Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Bangau Putih 8


Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



"Kurasa tidak, Paman. Betapapun juga, setidaknya kini terdapat jejak baru sehingga aku dapat melanjutkan penyelidikanku."

   "Aku lebih condong untuk menyelidiki Ban-goan Piauwkiok. Orang she Kwee itu lebih mencurigakan...."

   "Tidak, Paman. Dugaan kita telah keliru. Paman Kwee Tay Seng sama sekali tidak bersalah...."

   "Ah, jangan engkau sampai tertipu oleh sikap manisnya!"

   "Tidak, Paman. Aku yakin bahwa dia tidak bersalah dan aku akan melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang."

   Ciu-piauwsu mengangguk-angguk.

   "Terserah kepadamu, Sin Hong. Akan tetapi berhati-hatilah. Jangan sampai engkau menuduh pihak yang tidak berdosa dan Tiat-liong-pang merupakan perkumpulan yang kuat sekali, bahkan dekat dengan istana karena ketuanya masih termasuk keluarga kerajaan!"

   Pada hari itu, Sin Hong meninggalkan Ban-goan setelah menerima banyak nasihat dari Ciu-piauwsu agar berhati-hati kalau menyelidiki Tiat-liong-pang. Dia melakukan perjalanan cepat menuju ke kota San-cia-kou karena perkumpulan itu terletak di lereng sebuah bukit di luar kota itu.

   Sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san disebut Puncak Telaga Warna karena di puncak itu terdapat sebuah telaga kecil yang amat indah. Telaga itu dikelilingi pohon-pohon dan karena airnya jernih dan tenang, maka bayangan terpantul amat jelasnya dan membuat air telaga seolah-olah berwarna-warni. Puncak ini amatlah indahnya. Hawanya selalu sejuk, bahkan kadang-kadang teramat dinginnya. Karena hawa yang terlalu dingin inilah maka penduduk tinggal di lereng bawah atau kaki puncak. Akan tetapi, di antara pohon-pohon besar dekat telaga itu nampak sebuah bangunan terselip di antara pohon-pohon raksasa. Sebuah bangunan yang kokoh kuat dan sedang saja besarnya. Rumah itu tidak mempunyai tetangga dan nampak sunyi, namun melihat betapa pekarangannya selalu bersih, dan di belakang rumah terdapat taman bunga dan kebun sayur dan pohon-pohon buah, dapat diketahui bahwa rumah ini dihuni orang.

   Memang demikianlah, dan penghuni rumah itu bukanlah orang sembarangan, karena orang biasa saja tentu tidak akan tahan tinggal terlalu lama di tempat yang sunyi dan hawanya amat dingin itu. Penghuninya adalah dua orang kakek kembar. Mereka berusia kurang lebih lima puluh delapan tahun, dan mereka amat terkenal di dunia kang-ouw dengan sebutan Beng-san Sian-eng (Sepasang Garuda dari Beng-san). Dua orang kakek ini serupa benar wajah dan bentuk tubuh mereka mirip satu sama lain sehingga sukarlah bagi orang luar untuk membuat perbedaan di antara mereka. Orang-orang kang-ouw jarang ada yang mengetahui bahwa mereka sesungguhnya adalah cucu-cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mereka adalah putera kembar dari kakek Gak Bun Beng yang kini berjuluk Bu Beng Lokai. Biarpun orang luar sukar untuk mengenal mana yang bernama Gak Jit Kong dan mana yang Gak Goat Kong, namun tentu saja isteri mereka dengan mudah dapat membeda-kan mereka,

   Isteri mereka berdua hanya seorang, yaitu bekas murid dan angk angkat mereka sendiri yang bernama Souw Hui Lian. Dua orang kembar ini telah jatuh cinta kepada murid mereka sendiri, dan Souw Hui Lian juga mencinta mereka. Maka kedua orang kakek kembar ini pun menikahlah dengan bekas murid mereka walaupun ayah mereka sebenarnya tidak setuju mendengar kedua orang putera kembarnya itu menikah dengan seorang wanita saja. Peristiwa pernikahan itu membuat hati ayah mereka, Gak Bun Beng, menjadi kecewa dan berduka. Kakek ini sudah berduka karena ditinggal mati isterinya yang bernama Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai. Dalam keadaan berduka, lalu menghadapi kekecewaan karena kedua orang puteranya yang dianggap tidak begitu berbakat dalam ilmu silat kini bahkan menikah dengan seorang wanita saja.

   Maka, pergilah kakek Gak Bun Beng meninggalkan Puncak Telaga Warna dan hidup merana bahkan terlunta-lunta sebagai Bu Beng Lokai, sampai kemudian dia menemukan Suma Lian, cucu keponakannya sendiri yang kemudian menjadi muridnya dan pertemuan ini memulihkan kembali gairah hidupnya. Semenjak ditinggal pergi ayah mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hidup di Puncak Telaga Warna, bersama isteri mereka, Souw Hui Lian dan kini mereka telah mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Gak Ciang Hun dan kini sudah berusia kurang lebih sepuluh tahun. Tentu saja mereka berdua pun merasa berduka bahwa ayah mereka tidak merestui pernikahan mereka bahkan meninggalkan mereka.

   Mereka sudah berusaha mencari ayah mereka, namun tak pernah berhasil sehingga akhirnya mereka putus asa dan menanti saja di Puncak Telaga Warna dengan penuh kepri-hatinan kalau mereka teringat kepada ayah mereka yang sudah amat tua itu. Adanya Gak Ciang Hun, putera mereka, merupakan hiburan terbesar bagi mereka dan mengurangi rasa dosa mereka terhadap ayah mereka karena bagaimanapun juga, pernikahan mereka dengan Hui Lian telah menghasilkan seorang putera. Bukankah itu berarti bahwa Tuhan memberkahi mereka dan memberkahi pernikahan itu? Pada suatu pagi yang amat sejuk dan indah karena matahari pagi mulai mengusir kegelapan dan memandikan puncak Telaga Warna itu dengan cahaya keemasan setelah semalam suntuk puncak itu diselimuti kabut yang menciptakan embun pagi,

   Gak Ciang Hun telah berada di dalam taman bunga. Anak ini memang suka sekali bangun pagi dan bermainmain seorang diri di dalam taman, sepasang matanya penuh kebahagiaan memandang burung-burung pagi berloncatan dan beterbangan dari dahan ke dahan, sambil berkicau penuh keriangan. Anak ini baru berusia sepuluh tahun dan dia hanya hidup bersama dua orang ayahnya dan seorang ibunya. Memang kadang-kadang ayahnya atau ibunya membawanya menuruni puncak pergi ke dusun-dusun, atau ke pasar dusun untuk membeli segala keperluan rumah tangga mereka dan menjual hasil kebun atau buruan mereka sehingga anak ini beberapa kali sebulan dapat bertemu dengan banyak orang di dusun-dusun.

   Namun karena setiap harinya hanya bermain-main sendiri saja maka tentu anak ini merasa kesepian dan mencari hiburan dengan bermain-main sendiri di tempat-tempat indah, di mana dia dapat melihat binatang-binatang dan mendengarkan suara mereka. Pagi hari itu, selain menikmati kicau burung yang ramai menyambut datangnya pagi, dia pun melihat banyak kupu-kupu kuning. Sebetulnya untuk kupu-kupu itulah maka sepagi itu dia sudah duduk di taman. Semenjak beberapa hari ini, sampai kurang lebih sebulan, taman itu akan penuh kupu-kupu kecil kuning. Sedang musimnya. Indah sekali kupu-kupu yang puluhan ribu banyaknya itu, membuat taman itu menjadi lebih cerah, seolah-olah taman itu sedang penuh dengan bunga-bunga kuning yang sedang berkembang.

