Petualang Asmara 46
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 46
"Maafkan aku, Bi Kiok!"
"Cuss! Cusssi!"
"Plak! Plak!"
Betapa kagetnya hati Kun Liong! Kedua totokannya itu tepat mengenai sasaran, yaitu pada jalan darah di bawah pundak depan, agak di sebelah atas kedua buah dada gadis itu, akan tetapi jari-jari tangannya bertemu dengan kulit dan daging lunak halus seolah-olah tidak ada jalan darahnya dan gadis itu tidak apa-apa, malah sebagai "hadiahnya"
Dua kali telapak tangan gadis itu menampar pipinya. Tamparan ini mengenai sasaran dengan tepat karena Kun Liong sedang melongo keheranan ketika totokan-totokannya tidak membawa hasil sama sekali. Setelah ditampar, barulah dia sadar bahwa ternyata Bi Kiok telah memiliki ilmu memindahkan jalan darah dan melindungi bagian yang tertotok sehingga totokannya tadi mengenai tempat hampa!
Bi Kiok yang sudah marah itu menyerang kalang kabut dan harus diakui oleh Kun Liong bahwa gadis ini mempunyai dasar ilmu silat yang amat aneh dan ampuh, hanya belum terlatih baik. Diam-diam dia bergidik. Katanya tadi baru mempelajari sebagian saja, kalau sudah mempelajari seluruh kitab pusaka milik Panglima The Hoo yang berada di tempat rahasia, kitab pusaka yang tentu belum ditemukan oleh panglima itu sendiri, entah bagaimana hebatnya gadis ini! Dia terus mengelak dan menangkis, kadang-kadang membalas dengan totokan yang selalu gagal, sambil berpikir-pikir bagaimana sebaiknya menjatuhkan gadis yang amat lihai ini. Biar kuhabiskan saja napasnya, pikir Kun Liong. Dia kini main mundur, bahkan membuat langkah-langkah yang diambil inti sarinya dari kitab Keng-lun Tai-pun dari Bun Ong.
Langkah ini pendek-pendek saja, amat ringan baginya, namun membuat Bi Kiok yang mengejarnya terus itu harus berputaran dan menggunakan banyak tenaga gin-kang! Sampai seratus jurus lebih Kun Liong "mempermainkan"
Bi Kiok, berputaran dan membuat gadis itu seolah-olah seorang anak-anak yang bermain-main mengejar bayangannya sendiri! Namun hebatnya, Bi Kiok terus menyerang dan tidak pernah kelihatan mengendor serangannya! Dua ratus jurus telah lewat! Dan Kun Liong mulai berkeringat, akan tetapi Bi Kiok masih terus menerjangnya dan tidak terdengar napas gadis itu memburu. Celaka, pikir Kun Liong. Dia gagal lagi. Agaknya ada suatu cara latihan napas dalam kitab di tempat rahasia yang ditunjukkan oleh bokor itu, yang membuat napas gadis itu menjadi amat kuatnya melebihi kuatnya napas seekor kuda!
"Wah, kalau begini tak mungkin aku dapat merobohkannya,"
Pikir Kun Liong sambil cepat menghindarkan diri dari terjangan kedua kaki yang bentuknya indah membayang di balik kain celana sutera tipis itu akan tetapi keindahan yang berbahaya karena mengandung tendangan maut! Memang tadi terpikir olehnya untuk mempergunakan satu-satunya ilmu yang menjadi simpanannya, yaitu Thi-khi-i-beng, akan tetapi dia tidak tega.
Ilmu ini kalau digunakan akibatnya akan menyedot sin-kang lawan dan tentu saja dia tidak tega menggunakan ini dalam menghadapi Bi Kiok. Dia maklum betapa sukar dan lama menghimpun sin-kang, apalagi sin-kang seperti yang dimiliki Bi Kiok. Kalau dia menghendaki agar Bi Kiok roboh tanpa memperdulikan keselamatannya, kiranya tidak nanti gadis itu sampai dapat menyerangnya terus selama dua ratus jurus. Yang sulit adalah karena dia ingin merobohkan gadis ini tanpa melukai atau menyakiti. Setelah mereka bertanding dengan hebat dan cepatnya sehingga bagi orang lain yang tampak hanyalah dua bayangan berkelebatan saja itu selama hampir tiga ratus jurus dan tidak nampak gadis itu lelah atau mau mengalah sedikit pun, Kun Liong mengambil keputusan untuk mempergunakan Thi-khi-i-beng!
"Maafkan aku, Bi Kiok!"
"Plak! Plakk!"
"Oughhhhh...!"
Bi Kiok mengeluh dan matanya yang amat indah itu, terbelalak memandang wajah Kun Liong ketika kedua tangannya yang bertemu dengan lengan Kun Liong itu melekat pada lengan dan tidak dapat ditariknya kembali, dan yang mengejutkannya adalah ketika dia merasa betapa tenaga sin-kangnya menerobos keluar seperti air hujan membanjir! Melihat sepasang mata yang amat indah dan amat dikaguminya itu terbelalak kaget dan ngeri, Kun Liong menjadi tidak tega dan memejamkan matanya agar tidak melihat mata itu!
"Berani kau menyerang Subo (Ibu Guru)...?"
Tiba-tiba terdengar bentakan anak kecil dari belakang dan "buk! buk!"
Dua buah kepalan menghantami pinggulnya!
"Kau orang jahat! Kau bukan kakak kandungku! Kakak kandungku tidak akan jahat terhadap Subo! Lepaskan Subo! Lepaskan! Buk-buk-buk-buk!"
Kedua kepalan kecil itu terus menghantam pinggul Kun Liong. Kun Liong terkejut sekali mendengar suara In Hong ini. Cepat dia menyimpan kembali tenaga Thi-khi-i-beng sambil melompat mundur. Yo Bi Kiok berdiri dengan napas agak memburu, wajahnya agak pucat dan sejenak memejamkan mata dan membereskan napasnya. Kemudian dia membuka matanya memandang Kun Liong dengan terbelalak penuh rasa penasaran akan tetapi juga kagum.
"Kau... kau...!"
Dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena dia tidak tahu harus berkata apa.
"Kau orang jahat, aku tidak mau dekat denganmu!"
In Hong berteriak lagi sambil lari mendekati Bi Kiok dan merangkul pinggang dara ini seperti hendak melindungi gurunya. Kun Liong menarik napas panjang.
"Maafkan aku, Bi Kiok..."
"Sudahlah, pergilah... akan tetapi ingat akan semua kata-kataku!"
Bi Kiok berkata. Kun Liong memandang kepada adiknya. Tanpa banyak cakap, mengertilah dia bahwa tak mungkin dia dapat memaksa adiknya pergi bersamanya. Perbuatan itu sama dengan menghancurkan hati Bi Kiok dan adiknya sendiri. Dia akan menjadi seorang yang amat kejam kalau dia lakukan hal itu. Betapapun juga, dia ingin kepastian dan dengan muka manis dia berkata kepada adiknya.
"In Hong aku adalah kakak kandungmu. Aku hendak mengajak engkau pergi karena sudah semestinya engkau ikut aku yang menjadi kakakmu."
"Tidak! Tidak sudi...!"
"In Hong, dengarlah baik-baik. Aku sama sekali tidak berbuat jahat terhadap gurumu. Kami memperebutkan engkau. Sekarang engkau boleh pilih. Aku sebagai kakak kandungmu dan dia sebagai gurumu, kau hendak memilih yang mana dan hendak ikut yang mana?"
"Dia benar, In Hong. Kaupilihlah. Dia bukan orang jahat, akan tetapi kau boleh memilih antara kami berdua."
"Aku memilih Subo! Aku ikut Subo!"
In Hong berteriak penuh semangat dan memandang kepada Kun Liong dengan mata bernyala marah. Kun Liong dan Bi Kiok saling pandang, lalu pemuda itu menghela napas panjang.
"Apa boleh buat, terpaksa aku harus meninggalkannya kepadamu, Bi Kiok. Akan tetapi, setiap waktu aku akan mengunjunginya dan melihat keadaannya. Harap saja engkau tetap baik kepadanya dan mendidiknya menjadi seorang manusia yang baik..., tidak... tidak seperti kakaknya."
