Petualang Asmara 34
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 34
"Mengapa Ji-wi harus saling serang? Ada jalan yang amat mudah dan baik. Nona ini datang untuk minta kembali suaminya, pemuda gundul itu, dan Sin-kouw juga menuntut agar muridnya, Nona Pek Hong Ing kembali bersama dia. Nah, ada urusan apa lagi? Biarlah pemuda gundul itu pergi bersama Kim Seng Siocia, sebaliknya Nona Pek Hong Ing ikut bersama gurunya, bukankah beres sudah dan tidak perlu timbul pertandingan yang tiada gunanya?"
Kim Seng Siocia dan Go-bi Sin-kouw saling pandang kemudian keduanya mengangguk-angguk. Memang tidak ada perlunya mereka harus bertanding, pula memang di dalam hati masing-masing telah timbul perasaan jerih. Go-bi Sin-kouw maklum akan kelihaian wanita gendut itu, dan sebaliknya, Kim Seng Siocia juga maklum bahwa agaknya Go-bi Sin-kouw dibantu oleh Pangeran dan tentara kerajaan sehingga amatlah berbahaya kalau sampai dia bentrok dengan mereka.
"Hi-hi-hik, memang tepat sekali! Go-bi Sin-kouw, kita adalah tetangga, perlu apa mesti saling bermusuhan? Aku tidak membutuhkan muridmu, hanya menginginkan kembalinya suamiku."
"Memang apa yang diucapkan Pangeran Han Wi Ong benar sekali, Kim Seng Siocia. Aku pun hanya membutuhkan kembalinya muridku. Nah, kaubawalah suamimu dan kuharap kau tidak lupa untuk mengirim undangan, sedangkan aku pun pasti akan mengharapkan kedatanganmu untuk mencicipi arak merah jika muridku melangsungkan pernikahannya dengan Pangeran Han Wi Ong."
Kim Seng Siocia terkekeh girang.
"Kalian sungguh tidak tahu aturanya!"
Tiba-tiba Kun Liong menegur dengan suara lantang dan pemuda ini sudah bergerak maju beberapa langkah sedangkan Hong Ing mengikuti di belakangnya dengan muka pucat. Dara ini sudah merasa putus harapan karena maklum bahwa mana mungkin dia dan Kun Liong mampu menghadapi subonya dan Kim Seng Siocia ditambah lagi dengan pasukan Pangeran dan anak buah wanita gemuk itu?
"Kun Liong, sudahlah, kau pergilah, lekas lari tinggalkan aku..."
Hong Ing memegang lengannya.
"Engkau diamlah, Hong Ing dan serahkan urusan ini kepadaku,"
Kata Kun Liong yang kemudian memandang kepada Kim Seng Siocia, Go-bi Sin-kouw, dan Pangeran Han Wi Ong bergantian dengan mata bersinar-sinar penuh penasaran.
"Kalian bertiga membicarakan kami berdua seolah-olah kami bukan manusia! Kami berdua bukanlah binatang-binatang peliharaan yang boleh kalian atur sesuka hati kalian! Kami berdua adalah manusia-manusia yang mempunyai pendirian sendiri dan sudah sepatutnya kalian bertanya kepada kami, mendapatkan persetujuan kami sebelum mengambil keputusan sesuatu mengenal diri kami."
"Coba lihat, bukankah gagah perkasa suamiku ini? Hi-hik, Koko yang baik, kau mau bicara apakah? Nanti saja kita bicarakan di dalam kamar, lebih enak bukan?"
"Kim Seng Siocia, tidak perlu kau melanjutkan sikap gila itu! Aku bukan suamimu, belum pernah menjadi suamimu dan takkan menjadi suamimu. Karena aku tahu bahwa engkau tidak waras pikiran, maka kemarin aku masih mengampunimu dan menaruh kasihan kepadamu. Mengapa kau melanjutkan kegilaanmu? Dan kau Go-bi Sin-kouw. Sekarang Hong Ing bukanlah muridmu lagi, tidak boleh kau hendak memaksanya melakukan sesuatu di luar kehendaknya."
Baru saja Kun Liong berhenti bicara, Kim Seng Siocia mengeluarkan suara melengking keras dan nyaring sekali, seperti suara seekor burung garuda marah dan suara ini disusul oleh meledak-ledaknya cambuk panjang di tangannya yang sudah menyambar-nyambar turun ke arah kepala Kun Liong.
Wanita gendut ini marah sekali. Ketika dia disedot sin-kangnya di atas pembaringan malam tadi, dia sudah terkejut sekali dan dapat menduga bahwa itulah Ilmu Thi-khi-i-beng yang kabarnya hanya dimiliki oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Maka timbullah dugaannya, bahwa tentu ada hubungan di antara pemuda gundul itu dengan Cia Keng Hong, musuh besarnya. Dia merasa betapa tenaganya tinggal setengahnya dan biarpun dia sudah melakukan siu-lian dan mengumpulkan hawa sakti, ketika pada keesokan harinya dia melakukan pengejaran dengan seluruh anak buahnya, tenaganya masih belum pulih seluruhnya. Inilah sebabnya mengapa ketika dia mengadu tenaga dengan Go-bi Sin-kouw, dia hanya seimbang dengan nenek itu, padahal dalam keadaan biasa, dia tentu jauh lebih kuat.
Kemarahannya memuncak dan mengandalkan bantuan Go-bi Sin-kouw, anak buahnya dan pasukan Pangeran Han Wi Ong, dia kini menerjang Kun Liong dengan maksud, kalau mungkin menawannya, kalau tidak membunuhnya! Tentu saja dia senang sekali kalau berhasil menawan pemuda gundul ini karena selain dia ingin memperoleh tubuhnya, juga dia ingin mempelajari Thi-khi-i-beng dan ingin pula bertanya tentang bokor emas seperti yang diceritakan oleh Marcus kepadanya. Kun Liong cepat menghindarkan diri dan berusaha menangkap ujung cambuk, namun Kim Seng Siocia sudah menarik kembali cambuknya. Dia berteriak kaget ketika tubuh Kun Liong dengan kecepatan kilat telah meloncat ke arahnya pada saat cambuk ditarik kembali, dan tahu-tahu tangan pemuda itu sudah menyambar hendak merampas gagang cambuk.
"Aihhh... duuukkk!"
Terpaksa Kin Seng Siocia menangkis dengan tangan kirinya, tangkisan yang dilanjutkan dengan dorongan ke arah pundak Kun Liong. Gerakannya tak tersangka-sangka sehingga pundak pemuda itu dapat didorongnya akan tetapi akibatnya, dia sendiri yang terlengkang sehingga dia cepat melempar tubuhnya ke atas tanah lalu bergulingan.
"Murid murtad!"
Pada saat itu kedua lengan Go-bi Sin-kouw sudah mencengkeram ke arah Hong Ing untuk menangkap muridnya itu. Betapa pun marahnya kepada Hong Ing, dia tidak mau memukul hanya ingin menangkap karena dia masih mengharapkan muridnya menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong karena hal ini akan mengangkat derajatnya sebagai guru atau mertua seorang pangeran!
"Plak! Plak!"
Nenek itu menjerit dan terhuyung ke belakang ketika lengannya tertangkis oleh lengan Kun Liong. Pemuda ini setelah membuat Kim Song Siocia terjengkang telah menyambar cepat ke arah Hong Ing ketika dia melihat dara itu diserang oleh gurunya dan sama sekali tidak bergerak untuk menghindarkan diri. Hong Ing terbelalak. Hampir dia tidak dapat percaya. Yang dilihatnya tadi terlalu aneh. Gurunya dan Kim Seng Siocia, kedua orang yang sakti itu, terguling oleh gempuran Kun Liong hanya dalam segebrakan saja?
"Hong Ing, kau larilah...!"
Kun Liong cepat berkata, sambil menyambar lengan dara itu dan ditariknya Hong Ing yang tadi berlutut itu sehingga berdiri. Hong Ing masih bengong memandang kepadanya, lalu dara itu menggeleng kepala.
