Pusaka Pulau Es 16
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
"Hemmm, kiranya engkau memenuhi janjimu, menemukan dan membawa Cu In ke sini."
Mendengar sikap dan mendengar ucapan yang nadanya dingin itu, Cu In yang merasa marah sekali kepada wanita yang menjadi ibu dan gurunya itu berkata,
"Kalau tidak dibujuk Ayah dan Keng Han, sampai mati pun aku tidak akan mau datang ke sini lagi!"
Ang Hwa Nio-nio memandang kepada Cu In. Hatinya seperti ditusuk rasanya. Puteri kandungnya sendiri berkata seperti itu!
"Cu In, jangan berkata begitu, Nak!"
Katanya.
"Mengapa baru sekarang ibu memanggilku seperti itu? Kenapa ibu mengingkari dan mengatakan bahwa aku yatim piatu dan dipungut menjadi murid, kemudian bahkan disuruh membunuh ayah kandungku sendiri? Mengapa?"
Kini dalam suara gadis berkerudung itu terdengar isak tangis. Ang Hwa Nio-nio menghela napas panjang.
"Engkau tidak mengetahui penderitaanku selama itu, Cu In. Hidup seorang diri, menahan semua rasa rindu. Bahkan peristiwa itu membuat aku membenci dan ingin membunuh semua pria! Akan tetapi setelah bertemu dengan ayahmu, aku menginsyafi kekeliruanku. Ternyata tidak semua laki-laki itu jahat. Juga ayahmu sama sekali bukan seorang laki-laki jahat."
Mendengar semua itu, Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok menjadi terheran-heran. Ia membelalakkan matanya yang indah, memandang kepada The Sun Tek, lalu kepada gurunya.
"Jadi... Paman ini.. dia suami Subo?"
Tanyanya dengan suara lirih terputus-putus. Ang Hwa Nio-nio hanya mengangguk dan kedua matanya menjadi basah, berlinang air mata! Makin heranlah Niocu. Belum pernah selama ini ia melihat subonya menangis.
"Aku... aku memang bersalah diracuni sakit hatiku, Cu In. Maafkan ibumu, Nak..."
The Sun Tek berkata,
"Sudahlah, mari kita lupakan semua yang terjadi dan memulai hidup baru yang penuh kasih sayang dan berbahagia. Cu In, ibumu telah minta maaf. Cairkan perasaan hatimu yang membeku itu."
"Benar, Cu In. Bagaimanapun juga, beliau adalah ibu kandungmu yang melahirkanmu kemudian memeliharamu sampai menjadi dewasa."
Kata Keng Han membujuk. Sejak melihat ibunya menangis dan bicara dengan suara terputus-putus mengakui kesalahannya, Cu In sudah menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran akan tetapi tidak kelihatan ia menundukkan mukanya. Kini mendengar bujukan ayahnya dan Keng Han, ia lalu bangkit dan berlari menubruk kedua kaki ibunya.
"Ibuku....!"
"Cu In.... Cu In.... engkau anakku, anak tunggal. Kau maafkan aku, ya?"
Ibunya juga merangkul dan keduanya bertangisan.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ibu. Aku dapat memaklumi perasaan Ibu."
"Subo, bagaimanakah ini? Jadi Sumoi adalah puteri Subo sendiri dan Paman ini adalah suami Subo?"
Keng Han melangkah maju menghampiri Niocu sambil berkata,
"Sesungguhnya begitulah, Subo"
"Jangan kau panggil subo kepadaku! Seperti orang mengejek saja. Panggil saja Niocu seperti dulu. Siapa tidak tahu bahwa Ilmumu jauh lebih tinggi dari Ilmuku? Jangan sekali-kali panggil subo atau aku akan menganggap engkau menghinaku."
Ang Hwa Nio-nio yang tahu benar bahwa hati para muridnya itu penuh kebencian kepada pria seperti yang sejak dulu ia tekankan, tahu pula akan watak Bi-kiam Niocu.
"Bi Kiok, sudahlah. Mulai sekarang, jangan membenci setiap orang pria. Hanya yang jahat saja boleh kau benci. Akan tetapi kalau pria itu baik, tidak ada salahnya menjadi sahabatnya."
"Ibu, bagaimana kalau ada pria yang mencinta Suci? Apakah dia harus dibunuh?"
"Tidak, tidak. Dului itu aku sudah gila. Jatuh cinta bukanlah hal yang jahat. Kalau Bi Klok tidak membalas cintanya, jauhi saja dan katakan terus terang."
"Bagaimana kalau teecu yang jatuh cinta, Subo? Apakah pria itu harus dibunuh?"
"Tidak! Kalau engkau mencinta seseorang dan orang itu pun mencintamu, maka tiada halangannya engkau berjodoh dengan, dia."
"Aih, terima kasih, Subo! Adik Cu In, mulai sekarang engkau tidak perlu menutupi mukamu lagi. Kutukan itu telah dihapuskan oleh Subo!"
"Suci, aku tidak mau menjadi buah tertawaan dengan mukaku yang penuh cacat ini! Tidak, aku kini mempunyai sumpah bahwa aku tidak akan membuka cadar ini sebelum aku menikah. Dalam malam pengantin aku membuka dan membuang cadarku untuk selamanya!"
"Sumoi....!"
Kata Niocu sambil memandang kepada Keng Han. Dari sikap mereka ia dapat menduga bahwa keduanya saling mencinta. Akan tetapi kalau kelak Keng Han melihat wajah sumoinya itu, apakah Keng Han akan mau menjadi suaminya?
"Bi Kiok, Cu In sudah mempunyai pendirian begitu, engkau tidak boleh mencampurinya!"
Kata Ang Hwa Nio-nio sambil tersenyum. Niocu memandang bengong. Belum pernah dilihatnya gurunya itu tersenyum apalagi tertawa dan ia melihat wajah subonya itu kini penuh senyuman dan ternyata gurunya itu masih cantik walaupun usianya sudah lima puluh tahun!
"Hong Bwe, anak kita ini sudah mempunyai calon jodohnya bahkan sudah pernah melihat mukanya."
"Ayah....!"
Cu In berseru dan dahinya nampak kemerahan.
"Cu In, engkau tidak dapat menyembunyikan perasaanmu di depan ayahmu, Ha-ha-ha!"
"Benarkah itu?"
Ang Hwa Nio-nio berseru, nada suara-nya gembira bukan main,
"Siapakah laki-laki yang bijaksana itu?"
"Orangnya dekat di sini, apa engkau tidak dapat menduganya, Hong Bwe?"
"Ah, engkaukah, orang muda? Benarkah engkau mencinta Cu In dengan setulus hatimu?"
Biarpun perasaan sungkan dan tersipu, Keng Han menjawab dengan lantang,
"Benar, Bibi. Saya mencinta Cu In dengan segenap jiwa ragaku."
"Ah, tidak mungkin!!"
Tiba-tiba Bikiam Nio-cu berseru nyaring.
"Sama sekali tidak mungkin!"
Tentu saja ia merasa terkejut sekali mendengar ucapan Keng Han itu. Ia pernah mencinta Keng Han dan mengharapkan pemuda itu menjadi suaminya. Akan tetapi Keng Han menolaknya. Dan sekarang Keng Han menyatakan bahwa dia mencinta Cu In? Rasanya tidak mungkin. Ia sendiri seorang wanita cantik dan ia menyadari benar akan hal Ini. Sebaliknya, ia sudah melihat wajah sumoinya yang totol-totol hitam, buruk sekali. Kalau Keng Han pernah melihat wajah itu, bagaimana mungkin dia jatuh cinta kepada wanita yang wajahnya sedemikian buruknya? The Sun Tek berkata, suaranya tegas dan berwibawa,
"Mengapa tidak mungkin? Ada dua macam cinta di dunia ini. Yang pertama cinta murni yang tidak dipengaruhi oleh buruknya rupa, buruknya nama atau kemiskinan. Yang kedua adalah cinta nafsu yang digerakkan oleh keadaan yang dicinta seperti wajah elok, terkenal, berkuasa atau hartawan. Dan cinta Keng Han seperti cinta yang pertama tadi."
