Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pulau Es 11


Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



"Itulah jadinya kalau ada yang lancang berani mengintai dan mendengarkan percakapan kami. Pinto kira yang mengintai itu tentu mata-mata musuh, maka pinto menyerangnya sehingga dia tewas. Kiranya dia adalah sute (adik seperguruan) Beng An Tosu sendiri! Biarlah hal ini menjadi peringatan bagi kalian agar jangan ada yang berani lancang mendengarkan atau mengintai kami!"

   Semua anggauta Bu-tong-pai benar-benar merasa heran bukan main. Beng An Tosu merupakan seorang tosu yang jujur dan setia, bahkan biasanya amat dipercaya oleh Thian It Tosu. Dan sekarang Beng An Tosu tewas di tangan ketua mereka sendiri! Mulailah para tosu Bu-tong-pai merasa tidak puas dan menduga bahwa ketua mereka agaknya sudah dipengaruhi oleh para tokoh sesat itu.

   Akan tetapi apa yang dapat mereka lakukan? Pada suatu hari, banyak tamu berdatangan dan berkunjung ke Bu-tongpai. Mereka disambut oleh Thian It Tosu sendiri. Kepada para anggauta Bu-tong-pai yang terheran-heran melihat hadirnya para tokoh dan datuk sesat, Thiat It Tosu memperingatkan mereka bahwa untuk berhasilnya perjuangan, dia tidak mempedulikan golongan dari mana yang akan membantunya. Memang istimewa para tamu yang berdatangan di waktu itu. Thian-yang-cu dari Bu-tong-pai yang merupakan murid utama dari Thian It Tosu, dan juga Thian Tan Tosu, dipercaya untuk membantu ketua Bu-tong-pai itu menyambut para tamu. Selain dua orang tosu ini, tidak ada orang lain boleh mencampuri dan hanya menjadi penonton dari jauh saja.

   Tokoh-tokoh besar dari dunia persilatan golongan sesat berdatangan. Koai Tosu tokoh Pat-kwa-pai bersama beberapa orang temannya anggauta Pat-kwa-pai datang lebih dulu. Kemudian Thian-yang-ji tokoh Pek-lian-pai juga bersama belasan orang kawannya. Kemudian muncul pula Swat-hai Lo-kwi yang sudah tua dan rambutnya sudah putih semua itu! Swat-hai Lo-kwi datang bersama Tung-hai Lo-mo yang tidak pernah ketinggalan membawa dayung bajanya. Bahkan Ban-tok Kwi-ong, datuk sesat dari selatan itu juga muncul. Mereka semua dipersilakan masuk ke dalam ruangan besar tertutup, mengadakan rapat yang penuh rahasia sehingga anak buah Bu-tong-pai sendiri tidak ada yang boleh mendengarkan. Thian It Tosu yang memimpin rapat itu nampak bersemangat dan gembira sekali. Dengan berapi-api dia berkata,

   "Saudara sekalian, kita tidak perlu mempedulikan para pejuang yang tidak mau bekerja dengan kita. Setidaknya mereka itu pasti tidak akan membantu pemerintah Mancu."

   "Pangcu kapan kita bergerak? Aku sudah tidak sabar lagi untuk melihat hancurnya kerajaan Ceng!"

   Kata Swathai Lo-kwi.

   "Benar, aku pun sudah siap dengan sedikitnya lima puluh orang teman untuk mulai bergerak menyerang musuh!"

   Kata Tung-hai Lo-mo.

   "Harap saudara sekalian bersabar. Kita harus sabar dan memakai perhitu-ngan yang masak,"

   Kata Thian It Tosu.

   "Kalian masih ingat ketika pertemuan dahulu itu? Gadis yang memperingatkan kita agar jangan memberontak itu telah kami selidiki dan ternyata dara itu adalah puteri dari Putera Mahkota!"

   "Ahhh....!!"

   Semua orang berseru kaget.

   "Jangan panik! Karena itu, kita harus berhati-hati karena tentu gadis itu akan bercerita kepada ayahnya dan tentu keadaan kita telah diamati dari jauh dan mungkin pemerintah telah menyebar mata-mata. Kalau kita bergerak, baru mengumpulkan banyak orang saja sudah akan ketahuan dan sebelum kita bergerak, tentu kita akan dipukul lebih dulu, dan kita harus ingat bahwa kekuatan pasukan pemerintah amat besar."

   "Lalu bagai-mana kita akan bergerak dan mulai perjuang?"

   Tanya Ban-tok Kwiong.

   "Sabar! Kita harus menggunakan siasat. Kami perhitungkan, kalau beberapa orang di antara kita yang berilmu tinggi, seperti Swat-hai. Lo-kwi, Tung-hai Lomo, Ban-tok Kwi-ong dan beberapa orang lagi pergi ke kota raja dan berhasil menyusup ke dalam istana, akan mudah bagi kita untuk membunuh kaisar dan Putera Mahkota! Kalau hal itu terjadi, tentu akan terjadi kekacauan di istana dan kita akan berusah ajar yang menjadi pengganti kaisar orang yang berpihak kepada kita. Semua itu akan diatur oleh sekutu kita yang kini juga sedang berada di kota raja, yaitu Gulam Sang."

   "Ah, Lama Jubah Kuning itu?"

   Terdengar beberapa orang bertanya.

   "Benar, akan tetapi sekarang dia bukanlah pendeta Lama lagi. Dia sudah menghubungi beberapa orang hartawan yang akan membiayai semua rencana kita, juga dia akan berhubungan dengan para pangeran di istana. Kalau pangeran pilihan kita yang menggantikan menjadi kaisar, tentu segalanya akan mudah diatur selanjutnya."

   "Akan tetapi, tidak mudah menyusup ke dalam istana. Pekerjaan itu berbahaya dan nyawa taruhannya."

   Kata Swat-hai Lo-kwi.

   "Harap Lo-kwi jangan khawatir. Hal itu pun serahkan saja kepada Gulam Sang Kongcu. Dia yang akan mengatur sehingga kalian semua akan menyusup ke dalam istana tanpa dicurigai. Misalnya menjadi guru silat seorang pangeran, atau ahli pengobatan dari pangeran lain, atau juga pembantu baru. Pendeknya, kalian akan dapat masuk ke istana dengan berterang, tentu saja dengan menyamar. Semua itu telah direncanakan oleh Gulam Sang Kongcu. Kalian tinggal menanti berita selanjutnya dari kami."

   Telah lama kita tinggalkan Tao Seng dan Tao San, dua orang pangeran yang telah dijatuhi hukuman buang oleh kaisar karena usaha mereka untuk membunuh Putera Mahkota Tao Kuang, akan tetapi mengalami kegagalan karena Pangeran Tao Kuang ditolong oleh Liang Cun yang berjuluk Sin-tung Koai-jin dan puterinya, yaitu Liang Siok Cu. Seperti telah diceritakah di bagian depan, Liang Siok Cu kemudian menjadi selir Pangeran Tao Kuang yang kemudian melahirkan Tao Kwi Hong.

   Bagaimana dengan dua orang pangeran yang dibuang itu? Mereka dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun dan telah dilupakan orang. Akan tetapi, mereka tidaklah lenyap begitu saja. Juga mereka tidak mati dalam pembu-angan mereka, walaupun mereka hidup sengsara. Tidak, mereka masih hidup dan pada suatu hari mereka bahkan kembali ke kota raja karena hukuman mereka telah habis. Keluarga kaisar bersikap tak acuh kepada mereka yang dianggap telah melakukan kejahatan yang memalukan. Tao Seng dan adik tirinya, Tao San, kini telah menjadi dua orang laki-laki setengah tua. Tao Seng kini berusia empat puluh lima tahun dan Tao San berusia empat puluh empat tahun. Mereka mengumpulkan harta kekayaan mereka dan menjadi pedagang yang berhasil. Mereka menjadi kaya raya dan untuk membuang riwayat yang memalukan di waktu yang lalu.