Tambahnya
"Selamat tinggal!"
"Kun Liong...!"
Suara mengandung isak itu menahan kakinya. Dia membalik. Tidak nampak Bi Kiok menangis, akan tetapi wajahnya pucat, matanya sayu ketika memandangnya.
"Kun Liong, aku mohon sekali lagi padamu, tidak dapatkah engkau merubah pendirianmu? Kita bertiga akan hidup bahagia..."
Ucapan itu tidak dilanjutkan karena Kun Liong sudah menggeleng kepalanya, kemudian sekali berkelebat, Kun Liong sudah lenyap dari tempat itu.
"In Hong... dia terlalu...! Kakakmu terlalu...!"
Bi Kiok menjatuhkan diri berlutut, memeluk muridnya dan baru sekarang air matanya tertumpah.
"Aku tidak mau...! Aku tidak mau pergi sebelum merawatnya! Harap Sam-wi (Anda Bertiga) jangan memaksaku!"
Hong Ing meronta-ronta, akan tetapi tangisnya itu tidak dipedulikan, bahkan Hun Beng Lama, pendeta Lama yang selalu memegang tasbih itu menggerakkan tangan kirinya menyentuh belakang telinganya dan Hong Ing seketika menjadi lemas. Dia sama sekali tidak dapat mengeluh lagi, apa pula berontak, hanya memandang ke arah Kun Liong yang rebah seperti mati itu ketika tubuhnya yang lumpuh dikempit oleh Hun Beng Lama bersama dua orang Lama lainnya menuju ke perahu mereka.
Mulailah Hong Ing melakukan perjalanan yang sama sekali tidak menyenangkan hatinya, bukan karena sikap para paman gurunya itu. Sama sekali tidak. Sikap mereka itu cukup baik, bahkan lemah lembut terhadap dirinya, dan kalau saja tidak teringat kepada Kun Liong yang ditinggalkan dalam keadaan terluka seperti mati, tentu dia senang melakukan perjalanan dengan tiga orang paman gurunya yang memiliki kesaktian-kesaktian seperti dewa itu. Selain mereka bersikap ramah dan baik, bahkan jarang mengeluarkan kata-kata dan semua keperluan dan kebutuhannya di sepanjang perjalanan dicukupi, juga hati siapa takkan senang mendengar bahwa dia akan bertemu dengan ayah kandungnya yang selama hidupnya belum pernah dijumpainya itu?
Ayahnya adalah suheng (kakak seperguruan) mereka, dan ayahnya adalah ketua mereka, dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaian ayahnya! Dia tentu akan girang sekali pergi menjumpai ayahnya. Akan tetapi, kalau dia teringat kepada Kun Liong yang rebah seperti mati, hatinya seperti disayat-sayat. Pemuda itu dalam keadaan terluka parah, seorang diri saja di pulau kosong itu.
(Lanjut ke Jilid 45)
Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 45
Membayangkan betapa pemuda itu akan mati dengan menyedihkan dan tersiksa, hatinya menjadi ngeri, berduka dan terutama sekali dia merasa menyesal karena dia meninggalkan Kun Liong yang sedang berduka. Dia meninggalkan Kun Liong selagi pemuda itu hancur, setelah dia menampar pipi pemuda itu! Tentu Kun Liong akan menganggap dia membencinya! Aihh, padahal dia amat mencinta Kun Liong!
Tidak ada seorang pun manusla lain yang akan dicintanya melebihi cintanya kepada Kun Liong. Akan tetapi, pada saat terakhir sebelum mereka berpisah, sebelum Kun Liong roboh ketika melawan tiga orang Lama itu, dia terpaksa menampar pipi Kun Liong saking tidak kuat menahan kemarahan dan kepanasan hatinya! Siapa yang kuat menahan! Dia amat dikecewakan, disakitkan hatinya. Kun Liong yang mengaku mencintanya dengan sepenuh jiwa raganya itu, terialu memandang rendah dirinya. Dia dikalahkan dalam perbandingan dengan seorang wanita bayangan, seorang gadis khayal. Hanya seorang gadis khayal! Kalau dia bukan gadis impian Kun Liong itu, mengapa Kun Liong menyatakan cinta kepadanya? Kalau dia tidak seperti gadis khayal itu yang menurut Kun Liong tanpa cacad, mengapa Kun Liong berani menyatakan cintanya?
Dia tidak sudi menjadi seorang yang dijadikan tempat pelarian setelah Kun Liong merasa bahwa di dunia ini tidak ada gadis yang diimpi-impikan itu. Dia tidak sudi menjadi pengganti belaka, menjadi penghibur lara belaka. Padahal cinta kasihnya terhadap Kun Liong mutlak dan lengkap, tanpa perbandingan karena memang tidak ada bandingan dalam cinta kasihnya. Perjalanan yang amat jauh, melelahkan dan juga membuatnya kurus karena tertekan batinnya teringat kepada kekasihnya itu, memakan waktu berbulan-bulan dan akhirnya sampailah mereka di tempat yang dituju. Sebuah dusun besar di pegunungan dan di luar dusun itu, di dekat puncak, terdapat sekelompok bangunan besar yang dikurung pagar tembok seperti benteng. Itulah pusat dari perkumpulan agama para Lama Jubah Merah yang terkenal di seluruh Tibet sebagai perkumpulan yang menyendiri dan dipimpin oleh orang-orang yang sakti.
Kuil mereka terdapat di tengah-tengah kelompok bangunan itu dan setiap hari, dari pagi sampai sore, pintu gerbang tembok benteng itu terbuka dan semua orang, dari dusun-dusun di daerah tempat itu, diperkenankan memasuki dan mengunjungi kuil besar untuk bersembahyang dan mohon berkah. Konon dikabarkan bahwa kuil Lama Jubah Merah ini amat sakti dan manjur sehingga amat terkenal, banyak dikunjungi orang dan banyak pula menerima dana bantuan dari rakyat di daerah itu yang terkenal pula berpenghasilan besar sebagai peternak-peternak. Memang bukan hanya tempat tinggalnya saja yang kuat, dengan pagar tembok menyerupai benteng, akan tetapi juga anggautanya cukup banyak, tidak kurang dari seratus orang! Karena rata-rata mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi,
Maka tentu saja seratus orang Pendeta Jubah Merah ini merupakan sebuah pasukan yang hebat! Perkembangan mereka ini sudah lama diikuti dengan diam-diam oleh Pemerintah Tibet yang dipegang oleh Dalai Lama, akan tetapi karena tidak ada bukti nyata bahwa Lama Jubah Merah menentang Pemerintah Tibet yang sah, maka tidak pernah ada tindakan. Kedatangan tiga orang Lama, yaitu Sin Beng Lama yang ditemani dua orang sutenya, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, disambut dengan penuh penghormatan oleh para anggauta perkumpulan agama itu, bahkan diadakan pesta sebagai penyambutan mereka yang telah meninggalkan Tibet selama berbulan-bulan itu. Apalagi karena tiga orang tokoh utama itu telah berhasil membawa pulang Pek Hong Ing! Gadis ini begitu tiba di situ lalu menanyakan tentang ayahnya.
"Mana ayahku? Aku ingin sekali bertemu dengan ayahku!"
Memang di waktu melakukan perjalanan yang amat jauh itu, setelah dapat mengatasi kedukaan hatinya karena meninggalkan Kun Liong, hanya satu tujuan hati Hong Ing, yaitu dapat berjumpa secepatnya dengan ayahnya, kemudian hendak minta bantuan kepada ayahnya untuk mengirim orang menjenguk dan menolong Kun Liong! Sin Beng Lama sendiri lalu membawa Hong Ing ke sebuah kamar yang besar dan cukup lengkap. Setelah mereka memasuki kamar itu yang ternyata kosong tidak ada siapa pun di dalamnya, kakek ini berkata,
"Engkau tinggallah di sini dan ayahmu pasti akan segera datang asal engkau suka bekerja sama dengan kami."