"Ucapan suamiku ini benar, Bi Kiok. Lihat cinta suamiku kepadaku. Biarpun namaku buruk dan terkenal sebagai seorang yang disebut kejam dan sesat, namun cintanya kepadaku sama sekali tidak pernah berkurang. Usahakan agar engkau menemukan seorang pria seperti itu, yang mencintamu bukan sekedar pelampiasan nafsu belaka!"
The Sun Tek berkata kepada Ang Hwa Nio-nio,
"Hong Bwe, sebaiknya engkau berkemas dan sekarang juga kita pergi ke kota raja, pulang ke rumah kita."
"Pulang...?"
Ang Hwa Nio-nio bertanya suaranya seperti orang kebingungan, seperti dalam mimpi.
"Ya, pulang ke rumah kita di kota raja."
"Aku sudah bersiap-siap, lama sebelum engkau datang,"
Kata Ang Hwa Nio-nio dengan kedua pipinya berubah kemerahan.
"Aku hanya mem-bawa sebuah buntalan saja."
"Subo, apakah Subo akan pergi meninggalkan tempat ini?"
Tanya Bi-kiam Nio-cu.
"Benar, Bi Kiok. Aku akan pergi, akan pulang ke kota raja, meninggalkan Beng-san dan tidak akan kembali ke sini lagi. Rumah beserta isinya ini kutinggalkan kepadamu, menjadi milikmu."
Ang Hwa Nio-nio lalu mengambil buntalan yang menjadi bekalnya, kemudian mengajak suami dan puterinya untuk segera berangkat. Keng Han tidak ikut.
"Paman, sebagai seorang anak, saya harus mencari ayah saya, membujuknya agar dia menghentikan usahanya memberontak dan mengajaknya pulang ke Khitan. Setelah itu barulah orang tua saya akan mengajukan peminangan resmi atas diri Cu In."
The Sun Tek mengangguk-angguk, diam-diam memuji calon mantunya itu,
"Itu adalah suatu niat yang mulia sekali. Pergilah, kami akan menantimu di kota raja. Memang sudah semestinya kalau orang tuamu merestui perjodohanmu."
The Sun Tek, Ang Hwa Nio-nio dan Cu In segera berangkat. Akan tetapi belum jauh mereka pergi, Cu In membalikkan tubuhnya dan lari menghampiri Keng Han.
"Keng Han, kuharap engkau suka menyimpan ini baik-baik!"
Ia meloloskan sabuk suteranya yang putih.
"Selama ini sabukku menjadi teman yang setia."
Keng Han merasa terharu sekali ketika menerima sabuk sutera putih itu. Dia pun lalu mengambil pedang bengkoknya dan diserahkan kepada Cu In.
"Terima kasih, Cu In. Dan ini pedangku harap kau simpan baik-baik. Pedang ini pemberian ibuku dan biarlah sekarang untuk sementara disimpan oleh calon isteriku yang tercinta."
"Selamat tinggal, Keng Han."
Kata Cu In sambil menerima pedang bengkok itu.
"Selamat jalan dan selamat berpisah untuk sementara, Cu In."
Kata Keng Han. Gadis itu lalu pergi dengan cepat menyusul orang tuanya.
"Hi-hi-hik, sungguh lucu. Seperti orang bermain sandiwara saja. Alangkah mesranya, Keng Han!"
Bi-kiam Nio-cu mengejek sambil tertawa.
"Kalau dua hati sudah bertemu dalam cinta, tentu saja timbul kemesraan, Niocu"
"Aku heran sekali. Apakah matamu sudah buta, Keng Han?"
"Niocu, harap engkau jangan menghinaku. Mengapa engkau mengatakan mataku buta?"
"Benarkah engkau sudah menyaksikan bagaimana bentuk wajah sumoi Cu In?"
"Sudah, mengapa?"
"Wajahnya begitu buruk dan menjijikkan! Engkau dapat mencinta gadis dengan wajah seperti itu?"
"Niocu, engkau belum mengenal apa artinya cinta. Aku mencinta Cu In sejak la belum memperlihatkan mukanya. Aku mencinta ia, mencinta pribadinya, bukan mencinta wajahnya. Setelah aku melihat mukanya, cintaku semakin kuat karena ada dorongan perasaan iba kepadanya. Aku kelak akan mencarikan tabib terpandai di seluruh dunia untuk mengobatinya!"
"Hi-hi-hik, percuma saja. Cacat di mukanya itu menurut kata subo dan sumoi sendiri, adalah cacat bekas cacar. Mana mungkin pulih kembali. Kelak engkau akan menyesal. Kalau semua orang menertawakanmu ketika engkau bersanding dengan isterimu yang wajahnya seperti setan....!"
"Cukup, Niocu! Jangan engkau menghina Cu In atau aku akan menghajarmu!"
"Eh-eh-eh, engkau akan menghajarku? Lupakah, engkau bahwa aku ini gurumu?"
"Hemmm, memang engkau pernah mengajari cara menghadapi tok-ciang, akan tetapi engkau sendiri yang menyuruh aku memanggil Niocu. Jadi sekarang aku bukan lagi muridmu."
"Hemmm, pedangmu sudah kau berikan kepada kekasihmu, bagaimana engkau akan melawan aku? Dengan sabuk sutera putih pemberian kekasihmu itu?"
"Niocu, untuk melawanmu tidak perlu aku mempergunakan senjata!"
Kata Keng Han sambil mengikatkan sabuk sutera putih itu di pinggangnya.
"Keparat! Berulang kali engkau menghinaku, menolakku, dan sekarang-lah ke sempatan bagiku untuk membunuhmu! kalau aku tidak dapat memperolehmu, orang lain juga tidak boleh!"
Berkata demikian, Bi-kiam Nio-cu mencabut pedangnya lalu menyerang dengan cepat dan dahsyat. Namun Keng Han dengan tenang saja menggerakkan tubuhnya mengelak dari tusukan ke arah dada itu.
"Percuma, Niocu. Engkau tidak akan menang. Hentikanlah seranganmu itu dan jangan ganggu aku lagi!"
Keng Han masih mencoba untuk memperingatkan lawannya.
"Mampuslah!"
Niocu memben-tak dan menyerang lebih hebat lagi.
"Wuutt.. singgg...!"
Pedang yang menebas ke arah leher itu luput karena dielakkan oleh Keng Han. Keng Han mengalah dan terus mengelak sampai sepuluh jurus. Ketika melihat gadis itu semakin nekat menyerang-nya, dia pun lalu membalas. Tangan kirinya menampar ke arah leher Niocu, akan tetapi ketika Niocu mengelak, ia disambut oleh tangan kanan Keng Han yang menjotos ke arah lambungnya. Niocu berseru kaget dan melompat mundur ke belakang sehingga jotosan ke lambung itu luput. Keng Han segera bersilat dengan ilmu Toat-beng Bian-kun, sebuah di antara ilmu silat pusaka Pulau Es. Nampaknya saja ilmu silat ini lemah lembut seperti kapas, akan tetapi di dalamnya terkandung tenaga sinkang yang mengancam lawan dengan dahsyatnya! Menghadapi ilmu silat aneh dan berbahaya sekali ini, Niocu terdesak mundur terus.
"Hentikan seranganmu, Niocu. Hentikan!"
Keng Han berkali-kali membujuk. Akan tetapi Niocu yang sudah menjadi penasaran itu tidak mempedulikan seruannya dan menyerang terus. Tiba-tiba ia menggerakkan kepalanya ke belakang dan gelungan rambutnya terlepas sehingga rambut itu menjadi riap-riapan dan panjang sampai ke pinggang. Rambut ini, yang lembut dan berbau harum, merupakan senjata yang tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan kanan Niocu. Bahkan gerakan rambut ini datangnya tidak terduga-duga, bisa dipergunakan untuk menyolok mata, melibat dan mencekik leher, bahkan menotok ke arah jalan darah lawan. Namun Keng Han sudah mengenal kelihaian rambut panjang itu. Ketika Niocu menusukkan pedangnya ke arah perut, tiba-tiba rambutnya melibat leher Keng Han!
