Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pulau Es 8


Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



"Ada keperluan apakah Paman menyusul per jalananku?"

   Tanya Keng Han dengan sikap hormat.

   "Aku sengaja mengejar karena ada sesuatu yang ingin sekali kubicarakan denganmu. Bukankah namamu tadi Si Keng Han? Dan Nona ini siapakah?"

   "Namaku Kwi Hong, Paman."

   Kata Kwi Hong ramah.

   "Paman tadi berani sekali menentang para pemberontak itu, untung tidak terjadi perkelahian.

   "Engkau lebih berani, Nona. Engkau mengancam mereka semua sehingga menyadarkan banyak orang."

   "Aku hanya bicara sebenarnya. Di waktu yang aman ini, kenapa orang bicara tentang pemberontakan? Kalau ketahuan pemerintah, bukankah itu mencari penyakit namanya?"

   "Paman,"

   Kata Keng Han.

   "Urusan apakah yang hendak Paman bicarakan dengan aku?"

   "Begini Keng Han. Benarkah gurumu itu Gosang Lama?"

   "Benar sekali."

   "Akan tetapi aku melihat gerakan ilmu silatmu tadi sama sekali tidak asing bagiku. Bukankah engkau tadi menggunakan ilmu silat Hong-in Bun-hoat, ilmu dari keluarga Pulau Es? Apakah engkau masih keluarga atau murid keluarga Pulau Es?"

   "Sama sekali bukan, Paman. Terus terang saja, aku mempelajari ilmu itu dari Pulau Hantu, melalui coretan-coretan di dinding gua di sana."

   "Ahhh, engkau telah mewarisi ilmu yang menjadi pusaka Pulau Es!"

   Akan tetapi tiba-tiba mereka menghentikan bicara mereka karena mereka mendengar gerakan orang. Dan tak lama kemudian tempat itu sudah penuh dengan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa"pai, jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang, dipimpin oleh Thian-yang-ji, tokoh Pek-lian-kauw itu dan seorang tosu bernama Koai Tosu tokoh Pat-kwa-pai. Di dekat mereka masih terdapat seorang pemuda yang amat gagah perkasa, tinggi besar dan berwajah tampan, matanya lebar sekali menambah ketampanan wajahnya yang bundar.

   "Yo-pangcu, engkau tadi menantang kami. Nah, sekarang kami datang untuk mencoba kepandaian ketua Thian-li-pang!"

   Kata Thian-yang-ji dengan marah.

   "Ketua Thian-li-pang ternyata hanya seorang penakut yang berpura-pura menjadi patriot, tidak berani diajak berjuang melawan penjajah!"

   Kata pula Koai Tosu. Yo Han memandang dengan senyum mengejek. Sikapnya yang tenang mem"buat Keng Han dan Kwi Hong kagum sekali. Dikepung lima puluh orang lebih masih demikian tenangnya. Benar-benar seorang gagah perkasa ketua Thian-li"pang ini. Diam-diam Keng Han mengambil keputusan untuk membela ketua Thian-li-pang ini sekuat tenaga.

   "Menggunakan banyak orang untuk menggertak, apakah ini yang dinamakan gagah perkasa? Mengandalkan pengeroyok"an untuk mencapat kemenangan, anak kecil pun bisa dan terutama orang-orang yang curang sekali!"

   Kata Kwi Hong de"ngan lantang.

   "Gadis lancang mulut! Tadi pun di sana engkau bicara seolah engkau membela kerajaan Mancu, apakah engkau menjadi antek atau mata-mata Mancu? Untuk melawanmu, tidak perlu keroyokan, pinto sendiri saja pun cukup untuk melawanmu!"

   Kata Koai Tosu menantang gadis itu.

   "Bagus! Siapa takut kepada segala macam tosu bau? Jubahmu saja seperti tosu dan pertapa, akan tetapi siapa tidak tahu dalamnya? Engkau seperti buaya berkulit ikan emas, di luarnya bagus di dalamnya busuk. Aku tidak takut ke"padamu!"

   Kata Kwi Hong sambil mencabut pedangnya. Gadis yang pakaiannya serba biru ini membusungkan dada dan memandang dengan mata bersinar-sinar.

   "To-yu, hati-hatilah. Melihat hiasan rambut gadis itu, agaknya ia yang disebut orang Si Bangau Emas!"

   Kata Thian"yang-ji memperingatkan kawannya.

   "Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Benarkah engkau Si Bangau Emas, Nona?"

   Tanya Koai Tosu.

   "Kalau benar, mau apa? Lekas engkau minggat dari sini kalau takut!"

   "Ha-ha-ha, masih muda namun mulutnya tajam sekali dan lagaknya seperti seekor naga. Bagus, mari kita main-main sebentar, Nona!"

   Koai Tosu juga mencabut pedangnya dan Kwi Hong segera menyerang dengan hebatnya. Demikian ganas serangannya sehingga lawannya terkejut dan tidak berani memandang ringan. Apalagi ketika Kwi Hong memainkan Ngo-heng Sinkiam, tosu itu segera terdesak dan terpaksa harus memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan yang dahsyat sekali itu. Sementara itu, Thian-yang-ji berkata kepada Yo Han,

   "Yo-pangcu, mari kita selesaikan urusan di antara kita dengan senjata!"

   Kata-kata ini dilanjutkan dengan pencabutan pedangnya.

   "Majulah, Totiang. Senjataku hanyalah kaki tanganku yang diberikan Tuhan kepadaku!"

   Jawab Yo Han dan memang ketua Thian-li-pang ini tidak pernah menggunakan senjata. Selain dia mengandalkan kaki tangannya, juga ilmu kepandaiannya sudah sedemikian tingginya sehingga apa pun yang dipegangnya dapat di jadikan senjata!

   "Bagus, engkau sendiri yang mengatakan jangan bilang bahwa pinto curang! kata tosu itu sambil menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi dengan mudahnya Yo Han mengelak sambil membalas serangan tosu yang cukup lihai itu. Keng Han melihat betapa lihainya lawan Kwi Hong sehingga dia merasa khawatir akan keselamatan nona ini.

   "Hong-moi, biarkan aku saja melawan tosu itu!"

   Katanya. Akan tetapi pemuda tinggi besar dan gagah itu sudah maju menghadapinya.

   "Sobat, engkau adalah lawanku. Mari majulah kalau engkau memang memiliki kegagahan!"

   Sebetulnya Keng Han enggan berkelahi dengan orang itu tanpa alasan apa pun. Maka dia ragu-ragu dan tidak menjawab, hanya memperhatikan Kwi Hong yang sesungguhnya bertemu lawan yang tangguh. Biarpun gadis ini memiliki ilmu pedang Ngo-keng Sin-kiam yang ampuh, namun ia kalah pengalaman sehingga setelah tosu itu mulai mengenal gerakannya,

   Gadis itu berbalik terdesak mundur. Pemuda itu karena tidak ditanggapi oleh Keng Han, juga memperhatikan jalannya perkelahian. antara Yo Han dan Thian-yang-ji. Alisnya berkerut melihat betapa Yo Han mempermainkan Thian-yang-ji. Biarpun ketua Thian-li-pang itu hanya bertangan kosong saja dan Thian"yang-ji bersenjata pedang, namun jelas nampak betapa dalam belasan jurus saja Thian-yang-ji mulai terdesak hebat. Melihat ini, pemuda itu mengeluarkan teriakan mengguntur dan melompat dekat lalu menyerang Yo Han dengan pukulan jarak jauh yang mendatangkan angin besar. Yo Han tekejut dan menangkis. Tangkisan itu membuat dia mundur dua langkah, akan tetapi pemuda itu pun ter"huyung mundur. Melihat pemuda itu melakukan pengeroyokan, Keng Han menjadi penasaran.

   "Jangan curang!"