   Karena ingin segera menikmati keindahan pagi itu, Ciang Hun hanya sebentar saja berlatih silat di kebun belakang tadi. Di kebun belakang, tak jauh dari taman itu, oleh orang tuanya dibuatkan sebuah petak rumput yang luas dan tempat ini dipergunakan keluarga itu untuk berlatih silat. Memang setiap pagi Ciang Hun harus berlatih silat, akan tetapi pagi ini hanya sebentar saja dia berlatih dan dia segera berlari-lari memasuki taman setelah melihat kupu-kupu kuning mulai beterbangan. Tiba-tiba ada beberapa ekor burung beterbangan dari atas pohon, meluncur turun dan menyambari kupu-kupu kuning kecil itu. Melihat ini, Ciang Hun menjadi marah. Dia meloncat dan menggunakan kedua tangannya untuk mengusir burung-burung itu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan sehingga burung-burung itu terbang ketakutan.

   Akan tetapi, tak lama kemudian ada saja beberapa ekor yang menyambar turun sehingga Ciang Hun segera mengambil batu-batu kecil untuk menyambiti dan mengusir mereka, melindungi kupu-kupu kuning kecil. Setelah dia mempergunakan batu-batu kecil, barulah burung-burung itu terbang pergi, tentu saja untuk menyambari kupu-kupu yang beterbangan jauh dari taman itu. Ciang Hun duduk kembali di atas bangku taman dan merasa lega. Kini kupu-kupu kuning itu beterbangan bebas, di antara bunga-bunga, bahkan ada yang terbang tinggi ke atas pohon tanpa diganggu burung-burung itu! Memang sejak kecil anak ini telah digembleng oleh orang tuanya sehingga dalam usia sepuluh tahun, selain menguasai dasar-dasar ilmu silat, juga di dalam batinnya telah bersemi watak yang gagah dan tidak rela melihat yang lemah dijadikan korban keganasan yang kuat. Sudah bersemi watak seorang pendekar, watak membela golongan lemah yang tertindas.

   "Indah sekali kupu-kupu itu!"

   Tiba-tiba terdengar suara halus. Ciang Hun cepat menoleh dan dia melihat seorang wanita muda telah berdiri di situ sambil memandangi kupu-kupu kuning kecil yang beterbangan kian kemari. Anak itu merasa heran sekali dan perhatiannya kini beralih dari kupu-kupu ke arah gadis itu. Seorang gadis yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Sekali pandang saja tahulah Ciang Hun bahwa gadis itu tak pernah dikenalnya dan bukanlah seorang gadis dari dusun di lereng bawah. Bukan gadis dusun! Pakaiannya amat berbeda, juga sikapnya berbeda. Gadis ini mengenakan pakaian yang aneh sekali. Pakaian yang penuh tambal-tambalan!

   Seperti pakaian pengemis saja. Akan tetapi, kalau pakaian pengemis tambal-tambalan dan kotor sekali, sebaliknya pakaian yang menutupi tubuh gadis ini, tambal-tambalan akan tetapi amat bersih! Juga potongannya tidak seperti pakaian gadis dusun yang kebesaran, melainkan ringkas, dan ketat membungkus tubuh gadis itu sehingga nampak pinggangnya yang ramping kecil, seperti pinggang lebah. Sepatunya yang kecil terbuat dari kulit hitam dan nampak kuat. Rambutnya juga berbeda lipatannya dengan rambut para gadis dusun. Rambut itu hitam lebat dan panjang, kini digelung ke atas secara aneh, ditusuk dengan tusuk konde panjang sederhana, seperti sebatang sumpit merah. Sepasang mata gadis itu seperti mencorong, dan mulutnya tersenyum-senyum ketika ia membalas pandangan Ciang Hun.

   "Adik yang baik, engkau benar sekali. Burung-burung itu memang jahat dan perlu diusir! Mereka itu menyambari dan membunuh kupu-kupu yang tidak berdosa!"

   Kata pula gadis itu dan pandang matanya nampak ramah sekali. Ciang Hun mengerutkan alisnya, lalu menjawab,

   "Aku mengusir burung-burung itu bukan karena menganggap mereka jahat, melainkan karena tidak tega melihat kupu-kupu itu dimakan. Burung-burung itu pun tidak jahat!"

   Gadis itu melebarkan matanya, nampak heran mendengar jawaban itu.

   "Akan tetapi, bukankah mereka itu memakani kupu-kupu yang tidak berdosa?"

   "Kita pun suka makan ayam, babi, kelinci dan binatang lain yang tidak berdosa, apakah kita pun jadi jahat?"

   Anak itu membantah.

   "Agaknya kupu-kupu itu memang menjadi makanan burung, jadi burung-burung itu pun tidak bersalah. Tidakkah begitu?"

   Kini gadis itu yang nampak heran dan bingung, lalu mengangguk-angguk.

   "Wah, agaknya benar juga engkau."

   Lalu ia tertawa cerah, suara ketawanya nyaring dan merdu sekali.

   "Adik kecil, engkau sungguh cerdik sekali. Jawabanmu itu membikin aku takluk dan mengaku kalah! Siapa sih engkau ini? Siapa namamu?"

   "Namaku Ciang Hun."

   "Apakah ada hubunganmu dengan Beng-san Siang-eng?"

   "Mereka itu adalah ayahku! Aku bernama Gak Ciang Hun."

   Gadis itu kelihatan girang bukan main.

   "Aih, pantas engkau cerdik dan pintar sekali! Kiranya adik ini putera Beng-san Siang-eng? Engkau harus menyebut enci (kakak perempuan) padaku!"

   Biarpun Ciang Hun jarang bergaul dengan orang asing, namun dia bukan seorang anak pemalu. Ia lalu menghampiri dan agaknya senang melihat gadis yang berwajah manis, kalau tersenyum muncul lesung pipit di kedua pipinya dan pandang matanya ramah sekali.

   "Enci, engkau siapakah?"

   "Namaku Suma Lian dan engkau boleh memanggil aku enci Lian."

   Anak itu terbelalak memandang kepada Suma Lian, pandang matanya penuh kekagetan, keheranan dan kekaguman.

   "Suma....? Enci, shemu sama dengan she dari kakek buyut. Kata ayah, kakek buyutku bernama Suma Han adalah seorang pendekar sakti, penghuni Istana Pulau Es yang tidak ada lawannya di dunia ini!"

   Suma Lian tersenyum dan membelai kepala anak itu.

   "Tidak salah keterangan ayahmu, adik Ciang Hun. Kakek buyutmu bernama Suma Han itu juga kakek buyutku, karena itu kita adalah enci dan adik sendiri."

   Gadis bernama Suma Lian itu adalah puteri dari pendekar Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun, dekat kota Cin-an. Biarpun ayah ibunya merupakan pendekar-pendekar yang sakti, namun gadis ini sejak berusia dua belas tahun, telah menjadi murid Bu Beng Lokai, paman kakeknya sendiri (baca cerita SULING NAGA). Pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang. Gerakan mereka cepat sekali namun Suma Lian dapat melihat mereka.

   Seorang di antaranya menyambar ke arah Ciang Hun dan dua orang yang lain menerjang dan menyerang Suma Lian! Gadis itu terkejut, tidak menyangka bahwa dirinya akan diserang secara tiba-tiba oleh dua orang itu, maka cepat ia pun mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh), meloncat menjauhi dua orang penyerangnya. Ketika ia turun dan menengok, ternyata Ciang Hun telah dirangkul dan dilindungi seorang wanita cantik, sedangkan dua orang penye-rangnya tadi adalah dua orang laki-laki berusia hampir enam puluh tahun yang kembar dan keduanya nampak gagah perkasa! Kini kedua orang kakek kembar itu, yang juga terkejut dan penasaran melihat betapa serangan mereka tadi dengan amat mudahnya dihindarkan lawan yang ternyata hanyalah seorang gadis muda, sudah siap untuk menyerang lagi.

   "Tahan dulu, kedua paman Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong! Aku bukan orang lain dan tidak berniat buruk!"

   Seru Suma Lian melihat mereka sudah hendak menyerangnya lagi itu karena sekali lihat pun ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan dua orang putera kembar gurunya, dan tentu wanita itu ibu dari Ciang Hun.