Keng Han mengelak ke kiri akan tetapi tidak dapat mengelak dari rambut yang sudah melilit lehernya. Dia menggunakan tangan kirinya, menangkap rambut itu dan sekali tarik, rambut itu putus setengahnya! Niocu menjerit kaget. Rambutnya yang tadinya sepanjang pinggang itu kini tinggal sepundak! Akan, tetapi ketika sedang mundur dan kaget melihat rambutnya, Keng Han sudah maju dan menendang ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang. Kembali Niocu menjerit kaget dan pedangnya terlepas dari pegangan, mencelat ke atas. Tiba-tiba nampak bayangan tubuh orang yang menangkis pedang yang terpental itu. Ketika bayangan itu turun, ternyata dia seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun. Wajahnya penuh brewok seperti muka harimau dan brewok serta rambutnya sudah putih semua!
"Bi-kiam Nio-cu, ini pedangmu! Apakah engkau perlu bantuanku menghadapi bocah lancang ini?"
Bi-kiam Nio-cu bukan orang yang curang. Sebaliknya, ia menghargai kegagahan dan tanpa malu lagi ia mengaku dalam hati bahwa kepandaiannya tidak mampu menandingi kepandaian Keng Han. Ia menyimpan kembali pedangnya menyanggul rambutnya yang tinggal sepundak, lalu berkata kepada orang itu.
"Pek-thou-houw (Harimau Kepala Putih), tidak perlu engkau mencampuri urusanku. Dan ada keperluan apakah engkau datang ke sini?"
Orang yang berjuluk Harimau Kepala Putih itu menghela napas panjang. Bi-kiam Nio-cu ini ternyata masih sama angkuhnya dengan dulu. Seorang wanita yang dingin dan angkuh! Maka dia pun tidak mau bicara panjang lebar, hanya menyampaikan tugasnya saja.
"Bi-kiam Nio-cu, aku diutus oleh Thian It Tosu dari Bu-tong-pai untuk mengundang Ang Hwa Nio-nio ke Bu-tong-san, karena di sana akan diadakan rapat besar antara para datuk dan tokoh kang-ouw. Harap engkau suka minta pada gurumu untuk menemuiku atau aku yang menghadap ke dalam."
Kata Pek-thou-houw sambil memandang ke arah rumah itu.
"Guruku sudah pergi dan tidak akan kembali,"
Kata Bi-kiam Nio-cu.
"maka tidak mungkin dapat pergi. Akan tetapi aku yang akan mewakilinya datang ke Bu-tong-san."
"Begitupun bagus, Niocu. Kami semua telah mendengar nama besar Bi-kiam Nio-cu. Niocu, bagaimana kalau sebelum aku pergi, aku memberi hajaran kepada bocah ini agar lain kali dia tidak akan menggodamu lagi?"
Bi-kiam Nio-cu tersenyum mengejek.
"Sesukamulah!"
Katanya. Pek-thou-houw menghampiri Keng Han yang sejak tadi hanya menjadi penonton saja.
"Heh, orang muda, siapa namamu? Aku tidak biasa membunuh orang yang tidak mempunyai nama!"
Bentak Harimau Kepala Putih itu dengan sikap bengis.
"Namaku Si Keng Han dan kuharap engkau tidak mencampuri urusan antara aku dan Niocu."
Kata Keng Han dengan lembut.
"Apa katamu? Kalau aku mencampuri, kau mau apa?"
"Sesukamulah kalau begitu. Aku sudah memperingatkan!"
Kata Keng Han, kini tidak lembut lagi bahkan suaranya mengandung gertakan.
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Awas seranganku. Heh-heiiiiittt!"
Si Kepala Putih itu mengeluarkan gerakan seperti seekor harimau dan tubuhnya sudah meloncat ke depan, sikapnya presis harimau yang hendak menerkam korbannya, kedua tangan dibentangkan dengan jari-jari membemtuk cakar harimau.
"Hemmm....!"
Keng Han mengenal ilmu silat harimau ini. Akan tetapi harus diakui bahwa Si Harimau Kepala Putih inii telah mempelajari segala bentuk gerakan harimau dengan seksama dan seorang ahli dalam Houw-kun (silat Harimau) itu. Dia percaya bahwa dua cakar itu sanggup merobek kulit dan daging lawan! Karena telah mengenal ilmu itu, dengan mudah dia mengelak dengan lompatan ke kiri dan begitu "harimau"
Itu turun ke atas tanah, dia sudah menampar dengan tangan kiri.
"Wuuuuuttt.... plakkk....!!"
Keng Han terkejut sendiri. Tanpa disadari tangan kirinya masih memegang potongan rambut Niocu sehingga ketika dia, menampar, rambut itu yang melecut ke arah muka Pek-thou-houw! Pek-thou-houw berteriak kesakitan. Lecutan cambuk istimewa itu keras sekali sehingga meninggalkan jalur merah pada pipi dan lehernya. Sementara itu, Keng Han yang baru teringat akan rambut itu sudah mendekati Niocu dan menjulurkan tangan mengembalikan rambut.
"Maafkan aku, Niocu. Aku menyesal sekali."
Katanya. Bi-kiam Nio-cu menyambar rambutnya sambil menggigit bibir menahan keluarnya air mata, lalu ia membalikkan tubuhnya dan berlari pergi meninggalkan tempat itu. Ketika melihat bahwa Bi-kiam Niocu lari pergi, dan teringat akan lecutan rambut tadi, dia merasa jerih. Tahulah dia bahwa Bi-kiam Nio-cu tadi agaknya kalah oleh pemuda itu, apalagi dia! Maka, tanpa ramit lagi dia pun lari meninggalkan Keng Han.
Keng Han memandang ke arah bayangan Niocu dan berulang kali dia menghela napas panjang. Mudah-mudahan dia mendapatkan seorang pria yang benar-benar mengasihinya, pikirnya. Dia merasa kasihan kepada Bi-kiam Nio-cu. Dia mengerti bahwa Bi-kiam Nio-cu mencintainya, bahkan pernah mengajaknya menikah lalu lari minggat dari subonya. Sekarang, melihat dia saling mencinta dengan Cu In, tentu hati wanita itu penuh iri dan cemburu, maka berusaha mati-matian untuk membunuhnya. Dia tahu bahwa Bi-kiam Nio-cu bukan orang jahat, dan kalau wataknya menjadi kejam terhadap kaum pria, hal itu adalah karena sejak kecil dara ini dididik untuk membenci pria. Akan tetapi mulai sekarang dia mengharapkan gadis itu berubah pula setelah melihat betapa subonya kembali kepada kekasihnya, bahkan merestui perjodohan antara dia dan Cu In.
"Semoga engkau menemukan jodohmu yang tepat, Niocu."
Kata Keng Han sambil menarik napas panjang dan dia pun pergi ke Bu-tong-san. Dia tertarik mendengar dari Pek-thou-houw tadi bahwa Bu-tong-pai akan mengada pertemuan besar. Siapa tahu dia akan dapat bertemu dengan ayahnya di sana, mengingat bahwa gerakan ayahnya itu sejalan dengan sikap Bu-tong-pai yang hendak memberontak.
Sebuah kereta berhenti di halaman depan gedung istana Pangeran Mahkota Tao Kuang. Setelah kepala jaga memeriksa siapa yang berada di dalam kereta itu, dia memberi hormat dan kereta itu diperbolehkan masuk sampai ke pintu depan istana. Pangeran Tao Kuang sedang bercakap-cakap dengan Kwi Hong, Kai-ong dan Han Li di ruangan perpustakaan yang luas ketika penjaga melapor akan kedatangan tamu-tamu berkereta itu. Mendengar siapa yang datang berkunjung, Pangeran Mahkota tersenyum dan berseri wajahnya, lalu mengajak mereka semua untuk keluar menyambut.
