidak berpura-pura, tidak munafik dan yang terpenting, tidak seperti seekor kambing yang dituntun, atau seperti batang pohon lemah yang hanya bergerak mengikuti ke mana angin bertiup. Agar dia berkepribadian, kepribadiannya sendiri, bukan menjiplak kepribadianku atau kepribadianmu, karena kalau hidupnya hanya kita bentuk agar dia menjadi penjiplak saja, tiada bedanya dengan membentuk dia menjadi sebuah boneka hidup. Mengertikah engkau, isteriku?"

   Yan cu tidak menjawab, mengerutkan alisnya, kemudian baru berkata ragu-ragu.

   "Entah suamiku, aku tidak berani bilang sudah mengerti, akan tetapi rasanya aku dapat menerima, aku dapat melihat kebenarannya."

   Cong San menunduk dan mencium dahi muka yang terangkat itu, mesra dan penuh kasih.

   "Syukurlah, aku sendiri pun tidak mengerti betul. Pendapat ini begitu tiba-tiba, bukan merupakan pendapatku, melainkan aku seperti melihat kesalahan-kesalahan kita dalam mendidik dan kita harus melakukan perubahan."

   "Sudahlah, tentang mendidik Kun Liong kita bicarakan kelak saja. Anaknya pun belum ketemu!"

   Cong San menarik napas panjang.

   "Kau benar aku sudah melamun terlalu jauh."

   "Memang kau saja melamun? Aku pun sudah melamun, bukan soal pendidikan, melainkan kemana kita harus pergi kalau sudah mendapatkan Kun Liong."

   "Ke mana?"

   "Kurasa dalam keadaan seperti kita ini, sebagai pelarian, tidak ada tempat lain yang kita tuju kecuali satu, yaitu Cin-ling-san."

   "Keng Hong dan Biauw Eng"?"

   Yan Cu mengangguk. Hening sejenak.

   "Engkau benar. Siapa lagi yang akan dapat kita titipi Kun Liong kalau bukan mereka? Aihh, aku rindu sekali kepada mereka."

   Suami isteri itu melanjutkan perjalanan dan kini mereka menuju ke dusun seperti yang diceritakan Yan Cu, dan di depan mata mereka terbayanglah wajah sepasang suami isteri yang sakti, yang menjadi sahabat baik mereka, bukan hanya sahabat, bahkan melebihi saudara kandung! Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng! Siapakah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng isterinya, sepasang suami isteri sakti yang membuat Cong San dan Yan Cu termenung penuh kerinduan hati itu? Cia Ken Hong dapat dikatakan masih suheng (kakak seperguruan) dari Yan Cu, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian, tingkat pendekar sakti itu jauh di atas tingkat Yan Cu, bahkan jauh pula di atas tingkat kepandaian Cong San sendiri! Cia Keng Hong adalah seorang pendekar sakti yang pada waktu itu merupakan pendekar besar,

   Seorang di antara datuk-datuk atau "raja"

   Dunia persilatan! Pendekar sakti itulah yang telah berhasil mewarisi semua ilmu kepandaian manusia sakti Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong (Raja Pedang Kepalan Sakti), ayah kandung dari Sie Biauw Eng yang telah menjadi isterinya sendiri. Ilmu kepandaiannya hebat bukan main. Di sampingnya, isterinya juga terkenal sebagai seorang yang berilmu tinggi sekali sehingga di dunia kang-ouw, nama Gunung Cin-ling-san yang menjadi tempat tinggal mereka amatlah disegani dan jarang ada orang berani datang ke tempat itu kalau tidak ada kepentingan yang sangat mendesak. Tidaklah terlalu mengherankan apabila dalam keadaan mereka sedang mengalami kesukaran seperti itu Yan Cu dan Cong San, suami isteri ini teringat kepada pendekar sakti di Cin-ling-san itu.