   "Ia adalah enci Suma Lian, cucu buyut dari kakek buyut Suma Han!"

   Teriak Ciang Hun kepada ayah ibunya. Mendengar ini, tentu saja sepasang kakek kembar itu terkejut dan juga merasa heran, saling pandang lalu mereka menghadapi dengan pandang mata penuh selidik.

   "Nanti dulu!"

   Kata Souw Hui Lian yang tadi bergerak cepat lebih dahulu menyelamatkan dan melindungi puteranya.

   "Ia harus dapat membuktikannya!"

   Ia lalu melepaskan Ciang Hun dan sekali meloncat ia sudah berhadapan dengan Suma Lian yang merasa kagum melihat kecepatan gerakan wanita itu. Ia sudah mendengar bahwa wanita itu dahulu adalah murid dari kedua kakek kembar dan ternyata ilmu kepandaiannya sudah lumayan.

   "Bibi, apakah engkau tidak percaya kepadaku!"

   Tanyanya sambil tersenyum.

   "Apakah wajah dan poto-nganku ini mirip penjahat dan tidak pantas menjadi keturunan keluarga para Pendekar Pulau Es?"

   Suma Lian memang memiliki watak yang jenaka, berani, lucu dan kadang-kadang ugal-ugalan, mewarisi watak ayahnya ketika muda. Ia lalu bergaya memutar-mutar tubuh di depan kakek kembar dan isteri mereka itu. Hui Lian mengerutkan alisnya. Seorang gadis muda yang pakaiannya aneh, tambal-tambalan, dengan sikap yang demikian ugal-ugalan, bagaimana ia dapat percaya begitu saja?

   "Kalau engkau benar she Suma dan keturunan para Pendekar Pulau Es, apa buktinya?"

   Bentak Hui Lian. Suma Lian tersenyum manis dan menjura dengan hormat dan lucu kepada Hui Lian.

   "Bibi yang baik, namaku benar Suma Lian, ayahku Suma Ceng Liong dan ibuku Kam Bi Eng. Dan bukan itu saja, aku pun menjadi murid dari paman kakek Bu Beng Lokai, ayah mertuamu sendiri."

   "Hemmm, gadis muda, jangan engkau bicara sembara-ngan. Ayah mertuaku tidak bernama Bu Beng Lokai!"

   Kata pula Hui Lian, semakin curiga walaupun nanama ayah ibu gadis itu sempat mengejutkannya.

   "Aih, maafkan aku, Bibi. Mungkin kalian tidak mengenal nama Bu Beng Lokai, akan tetapi sebelum mempergunakan nama itu, paman kakekku yang kini menjadi guruku itu bernama Gak Bun Beng...."

   "Kong-kong....!"

   Seru Ciang Hun gembira mendengar nama kakeknya disebut. Walaupun dia belum pernah melihat kakeknya, namun seringkali kedua ayahnya bercerita tentang kakeknya dan dia amat merindukannya.

   "Nanti dulu!"

   Kata pula Hui Lian.

   "Kalau benar engkau murid ayah mertuaku, engkau tentu dapat melayani seranganku ini!"

   Dan tiba-tiba saja ia lalu menyerang Suma Lian dengan jurus ampuh dari Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit). Suma Lian tentu saja mengenal baik ilmu silat ini dan sambil mengelak dan bergerak dengan ilmu yang sama, ia pun membalas serangan lawan dengan jurus lain dari Lo-thian Sin-kun. Hui Lian masih belum merasa puas. Setelah menangkis, ia pun menyerang lagi dan dua orang wanita itu pun saling serang dengan ilmu yang sama sehingga mereka itu seperti dua orang yang berlatih silat saja. Setelah lewat belasan jurus dan ternyata gerakan Suma Lian dalam ilmu silat itu amat bagusnya, barulah Hui Lian merasa puas dan ia pun meloncat ke belakang. Suma Lian memandang sambil tersenyum manis.

   "Lo-thian Sin-kun yang Bibi mainkan sungguh bagus! Apakah Bibi hendak menguji lagi!"

   "Cukup engkau memang benar Suma Lian dan maafkan kecurigaan kami karena dalam beberapa hari ini kami terancam bahaya dari seorang musuh yang pandai,"

   Kata Hui Lian.

   "Ehhhhh?"

   Suma Lian terkejut mendengar ini dan baru sekarang ia melihat betapa wajah dua orang pamannya dan juga bibinya nampak muram dan mata mereka merah seperti orang yang kurang tidur.

   "Akan tetapi kalau benar demikian, mengapa tadi aku melihat adik Hun bermain sendirian di luar?"

   "Aih, anak itu belum mengenal bahaya. Mari kita masuk dan bicara di dalam,"

   Kata pula Souw Hui Lian sambil menggandeng tangan Suma Lian, kini sikapnya manis sekali. Suma Lian tersenyum memandang kepada kedua orang pamannya.

   "Maaf, Paman, aku datang membikin ribut saja. Akan tetapi sikap Bibi memang amat mengagumkan, ia cerdik dan pintar!"

   Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hanya tersenyum mende-ngar pujian itu dan mereka pun lalu masuk ke dalam rumah yang cukup luas itu. Seorang pelayan wanita setengah tua segera muncul ketika dipanggil Hui Lian dan diperintahkan untuk menyediakan minuman untuk tamu yang disebutnya Suma-siocia (nona Suma) ketika diperkenalkan kepada pelayannya.

   "Aih, Bibi ini!"

   Suma Lian berseru memotong ucapan itu.

   "Kenapa harus menyebutku nona segala? Ciang Hun sudah menyebutku enci kepadaku dan sebagai bibiku, tidak sepatutnya Bibi menyebut nona. Namaku Suma Lian tanpa nona."

   Hui Lian tersenyum dan kini ia tahu bahwa Suma Lian bukan seorang gadis kasar dan kurang ajar melainkan seorang gadis yang jujur, terbuka, lincah dan tidak suka berpura-pura.

   "Baiklah, Suma Lian. Sekarang kami ingin sekali tahu, apakah maksud kunjunganmu ini? Kami yakin bahwa tentu kunjunganmu ini mempunyai maksud yang penting sekali."

   Suma Lian berpikir sejenak. Ia memang datang membawa keperluan penting,akan tetapi berita yang dibawanya itu bukan berita menyenangkan, melainkan berita tentang gurunya yang sakit tua dan menghendaki kedatangan kedua orang putera kembarnya itu. Sebaiknya kalau ia mengetahui lebih dahulu bahaya apa yang katanya mengancam keluarga paman dan bibinya ini.

   "Nanti dulu, Bibi. Sebelum aku menceritakan keperluan kedatanganku, lebih baik kalau Bibi mencerita-kan kepadaku tentang bahaya apa yang mengancam kalian. Aku bersedia untuk membantu kalian. Ceritakanlah mengapa kalian tadi begitu curiga kepadaku sehingga tiba-tiba saja menyerangku."

   Gak Jit Kong kini yang menjawab.

   "Maafkan kami, Lian-ji (anak Lian). Kami memang sedang panik sehingga tanpa bertanya lagi menyerangmu, karena kami mengira bahwa engkau merupakan komplotan orang jahat yang mengancam hendak menculik anak kami."

   "Komplotan jahat menculik adik Ciang Hun."

   "Benar, Suma Lian,"

   Sambung Gak Goat Kong.

   "Terjadinya sudah kurang lebih sepekan yang lalu. Mula-mula kami mendengar bahwa di sebuah dusun di kaki gunung terjadi kekacauan ketika ada seorang nenek yang suka menculik anak kecil. Ketika mendengar itu, kami lalu turun tangan dan berhasil mengalahkan nenek itu dan mengusirnya dari dusun yang dikacaunya. Akan tetapi, iblis itu ternyata tidak mau menerimanya begitu saja. Agaknya ia memanggil kawan yang lebih lihai lagi dan sepekan yang lalu mereka datang mengganggu kami."