   Tao Seng kini memakai nama Ji dan terkenal dengan sebutan Ji Wan-gwe (Hartawan Ji), sedangkan Tao San menggunakan nama San Wan-gwe (Hartawan San). Hanya keluarga kaisar saja yang tahu bahwa Ji Wan-gwe dan San Wan-gwe adalah bekas Pangeran Tao Seng dan Tao San. Karena ketika mereka dihukum buang masih muda, maka setelah lewat dua puluh tahun, mereka sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Setelah menjadi hartawan, keduanya lalu mengambil isteri dan membentuk keluarga baru. Keliru kalau ada yang menganggap bahwa kedua orang pangeran itu telah menjadi jera atau sadar akan kesalahan mereka. Sama sekali tidak dan sebaliknya malah. Peristiwa hukuman bagi mereka itu mendatangkan dendam kesumat yang membuat mereka tidak segan untuk mencari jalan membalas dendam mereka.

   Di dalam pembuangan mereka di barat, pada suatu hari Pangeran Tao Seng bertemu dengan seorang pemuda yang menarik hatinya. Ketika itu dia berusia empat puluh tahun dan pemuda itu berusia dua puluh lima tahun. Pemuda itu menarik perhatiannya karena pemuda itu memiliki ilmu silat yang tinggi bahkan pandai pula dalam ilmu sihir. Pemuda itu adalah Gulam Sang! Gulam Sang sendiri adalah seorang pelarian dari Tibet. Dia adalah murid para pendeta Lama termasuk Dalai Lama, akan tetapi akhirnya dia berkhianat dan memihak Pendeta Lama Jubah Kuning untuk memberontak. Maka dia dikejar-kejar dan melarikan diri ke timur sampai bertemu dengan Pangeran Tao Seng. Mungkin karena nasib sama, mereka segera menjadi akrab, dan akhirnya Pangeran Tao Seng melihat bahwa pemuda itu kelak akan amat berguna baginya,

   Maka dia lalu mengangkat Gulam Sang sebagai puteranya! Mula-mula Gulam Sang merasa ragu untuk menerimanya, karena walaupun Tao Seng adalah seorang pangeran akan tetapi pangeran buangan! Akan tetapi Pangeran Tao Seng lalu menceritakan ambisinya. Dia hendak membalas dendam dan merebut kekuasaan kaisar! Kalau dia berhasil menjadi kaisar, maka dia akan mengangkat Gulam Sang menjadi Pangeran Mahkota yang kelak akan menggantikan dia menjadi kaisar. Janji muluk inilah yang menarik hati Gulam Sang dan akhirnya dia menerima menjadi putera Pangeran Tao Seng. Demikianlah, setelah hukuman mereka habis dan Pangeran Tao Seng bersama Pangeran Tao San kembali ke timur, Gulam Sang juga ikut pergi ke kota raja Peking, di mana dia dikenal sebagai putera Tao Seng yang. bernama Tai Lam Sang.

   "Kita mempunyai cita-cita besar,"

   Demikian Tao Seng bicara kepada Tao San dan Gulam Sang.

   "Akan tetapi jangan dikira mudah saja. untuk membuat cita-cita kita menjadi kenyataan. Selama lima tahun ini engkau banyak belajar dariku, Lam Sang. Engkau mempelajari sastra dan budaya sehingga tahu bagaimana untuk menjadi seorang pribumi. Akan tetapi untuk dapat berhasil, engkau harus pergi menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw. Terutama sekali hubungilah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, dan dalam hubungan itu sebaiknya kalau engkau menggunakan namamu sendiri dan mengaku saja dari Lama Jubah Kuning. Kita harus menyusun kekuatan dan untuk itu, engkaulah yang harus bertugas mengadakan hubungan-hubungan dengan mereka. Kalau saatnya sudah tiba, baru kita turun tangan."

   Tao Seng mengajak Tao San dan Gulam Sang bercakap-cakap tentang rencanya. Semua rencana diatur oleh Tao Seng dan pelaksananya adalah Gulam Sang yang memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa. Dengan mudahnya, melalui ilmu silatnya yang tinggi dan ilmu sihirnya, dia dapat mempengaruhi Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Didatanginya para pimpinan kedua perkumpulan, itu dan di depan mereka dia membuktikan kehebatan kepandaiannya. Setelah mendengar bahwa Gulam Sang adalah seorang Tibet dan dari Lama Jubah Kuning, mereka semua percaya dan menariknya sebagai sekutu dan sahabat. Tercapailah rencana pertama dari Tao Seng, yaitu mencari sekutu yang memiliki banyak anak buah dan yang memusuhi pemerintah.

   "Lam Sang, aku tahu benar bahwa orang pribumi bangsa Han pada umum-nya tidak suka akan pemerintah Mancu yang mereka anggap sebagai penjajah. Mereka itu mendendam dan mereka belum ada yang sungguh-sungguh bergerak karena merasa kekuatan mereka belum ada. Akan tetapi, begitu kekuatan mereka dianggap cukup, tentu mereka bergerak menyerang pemerintah. Karena itu, tugasmu ke dua adalah membujuk partai-partai bersih, para pendekar, terutama dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan lain-lain. Mereka itu kalau dipersatukan, merupakan kekuatan yang amat besar karena mereka memiliki pendekar-pendekar yang sakti. Nah, engkau harus mencari akal bagaimana untuk dapat mempengaruhi mereka sehingga mereka mau diajak bersekutu dan memberontak."

   Kembali Tao Seng membuat rencana yang amat cerdik.

   Ditambah dengan kecerdikannya sendiri, Gulam Sang lalu mulai bergerak. Dia melakukan penyelidikan terhadap perkumpulan-perkum-pulan silat besar itu dan mencari kelemahankelemahan mereka. Akan tetapi sukar sekali menemukan kelemahan mereka, sampai akhirnya dia mendengar betapa ketua Bu-tong-pai yang bernama Thian It Tosu berada dalam keadaan yang tidak sehat. Akan tetapi kekuasaan tosu itu besar sekali. Setiap katanya merupakan hukum bagi para anak murid Bu-tong-pai dan lebih dari itu, Bu-tong-pai terkenal di antara semua partai dan dihormati. Kalau saja dia dapat menguasai Bu-tong-pai! Dengan pikiran ini dia lalu mulai mempelajari keadaan Thian It Tosu, kebiasaan-kebiasaannya, tingkah lakunya. Ketua yang berusia enam puluh tahun itu bertubuh tinggi besar, mirip dengan tubuhnya.

   Ini merupakan modal utama baginya. Setelah mempelajari dengan baik, mulailah dia bertindak. Mula-mula dia menguji diri sendiri. Dengan ilmunya menyamar, dia menggunakan topeng tipis terbuat dari karet yang menutupi mukanya sehingga mukanya berubah menjadi muka Thian It Tosu, lengkap dengan jenggot dan kumisnya yang panjang. Topeng itu demikian sempurna sehingga kalau tidak dikupas dari mukanya, tidak akan ada yang tahu bahwa dia memakai topeng. Pakaiannya pun persis dengan pakaian jubah tosu dan pada suatu senja, dalam cuaca remang-remang, dia pun berjalan dekat Bu-tong-san dan sengaja berjalan berpapasan dengan lima orang murid Bu-tong-pai. Melihat dia serta-merta lima orang murid itu memberi hormat dan menyebutnya suhu. Dia menirukan suara Thiat It Tosu.

   "Hemmm, sudah larut senja begini baru pulang. Kalian dari mana?"

   "Kami pergi berburu dan sekalian mencari kayu bakar, Suhu."