"Aku pergi dan kau...?"
"Wuuutt... tar-tarr...!"
Kun Liong mendorong tubuh Hong Ing sehingga dara ini terguling, sedangkan dia sendiri cepat meloncat ke samping menghindarkan diri dari sambaran cambuk di tangan Kim Seng Siocia.
Namun ujung cambuk itu terus membalik dan mengejarnya ke manapun juga dia bergerak. Kun Liong menjadi repot juga dan tiba-tiba dia mengelak sambil melempar tubuh ke atas tanah ketika cambuk itu kembali menyambar. Sambil berguling dia genggam tanah bercampur pasir di tangannya, kemudian terus bergulingan mendekati Kim Seng Siocia. Ketika dia melirik dan melihat Go-bi Sin-kouw kembali sudah menghampiri Hong Ing yang kelihatan gentar dan tidak berani melawan, tiba-tiba Kun Liong memekik keras sekali, mengejutkan hati semua orang, kedua tangannya bergerak ketika tubuhnya mencelat ke atas dan... batu bercampur pasir meluncur ke arah Kim Seng Siocia dan Go-bi Sin-kouw!
"Hayaaa...!"
Kim Seng Siocia berseru dan cepat memutar cambuk memukul sinar itu. Juga Go-bi Sin-kouw terkejut menarik kembali tangannya yang tadi hendak memegang lengan muridnya dan dia dapat meloncat dan berjungkir balik menghindarkan diri dari sambaran sinar kehitaman itu. Mereka telah dapat menghindarkan diri dari sambaran tanah, akan tetapi debu masih mengebul, membuat mereka cepat mundur karena mengira babwa Kun Liong telah melepaskan benda mengandung racun. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong untuk mendekati Hong Ing dan dia berbisik,
"Pergilah. Aku dapat melawan mereka."
"Mana mungkin?"
Hong Ing berbisik dengan wajah penuh putus asa.
"Kita sudah terkepung oleh tentara dan anak buah Kim Seng Siocia..."
"Pakai akal! Menyelinap di antara pasukan... yang lihai hanya mereka berdua..."
"Siuuuttt... tar-tar-tar...!"
Kun Liong terkejut karena dia sedang mendorong tubuh Hong Ing ke arah pasukan tentara yang mengepung sehingga kurang cepat dia mengelak dan sambaran ke tiga dari cambuk itu telah mengenai pundaknya. Bajunya di bagian pundak itu robek dan sedikit kulit pundaknya tergigit robek oleh piauw yang diikat di ujung cambuk sehingga berdarah.
"Wirrr...!"
Tongkat di tangan Go-bi Sin-kouw menyambar dan Kun Liong cepat meloncat ke kanan, mengelak. Di lain saat dia telah dikeroyok oleh dua orang wanita lihai itu sehingga dia harus berloncatan ke sana-sini untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi hatinya lega karena Hong Ing telah menurut permintaannya. Dara itu telah lenyap dan menyelinap di antara pasukan sehingga terjadilah kekacauan di antara pasukan yang berusaha menangkap dara itu. Namun bagi Hong Ing, mereka itu adalah makanan lunak sehingga dia dapat bergerak leluasa meloncat ke sana-sini dan keributan yang terjadi di sekelilingnya membuat gurunya dan juga Kim Seng Siocia tidak mungkin menghampirinya, apalagi karena dua orang wanita lihai itu sedang sibuk mengeroyok Kun Liong yang terlalu gesit bagi mereka.
Pangeran Han Wi Ong yang khawatir kehilangan calon isterinya yang dicintainya, cepat lari dan mengejar Hong Ing sambil mengerahkan para pengawalnya dan berkali-kali dia berteriak agar anak buahnya jangan melukai dara itu. Sementara itu, anak buah Kim Seng Siocia yang dipimpin oleh Acui dan Amoi, juga Marcus, sudah mengurung tempat itu dan melihat betapa Kim Seng Siocia sudah bertanding melawan Kun Liong, tanpa diperintah lagi mercka sudah maju, terutama sekali Acui dan Amoi yang merupakan bantuan berharga bagi Kim Seng Siocia. Kun Liong merasa sibuk bukan main, menghadapi cambuk Kim Seng Siocia dan Go-bi Sin-kouw saja dia sudah merasa terancam, apalagi kini muncul Acui dan Amoi, sedangkan puluhan orang dara anak buah Kim Seng Siocia sudah mengepung dengan senjata di tangan.
Kalau saja Kun Liong tidak berpendirian bahwa dia tidak akan melukai apalagi membunuh orang, kiranya dia akan dapat lolos dengan mudah sambil merobohkan beberapa orang di antara pengeroyok-pengeroyoknya. Akan tetapi karena dia hanya membela diri dan menyelamatkan diri, maka dia menjadi repot sekali dan beberapa kali dia sudah terkena gebukan tongkat Go-bi Sin-kouw yang membuat nenek itu berteriak kaget dan terbelalak karena setiap gebukannya tidak membuat pemuda gundul itu roboh, bahkan telapak tangannya sendiri terasa nyeri! Kadang-kadang Kun Liong menoleh ke arah Hong Ing yang tadi menyelinap di antara pasukan pemerintah. Ketika melihat betapa di situ masih kacau tanda bahwa Hong Ing masih berada di antara pasukan pemerintah dan dikeroyok oleh pasukan, Kun Liong menjadi makin khawatir. Mengapa dara itu tidak lekas-lekas melarikan diri?
Dia tidak mempedulikan keadaannya sendiri karena dia akan dapat dengah mudah membebaskan diri, akan tetapi dia amat khawatir kalau-kalau Hong Ing tertawan lagi dan dia amat sukar menyelamatkannya, mengingat betapa banyaknya lawan yang dihadapinya. Maka dia lalu mengambil keputusan untuk mengeluarkan kepandaian dan membuat lawan tidak berdaya lebih dulu agar dia dapat melarikan Hong Ing. Ketika cambuk yang amat berbahaya dari Kim Seng Siocia menyambar lagi, disusul oleh hantaman tongkat oleh Go-bi Sin-kouw dan serangan kilat dengan pedang yang dilakukan oleh Acui dan Amoi, Kun Liong cepat menendang tongkat nenek itu dengan pengerahan tenaganya setelah berhasil mengelak dari sambaran cambuk, memukul jatuh pedang di tangan Acui dan menangkap pergelangan tangan Amoi yang memegang pedang.
"Lepaskan!"
Amoi membentak dan menghantamkan tangan kirinya ke arah leher Kun Liong.
"Plak! Plak! Aihhh, lepaskan aku...!"
Amoi menjerit-jerit ketika telapak tangan kirinya yang tepat menghantam leher itu melekat tak dapat ditarik kembali, bahkan kini lengan kiri Kun Liong sudah merangkul pinggangnya yang ramping dengan ketat dan gadis itu merasa betapa tenaga sin-kangnya menerobos keluar dihisap oleh tenaga mujijat yang keluar dari leher dan lengan pemuda itu. Melihat keadaan Amoi, Acui cepat maju dan memukul punggung Kun Liong.
"Bukk! Aihhh...!"
Juga Acui menjerit-jerit dan meronta-ronta untuk membebaskan tangannya yang menempel di punggung Kun Liong. Namun, karena dia telah menjadi korban penghisapan Thi-khi-i-beng, makin hebat dia meronta, makin kuat dia mengerahkan sin-kang, makin kuat pula telapak tangannya melekat dan sin-kangnya terbetot dan terhisap makin banyak pula.