   Keng Han berseru dan dia lalu menyerang pemuda itu. Pemuda itu menangkis dan kembali dua tenaga yang dahsyat bertemu. Akibatnya Keng Han terdorong mundur, akan tetapi pemuda itu pun terhuyung. Keduanya sama-sama terkejutnya dan maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang kuat sekali. Kini pertandingan menjadi tiga pasang. Kwi Hong masih terdesak oleh Koai Tosu yang lihai sekali ilmu pedangnya. Untung Kwi Hong telah menguasai Ngo-heng Sin-kiam sehingga la masih mampu melindungi dirinya sehingga pedang lawan tidak pernah dapat menembus pertahanannya. Kalau tidak tentu sudah sejak tadi ia roboh, perkelahian antara Yo Han melawan Thian-yang-ji sebaliknya membuat tosu itu terdesak. Walau"pun dia berpedang dan Yo Han tidak, namun dia hampir tidak kuat lagi menghadapi ilmu Bu-tek Hoat-keng dari Yo Han yang amat hebat.

   Akan tetapi yang paling ramai dan dahsyat adalah per"tandingan antara Keng Han dan pemuda itu. Mereka ternyata memiliki tenaga yang seimbang. Keng Han memainkan ilmu-ilmu yang didapatinya di Pulau Hantu, yaitu Hong-In Bun-hoat dan Toat"beng Bian-kun, bahkan mengerahkan tenaga panas dan dingin yang berada di tubuhnya. Namun, pemuda itu masih dapat mengimbanginya dengan ilmu silat yang aneh dan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir. Kalau saja Keng Han tidak memiliki sin-kang kuat sekali berkat latihan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, tentu dia terpengaruh oleh bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir itu. Tiba-tiba Thian-yang-ji yang terdesak itu berseru dan anak buahnya maju mengeroyok, demikian pula dengan anak buah Koai Tosu. Lima puluh orang maju mengeroyok tiga pendekar itu.

   Tentu saja Yo Han, Kwi Hong dan Keng Han harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya menghadapi pengeroyokan itu. Mereka sudah merobohkan beberapa orang pengeroyok, akan tetapi karena lawan mereka tangguh sekali, pengeroyokan itu membuat mereka sibuk juga. Terutama Kwi Hong. Menghadapi Koai Tosu seorang saja ia sudah repot, apalagi dikeroyok belasan orang. Ia mulai mundur dan lelah karena harus menangkis sekian banyak senjata yang menyerangnya. Ke"adaan gadis itu mulai gawat, sedangkan Yo Han dan Keng Han tidak berdaya menolongnya karena mereka sendiri repot. dengan pengeroyokan itu. Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda yang banyak sekali, dan tak lama kemudian muncul pasukan pemerintah yang tidak kurang dari seratus orang banyaknya. Seorang perwira yang memimpin pasukan itu berseru,

   "Tuan puteri dalam bahaya! Cepat selamatkan beliau!"

   Dan dia sendiri sudah menyerbu dengan pedangnya membantu Kwi Hong yang dikeroyok banyak orang. Para anak buah pasukan itu pun menyerbu dan kini anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai berbalik menjadi kalang kabut dan terdesak oleh pasukan yang dua kali lipat banyaknya itu. Melihat ini, Thian-yang-ji terkejut bukan main. Dia memutar pedangnya, melompat mundur dan melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, dia berteriak,

   "Gulam Sang, cepat melarikan diri!"

   Pemuda tinggi besar yang masih melawan Keng Han mendengar seruan ini lalu melompat ke belakang, sementara Keng Han sendiri tertegun mendengar suara Thian-yang-ji tadi sehingga dia tidak mengejar. Gulam Sang? Dia teringat akan pesan mendiang gurunya, Gosang Lama agar kelak bekerja sama dengan putera suhunya itu yang bernama Gulam Sang! Jadi pemuda tinggi besar itu putera gu"runya! Menurut Dalai Lama, putera guru"nya itu telah menjadi murid Dalai Lama. Tidak mengherankan kalau dia memiliki ilmu yang tinggi sehingga dalam pertandingan tadi dia tidak mudah mengalahkannya. Koai Tosu juga melarikan diri ber"sama Thian-yang-ji, diikuti teman-teman"nya yang belum roboh.

   "Jangan kejar!"

   Teriak Kwi Hong kepada komandan pasukan itu, Perwira itu, menghampiri Kwi Hong dan memberi hormat.

   "Tuan Puteri tidak apa-apakah? Tidak terluka?"

   "Sama sekali tidak. Untung kalian muncul membantu, kalau tidak tentu kami akan celaka. Bhok-ciangkun, bagaimana engkau dapat muncul bersama pasukanmu di sini?"

   "Kami mendapat tugas dari Yang Mulia Pangeran Mahkota untuk mencari Tuan Puteri. Sudah sebulan lebih kami mencari dan kebetulan saja kami mendapatkan Paduka di sini. Kami pikir, bahwa mungkin sekali Paduka pergi ke Bu-tong-san."

   Sementara itu, Yo Han dan Keng Han mendengar semua percakapan itu. Wajah Keng Han berubah saking kagetnya mendengar ucapan panglima itu terhadap Kwi Hong. Tuan puteri? Pangeran Mahkota? Apa artinya ini? Jadi Kwi Hong adalah seorang puteri istana dan masih ada hubungannya dengan Pangeran Mahkota? Yo Han juga tercengang dan dia lalu memberi hormat kepada Kwi Hong.

   "Kiranya Nona adalah Tuan Puteri dari istana. Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat."

   "Ah, Paman Yo. Puteri atau bukan aku tetap saja sama, dan aku yang berterima kasih. Kalau tidak ada Paman tadi, tentu aku sudah celaka di tangan mereka."

   Keng Han memandang gadis itu dan Kwi Hong juga memandangnya. Dua pasang mata bertemu pandang dan melihat pemuda itu diam saja tidak mengeluarkan suara, Kwi Hong tersenyum dan berkata,

   "Han-ko, mengapa engkau diam saja?"

   "Engkau.... engkau adalah puteri istana.... dan aku...."

   Keng Han tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia tadinya hendak berkata bahwa dia pun putera Pangeran Mahkota. Untung dia masih ingat dan menyimpan rahasianya. Sebelum dia bertemu dengan ayahnya, dia tidak akan membuka rahasianya.

   "Benar, aku memang puteri Pangeran Mahkota dan namaku Tao Kwi Hong, lalu mengapa, Han-ko? Aku masih Kwi Hong yang biasa itu bagimu."

   "Akan tetapi, Tuan Puteri...."

   "Aih, sebut aku Hong-moi seperti biasa, Han-ko. Kita masih tetap sahabat, bukan?"

   "Benar, Hong-moi, kita tetap bersahabat."

   Pada saat itu, Bhong-ciangkun memberi hormat kepada Kwi Hong dan berkata,

   "Sudah berbulan Paduka meninggalkan istana. Yang Mulia Pangeran amat gelisah, maka harap Paduka segera mengikuti kami untuk pulang ke kota raja."

   "Itu benar sekali, Tuan Puteri. Sebaiknya Tuan Puteri segera mengikuti pasukan ini pulang ke kota raja."

   Kata Yo Han yang ikut merasa tidak enak sekali. Tanpa disengaja, dia malah melindungi puteri pangeran penjajah! Keng Han merasa tidak enak kalau diam saja.

   "Memang itu yang paling tepat, Hong-moi. Orang tuamu tentu cemas memikirkan keselamatanmu."

   "Engkau ikutlah dengan kami ke kota raja, Han-ko. Bukankah dahulu engkau mempunyai niat melihat-lihat kota raja?"

   "Tidak sekarang, Hong-moi. Lain kali kalau aku ke kota raja, aku tentu akan mencarimu."

   "Benarkah, Han-ko? Datang saja ke istana ayahku. Ayahku adalah Pangeran Mahkota dan semua orang tahu di mana istananya."