Hong Ing memandang penuh selidik kepada pendeta tua berjubah merah itu, dan mulailah dia merasa curiga.
"Apa artinya ini? Susiok... di mana Ayah?"
Sin Beng Lama mengerutkan alisnya.
"Kalau kami tahu dia berada di mana, agaknya kami tidak akan membawamu jauh-jauh ke sini, Pek Hong Ing. Kami membawamu ke sini hanya untuk memancing agar ayahmu mencarimu ke sini."
Pucatlah wajah Hong Ing mendengar Ini.
"Apa...? Bukankah kalian katakan bahwa Ayah adalah Suheng kalian?"
"Benar demikian. Ayahmu adalah Kok Beng Lama, Suheng kami."
"Dan katanya Ayah adalah ketua di sini..."
"Sayang tidak demikian sesungguhnya. Sebaliknya malah, ayahmu adalah seorang yang berdosa besar, seorang pelarian yang harus menerima hukuman karena telah melakukan dosa-dosa yang amat banyak."
Terbelalak mata Hong Ing memandang kakek itu.
"Apa... apa yang terjadi? Mengapa para Susiok menipuku, membiarkan aku pergi meninggalkan Kun Liong yang terluka di pulau itu...? Ahhh, apa yang telah kulakukan ini...?"
"Tenanglah, dan duduklah. Dengarkan cerita pinceng (aku)."
Karena kedua kakinya memang menggigil saking tegang hatinya yang diliputi bermacam perasaan itu, Hong Ing lalu menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, sedangkan kakek itu lalu duduk di atas bangku menghadapi pembaringan.
"Ibumu bernama Pek Cu Sian, seorang pendekar wanita dari Tiong-goan yang berani lancang tangan mencampuri urusan dalam perkumpulan agama kami sehingga terpaksa kami tangkap dan kami tawan. Karena dia masih perawan dan cantik, maka para pimpinan perkumpulan kami mengambil keputusan untuk menjadikan dia sebagai korban tahun itu, korban kepada Dewa Syiwa. Akan tetapi, pada malam sebelum upacara pengorbanan dilakukan, Pek Cu Sian lenyap dari kamar tahanan. Kami semua mengira bahwa dia telah dapat meloloskan diri, maka hal ini terlupalah sudah sampai lima tahun kemudian ketika engkau, ketika itu seorang anak perempuan kecil berusia empat tahun, kelihatan oleh scorang anggauta kami. Barulah kami tahu bahwa Pek Cu Sian, ibumu itu, telah diselamatkan oleh Suheng Kok Beng Lama sendiri yang menyembunyikannya dan mengambilnya sebagai isteri! Betapa besar dosa Kok Beng Lama dapat kaubayangkan sendiri!"
"Tidak! Dia tidak berdosa!"
Hong Ing membantah setelah mendengar penuturan itu.
"Dia adalah seorang manusia, tidak seperti kalian yang bagaikan segerombolan binatang buas hendak membunuh mendiang ibuku! Ayah adalah seorang laki-laki sejati yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
Namun kakek itu tidak mempedulikan bantahan ini dan melanjutkan ceritanya.
"Karena dosanya itu, Kong Beng Lama dihukum sepuluh tahun dan ibumu yang melarikan diri bersamamu itu kami kejar atau lebih tepat dikejar oleh anak buah kami karena kalau kami sendiri yang mengejar dia tentu telah dapat kami tawan kembali bersamamu. Dia dapat melarikan engkau dan lolos."
"Ibu adalah seorang pendekar wanita yang amat gagah perkasa!"
Hong Ing berkata penuh semangat.
"Biarpun dikeroyok oleh para pendeta palsu, masih dapat menyelamatkan aku sampai tiba di Go-bi-san dan ditemukan oleh Subo dalam keadaan hampir mati oleh luka-lukanya akibat pengeroyokan pua pendeta yang curang!"
Kakek itu kembali tidak mempedulikan, seolah-olah tidak mendengar kata-kata Hong Ing.
"Setelah Kok Beng Lama keluar dari hukuman, dia melakukan dosa ke dua yang lebih hebat. Dia telah membunuh ketua kami, yaitu Twa-suheng kami! Kemudian dia melarikan diri..."
"Tentu untuk mencari Ibu dan aku!"
"Dosanya yang besar harus dihukum, maka pinceng sendiri bersama kedua orang Sute..."
"Kalian tiga orang pendeta jahat!"
"Kami turun gunung untuk mencarinya, namun tidak berhasil. Untung kami berjumpa dengan Go-bi Sin-kouw dan dengan tusukan-tusukan hio (dupa biting) dia akhirnya bercerita tentang dirimu."
"Kau... kau telah menyiksa Subo!"
Biarpun dia tidak suka kepada ibu gurnya, namun Hong Ing masih ingat betapa sejak kecil dia dipelihara dan dididik oleh Go-bi Sin-kouw, maka mendengar subonya disiksa untuk mengaku, dia menjadi marah.
"Kami mencari jejakmu, dari sungai di mana menurut penuturan Go-bi Sin-kouw engkau dan pemuda gundul itu terlempar ke muara sungai, masuk ke laut oleh Kok Beng Lama."
"Aihh, tidak kusangka bahwa pendeta yang gagah perkawa itu adalah ayah kandungku sendiri..."
Hong Ing menutupi mukanya mengenangkan kembali peristiwa itu.
"Akhirnya kami berhasil menemukan engkau di pulau kosong bersama pemuda aneh itu dan karena kami tidak sampai hati mempergunakan kekerasan terhadap seorang gadis muda seperti engkau, kami terpaksa menjalankan siasat agar engkau suka ikut pergi dengan suka rela."
Sin Beng Lama bangkit berdiri, melangkah ke pintu lalu membalik memandang kepada gadis itu, berkata lagi, suaranya halus,
"Kami akan menyebar berita ke Tiong-goan agar ayahmu mendengar bahwa puterinya telah berada di tangan kami. Dengan demikian dia pasti akan datang ke sini. Kami harap kau tidak banyak rewel dan berdiam saja di sini dengan baik. Kalau tidak, terpaksa kami akan memperlakukan engkau sebagai tawanan yang dikurung dalam kamar tahanan dan dibelenggu kaki tangannya."
Setelah berkata demikian, Sin Beng Lama melangkah keluar dari kamar dengan tenang.
Sejenak Hong Ing tertegun, mukanya pucat. Mengertilah dia sekarang bahwa dia dijadikan sandera untuk menjebak ayahnya sendiri! Dan dia telah pergi dengan suka rela, bahkan telah meninggalkan Kun Liong dalam keadaan terluka parah! Akan tetapi apa yang dapat dilakukannya? Tiga orang pendeta itu sakti sekali, bahkan Kun Liong yang demikian gagah pun tak berdaya, apalagi dia. Aku harus pergi dari sini! Demikianlah suara hati Hong Ing. Dia harus pergi dan kembali ke Tiong-goan, kembali ke laut mencari pulau kosong, mencari Kun Liong dan mencari ayahnya! Betapa rindunya kepada Kun Liong, juga kepada ayahnya, pendeta raksasa yang baik hati dan sakti itu. Akan tetapi ketika berindap-indap dia keluar dari kamar, dia melihat dua orang Pendeta Jubah Merah berdiri di luar pintu, mata mereka memandang dengan bengis kepadanya!