   Jawab kelima orang murid itu. Gulam Sang merasa gembira sekali karena ujiannya terhadap dirinya sendiri yang menyamar sebagai Thian It Tosu berhasil baik. Pada lain harinya, dia sengaja muncul di siang hari menemui murid-murid yang sedang bekerja di luar dan tidak ada seorang pun murid yang meragukan bahwa dia adalah Thian It Tosu.

   Setelah yakin benar baru dia melanjutkan rencananya. Dia melakukan pengintaian dan pada suatu hari dia melihat Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu pergi berdua turun gunung. Dia sudah menyelidiki dengan jelas siapa adanya dua orang tosu ini. Thian-tan Tosu adalah sute dari Thian It Tosu sedangkan Thian-yang-cu adalah seorang murid utama dari Thian It Tosu. Dia juga sudah mempelajari keadaan dua orang tosu ini dan maklum bahwa dia mampu menalukkannya, baik dengan ilmu silat maupun dengan ilmu sihirnya. Dengan menyamar sebagai Thian It Tosu, di tempat yang sunyi di lereng bukit dia muncul menghadang dua orang yang sedang melakukan perjalanan itu. Begitu bertemu dengan Thian It Tosu palsu ini, Thian-tan Tosu dan Thian-yangcu segera memberi hormat.

   "Suheng....!" "Suhu....!"

   "Hemmm, Sute dan Thian-yang-cu, kalian hendak pergi ke mana?"

   Tanya Gulam Sang atau Thian It Tosu palsu itu. Kedua orang itu memandang heran.

   "Apakah Suheng sudah lupa lagi? Baru tadi Suheng yang minta kami untuk mencari sumbangan ke kota, untuk membeli bahan pakaian kita semua."

   "Oh, benar juga, Sute, sudah lama pinto tidak melihat kemajuan ilmu silatmu. Juga engkau Thian-yang-cu. Sebagai murid utama engkau harus memiliki ilmu silat yang tinggi."

   "Saya mohon petunjuk, Suheng"

   Kata Thian-tan Tosu.

   "Teecu (murid) mohon petunjuk Suhu,"

   Kata Thian-yang-cu.

   "Baik, sekarang kalian berdua coba untuk bertanding dengan pinto agar pinto dapat melihat di mana letak kekurangan-kekurangan kalian. Maju dan seranglah!"

   "Teecu tidak berani, Suhu."

   "Berani atau tidak, engkau harus melawanku bertanding. Kalau tidak, bagaimana pinto mengetahui kelemahanmu dan memberi petunjuk?"

   "Suheng, akhir-akhir ini kesehatan Suheng terganggu, sungguh tidak baik mengeluarkan banyak tenaga untuk berlatih."

   Thian-tan Tosu juga mencegah.

   "Sute, engkau tidak memperoleh banyak kemajuan, untuk melawanmu bertanding, pinto tidak perlu menggunakan banyak tenaga. Kalau kalian sungkan menyerang lebih dulu, baiklah pinto yang menyerang lebih dulu. Lihat pukulan!"

   Dengan cepat Thian It Tosu menyerang dengan pukulan kedua tangannya ke arah dua orang itu. Akan tetapi Thian-yang-cu dan Thiantan Tosu dapat mengelak dengan sigapnya dan kedua orang ini tidak dapat menolak lagi. Mereka harus mengeluarkan kepandaiannya agar dinilai oleh sang ketua.

   Akan tetapi serangan mereka dapat dielakkan oleh tosu yang selama ini nampak kurang sehat itu. Gerakannya demikian cepatnya sehingga serangan dua orang tokoh Bu-tong-pai itu mengenai angin saja. Kemudian, terdengar Thian It Tosu membentak, kedua kakinya ditekuk rendah, kedua tangan didorongkan ke depan dan akibatnya, Thian-tan Tosu terhuyung ke belakang dan Thian-yang-cu terpental beberapa meter jauhnya! Kedua orang itu terkejut bukan main. Mereka tidak mengenal pukulan sang ketua, pukulan aneh dengan kaki ditekuk itu, akan tetapi daya pukulan itu sungguh dahsyat bukan main. Thian-yang-cu yang ilmu silatnya sudah cukup tinggi merasa sesak dadanya, sedangkan Thian-tan Tosu merasa kepalanya pening. Thian-yang-cu segera memberi hormat dan berkata dengan malu-malu.

   "Teecu memang bodoh dan lemah."

   Dia merasa malu sekali bahwa menghadapi gurunya, mengeroyok pula dengan paman gurunya, mereka berdua dikalahkan dalam beberapa gebrakan saja! Itu pun suhunya menahan tenaganya. Kalau tenaga sinkang yang dahsyat itu dikeluarkan semua, mungkin mereka berdua tidak mampu bangkit lagi.

   "Wah, suheng agaknya telah menciptakan jurus pukulan baru yang amat hebat!"

   Kata pula Thian-tan Tosu dengan kagum.

   "Hemmm, kalian yang bodoh, kalian yang lemah, tidak ada kemajuan sama sekali. Sungguh menyebalkan dan menyedihkan sekali!"

   "Suhu....!"

   "Suheng....!"

   "Diam! Kalian membuatku kecewa. Kalau kepandaian kalian hanya sebegitu saja, padahal kalian adalah dua orang terpenting sesudah pinto, apa jadinya nanti dengan Bu-tong-pai? Akan menjadi bahan tertawaan saja. Dengar baik-baik, aku melarang kalian membicarakan lagi tentang latihan kita tadi! Mengerti?"

   "Baik, Suheng."

   "Baik, Suhu."

   Thian It Tosu sudah tidak mempedulikan keduanya lagi dan membalikkan tubuhnya lalu berke-lebat cepat lenyap dari situ. Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu saling pandang dengan heran. Mengapa ketua mereka yang biasanya ramah dan halus lembut tutur sapanya itu mendadak menjadi begitu galak? Akan tetapi larangan tadi amat berkesan di dalam hati mereka dan suara ketua itu seolah masih berdengung berulang-ulang di telinga mereka.

   "Thian-yang-cu, kau pikir bagaimana baiknya sekarang?"

   "Susiok (Paman Guru), sebaiknya kita kembali dan menghadap Suhu, mohon agar diajari ilmu pukulan baru yang dahsyat tadi."

   "Kalau dia marah?"

   "Biar kita tanggung berdua. Pelajaran itu penting sekali untuk memperkuat Bu-tong-pai, Susiok. Dan memang sudah sepatutnya kalau suhu mengajarkan kepada kita."

   "Akan tetapi karena dia sudah melarang kita membicarakan hal itu, tentu berarti dia tidak suka terdengar oleh orang lain. Maka, kita harus mencari saat yang tepat selagi suheng berada seorang diri untuk menghadapi dan mohon diberi pelajaran itu."

   Kedua orang itu lalu kembali ke Bu-tong-pai. Dan pada sore harinya, ketika Thian It Tosu sedang berjalan-jalan di taman bunga perkumpulan itu seorang diri dan di sekitar tempat itu sunyi tidak nampak seorang pun murid Bu-tong-pai, muncullah Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu, segera berlutut di depan Thian It Tosu sedangkan Thian-tan Tosu memberi hormat dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada. Thian It Tosu adalah seorang tosu yang ramah dan lembut, akan tetapi dia pun keras memegang disiplin dan semua peraturan Bu-tong-pai harus ditaati. Merasa terganggu ketika berjalan-jalan itu, dia mengerutkan alisnya dan bertanya kepada mereka dengan singkat,

   "Apa maksudnya ini? Kalian mau apa?"

   Dua orang itu menjadi gentar mendengar pertanyaan singkat itu. Mereka mengira bahwa Thian It Tosu marah, dan sebelum mereka sempat menjawab tiba-tiba terdengar suara lembut di belakang mereka.

   "Siancai-siancai-siancai....! Dari mana datangnya orang yang berani menyamar sebagai pinto?"