Dua orang gadis itu menjerit-jerit dan mereka berdua meronta-ronta, berusaha memukul, menendang, bahkan menggigiti Kun Liong merasa kegelian juga sehingga beberapa kali dia melepaskan sin-kangnya dan akhirnya dua orang gadis itu kelihatan seperti sedang membelainya, yang seorang merangkul lehernya dari belakang dan yang ke dua memeluk pinggang dari depan. Melihat ini, Go-bi Sin-kouw lalu maju dan memegang lengan Amoi, menariknya dengan pengerahan sin-kang untuk membantu gadis itu terlepas. Biarpun dia tidak mengenal Amoi dan tidak peduli akan apa yang menimpa diri gadis ini, namun dia tahu bahwa kedua orang gadis itu adalah anak buah Kim Seng Siocia dan yang telah membantunya menghadapi pemuda gundul lihai itu, maka dianggapnya sebagai kawan juga, maka dia mencoba untuk menolongnya agar pihaknya kuat lagi.
Akan tetapi dia pun terpekik penuh kekagetan ketika merasa betapa tangannya yang memegang lengan Amoi itu melekat dan ada daya sedot luar biasa yang menghisap tenaga sin-kangnya melalui lengan gadis yang dipegangnya itu! Dia berteriak dan mengerahkan sin-kangnya membetot, namun dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika sin-kang yang dikerahkannya itu seolah-olah membanjir memasuki lengan Amoi yang dipegangnya! Memang hebat bukan main Thi-khi-i-beng. Sekali dikerahkan, daya sedotnya sedemikian kuatnya sehingga dapat menembus tubuh orang lain seolah-olah aliran listrik! Maka terjadilah hal yang amat lucu. Betot-membetot ini tidak hanya terjadi antara tiga orang itu, melainkan makin bertambah ketika anak buah Kim Seng Siocia ikut pula mengeroyok Kun Liong untuk membantu kedua orang pelayan kepala yang melekat kepada pemuda gundul itu.
Namun, setiap orang gadis sekali bergerak memegang tubuh Acui, Amoi, Go-bi Sin-kouw atau tubuh Kun Liong sendiri, kontan melekat dan terhisap sin-kangnya! Hal ini malah membuat Kun Liong menjadi payah! Terlalu banyak tenaga sin-kang yang membanjiri tubuhnya. Biarpun dia sudah dapat menguasai Thi-khi-i-beng dan dapat menghentikan daya hisap itu sewaktu-waktu yang dikehendakinya, namun karena dia masih belum berpengalaman dalam menguasai ilmu mujijat ini, sekarang kebanjiran tenaga membuat dia seperti mabok, merasa tubuhnya seperti sebuah balon karet yang terus ditiup sampai sebesar-besarnya, merasa seolah-olah tubuhnya akan pecah meledak setiap saat, pemuda itu pun hanya dapat mengeluh,
"Lepaskan aku..., lepaskan aku... jangan pegang...!"
Dan dia pun roboh telentang dan tujuh orang wanita yang melekat kepadanya itu ikut pula terbawa, roboh menindih tubuhnya! Memang lucu pemandangan ini, seolah-olah tujuh orang wanita, yang seorang nenek-nenek, sedang mengeroyok dan menggulat Kun Liong! Kim Seng Siocia sudah mengerti apa yang terjadi.
"Celaka, kalian menjadi korban Thi-khi-i-beng!"
Teriaknya dan dia memutar-mutar cambuknya akan tetapi tidak berani sembarangan mempergunakannya karena tubuh Kun Liong seolah-olah terlindung oleh tubuh tujuh orang itu.
Lebih sulit lagi, kini Acui dan Amoi yang merasa betapa hawa sin-kang mereka tersedot oleh Kun Liong dan betapa tubuh mereka menindih, merasakan kemesraan aneh seolah-olah mereka akan dibawa mati bersama-sama pemuda itu dan keduanya kini tidak mengeluh lagi, melainkan merintih perlahan dan menciumi muka pemuda gundul itu dengan mesra! Hal ini membuat Kun Liong makin gelagapan lagi, maka dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dari pusarnya, mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menarik kembali tenaga hisap. Hal ini amat sukar dilakukan karena tubuhnya seperti membengkak, membuat dia sukar bergerak. Namun akhirnya dia berhasil. Dia tidak ingin membunuh tujuh orang wanita itu dan dia maklum bahwa kalau dia tidak cepat-cepat dapat menarik kembali daya hisap dari Thi-khi-i-beng, tentu mereka akan mati dalam keadaan lemas kehabisan tenaga.
"Aughhh...!"
Berturut-turut tujuh orang wanita itu mengeluh ketika tiba-tiba daya hisap itu lenyap dan mereka dapat melepaskan diri dari pemuda itu. Go-bi Sin-kouw meloncat ke belakang dan terhuyung-huyung, mukanya pucat dan tangannya yang memegang tongkat menggigil, matanya memandang terbelalak penuh kengerian kepada Kun Liong dan bibirnya yang kebiruan itu berkata perlahan.
"Thi-khi-i-beng...!"
"Tar-tar-tar...!"
Kini ujung cambuk di tangan Kim Seng Siocia meledak-ledak di atas tubuh Kun Liong. Pemuda ini terkejut sekali dan menggulingkan tubuhnya ke kanan kiri untuk menghindar dari sambaran ujung cambuk itu.
"Hi-hi-hik! Aku tahu bahwa engkau telah menggunakan Thi-khi-i-beng semalam, akan tetapi aku sudah siap untuk ilmu itu! Cambukku inilah yang akan melumpuhkan Ilmu Thi-khi-i-beng dan akan mencabut nyawamu!"
Kun Liong merasa betapa tubuhnya digigit ujung cambuk yang dipasangi piauw tajam meruncing itu. Dia tahu pula bahwa ujung piauw itu beracun, akan tetapi untuk ini dia tidak khawatir karena tubuhnya sudah kebal akan racun. Akan tetapi rasa nyeri membuat dia harus melanjutkan satu-satunya jalan untuk membela diri, yaitu bergulingan di atas tanah. Gerakannya gesit sekali akan tetapi celakanya tubuh yang penuh hawa sin-kang kelebihan itu sukar sekali dikendalikan sehingga gerakannya bergulingan menjadi kacau, kadang-kadang terlampau cepat sampai dia menjadi pening sendiri!
"Tahan senjata! Bebaskan dia, kalau tidak, aku akan membunuh pangeran ini"
Kim Seng Siocia menengok, demikian pula Go-bi Sin-kouw dan yang lain-lain. Ternyata yang berseru itu adalah Pek Hong Ing dan dara ini telah merampas sebatang pedang lawan dan kini dia telah menempelkan pedangnya di leher Pangeran Han Wi Ong, sedangkan tangan kirinya mencengkeram tengkuk pangeran itu. Wajah Pangeran Han Wi Ong menjadi pucat dan dia berkata dengan suara parau,
"Lepaskan dia... lepaskan...!"
Kim Seng Siocia memandang ragu. Bagaimana dia mau melepaskan Kun Liong yang amat dibutuhkan itu hanya untuk menolong pangeran itu? Cambuknya sudah meledak-ledak lagi, akan tetapi Go-bi Sin-kouw dan para pasukan pemerintah sudah bergerak maju menghadangnya dengan sikap bermusuh!
"Kim Seng Siocia, yang terpenting adalah keselamatan Pangeran!"
Bentak Go-bi Sin-kouw garang. Biarpun nenek ini masih belum pulih, tubuhnya terasa lemah kepalanya pening karena terlampau banyak sin-kangnya terhisap oleh Kun Liong, namun dia siap untuk menyerang wanita gemuk itu demi keselamatan pangeran yang amat diharapkannya akan mengangkat tinggi derajatnya itu.
Selagi Kim Seng Siocia meragu, tiba-tiba tampak tubuh Kun Liong yang rebah di atas tanah itu mencelat tinggi sekali ke atas, seperti sebatang anak panah dan pemuda itu sendiri berseru kaget. Betapa dia tidak akan kaget karena ketika melihat kesempatan baik ini, dia bermaksud mencelat ke tempat Hong Ing menawan Sang Pangeran, akan tetapi dia lupa bahwa tubuhnya berada dalam keadaan yang tidak sewajarnya, maka begitu dia mengerahkan tenaganya meloncat, tubuhnya itu bukan melayang ke arah Hong Ing, melainkan mencelat ke atas seperti dilontarkan. Maka dia memekik kaget, akan tetapi tentu saja mereka yang menonton dari bawah, termasuk Kim Seng Siocia, tidak tahu bahwa teriakannya itu karena kaget.