Ketika dia memasuki kamamya lagi dan menjenguk ke jendela, juga di luar jendela terdapat dua orang pendeta! Kamarnya telah dikurung dan dijaga! Malam itu, kembali Hong Ing kecelik ketika dia menyelidiki pintu dan jendela kamarnya karena ternyata olehnya kemudian bahwa penjagaan ketat itu diadakan siang malam dengan bergilir! Semalam suntuk itu dia tidak tidur, mencari kesempatan untuk melarikan diri, namun akhirnya dia mengerti bahwa kesempatan itu tidak pernah ada. Selain kamarnya yang dikurung, juga penjagaan di pagar tembok menyerupai benteng itu amat kuatnya sehingga andaikata dia dapat keluar dari kamar, kiranya tidak mungkin dia akan dapat keluar dari markas itu! Di samping ini, sekiranya terjadi keajaiban dan dia dapat keluar dari markas itu,
Apa dayanya menghadapi para pendeta sakti itu kalau dia dikejar dan disusul? Dia tidak mengenal daerah pegunungan itu, apalagi ketika melakukan perjalanan mengikuti tiga orang pendeta menuju ke Tibet, dia melihat gurun pasir seolah-olah tanpa tepi. Tanpa penunjuk jalan, dia akan mati kehausan dan kelaparan di daerah yang mengerikan itu. Terpaksa Hong Ing hanya bisa menanti dan dia bukanlah seorang gadis bodoh yang hanya mengubur diri dalam kedukaan dan keputusasaan. Tidak. Dia sudah bersiap-siap dan karena itu dia menjaga kesehatan dirinya dengan baik, makan setiap hari, bahkan membaiki para pendeta di situ dan minta petunjuk ketika dia melatih ilmu silatnya setiap hari. Dia harus berada dalam keadaan kuat dan terlatih kalau saat yang ditunggu-tunggu itu tiba, yaitu saatnya ayahnya yang dijebak itu muncul di sini!
Dan saat yang dinanti-nanti itu tiba beberapa bulan kemudian! Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, di antara suara orang berdoa, suara liam-keng (doa) diselingi suara ketukan berirama yang mengiringi doa, terdengarlah teriakan yang amat gaduh. Hong Ing sudah bangun tidur dan sudah mencuci muka, siap untuk melakukan latihan pagi ketika mendengar suara gaduh itu. Akan tetapi ketika dia meloncat ke pintu, hampir dia bertumbukan dengan Lak Beng Lama yang menghadang dengan tongkat di tangan. Melihat sikap susioknya ini, Hong Ing sudah curiga dan dapat menduga bahwa inilah agaknya saat-saat yang dinanti-nantinya. Agaknya ayahnya telah tiba! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan dengan suara heran dan nadanya halus dia bertanya.
"Lak Beng Suciok, apakah ribut-ribut itu?"
"Hemm, kau tidak perlu tahu dan tidak boleh keluar dari kamar ini. Pinceng sendiri yang menjaga di sini!"
Jantung Hong Ing berdebar keras. Tak salah lagi, tentu ayahnya telah datang! Kalau tidak, mengapa susioknya ini sendiri yang menjaganya?
"Susiok, aku mau pergi berlatih."
"Engkau tidak boleh meninggalkan kamar!"
"Eh, siapa itu di sana? Bukankah itu Ayah...?"
Tiba-tiba gadis itu menuding ke atas genteng yang tampak dari pintu kamarnya. Lak Beng Lama terkejut sekali, memutar tubuh menghadapi arah yang ditunjuk dan siap dengan tongkatnya dan pada saat itu Hong Ing sudah meloncat keluar dari kamarnya.
"Bocah setan! Hendak lari ke mana kau?"
Lak Beng Lama cepat mengejar dan dalam beberapa loncatan saja pendeta yang sakti ini sudah dapat menyusul dan sudah menghadang di depan Hong Ing dengan alis berkerut. Suara ribut-ribut di bagian depan makin hebat dan tiba-tiba Hong Ing berteriak,
"Ayaaaahhhh...! Aku Pek Hong Ing berada di sini...!"
Akan tetapi dia segera roboh terkena totokan ujung tongkat yang amat cepat dan tubuhnya yang lumpuh sudah dikempit oleh Lak Beng Lama. Di bagian depan markas itu memang sedang ribut. Tepat dugaan Hong Ing bahwa ayahnyalah yang muncul. Pagi itu, di waktu semua pendeta sedang sibuk membaca doa dan bersembahyang sehingga penjagaan agak berkurang ketatnya, sesosok bayangan berkelebat melompati pagar tembok tinggi itu dan ketika beberapa orang penjaga melihat dan mengurungnya, dalam beberapa gebrakan saja empat orang di antara mereka sudah roboh! Mulailah mereka berteriak-teriak memberi tanda bahaya dan ributlah semua pendeta yang sedang berdoa, termasuk Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama.
"Lak Beng Sute, kau cepat menjaga Hong Ing!"
Kata Sin Beng Lama yang bersama Hun Beng Lama cepat berlari-lari ke luar. Ternyata Kok Beng Lama yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu sedang mengamuk. Kaki tangannya bergerak secara luar biasa dan angin besar bersiut dari kedua ujung lengan bajunya yang lebar. Setiap kali kaki tangannya bergerak, tentu ada pendeta yang terpelanting atau terlempar. Namun pengeroyokan makin ketat dan kini semua pendeta telah menggunakan senjata masing-masing. Hujan senjata menjatuhi tubuh pendeta raksasa itu, namun semua hantaman senjata yang tajam maupun yang tumpul tidak ada yang membekas pada kulit tubuh Kong Beng Lama, kecuali hanya merobek pakaiannya saja.
"Hayo bebaskan anakku, kalau tidak... demi Tuhan, kubunuh semua orang di tempat ini!"
Kok Beng Lama berteriak-teriak sambil dengan kedua tangannya menangkap empat orang pengeroyok seperti mencengkeram garuda menerkam empat ekor anak ayam saja layaknya, lalu melemparkan empat orang itu kepada para pengeroyoknya sehingga mereka morat-marit.
"Pemberontak hina! Berlututlah untuk menerima hukuman!"
Tiba-tiba terdengar bentakan lemah lembut dan para pengeroyok membuka jalan untuk Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama. Seperti biasa kalau menghadapi lawan berat, Sin Beng Lama membawa lima batang hio membara, sedangkan Hun Beng Lama memutar-mutar biji tasbih di antara jari-jari tangannya. Dilihat seperti itu, kedua orang pendeta ini lebih pantas hendak bersembahyang dan membaca doa daripada bersiap-siap menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi tentu saja Kok Beng Lama mengenal kedua orang sutenya ini dan dia menjawab bentakan Sin Beng Lama dengan suaranya yang nyaring, dan sinar matanya mengandung penuh ancaman maut.
"Sin Beng Sute...!"
"Pinceng bukan sutemu lagi dan engkau tidak berhak menyebut Sute kepada pinceng!"
"Hemm, sesukamulah, Sin Beng Lama! Akan tetapi dengar baik-baik. Aku datang untuk minta anakku, Pek Hong Ing. Kalau kalian menolak, aku akan membunuh kalian semua, tidak ada kecualinya!"
"Omitohud...!"
Sin Beng Lama berseru sambil mengacungkan lima batang hio di depan dadanya.
"Ucapan yang keluar dari mulut iblis! Pemberontak dan pengkhianat hina, engkau telah melanggar undang-undang agamamu sendiri, engkau telah melakukan dosa besar, membunuh ketua yang menjadi Twa-suheng (Kakak Tertua Seperguruan) sendiri dan beberapa orang saudara lain. Dan sekarang engkau tidak bertaubat, tidak minta ampun bahkan mengancam hendak membunuh kami semua! Tidak malukah engkau yang sudah puluhan tahun tekun mempelajari semua ajaran agama yang suci?"
"Hemmm, Sin Beng Lama! Kita sama-sama adalah tua bangka-tua bangka, bukan anak kecil yang mudah saja dibujuk dengan omongan manis dan dengan kedok agama! Agama dan pelajarannya adalah untuk dilaksanakan, bukan sekedar dipakai untuk senjata menekan orang lain, bukan dipergunakan sebagai jembatan untuk mencari kekayaan, kedudukan, kesenangan lahir batin, bukan diperalat sebagai pencari sorga dan nirwana! Kalian mempelajari kasih akan tetapi hati kalian penuh sesak dengan kebencian. Kalian menjaga kebersihan lahiriah namun batin kalian kotor melebihi keranjang sampah! Menghadapi tua bangka seperti aku, tidak perlu lagi kalian menakut-nakuti dengan agama yang dibikin palsu oleh tingkah laku pemeluknya sendiri macam kalian! Hayo bebaskan anakku, berikan kepadaku, dan aku akan pergi dari sini dengan aman, bahkan bersumpah takkan menginjak tempat ini lagi. Kalau tidak, kalian akan kubunuh semua dan tempat ini akan kubasmi, kuhancurkan!"