   Keng Han merasa terharu. Jangan-jangan gadis ini adalah saudaranya seayah!

   "Baik, Hong-moi."

   Kwi Hong lalu diberi seekor kuda yang bagus dan berangkatlah ia dikawal pasukan itu meninggalkan kaki Pegunungan Bu-tong-san. Setelah gadis itu pergi dan derap kaki kuda tidak terdengar lagi, bayangannya tidak nampak lagi, Keng Han terharu dan menghela napas panjang,Yo Han agaknya mengerti akan isi hati pemuda itu dan dia pun menghibur,

   "Ada waktunya berpisah dan ada waktunya bertemu, Sobat Muda. Aku melihat gadis itu baik sekali padamu sehingga kelak kalian tentu akan dapat saling berjumpa kembali."

   Tiba-tiba timbul keinginan di hati Keng Han untuk minta keterangan dari Yo Han ini. Sebagai ketua Thian-li-pang dan seorang pendekar kenamaan, tentu Yo Han mengetahui banyak tentang keluarga kaisar.

   "Paman Yo, kalau boleh aku bertanya, siapakah nama Pangeran Mahkota itu?"

   Pertanyaan yang diajukan sambil lalu ini tidak menarik kecurigaan Yo Han dan dianggap pertanyaan biasa seorang yang ingin tahu karena Pangeran Mahkota itu ayah dari gadis yang menjadi sahabat pemuda itu.

   "Namanya Pangeran Mahkota Tao Kuang."

   Keng Han menyimpan keheranannya. Tadinya dia menduga namanya Tao Seng. Ataukah ayahnya itu kini telah menjadi kaisar?

   "Dan siapakah nama kaisar, sekarang, Paman?"

   "Ah, engkau belum tahu? Agaknya engkau belum banyak merantau di dunia ramai, Keng Han. Nama kaisar adalah Kaisar Cia Cing."

   Kembali Keng Han termenung. Kalau kaisar dan putera mahkotanya bukan ayahnya, lalu di mana adanya ayahnya dan apa pula kedudukannya? Dengan hati-hati agar jangan sampai kentara bahwa dia menaruh perhatian, dia lalu bertanya,

   "Memang saya belum banyak merantau di dunia ramai sehingga tidak tahu apa-apa, Paman. Akan tetapi saya pernah mendengar tentang seorang pangeran bernama Pangeran Tao Seng. Adakah nama pangeran yang demikian itu?"

   "Pangeran Tao Seng?"

   Yo Han mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.

   "Kalau tidak salah dua puluh tahun yang lalu Pangeran Tao Seng itu bersama Pangeran Tao San telah menerima hukuman buang. Mereka dihukum karena berselisih dengan Pangeran Mahkota Tao Kuang."

   "Ah, dibuang? Ke manakah?"

   "Mana aku tahu? Mungkin juga dia sudah meninggal dunia sekarang. Orang yang dihukum amat berat, apalagi dihukum buang di tempat terasing, jarang yang kuat bertahan. Hampir saja Keng Han meloncat saking kaget dan sedihnya mendengar ini. Ayahnya yang disangka menjadi pangeran atau bahkan kaisar itu, telah meninggal dalam pembuangan!

   "Kenapa, Keng Han? Kenapa engkau menanyakan pangeran itu?"

   "Ah, tidak apa-apa, Paman. Hanya aku pernah bertemu seorang yang dahulu pernah ditolong oleh Pangeran Tao Seng, dan minta kepadaku untuk menyampaikan hormatnya kalau aku kebetulan bertemu dengannya."

   "O, begitukah? Keng Han, aku tertarik sekali melihat engkau ketika berkelahi tadi melawan pemuda tinggi besar yang lihai sekali itu. Engkau mampu menahan pukulannya dan engkau menggunakan ilmu-ilmu Pulau Es. Agaknya aku melihat pula engkau mempergunakan ilmu Toat-beng Bian-kun. Benarkah?"

   Keng Han juga kagum sekali. Orang ini dapat mengenal ilmu pukulannya, padahal dia sendiri dikeroyok banyak orang.

   "Benar, Paman. Memang di Pulau Hantu itu aku menemukan dua ilmu silat itu yang kupelajari dengan tekun."

   "Dan tenagamu itu! Coba kau terima pukulanku ini, Keng Han!"

   Yo Han lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Keng Han. Serangkum angin yang dahsyat menyambar dan Keng Han terkejut sekali, cepat dia menerima dengan kedua tangannya dan secara otomatis dua hawa yang berlawanan dalam tubuhnya bekerja.

   "Wuuuttttt.... dessss....!!"

   Keduanya terdorong ke belakang dan Yo Han berseru kaget.

   "Ah, bukankah kedua tanganmu itu menggunakan tenaga Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang?"

   Karena sudah ketahuan, terpaksa Keng Han membenarkan.

   "Memang aku juga mempelajari sin-kang itu dari coretan di dinding gua."

   "Bukan main! Kalau begitu engkau benar-benar telah mewarisi pusaka Pulau Es, Keng Han! Berhati-hatilah engkau dan pergunakan ilmu-ilmu itu untuk kebaikan. Ketahuilah bahwa keluarga para pendekar Pulau Es adalah para pendekar yang gagah perkasa. Kalau engkau keliru menggunakan ilmu-ilmu itu ke arah kejahatan, pasti mereka semua akan mencarimu dan membinasakanmu. Ilmu-ilmu pusaka Pulau Es tidak boleh dipergunakan untuk kejahatan."

   "Semoga Tuhan menghindarkan aku dari perbuatan jahat, Paman!"

   Kata Keng Han penuh semangat. Dia adalah putera bangsawan. Ayahnya seorang pangeran Mancu dan ibunya adalah puteri kepala suku Khitan, bagaimana mungkin dia menjadi seorang penjahat! Mereka lalu berpisah. Yo Han kembali ke Thian-li-pang di Bukit Naga dan Keng Han melanjutkan per jalanannya. Akan tetapi .dia menjadi bingung. Bagaimana kalau ayahnya benar-benar telah tewas seperti diduga oleh Yo Han tadi? Bagaimanapun juga, dia harus menyelidiki ke kota raja dan kalau benar ayahnya telah mati, dia harus membalas kematlin ayahnya itu! Pantas selama ini ayahnya tidak pernah menengok ibunya. Kiranya dia dihukum buang. Dua puluh tahun yang lalu, jadi tidak lama setelah ayahnya meninggalkan ibunya.

   Keng Han berjalan dengan wajah muram. Dia teringat kepada Kwi Hong. Harus diakuinya bahwa dia tertarik sekali kepada Kwi Hong yang bersikap amat baik kepadanya. Hampir dia menduga bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis itu. Akan tetapi kenyataannya membuat dia muram dan berduka. Kwi Hong adalah Tao Kwi Hong, masih saudara sepupunya! Mereka bermarga Tao yang sama, maka sudah tentu tidak mungkin mereka saling jatuh cinta dan berjodoh.

   Makin dikenang semakin sedih hatinya. Selagi dia berjalan perlahan-lahan tidak peduli ke mana dia pergi asal ke timur, tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki orang. Cepat dia menyelinap dan bersembunyi di balik semak belukar. Tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek berjalan dengan langkah panjang. Seorang di antara mereka segera dikenalnya sebagai kakek yang dahulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Kakek raksasa berambut putih itu tidak akan pernah dilupakan. Adapun kakek kedua adalah seorang berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, tangan kanan memegang sebatang dayung baja dan lengan kirinya memanggul tubuh seorang wanita yang pakaiannya serba putih dan mukanya tertutup topeng sutera putih pula.