   Ketika dua orang menoleh, mereka terpengaruh melihat ada seorang Thian It Tosu yang lain berada di situ. Semuanya sama, bentuk tubuhnya, wajahnya, suaranya. Hanya bedanya, yang baru muncul ini bersuara lembut, sedangkan yang pertama tadi nampak marah. Dengan sendirinya kedua orang itu berpihak kepada yang baru datang. Yang pertama itulah yang palsu. Mereka berani memastikan hal itu. Bukankah yang pertama bersikap aneh dan keras terhadap mereka bahkan merobohkan mereka dengan pukulan aneh dan ampuh?

   "Suheng, orang itu adalah orang yang memalsukan dan menyamar sebagai Suheng!"

   Kata Thian-tan Tosu kepada tosu yang baru muncul.

   "Benar, Suhu! Harap Suhu memberi hajaran kepadanya. Akan tetapi dia lihai sekali, Suhu."

   Kata pula Thian-yang-cu dan keduanya sudah meloncat ke belakang tosu yang baru muncul. Thian It Tosu yang pertama tercengang.

   "Eh, lelucon macam apa ini? Pinto Thian It Tosu. Saudara siapakah dan mengapa menyamar sebagai pinto?"

   "Siancai....! Ini yang dinamakan maling teriak maling. Sute dan kau Thian-yang-cu, karena kesehatanku masih terganggu, bantulah pinto menangkap maling ini!"

   Biarpun gentar menghadapi ketua palsu yang amat lihai itu, namun karena sekarang Thian It Tosu berada dengan mereka, kedua orang itu menjadi berani dan cepat mereka menyerang Thian It Tosu yang pertama. Kakek itu mengelak dan menangkis, lalu berseru,

   "Sute! Thian-yang-cu, ini adalah pinto, Thian It Tosu! Kalian tertipu!"

   "Hemmm, manusia jahat. Engkaulah yang menipu. Sejak dahulu Thian It Tosu adalah pinto!"

   Bentak tosu kedua dan dia pun segera menyerang dan mengeroyok Thian It Tosu pertama. Tosu itu mencoba untuk melawan, akan tetapi sebuah tamparan tosu kedua mengenai pundaknya. Agaknya tosu pertama itu memang sedang terganggu kesehatannya sehingga gerakannya. Tidaklah setangkas tosu kedua. Dia terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan oleh tosu kedua untuk mengirim pukulan tamparan yang amat kuat ke dadanya.

   "Bukkk....!!"

   Tosu itu terpelanting, muntah darah dan pingsan.

   "Biarkan pinto yang menangani, mungkin dia masih berbahaya. Kita bawa ke tempat tahanan bawah tanah. Pinto ingin mengetahui siapa saja kawan-kawannya dan apa maksudnya menyelundup masuk menyamar sebagai pinto."

   Tosu kedua dengan ringan sekali memanggul tubuh tosu pertama yang pingsan. Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu mendahului Thian It Tosu pergi ke tempat tanahan bawah tanah yang kebetulan kosong. Tidak ada seorang pun murid Bu-tong-pai yang melihat semua peristiwa ini. Setelah tiba di dalam kamar tahanan bawah tanah yang berpintu dan berjeruji besi itu, Thian It Tosu menurunkan tawanannya ke atas lantai.

   "Biar kita periksa dia dan membuka kedoknya!"

   Kata Thian-tan Tosu. Thian-yang-cu juga ingin sekali melihat siapa adanya orang yang menyamar sebagai Thian It Tosu, maka bersama susioknya dia sudah berjongkok dan keduanya lalu mulai menarik-narik kumis dan jenggot Thian, It Tosu yang palsu. Akan tetapi betapapun mereka menarik-narik, jenggot dan kumis itu tidak dapat terlepas dan ketika mereka meraba-raba muka tosu itu, juga kulit muka itu aseli dan tidak memakai kedok apa pun. Kedua orang itu saling pandang dan terkejut, lalu meloncat dan membalikkan tubuh menghadapi tosu kedua.

   "Dia aseli!"

   Kata Thian-tan Tosu dengan muka berubah pucat.

   "Kalau begitu engkau yang palsu!"

   Thian It Tosui palsu yang sebetulnya bukan lain adalah Gulam Sang itu tertawa dan berdiri menghadang di pintu kamar tahanan.

   "Ha-ha-ha! Memang aku bukan Thian It Tosu. Aku membutuhkan pribadinya hanya untuk beberapa bulan saja. Kalau urusanku sudah selesai, akan kukembalikan kepada Thian It Tosu. Sementara ini dia harus tinggal di sini sebagai tawananku!"

   "Jahanam! Siapa engkau yang begini jahat?"

   Bentak Thian-yang-cu marah.

   "Siapa aku kau tidak perlu tahu. Yang jelas, kalian harus menurut semua kehendakku atau kakek ini akan mati di sini, baru kemudian kalian menyusulnya."

   "Kami akan mengadu nyawa denganmu!"

   Thian-tan Tosu membentak marah dan dia sudah menyerang ke arah ketua palsu itu. Akan tetapi tangan Gulam Sang menampar dan tubuh Thian-tan Tosu terlempar dan roboh. Thian-yang-cu juga menyerang, akan tetapi sama saja, dalam segebrakan saja dia pun roboh. Dan sebelum kedua orang itu bangkit lagi, secepat kilat Gulam Sang menggerakkan jari tangannya menotok dan dua orang itu tidak mampu bergerak lagi, rebah telentang di samping tubuh Thian It Tosu yang masih pingsan. Gulam Sang kini berjongkok di dekat mereka dan suaranya terdengar penuh wibawa. Kiranya dia menggunakan sihirnya untuk mempengaruhi dua orang yang telah ditotoknya itu,

   "Dengar baik-baik, Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu! Nyawa ketua kalian telah berada di tanganku. Dia telah kupukul dengan pukulan beracun dan hanya aku yang memegang obat penawarnya. Kalau tidak kuberi obat, dalam waktu sebulan dia akan mati dengan tubuh hancur. Kalau kuberi obat penawar, dia hanya akan menderita sakit, akan tetapi dalam waktu tiga bulan dia akan sembuh sama sekali. Kalian berdua juga berada di tanganku, akan tetapi aku akan membebaskan kalian dan memberi obat penawar kepada ketua kalian kalau kalian berjanji akan taat kepadaku. Kalau tidak taat, kalian bertiga dan semua murid Bu-tong-pai akan kubunuh!"

   Biarpun berada di bawah pengaruh sihir, Thian-tan Tosu masih dapat membantah,

   "Kalau kami harus menaatimu untuk melakukan kejahatan, lebih baik engkau bunuh kami sekarang juga!"

   "Ha-ha-ha, siapa yang akan berbuat jahat? Aku bukan penjahat, melainkan pejuang. Aku hanya meminjam Bu-tong-pai untuk mempersatukan semua tenaga dan menggerakkan mereka untuk memberontak, terhadap penjajah. Bagaimana, maukah kalian berdua berjanji?"

   Thian-tan Tosu berpikir sejenak. Kalau memang tidak diharuskan melakukan kejahatan, melainkan untuk perjuangan, lebih baik dia taat agar Thian It Tosu tidak terbunuh. Orang ini amat licik dan lihai bukan main, sedangkan Thian It Tosu berada dalam keadaan tidak sehat dan lemah sehingga sukar dicari lawan yang dapat mengimbangi orang aneh ini.

   "Aku berjanji akan taat asal bukan untuk kejahatan!"

   Katanya dan mendengar ucapan susioknya, Thian-yang-cu juga mengikutinya dan mengucapkan janjinya pula. Gulam Sang tertawa senang, lalu dia membuka jubah Thian It Tosu, memperlihatkan dada tosu itu kepada dua orang tokoh Bu-tong-pai. Ternyata di dada itu terdapat tanda telapak jari lima buah yang menghitam. Orang ini bukan hanya menggertak. Pukulannya memang beracun dan nyawa Thiat It Tosu berada di tangannya. Gulam Sang lalu memulihkan kedua orang tokoh Bu-tong-pai itu dari totokannya. Dia tidak khawatir kalau mereka itu akan memberontak, karena selain mereka sudah berjanji, juga mereka telah dipenga-ruhi kekuatan sihirnya sehingga dia mampu mengendalikan pikiran mereka.