"Pemberontak keparat!"
Hun Beng Lama membentak marah dan dia sudah melangkah maju perlahan-lahan, tasbihnya diputar-putar di atas kepalanya yang gundul dan terdengarlah suara "trikk... trikk... trikkk..."
Dengan irama tertentu dan biarpun tidak begitu keras, namun seperti jarum tajam menusuk anak telinga sehingga para anggauta Lama Jubah Merah yang kurang kuat sin-kangnya cepat mundur sambil menutupi telinga mereka. Hanya yang sudah agak tinggi tingkatnya saja, yang jumiahnya paling banyak tiga puluh orang, yang berani maju mengurung Kok Beng Lama.
Sin Beng Lama juga melangkah maju, lima batang hio pindah ke tangan kiri dan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebatang pedang bersinar hijau yang amat tipis dan panjangnya ada empat kaki, gagangnya terbuat dari perak, sebatang pedang pusaka yang amat indah dan ampuh. Melihat ini, sinar mata Kok Beng Lama menjadi ganas dan mulutnya tersenyum mengejek, tubuhnya tetap berdiri tegak tidak bergerak, yang bergerak hanya biji matanya yang melirik ke kanan kiri, telinganya seolah-olah berdiri dengan penuh perhatian mendengarkan setiap suara di sekelilingnya. Dalam keadaan seperti itu, pandengaran pendeta Lama raksasa ini luar biasa tajamnya sehingga setiap tarikan napas para pengeroyoknya dapat ditangkapnya dengan jelas, bahkan suara detak jantung lawan terdengar olehnya!
"Serbuuuu...!"
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sin Beng Lama memberi aba-aba.
"Hyaaaatttt...!"
Suara bentakan para pengeroyok menjadi satu, terdengar nyaring bergema ketika mereka serentak menerjang ke depan dengan senjata masing-masing yang seperti hujan menyambar ke arah seluruh tubuh Kok Beng Lama, dari semua penjuru. Kalau semua senjata itu mengenai tubuh Kok Beng Lama dan kalau tubuh pendeta raksasa ini biasa seperti tubuh orang-orang lain, tentu dia akan roboh dengan tubuh hancur lebur, tidak ada bagian sedikit pun yang masih utuh.
"Hoooouuuuhhh...!"
Kok Beng Lama mengeluarkan suara yang amat dalam dan lebar, bukan seperti suara manusia lagi, suara yang seolah-olah keluar dari dalam bumi! Tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak memutar, lenyap bentuk tubuhnya dan yang tampak hanyalah gulungan yang amat cepat seperti angin puyuh mengamuk.
"Trangggg...!"
"Krekkkkk...!"
"Bukkkk...!"
"Dessss...!"
"Aughhh...! Aduhhh...! Ahhhh!"
Akibatnya hebat bukan main! Tidak kurang dari enam orang yang terlempar dan roboh pingsan! Selain itu, banyak pula yang kehilangan senjata mereka, ada yang patah dan banyak yang lepas dari tangan, terlempar entah ke mana.
Bukan main hebatnya sepak-terjang Kok Beng Lama yang selama sepuluh tahun dalam sel telah menciptakan dan mematangkan banyak ilmu-ilmu yang mujijat dan dahsyat itu. Dengan putaran kedua ujung lengan bajunya saja dia telah berhasil merobohkan enam orang pengeroyoknya dan merampas banyak senjata! Melihat ini, Hun Beng Lama menjadi marah sekali, demikian pula Sin Beng Lama. Dalam gebrakan pertama tadi, mereka berdua memang membiarkan para anak buah lain yang maju menerjang karena mereka merasa yakin bahwa dengan mengandalkan jumlah besar, tentu Kok Beng Lama yang dianggap pemberontak itu akan dapat dikuasai. Siapa kira, raksasa itu memang hebat bukar main, maka terpaksa mereka harus turun tangan sendiri.
"Omitohud...! Haaaaiiiikkkk!"
Hun Beng Lama sudah menerjang maju dengan tasbihnya yang menyambar ke pelipis kiri sedangkan tangan kirinya yang membentuk cakar garuda itu mencengkeram ke arah perut lawan. Gerakannya cepat dan mendatangkan angin pukulan yang bendesing-desing saking kerasnya. Pada detik berikutnya, terdengar suara tajam menulikan telinga ketika sinar hijau berkeredepan menyambar-nyambar seperti seekor naga hijau bermain-main dan itulah pedang di tangan Sin Beng Lama yang dalam satu jurus telah mengirim tiga bacokan dan delapan tusukan yang mengancam tiga belas jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan!
"Bagus...!"
Teriak Kok Beng Lama sambil menggerakkan kepalanya mengelak sambaran tasbih ke pelipisnya kemudian mengangkat kaki menendang ke arah tangan kanan Hun Beng Lama, sedangkan sepuluh kuku jari tangannya sibuk menyentil ke arah sinar-sinar hijau yang menyambar-nyambar itu. Dia telah berhasil menangkis tiga belas serangan pedang hijau itu dengan sentilan jari tangannya dan setiap kali dia menyentil terdengarlah suara nyaring.
"Tring-tring-tring-tring-tring...!"
Terkejutlah Sin Beng Lama ketika merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang tergetar hebat karena sentilan kuku jari tangan lawannya itu! Dengan seruan halus dia mencelat ke belakang sampai tiga meter jauhnya, tangan kirinya bergerak dan tampaklah sinar api menyambar ke arah tubuh Kok Beng Lama! Itulah penyerangan hio-hio membara yang amat luar biasa dan amat berbahaya pula karena biarpun hanya berupa hio, namun dilepas dengan pengerahan tenaga sin-kang yang amat ampuh sehingga kalau mengenai tubuh lawan dapat menancap dengan api masih membara!
"Keji, alat sembahyang dipakai membunuh!"
Kok Beng Lama berseru keras, menggerakkan kedua tangan bergantian didorongkan ke depan dengan telapak tangan terbuka. Menyambarlah hawa dingin dari kedua telapak tangannya dan itulah inti tenaga Im-kang yang amat dingin. Tampak asap mengepul dan lima batang hio itu padam apinya,
Bahkan runtuh semua ke atas tanah, masih mengepulkan asap putih yang harum baunya. Tentu saja Sin Beng Lama menjadi makin marah. Bersama sutenya, Hun Beng Lama dia menerjang maju, menggerakkan pedangnya secara luar biasa sekali sehingga tubuhnya lenyap digulung sinar pedang yang merupakan gulungan sinar hijau menyilaukan mata yang kini bergulung-gulung menyelimuti tubuh Kok Beng Lama pula. Di antara sinar hijau ini tampak sinar putih dari tasbih Hun Beng Lama yang mengeluarkan suara "trik-trik"
Makin lama makin nyaring. Maka terdengarlah paduan suara yang menyeramkan karena semua orang yang kurang kuat sin-kangnya merasa betapa jantung mereka seperti ditarik-tarik dan telinga seperti ditusuk-tusuk oleh suara berdetrik dari tasbih, bercampur dengan suara berdesingan dari pedang hijau,
Diseling geraman-geraman marah dari dada Kok Beng Lama yang bidang. Pertempuran hebat dan mati-matian, dilakukan oleh tiga orang sakti, terjadi dengan serunya, membuat para Lama yang berada di situ tidak berani lagi turun tangan membantu karena mereka maklum bahwa bantuan mereka tidak akan menguntungkan pihak kawan juga tidak merugikan pihak lawan melainkan membahayakan nyawa sendiri. Kalau dibuat ukuran, tingkat kepandaian Kok Beng Lama dahulu pun setingkat dengan Sin Beng Lama. Akan tetapi semenjak dia menjalani hukuman selama sepuluh tahun, kepandaiannya bertambah hebat sedangkan Sin Beng Lama hanya mendapat kemajuan biasa saja. Orang yang berada di dalam tahanan seperti Kok Beng Lama, kehilangan kebebasannya dan tidak melakukan suatu pekerjaan tertentu, lebih tekun dalam berlatih,
Apalagi karena memang dia mempunyai dendam. Sedangkan tingkat kepandaian Hun Beng Lama masih kalah setingkat dari Sin Beng Lama, maka pertempuran hebat itu lebih tepat dikatakan bahwa yang bertanding mati-matian adalah Sin Beng Lama melawan Kok Beng Lama, sedangkan Hun Beng Lama hanyalah merupakan tenaga pengacau saja yang mengacaukan pertahanan Kok Beng Lama. Namun, biar dia bertangan kosong dikeroyok oleh dua orang yang memiliki kepandaian tinggi dan bersenjatakan senjata-senjata pusaka ampuh pula, ternyata Kok Beng Lama memiliki kesaktian yang amat luar biasa. Semua ini diperhebat lagi oleh kemarahannya karena dia mengkhawatirkan nasib puterinya, maka dia seolah-olah iblis sendiri yang mengamuk dan sukar ditandingi oleh dua orang pendeta Lama itu!