   Tubuhnya penuh luka-luka, bukan luka yang berbahaya, akan tetapi cukup membuat seluruh tubuh terasa nyeri, bengkak-bengkak dan matang biru, ada pula yang terobek kulitnya dan mengeluarkan sedikit darah yang kini sudah mengering dan menghitam. Pakaiannya robek-robek sehingga keadaan Kun Liong pada waktu dia melarikan diri itu seperti seorang anak pengemis. Kini dia tidak berlari lagi karena tidak ada orang mengejarnya. Setengah malam penuh dia melarikan diri, naik turun bukit dan masuk keluar hutan. Kini matahari telah naik tinggi dan dia berjalan dengan tubuh sakit-sakit dan lelah. Dia bersungut-sungut. Betapa kejamnya manusia, pikirnya. Manusia seolah-olah merupakan tungku berisikan api panas yang mudah sekali mengeluarkan asap dan membakar siapa saja yang mendekatinya.

   Mudah sekali manusia marah dan berubah menjadi seperti binatang buas. Ah, lebih buruk dan lebih jahat lagi. Binatang buas menyerang bukan semata-mata untuk menyakiti, membalas dendam, atau karena marah, melainkan karena membutuhkan mangsa, untuk dimakan, seperti manusia menuai gandum untuk dimakan. Akan tetapi manusia, karena tersinggung hatinya atau dirinya atau rumahnya atau miliknya, menjadi marah, sakit hati dan siap untuk membunuh! Ayahnya sendiri tidak terkecuali. Karena tanpa disengajanya menyebabkan tumpahnya obat, sudah pasti ayahnya akan marah sekali kepadanya. Dan orang-orang kampung itu! Kepala kampung itu! Dia tidak sengaja membakar rumah, juga Kepala Koki tidak sengaja. Namun, hampir kepala koki itu dibunuh mereka. Dan kalau dia tidak dapat cepat melarikan diri, tentu sekarang dia sudah tak nyawa lagi!

   Hanya karena rumahnya terbakar oleh kecelakaan yang tak disengaja. Seolah-olah kalau membunuhnya, rumah yang terbakar itu akan pulih kembali! Betapa kejamnya manusia! Karena pikirannya terganggu oleh rasa penasaran, Kun Liong tidak ingat akan perutnya yang lapar. Setelah terjadi peristiwa kebakaran di dusun itu, dia makin tidak berani pulang betapa pun ingin hatinya. Kalau saja tidak terjadi peristiwa yang tentu akan membuat ayahnya makin marah kepadanya itu, dia akan nekat pulang dan rela menerima hukuman ayahnya karena menumpahkan obat. Dia sudah rindu kepada ibunya, rindu kepada kamarnya yang nyaman. Akan tetapi dia tahu betapa ayahnya akan marah besar kalau mendengar bahwa dia telah menjadi penyebab kebakaran dan hampir saja dia dikeroyok mati oleh orang-orang dusun!

   Kesalahan terhadap ayah bunda sendiri, ayahnya masih bersikap lunak. Akan tetapi kesalahan kepada orang lain pasti akan membuat ayahnya marah bukan main. Masih berdengung di telinganya betapa ayahnya secara keras, dan ibunya secara halus selalu memperingatkannya agar dia menjadi seorang anak baik, rajin dan pandai agar kelak dia menjadi seorang pendekar budiman! Pendekar budiman, sebutan itu sampai hafal dia! Hafal dengan penuh rasa muak! Dia tidak ingin menjadi pendekar budiman! Dia tidak sudi! Biarlah dia menjadi Kun Liong yang biasa saja! Menjelang senja dia tiba di luar sebuah dusun. Barulah terasa olehnya betapa perutnya lapar bukan main, tubuhnya sakit-sakit dan kedua kakinya lelah dan lemas. Teringat akan pakaiannya dan sakunya yang kosong sama sekali,

   

Pusaka Pulau Es Eps 19 Pedang Kayu Harum Eps 44 Pedang Kayu Harum Eps 7

Cari Blog Ini