   "Apa yang mereka lakukan?"

   Suma Lian bertanya, penasaran. Kini Souw Hui Lian yang melanjutkan.

   "Sepekan yang lalu, pada malam hari, aku mendengar suara gerakan orang di belakang rumah. Ketika aku keluar melalui pintu belakang, ia sudah berada di sana, nenek iblis yang pernah mengacau dusun itu, akan tetapi kini ada seorang temannya, seorang kakek botak. Mereka lihai bukan main."

   "Kami keluar mendengar ribut-ribut di belakang,"

   Sambung Gak Jit Kong,

   "dan kami bertiga melawan kakek botak itu. Namun dia sungguh lihai dan kami bertiga terdesak. Tiba-tiba mereka meloncat pergi dan, kakek itu sambil tertawa mengatakan bahwa sepekan kemudian dia akan datang lagi dan mengancam kami agar menyerahkan putera kami dengan baik-baik, kalau tidak seisi rumah akan dibunuhnya!"

   Suma Lian mengerutkan alisnya.

   "Hemmm, sombong sekali iblis itu."

   "Karena itu, setiap malam kami tidak dapat tidur dan berjaga-jaga, dan beristirahat pada siang harinya. Tadi kami masih tidur karena semalam berjaga, dan Ciang Hun yang sudah kami larang untuk keluar sendirian nekat keluar ke taman,"

   Kata Hui Lian.

   "Aku ingin nonton kupu-kupu kuning, Ibu!"

   Bantah Ciang Hun.

   "Dan pula, kata Ibu iblis itu hanya muncul di waktu malam, bukan?"

   "Memang benar,"

   Kata pula Hui Lian kepada Suma Lian.

   "Iblis itu mengancam akan datang pada malam hari, karena itulah kami berani tidur di waktu siang."

   "Hemmm, dan kapankah malam yang dijanjikannya itu?"

   Tanya Suma Lian.

   "Malam ini tepat sepekan."

   "Harap kedua Paman dan Bibi tidak khawatir. Kalau malam nanti dia berani muncul, biarlah aku yang akan menghadapinya,"

   Kata Suma Lian. Biarpun suami itu merasa agak tabah dengan munculnya Suma Lian yang dapat mereka harapkan untuk membantu mereka, namun tentu saja mereka tidak yakin akan kemampuan Suma Lian.

   Bagaimanapun juga, Suma Lian baru beberapa tahun ini menjadi murid ayah mereka, tentu tingkat kepandaiannya tidak akan lebih tinggi daripada tingkat kedua orang kembar itu. Kalau mereka maju bertiga saja tidak mampu menandingi kakek botak itu, apalagi gadis muda ini? Betapapun juga, mereka mendapatkan tenaga bantuan dan hal ini saja sudah mendatangkan hiburan bagi mereka. Suma Lian kelihatan tenang-tenang saja hari itu, bahkan bermain-main dengan Ciang Hun, membiarkan tiga orang itu beristirahat karena selama beberapa hari mereka itu kurang tidur selalu. Ketika malam tiba, Beng-san Siang-eng dan isterinya sudah nampak segar dan siap siaga untuk menghadapi ancaman musuh, Souw Hui Lian tak pernah mau melepaskan puteranya. Menjelang tengah malam, mereka yang berkumpul di ruangan dalam itu mendengar suara ketawa di luar rumah,

   "Ha-ha-ha, Beng-san Siang-eng, agaknya kalian sudah siap menghadapi kunjungan kami. Apakah anakmu, itu sudah kau persiapkan untuk diberikan kepada kami? Keluarlah, kami tidak ingin bersikap tidak sopan menyerbu ke dalam!"

   Mendengar suara ini, Beng-san Siang-eng dan isterinya nampak terkejut dan jelas kelihatan betapa mereka gentar. Hal ini membuat Suma Lian merasa penasaran dan marahsekali. Ia lalu meloncat berdiri dan dengan sikap tenang ia melangkah keluar, diikuti oleh dua orang pamannya, sedangkan Hui Lian tinggal di dalam melindungi puteranya, seperti yang sudah mereka rancangkan.

   Sebaiknya kalau Ciang Hun disembunyikan di dalam, dilindungi ibunya, agar dia tidak terancam bahaya langsung seperti kalau diajak keluar. Dengan langkah tegap dan sikap tenang sekali Suma Lian melangkah terus menuju ke serambi luar di mana memang sengaja dipasangi empat buah lampu gantung yang cukup terang. Dua orang kembar itu sendiri merasa kagum akan ketabahan hati keponakan mereka walaupun mereka masih merasa khawatir apakah kehadiran gadis itu akan cukup membuat mereka mampu mengusir dan mengalahkan lawan yang amat tangguh. Kalau tingkat kepandaian Suma Lian hanya sedikit lebih tinggi dari tingkat Hui Lian, tak mungkin mereka akan menang. Bahkan andaikata tingkat ilmu kepandaian gadis itu sama dengan tingkat mereka pun, masih amat disangsikan apakah mereka akan mampu mengalahkan kakek botak itu, apalagi kalau si nenek buruk itu membantunya.

   Ketika mereka membuka pintu depan dan tiba di luar, ternyata benar seperti yang dikhawatirkan Beng-san Sian-eng, kakek botak pendek dan nenek bongkok buruk itu sudah berada di situ, berdiri dengan sikap memandang rendah. Nenek bongkok bermuka buruk itu memegang tongkatnya yang butut dan kakek yang bertubuh pendek berkepala botak dengan muka seperti seekor ikan itu menyeringai lebar. Dia tidak nampak memegang senjata, akan tetapi melihat pakaiannya seperti seorang tosu dengan gambar patkwa (segi delapan) di dadanya, tahulah Suma Lian bahwa ia berhadapan dengan seorang pendeta dari perkumpulan sesat Pat-kwa-pai. Ketika melihat Bong-san Siang-eng muncul bersama seorang gadis yang muda dan cantik manis, sepasang mata kakek pendek itu bersinar-sinar dan mulutnya menyeringai semakin lebar.

   "Bagus, bagus....! Beng-san Sian-eng, dari mana kalian mendapatkan seekor domba betina yang begini muda, montok dan mulus, ha-ha-ha! Apakah ia hendak kau tukarkan dengan anak kalian? Gadis muda ini untuk aku, wah, aku suka sekali!"

   "Hok Yang Cu, jangan gila kau! Aku tidak butuh gadis ini dan tidak sudi kalau ditukar dengan bocah laki-laki putera mereka!"

   Tiba-tiba nenek itu membentak, nadanya marah. Kakek botak itu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, Beng-san Sian-eng, kalian sudah mendengar sendiri, bukan? Puteramu itu tetap harus kalian berikan kepada kami, dan gadis ini untuk aku, sebagai pengganti kepala kalian! Nah, berikan gadis ini kepadaku dan keluarkan pula bocah laki-laki itu agar jangan membikin Kui-bo (Nenek Iblis) marah-marah!"

   Mendengar kata-kata mereka yang amat memandang rendah, apalagi juga amat menghinanya, Suma Lian menjadi merah mukanya dan sepasang matanya yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong. Ia melangkah maju menghadapi dua orang kakek dan nenek itu sambil menudingkan telunjuknya.

   "Dua orang tua bangka tak tahu diri dan tak mengenal malu! Kalian muncul sebagai iblis-iblis yang curang, tidak memperkenalkan nama. Siapakah kalian dan mengapa kalian mengganggu kedua orang pamanku ini?"

   Kakek yang sudah menjadi merah matanya melihat Suma Lian yang cantik manis, kini tertawa bergelak sambil mengelus kepala yang botak dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menggoyang-goyangkan tangan kanan dengan sikap sombong.