"Kalian bosan hidup! Kalian bosan hidup! Akan kubunuh semua...!"
Demikian terdengar Kok Beng Lama menggereng.
"Brettt! Plakk! Aughh...! Aduhhh...!"
Para pendeta yang menonton tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata mereka apa yang telah terjadi karena yang tampak hanyalah sinar-sinar dan bayangan saja yang campur aduk menjadi satu. Tahu-tahu, tubuh Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama terlempar dan terbanting keras, sedangkan tubuh Kok Beng Lama terhuyung ke belakang, dadanya terluka pedang dan pakaian di pundaknya hancur oleh pukulan tasbih, akan tetapi kedua orang lawannya muntah darah terkena hawa pukulan kedua telapak tangan Kok Beng Lama. Dengan muka buas Kok Beng Lama sudah hendak menerjang lagi dua orang bekas sutenya yang sudah terluka itu dan agaknya tidak akan dapat dihidarkan lagi dua orang Lama Jubah Merah itu tentu akan tewas karena mereka belum sempat bangun sedangkan para anggauta yang lain tidak ada yang berani menghadapi Kok Beng Lama.
"Pemberontak hina! Jangan bergerak atau puterimu akan pinceng bunuh di depan matamu!"
Kok Beng Lama tersentak kaget, menengok dan memandang dengan diam seperti patung. Lak Beng Lama telah berada di situ, tangan kanan memegang tongkat yang ditodongkan ke ubun-ubun seorang dara remaja yang dikempit dengan lengan kirinya. Gadis itu sama sekali tidak dapat bergerak, tanda bahwa dia telah menjadi korban totokan. Kok Beng Lama mengenal gadis yang pernah ditolongnya di muara Sungai Huang-ho itu, dan kini nampak nyata olehnya betapa mirip wajah dara itu dengan wajah bekas kekasihnya yang telah tewas, Pek Cu Sian! Dia mengeluarkan suara gerengan keras dan matanya seperti mengeluarkan api memandang kepada tiga orang pendeta itu. Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama telah memperoleh kesempatan menguasai diri mereka dan sudah berdiri di dekat Lak Beng Lama yang mengempit tubuh Pek Hong Ing.
"Kok Beng Lama, sebelum engkau bergerak, puterimu akan pinceng bunuh!"
Kok Beng Lama tidak mempedulikan ucapan itu, dengan suara gemetar seperti orang sakit demam dia berkata kepada Hong Ing yang sejak tadi dipandangnya tanpa berkejap mata,
"Nona muda, siapakah namamu?"
Hong Ing yang tidak dapat bergerak itu sejak tadipun memandang kepada Kok Beng Lama dengan wajah pucat. Dia pun meragukan apakah benar pendeta tua yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, yang sikapnya amat mengerikan ini, adalah ayah kandungnya? Mendengar pertanyaan itu, dia diam saja karena urat gagunya telah tertotok, membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara. Tiba-tiba Sin Beng Lama menggerakkan ujung lengan bajunya, menyambar ke arah leher Hong Ing, dan terbebaslah dara itu dari totokan yang membuatnya gagu.
"Aku... namaku Pek Hong Ing..."
Hong Ing menjawab dengan suara agak kaku karena baru saja dia terbebas.
"Siapa gurumu?"
Kembali Kok Beng Lama bertanya.
"Go-bi Sin-kouw..."
"Siapa nama ibumu?"
Pertanyaan ini keluar dengan lirih dan parau.
"Nama ibu, Pek Cu Sian..."
"Cu Sian...!"
Pengulangan nama dari mulut Kok Beng Lama ini terdengar menyerupai keluhan.
"Tahukah engkau siapa ayahmu?"
"Ibu tidak pernah sempat memberitahuku tapi... tapi... tiga orang Locianpwe itu mengaku para susiokku dan membawaku ke sini, katanya hendak dipertemukan dengan ayahku, ternyata aku diperlakukan sebagai tawanan. Kata mereka, ayahku bernama Kok Beng Lama..."
Kok Beng Lama menggereng dan tiga orang kakek itu sudah siap-siap melawan sedangkan Lak Beng Lama sudah menempelkan tongkatnya di ubun-ubun kepala hong Ing, juga para anggauta Lama sudah mengurung lagi tempat itu.
"Akulah Kok Beng Lama! Hong Ing, setidaknya sudah empat lima tahun ketika engkau masih kecil engkau tinggal di ruang di mana aku terhukum. Ingatkah engkau akan sesuatu di tempat itu?"
"Aku... aku hanya ingat berada di dalam ruangan yang luas bersama ibu dan seorang laki-laki yang selalu bersamadhi, yang tak dapat kulupakan adalah bahwa laki-laki itu seringkali menari-nari di sekeliling sebuah arca besar sebesar manusia..."
"Engkau anakku...!"
Tiba-tiba Kok Beng Lama menggereng keras.
"Akulah laki-laki itu... sedang berlatih silat, Hong Ing, engkau anakku...!"
Seperti gila kakek itu lalu memandang ke sekelilingnya.
"Hayo bebaskan dia! Kalau tidak, kubasmi kalian semua!"
"Kok Beng Lama, puterimu berada di dalam kekuasaan kami, sepantasnya kalau kami yang mengajukan usul, bukan engkau yang menuntut. Engkau telah membuat dosa besar dan untuk menjaga kehormatan dan wibawa perkumpulan, engkau sebagai seorang anggauta pimpinan yang menyeleweng haruslah dihukum. Menyerahlah dan engkau akan kami hukum sesuai dengan peraturan, dan puterimu yang memang tidak berdosa apa-apa tidak akan kami ganggu bahkan akan kami perlakukan sebagai murid keponakan kami yang tercinta. Sebaliknya kalau kau melawan, terpaksa kami akan membunuh dulu puterimu sebelum membunuhmu."
Suara halus Sin Beng Lama itu terdengar jelas oleh semua orang karena keadaan di situ amat tegang dan sunyi. Kok Beng Lama memandang ragu kepada Hong Ing, dan dara itu cepat berkata dengan suara lantang,
"Locianpwe, kalau benar engkau adalah ayah kandungku, jangan dengarkan bujukan mereka! Aku tidak takut mati, tidak perlu engkau menyerah kepada mereka dan berkorban untuk aku!"
Mendengar ini, sepasang mata yang tadinya mengeluarkan sinar kemarahan dan wajah yang keruh dan merah itu berubah. Sinar matanya lembut memandang Hong Ing dan wajahnya berseri.
"Engkau adalah anakku, tak salah lagi! Keberanianmu, sikapmu, persis sikap ibumu Pek Cu Sian! Sin Beng Lama, ajukan usulmu agar kupertimbangkan!"
Sin Beng Lama kelihatan lega sekali. Dia dan Hun Beng Lama sudah terluka cukup parah dan kalau pertandingan dilanjutkan, bukan tidak mungkin akan terjadi seperti yang diancamkan oleh Kok Beng Lama, yaitu mereka semua akan terbasmi habis!