Mereka semua memandang dengan mata terbelalak penuh kagum dan gentar karena belum pernah mereka selama hidup mereka menyaksikan ada orang dapat meloncat seperti itu! Kun Liong dapat menguasai tubuhnya, tidak sampai melayang turun seperti sebuah batu, melainkan dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan membiarkan tubuhnya melayang turun ke dekat Hong Ing. Dara ini memandang kepadanya dengan mata penuh kekaguman pula. Tadi Hong Ing telah menyaksikan semua dan dia seperti dalam mimpi. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa pemuda gundul itu ternyata memiliki ilmu kepandaian sehebat itu! Bukan saja lebih lihai dari gurunya sendiri, juga lebih lihai dari Kim Seng Siocia dan bahkan dia merasa yakin bahwa kalau pemuda itu menghendaki biarpun dikeroyok oleh semua orang itu tidak akan kalah!
"Hong Ing, terima kasih atas pertolonganmu."
Hong Ing merasa jantungnya seperti ditusuk. Bukan main pemuda ini! Sudah jelas pemuda ini yang berusaha menolongnya mati-matian, sekarang untuk bantuannya menawan Pangeran Han Wi Ong, bantuan yang tidak banyak artinya ini, Kun Liong serta merta menghaturkan terima kasih!
"Sekarang bagaimana, Kun Liong?"
Dia bertanya sambil menempelkan pedang di leher Pangeran Liong, tentu saja dia tidak berani lagi memimpin dan membiarkan Kun Liong yang mengambil keputusan.
"Mari kita lari dari tempat ini."
"Tapi... kita harus membawa pangeran ini sebagai sandera..."
"Jangan, Hong Ing. Kasihan dia. Sudah luput mendapatkan dirimu, masih dijadikan sandera lagi. Sekarang pun kita sudah terlalu banyak membuat dosa terhadap pemerintah. Marilah!"
Dia menggandeng tangan Hong Ing, kemudian meloncat dan dara itu menjerit penuh kengerian. Siapa yang tidak merasa ngeri kalau melihat betapa tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas seperti diterbangkan seekor burung saja? Kun Liong sendiri terkejut. Dia lupa lagi! Akan tetapi dia tidak menjadi gugup, sambil memeluk pinggang Hong Ing dia mengatur tubuhnya sehingga mereka dapat meluncur turun jauh dari situ lalu keduanya melarikan diri secepatnya. Suara derap kaki banyak orang di belakang membuat mereka mengerti bahwa mereka berdua dikejar! Maka keduanya harus berlari. Kun Liong mengerahkan gin-kangnya dan karena Hong Ing kalah jauh,
Maka dara ini yang sudah mengerahkan gin-kangnya masih saja terseret dan seolah-olah kedua kakinya tidak menyentuh bumi karena dia seperti bergantung kepada lengan Kun Liong. Beberapa hari kemudian Kun Liong dan Hong Ing tiba di luar tembok kota Guan-tin, tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat kota raja. Mereka telah melarikan diri hampir dua pekan lamanya dan merasa lega bahwa mereka telah berhasil meninggalkan para pengejar mereka. Memang mereka telah berhasil menghindarkan diri dari kejaran pasukan pengawal Pangeran Han Wi Ong dan anak buah Kim Seng Slocia. Hal ini terutama sekali karena pengejaran pasukan itu mengalami kelambatan dengan adanya kerja sama dengan anak buah dari Go-bi-san yang sebagian besar terdiri dari wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan genit itu.
Tidak dapat dicegah pula terjadinya permainan di antara mereka, yaitu antara para gadis anak buah Kim Seng Siocia dan para anggauta pasukan pengawal pangeran! Melihat hal ini, baik Kim Seng Siocia maupun Pangeran Han Wi Ong tidak dapat mencegah dan membiarkannya saja, bahkan peristiwa itu menambah erat perhubungan di antara mereka. Pangeran Han Wi Ong menghendaki bantuan wanita gemuk yang lihai ini dan sebaliknya, Kim Seng Siocia tentu saja merasa senang dapat bekerja sama dengan seorang pangeran yang mempunyai kedudukan tinggi di istana kaisar. Akan tetapi Pangeran Han Wi Ong tentu saja tidak menghentikan usahanya melakukan pengejaran. Biarpun dia sendiri tidak melakukan pengejaran, namun dia tidak pernah dapat melupakan Hong Ing dan karenanya, selain minta kepada Go-bi Sin-kouw dan Kim Seng Siocia untuk terus mengejar,
Juga dia telah mengirim utusan-utusan berkuda ke kota raja dan di sepanjang jalan para utusan itu menyebar berita bahwa dua orang yang bernama Yap Kun Liong dan Pek Hong Ing menjadi orang buruan pemerintah! Bahkan pangeran yang pandai melukis ini telah melukiskan wajah kedua orang itu, dan tentu saja baik Kun Liong maupun Hong Ing dilukis sebagai seorang pemuda dan seorang gadis yang gundul kepalanya. Kun Liong dan Hong Ing berjalan perlahan menuruni lereng pegunungan terakhir dari mana sudah tampak kota Guan-tin. Tiba-tiba mereka mendengar derap kuda dan keduanya cepat menyelinap dan bersembunyi. Serombongan tentara berkuda melewat cepat dan setelah rombongan tujuh orang itu pergi jauh menuju ke kota Guan-tin, barulah mereka keluar dari balik semak-semak.
"Ahh, betapa tidak enaknya hidup dikejar-kejar seperti ini..."
Hong Ing mengeluh.
"Seperti binatang buruan saja, atau... aku merasa seperti menjadi seorang penjahat besar yang takut melihat alat pemerintah!"
"Kita harus bersikap hati-hati. Belum tentu mereka itu mengejar kita. Sabarlah, Hong Ing. Setelah kita masuk kota di depan itu, dan di sana terdapat sebuah kuil Kwan-im-bio, engkau tentu akan memperoleh tempat yang aman dan tenteram."
Keduanya berjalan lagi dan sampai lama tidak mengeluarkan suara, namun kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Kun Liong itulah yang membuat mereka berdua diam dengan alis berkerut dan wajah keruh tanpa mereka sendiri sadari. Akhirnya Kun Liong menarik napas panjang seolah-olah menghibur diri sendiri dan terdengar dia berkata dengan suara datar,
"Engkau memang memerlukan tempat yang tenang di mana engkau dapat hidup tanpa gangguan lagi. Subomu juga pangeran itu, tentu takkan tinggal diam dan akan terus mencarimu. Memang tidak enak hidup menjadi orang yang dikejar-kejar."
"Dan engkau...?"
Hong Ing bertanya, menghentikan langkahnya dan memandang pemuda itu. Kun Liong juga menghentikan langkahnya, menoleh. Mereka saling berpandangan.
"Aku? Aku kenapa?"
"Engkau akan menjadi orang buruan, akan dikejar terus."
Kun Liong tersenyum.
"Jangan khawatir, Hong Ing. Pangeran itu tidak membutuhkan aku, sedangkan kalau Kim Seng Siocia mengejarku, hemm... lain kali aku akan memberi pengajaran kepadanya agar tidak dilanjutkan cara hidupnya yang busuk itu."
"Kun Liong, karena aku berkali-kali engkau mengalami kesengsaraan dan terancam bahaya."
"Ah, jangan berkata demikian. Dalam keadaan seperti kita sekarang ini, kita berdua sama saja entah aku yang menyeretmu ataukah engkau yang menyeretku. Betapapun juga, kita berdua masih dapat mengatasinya dan masih selamat sampai saat ini. Mari kita melanjutkan perjalanan kita. Mudah-mudahan sampai di kota depan itu saja."
Dan tiba-tiba wajah Kun Liong menjadi muram lagi. Kini dia merasa heran sekali dan tiba-tiba dia sadar bahwa dia sama sekali tidak menghendaki perjalanan bersama Hong Ing ini berakhir! Dia menginginkan agar mereka berdua terus melakukan perjalanan bersama.