"Kalian ikutlah, akan kuper-kenalkan kepada seorang pangeran adik sepupuku yang menjadi sahabat baikku! Dialah satu-satunya orang di kalangan kelurga kami yang kupercaya sepenuhnya."
Katanya kepada Kai-ong dan Han Li. Ketika mereka di luar, mereka semua melihat tiga orang berada di serambi depan. Seorang pria berusia empat puluh tahun lebih yang tampan dan lembut sikapnya, seorang wanita cantik yang agung dan anggun, berusia sebaya dengan pria itu. Dan di belakang mereka berjalan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Begitu melihat mereka, Han Li berubah air mukanya, menjadi kikuk dan salah tingkah karena ia mengenal mereka itu sebagai suami isteri Pangeran Cia-Sun dan isterinya,
Sim Hui Eng dan putera mereka, Cia Kun. Suami Isteri dan putera mereka itu belum lama ini telah datang ke Bukit Naga untuk meminang dirinya yang hendak dijodohkan dengan putera mereka itu! Begitupun Kwi Hong. Ketika ia melihat siapa yang datang, kedua pipinya menjadi kemerahan karena ayah bundanya pernah bertanya kepadanya, bagaimana kalau ia dijodohkan dengan putera Cia Sun, saudara sepupu ayahnya. Sudah lebih dari tiga tahun dara ini tidak pernah bertemu dengan Cia Kun dan kini pemuda itu telah menjadi seorang dewasa yang ganteng! Demikian pula Cia Kun, dia terheran melihat Han Li berada di situ dan dia juga terpesona melihat Kwi Hong yang kini demikian cantik jelita. Pangeran Cia Sun beserta isterinya juga merasa heran melihat Han Li.
"Bukankah engkau Yo Han Li? Bagaimana bisa berada di sini?"
Sebelum Han Li dapat menjawab, Pangeran Tao Kuang berkata sambil tertawa,
"Bagus, kiranya kalian sudah saling mengenal sehingga tidak perlu kuperkenalkan lagi"
"Akan tetapi siapa Locianpwe ini? Kami tidak mengenalnya."
"Ah, Paman ini adalah seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw, Dinda Pangeran. Tentu engkau pernah mendengar akan julukan Kai-ong, bukan?"
"Bukankah Kai-ong Lu Tong Ki?"
Tanya Pangeran Cia Sun.
"Benar, dia dan muridnya, nona Han Li, menjadi tamu kehormatan kami. Paman Lu, ini adalah Pangeran Cia Sun yang dahulu sering bertualang di dunia kang-ouw."
Pangeran Cia Sun dan pengemis tua itu saling memberi hormat.
"Nah, marilah kita semua masuk ke dalam dan bicara di sana!"
Kata Pangeran Tao Kuang dengan ramah. Mereka semua diajak masuk ruangan tamu yang luas dan sejuk karena banyak jendelanya sehingga hawa dapat masuk dengan leluasa.
"Kanda Pangeran, kedatangan kami untuk menjenguk Kanda karena kami mendengar bahwa Kanda diserbu orang-orang yang hendak membunuh. Kami bersyukur sekali mendengar bahwa Kanda Pangeran terlepas dari bahaya maut."
"Benar, Adinda Pangeran. Semua ini adalah jasanya Tao Keng Han dan nona Souw Cu In yang membongkar rencana pemberontakan dan pembunuhan itu. Karena kami telah mengetahui lebih dulu, maka kami sekeluarga dibantu Paman Lu dan muridnya Han Li telah bersiap-siap. Juga penjagaan oleh pasukan dilakukan dengan ketat. Dengan ayahanda Kaisar pun demikian. Bahkan sepasang pendekar itu menyamar sebagai pengawal pribadi Kaisar."
"Ah, kami merasa gembira sekali mendengar itu, Kanda. Untuk itu, biarlah kuucapkan selamat dan menyulangi Kanda dengan tiga cawan arak!"
Karena memang di situ sudah dipersiapkan dan disediakan arak, maka kedua orang pangeran, diikuti yang lain minum tiga cawan arak.
"Bagaimanapun juga, kalau tidak ada bantuan nona Yo Han Li dan gurunya, tetap saja kami terancam bahaya maut. Mereka berdua yang dapat menandingi pihak pemberontak itu."
Cia Sun tersenyum memandang kepada Han Li.
"Tentu saja. Han Li adalah puteri Si Tangan Sakti Yo Han dan isterinya Si Bangau Merah Tan Sian Li. Apalagi sekarang menjadi murid Kai-ong! Tentu ilmu kepandaiannya menjadi luar biasa sekali!"
"Aih, Paman Cia terlalu memujiku, membuat aku merasa malu saja."
"Li-moi, ayahku hanya berkata sebenarnya, mengapa harus malu? Dan aku percaya bahwa Hong -moi sekarang tentu telah menjadi seorang gadis yang lihai pula. Kabarnya Hong-moi menerima pelajaran dari para ahli silat yang menjadi panglima pengawal, berganti-ganti guru sehingga tentu memiliki banyak macam ilmu silat!"
Kata Cia Kun sambil memandang adik sepupunya itu dengan sinar mata penuh kagum. Pemuda ini sudah mendengar dari ayahnya bahwa pinangan mereka atas diri Han Li ditolak halus oleh orang tua gadis itu, maka dia tidak mengharapkan lagi dan perhatiannya beralih kepada Kwi Hong yang tidak kalah cantiknya dibandingkan Han Li.
"Aih, Kun-ko, engkau pandai memuji orang. Mana aku dapat dibandingkan dengan enci Han Li? Dibandingkan dengan engkau saja aku sudah kalah jauh! Selain Paman Pangeran Cia sendiri memilikl ilmu yang tinggi, Bibi yang menjadi ibumu memiliki ilmu silat yang lebih hebat pula. Engkau tentu telah mewarisi semua ilmunya!"
"Ah, Ayah dan terutama ibu memang pandai, akan tetapi aku yang bodoh, tidak maju-maju dalam pelajaran ilmu silat,"
Bantah Cia Kun sambil memandang kepada adik sepupunya itu dengan senyum.
"Kwi Hong, kenapa engkau tidak mengajak Han Li dan Cia Kun. untuk bicara di taman?. Biarkan kami yang tua-tua bicara di sini."
Kata Pangeran Tao Kuang kepada puterinya.
"Ah, taman bunga sedang indah karena bunga-bunga sedang mekar, di mana hawanya sejuk sekali. Mari, enci Han Li dan kanda Cia Kun, kita bermain-main dan bicara di sana!"
Karena ajakan nona rumah ini, Han Li dan Cia Kun tidak dapat menolak dan pergilah tiga orang muda itu ke taman bunga. Setelah tiga orang muda itu pergi, bertanyalah Cia Sun kepada Pangeran Tao Kuang,
"Kanda Pangeran, sebetulnya apakah yang telah terjadi? Siapa yang mendalangi pemberontakan itu?"
Pangeran Tao Kuang menghela napas panjang.
"Sungguh memalukan kalau dipikir. Yang menjadi dalangnya adalah Tao Seng dan Tao San."
"Bukankah mereka dihukum buang ketika hendak membunuhmu dahulu itu, Kanda Pangeran?"
Tanya Cia Sun.
"Benar, akan tetapi hukuman mereka telah habis. Mereka lalu kembali ke kota raja dan menyamar sebagai orang-orang hartawan. Kita mengetahui akan hal itu akan tetapi mendiamkan saja. Bagaimanapun juga mereka adalah saudara-saudara kita dan hukuman bagi mereka sudah habis. Akan tetapi sungguh tidak disangka sama sekali, diam-diam mereka menghimpun kekuatan, mempergunakan datuk-datuk dan tokoh-tokoh sesat untuk membunuh ayahanda Kaisar dan aku sendiri. Dan engkau tahu siapa yang membongkar rahasia mereka?"