   "Gosokkan minyak ini pada telapak tangan hitam di dadanya dan minumkan pil ini padanya. Racun itu perlahan-lahan akan meninggalkanya dan setelah lewat tiga bulan dia akan sembuh sama sekali."

   Gulam Sang mengeluarkan obat-obat itu dan Thian-tan Tosu lalu mengobati suhengnya. Ketika siuman Thian It Tosu mencoba untuk bangkit duduk, segera ditopang oleh murid dan sutenya. Dia memandang ke arah Gulam Sang.

   "Apa artinya semua ini? Siapakah engkau?"

   "Thian It Tosu, aku tidak berniat buruk. Aku hanya ingin meminjam namamu dan Bu-tong-pai untuk menggerakkan semua tenaga para pejuang untuk mulai dengan pemberontakan terhadap pemerintah penjajah. Kalau niatku sudah terlaksana dan tercapai, akan kukembalikan Bu-tong-pai kepadamu. Akan tetapi kalau engkau mencoba untuk mengha-langiku engkau, akan mati bersama seluruh muridmu. Bu-tong-pai akan kuhancurkan!"

   "Siancai....! Melakukan pemberontakan sekarang merupakan kebodohan. Engkau tidak akan berhasil...."

   Kata Thian It Tosu lemah.

   "Ha-ha-ha, kita sama-sama melihatnya nanti!"

   Tiba-tiba Gulam Sang bersuit dan muncul-lah lima orang yang gerakannya ringan dan cekatan. Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai yang sudah bersekutu dengan Gulam Sang. Kiranya mereka sejak tadi melakukan pengintaian dan ketika Thian It Tosu dibawa masuk kamar tahanan bawah tanah, mereka juga membayangi.

   "Apa yang harus kita lakukan, Kongcu?"

   Tanya seorang di antara lima orang itu.

   "Kalian berjaga di sini dan begitu ada gerakan untuk memberontak dari orang-orang Bu-tong-pai, kalian lebih dulu bunuh kakek ini!"

   "Baik, Kongcu."

   "Nah, Thian Tan Tosu. Engkau setiap hari dua kali harus membawakan makanan dan minuman untuk Thian It Tosu dan lima orang penjaganya. Tidak boleh ada orang lain kecuali kalian berdua yang mengetahui bahwa Thian It Tosu ditawan di sini dan bahwa yang menjadi Thian It Tosu adalah aku."

   Thian It Tosu palsu itu lalu mengajak dua orang yang diaku sebagai sutenya dan muridnya itu untuk keluar dari tempat tahanan tanpa terlihat orang lain, meninggalkan Thian It Tosu bersama lima orang penjaganya. Demikianlah, mulai hari itu yang memimpin Bu-tong-pai adalah Thian It Tosu yang palsu. Dengan pandainya Gulam Sang sebagai Thiat It Tosu menggunakan alasan bahwa badannya tidak sehat untuk beristirahat dan bersamadhi dalam kamarnya. Kalau sudah berada di kamar samadhinya, dengan mudah dia mengubah dirinya menjadi Gulam Sang yang diterima sebagai "tamu terhormat"

   
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dari Bu-tong-pai.

   Dan dengan penyamaran itu pula dia mengundang semua partai besar dan tokoh persilatan, menghasut mereka untuk bekerja, sama melakukan pemberontakan. Tentu saja dia juga bersekutu dengan Pek-lian-pai, Pak-kwa-pai dan para tokoh dari datuk sesat, sesuai seperti yang direncanakan Pangeran Tao Seng! Semua itu adalah siasat Pangeran Tao Seng yang dilaksahakan oleh Gulam Sang. Akan tetapi tempat seperti yang diramalkan Thiat It tosu, pertemuan itu gagal karena penolakan Yo Han ketua Thiar-li-pang. Apalagi dengan munculnya Tao Kwi Hong yang mengancam mereka dan sepak terjang Keng Han yang mencari tahu sebab permusuhan gurunya, Gosang Lama dengan Bu-tong-pai.

   Ketika Thian It Tosu palsu ditanya tentang permusuhan dengan Gosang Lama, dia terkejut sekali. Akan tetapi dasar orang cerdik, Gulam Sang pandai mencari alasan tentang sebab permusuhan itu dan menjatuhkan kesalahannya di pundak Gosang Lama, atau ayah kandungnya sendiri! Ketika sebagai Gulam Sang dia bertemu, Keng Han yang dianggapnya sebagai teman karena dia adalah putera gurunya, Gulam Sang berhasil pula mengajak pemuda itu untuk bekerja sama, bahkan memberi alamat Ji Wan-gwe di kota raja yang banyak mengetahui tentang keadaan Pangeran Tao Seng. Tentu saja secepatnya dia mengirim utusan dengan pemberitahuan kepada Pangeran Tao Seng atau ayah angkatnya itu bahwa akan datang seorang pemuda bernama Keng Han yang mencari tahu tentang Pangeran Tao Seng yang diakui sebagai ayah kandungnya.

   Juga dia memberi tahu bahwa Keng Han memiliki ilmu silat yang amat lihai sehingga kalau perlu pemuda itu dapat dimanfaatkan. Yang merasa tersiksa hatinya adalah Thian-yang-cu dan Thian-tan Tosu. Mereka merasa tidak berdaya karena takut akan ancaman. Gulam Sang untuk membunuh Thian It Tosu yang selalu dijaga oleh lima orang jagoan dari Pek-lian-pai itu. Juga mereka tahu benar akan kelihaian Gulam Sang yang mungkin akan melaksanakan ancamannya yaitu membasmi Bu-tong-pai kalau rahasianya terbongkar. Keng Han merasa kagum dan terpesona ketika dia tiba di kota raja. Belum pernah dia melihat bangunan-bangunan sebesar dan seindah itu. Dia benar-benar
(Lanjut ke Jilid 11)
Pusaka Pulau Es (Seri ke 17 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11
seperti seorang dusun yang baru pertama kali memasuki sebuah kota besar.

   Tidak sukar baginya mencari rumah Hartawan Ji karena nama itu sudah terkenal di kota raja. Dan dia pun mengunjungi rumah itu, sebuah gedung besar yang mempunyai pintu gerbang besar dan tebal, dijaga pula oleh orang-orang yang nampaknya seperti tukang-tukang pukul atau ahli-ahli silat. Kepada para penjaga pintu ini dia mengaku bernama Si Keng Han dan ingin menghadap Hartawan Ji karena urusan penting. Dia disuruh menanti sebentar sementara seorang penjaga melaporkan ke dalam tak lama kemudian dipersilakan memasuki kamar tamu yang besar dan mewah. Keng Han memandangi semua keindahan itu. Gambar-gambar, sajak-sajak, hiasan-hiasan dan bahkan meja kursi di situ berukir indah. Oleh pengawal yang mengantarnya dia dipersilakan duduk menanti dan pengawal itu sendiri lalu keluar lagi.

   Bunyi langkah kaki membuat jantung Keng Han berdebar tegang. Benarkah cerita Gulam Sang bahwa dia akan mendapat keterangan yang lebih jelas tentang ayahnya? Begitu tuan rumah muncul, dia cepat bangkit berdiri dan memberi hormat sambil mengamati wajah orang itu. Dia melihat seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang masih gagah dan tampan, berpakaian sutera sebagaimana pakaian seorang hartawan. Sebaliknya, tuan rumah itu yang bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri juga mengamati pemuda yang kini memberi hormat di depannya. Diam-diam dia merasa kagum dan bangga. Puteranya! Akan tetapi tidak terasa ada keharuan dalam hati yang sudah mengeras itu, melainkan perasaan girang karena mungkin dia akan mendapatkan seorang pembantu yang amat berguna.