   Jantung Keng Han berdebar tegang! Itulah gadis berpakaian putih yang menjadi sumoi dari Bi-kiam Nio-cu! Jelas bahwa gadis itu telah tertotok. Tubuhnya lemas ketika dipanggul kakek tinggi kurus itu. Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu memang benar adalah Swat-hai Lo-kwi, kakek yang dulu bertemu dengan Keng Han di Pulau Hantu. Adapun kakek kedua yang menawan Souw Cu In, gadis berpakaian putih itu adalah Tung-hai Lo-mo. Kedua orang kakek ini sedang berjalan seiring menuju ke Bu-tong-san. Bagaimana gadis berpakaian putih itu sampai jatuh ke tangan Tung-hai Lo"mo? Gadis itu adalah murid Ang Hwa Nio-nio, murid ke dua akan tetapi karena ia lebih berbakat dan lebih disayang oleh Ang Hwa Nio-nio maka dalam hal ilmu silat, ia lebih lihai dari sucinya, Siang Bi Kiok atau Bi-kiam Nio-cu.

   Akan tetapi ia yang begitu lihai bagaimana sampai dapat ditawan dua orang kakek datuk sesat itu? Terjadinya tadi pagi. Ketika itu Souw Cun In sedang berjalan seorang diri. Ia melewati sebuah dusun dan di dusun itu sedang diadakan keramaian karena ada pesta pernikahan di rumah kepala dusun, tentu saja semua penghuni dusun itu berdatangan dan suasananya ramai dan meriah sekali. Selagi orang ramai meraya"kan pesta itu, datanglah dua orang kakek memasuki tempat pesta. Mereka berdua disambut sebagai tamu walaupun tidak ada yang mengenalnya, dan memang demikianlah kebiasaan di dusun itu. Setiap ada pesta, siapapun yang datang dianggap tamu dan disuguhi hidangan. Dua orang kakek itu bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi dan Tung-hai Lo-mo. Dasar dua orang datuk sesat, mereka tidak merasa puas hanya dilayani sebagai tamu biasa.

   "Hai, tidak tahukah kalian siapa yang datang? Kami adalah dua orang datuk dan kami minta pelayanan istimewa. Hayo keluarkan arak pengantin yang terbaik dan hidangan yang paling lezat, kemudian sepasang pengantin harus melayani kami makan minum!"

   Demikian kata Tung-hai Lo-mo yang berwatak mata keranjang itu. Swat-hai Lo-kwi hanya tertawa saja melihat ulah kawannya. Tentu saja suasana menjadi gempar. Tuan rumah, si kepala dusun, datang menemui mereka dan berusaha untuk membujuk mereka agar jangan membuat kacau pesta pernikahan. Mereka akan dilayani sebagai tamu terhormat seperti yang lain.

   "Tidak, pengantin wanita harus melayani kami makan minum!"

   Tung-hai Lo"mo membentak. Keng Han berjalan dengan wajah muram. Dia teringat kepada Kwi Hong. Harus diakuinya bahwa dia tertarik sekali kepada Kwi Hong yang bersikap amat baik kepadanya. Hampir dia men"duga bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis itu. Akan tetapi kenyataannya membuat dia muram dan berduka. Kwi Hong adalah Tao Kwi Hong, masih saudara sepupunya! Mereka bermarga Tao yang sama, maka sudah tentu tidak mungkin mereka saling jatuh cinta dan berjodoh. Makin dikenang semakin sedih hatinya. Kepala dusun itu menjadi marah. Bersama beberapa orang pemuda dia menghampiri dua orang tua itu dan berkata dengan suara tegas.

   "Kami tidak bisa menuruti kehendak kalian yang tidak pantas itu. Kalau mau menerima pelayanan kami atau pergi dari sini dan jangan menimbulkan kekacauan!"

   Lo-mo menoleh kepada Lo-kwi.

   "Mereka belum mengenal kami maka berani sembarangan. Mereka harus dihajar agar mengenal siapa kami!"

   Kedua orang kakek itu lalu menerjang maju dan kepala dusun bersama enam orang pemuda itu sudah terlempar ke sana-sini! Orang-orang muda di dusun itu menjadi marah. Mereka lalu maju mengeroyok, akan tetapi hasilnya mereka sendiri yang terlempar malang melintang terkena tamparan dan tendangan kakek itu. Pada saat itu terdengar bentakan nyaring lembut,

   "Dari mana datangnya dua orang kakek yang begini jahat?"

   Dan muncullah seorang gadis berpakaian putih yang wajah bagian bawahnya tertutup kain putih pula. Demikian cepat gerakannya sehingga tidak ada orang yang melihatnya datang. Lo-kwi dan Lo-mo juga menengok dan menghadapi gadis itu. Mereka tertawa dan Lo-mo berkata,

   "Ha, kenapa gadis secantik kamu menutupi mukamu dengan kain? Engkau pun harus melayani kami makan minum bersama mempelai wanita, jadi ada dua orang pelayan untuk kami berdua."

   "Ji-wi (kalian berdua) tentulah seorang datuk yang tingkatnya sudah tinggi dalam ilmu silat. Mengapa masih tidak malu mengganggu orang dusun? Harap Ji"wi menghentikan perbuatan yang akan mencemarkan nama besar Ji-wi sendiri."

   Gadis itu berkata lagi. Sepasang matanya yang tidak ditutupi itu nampak bening dan bersinar tajam menyapu kedua orang datuk sesat itu.

   
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Nona, siapakah engkau? Apalagi baru seorang gadis muda sepertimu, bahkan kalau gurumu sendiri datang ke sini, kami tidak akan gentar menghadapinya!"

   "Guruku adalah seorang pendeta wanita bernama Ang Hwa Nio-nio, kalau melihat perbuatan kalian, kalian tentu tidak akan diberi ampun!"

   Dua orang kakek itu bangkit berdiri.

   "Aha, kiranya murid Ang Hwa Nio-nio?"

   Seru Lo-kwi.

   "Bagus, kini aku mendapat kesempatan untuk membalas penghinaan yang pernah kuterima dari Ang Hwa Nio-nio!"

   "Dan Nona ini tentu cantik luar biasa, sayang kalau dilewatkan begitu saja!"

   Kata Lo-mo sambil menyeringai.

   "Kiranya kalian adalah orang-orang yang sesat dan memang patut diberi hajaran!"

   Kata gadis itu yang bukan lain adalah Souw Cu In yang kebetulan lewat di dusun itu.

   "Lo-kwi, biar aku yang menangkap gadis ini!"

   Kata pula Lo-mo yang sudah tergiur hatinya melihat bentuk tubuh dan, juga muka bagian atas dari Souw Cu In. Lo-kwi hanya tersenyum dan menenggak arak dari guci yang berada di atas meja. Tung-hai Lo-mo memandang rendah gadis berkedok itu, maka dia tidak menggunakan dayungnya yang dia sandarkan meja. Dia lalu menerjang dengan kedua tangannya yang panjang itu menerkam dari kanan kiri.

   Agaknya dengan tubruk dia hendak menangkap gadis itu. Akan tetapi dia kecelik sama hanya menerkam angin belak Souw Cu In sudah dapat mengelak dengan amat mudahnya, dan dengan geseran kakinya sudah berada belakang lawan. Lo-mo membalik dengan cepat dan kini menyerang lagi dengan pukulan yang dilanjutkan cengkeraman tangannya. Souw Cu In menangkis dengan cepat dan tangkisan itu membuat tangan yang mencengkeram itu terpental dan gadis itu membalas dengan tamparan yang kuat ke arah muka kakek tinggi kurus itu. Lo-mo menjadi terkejut sekali. Tamparan itu keras dan mendatangkan angin, maka dia lalu meloncat ke belakang untuk menghindarkan dirinya. Tiba-tiba ada sinar kecil putih meluncur ke arah mukanya. Lo-mo terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi ujung sabuk sutera putih yang panjang itu masih mengenai pundaknya.

   "Prattt....!"

   Dan dia terhuyung ke belakang.