"Kakanda tadi sudah memberitahu bahwa yang membongkar rahasia itu adalah seorang bernama Tao Keng Han dan nona Souw Cu In."
"Benar dan tahukah engkau si-apa Tao Keng Han itu? Dia adalah keponakan kita sendiri, yaitu putera dari kakanda Tao Seng."
Pangeran Mahkota Tao Kuang lalu menceritakan betapa Keng Han hendak membunuhnya karena pemuda itu dihasut oleh ayahnya sendiri yang menyamar sebagai Hartawan Ji. Akan tetapi akhirnya pemuda itu dapat disadarkan akan kekeliruannya dan bahwa dia terkena hasutan. Cia Sun mendengarkan dengan bercampur kagum.
"Jadi pemuda itu memusuhi ayahnya sendiri dan membongkar rahasia pemberontakannya kepadamu?"
"Benar. Akan tetapi bukan berarti bahwa dia membenci ayah kandungnya. Dia berbuat demikian karena melihat bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar. Sekarang dia hendak mencari ayahnya untuk dibujuk pulang ke Khitan. Ibunya adalah puteri kepala suku Khitan."
Pangeran Cia Sun mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Benar hebat pemuda itu. Dia tentu seorang pendekar yang besar!"
"Dia memang berjiwa pendekar dan menurut keponakanmu Kwi Hong, ilmu silatnya hebat sekali sehingga dia mampu mengalahkan para datuk sesat. Karena itu maka aku minta agar dia dan nona Souw Cu In yang juga lihai sekali untuk melindungi Kaisar dan ternyata mereka berhasil merobohkan banyak penjahat yang menyamar sebagai perajurit pengawal, akan tetapi sayang, para datuk yang memimpin penyerbuan itu dapat kabur. Rencana pemberontakan itu keji sekali. Mereka hendak membunuh ayahanda Kaisar dan aku, dan mereka mempersiapkan pasukan di luar dan di dalam kota raja, berhasil pula mempengaruhi seorang panglima. Tujuan mereka, kalau Kaisar dan aku sudah tewas, istana akan dikuasainya dan dengan dalih singgasana kosong dan dia yang berhak duduk sebagai kakakku yang tertua, Pangeran Tao Seng akan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar."
"Keterlaluan sekali kanda Tao Seng itu. Dan sekarang, apakah dia, sudah tertangkap kembali?"
"Belum, begitu gerakan mereka gagal, dia sudah menghilang entah ke mana. Para penyelidik sedang mencarinya dan kalau tertangkap, sekali ini tentu akan di jatuhi hukuman mati."
"Aku. dapat menduga siapa datuk-datuk sesat yang dipergunakan para pemberontak itu. Mereka tentu termasuk Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Mereka adalah datuk-datuk yang tersesat, mau melakukan apa saja asalkan pahalanya besar."
Kata Kai-ong Lu Tong Ki yang sejak tadi diam saja.
"Hemmm, tiga nama datuk itu sudah terkenal sekali. Kalau hanya menerima upah harta saja tentu mereka tidak mau membantu pemberontakan,"
Kata isteri Pangeran Cia Sun yang bernama Sim Hui Eng. Wanita ini sudah kenyang dengan pengalaman di dunia kang-ouw maka ia mengenal pula tiga orang datuk yang disebutkan tadi.
"Kurasa mereka itu mendapatkan janji akan diberi kedudukan tinggi kalau Pangeran Tao Seng berhasil menjadi Kaisar."
Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk-angguk.
"Dugaan itu tepat sekali. Tidak dapat disangsikan lagi, mereka tentu diberi janji yang muluk-muluk."
"Akan tetapi masih ada satu hal lagi yang amat mengherankan hatiku, Kanda Tao Kuang."
"Apa yang kau herankan?"
"Hadirnya Yo Han Li di tempat ini. Kalau Locianpwe Kai-ong tidak aneh berada di sini sebagai tamu karena aku tahu bahwa Kanda Pangeran suka menghargai orang pandai. Akan tetapi Han Li, ia masih terhitung keponakanku sendiri karena ayahnya adalah kakak angkatku. Akan tetapi biarpun demikian, ayahnya itu juga ketua Thian-li-pang yang jelas merupakan perkumpulan para pejuang yang sewaktu-waktu dapat memberontak. Bukankah tersiar berita bahwa para penyerang yang hendak membunuh kaisar itu mengaku orang Thian-li-pang?"
Pangeran Tao Kuang tersenyum.
"Berita itu bohong dan yang membongkar rahasianya adalah nona Yo Han Li. Ia tidak mengenal orang-orang itu sebagai anggauta Thian-li-pang, bahkan kemudian diketahui bahwa para penyerang itu adalah orang-orang Pek-lian-pai dan Patkwa-pai. Tadinya aku pun sangat curiga kepada nona. Yo, akan tetapi selama ia di sini ia memperlihatkan sikap yang baik sekali, bahkan cocok dengan Kwi Hong. Karena itu, aku sepenuhnya menanggung bahwa nona Yo tidak berpihak kepada pemberontakan, bahkan ia pun ikut turun tangan melawan ketika gerombolan penjahat itu menyerbu ke istana ini."
Pangeran Cia Sun mengangguk-anggup, dan Liang Siok Cu, selir Pangeran Tao Kuang yang mendampingi mereka bercakap-cakap, menambahkan.
"Menurut penglihatanku, nona Yo sama sekali tidak jahat. Bahkan ia baik sekali, sopan dan ramah. Dengan terus terang ia pernah mengatakan kepada aku dan Kwi Hong, bahwa ayahnya memang pemimpin Thian-li-pang dan berjiwa patriot, akan tetapi sama sekali tidak membenci keluarga Kaisar. Yang dibencinya adalah penjajahan dan sekarang mereka hanya bergerak melindungi rakyat dari penindasan pejabat yang menyeleweng atau gangguan gerombolan perampok. Itulah sebabnya mengapa ia mau tinggal di sini menjadi tamu kami, bahkan telah ikut membantu menyelamatkan kami dari serbuan para pembunuh."
Kembali Cia Sun mengangguk-angguk.
"Aku sudah mengenal baik siapa itu Yo Han. Pendekar Tangan Sakti itu memang seorang pendekar tulen yang budiman. Hampir tidak pernah dia membunuh orang. Orang-orang jahat hanya dia kalahkan dan dia taklukkan dan diampuni asalkan mau mengubah jalan hidup mereka yang menyeleweng."
Sementara itu, di taman bunga juga terjadi percakapan yang menarik hati.
"Taman begini indah, hawa begini sejuk, sungguh tepat sekali untuk menulis sajak, meniup suling dan menabuh yangkim, atau karena kita belum mempersiapkan peralatannya, bagaimana kalau kita isi dengan mempertunjukkan ilmu silat kita masing-masing?"
Kata Kwi Hong dengan gembira.
"Bagus!"
Cia Kun memuji.
"Sebaiknya engkau yang mengusulkan, engkau yang lebih dulu mulai, Hong-moi!"
"Tidak, sebaiknya kalau enci Han Li yang mulai, mengingat bahwa ilmu silatnya yang paling tinggi di antara kita. Marilah, enci Han Li, bermainlah silat agar membuka mata, kami yang bodoh!"
Kata pula Kwi Hong sambil menarik-narik tangan Han Li. Han Li tersenyum.
"sudah lajim di mana-mana bahwa pria harus mengalah kepada wanita. Karena kita berdua wanita dan yang pria hanya Kun-ko, maka sepantasnyalah kalau dia mangalah dan bermain silat lebih dulu."
Kwi Hong bertepuk tangan dan bersorak.