   "Maafkan, Tuan...."

   "Jangan sebut aku tuan, panggil saja paman."

   Kata Pangeran Tao Seng atau Hatawan Ji ramah.

   "Maafkan kalau kedatangan saya ini mengganggu kesibukan Paman."

   "Ah, tidak mengapa. Silakan duduk dan, perkenalkanlah siapa dirimu dan ada kepentingan apa ingin bertemu denganku."

   Keng Han mengambil tempat duduk. Bantalan kursinya lunak sekali, enak diduduki,

   "Nama saya Si Keng Han, Paman, dan nama Paman diperkenalkan kepada saya oleh seorang sahabat yang bernama Gulam Sang."

   "Aha, begitukah? Gulam Sang itu adalah putera angkatku sendiri."

   Baru sekarang Keng Han mengetahui dan dia pun terkejut. Kiranya putera gurunya itu telah diambil anak oleh hartawan ini.

   "Kalau begitu semua keterangannya tentang Paman tentu benar semua."

   "Keterangan apakah tentang diriku?"

   "Bahwa Paman pernah mengenal ayah kandung saya dan mengetahui tentang semua peristiwa yang menimpa diri ayah kandung saya."

   "Siapakah ayah kandungmu?"

   "Dahulu ayah kandung saya adalah seorang pangeran, namanya Pangeran Tao Seng."

   "Akan tetapi bukankah namamu Si Keng Han nama margamu Si?"

   "Itu hanya untuk penyamaran saja, Paman. Tidak baik kiranya kalau saya menggunakan nama keluarga istana, hanya akan menarik perhatian orang saja."

   Tao Seng mengangguk-angguk, menyatakan bahwa dia mengerti.

   "Lalu apa yang hendak kau tanyakan tentang Pangeran Tao Seng? Siapa pula ibumu dan di mana ia sekarang berada?"

   "Saya hendak mencari ayah kandung saya akan tetapi saya mendengar bahwa ayah saya difitnah orang sehingga dihukum buang. Ibu saya adalah seorang wanita Khitan, puteri kepala suku. Ibu yang mengutus saya pergi mencari ayah kandung saya karena setelah meninggalkan ibu selama dua puluh tahun, dia tidak pernah memberi kabar sedikit pun."

   Ji Wan-gwe kini merasa yakin bahwa yang berhadapan dengan dia adalah putera kandungnya, putera Silani. Bahkan dia yang dahulu memesan kepada Silani. bahwa kalau isterinya itu melahirkan seorang anak laki-laki agar diberi nama Tao Keng Han! Akan tetapi kalau ada sedikit getaran pada jantungnya karena terharu bertemu putera kandungnya, ingatannya akan cita-citanya lebih besar dan lebih kuat sehingga dia dapat menekan perasaannya. Dia menghela napas besar seperti orang bersedih, padahal napas panjang itu untuk menekan rasa harunya.

   "Menyedihkan sekali nasib ayahmu itu, Kongcu. Ketahuilah bahwa saya dahulu menjadi pengawal dari ayah kandungmu. Bahkan ketika Pangeran Tao Seng dibuang ke barat, saya tetap mengikutinya untuk menemani dan melayaninya. Dia memang terkena fitnah, Kongcu."

   "Demikian kata Gulam Sang. Bukankah ayah seorang pangeran mahkota? Bagaimana dia bisa terkena fitnah dan siapa. pula yang memfitnahnya?"

   "Semua itu terjadi karena iri hati. Salah seorang pangeran lain yang bernama Tao Kuang merasa iri hati karena ayahmu yang terpilih sebagai pangeran mahkota. Maka dia lalu melakukan fitnah menuduh ayahmu hendak memberontak dan membunuh kaisar. Memang ada bukti-bukti karena bukti itu memang sudah disediakan lebih dulu oleh Pangeran Tao Kuang. Ayahmu dituduh hendak membunuh kaisar dan membunuh Pangeran Tao Kuang, maka dia dihukum buang selama dua puluh tahun. Saya mengikutinya sampai di tempat pembuangannya."

   "Ah, kasihan sekali ayah kandungku! Dan sekarang dia berada di mana, Paman Ji?"

   Hartawan Ji menghela napas lagi.

   "Agaknya Pangeran Tao Kuang tidak puas karena ayahmu hanya dihukum buang. Dia menghendaki kematian ayahmu maka dia menyuruh orang untuk menyusul ke barat, dan di sana orang-orangnya berhasil meracuni ayahmu sehingga meninggal dunia!"

   "Ahhh....!!"

   Keng Han menundukkan mukanya karena tidak ingin kelihatan menangis atau berduka. Sampai lama keduanya diam, kemudian terdengar Hartawan Ji berkata dengan suara yang mengandung kemarahan.

   "Akan tetapi kita tidak tinggal diam Kongcu! Dendam sedalam lautan ini harus ditebus dengan kematian Pangeran Tao Kuang dan kaisar!"

   "Akan tetapi bagaimana mungkin, Paman? Kita hanyalah orang-orang biasa, bagaimana mungkin dapat menentang kekuasaan yang memiliki ratusan ribu pasukan?"

   "Kita tidak bergerak sendiri, Kongcu. Dengarlah. Dengan bantuan anakku Gulam Sang kita telah menghimpun persekutuan yang cukup kuat. Banyak partai persilatan besar, para tokoh kang-ouw yang sakti, sudah siap membantu. Kalau engkau suka membantu, kiranya tidak akan sukar untuk membunuh Pangeran Tao Kuang atau bahkan kaisar sekalipun."

   "Tentu saja saya suka membantu. Di mana jenazah ayahku dimakamkan, Pamain Ji?"

   "Atas permintaannya sendiri sebelum dia meninggal, jenazahnya diperabukan, akan tetapi sampai sekarang abunya belum dapat kukubur atau kubuang ke laut. Aku masih takut kalau-kalau ada yang tahu dan mengenalku sebagai pengawal ayahmu, bisa celaka aku. Abu jenazah itu masih kusimpan di rumah ini, kubuatkani sebuah meja abu. Kalau Kongcu hendak bersembahyang di depan meja abu, silakan, Kongcu."

   Keng Han berterima kasih sekali dan dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam yang hiasannya lebih indah dan mereka tiba di sebuah kamar di mana terdapat sebuah meja dan abu itu tersimpan di dalam sebuah bejana dari perak. Tidak ada tulisan apa pun di situ dan hal ini dapat dimengerti Keng Han karena hartawan itu tidak ingin ketahuan bahwa dia bekas pengawal Pangeran Tao Seng. Keng Han lalu bersembahyang dan berlutut di depan meja abu itu. Dia terkenang kepada ibunya dan, hatinya seperti diremas. Lima tahun lebih dia meninggalkan ibunya dengan harapan akan dapat bertemu ayahnya. Siapa kira sekarang dia hanya dapat bersembahyang di depan abunya.

   "Ayah, saya bersumpah untuk membalas dendam kematian ayah!"

   Katanya kuat-kuat dan Hartawan Ji yang berdiri di belakangnya tersenyum penuh arti. Setelah bersembahyang mereka bercakap-cakap lagi berdua saja, di ruangan lain.

   "Untuk membunuh kaisar memang merupakan hal yang sulit karena kaisar selalu terkurung rapat oleh para pengawalnya. Akan tetapi membunuh Pangeran Tao Kuang yang kini menjadi Putera Mahkota itu tentu lebih mudah. Dia tidak terjaga begitu ketat. Hanya saja, Pangeran Tao Kuang mempunyai seorang selir yang pandai ilmu silat. Tadinya ayah mertuanya juga berada di sana, akan tetapi setelah ayah mertuanya meninggal, yang perlu diperhitungkan adalah selirnya itu. Apakah engkau berani menyerbu ke sana dan melawan selirnya yang lihai itu?"