"Kok Beng Lama, betapa pun besar dosa-dosamu, akan tetapi mengingat engkau adalah bekas pimpinan dan telah banyak berjasa demi kemajuan perkumpulan kita puluhan tahun yang lalu, maka kami pun akan bertindak seadil-adilnya. Perbuatanmu itu akan menghancurkan kehormatan perkumpulan kalau engkau masih berkeliaran di dunia luar, seolah-olah perkumpulan kami tidak dapat bertindak terhadap dirimu. Oleh karena itu, engkau akan kami jatuhi hukuman bertapa di dalam sel penjara selama hidupmu. Usiamu sudah tinggi, maka hukumanmu tentu juga tidak berapa lamanya dan hukuman itu hanyalah untuk mencegah engkau merusak nama perkumpulan di luar Tibet."
"Hemmm, kalau aku menerima hukuman itu, apa imbalannya?"
"Puterimu akan kami pelihara baik-baik, tinggal di sini sebagai keluarga dan sewaktu-waktu dapat menjengukmu di dalam penjara."
Kok Beng Lama mengerutkan alisnya berpikir keras, kemudian mengangguk.
"Cukup adil... cukup adil... aku pun tidak ada niat berkelana, kalau aku dahulu pergi hanya untuk mencari Pek Cu Sian dan puterinya. Setelah Hong Ing berada di sini, perlu apa aku pergi? Akan tetapi, bagaimana kalau kalian mengkhianati dan kelak mengganggu anakku?"
"Kok Beng Lama!"
Sin Beng Lama berteriak marah.
"Engkau sendiri sudah tahu betapa Lama Jubah Merah lebih menghargai janji daripada nyawa! Pinceng sendiri berjanji takkan mengganggu Pek Hong Ing, tidak akan memaksanya melakukan sesuatu di luar kehendaknya kalau engkau suka menyerah dan menjalani hukuman itu!"
"Bagus! Aku percaya akan janjimu, Sin Beng Lama."
"Akan tetapi, pinceng belum mendengar janjimu, Kok Beng Lama."
"Ha-ha-ha, engkau memang selalu cerdik, Sute! Nah, dengarlah. Aku, Kok Beng Lama, berjanji tidak akan memberontak lagi selamanya dan akan mentaati perintah para pimpinan Lama Jubah Merah."
"Omitohud...! Para dewa menjadi saksinya!"
Kata Sin Beng Lama dengan girang dan dia berkata kepada sutenya.
"Lak Beng Lama, bebaskan Pek Hong Ing agar dia dapat bertemu dengan ayah kandungnya!"
Lak Beng Lama membebaskan totokan Hong Ing dan melepaskan gadis itu dari kempitannya. Begitu dia terlepas, dengan terhuyung-huyung Hong Ing lari menghampiri Kok Beng Lama, kemudian menjatuhkan diri di depan kakek itu sambil berseru penuh keharuan,
"Ayaaaahhh...!"
Kok Beng Lama menunduk, memandang kepada gadis yang berlutut itu, kemudian menengadah ke langit, kemudian tertawa bergelak, kedua tangannya meraih ke bawah dan tubuh Hong Ing terangkat dan sudah dirangkul dan dipeluknya.
"Ha-ha-ha-ha! Kau... anakku...! Ha-ha-ha, akhirnya kita berkumpul juga di tempat di mana kau dilahirkan. Biarlah engkau tetap memakai she Pek seperti ibumu, she yang amat bagus dan terhormat. Pek Hong Ing, kau maafkan ayahmu yang tidak becus membahagiakan ibumu, akan tetapi setidaknya, aku dapat melakukan sesuatu untuk anaknya, yaitu engkau, Anakku!"
Lalu diciumnya ubun-ubun kepala Hong Ing dengan penuh kasih sayang. Hong Ing sudah cepat menghapus air matanya dan sambil menyandarkan kepala di dada ayahnya yang amat bidang dan kuat itu, dia berbisik,
"Ayah, setelah aku dibebaskan, mari kita pergi saja dari sini. Aku...aku tidak akan betah tinggal di tempat ini, Ayah."
Dia tidak berani bicara terus terang betapa dia merasa rindu kepada seorang pemuda yang dicintanya. Ayahnya menggeleng kepala.
"Janji lebih penting daripada segalanya, Anakku. Kautinggallah di sini, sebagai kcluarga terhormat dan lebih dari itu lagi, setiap hari engkau dapat menjengukku di penjara dan aku akan mewariskan seluruh ilmu kepandaianku kepadamu!"
Hong Ing merasa kecewa dan berduka sekali sehingga air matanya mengalir lagi. Akan tetapi Kok Beng Lama mengira bahwa anaknya menangis saking senangnya, maka dia tertawa-tawa lagi.
"Kok Beng Lama, sudah cukup kiranya pertemuan dengan puterimu. Setiap hari engkau masih akan dapat bertemu. Sekarang, marilah kami antar engkau memasuki tempat hukumanmu!"
Karena hatinya merasa gembira, Kok beng Lama mengangguk dan sambil tertawa-tawa dia diantar ke tempat hukuman, di mana dahulu dia mendekam selama sepuluh tahun. Kalau dulu dia menghabiskan waktu hukuman dengan memperdalam ilmu-ilmunya, sekarang dia hendak menghabiskan waktu hukuman dan sisa hidupnya untuk mewariskan ilmu-ilmunya itu kepada anak tunggalnya, Pek Hong Ing.
"Susiok, aku tidak bicara main-main. Aku ingin menebus dosa ibuku!"
Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama saling pandang mendengar ucapan Hong Ing yang pagi hari itu datang menghadap mereka di ruangan dalam setelah mereka selesai melakukan upacara sembahyang dan membaca doa pagi.
"Mengapa, Hong Ing? Bukankah kau hidup cukup terhormat dan senang di sini? Bukankah kami memperlakukan engkau dengan baik seperti janji kami dan semua anggauta bersikap hormat kepadamu?"
Tanya Sin Beng Lama.
"Benar Susiok, akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku melakukannya untuk menebus dosa ibuku. Ibu telah melakukan dosa kepada agama kita dan untuk dosa itu sekarang Ayah yang menanggung derita dan hukumannya. Semua ini terjadi karena kutukan Dewa, sehingga aku pun hidup sengsara dan disakiti hati orang. Maka, aku hendak menebus dosa dengan mengorbankan diri kepada Dewa sebagai pengganti ibuku. Karena ibuku melarikan diri dari tangan Dewa, maka Dewa telah mengutuknya dan aku sebagai puterinya tentu akan mereka kutuk pula."
"Omitohud... engkau hebat sekali, Pek Hong Ing. Engkau seorang dara yang suci dan bersih hatimu, dan engkau memang pantas sekali menjadi kekasih Dewa."
Kata Sin Beng Lama dengan pandang mata penuh kagum.
"Aku memang sudah ditakdirkan menjadi kekasih Dewa, Susiok. Hampir setiap malam aku telah bermimpi dan selalu bertemu dan dicumbu rayu oleh Dewa yang bertangan enam bermuka tiga..."
"Siancai...!"
"Omitohud...!"
Tiga orang pendeta Lama itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada dan mulut mereka berkemak-kemik membaca doa. Ketika mereka memandang lagi kepada Hong Ing, pandang mata mereka berubah, amat kagum dan menghormat sekali!
"Keponakanku yang baik, Pek Hong Ing. Semua itu adalah tanda-tanda dari Dewa dan sudah semestinya kalau kita semua mentaatinya. Akan tetapi, kami tidak berani karena ayahmu pasti akan mengamuk kalau mendengar engkau akan mengorbankan dirimu kepada Dewa."
"Ayah sudah berjanji tidak akan memberontak lagi, Susiok. Dan urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ayah. Sesungguhnya, perbuatan Ayah itulah yang membuat aku mengambil keputusan ini. Ibu telah berdosa kepada Dewa, juga Ayah telah berdosa, maka terlahir aku yang harus menebus dosa mereka itu dengan mengorbankan diri kepada Dewa."