"Setuju sekali. Nah, Kun-ko, kalau engkau menolak berarti engkau seorang laki-laki yang tidak bijaksana, tidak mau mengalah terhadap waniti!"
Menghadapi serangan Kwi Hong ini, Cia Kun menyeringai dan tidak mampu membantah lagi.
"Baiklah aku akan mengalah. Aku mainkan ilmu pedang yang kupelajari dari ibuku."
Kwi Hong bertepuk tangan.
"Wah, tentu hebat sekali!"
Cia Kun, mengeluarkan sebatang pedang dari punggungnya dan mencabut, sebuah kipas putih dari pinggangnya, lalu berkata sambil tersenyum.
"Ibuku biasanya memainkan pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan kiri. Karena aku tidak memainkan kebutan seperti seorang pendeta, ibu lalu mengganti kebutan itu dengan kipas. Nah, aku mulai, akan tetapi harap jangan ditertawakan!"
Cia Kwi lalu melompat ke bagian yang luas dekat kolam ikan dan mulailah dia bermain pedang dan kipas. Gerakannya cepat dan indah sekali, seperti orang menari-nari dan terdengar suara berdesing dari pedangnya. Kipasnya melakukan totokan-totokan yang cepat dan kuat, kadang dikembangkan untuk menangkis serangan lawan. Pemuda itu memainkan ilmu pedangnya yang sebanyak tiga puluh enam jurus itu, lalu berhenti. Lehernya sedikit berkeringat akan tetapi pernapasannya biasa saja tanda bahwa dia telah menguasai ilmu itu dengan baik dan dapat mengatur pernapasannya ketika berlatih tadi. Kwi Hong bertepuk tangan, diikuti Han Li. Dan Han Li berkata,
"Sungguh kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!"
"Aih, Li-moi, jangan memuji di mulut akan tetapi menertawakan di hati!"
Kata Cia Sun sambil menyimpan kembali pedang dan kipasnya.
"Siapa menertawakan, Kun-ko? Tiga tahun yang lalu, ketika engkau dan orang tuamu datang berkunjung engkau juga memperlihatkan ilmu silatmu, akan tetapi sungguh jauh bedanya dengan yang kau mainkan tadi. Dalam waktu tiga tahun saja ilmu silatmu telah maju pesat sekali."
"Terima kasih atas pujianmu, Li-moi"
"Haiii, kalian ini agaknya sudah lama berkenalani"
Kata Kwi Hong sambil memandang wajah kakak misannya.
"Tentu saja!"
Jawab Cia Kun sambil tersenyum. Bahkan Han Li ini boleh dibilang adikku sendiri. Ayahku dan ayahnya adalah saudara angkat!"
"Ah, pantas saja kalian demikian akrab. Nah, enci Han Li, sekarang tiba giliranmu untuk menunjukkan kepandaianmu!"
Kata Kwi Hong gembira. Tadi ia merasa bangga dan kagum sekali melihat ilmu pedang yang dimainkan kakak misannya.
"Ih, apakah engkau tidak mengenal lagi sopan santun, adik Kwi Hong. Engkau adalah nona rumah dan aku hanya tamu, maka sudah selayaknya kalau nona rumah memberi contoh lebih dulu, baru aku sebagai tamu mengikutinya!"
"Wah, kiranya yang lihai bukan hanya ilmu silatmu, enci. Han Li. Engkau lihai sekali berdebat dari bicara. Baiklah, aku sebagai nona rumah harus mengalah. Akan tetapi berjanjilah bahwa kalian berdua tidak mentertawakan ilmu pedangku "
"Mana mungkin kami menertawakanmu? Kami percaya bahwa ilmu pedangmu tentu hebat sekali. Hayolah, adik Hong, perlihatkan kehebatan pedangmu!"
"Hong-moi, aku tadi sudah mengalah bermain pedang lebih dulu, maka kini engkau tidak dapat menolak lagi."
Cia Kun juga membujuk.
"Baiklah, boleh lihat baik-baik ilmu pedangku yang jelek dan dangkal."
Kwi Hong lalu meloncat ke tempat dekat kolam tadi sambil mencabut pedangnya. Cepat sekali gerakan mencabut pedang itu sehingga seperti bermain sulap saja tahu-tahu pedang sudah berada di tangan kanannya.
(Lanjut ke Jilid 16)
Pusaka Pulau Es (Seri ke 17 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
Ia memberi hormat dengan kedua tangan di dada terhadap dua orang penontonnya dan mulailah ia bermain silat pedang Ngo-heng Sin-kiam (Pedang Sakti Lima Unsur), yaitu ilmu yang secara kebetulan dia temukan bukunya di perpustakaan Istana kaisar. Dan kedua orang penontonnya tertegun. Hebat memang ilmu pedeng itu, mengandung tenaga keras, kadang lembut, kadang cepat dan kadang lambat. Dan Kwi Hong memainkannya dengan gerakan yang indah sekali. Kini Yo Han Li yang merasa kagum. belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang seperti itu, akan tetapi kalau disangkan dengan ilmu pedang yang dibandingkan Cia Kun tadi, jelas bahwa ilmu pedang yang dimainkan Kwi Hong lebih lihai. Juga Cia Kun kagum bukan main. Ilmu pedang itu tidak pernah dilihatnya, namun gerakannya demikian kuat dan cepat. Setelah Kwi Hong menghentikan permainan pedangnya, Cia Kun dan Han Li menyambutnya dengan tepuk tangan.
"Kiam-hoat itu sungguh hebat sekali!"
Kata Han Li.
"Wah, Hong-moi, kalau aku tahu bahwa ilmu pedangmu demikian hebat, aku tadi tidak berani memperlihatkan kebodohanku. Aku mengaku kalah!"
Kata Cia Kun sambil menghampiri adik misannya itu.
"Kalian terlalu memujiku!"
Kata Kwi Hong sambil menyapu dahi dan lehernya yang berkeringat itu dengan saputangan.
"Sekarang aku minta enci Han Li yang memperlihatkan kepandaiannya."
"Karena kalian tadi bermain pedang, biarlah saya pun menggunakan pedang."
Kata Han Li sambil mencabut pedangnya. Pedang itu tidak begitu panjang dan tipis. Setelah memberi hormat kepada dua orang penontonnya, Han Li mulai menggerakkan pedangnya. Mula-mula gerakannya lambat saja, akan tetapi makin lama semakin cepat sehingga tubuhnya lenyap tergulung sinar pedang.
Pedang itu mengeluarkan angin dan kadang sinarnya membubung ke atas, lalu mencuat ke kanan kiri. Kalau sinar pedang itu mencuat ke atas, maka jatuhlah daun-daun pohon berhamburan! baru sinar pedangnya saja mampu membuat daun-daun itu berjatuhan! Cia Kun dan Kwi Hong menjadi bengong menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan Han Li. Mereka tidak tahu bahwa itu adabah ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman), sebuah ilmu pedang dari keluarga Lembah Naga. Mata mereka menjadi silau dan seolah mereka menahan napas saking kagumnya. Baru setelah gulungan itu lenyap dan nampak Han Li berdiri di situ dengan pedang bersembunyi di lengan kanarnya, mereka bertepuk tangan. Han Li menyimpan pedangnya dan menghampiri mereka dengan senyum simpul.
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hebat! Hebat sekali ilmu pedangmu tadi, enci Han Li!"
Seru Kwi Hong.
"Memang hebat, akan tetapi ilmu pedangmu juga tidak kalah hebatnya, Hong-moi kata Cia Kun.
"Ah, engkau bisa saja memuji orang, Kun-koi".
"Aku tidak asal memuji. Memang ilmu pedangmu tadi bagus sekali. Tanyakan kepada nona Yo kalau tidak percaya!"
Yo Han Li mengangguk.
"Memang hebat ilmu pedangmu tadi aku tidak pernah melihat ilmu pedang seperti itu. Apa namanya ilmu pedangmu itu, adik Kwi Hong?"