   
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ha-ha-ha, anak manis, ketahuilah bahwa pinto (aku) disebut Hok Yang Cu, dan seperti dapat kau lihat pada gambar di dadaku, aku adalah seorang tokoh Pat-kwa-pai yang terkenal! Adapun nenek buruk ini adalah Hek-sim Kui-bo (Nenek Iblis Berhati Hitam), seorang sahabatku. Ia minta bantuanku untuk mengambil putera Beng-san Sian-seng. Akan tetapi engkau muncul, anak manis, heh-heh-heh, setelah melihatmu, mana aku dapat melepaskanmu lagi?"

   "Tuabangka iblis! Kedua orang pamanku tidak pernah merasa bermusuhan dengan kalian, mengapa kalian datang mengganggu mereka? Mengakulah apa sebabnya kalian mengganggu, ataukah kalian hanya dua orang tua bangka pengecut yang tidak berani mengaku?"

   Suma Lian sengaja memanaskan hati mereka untuk mengetahui mengapa mereka itu memusuhi kedua orang pamannya.

   "Bocah sombong!"

   Bentak nenek itu yang jelas memperlihatkan sikap membenci wanita muda.

   "Beng-san Siang-eng adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kenyataan ini saja sudah cukup bagi kami untuk memusuhi mereka!"

   Kini mengertilah Suma Lian, juga Beng-san Siang-eng mengapa nenek dan kakek itu memusuhi mereka. Kiranya mereka itu, golongan sesat, selalu tak pernah melupakan keluarga Pendekar Pulau Es dan selalu memusuhi keluarga itu setiap kali ada kesempatan. Hal ini membuat Suma Lian menjadi semakin marah. Akan tetapi gadis yang pemberani ini tidak memperlihatkau kemarahannya, sebaliknya ia marah tertawa. Suara ketawanya nyaring dan bebas, tidak ditahan-tahan atau ditutupi mulutnya sehingga nampak rongga mulutnya yang kemerahan dan kilatan giginya yang putih.

   "Heh-he-hi-hi-hik! Hek-sim Kui-bu dan Hok Yang Cu, dua orang kakek dan nenek tua bangka yang mau mampus, orang-orang macam kalian ini berani memusuhi keluarga para Pendekar Pulau Es? Dengar baik-baik, aku bernama Suma Lian? She Suma, ingat! Aku adalah cucu buyut dalam dari kakek buyut Suma Han. Hayo cepat kalian berlutut minta ampun, kemudian minggat dari sini jangan memperlihatkan ekor kalian lagi sebelum aku mewakili keluarga para Pendekar Pulau Es untuk menghajarmu!"

   Mendengar ucapan yang amat merendahkan itu, si nenek sudah menjadi marah dan mencak-mencak, akan tetapi kakek itu malah menjadi girang sekali dan dia tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, sungguh baik sekali nasibku! Jadi engkau she Suma, keturunan langsung Pendekar Pulau Es? Ha-ha-ha-ha, sudah lama sekali aku ingin mendapatkan seorang wanita she Suma, dan baru sekarang agaknya akan berhasil, ha-ha-ha!"

   Dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk ke arah Suma Lian, tangan kirinya mencengkeram ke arah muka gadis itu, akan tetapi dengan kecepatan kilat tangan kanannya menyusul dengan cengkera-man ke arah dada kiri Suma Lian. Serangan ini tidak sopan, akan tetapi juga amat berbahaya karena gerakannya cepat sekali dan dari kedua telapak tangan yang mencengkeram itu menyambar hawa pukulan yang cukup dahsyat! Melihat betapa kakek yang lihai itu menyerang Suma Lian, Beng-san Siang-eng tentu saja menjadi khawatir sekali,

   Akan tetapi mereka belum merasa perlu turun tangan karena di situ juga masih ada nenek yang mereka tahu amat lihai pula itu. Suma Lian adalah murid terakhir dari Bu Beng Lokai di samping Pouw Li Sian yang menjadi sumoinya. Selama delapan tahun, Suma Lian dan Pouw Li Sian menerima gemblengan yang amat tekun dari Bu Beng Lokai, dan kini boleh dibilang semua inti ilmu kepandaian kakek itu telah diwariskan, tentu saja dipilih yang ampuh-ampuh saja. Sebelum menjadi murid Bu Beng Lokai, sebagai puteri ayah ibu pendekar sakti, tentu saja sejak kecil Suma Lian telah menerima gemblengan orang tuanya, maka tentu saja ia kini telah memiliki ilmu silat yang hebat. Menghadapi serangan kakek pendek botak, ia tidak menjadi gentar atau gugup, hanya gemas karena kakek itu ternyata seorang yang benar-benar tidak sopan, begitu menyerang hendak mencengkeram buah dadanya!

   Dengan gerakan amat lincah ia pun melangkah mundur mengelak sehingga kedua tangan kakek itu yang tadi mencengkeram dada dan kepala, tidak dapat menjangkaunya dan sebagai sambutan, kakinya melayang tinggi dari samping mengarah muka lawan! Kaget juga kakek pendek itu ketika tiba-tiba gadis itu selain dapat menghindarkan cengkeramannya, juga membalas dengan tendangan yang demikian kuat dan cepatnya. Namun, dia tidak mengelak, melainkan memutar lengan kanannya ke kanan untuk menangkap kaki kiri gadis itu yang menyambar ke arah mukanya dari samping. Suma Lian cepat menarik kembali kakinya, maklum bahwa lawannya amat lihai sehingga dari keadaan terserang dapat mengubah kedudukan penyerang! Dan kakek itu pun tertawa bergelak melihat gadis itu menarik kembali kakinya.

   "Ha-ha-ha, kakimu kecil dan indah, harum pula!"

   Dia memuji dengan nada mengejek. Tentu saja Suma Lian menjadi marah, akan tetapi gadis ini memang pandai sekali menyembunyikan perasaannya, bahkan ia pun tersenyum mengejek.

   "Hemmm, tua bangka buruk dan busuk. Mukamu demikian jelek dan kotor sehingga untuk menjadi penjilat kaki pun belum cukup berharga!"

   Begitu melihat kakek itu terbelalak dan menjadi merah mukanya karena marah mendengar penghinaan itu,

   Suma Lian sudah menerjang dengan pukulan tangan kiri ke arah ubun-ubun kepala kakek pendek itu sedangkan tangan kanannya menampar ke arah dada. Gerakannya cepat dan kuat. Pukulan ke arah ubun-ubun itu dilakukan dengan kelima jari dibentuk paruh meruncing, seperti paruh seekor burung garuda mematuk ubun-ubun yang botak itu. Jangan dipandang ringan tangan yang berjari mungil ini karena saat itu dipenuhi tenaga Swat-im Sin-kang, yang membuat hawa yang menyambar dari tangan itu terasa dingin sekali dan kalau sampai ubun-ubun kepala itu terkena hantaman ini, tentu akan berlubang atau setidaknya tentu isinya akan terguncang hebat dan orangnya tewas. Juga tamparan ke arah dada itu bukan main-main, mengandung tenaga dahsyat sehingga sekiranya mengenai sasaran, tulang-tulang iga akan patah-patah dan jantung di dalam dada dapat copot karena guncangan-nya!

   "Hyaaahhhhh...."

   Kakek itu kini terkejut dan sambil mengeluarkan seruan ini, dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik. Akan tetapi, gerakan Suma Lian luar biasa cepatnya, disusulnya tubuh yang berjungkir balik itu dan kini tangan kanannya menghantam pula dari atas. Kakek itu yang baru saja berjungkir balik, tidak sempat pula untuk mengelak dan terpaksa dia pun mengangkat lengan kiri menangkis.

   "Dukkk....!"

   Dua lengan bertemu dan akibatnya, tubuh kakek itu bergulingan sambil menggigil kedinginan!

   "Swat-im Sin-jiu....!"

   Serunya kaget.

   "Hemmm, baru engkau mengenal kesaktian keluarga Pulau Es, ya? Nah, terimalah ini!"