   Baju di pundaknya robek dan kulit pundaknya terasa perih. Bukan main marahnya. Disambarnya dayung baja yang disandarkan pada meja tadi dan kini dia menyerang dengan ganasnya kepada gadis berpakaian putih itu. Para tamu menjadi geger. Medan pesta menjadi medan perkelahian! Kepala dusun dan para orang muda yang tadi sudah berkenalan dengan kelihaian Lo-mo hanya bisa menonton sambil berdoa semoga gadis berpakaian putih itu mendapatkan kemenangan. Perkelahian berlangsung seru dan seimbang. Lo-mo memainkan dayungnya yang menyambar-nyambar. Akan tetapi gadis itu lincah sekali gerakannya sehingga setiap sambaran dayungnya selalu dapat dihindarkan. Bahkan lecutan sabuk suteranya yang meledak-ledak itu kadang mengacam kepalanya yang mengirim totokan ke arah jalan-jalan darah di tubuhnya.

   Biarpun pertandingan berjalan seimbang, namun karena Lo-mo kalah dalam hal kecepatan bergerak, dia lebih banyak menerima serangan dan kelihatan terdesak. Melihat temannya tidak mampu mengalahkan gadis itu, Lo-kwi tidak tinggal diam. Dia mendendam kepada Ang Hwa Nio-nio yang pernah mengalahkannya dalam pertandingan. Maka kini dia hen"dak melampiaskan dendamnya kepada murid Ang Hwa Nio-nio. Dia segera maju dan melancarkan pukulannya yang mengandung sinkang dingin. Merasa ada hawa dingin menghantamnya dari samping, Souw Cu In terkejut dan maklum bahwa kakek ke dua membantu temannya. Dia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil memutar sabuk suteranya yang melingkar dan membalik menyerang Lo-kwi. Akan tetapi Lo-kwi menangkisnya dengan pukulannya yang ampuh sehingga ujung cambuk itu terpental.

   Pada saat itu, dayung di tangan Lo"mo sudah menyambar lagi. Souw Cu In mengelak akan tetapi pukulan Lo-kwi kembali menyambar dengan dahsyatnya. Kembali Cu In melompat ke belakang untuk menghindarkan diri. Sebetulnya, tingkat kepandaian Souw Cu In sudah tinggi dan kalau dibandingkan dengan Lo-kwi atau Lo-mo, tingkat"nya seimbang. Akan tetapi karena kedua iblis tua itu maju bersama mengeroyoknya, tentu saja ia menjadi kewalahan! Akhirnya, sebuah pukulan dari Lo-kwi menyerempet pundaknya, membuat ia terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lo-mo untuk menotoknya sehingga ia menjadi lemas dan tak mampu bergerak lagi. Lo-mo tertawa puas dan memanggul tubuh yang ramping itu, lalu mengambil sabuk sutera putih itu dan menggunakannya untuk mengikat kedua tangan Cu In.

   "Mari kita pergi dari sini!"

   Katanya kepada Lo-kwi. Karena merasa tidak enak bahwa semua orang dusun memusuhi mereka, Lo-kwi menyambar seguci arak dan pergi mengikuti temannya yang sudah lebih dulu melangkah pergi sambil memanggul tubuh Cu In.

   "Hei, tunggu dulu!"

   Kata Lo-kwi setelah mereka meninggalkan dusun itu.

   "Untuk apa engkau menawannya?"

   "Heh-heh-heh, untuk apa? Tentu untuk bersenang-senang. Gadis ini cantik sekali!"

   "Bodoh. Apakah kau tidak lihat dulu mukanya yang ditutupi itu? Bukan tidak ada sebabnya ia selalu menutupi mukanya!"

   Kata Lo-kwi. Mendengar ini, Lo"mo lalu menurunkan tubuh Souw Cu In ke atas tanah dan tangannya menyingkap kedok putih itu. Dia terbelalak dan Lo-kwi tertawa mengejeknya.

   "Kalau begitu, kita bikin mampus saja bocah setan ini. Untuk apa dibawa"bawa?"

   Kata Lo-mo dengan marah.

   "Nanti dulu. Aku pernah diperhina oleh Ang Hwa Nio-nio, pernah dikalahkannya walaupun selisihnya sedikit saja. Aku ingin membawa muridnya kepadanya untuk menghinanya."

   "Kalau ia marah dan menyerangmu?"

   "Ha-ha-ha, sudah kukatakan bahwa aku hanya kalah sedikit saja olehnya. Kalau ada engkau yang membantuku, tentu kita berdua akan mampu membunuhnya dengan mudah!"
(Lanjut ke Jilid 08)
Pusaka Pulau Es (Seri ke 17 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08
"Engkau hendak membawa aku bermusuhan pula dengannya?"

   Lo-mo membantah.

   "Eh, Kawan. Bukankah kita sudah bersekutu untuk membantu Bu-tong-pai? Kita ini sekutu, dalam segala hal haruslah bersatu, bukan?"

   Lo-mo menarik napas panjang.

   "Baiklah, mari kita pergi."

   Dia lalu mengambil lagi tubuh Cu ln dan memanggulnya, tidak lagi lembut dari mesra seperti tadi, melainkan dengan kasar dia memanggul tubuh itu dan keduanya lalu melanjutkan perjalanan, hendak menuju ke tempat tinggal Ang Hwa Nio-nio dan Lo-kwi yang menjadi penunjuk jalan.

   Demikianlah mereka tidak tahu bahwa mereka telah diintai oleh Keng Han yang kemudian membayangi mereka dari belakang. Setelah hari menjadi sore, kedua orang datuk itu beristirahat di dalam sebuah gua dan mereka menaruh tubuh Cu In di atas tanah, di ujung gua itu. Kemudian mereka mengeluarkan bekal roti kering dan minum anggur yang tadi dibawa oleh Lo-kwi dari rumah pengantin. Keng Han mendekati mereka. Setelah tiba di balik semak dekat gua, dia lalu mengambil beberapa buah batu kerikil. Dia membidik dan menyambitkan batu-batu kerikil itu ke arah tubuh Cu In yang menggeletak di sudut gua. Bidikannya tepat dan dengan mudah dia sudah membebaskan Cu In dari totokannya. Gadis ini terkejut dan juga girang. Ia tahu bahwa ada orang yang menolongnya, membebaskan totokannya dengan sambitan batu kerikil.

   Akan tetapi karena kedua tangannya masih terbelenggu sabuknya sendiri, ia pura-pura tidak bergerak. Diam-diam ia mengerahkan sin"kangnya dan perlahan-lahan ia dapat meloloskan tangannya dari ikatan sabuknya. Setelah itu, ia pun meloncat bangun, sabuk sutera yang menjadi senjata ampuhnya itu telah berada di tangannya. Mendengar gerakan ini, dua orang kakek itu menengok dan alangkah kaget hati mereka melihat gadis itu telah bebas dan telah siap menyerang dengan sabuknya! Mereka meloncat berdiri dan siap pula. Lo-rno sudah menyambar dayung bajanya. Akan tetapi, pada saat itu ada bayangan orang melayang dan berada di depan gua. Keng Han segera mengenal Swat-hai Lo-kwi, kakek raksasa rambut putih yang dulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Maka dia segera menghadapinya.

   "Kakek tua, sebetulnya seorang yang sudah tua sepertimu ini mencari jalan terang dengan perbuatan yang baik agar kelak mendapat pengampunan dari Tuhan, bukan malah memupuk kejahatan!"