"Ilmu pedang itu kudapatkan secara kebetulan sekali. Ketika aku mencari-cari buku bacaan di kamar perpustakaan istana, aku menemukan sebuah kitab lama yang sukar dibaca. Aku minta tolong para sastrawan di istana dan akhirnya mengetahui bahwa isinya adalah ilmu pedang yang namanya Ngo-heng-kiam-sut. Nah, aku lalu mampelajarinya."
"Hebat sekali. Ilmu itu tentu peninggalan orang sakti dan engkau beruntung menemukannya, adik Kwi Hong."
"Jangan terlalu memujiku, enci Han Li. Ilmu pedangmu tadilah yang hebat. Apa sih namanya?"
"Itu adalah Koai-liong Kiam-sut yang kupelajari dari ibuku."
"Dari kitab kuno dapat mempelajari ilmu pedang yang demikian kuat dan indah? Engkau sungguh seorang gadis yang cerdik dan tekun Hong-moi. Aku sungguh merasa kagum sekali!"
Tiba-tiba Cia Kun berkata sambil memandang wajah gadis itu. Wajah Kwi Hong menjadi kemerahan.
"Ah, Kun-ko. Sudahlah, jangan memuji-muji aku terlalu tinggi. Jangan-jangan kepala ini membesar dan meledak karena bangga!"
Kata Kwi-Hong sambil tersenyum. Cia Kun juga tertawa dan dia beradu pandang dengan Kwi Hong, keduanya saling tertarik. Han Li melihat gelagat ini. Tadinya Cia Kun menyatakan suka padanya, bahkan ayah ibunya sudah datang meminangnya. Akan tetapi karena ayah ibunya tidak menyetujui pinangan itu, agaknya Cia Kun tidak lagi mengharapkannya dari pindah perhatian kepada Kwi Hong. Mereka memang pasangan yang sangat cocok, keduanya anak pangeran, berdarah bangsawan. Oleh karena itu, ia pun tidak ingin hadir terus di situ yang hanya akan merupakan gangguan bagi mereka.
"Ah, kepalaku agak pening rasanya. Maafkan aku, adik Kwi Hong, aku permisi dulu untuk rebahan di kamarku."
"Ah, tentu saja, Enci Han Li. Apakah engkau sakit? Jangan-jangan masuk angin."
Kwi Hong mendekatinya dan meraba dahi Han Li,
"Perlukah kupanggilkan tabib?"'
"Ah, tidak usah, adik Kwi Hong, terima kasih. Aku hanya merasa pening dan lelah. Ingin mengaso."
"Kalau begitu baiklah, enci Han Li, aku akan bercakap-cakap dengan Kun-ko di sini."
Han Li lalu pergi dari situ dan setelah agak jauh ia mendengar Kwi Hong dan Cia Kun keduanya tertawa-tawa dengan gembira.
"Semoga mereka berbahagia."
Katanya dalam hati sambil memasuki gedung istana itu untuk menuju ke kamar yang disediakan untuknya.
"Nah, kebetulan sekali, Hong-moi. Kini kita ditinggalkan berdua saja. Aku memang ingin menyampaikan perasaan hatiku setelah bertemu denganmu. Sudah agak lama tidak saling bertemu dan tadi, begitu melihatmu, jantungku berdebar tidak karuan. Engkau telah menjadi gadis dewasa yang cantik seperti bidadari dan juga tangguh seperti seorang pendekar wanita. Aku merasa kagum sekali, Hong-moi."
"Wah, pujianmu terlalu muluk, Kun-ko. Aku hanya seorang gadis biasa, mana mungkin disamakan dengan bidadari?"
Kwi Hong lalu tertawa dan Cia Kun juga tertawa. Inilah yang didengarnya oleh Han Li sebelum ia masuk ke dalam istana.
"Sungguh, Hong-moi. Aku tidak main-main. Di dalam istana ayahku terdapat sebuah patung Dewi Kwan Im, dan kulihat engkau mirip patung itu, lebih elok malah."
"Aku kau samakan dengan Kwan Im Pousat? Ngaco! Engkau terlalu memujiku, padahal engkau sendiri seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali. Tentu banyak gadis puteri istana yang tergila-gila padamu."
"Entahlah, aku tidak memperhatikan mereka. Tidak ada seorang pun puteri istana yang dapat menyamai engkau, Hong-moi. Karena itu, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk meminangmu sebagai calon isteriku."
"Ihhh! Jangan bicara soal perjodohan, Kun-ko."
Kwi Hong membalikkan diri dan mukanya menjadi merah sekali. Cia Kun mengita-rinya dan menghadapinya.
"Engkau marah, Kwi Hong? Maafkanlah kelancanganku kalau begitu. Akan tetapi sebelum ayah bundaku melamarmu, aku ingin lebih dulu mengetahui darimu, apakah hatimu sudah ada yang punya? Kalau engkau tidak setuju, katakan saja sekarang agar orang tuaku tidak usah melamar yang kemudian kau menolak. Maka itu, katakanlah, bagaimana kalau ayah bundaku melamarmu?"
Kwi Hong merasa terharu sekali. Ia memang pernah jatuh cinta kepada seorang pemuda, dan pemuda itu adalah Keng Han. Akan tetapi ternyata bahwa Keng Han adalah kakak sepupunya, satu marga sehingga tidak mungkin sekali mereka menjadi suami isteri. Sekarang Cia Kun menyatakan cintanya. Ditanya seperti itu tentu saja sukar baginya untuk menjawab. Di dalam hatinya, Ia pun kagum dan suka kepada Cia Kun. Seorang pemuda bangsawan, putera pangeran yang terkenal berbudi, seorang pemuda yang juga tidak lemah, karena ibunya seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi. Mau apa lagi?
"Hong-moi, jawablah. Jangan biarkan aku dalam keraguan yang akan menyiksa hatiku. Aku tidak akan merasa sakit hati andaikata engkau menolakku. Aku hanya ingin kepastian dan jawablah selagi kita hanya berdua di sini.
"Ah, Kun-ko.... urusan begituan.... kuserahkan saja kepada ayah dan ibuku. Mari kita kembali kepada mereka."
Dan tanpa menanti jawaban Kwi Hong lalu berlari masuk, disusul oleh Cia Kun. Pemuda ini merasa gembira bukan main. Dia tahu bahwa kalau seorang gadis setuju dipinang, ia pasti akan mengatakan seperti yang dikatakan gadis itu, yaitu menyerahkan kepada orang tuanya. Kalau tidak setuju, pasti terus terang dikatakan tidak setuju!
Ketika Cia Kun dan Sim Hui Eng melihat putera mereka kembali dari taman bersama Kwi Hong dan wajah pemuda itu berseri dan matanya bersinar-siinar, mereka sudah dapat menduga. Apalagi melihat Kwi Hong malu-malu duduk sambil menundukkan mukanya! Mereka berpamit dan diantar oleh Pangeran Tao Kuang dan selirnya sampai ke pintu depan. Dengan hati gembira dan tidak sabar lagi, Cia Kun lalu menceritakan kepada ayah bundanya bahwa dia telah menyatakan cintanya kepada Kwi Hong dan agaknya gadis itu tidak berkeberatan. Maka dia minta kepada ayah ibunya untuk meminang gadis itu. Cia Sun dan isterinya gembira mendengar berita ini karena mereka tentu setuju sekali kalau mempunyai mantu puteri Pangeran Mahkota. Mereka berjanji akan melakukan pinangan secepat mungkin.