Biarpun menjadi orang-orang buronan, atau orang buruan, betapapun sengsaranya, kalau mereka berdua berdampingan, agaknya dia tidak akan merasa sengsara! Membayangkan betapa dia akan berpisah, meninggalkan Hong Ing di dalam kuil Kwan-im-bio dan dia seorang diri melanjutkan perjalanan, benar-benar amat memberatkan hatinya. Ada apakah dengan perasaan hatinya? Dia mengerling ke kiri dan melihat betapa wajah yang cantik itu pun muram seperti orang bersusah hati. Tentu saja, pikirnya. Betapa tidak akan susah hati dara ini yang dikejar-kejar oleh gurunya sendiri? Bagi Hong Ing, hidupnya sudah tidak ada harapan lagi. Tadinya hanya ada dua orang yang penting baginya, yaitu sucinya dan subonya. Kini subonya seperti memusuhinya, dan sucinya telah pergi jauh entah ke mana.
Tentu saja Hong Ing bersusah hati, dan kesusahan hati dara itu sama sekali berbeda dengan kesusahan hatinya. Jauh sekali bedanya. Tentu saja Hong Ing tidak pernah menyusahkan perpisahan mereka. Kun Liong memaki diri sendiri. Seorang dara seperti Hong Ing, cantik jelita tanpa cacat, seorang dara yang menolak pinangan seorang pangeran yang tampan dan gagah serta berkedudukan tinggi seperti Pangeran Han Wi Ong, seorang dara berwatak bersih seperti Hong Ing yang rela menjadi seorang nikouw daripada dipaksa menjadi isteri pangeran, sungguh tak mungkin sama sekali ingin berdampingan dengan orang macam dia! Seorang pemuda yang menderita penyakit kepala gundul, bodoh, miskin sehingga sebuah rambut pun tidak punya, tidak mempunyai harapan untuk masa depan, siapa sudi kepadanya?
"Tolol!"
Kun Liong memaki diri sendiri. Mengapa dia menjadi makin berduka mengenangkan semua ini? Biasanya, dia tidak begini. Biasanya dia tidak menyusahkan sesuatu, tidak memikirkan kemiskinan dan kebodohannya. Untung mereka telah tiba di kota Guan-tin. Keramaian kota menghibur dan membuat Kun Liong 1upa akah kedukaannya.
"Mari kita mencari warung nasi, perutku lapar sekali dan aku masih mempunyai bekal uang,"
Kata Kun Liong.
"Setelah makan, baru kita mencari Kuil Kwan-im-bio. Kota ini cukup ramai, kurasa tentu ada Kwan-im-bio di sini."
Hong Ing hanya mengangguk dan mereka mencari-cari sebuah warung nasi. Dari jauh sudah kelihatan sebuah warung nasi yang cukup ramai dan ke sanalah mereka menuju. Akan tetapi tiba-tiba Hong Ing menuding ke kiri. Kun Liong menoleh dan tertarik melihat sekelompok orang berkumpul di situ memandangi sesuatu yang ditempelkan di dinding.
"Apakah itu? Mari kita menengok sebentar,"
Kun Liong berkata. Keduanya lalu menghampiri dan begitu melihat, mereka menjadi terkejut sekali. Kiranya yang menempel di atas dinding adalah gambar mereka berdua! Di atas gambar itu tertulis nama mereka yang disebut sebagai orang pelarian dan penjahat besar!
"Heiii, inilah mereka...!"
Tiba-tiba seorang di antara mereka yang memandangi gambar itu berteriak. Kun Liong mendongkol sekali. Orang itu bermata juling. Mengapa justeru orang yang matanya juling malah yang pertama-tama mempergoki mereka? Karena maklum bahwa tentu akan terjadi keributan dan mercka tentu akan dikeroyok, Kun Liong cepat memegang tangan Hong Ing dan ditariknya dara itu untuk melarikan diri meninggalkan kota Guan-tin.
"Kejar...!"
"Tangkap...!"
Orang-orang yang mengharapkan hadiah dari pembesar setempat itu segera melakukan pengejaran, namun tentu saja tidak ada yang mampu menyusul larinya kedua orang yang memiliki kepandaian tinggi itu. Setelah jauh meninggalkan kota itu dan tidak ada lagi yang mengejar, barulah Kun Liong dan Hong Ing berhenti di tepi jalan yang sunyi.
"Gila benar pangeran itu,"
Kun Liong bersungut-sungut.
"Kiranya rombongan tentara berkuda itu adalah utusannya untuk menyebar gambar kita. Dengan begini kita secara resmi telah menjadi pemberontak dan orang buruan pemerintah. Amat berbahaya memasuki kota-kota besar, terutama kota raja!"
"Habis bagaimana kita dapat mencari sebuah kuil Kwan-im-bio?"
Hong Ing bertanya.
"Tak mungkin mencari di kota. Andaikata bisa mendapatkan di kota, kiranya ketua kuil tidak akan berani menerimamu, Hong Ing. Tidak ada jalan lain, kita harus mencari sebuah kuil yang berada jauh dari kota ramai. Akan tetapi di mana ada kuil seperti itu, aku sendiri tidak tahu. Biarlah kita mencari perlahan-lahan, akhirnya kita tentu akan mendapatkannya juga."
Hong Ing menarik napas panjang.
"Sudahlah, Kun Liong. Mengapa kau repot-repot karena aku? Kaulanjutkanlah perjalananmu, biar aku sendiri yang akan mencari kuil..."
"Hemmm, ke mana kau hendak mencari? Di mana-mana tertempel gambarmu..."
"Dan juga gambarmu. Karena itu, sebaiknya kalau kau meninggalkan aku sehingga andaikata tertangkap, hanya aku yang tertangkap, akan tetapi engkau tidak."
"Hong Ing, kaukira aku orang macam apa?"
"Engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, Kun Liong. Maafkan aku, baru sekarang aku mengetahui. Sungguh aku bodoh sekali. Kiranya engkau amat lihai, bahkan memiliki Thi-khi-i-beng!"
"Bukan begitu maksudku. Kaukira aku orang yang begitu pengecut untuk meninggalkan engkau begitu saja? Tidak, sebelum engkau mendapatkan tempat yang baik, sebelum aku yakin benar bahwa engkau telah aman, aku tidak akan meninggalkan kau."
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hong Ing menunduk.
"Sudah terlalu banyak aku menyusahkanmu, Kun Liong. Engkau membikin aku tidak enak hati saja. Sudah cukup aku berhutang budi kepadamu, biarlah aku mencari sendiri kuil Kwan-im-bio."
Kun Liong memandang dengan sinar mata tajam, akan tetapi gadis itu tetap menunduk.
"Hong Ing, ingin benarkah kau kutinggalkan? Apakah aku sudah terlalu memuakkan hatimu?"
Hong Ing mengangkat mukanya, muka yang berubah pucat dan kepalanya digelengkan cepat-cepat.
"Bukan begitu, Kun Liong..."
"Kalau tidak begitu, sudahlah. Hal itu tidak perlu kita persoalkan lagi. Mari kita melanjutkan perjalanan. Kita harus berhati-hati, tidak boleh melalui jalan besar, tidak boleh memasuki kota dan terutama sekali jangan mendekati kota raja."
"Habis, ke mana kita harus pergi?"
"Ketika aku membantu Cia Keng Hong Supek..."
"Aihh, jadi pendekar sakti itu supekmu? Kau tidak pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Pantas saja engkau lihai bukan main. Aku seperti buta..."
"Hushhh, jangan terlalu memuji. Biar lain kali aku menceritakan riwayatku yang tidak lebih baik daripada riwayatmu, Hong Ing. Ketika aku membantu Supek menyelidiki tentang bokor pusaka yang diperebutKan, aku lewat pantai Teluk Pohai dan di tempat sunyi itu, dalam sebuah hutan, aku melihat sebuah kuil tua Kwan-im-bio. Marilah kita pergi ke sana, Hong Ing."