   Kata Keng Han. Lo-kwi tidak mengenal Keng Han. Ketika mereka bertemu dahulu, Keng Han baru berusia lima belas tahun, masih remaja dan kini pemuda remaja itu telah menjadi seorang pemuda dewasa. Akan tetapi Souw Cu In mengenal Keng Han yang pernah hendak dibunuh sucinya. Ia tahu bahwa pemuda itu yang menolongnya, akan tetapi ia pun khawatir akan keselamatan pemuda itu. Kalau pemuda itu melawan sucinya saja kalah, bahkan diakui murid oleh sucinya, bagaimana mungkin dia akan menandingi Swat-hai Lo-kwi? Maka, untuk menolong pemuda itu, ia sudah cepat menyerang dengan sabuk suteranya ke arah Lo-mo sambil berseru,

   "Sobat, kau cepat lari dari sini!"

   Akan tetapi Keng Han tidak lari bahkan dia pun lalu menyerang Lo-kwi! Serangannya mendatangkan angin yang kuat sehingga Lo-kwi terkejut dan mengelak, kemudian membalas dengan pukulannya yang dingin. Menghadapi pukulan dingin ini, Keng Han menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan hawa panas dari Hwi-yang Sin-kang.

   "Wuuuttttt.... desssss....!"

   Akibatnya, tubuh kakek raksasa itu terpental ke belakang. Bukan main kagetnya Swat-hai Lo-kwi karena ketika tangannya tertangkis tadi, ada hawa yang panas menyusup ke tubuhnya melalui lengannya sehingga membuyarkan tenaga dingin yang tadi dikerahkannya. Dia lalu menerjang lagi dengan ilmu silatnya yang aneh dan Keng Han melayaninya dengan Hong-in Bun-hoat sehingga terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka. Sementara itu, Cu In juga sudah menyerang Lo-mo kalang-kabut karena kemarahannya kepada kakek tinggi kurus ini. Sabuk sutera putihnya menyambar"nyambar dan meledak-ledak di atas kepala lawan dengan totokan-totokan yang berbahaya.

   Ang Hwa Nio-nio memang seorang ahli totok yang lihai sekali, dan ia sudah menurunkan ilmu totoknya itu kepada kedua orang muridnya. Hanya bedanya, kalau Siang Bi Kiok atau Bi"kiam Nio-cu diajar menotok dengan jari tangan, Souw Cu In melakukan totokan"totokan dengan ujung sabuk suteranya! Karena kini tidak lagi dibantu Lo-kwi yang sibuk sendiri melawan pemuda itu, Lo-mo menjadi kewalahan dan segera terdesak oleh gadis berpakaian putih itu. Keng Han juga tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya. Ketika lawannya lengah, sebuah hantaman dengan tangan kirinya mengenai pundak lawan. Tangan kirinya mengandung Swat"im Sin-kang dan kakek yang ahli ilmu tenaga sin-kang dingin itu kini meng"gigil kedinginan. Dia menjadi jerih dan berteriak kepada kawannya.

   "Lo-mo, mari kita pergi!"

   Teriakan itu sudah dimengerti oleh Lo-mo bahwa kawannya itu tidak mampu menandingi lawan, maka dia memutar dayungnya dengan cepat, dahsyat. Meng"hadapi serangan dahsyat ini, terpaksa Cu In mundur dan kesempatan ini diperguna"kan oleh Lo-mo untuk meloncat dan melarikan diri bersama kawannya. Cu In yang marah sekali kepada kakek itu hendak mengejar, akan tetapi Keng Han berkata,

   "Tidak menguntungkan mengejar lawan yang sudah kalah. Apalagi mereka berdua!"

   Mendengar ini, Cu In tidak melanjutkan pengejarannya dan ta berdiri memandang pemuda itu dengan sinar mata yang tajam sambil menggulung kembali sabuk suteranya dan menyelipkan di pinggangnya.

   "Kenapa engkau membantuku?"

   Pertanyaan itu pendek akan tetapi seperti suara orang yang menuntut. Keng Han menjadi bingung.

   "Kenapa? Kenapa, ya? Barangkali melihat seorang wanita ditawan oleh dua orang datuk sesat, atau barangkali karena engkau pernah menyelamatkan nyawaku ketika akan dibunuh oleh Bi-kiam Nio-cu."

   "Aku tidak menyelamatkanmu, melainkan menghindarkan suci dari perbuatan yang keliru. Aku tidak menghutangkan budi apa pun padamu. Lalu kenapa engkau menolongku? Jawab yang jelas!"

   Wanita itu kembali bertanya dengan suara sungguh-sungguh.

   "Jawabannya mudah saja. Melihat seorang wanita ditawan orang jahat, tentu saja aku menolongnya."

   "Bagaimana kalau wanita itu bukan aku?"

   "Aku tetap akan menolongnya, tidak peduli orang itu engkau atau siapapun juga. Sudah menjadi tugas kewajibanku untuk menolong orang yang tertindas dan menentang orang yang jahat. Nah, puaskah engkau dengan jawaban itu?"

   Souw Cu In menghela napas panjang.

   "Cukup puas. Jadi itu berarti bahwa engkau menolong tanpa pamrih, bukan menolong aku pribadi, melainkan aku sebagai wanita yang terancam bahaya."

   "Tentu saja. Pula, andaikata aku menolong karena engkau, itu pun tidak aneh, bukan? Engkau pernah menyelamatkan aku, sudah semestinya kalau sekarang aku membalas budi itu."

   "Tidak! Jangan lakukan itu. Tidak ada budi di antara kita. Aku adalah wanita biasa bagimu, bukan? Engkau tidak tertarik kepadaku karena aku pernah menolongmu, atau karena keadaan diriku?"

   Keng Han merasa betapa anehnya pertanyaan wanita ini. Kemudian dia teringat akan keterangan Bi-kiam Nio-cu. Guru kedua orang gadis itu nenek yang amat kejam itu, melarang kedua orang muridnya berhubungan akrab dengan pria. Mereka dilarang jatuh cinta atau dicinta seorang laki-laki. Kalau ada laki-laki yang jatuh cinta kepada mereka, mereka harus membunuh pria itu! Karena itulah agaknya wanita berkedok ini bertanya kepadanya untuk melihat apakah dia menaruh perhatian atau jatuh cinta kepadanya. Diam-diam dia bergidik! Kalau dia mengaku tertarik, mungkin wanita ini akan membunuhnya!

   "Engkau aneh sekali, Nona. Aku menolongmu tanpa pamrih apa pun!"

   Mendengar jawaban yang tegas itu, baru Souw Cu In kelihatan tenang. Matanya berseri dan sinarnya tidak setajam tadi, melainkan lembut.

   "Siapakah namamu?"

   "Namaku Si Keng Han."

   "Jadi engkau telah menjadi murid suciku?"

   "Benar, subo mengajarkan ilmu menotok kepadaku."

   "Kalau begitu aku ini su-i-mu (bibi gurumu) maka sudah semestinya engkau menyebut bibi guru kepadaku."

   "Akan tetapi engkau masih begini muda, tidak pantas aku menyebut bibi guru!"

   "Keng Han, engkau murid suciku, bukan? Apakah suciku sudah begitu tua sehingga ia menjadi gurumu?"

   Keng Han teringat dan dia pun memberi hormat sambil berkata,

   "Baiklah, Su"i!"

   "Bagaimana engkau tadi dapat melihat aku dibawa dua orang datuk itu? Engkau hendak pergi ke manakah?"

   "Aku sedang melakukan perjalanan ke timur, ke kota raja, dan tadi aku melihat dua orang datuk itu lewat. Melihat mereka menawanmu, aku lalu membayang mereka dan setelah mereka tiba di sini, aku turun tangan menolongmu."

   "Pantas engkau pandai membebaskan totokan pada tubuhku, kiranya sudah belajar dari suci. Akan tetapi, kulihat kepandaianmu tidak di sebelah bawah tingkat suci, kenapa engkau menjadi muridnya. Benarkah engkau tidak mempunyai perasaan suka dan cinta terhadap suci?"