   Bentak Suma Lian dan dengan cepatnya ia pun menerjang terus, sekali ini tubuhnya merendah sampai hampir menelungkup dan tiba-tiba saja tubuh itu mencelat ke atas, kedua tangan mendorong dan sekali ini ia mempergunakan tenaga sakti yang diwarisi dari gurunya, yaitu Tenaga Inti Bumi! Serangan yang dilakukan dengan lebih dahulu menjatuhkan diri ke atas tanah ini sama sekali tidak terduga oleh lawan sehingga kakek itu terkejut dan tidak sempat mengelak. Dia harus menangkis lagi dan kini, maklum akan kelihaian gadis itu, dia menang-kis dengan kedua tangan didorongkan sambil mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya.

   "Desss....!"

   Hebat sekali pertemuan tenaga itu dan akibatnya, tubuh yang pendek itu terjengkang dan kembali bergulingan. Namun, Hok Yang Cu sudah meloncat bangun dengan cepat, mukanya agak pucat dan di tepi mulutnya nampak darah. Ternyata pertemuan tenaga sinkang melalui dua telapak tangan tadi telah mengguncangkan tubuhnya dan membuat dia terluka di sebelah dalam tubuh sehingga muntahkan darah segar.

   Kemarahan dan penasaran membuat kakek itu lupa diri dan dia sudah meloloskan sabuk-nya, sabuk kulit yang ujungnya dipasangi pisau beracun. Dua orang kakek Gak tadinya merasa kaget, kagum dan gembira bukan main melihat betapa keponakan mereka itu mampu menandingi, bahkan membuat kakek pendek botak itu dua kali roboh bergulingan! Akan tetapi kini mereka merasa khawatir lagi melihat betapa Hok Yang Cu, melolos senjata sabuk yang mengerikan itu karena mereka dapat melihat betapa kedua batang pisau yang ujungnya menghitam itu tentulah mengandung racun. Juga mereka melihat betapa nenek Hek-sim Kui-bo kini juga memutar tongkatnya, maka mereka pun cepat saling memberi tanda dan keduanya sudah mencabut pedang dan meloncat ke depan, menghadang nenek buruk itu.

   "Lian-ji, apakah engkau memerlukan pedang?"

   Teriak Gak Jit Kong kepada keponakannya. Akan tetapi Suma Lian tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   "Paman, menghadapi tua bangka yang sudah mau mampus ini perlu apa menggunakan pedang? Sebaiknya kedua Paman mundur dan nonton saja, biarlah aku akan menghajar anjing tua betina dan jantan ini sampai mereka lari terbirit-birit menyembunyikan ekor di selangkangnya!"

   "Bocah sombong lihat senjataku!"

   Bentak Hok Yang Cu yang kembali menye-rang penuh semangat walaupun tadinya dia sudah merasa gentar. Kini dia marah sekali dan masih belum mau melihat kenyataan, belum mau percaya bahwa dia kalah oleh gadis muda! Juga nenek Hek-sim Kui-bo menerjang ke depan dengan tongkat hitamnya, akan tetapi dua orang kakek kembar sudah menyambutnya dengan pedang mereka. Terjadilah perkelahian mati-matian antara nenek buruk itu melawan dua orang kakek kembar yang memainkan pedang mereka dengan cepat dan saling memban-tu. Serangan sabuk berujung pisau beracun itu amat berbahaya, namun dengan tenang Suma Lian menggerakkan kakinya dan ia sudah mempergunakan langkah-langkah ajaib dari Ilmu Sam-po Cin-keng yang luar biasa.

   Jangankan baru diserang oleh seorang yang bersenjata sabuk berpisau, bahkan dengan ilmu langkah ajaib ini, yang sudah dikuasainya dengan baik, Suma Lian akan berani memasuki barisan senjata dengan tangan kosong, mempergunakan kelincahannya dan keampuhan ilmu langkah-langkah ajaib itu! Dengan mudah ia menghindarkan diri dari serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kakek pendek botak, bahkan dapat membalas dengan tamparan atau tendangan yang membuat kakek itu kadang-kadang terdesak hebat. Pengeroyokan kedua orang kakek kembar Gak terhadap nenek itu membuat Hek-sim Kui-bo repot juga. Biarpun tingkat kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya dibanding-kan masing-masing pendekar Gak itu, namun ketika mereka maju berbareng sebagai Beng-san Sian-eng, nenek itu kewalahan.

   Dua orang kakek kembar ini selain memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan ampuh, juga kalau maju berdua seperti satu orang berbadan dua saja. Mereka dapat bergerak otomatis saling bantu sehingga seperti seorang lawan yang berkepala dua dan bertangan kaki empat! Harus diakui bahwa biarpun mereka lebih dahulu mempelajari ilmu silat dibandingkan Suma Lian, namun pada waktu itu, tingkat kepandaian Suma Lian jauh melampaui kedua orang pamannya. Hal ini adalah karena memang bakat gadis itu jauh lebih besar, juga karena kedua orang saudara kembar ini belum menguasai inti dari ilmu-ilmu silat tinggi ayah mereka. Walaupun demikian, karena maju berdua, cukup merupakan lawan yang amat lihai dan kuat. Dengan Ilmu Pedang Pengacau Langit (Lo-thian Kiam-sut) mereka berdua dapat membendung gelombang serangan tongkat Hek-sim Kui-bo,

   Bahkan kini dengan pedang mereka, Beng-san Siang-eng mulai mendesak nenek yang menjadi repot dan harus main mundur, gelisah sekali melihat betapa teman yang diandalkannya, si pendeta pendek itu, juga terdesak hebat oleh gadis yang amat lihai itu! Perkelahian antara Suma Lian dan Hok Yang Cu memang berat sebelah. Tingkat kepandaian gadis itu memang jauh lebih tinggi dan wataknya yang nakal dan jenaka membuat Suma Lian sengaja mempermainkan lawan. Kalau ia menghendaki, tentu saja sejak tadi ia sudah mampu merobohkan lawan, bahkan kalau perlu membunuhnya, akan tetapi dasar gadis yang memiliki watak aneh dan kadang-kadang suka ugal-ugalan, maka ia pun lebih senang mempermainkan-nya! Tiba-tiba terdengar suara kanak-kanak berseru,

   "Enci Lian, hajar setan pendek itu, Enci!"

   Suma Lian menengok dan ternyata Souw Hui Lian menggandeng tangan Gak Ciang Hun telah muncul di ambang pintu depan. Wanita itu tentu saja merasa khawatir mendengar suara perkelahian di luar dan sampai lama tidak ada tanda kemenangan di pihak suaminya, maka sambil menuntun tangan puteranya ia pun keluar untuk menonton. Ketika ia melihat betapa suaminya mengeroyok nenek buruk itu, sedangkan keponakan wanita itu dengan tangkasnya dapat menandingi kakek bersabuk itu dengan tangan kosong saja, hati Hui Lian menjadi kagum dan girang bukan main. Jelas bahwa di situ tidak ada musuh lain kecuali dua orang itu.

   Maka ia pun cepat mencabut pedangnya dan meninggalkan puteranya di ambang pintu dan ia sendiri cepat meloncat dan membantu suami-suaminya untuk mengeroyok Hek-sim Kui-bo! Dan melihat betapa Suma Lian menandingi kakek pendek sambil berloncat cepat dan aneh dan gadis itu tersenyum-senyum mengejek, Ciang Hun menjadi gembira dan berseru kepada gadis itu untuk menghajar lawannya. Ketika Suma Lian menengok, kesempatan ini dipergunakan oleh Hok Yang Cu untuk menyerangnya dengan hebat. Sabuknya bergerak dan sebatang pisau beracun meluncur ke
(Lanjut ke Jilid 08)
Kisah Si Bangau Putih (Seri ke 14 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08
arah tenggorokan gadis itu. Cepat bukan main serangan ini dan tahu-tahu pisau itu telah terbang menyambar ke arah tenggorokan Suma Lian yang berkulit halus mulus dan putih bersih! Namun, Suma Lian tahu akan hal ini. Ia teringat akan seruan Ciang Hun, maka kini tangannya menangkis, dan jari-jari tangannya yang kecil mungil itu menyentik ke arah pisau.