Akan tetapi wajah nikouw muda itu tidak membayangkan kegembiraan hati mendengar ini, bahkan dia hanya berkata lesu.
"Terserah kepadamu, Kun Liong. Marilah!"
Maka berangkatlah kedua orang itu melanjutkan perjalanan menuju ke pantai Teluk Pohai. Mereka memilih jalan yang sunyi, bahkan kadang-kadang terpaksa bersembunyi di siang hari kalau melalui jalan yang ramai dan melanjutkan perjalanan di waktu malam. Perjalanan itu menjadi lama dan sukar sekali namun anehnya bagi kedua orang muda itu, keanehan yang tidak terasa lagi oleh mereka bahwa perjalanan yang jauh, lama, sukar, dan berbahaya itu sama sekali tidak terasa berat oleh mereka!
Ada pula keanehan pada sikap Kun Liong dan hal ini pun sama sekali tidak dirasakan dan diketahui oleh pemuda itu sendiri, yaitu bahwa terhadap Hong Ing dia tidak pernah memperlihatkan sikapnya seperti yang sudah-sudah kalau menghadapi wanita. Dia tidak pernah menggoda! Bahkan sebaliknya, dia bersikap sopan dan bersungguh-sungguh. Dengan wajah berseri-seri Giok Keng berlari memasuki hutan itu. Hatinya riang gembira biarpun kadang-kadang alisnya berkerut kalau dia teringat akan ayahnya. Kun Liong telah dengan suka rela membatalkan ikatan jodoh itu! Betapa baiknya pemuda gundul itu! Dan betapa tampan dan gagahnya Liong Bu Kong! Dia harus cepat pulang dan harus berterus terang. Jantungnya berdebar penuh rasa takut kalau dia membayangkan bagaimana ayahnya tentu akan marah sekali.
Tidak, dia tidak akan bicara dengan ayahnya. Dia akan memberi tahu kepada ibunya bahwa dia tidak mencinta Kun Liong dan bahwa dia hanya mau menikah dengan pemuda yang menjadi pilihan hatinya, yaitu Liong Bu Kong! Membayangkan wajah pemuda itu yang tampan dan gagah, pemuda yang tidak mentah seperti Kun Liong, melainkan seorang laki-laki yang bersikap jantan, yang jelas menunjukkan cintanya dengan membiarkan dirinya diserang, menghadapi kematian di tangannya dengan senyum di bibir, jantungnya berdebar penuh kemesraan. Tetapi, ayah dan ibunya tentu akan menolak pemuda itu. Putera Kwi-eng Niocu, datuk golongan hitam! Giok Keng menahan langkah kakinya dan mengerutkan alisnya. Tidak, biar ibunya jahat, belum tentu puteranya jahat. Buktinya, Liong Bu Kong amat baik!
"Nona Cia tunggu..."
Giok Keng cepat menoleh dan jantungnya berdenyut keras. Tentu saja dia segera dapat mengenal bentuk tubuh tinggi tegap itu. Orang yang selama ini dibayangkannya. Liong Bu Kong! Pemuda itu dengan berlari cepat seperti terbang menghampiri dan segera menjura di depan Giok Keng.
"Aihh, susah payah aku mencarimu, Nona, mengapa kau meninggalkan aku sebelum kita bicara?"
Giok Keng memandang wajah yang kusut itu, dan memandang pundak yang terluka. Saputangannya masih membalut pundak itu.
"Kau... bagaimana lukamu...?"
Tanyanya dengan suara gemetar. Bu Kong melirik ke arah pundaknya.
"Ah, urusan kecil. Aku sudah lupa sama sekali akan pundakku sungguhpun saputangan itu selalu menjadi pelipur laraku. Aku lupa makan, lupa tidur dan lupa segala, Nona, bingung mengejar dan mencari-carimu. Sungguh aku berterima kasih kepada Thian bahwa aku dituntun memasuki hutan ini dan dapat berjumpa denganmu."
Jantung Giok Keng makin berdebar kencang dan mukanya menjadi merah sekali. Sejenak dia menundukkan muka, lalu memaksa diri mengangkat muka memandang. Mereka saling berpandangan dan seolah-olah ada getaran luar biasa lewat mata itu memasuki dada Giok Keng, membuat dara itu menggigil dan memaksa mulutnya bertanya,
"Mengapa kau mencari aku? Ada urusan apa?"
Tiba-tiba Liong Bu Kong menjatuhkan dirinya berlutut. Melihat ini, Giok Keng lalu membalikkan tubuh, membelakangi pemuda yang berlutut itu sambil berkata lagi.
"Bicaralah! Tidak perlu berlutut!"
"Kau berjanjilah takkan marah kepadaku, Nona. Baru aku mau berdiri!"
Kata Bu Kong yang masih terus berlutut.
"Hemm, baiklah. Berdirilah, aku tidak mau bicara kalau kau berlutut seperti itu."
Bu Kong bangkit berdiri dan meloncat ke depan dara itu sambil menjura,
"Terima kasih. Aku tahu di dunia ini tidak ada seorang pun wanita yang sehebat dan semulia hatinya seperti engkau, Nona. Ketika kau pergi meninggalkan aku dan mengatakan bahwa engkau telah bertunangan dengan orang lain, hampir aku membunuh diri. Akan tetapi aku tidak puas sebelum bertemu denganmu. Aku minta kepadamu, Nona. Aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, semenjak kita saling bertemu di Cin-ling-san dahulu itu. Dan aku yakin... maafkan aku, aku yakin bahwa nona pun setidaknya merasa kasihan kepadaku. Karena itu, sebelum aku mengambil keputusan membunuh diri... aku mohon kepadamu, Nona, jangan bersikap kepalang tanggung. Aku cinta kepadamu dan... kasihanilah aku, Nona. Melihat sikap Nona kemarin... aku percaya bahwa hati Nona masih bebas, sungguhpun nona telah ditunangkan dengan orang lain. Kasihanilah aku dan sudikah engkau membalas cintaku yang murni...?"
Muka Giok Keng menjadi makin merah. Dia adalah seorang dara yang selamanya belum pernah mengenal cinta seorang pria, apalagi mendengar bujuk rayu yang demikian indah. Dia merasa seolah-olah dirinya diangkat sampai ke angkasa!
"Tapi... tapi aku sudah bertunangan..."
Dia berusaha menjawab.
"Nona Cia Giok Keng... pertunangan bisa saja dibatalkan... ah, mengapa engkau akan menyiksa diri dengan berjodoh dengan seorang laki-laki yang tidak kau cinta? Engkau akan hidup merana dan aku akan membunuh diri sekarang juga di depan kakimu..."
Bu Kong mencabut pedangnya.
"Jangan...!"
Giok Keng berteriak kaget dan merampas pedang itu, melempar pedang itu dengan sikap jijik ke atas tanah. Bu Kong kini memegang kedua tangan Giok Keng. Dara ini membuang muka dan menahan keluarnya air matanya, namun tetap saja ada dua butir air mata bertitik turun.
"Giok Keng... Moi-moi... engkau kasihanilah aku. Marilah kita hidup berdua, penuh bahagia... aku cinta padamu dan aku bersumpah bahwa sampai mati aku akan tetap cinta padamu..."
"Tapi... tapi..."
"Aku siap berkorban nyawa demi cintaku, Moi-moi..."
Giok Keng menarik kedua tangannya dan memandang tajam,
"Benarkah?"
"Tentu saja! Bukankah aku telah suka mati daripada gagal menghadapi cintaku kepadamu."
"Bukan itu maksudku, akan tetapi... ah, bagaimana aku berani menghadapi ayahku?"
Giok Keng memandang wajah pemuda itu, memandang tajam seperti hendak menjenguk isi hatinya, kemudian berkata.
"Liong Bu Kong, benarkah engkau cinta padaku?"
Dara yang memiliki keberanian luar biasa itu kini sudah dapat menguasai ketegangan hatinya dan bertanya dengan sejujurnya.