   "Tidak sama sekali, Su-i. Aku suka menjadi muridnya mempelajari ilmu totokan, karena selain aku memang suka mempelajari segala macam ilmu, juga subo telah memperlihatkan kemahirannya dengan mengalahkan aku, yaitu dengan totokan itu."

   "Untung engkau tidak mencintanya, kalau engkau mencintanya berarti engkau harus mati di tangannya. Jangan sekali-kali engkau jatuh cinta kepada orang-orang seperti kami, karena itu merupakan keputusan hukuman mati bagimu."

   "Aku.... aku tidak berani....!"

   Kata Keng Han ngeri akan tetapi dia tidak dapat membohongi dirinya bahwa berbeda dengan perasaan hatinya terhadap Nio"cu, terhadap nona berpakaian putih ini lain lagi. Hatinya amat tertarik dan dia ingin mengenalnya lebih dekat lagi.

   "Nah, sekarang kita harus berpisah di sini, Keng Han."

   Kata Souw Cu In.

   "Su-i, setelah aku menyebutmu bibi guru sungguh tidak masuk akal kalau aku tidak mengetahui namamu?"

   "Namaku Souw Cu In. Sudahlah, aku harus pergi sekarang!"

   "Su-i, sungguh berbahaya pergi sekarang. Hari sudah hampir gelap, tentu engkau akan kegelapan dalam perjalanan. Dan itu berbahaya sekali. Bagaimana kalau kedua orang kakek iblis tadi masih berada di sekitar tempat ini?"

   Gadis itu nampak membelalakkan matanya dan memandang ke depan, lalu alisnya berkerut.

   "Lalu bagaimana baik?"

   "Yang paling baik adalah melewatkan malam di gua ini, Su-i. Di sini aman, tidak terganggu angin malam yang dingin dan kita dapat membuat api unggun. Selain itu, apakah Su-i tidak merasa lapar?"

   Souw Cu In termenung. Baru terasa olehnya betapa perutnya memang lapar sekali.

   "Begitupun baik, akan tetapi di tempat seperti ini bagaimana kita bisa mendapatkan makanan?"

   "Jangan khawatir, Bibi Guru yang baik. Aku akan mencari binatang buruan untuk kita panggang dagingnya. Dan tentang minuman, sayang aku tidak punya"

   "Aku masih memiliki seguci arak, kata Souw Cu In sambil melepaskan buntalan pakaiannya.

   "Kalau begitu, sungguh beruntung kita. Nah, aku pergi sebentar untuk mencari binatang buruan, Su-i!"

   Setelah berkata demikian, Keng Han melompat pergi dengan cepat. Dia harus cepat mendapatkan binatang buruan karena sebentar lagi malam tiba dan sukar baginya untuk memperoleh binatang buruan. Senja menjelang malam itu menjadi waktu bagi burung-burung untuk terbang kembali ke sarangnya dan inilah yang menarik perhatian Keng Han. Dia pergi ke sebatang pohon besar di mana nampak banyak burung terbang berputaran. Dengan beberapa buah batu dia menyambit dan berhasil mengenai empat ekor burung yang berjatuhan ke bawah. Dia girang sekali. Burung ini cukup besar sehingga seorang makan dua ekor saja tentu sudah kenyang. Cepat dia berlari kembali ke gua tadi dan melihat betapa Cu In sudah membuat api unggun.

   "Ini hasil buruanku, Su-i!"

   Katanya bangga memperlihatkan empat ekor burung yang sudah mati itu. Dengan pedang bengkoknya dia membersihkan burung itu, membuang isi perut dan semua bulunya, lalu menusuknya dengan bambu dan siap memanggangnya di api unggun.

   "Bagaimana mungkin makan panggang burung tanpa dibumbui? Tentu tidak enak rasanya."

   Aku membawa bumbu untuk itu!"

   Kata Cu In dan ia mengeluarkan dari buntalan pakaiannya beberapa bungkusan terisi bumbu seperti garam, mrica, bawang dan lain-lainnya. Keng Han merasa girang sekali dan mereka bekerja menaruh bumbu pada daging burung yang lalu dipanggangnya Tercium bau sedap ketika daging burung itu terpanggang. Tentu saja yang membuat daging itu mengeluarkan bau sedap adalah bumbunya,terutama bawangnya. Sebentar saja empat ekor daging burung itu matang dan mereka lalu makan. Ketika Keng Han memandang untuk mencuri lihat wajah yang tertutup kedok itu, dia kecelik. Gadis itu makan daging burung tanpa memperlihatkan mulutnya. Tangannya yang membawa daging itu ke balik to"peng sutera dan yang kelihatan hanya kain itu bergerak-gerak ketika mulutnya makan. Keng Han merasa penasaran sekali. Dia yakin bahwa gadis ini tentu berwajah cantik jelita luar biasa.

   Baru dilihat dari rambutnya yang hitam panjang dan ikal mayang, melihat sinom (anak rambut) yang melingkar-lingkar di dahi dan pelipisnya, dahi yang halus dan putih mulus alis yang seperti dilukis seorang pelukis pandai, melengkung dan kecil hitam, mata yang bagaikan sepasang bintang kejora, tulang pipi yang agak menonjol dan selalu kemerahan bukan oleh pemerah muka, itu saja sudah menunjukkan kecantikan yang luar biasa. Hidung dan mulutnya tidak nampak, juga dagunya, akan tetapi Keng Han berani bertaruh bahwa hidung dan mulut itu tentu indah sekali. Setelah makan daging burung pang"gang, Cui In mengeluarkan seguci anggur. Ia lalu membawa mulut guci ke balik topengnya dan menengadah, minum anggur itu langsung dari mulut guci ke mulutnya. Kemudian ia menyerahkan guci itu kepada Keng Han.

   "Nah, kau minumlah. Anggur ini tidak keras, hanya se"bagai penyegar setelah makan."

   Keng Han tertegun.

   "Tapi.... mana cawannya, Su-i?"

   "Cawan? Untuk apa? Aku tidak mempunyai cawan."

   "Untuk minum tentu saja. Kalau tidak ada cawannya, bagaimana aku dapat minum?"

   "Bodoh! Minum saja dari mulut guci, apa sukarnya?"

   Jantung dalam dada Keng Han berdebar. Mulut guci itu baru saja beradu dengan mulut nona itu, dan sekarang nona itu menyuruh dia minum dari mulut guci pula!

   "Akan tetapi, mana aku berani? Bukankah guci anggur ini milikmu, Su-i? Bagaimana aku berani mengotori dengan minum dari mulut guci?"

   Gadis tu memandang heran, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api unggun.

   "Engkau ini kenapa? Apakah mulut"mu mengandung penyakit? Apakah engkau sedang menderita sakit batuk yang parah?"

   "Tidak, Su-i."

   "Nah, kalau begitu minumlah dari mulut guci!"

   Kalau gadis itu merasa heran melihat kesungkanan Keng Han yang agaknya terlalu sopan santun itu, sebaliknya Keng Han terheran-heran melihat keterbukaan nona itu yang wataknya begitu polos dan bersih! Maka dia lalu menenggak anggur, itu dari mulut guci dan memang rasanya segar sekali. Setelah merasa cukup dia mengembalikan guci kepada pemiliknya dan Cu In menutupkan kembali mulut guci, menyimpannya dalam buntalannya seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang janggal, Kemudian Keng Han teringat. Bibi gurunya itu perlu beristirahat dan tempat itu demikian kotor. Dia segera mencari daun-daun kering untuk membersihkan dan menyapu lantai gua yang paling rata. Kemudan dia mempersilakan Cu In un"tuk duduk atau cebah di situ.