   "Untuk membalas dendam, saya berani melakukan apa saya, Paman Ji!"

   "Bagus! Kalau begitu engkau tinggallah di sini beberapa waktu lamanya untuk mempelajari keadaan dalam Istana Pangeran Mahkota. Setelah hafal akan keadaan di sana barulah engkau bergerak. Apakah engkau membutuhkan bantuan, Tao-kongcu?"

   "Tidak dalam hal ini jangan sampai Paman tersangkut. Untuk membalaskan dendam ayah, biar aku sendiri yang bertanggung jawab."

   "Baiklah, kalau begitu akan kuusahakan menemukan denah istana pangeran mahkota itu sehingga engkau akan lebih mudah bergerak kalau sudah berhasil masuk ke sana."

   Keng Han mengucapkan terima kasih dan merasa gembira sekali. Biarpun dia tidak dapat bertemu dengan ayahnya, kalau dia dapat membalaskan sakit hatinya, dia sudah merasa puas. Tentu hal ini juga merupakan hiburan bagi ibunya mendengar tentang kematian ayah kandungnya. Yo Han Li dan Kai-ong Lu Tong Ki memasuki kota raja. Sejak kecil Han Li tinggal di Bukit Naga dan biarpun dia pernah melihat kota besar, akan tetapi baru sekali ini dara ini melihat kota raja, maka banyak hal yang membuatnya menjadi bengong! Banyaknya toko, rumah penginapan dan rumah makan yang serba besar, taman-taman yang besar dan indah, banyaknya orang berlalu lalang, pagoda-pagoda yang nampak dari jauh di lereng bukit, semua itu membuatnya berulang kali memuji.

   "Uh, apa sih bagusnya semua itu? Hanya dapat dipandang akan tetapi tidak dapat dirasakan! Lihat nanti kalau kita bisa mendapatkan hidangan kaisar atau pangeran, baru engkau akan benar-benar kagum! Hidangan-hidangan itu bukan hanya dapat dipandang dan dicium sedapnya, akan tetapi juga dapat dirasakan dengan lidah! Wahhh, mulutku menjadi basah mengingat semua itu."

   Han Li tersenyum geli. Gurunya ini yang diingat hanya makanan saja. Selama ini, hampir setiap hari ia harus memasak makanan untuk gurunya yang mengatakan bahwa ia pandai memasak dan bahwa masakannya sedap sekali.

   "Engkau berbakat seni memasak, Han Li!"

   Pujinya berulang-ulang.

   "Tahukah engkau bahwa memasak itu meru-pakan seni yang tinggi nilainya? Cara mengerat daging atau memotong sayurnya, cara membesarkan atau mengecilkan apinya berapa lamanya memasak, semua itu mengandung seni tersendiri. Bumbu-bumbu sederhana saja di tangan seorang ahli akan mendatangkan kelezatan pada masakan. Apa saja yang dimasak oleh seorang yang berbakat seni memasak, tentu enak!"

   Gurunya memang tukang makan. Kalau perlu dia akan mencuri makanan! Pernah ketika mereka lewat sebuah rumah makan yang memamerkan bebek panggang, Kai-ong berjalan dekat rumah makan itu dan ketika dia keluar dari situ, di bawah baju rombengnya sudah tersembunyi seekor bebek panggang utuh. Dilahapnya bebek panggang itu di sepanjang jalan sambil memberi komentar tentang rasa bebek panggang itu. Jarang ada makanan yang dipuji kakek ini, ada saja kekurangannya, kurang asin atau terlalu manis, terlalu kering dan sebagainya. Kalau sekarang sebelum merasakan hidangan istana dia sudah memuji setinggi langit, Han Li percaya bahwa hidangan itu tentu benar-benar istimewa. Ketika mereka berjalan lewat depan sebuah gedung seperti istana, Kai-ong berhenti.

   "Ahhh, itu rumah Pangeran Mahkota. Aku yakin hidangan masakan di sini tidak kalah lezat daripada yang berada di istana kaisar. Kaisar sudah terlalu tua tentu giginya sudah banyak yang ompong dan masakannya tentu yang lunak-lunak saja. Berbeda dengan masakan di istana Pangeran Mahkota, tentu lengkap dengan yang agak keras. Han Li, kita makan di dapur Pangeran Mahkota saja!"

   Han Li memandang dengan khawatir. Di depan istana itu saja sudah terdapat perajurit pengawal yang berjaga. Tentu istana itu di jaga ketat. Bagaimana mereka dapat makan di dapur istana ini? Han Li merasa ngeri kalau sampai ketahuan dan dikeroyok lalu ditangkap. Alangkah malunya. Ditangkap sebagai pencuri makanan!

   "Akan tetapi gedung itu tentu dijaga ketat, Suhu."

   "Heh-heh-heh, tentu saja. Akan tetapi apa artinya segelintir penjaga itu untuk kita. Mari ikuti aku!"

   Kai-ong lalu mengambil jalan memutar dan tibalah mereka di luar tembok pagar yang mengelilingi gedung itu bagian belakang. Setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang, Kai-ong mengajak muridnya untuk meloncati pagar tembok yang tinggi itu. Mula-mula Kai-ong yang lebih dulu melompat dan dia sudah mendekam di atas pagar tembok. Han Li menyusul. Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung ia melayang naik ke atas pagar tembok dan mendekam di sebelah gurunya. Ternyata di sebelah dalam pagar tembok itu terdapat sebuah taman yang amat indah.

   "Nah, sudah kuduga. Tentu dalamnya sebuah taman atau kebun. Mari kita loncat ke dalam dan kau bersembunyi di belakang rumpun bambu di sana itu!"

   Kai-ong memberi petunjuk dan keduanya lalu berlompatan masuk.

   Han Li segera lari ke belakang rumpun bambu seperti yang dikehendaki Kai-ong, sementara kakek itu sendiri berindap-indap menghampiri bangunan itu dari belakang. Bagaikan sebuah bayangan, Kai-ong menyelinap masuk. Han Li yang disuruh bersembunyi hanya menanti. Jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau mereka ketahuan? Ia tidak takut akan ancaman pengeroyokan, hanya merasa malu kalau sampai ketahuan masuk ke rumah orang untuk mencuri makanan! Tak lama kemudian, Kai-ong muncul lagi dan memberi isyarat dengan tangan kepada Han Li untuk mengikutinya. Kiranya kakek tadi lebih dahulu menyelidiki di mana adanya dapur istana itu. Han Li berlari menghampirinya dan keduanya lalu menyelinap masuk melalui pintu belakang. Tiba-tiba Kai-ong menarik tangan Han Li untuk bersembunyi.

   Baru saja Han Li bersembunyi di balik tembok, ia melihat tiga orang pengawal yang membawa tombak lewat di dekat mereka. Untung mereka sudah bersembunyi. Terlambat sebentar saja mereka tentu sudah ketahuan! Setelah tiga orang pengawal itu lewat, kembali Kai-ong mengajak Han Li melanjutkan perjalanan memasuki bagian yang lebih dalam di istana itu. Setibanya di dapur, Han Li melihat ada kesibukan di dalam dapur. Kai-ong memberi isyarat untuk mengikutinya dan kakek itu lalu melayang naik ke atas dapur. Han Li mencontoh perbuatan gurunya dan kini mereka mendekam di atas atap dapur mengintai ke bawah. Sebelum dapat melihat apa-apa, lebih dulu hidung Han Li disambut bau masakan yang amat sedap. Cepat ia mengintai dan melihat lima orang koki sedang membuat masakan. Bermacam-macam masakan itu.