"Tentu saja, aku bersumpah...!"
"Aku tidak membutuhkan sumpah. Aku membutuhkan bukti dan kenyataan. Kalau engkau benar mencinta, tentu kau akan berani membelaku sampai mati. Beranikah kau?"
Giok Keng teringat akan cerita tentang Souw Li Hwa dan Yuan de Gama, yang dipuji-puji oleh ayahnya, teringat akan cinta kasih di antara mereka yang begitu mendalam sehingga keduanya rela menghadapi maut sambil saling berpelukan di atas kapal yang terbakar dan hampir tenggelam! Cerita ini berkesan dalam sekali di hatinya, membuatnya romantis dan dia ingin melihat bahwa cinta kasih di hati pemuda ini terhadapnya tidak kalah besarnya!
"Tentu saja aku berani, Moi-moi!"
Jawab Liong Bu Kong dengen wajah berseri karena merasa bahwa dara ini agaknya akan suka membalas cintanya.
"Nah, kalau begitu mari kau ikut bersamaku menghadap kepada ayah ibuku dan kau menceritakan kepada mereka terus terang tentang cintamu dan tentang pembatalan ikatan jodohku dengan tunanganku."
Wajah yang berseri itu menjadi pucat. Bu Kong menjilat-jilat bibirnya yang mendadak menjadi kering itu.
"Wah, ini... ini... mana aku berani?"
Giok Keng melompat mundur dan sikapnya menjadi marah sekali.
"Huh! Dan kaubilang mencintaku, berani membelaku sampai mati? Baru sebegitu saja sudah takut dan mundur!"
Bu Kong meloncat mendekati.
"Aku berani! Maafkan, Moi-moi, aku tadi meragu bukan karena takut mati, melainkan aku merasa ragu-ragu untuk bersikap seperti itu dan membikin marah serta duka hati ayah bundamu. Tentu saja, sebagai ayah bundamu, mereka itu kujunjung tinggi dan kuhormati seperti orang tua sendiri. Baiklah, aku menerima permintaanmu ini!"
Giok Keng tersenyum manis sekali, matanya mengerling tajam dan hatinya penuh kegembiraan. Biarpun dia dan Bu Kong akan dibunuh ayahnya, dia rela karena bukankah ini membuktikan bahwa cinta kasih mereka amat murni dan besar, tidak kalah besar oleh cinta kasih yang dibuktikan oleh Souw Li Hwa dan Yuan de Gama yang amat dikagumi ayah bundanya itu?
"Kalau begitu, aku baru percaya. Marilah kita berangkat sekarang juga ke Cin-ling-san... Koko...!"
Hampir saja Bu Kong bersorak girang mendengar dara yang membuatnya tergila-gila itu menyebutnya koko (kakanda), maka dia lalu merangkul dan mencium bibir dara itu dengan mulutnya. Giok Keng terkejut, hampir menjerit sehingga mulutnya setengah terbuka, lalu dia memejamkan matanya dan sejenak dia menyerah sepenuh hatinya. Akan tetapi tidak lama dia tenggelam dalam nikmat birahi ini, dia sudah meronta dan melepaskan diri dari pagutan ketat pemuda itu, melepaskan diri dari peluk cium yang membuatnya hampir pingsan karena nikmat. Dengan dada turun naik, terengah-engah, wajah sebentar pucat sebentar merah, tubuh terasa panas dingin, dara itu yang sudah melompat mundur memandang kekasihnya.
"Moi-moi... maafkan aku... aku..."
Bu Kong berkata dengan suara terputus-putus karena dia khawatir sekali bahwa perbuatannya yang terdorong kegembiraan hati itu akan membikin marah dara yang dicintanya. Giok Keng menggelengkan kepalanya dan berkata halus,
"Aku tidak marah, Koko, hanya... kuminta dengan sangat, janganlah engkau menyentuhku lagi... kita harus dapat menjaga diri, menekan hati, kelak kalau aku sudah menjadi milikmu secara resmi, sudah menikah..."
Giok Keng menunduk dan tersenyum malu-malu. Bu Kong hampir saja tidak kuat lagi untuk tidak memeluk tubuh itu sekuatnya dan menciumi bibir itu. Akan tetapi dia maklum bahwa perbuatannya itu tentu akan menimbulkan kemarahan kekasihnya, maka dia melangkah maju dan hanya memegang tangan Giok Keng. Sepuluh jari tangan yang semua mengeluarkan getaran dari lubuk hati masing-masing itu saling mencengkeram dan saling membelai. Tidak ada kata-kata keluar dari mulut mereka sampai beberapa lama, karena getaran jari-jari tangan itu sudah mengandung seribu satu kata-kata indah. Akhirnya Bu Kong berkata,
"Aku mengerti, Moi-moi. Maafkan aku. Akan tetapi jangan kita langsung pergi ke Cin-ling-san. Mari kau ikut aku pergi mengambil pusaka Siauw-lim-pai."
"Aku dulu mendengar bahwa... engkau mencuri pusaka-pusaka itu dari Siauw-lim-pai. Benarkah, Koko?"
Wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Dia menghela napas dan berkata,
"Tak perlu aku membohongimu, Moi-moi. Memang benar demikian. Aku dahulu mencuri pusaka-pusaka itu dari Siaw-lim-pai karena perintah mendiang ibuku. Aku masih amat muda dan berdarah panas. Aku ingin memperlihatkan kepandaian, karena kabarnya Siauw-lim-si dijaga keras sekali dan amat ketat sehingga kalau aku berhasil mengambil beberapa buah pusakanya, tentu akan menggemparkan dunia kang-ouw. Akan tetapi yang menghendaki pusaka itu adalah ibuku. Sekarang Ibu telah meninggal dunia, dan biarpun aku merupakan keturunan seorang datuk kaum sesat, namun aku ingin hidup baru, Moi-moi. Apalagi setelah bertemu denganmu, keputusanku sudah bulat bahwa aku tidak mau lagi berkecimpung di dalam golongan kaum sesat. Bahkan aku akan menentang mereka. Untuk membuktikan ini, pertama yang kukerjakan adalah mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Siauw-lim-pai."
Hati Giok Keng girang sekali. Dia menarik tangannya yang masih dipegang pemuda itu dan berkata,
(Lanjut ke Jilid 34)
Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 34
"Bagus sekali kalau begitu, Koko. Marilah kita mengambil pusaka-pusaka itu dan mengembalikannya ke Siauw-lim-si."
Hatinya lega karena perbuatan ini tentu akan menyenangkan hati ayah bundanya.
Biarpun kekasihnya adalah putera Si Bayangan Hantu, Ketua Kwi-eng-pai, akan tetapi dengan perbuatannya itu Bu Kong sudah membuktikan bahwa dia hendak merobah hidupnya, melalui jalan benar dan menjadi pendekar budiman. Mereka lalu pergi ke sebuah pegunungan dekat Telaga Kwi-ouw yang kini sudah menjadi tempat sunyi sekali semenjak Kwi-eng-pang diserbu oleh tentara pemerintah dan dibasmi habis. Banyak yang tewas, ada yang tertawan dan ada pula beberapa orang yang lolos dari penyerbuan itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tewas membunuh diri karena tidak mau terbunuh lawan, sedangkan kakek tinggi besar brewok, Thian-ong Lo-mo yang memiliki kepandaian tinggi, dapat berhasil meloloskan diri. Akan tetapi Bu Kong tidak tahu akan lolosnya kakek lihai ini, karena dia hanya mendengar bahwa Kwi-eng-pang telah dibasmi habis dan ibunya telah tewas.