"Bagus, bagus! Pinceng yakin bahwa seorang perawan seperti engkau ini tentu dapat menjadi kekasih Dewa, Hong Ing."
"Akan kuusahakan agar Dewa mencintaku, Susiok, sehingga aku dapat membujuknya mengampuni ayah-ibuku, juga agar Dewa memberkahi para Susiok dan agama kita ini..."
"Omitohud...!"
Tiga orang itu berseru dengan girang sekali.
"Akan tetapi,"
Sin Beng Lama berkata lagi, meragu.
"Kami telah berjanji kepada ayahmu untuk memperlakukanmu dengan baik, tidak akan mengganggumu..."
"Susiok, urusan ini tidak ada pihak yang mendesak atau didesak. Susiok sekalian telah memperlakukan aku dengan baik, Susiok sekalian tidak melanggar janji kepada Ayah. Aku mau mengorbankan diriku kepada Dewa atas kehendakku sendiri, secara suka rela. Biarlah kalau sudah tiba masanya, aku sendiri yang akan memberi penjelasan kepada Ayah dan aku tanggung dia tidak akan dapat melakukan apa pun kecuali menyesali dosa-dosanya dahulu."
"Ahhh, engkau hebat dan baik sekali, Anakku..."
Sin Beng Lama sampai harus mengusap dua titik air matanya saking terharu hatinya. Tentu saja apa yang diusulkan oleh dara itu amat besar artinya bagi mereka. Bayangkan saja. Keponakannya akan menjadi kekasih Dewata! Menjadi kekasih Dewa Syiwa yang maha sakti dan hal itu tentu akan mengangkat kedudukan rohani mereka! Dengan jadinya seorang keponakan mereka menjadi kekasih Dewa, maka sorga dan nirwana sudah berada di telapak tangan mereka!
"Bukan aku yang baik, Susiok, karena itu hanyalah merupakan kewajibanku menebus dosa orang tua. Akan tetapi aku mengharukan kebaikan dari Susiok untuk memenuhi permohonanku yang terakhir yang juga merupakan syarat tunggalku untuk melakukan pengorbanan diri."
"Permohonan terakhir seorang perawan suci merupakan perintah! Katakanlah apa yang harus kami lakukan?"
Hun Beng Lama berkata penuh semangat karena dia yakin berdasarkan kepercayaannya bahwa kelak dia pun akan menerima anugerah dan ikut memperoleh sepercik berkah dari Dewa.
"Aku mendengar bahwa seorang yang dengan setulusnya hati hendak berbakti kepada Dewa haruslah dengan hati bersih dari segala perasaan dendam, benci dan kemarahan."
"Benar sekali! Memang Dewa menghendaki seorang anak perawan yang suci dan bersih lahir batin."
"Itulah yang menjadi penghalang, Susiok. Aku pernah mencinta seorang pemuda, akan tetapi dia telah memarahkan hatiku, membuatku menaruh dendam dan merubah cintaku menjadi kebencian. Oleh karena itu, sebelum melihat dia diseret ke depan kakiku, perasaan itu akan terus berada di dalam hatiku, membuat aku kurang bersih jika kelak menghadap Dewa yang agung. Maka, aku mohon kepada Susiok agar suka turun gunung dan menangkap pemuda yang menyakitkan hatiku itu. Setelah melihat dia tertangkap di sini, barulah aku dengan hati lapang dan bersih akan mengorbankan diri dengan suka rela dan biar dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri sebagai hukumannya."
"Pemuda itu... yang menemanimu di pulau kosong itu?"
Tanya Sin Beng Lama.
"Benar dialah orangnya. Bagaimana Susiok dapat menduganya demikian tepat?"
"Pinceng sudah mendengar kata-katanya ketika membelamu, dan melihat engkau menampar mukanya..."
"Memang dia amat menyakitkan hatiku, Susiok. Karena itu, kalau Susiok sekalian dapat memenuhi permintaanku, yaitu menangkap pemuda itu dan membawanya ke sini, maka siaplah aku untuk mengorbankan diri kepada Dewa."
"Benarkah kata-katamu itu?"
"Aku berjanji dan janji lebih berharga daripada mati!"
"Baik, kalau begitu, biarlah kedua Sute Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama memenuhi permintaanmu itu, menangkap pemuda yang kaumaksudkan dan menyeretnya ke depan kakimu. Hun Beng Sute dan Lak Beng Sute, pemuda itu cukup lihai akan tetapi pinceng yakin bahwa Sute berdua akan mampu membekuknya."
"Baik, Suheng,"
Jawab Hun Beng Lama.
"Hong Ing, siapakah nama pemuda itu dan di mana adanya dia? Apakah masih di pulau kosong itu?"
"Bukan, bukan di sana. Kami berdua hanya menggunakan tempat itu sementara saja, Susiok. Setelah aku pergi ikut dengan Sam-wi Susiok (Paman Guru Bertiga) dia pasti segera meninggalkan tempat itu."
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Habis, di mana kami harus mencarinya?"
"Aku tahu di mana adanya pemuda itu. Yap Kun Liong, nama pemuda itu, sekarang pasti berada di puncak Cin-ling-san. Dia adalah murid keponakan dari Ketua Cin-ling-pai dan dia bermain cinta dengan puteri ketua yang menjadi paman gurunya itu. Karena itulah aku bersakit hati. Maka harap Ji-wi Susiok (Paman Guru Berdua) suka mencarinya di Cin-ling-san."
Tiga orang Lama itu sama sekali belum pernah mendengar nama Ketua Cin-ling-pai, maka mereka tidak menaruh curiga apa-apa. Karena sudah pernah bertemu dengan Yap Kun Liong, maka Sin Beng Lama merasa yakin bahwa kedua orang sutenya sudah cukup untuk menangkap pemuda itu. Maka berangkatlah kedua orang pendeta Lama itu meninggalkan Tibet dengan hati penuh semangat dan kegembiraan karena mereka menganggap perintah dari "perawan suci"
Ini merupakan tugas yang mulia bagi mereka.
Tentu saja semua itu adalah siasat yang amat cerdik dari Hong Ing. Dara ini tentu saja tidak betah tinggal di tempat itu, dan biarpun dia mulai menerima gemblengan ayahnya yang sakti, namun ayahnya tidak mau melanggar janji dan tidak mau pergi bersamanya meninggalkan tempat itu, bahkan ayahnya sudah mengambil keputusan untuk menghabiskan sisa hidupnya di tempat hukuman itu! Karena maklum bahwa sia-sia saja untuk membujuk ayahnya, Hong Ing lalu mencari akal. Dia tahu dengan pasti bahwa Kun Liong tentu berusaha menyusul dan mencarinya, maka dia lalu mempergunakan siasat untuk menghubungi Kun Liong, bahkan dengan cerdik dia memberikan alamat Cin-ling-pai dengan maksud menarik perhatian Ketua Cin-ling-pai yang amat sakti sehingga Kun Liong memperoleh bala bantuan yang amat kuat. Kalau ada Lama mencari Kun Liong di Cin-ling-pai,
Tentu Pendekar Sakti Cia Keng Hong akan tertarik dan tentu akan ikut turun tangan, apalagi karena dua orang Lama yang mengandalkan kepandaiannya itu tentu akan berterus terang untuk menangkap Kun Liong. Setelah kedua orang Lama itu berangkat, legalah hati Hong Ing dan dia hanya menanti dengan sikap gembira. Membayangkan Kun Liong akan tiba di tempat itu memberi kekuatan yang ajaib kepadanya, membuatnya gembira sekali karena andaikata siasatnya gagal dan Kun Liong benar-benar ditangkap dan dibawa ke situ, dia akan rela menderita atau mati sekalipun asal berada di dekat pemuda itu. Dalam kegembiraan yang didorong harapan bertemu kembali dengan pemuda yang dicintainya itu, Hong Ing mulai tekun mempelajari dan melatih ilmu yang diajarkan oleh ayahnya yang sama sekali tidak tahu akan siasat yang dijalankan oleh puterinya.
Pusaka Pulau Es Eps 2 Pedang Kayu Harum Eps 2 Pusaka Pulau Es Eps 10