   "Hemmm, udang besar saus tomat itu nampak menggapai-gapai kepadaku,"

   Bisik Kai-ong dan dia menjilat bibirnya sendiri. Han Li merasa geli dan juga heran ketika gurunya mengeluarkan segulung tali yang di ujungnya dipasangi besi kaitan seperti sebuah pancing! Ia baru mengerti setelah gurunya menurunkan pancing itu ke bawah dan menanti sampai para koki itu lengah, barulah dia mengayun pancingnya dan besi kaitan itu dengan tepat sekali mengait seekor udang goreng saus tomat yang segera ditariknya ke atas. Segera ditangkapnya udang yang masih panas itu dan dimakannya dengan lahap sekali.

   "Wah, enaknya bukan main!"

   Dia memuji dan di lain saat dia sudah mengait seekor lagi yang lalu diberikan kepada Han Li. Sebetulnya Han Li tidak berselera makan masakan curian itu, akan tetapi ia tidak mau mengecewakan gurunya, maka dimakannya udang itu. Ternyata memang lezat sekali. Setelah menghabiskan lima ekor udang besar, dan selagi matanya mencari-cari masakan lain, di bawah terjadi keributan. Si tukang masak udang goreng saus tomat itu yang membuat ribut.

   "Heiii!! Udangku, ke mana? A Sam, jangan main-main kau!"

   Tegurnya kepada temannya yang sedang memasak masakan ayam tanpa tulang.

   "Tentu engkau yang makan udang-udangku. Tinggal setengahnya!"

   "Ngawur! Siapa makan udang-udangmu? Sejak tadi aku mempersiapkan masakanku sendiri, mana ada waktu untuk memperhatikan udangmu, apalagi mencurinya dan memakannya."

   "Akan tetapi udang besar itu tadinya berjumlah belasan ekor, sekarang tinggal delapan ekor lagi! Yang berada di dekatku hanya engkau. Siapa lagi yang mencurinya kalau bukan engkau!"

   "Aku tidak mencuri udangmu. Jangan main tuduh sembarangan kau!"

   Teman-teman yang lain melerai.

   "Sudahlah, mungkin dimakan kucing."

   "Tidak ada kucing masuk ke sini."

   Bantah koki udang yang merasa kehilangan. Sementara itu, di dalam keributan itu selagi para koki bicara dan lengah, seekor ayam tanpa tulang telah melayang naik ke atas. Kai-ong membaginya dengan Han Li dan mereka makan masakan istimewa. Ayam itu masih utuh, akan tetapi ketika digigit, sama sekali tidak ada tulangnya dan ayam itu diisi cacahan daging dengan bumbunya yang sedap.

   "Heiii....! Mana ayamku?"

   Tiba-tiba Asam yang tadi dituduh mencuri udang, berteriak.

   "Ayam apa lagi!"

   Tanya teman-temannya.

   "Tadi masih di sini, baru saja kuangkat dari tempat masak. Semua ada lima ekor, akan tetapi lihat, hanya tingga empat ekor. Yang seekor lagi terbang ke mana?"

   "Mana ada ayam tanpa tulang itu dapat terbang?"

   "Tentu ada yang mencuri dan menyembunyikan. A-cui, engkau tadi menuduh aku mencuri udang-udangmu, agaknya engkau hendak membalas dan engkau yang menyembunyikan ayamku!"

   "Kau gila! Aku tidak mencuri ayammu!"

   A-cui membentak. Dua orang itu sudah saling mengacungkan pisau dapur yang tajam, akan tetapi dilerai teman-temannya. Akhirnya keributan itu mereda dan mereka melanjutkan pekerjaan mereka. Sementara itu, seekor ayam cabut tulang tadi telah habis memasuki perut Kai-ong dan Han Li. Kai-ong menjilati jari-jari tangannya yang berlepotan minyak dan menggumam,

   "Wah, enak.... lezat....!"

   "Suhu, aku sudah kenyang. Mari kita pergi dari sini."

   Bisik Han Li.

   "Wah, nanti dulu. Baru mencicipi sedikit sudah mau pulang! Dan lagi, makan seperti ini kurang enak. Aku ingin mencicipi masakan rebung kaki biruang itu, dan itu ada swi-ke pemakan burung, dan panggang bebeknya, goreng burung merpati, wah, masih begitu banyak dan engkau mengajak pulang. Nanti dulu ah!"

   Kai-ong mematahkan ujung genting diremasnya menjadi potongan kecil-kecil lalu mulai menyambitkan ke bawah.

   "Aduh, siapa memukul kepalaku?"

   Teriak seorang koki gendut sambil menggosok-gosok kepalanya yang botak.

   "Aduh! Aku juga dipukul. Kamu yang memukul kepalaku, ya?"

   Teriak A-sam dan dia langsung saja menuduh A-cui. Acui menjadi marah lagi.

   "Siapa yang memukul? Aduh, siapa mengetuk kepalaku?"

   Kemudian terdengar mereka semua mengaduh dan suasana menjadi kacau. Dalam keadaan seperti itu, Kai-ong memberi isyarat kepada Han Li dan mengajak gadis itu melayang turun ke dalam dapur!

   Dengan cekatan, Kai-ong sudah mengambil semangkok sop ayam muda dan sambil berjongkok dan bersembunyi di belakang meja dia menyambar pula sepasang sumpit dan mulailah dia makan dengan lahapnya. Dia memberi isyarat kepada Han Li agar meniru perbuatannya. Akan tetapi Han Li yang juga ikut bersembunyi di belakang meja menggerakkan pundaknya, lalu menyambar sepotong bak-pauw dan memakannya. Bak-pauw adalah sebuah roti biasa yang berisi daging dan sayur, akan tetapi bak-pauw yang terdapat dalam dapur Pangeran Mahkota ini lain rasanya. Memang enak sekali. Setelah mencicipi berbagai macam masakan, Kai-ong ingin minum dan merangkaklah dia ke tempat penyimpanan guci-guci arak. Dibukanya sebuah guci dan dituangkan isinya begitu saja ke mulutnya.

   "Heiii, ke mana masakan goreng burung merpatiku?"

   "Dan kenapa sop ayam muda ini tinggal sedikit?"

   "Ca rebung muda kaki biruangku juga tinggal sedikit!"

   "Wah, bau arak! Jangan-jangan ada guci arak yang pecah!", Lima orang koki itu ribut-ribut dan mencari ke sana ke mari. Tentu saja guru dan murid itu sibuk berloncatan ke sana ke mari untuk menyembunyikan diri. Akan tetapi Kai-ong yang keenakan minum arak, tidak sempat lagi bersembunyi. Seorang di antara lima. koki itu melihatnya dan berteriak,

   "Wah, ini dia malingnya. Seorang pengemis tua!"

   "Celaka, masakan kita diusiknya, banyak yang dimakannya. Apakah keluarga pangeran hanya mendapatkan sisanya?"

   "Hayo kita tangkap pencuri itu!"

   Dua orang sudah menerjang maju untuk menangkap Kai-ong, akan tetapi Han Li melompat ke depan. Lima orang koki itu terbelalak ketika melihat seorang gadis cantik melindungi kakek itu.

   "Paman sekalian, maafkanlah kami yang sudah mencicipi sedikit masakan kalian. Suhu, mari kita pergi!"

   "Heh-heh-heh, nanti dulu, Han Li. Kabarnya Pangeran Mahkota adalah seorang dermawan. Siapa kira, makanan untuk keluarganya, demikian mewah sedangkan di luar istananya, banyak rakyat kelaparan!"

   Kai-ong minum terus dan nampaknya seperti sudah mabuk.

   "Mari kita lapor ke dalam!"

   Lima orang koki itu lalu berlarian keluar dari dalam dapur.

   

Si Tangan Sakti Eps 12 Kisah Si Bangau Putih Eps 15 Si Bangau Merah Eps 9

Cari Blog Ini