Bi-kiam Nio-cu Siok Bi Kiok melakukan perjalanan seorang diri. Berulang kali ia menarik napas panjang karena hatinya murung dan kecewa sekali. Sampai usianya yang dua puluh dua tahun, ia belum pernah merasa jatuh cinta kepada seorang pria. Apalagi dengan penekanan dari subonya bahwa semua pria itu jahat dan palsu, ia bahkan membenci kaum pria. Dan karena ia seorang gadis yang berwajah cantik, maka tentu saja dalam perjalanan ia banyak digoda pria yang mengakibatkan pria-pria itu tewas terbunuh olehnya. Akan tetapi semenjak ia bertemu Keng Han, entah bagaimana ia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu. Ilmu kepandaian dan watak serta ketampanan wajah itu membuatnya tergila-gila. Bahkan ia menjadikan pemuda, itu sebagai muridnya dan ikut membantunya menghadap Dalai Lama saking cintanya.
Akhirnya ia minta pemuda itu agar suka menjadi suaminya walaupun maksud ini bertentangan dengan ajaran subonya. Ia berani menentang maut demi cintanya terhadap pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu menolaknya. Sakit sekali rasa hatinya dan ingin ia membunuh pemuda itu, akan tetapi kembali hatinya kecewa karena ternyata ia tidak mampu mengalahkan Keng Han bahkan sebagian rambutnya putus di tangan pemuda itu. Rasa sakit hatinya bertambah, apalagi ketika Keng Han mengakui bahwa dia mencintai Cu In yang berwajah cacat dan buruk! Dari pada memilihnya, pemuda itu malah memilih gadis yang cacat wajahnya! Hal ini amat menyakitkan dan mengecewakan hatinya dan kini ia pergi ke Bu-tong-pai untuk menghibur diri dan melihat apa yang terjadi di sana. Pada suatu hari tibalah ia di kota Hue-nam.
Kota ini cukup besar dan Niocu memasuki pintu gerbang kota itu. Karena hari telah senja, ia hendak melewatkan malam di kota itu dan mulailah ia mencari rumah makan yang juga merupakan penginapan. Setelah melihat rumah penginapan yang dari papan namanya diketahui bernama Losmen Hok-lai, ia lalu masuk ke rumah makan di depan penginapan itu. Masuknya seorang wanita seperti Niocu, cantik jelita dan sendiri pula, tentu saja menarik perhatian banyak orang, terutama para prianya. Kebetulan dalam rumah makan itu maslh terdapat meja yang kosong dan Nio-cu disambut seorang pelayan dan diajak menuju ke sebuah meja kosong di sudut. Puluhan pasang mata pria mengikutinya dan memandang dengan kagum. Akan tetapi Niocu tidak mengacuhkan. Sudah terbiasa baginya melihat mata pria menantapnya penuh kagum.
Asal tidak ada yang berucap atau berbuat kurang ajar, ia tidak ambil peduli. Akan tetapi ia tertarik sekali melihat seorang pemuda yang juga duduk seorang diri menghadapi meja. Pemuda itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, bertubuh tinggi besar, matanya lebar dan wajahnya berbentuk bundar. Pemuda itu duduknya menghadap ke arahnya, akan tetapi pemuda itu bersikap tak acuh. Melihat ini hati Niocu menjadi penasaran. Belum pernah dara ini melihat laki-laki yang bersikap acuh tak acuh terhadap kehadirannya. Sekalipun pemuda itu tidak memandang kepadanya! Wanita memang aneh. Diperhatikan orang tidak suka, akan tetapi tidak diacuhkan juga tidak senang dan penasaran. Dengan sengaja Niocu menaruh pedangnya di atas meja dengan agak membantingnya untuk menimbulkan suara agar pria di depan itu memperhatikannya.
Akan tetapi pria itu mengangkat muka dan memandang kepada pedangnya di atas meja, sama sekali tidak melirik kepadanya! Padahal semua pria yang berada di rumah makan itu menoleh kepadanya. Kepada pelayan yang mengantarnya ke meja itu ia lalu memesan masakan yang mahal, juga dengan suara tinggi agar terdengar pemuda di depannya itu. Akan tetapi kembali sang pemuda tidak mengacuhkannya, bahkan mulai makan kacang goreng yang berada di mejanya sambil sesekali minum araknya dari cawan. Kalau pemuda itu tidak mempedulikan Niocu, sebaliknya ada empat orang pemuda yang tidak menyembunyikan kekaguman mereka. Empat orang pemuda ini jelas merupakan pemuda-pemuda bangsawan atau hartawan. Pakaian mereka mewah sekali dan usia mereka rata-rata dua puluh lima tahun.
"Bukan main cantiknya nona itu! Hatiku seketika jatuh!"
Terdengar seorang di antara mereka berkata, suaranya cukup lantang untuk dapat terdengar oleh Nio-cu.
"Kasihan ia makan seorang diri, bagaimana kalau kita undang ia makan di meja kita?"
Kata orang kedua.
"Bagus sekali. Meja kita cukup lebar untuk ditempati lima orang. Akan tetapi bagaimana kalau ia menolak undangan kita dan marah?"
Kata yang ketiga.
"Hemmm, siapa yang tidak mengenalku, si penaluk wanita? Belum, pernah ada wanita yang menolak undanganku. Kalian lihat saja!"
Kata orang keempat, seorang pemuda yang paling pesolek di antara mereka dan memang wajahnya tampan sekali. Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja Niocu. Kepada gadis itu dia memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada. Niocu menghadapinya dengan dingin dan tenang, tidak membalas penghormatan itu.
"Maafkan aku, Nona. Namaku Teng Sin, dan melihat Nona duduk seorang diri, kami berempat merasa kasihan. Maka saya mengundang Nona untuk duduk makan bersama di meja kami. Semua pesanan Nona kami yang akan membayarnya! Marilah, Nona, kami mengundang dengan hormat!"
Niocu mengerutkan alisnya. Biarpun pemuda itu secara tidak wajar mengundangnya makan bersama namun ucapannya sopan dan ia masih dapat menahan diri. Pemuda inii tidak kurang ajar, hanya mengundang makan dengan hormat walaupun undangan itu tidak wajar karena mereka tidak saling mengenal.
"Terima kasih. Aku ingin makan sendiri di sini, tidak ingin ditemani siapapun juga."
Jawabnya dingin.
"Aih, Nona. Mengapa Nona menolak undangan kami? Kami bermaksud baik, Nona. Aku Teng Sin selalu memandang tinggi gadis-gadis cantik dan amat menghargai mereka. Marilah, Nona, harap jangan malu-malu."
Kalau tadinya Niocu hanya menunduk, kini ia mengangkat muka dan matanya bersinar tajam memandang kepada pemuda itu. Pemuda yang tampan dan pesolek, model pemuda-pemuda yang suka mempermainkan wanita.
"Sudahlah, jangan ganggu aku lagi.Pergilah!"
Kata Niocu, masih dapat menahan kesabarannya.
"Pergi atau engkau akan menyesal nanti!"
Akan tetapi mana pemuda itu mau pergi? Dia telah berdiri dekat Niocu dan melihat betapa cantiknya gadis itu.
"Nona begini cantik seperti bidadari, tentu berbudi mulia seperti bidadari pula dan tidak akan menolak maksud baik kami. Marilah, nona manis, engkau tentu mendapatkan kegembiraan makan semeja dengan kami. Kami adalah pemuda-pemuda hartawan bahkan di antara kami ada yang menjadi putera, jaksa. Engkau akan terhormat kalau memenuhi undangan kami."
Pemuda itu tidak mau kalah dan terus membujuk.
"Hemmm, sudah ditolak masih terus minta-minta dan merengek. Sungguh bermuka tebal dan tidak tahu malu!"
Terdengar suara orang dan ketika semua orang menoleh, ternyata yang bicara adalah pemuda yang makan kacang goreng itu. Niocu juga memandang dan melihat pemuda itu masih makan kacang goreng, akan tetapi kini pandang matanya ditujukan kepada pemuda hartawan itu. Pemuda hartawan itu menjadi marah sekali dan dengan langkah lebar menghampiri pemuda yang mengeluarkan kata-kata mengejeknya tadi.
Kisah Si Bangau Putih Eps 15 Si Bangau Merah Eps 10 Si Bangau Merah Eps 12