Maka dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati pemuda ini ketika dia bersama dengan Giok Keng, tiba di depan sebuah guha di mana dia menyimpan pusaka-pusaka itu, tiba-tiba muncul Thian-ong Lo-mo bersama lima orang anggauta Kwi-eng-pang yang berhasil meloloskan diri! Dia merasa terheran-heran. Tentu saja bukan hal mengherankan jika kakek itu berada di guha tempat penyimpanan pusaka karena memang yang mengetahui akan tempat itu hanya dia, ibunya, dan kakek sekutu ibunya ini. Yang mengherankan hatinya adalah melihat kakek ini dapat lolos dan masih hidup! Melihat sikap kakek brewok itu seperti orang marah, demikian pula lima orang bekas anak buah ibunya itu bersikap memusuhinya, Bu Kong segera berkata sambil tertawa,
"Aihhh, kiranya Locianpwe masih dapat menyelamatkan diri."
"Bocah durhaka! Pengkhianat pengecut!"
Thian-ong Lo-mo yang sudah marah sekali itu menerjang maju, menyerang Liong Bu Kong dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu sabuk rantai yang bergigi seperti gergaji.
"Cringgg! Trangggg...!"
Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika senjata itu tertangkis oleh dua batang pedang di tangan Bu Kong dan Giok Keng. Kakek itu terkejut bukan main karena tangannya tergetar hebat.
Maklumlah dia bahwa dara cantik jelita itu memiliki tenaga dan kepandaian yang hebat pula, maka dia lalu memutar senjatanya dengan ganas sambil mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Memang tanpa disangka-sangkanya kakek ini bertemu dengan dua orang muda yang amat tangguh. Kalau hanya Bu Kong seorang diri yang melawannya, biarpun pemuda ini juga memiliki kepandaian tinggi dan tidaklah mudah untuk merobohkannya, namun agaknya pemuda ini tidak akan mampu menang melawan kakek yang lihai itu. Demikian pula, biarpun sebagai puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan telah memiliki tingkat ilmu kepandaian tinggi, agaknya Giok Keng juga tidak akan mudah dapat mengalahkan Thian-ong Lo-mo. Akan tetapi kini kedua orang muda yang saling mencinta itu maju berdua! Selain kelihaian ilmu silat mereka, juga keduanya memegang pedang pusaka yang ampuh.
Giok Keng bersenjata Gin-hwa-kiam (Pedang Banga Perak) yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung, sedangkan Liong Bu Kong memegang pedang Lui-kong-kiam yang mengeluarkan sinar berkilat-kilat. Baiknya Thian-ong Lo-mo dibantu oleh lima orang anak buah Kwi-eng-pang maka pertandingan berlangsung dengan amat serunya. Sabuk rantai gergaji di tangan Thian-ong Lo-mo menyambar-nyambar dahsyat, bagaikan seekor ular hitam bermain-main di antara dua gulungan sinar pedang dan berkali-kali terdengar suara nyaring ketika tiga senjata bertemu dan tampak bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata. Lima orang bekas anggauta Kwi-eng-pang hanya membantu dari luar dengan senjata mereka. Pertandingan antara tiga orang itu terlatu hebat dan berbahaya bagi mereka sehingga mereka itu hanya membantu untuk mengacaukan perhatian kedua orang muda itu.
"Cringg... trekkk!"
Ujung senjata rantai itu membelit pedang Giok Keng yang menjadi kaget bukan main. Selagi dia bersitegang hendak membetot pedangnya, Bu Kong berteriak nyaring dan pedangnya menyerang kakek itu dengan tusukan ke arah lehernya. Namun Thian-ong Lo-mo benar-benar hebat. Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan baju kirinya yang lebar panjang itu merupakan senjata istimewa menangkis tusukan pedang Bu Kong.
"Plakk! Bretttt... dess!"
Bu Kong mengeluh dan terhuyung ke belakang. Pedangnya telah tertangkis ujung lengan baju dan biarpun pedangnya berhasil merobek ujung lengan baju lawan, namun tangan kakek itu masih dilanjutkan dengan tamparan keras yang mengenai pundaknya dan membuat tubuhnya terhuyung ke balakang dan tergetar hebat.
"Ha-ha-ha..."
Kakek itu tertawa dan kini menggunakan tangan kirinya yang ampuh itu mencengkeram ke depan, ke arah kepala Giok Keng!
"Wuuuttt.. plak-plak-plak!"
"Aughhh...!"
Thian-ong Lo-mo terhuyung ke belakang dan hampir roboh. Rantai gergaji yang tadi membelit pedang terlepas karena tubuhnya tergetar oleh tiga kali tamparan sabuk merah muda yang dipegang oleh tangan kiri Giok Keng. Dara ini ketika tadi melihat pedangnya terbelit dan Bu Kong tertampar, cepat melolos sabuk sutera merah muda yang merupakan senjata ke dua yang ampuh, dengan cepat dia menggunakan sabuk itu mendahului tangan lawan yang mencengkeram kepalanya. Tepat sekali ujung sabuknya menotok tiga jalan darah di tubuh lawan, jalan darah yang mematikan. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa lawan yang tertotok tepat itu hanya terhuyung saja dan tidak mati!
Kiranya kakek brewok itu selain lihai ilmu silatnya dan amat kuat tenaga sin-kangnya, juga merupakan ahli I-kiong-hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) sehingga biarpun kelihatan dia tertotok tepat, namun sesungguhnya totokan itu tidak mengenai jalan darah kematian dan hanya membuat dia menggigil dan terhuyung saja. Sama sekali dia tidak mati, bahkan sebaliknya, dengan kemarahan meluap-luap karena penasaran dan malu, dia sudah menubruk ke arah Giok Keng sambil mengeluarkan lengking dahsyat dari tenaga khi-kangnya. Matanya yang lebar itu terbelalak merah, lengking suaranya membuat lima orang bekas anggauta Kwi-eng-pang terhuyung ke belakang dengan muka pucat. Melihat lawan yang menyerang dahsyat dengan rantai gergaji dan tangan kiri dibentuk seperti cakar garuda, Giok Keng cepat menggerakkan pedang dan sabuk suteranya.
"Cringgg... plakkk!"
Pedang dan rantai bertemu di udara, sabuk sutera melibat lengan kiri kakek lihai itu, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Giok Keng ketika lengan kiri lawan itu masih mampu bergerak terus ke depan melanjutkan serangannya, menyambar ke arah lehernya seolah-olah cakar setan yang hendak mencekiknya. Dia cepat miringkan tubuhnya dan mengangkat kakinya menendang.
"Brettt... plakkk!"
Baju di pundak Giok Keng terobek oleh cakar itu dan kulit pundaknya lecet berdarah. Akan tetapi tendangannya membuat lawan terpental ke belakang. Ketika dara ini bersiap kembali setelah mendapat kenyataan bahwa luka di pundaknya tidak berbahaya, ternyata kakek itu telah diserang hebat oleh Bu Kong. Maka dengan marah Giok Keng lalu menyerbu pula membantu pemuda itu dan kembali terjadi pertandingan dahsyat antara tiga orang itu. Tubuh mereka tidak kelihatan lagi, terbungkus oleh gulungan sinar senjata mereka. Karena cepatnya gerakan mereka bertiga, lima orang bekas anggauta Kwi-eng-pang tidak ada yang berani mendekat apalagi membantu.
Suara khi-kang hebat dari kakek itu tadi masih membuat jantung mereka terguncang. Setelah Giok Keng menambah pedangnya dengan sabuk sutera merah muda, dan kedua orang muda itu melakukan pengeroyokan dengan pengerahan seluruh limu kepandaian dan tenaga mereka, lambat laun kakek itu merasa terdesak juga. Seratus jurus telah lewat dan dia sama sekali tidak mampu menjatuhkan seorang pun di antara dua orang pengeroyoknya yang masih muda! Napasnya mulai memburu dan biarpun merasa amat penasaran, Thian-ong Lo-mo harus mengakui bahwa kalau dilanjutkannya juga pertempuran itu, akhirnya dia akan terancam bahaya maut. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan pekik dahsyat sekali, senjata rantainya menyambar ke depan menjadi sinar memanjang. Dua orang muda itu terkejut dan cepat menangkis.
Pedang Kayu Harum Eps 50 Pedang Kayu Harum Eps 19 Pedang Kayu Harum Eps 2