   "Silakan Bibi Guru mengaso di sini, tempat ini sudah bersih. Aku akan menjaga di luar gua sambil menjaga agar api unggun tidak padam. Cu In mengikuti pekerjaan Keng Han dengan penuh perhatian, kemudian ketika dipersilakan mengaso, ia mengangguk, bangkit dan melangkah ke dalam gua. Langkahnya! Demikian indah lenggangnya, seperti seekor harimau betina melangkah, demikian lemah gemulai akan tetapi juga demikian kokoh kuat! Cu In duduk di tempat yang sudah dibersihkan itu, lalu merebahkan diri miring berbantalkan buntalan pakaiannya. Sebentar saja gadis itu sudah pulas. Hal ini diketahui oleh Keng Han dari pernapasannya yang lembut dan teratur. Keng Han merasa berbahagia sekali. Dia sendiri merasa heran. Pernah dia merasakan kebahagiaan seperti ini, yaitu ketika dia bertemu dengan Kwi Hong.

   Dia juga merasa tertarik dan suka sekali kepada dara itu, akan tetapi semenjak dia mengetahui bahwa Kwi Hong bermarga Tao, puteri Pangeran Mahkota, masih saudara sepupunya sendiri, hatinya terasa perih dan dia mencoba melupakan gadis itu. Kemudian dia melakukan perjalanan bersama Bi-kiam Nio-cu. Harus diakuinya bahwa dia juga suka sekali kepada Nio-cu, akan tetapi rasa sukanya itu sekadar bersahahat, bahkan dia menjadi muridnya. Maka ketika Nio-cu bertanya tentang cinta, terus terang dia mengatakan bahwa dia tidak mencinta Nio-cu sebagai seorang pria mencinta wanita, melainkan sebagai murid mencinta guru atau seorang sahabat men"cinta sahabatnya. Dan kini.... perasaannya lain lagi. Dia tertarik kepada Souw Cu In, tertarik oleh kepribadiannya dan dia merasa amat berbahagia dapat bersama dengan gadis itu walaupun hanya semalam!

   Keng Han termenung memandangi api unggun dan menambah kayu pada api unggun. Dia sama sekali tidak tahu betapa Cu In juga kini membuka matanya memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Gadis ini merasa gelisah sekali ketika ia merasa bahwa hatinya tertarik kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang lain sekali daripada pemuda lain. Kaum lelaki yang dijumpainya, selalu ingin membuka kedoknya, selalu memujinya cantik dan selalu mengeluarkan cumbu rayu seribu satu macam untuk menarik perhatiannya. Akan tetapi Keng Han sama sekali tidak! Bahkan ketika disuruh minum anggur dari mulut guci, jelas pemuda itu merasa rikuh sekali. Pemuda ini sungguh sopan dan pandai membawa diri. Di samping itu, juga pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat.

   Tadi sudah dibuktikannya ketika dia melawan Swat-hai Lo-kwi. Pemuda ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya dan ilmu silatnya juga aneh sekali. Namun, sikapnya demikian biasa, bahwa begitu rendah hati seolah dia seorang pemuda yang lemah dan bodoh sehingga mau mempelajari ilmu totok dari sucinya! Dan wajahnya! Sungguh tampan dan gagah. Tiba-tiba Souw Cu In memejamkan matanya kuat-kuat untuk mengusir perhatiannya terhadap pemuda itu. Tidak! ia tidak ingin tertarik kepada pemuda itu. Ia tidak ingin harus membunuh pemuda itu. Dan ia menghela napas panjang. Ia dan sucinya sudah bersumpah kepada subo mereka untuk tidak jatuh cinta, dan kalau ada pria yang jatuh cinta kepada mereka harus mereka bunuh! "Semua lelaki jahat,"

   Demikian subo mereka selalu menekankan ke dalam hati mereka.

   "Semua lelaki itu jahat dan palsu, bagaikan kumbang yang selalu mendekati kembang dengan suaranya yang merayu-rayu. Akan tetapi setelah dia memghisap madu kembang itu sampai habis, lalu ditinggalkannya kembang itu begitu saja!"

   Dan, kalau menurut keterangan gurunya itu, tidak ada laki-laki yang baik. Berarti Keng Han juga bukan seorang yang baik. Mungkin sikapnya yang baik itu pun hanya merupakan akal untuk merayunya belaka! Tidak, ia tidak boleh tertarik kepadanya! Lewat tengah malam, Souw Cu In terbangun dari tidurnya. ia menggeliat karena tubuhnya terasa kaku tidur di lantai yang kasar itu, lalu menutupi mulut dari luar topeng untuk menahan luapnya, dan ia bangkit berdiri. Dihampirinya Keng Han dan ia berkata dengan suara yang kasar.

   "Sekarang engkau boleh mengaso dan tidur, giliranku berjaga."

   Katanya. Keng Han merasa heran sekali mendengar ucapan yang bernada ketus itu. Dia memandang dan berkata.

   "Tidak perlu, Su-i. Su-i mengaso dan tidurlah, biar aku berjaga di sini sampai malam lewat."

   Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tidak!"

   Suara Cu In membentak karena dalam perasaannya, sikap baik pemuda ini hanya akal untuk merayunya saja.

   "Kau kira aku ini orang macam apa? Engkau sudah berjaga setengah malam, maka setengah malam yang lain menjadi bagianku untuk berjaga!"

   Melihat sikap gadis itu demikian galak dan tegas, Keng Han merasa heran sekali.

   "Kalau bagitu, biarlah aku juga berjaga di sini saja. Aku tidak merasa mengantuk."

   Cu In duduk di dekat api unggun berhadapan dengan pemuda itu terhalang api unggun. Mereka saling pandang dan Keng Han tak dapat menyembunyikan perasaan kagumnya. Wajah yang biarpun hanya kelihatan bagian atasnya saja itu demikian indahnya tertimpa sinar api unggun, kemerahan dan begitu halusnya dahi itu. Ditambah lagi anak rambut yang berjuntai melingkar-lingkar itu. Begitu manisnya!

   "Kau melihat apa?"

   Bentak gadis itu dan Keng Han baru menyadari bahwa terlalu lama dia menatap wajah itu.

   "Tidak apa-apa, Su-i. Hanya aku heran mengapa Su-i tidak tidur saja mengaso. Malam sudah larut dan biarkan aku yang berjaga di sini.

   "Tidak, aku tidak mau tidur."

   "Kalau begitu, kita berdua tidak tidur."

   Kata Keng Han bersikeras.

   "Engkau bandel!"

   "Bukan cuma aku bandel."

   Keduanya diam dan terasa amat heningnya malam itu. Yang terdengar hanya suara api makan kayu kering. Keng Han maklum bahwa gadis ini berwatak aneh sekali. Bukankah Nio-cu pernah berkata betapa sumoinya ini.lebih kejam darinya? Akan tetapi dia tidak percaya. Seorang gadis dengan sinar mata selembut itu tidak mungkin kejam.

   "Engkau berasal dari mana?"

   Tiba-tiba gadis itu bertanya dan nada suaranya sambil lalu saja, seolah pertanyaan itu hanya untuk mengisi kesepian. Terhadap Souw Cu In, entah bagaimana, Keng Han tidak ingin menyembu"nyikan rahasianya.

   "Aku berasal dari daerah Khitan."

   "Engkau orang Khitan?"

   "Peranakan Khitan. Ibuku orang Khi"tan, ayahku orang Han."

   Dia masih belum berani mengakui ayahnya sebagai seorang pangeran Mancu.

   "Pantas. Aku sudah menduga bahwa engkau seorang peranakan. Di mana orang tuamu sekarang?"

   "Ibuku masih di Khitan bersama kakekku akan tetapi ayahku...."

   "Bagaimana dengan ayahmu? Sudah matikah?"

   Keng Han menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang.

   "Aku belum pernah melihat ayahku. Semenjak aku dalam kandungan ibu, ayah telah pergi meninggalkan ibu dan sejak itu tidak pernah kembali."

   

Si Tangan Sakti Eps 12 Si Tangan Sakti Eps 3 Si Tangan Sakti Eps 4

Cari Blog Ini