   "Tringggg....!"

   Pisau itu terpental, membalik dan terdengar kakek ini berteriak kesakitan ketika pisau yang membalik itu tahu-tahu telah melukai pundaknya! Sebuah tendangan membuat tubuhnya yang tersentak kaget ini terlempar dan jatuh terbanting lalu bergulingan.

   "Kui-bo lari....!"

   Teriaknya dan tanpa menanti jawaban temannya lagi, dia pun terus menggelinding ke pekarangan depan dan meloncat bangun lalu melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam. Sementara itu, Hek-sim Kui-bo yang memang sudah terdesak oleh kedua orang kakek kembar itu, menjadi semakin repot ketika Hui Lian maju membantu kedua orang suaminya. Tingkat kepandaian Hui Lian tidak banyak selisihnya dengan tingkat suaminya. Apalagi ketika ia melihat betapa temannya semakin terdesak. Pada saat Hok Yang Cu terkena pisau beracunnya sendiri, hanya beberapa detik kemudian, pedang Gak Jit Kong juga sudah melukai pangkal lengan kanannya, dan tendangan Hui Lian juga mengenai pahanya, maka ia pun terhuyung ke belakang dan mendengar seruan temannya, ia pun terus meloncat ke pekarangan dan menghilang di dalam kegelapan malam.

   "Kejar mereka....!"

   Hui Lian berseru, siap untuk mengejar. Akan tetapi sebuah tangan yang halus menyentuh tangannya.

   "Sebaliknya tidak usah, Bibi. Musuh yang sudah melarikan diri tidak perlu dikejar, apalagi dalam gelap begini. Mereka adalah orang-orang yang curang dan berbahaya. Pula, menurut kata ayah, keluarga Pulau Es tidak pernah memusuhi orang-orang golongan hitam, hanya menentang perbuatan mereka yang jahat. Kalau mereka tidak menyerang, tidak perlu dilayani."

   "Ia benar. Mari kita masuk saja,"

   Kata Gak Jit Kong dan mereka lalu memasuki rumah dan menutup daun pintu depan dengan rapat.

   "Wah, enci Lian sungguh hebat! Kakek pendek yang lihai itu dijadikan bola olehnya!"

   Kata Ciang Hun gembira.

   "Itulah hasilnya kalau belajar dengan baik dan tekun,"

   Kata Hui Lian kepada puteranya.

   "Engkau harus meniru encimu, Suma Lian, kami berterima kasih sekali karena kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya dengan kami berempat."

   "Ah, Bibi, kita adalah orang sekeluarga sendiri, tidak perlu bersikap sungkan. Pula, kurasa dua orang penjahat tadi tidak akan mudah saja mengalahkan Bibi dan Paman berdua."

   "Sudahlah, Lian-ji, tidak perlu memuji kami. Yang jelas, kami berdua sudah ketinggalan jauh dalam ilmu silat dibandingkan denganmu dan biarlah kami akan berlatih dengan tekun. Akan tetapi, setelah urusan yang mengganggu kami ini dapat dihindarkan, sekarang engkau harus menceritakan keperluanmu datang berkunjung ini."

   Suma Lian menarik napas panjang. Memang selalu ditahannya berita yang tidak menyenangkan itu karena keluarga ini sedang menghadapi ancaman bahaya. Setelah kini bahaya itu lewat, tentu saja ia harus menceritakannya.

   "Aku datang berkunjung karena diutus oleh kong-kong, Paman, Beliau minta agar Paman berdua dan sekeluarga suka datang menengok beliau karena pada waktu ini kong-kong sedang menderita sakit...."

   "Ayah sakit....?"

   Dua orang kakek kembar itu berseru hampir berbareng.

   "Lian-ji, kenapa tidak dari kemarin engkau memberi tahu kami?"

   Gak Jit Kong menegur dengan muka sedih.

   "Ayah sakit apakah, Suma Lian?"

   Sambung Gak Goat Kong.

   "Aku memang menahan berita ini ketika melihat keluarga Paman terancam bahaya agar jangan menambahi gelisah. Sebetulnya, penyakit kong-kong adalah penyakit biasa, yaitu kelemahan seorang yang usianya sudah terlalu tua, demikian menurut keterangan kong-kong sendiri. Karena itu, diharap agar Paman sekalian suka berkunjung ke sana sekarang juga."

   "Ah, ayah...."

   Kedua orang kembar itu merasa gelisah dan berduka, mengingat betapa selama ini mereka gagal mencari ayah mereka, sampai kurang lebih sepuluh tahun semenjak ayah mereka meninggalkan Puncak Telaga Warna, mereka tidak pernah lagi mendengar tentang ayah mereka, apalagi melihatnya.

   "Di mana dia?"

   Tanya Gak Jit Kong.

   "Jauhkah dari sini?"

   "Tidak jauh, hanya di lereng Cin-ling-san, nampak dari sini pegunungan itu kalau siang hari, Paman."

   Dua orang kembar itu terkejut dan girang. Ternyata ayah mereka berada di gunung sebelah! Malam itu mereka tidak tidur lagi dan mereka berdua bertanya tentang ayah mereka dan mereka berdua terharu bukan main mendengar betapa ayah mereka kini berjuluk Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama) dan bahkan ketika untuk pertama kalinya bertemu dengan Suma Lian, kakek itu seperti seorang jembel tua yang kotor dan tidak waras!

   "Aih, akulah yang berdosa terhadap ayah mertuaku...."

   Tiba-tiba Hui Lian menangis ketika melihat betapa dua orang suaminya berlinangan air mata.

   "Akulah yang membuat kalian berdua menjadi anak-anak yang tidak berbakti, membuat hati ayah kalian menjadi merana dan kecewa...."

   Hui Lian menangis sesenggukan, tak dapat ditahan lagi kesedihannya dan ia pun merangkul puteranya. Ciang Hun ikut menangis ketika melihat betapa ibunya menangis sedih. Melihat sikap isteri mereka itu, Beng-san Siang-eng menjadi terharu dan wajah mereka diliputi kedukaan,

   "Hui Lian, kamilah yang bersalah terhadap ayah!"

   Kata Gak Jit Kong.

   "Engkau tidak bersalah, dan biarlah kami yang akan mohon ampun kepada ayah."

   Sambung Gak Goat Kong. Suma Lian adalah seorang gadis yang memiliki perasaan yang peka, mudah tersentuh sehingga ia mudah riang gembira dan jenaka, akan tetapi mudah pula terharu. Melihat Hui Lian menangis, diikuti puteranya, dan melihat pula sikap dua orang kakek kembar itu yang gagah perkasa dan masing-masing mengakui kesalahan dengan isteri mereka, ia pun merasa terharu sekali sampai kedua matanya menjadi basah. Ia dapat merasakan cinta kasih yang besar antara dua orang kembar itu dengan isteri mereka. Keadaan mereka itu memang amat ganjil bagi Suma Lian dan ia tidak dapat menyelami-nya, namun ia dapat merasakan kasih sayang yang amat mendalam di dalam keluarga orang kembar ini.

   "Paman dan Bibi, harap jangan berduka. Ketahuilah bahwa kong-kong sering membicarakan tentang Paman dan Bibi dengan sikap yang amat mencinta dan rindu, dari kata-katanya aku dapat memastikan bahwa beliau sama sekali tidak marah kepada kalian, apalagi membenci."

   Mendengar ini, dua orang saudara kembar itu memandang kepada Suma Lian dengan sinar mata penuh harapan.

   "Suma Lian, benarkah kata-katamu itu ataukah hanya hiburan belaka untuk kami?"

   Tanya Gak Goat Kong.

   "Paman, mana aku berani membohong?"

   "Sudahlah, mari kita semua berangkat. Andaikata ayah marah-marah kepada kita sekalipun, hal itu sudah sepatutnya dan kita hanya tinggal minta maaf kepadanya. Yang penting, kita dapat bertemu dan menghadap ayah. Aih, Lian-ji, betapa kami selama bertahun-tahun ini bersusah-payah mencari ayah namun selalu gagal,"

   Kata Gak Jit Kong. Konflik atau pertentangan yang terjadi antara kita dengan orang lain, sama sekali tidak dapat diatasi dengan pra-sangka, dengan sikap ingin benar sendiri dan ingin menang sendiri. Konflik akan makin memuncak kalau kita saling menilai keadaan orang lain itu, karena penilaian selalu dipengaruhi keadaan hati seseorang, didasari rasa suka dan tidak suka yang timbul dari si aku yang merasa diuntungkan atau dirugikan.

   Kalau kita sedang bertentangan dengan seseorang, biasanya kita selalu menilai orang itu, segala sikap dan perbuatannya terhadap kita yang tentu saja menimbulkan nilai buruk karena orang itu kita anggap merugikan dan penilaian ini akan menambah tebalnya kebencian dan permusuhan. Akan tetapi, cobalah kita mulai mengarahkan pengamatan kepada diri kita sendiri, sikap dan perbuatan kita sendiri tanpa penilaian, melainkan pengamatan yang waspada, tanpa memihak, menyalahkan atau membenarkan diri sendiri. Maka, akan nampak jelas bahwa segala sebab yang mengakibatkan pertentangan, sebagian besar terletak dalam diri kita sendiri masing-masing. Dan pengamatan terhadap diri ini akan dapat men-datangkan perubahan, dan ini menghapus pertentangan, karena konflik ke luar hanyalah pencerminan dari konflik yang terjadi dalam diri sendiri.

   Pengamatan kita terhadap diri sendiri, setiap saat, akan mengubah semua ulah kita terhadap orang lain, tidak mudah mata kita dibutakan oleh nafsu belaka, tidak mudah kita menjadi "mata gelap"

   Seperti dikatakan orang-orang bijaksana di jaman dahulu bahwa musuh yang paling kuat, paling berbahaya, paling licik, adalah diri sendiri, pikiran sendiri! Setan pembujuk dan penipu bukan berada di luar diri kita sendiri! Karena itu, pengamatan yang waspada terhadap diri sendiri akan melumpuhkan setan ini! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali berangkatlah keluarga Beng-san Siang-eng yang terdiri dari dua orang suami, satu isteri dan satu anak itu, mengikuti Suma Lian, menuju ke Pegunungan Cin-ling-san yang luas dan mempunyai banyak bukit-bukit. Di satu di antara lereng bukit inilah kini tinggal Bu Beng Lokai.

   Bukit itu mempunyai sumber air dan tanahnya amat subur, penuh dengan pohon-pohon besar. Di tengah sebuah di antara hutan-hutan yang memenuhi bukit yang merupakan anak bukit Pegunungan Cin-ling-san ini terdapat sebuah pondok. Tidak besar, hanya terbuat dari kayu-kayu pohon besar, dan mempunyai dua buah kamar saja. Namun pondok itu terawat bersih, dan di depannya bahkan terdapat sebuah taman bunga yang indah. Inilah tempat tinggal Bu Beng Lokai bersama dua orang muridnya, yaitu Suma Lian dan Pouw Li Sian. Muridnya yang bernama Suma Lian telah kita kenal, dan Suma Lian masih terhitung cucu keponakannya sendiri, atau lebih tepat, cucu keponakan mendiang isterinya. Adapun muridnya yang ke dua, juga seorang gadis yang bernama Pouw Li Sian, usianya sebaya dengan Suma Lian, hanya lebih muda beberapa bulan saja. Seperti Suma Lian, Pouw Li Sian ini juga tekun belajar silat dan kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

   Ia juga cantik manis, dengan tahi lalat kecil di dagunya yang meruncing, menambah manis. Akan tetapi, wataknya sungguh jauh berbeda dengan Suma Lian. Kalau Suma Lian seorang gadis lincah, jenaka gembira yang kadang-kadang ugal-ugalan, Dengan pakaian yang nyentrik dan seenaknya, sebaliknya Pouw Li Sian adalah seorang gadis yang cantik dan halus gerak-geriknya, sopan santun tutur katanya, dan biarpun pakaiannya juga sederhana dan tambal-tambalan seperti pakaian gurunya dan pakaian Suma Lian, namun potongan pakaian itu rapi dan sopan. Di dalam kisah SULING NAGA sudah diceritakan betapa Pouw Li Sian ini adalah seorang keturunan bangsawan tinggi. Mendiang ayahnya adalah seorang menteri, seorang bangsawan tinggi yang berjiwa satria. Ketika Pouw Tong Ki, demikian nama menteri itu, masih duduk sebagai Menteri Pendapatan, dia bentrok dengan pembesar tinggi Hou Seng,

   Thaikam (orang kebiri) yang menjadi kekasih kaisar karenanya mempunyai kedudukan yang amat tinggi dan kekuasaan yang tak terbatas. Dalam bentrokan inilah Pouw Tong Ki kena fitnah dan bahkan terbunuh oleh kaki tangan Hou Seng yang bersekutu dengan datuk-datuk sesat dari golongan hitam. Seluruh keluarganya terbasmi dan ditangkap sebagai pemberontak karena difitnah, kecuali Pouw Li Sian, puteri menteri itu yang dapat diselamatkan oleh Bu Beng Lokai. Ketika peristiwa itu terjadi, Pouw Li Sian baru berusia dua belas tahun dan bersama Suma Lian ia lalu diajak pergi oleh Bu Beng Lokai sebagai muridnya. Kini Li Sian telah berusia dua puluh tahun, dan selama delapan tahun itu ia ikut bersama gurunya dan sucinya (kakak seperguruannya), merantau dan hidup menempuh kesulitan dan kekerasan, kekurangan dan akhirnya, dua tahun yang lalu, gurunya menetap di dalam hutan di lereng bukit Pegunungan Cin-ling-San itu.

   Li Sian, seperti juga Suma Lian, amat sayang kepada gurunya, karena selain sebagai penyelamat dirinya, juga Bu Beng Lokai merupakan satu-satunya orang yang melindungi dan menyayangnya. Seperti juga Suma Lian ia tidak menyebut suhu (guru) kepada Bu Beng Lokai, melainkan kong-kong (kakek) dan hal ini diterima dengan senang oleh kakek itu karena dia merasa seolah-olah puteri menteri itu adalah seorang cucunya sendiri, seperti Suma Lian. Dan hubungan antara Suma Lian dan Pouw Li Sian juga akrab sekali karena mereka hidup berdua di bawah asuhan kakek sakti itu sehingga mereka seolah-olah kakak beradik saja. Ketika melihat kakek itu makin lemah karena usia yang tua, sudah mendekati seratus tahun, nampak semakin malas dan lebih sering bersamadhi atau tidur, mulailah kedua orang kakak beradik seperguruan itu merasa khawatir.

   Akhirnya kakek itu pun harus mengalah dan mengakui keunggulan sang waktu. Segala sesuatu di dunia ini akan berakhir, akan lenyap ditelan waktu sedikit demi sedikit. Demikian pula kehidupan manusia. Sang waktu, melalui usia akan menelan manusia sedikit demi sedikit, tanpa terasa manusia mendapatkan dirinya semakin tua, makin dekat dengan saat akhir di mana dia harus mengakui kelemahan dirinya, mengakui betapa kehidupan ini tidaklah abadi, dan kematian akan menjemputnya dan mengakhiri segala perjalanan hidupnya. Ketika kakek itu lebih banyak berbaring dengan lemah, dan seringkali dalam tidur mengigau memanggil-manggil nama kedua anak kembarnya, Suma Lian lalu memberanikan diri mengajukan usul kepada kong-kongnya, setelah berunding dengan sumoinya, Li Sian.

   

Suling Naga Eps 28 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 29 Suling Naga Eps 32

Cari Blog Ini