Ceritasilat Novel Online

Si Bangau Merah 4


Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Anak bandel!"

   Moli berkata, lalu tangan kirinya menangkap rahang Yo Han dan sekali jari-jari tangannya menekan, mulut Yo Han terbuka lebar tanpa dapat ditahannya lagi. Bahkan kini yang memegang rahang Yo Han hanya tiga jari karena jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri Moli sudah di julurkan ke atas dan menekan lubang hidung Yo Han. Anak itu terpaksa menarik napas dari mulut karena hidungnya tertutup dan ketika Moli menuangkan air di cawan yang sudah bercampur tiga butir pil yang sudah larut, dia tidak dapat memuntahkannya keluar dan cairan itu pun tertelan dan masuk ke dalam perutnya.

   "Hi-hi-hik, racun itu telah memasuki perutmu, Yo Han. Engkau akan tertidur karena pengaruh racun perampas ingatan, akan tetapi besok pagi-pagi kalau engkau terbangun, engkau akan jinak dan penurut seperti domba, akan tetapi juga tangkas dan kuat seperti harimau. Hi-hik, sungguh menyenangkan sekali. Sekarang, kau tidurlah, sayang...."

   Berkata demikian, Moli membebaskan totokan jalan darah Yo Han sehingga anak itu mampu bergerak kembali. Dia menggerak-gerakkan kaki tangannva yang terasa kaku dan nyeri-nyeri, kemudian bangkit duduk memandang kepada Moli dengan sinar mata penuh teguran.

   "Bibi, engkau sendiri yang tadi mengatakan bahwa kita bukan guru dan murid lagi, maka aku tidak akan menyebutmu subo lagi. Bibi, engkau seorang manusia, mengapa engkau melakukan perbuatan yang lebih pantas dilakukan iblis? Ingat, Bibi, perbuatan yang jahat akan menghasilkan akibat buruk bagi dirimu sendiri."

   Yo Han menghentikan ucapannya karena. tiba-tiba saja dia merasa kantuk menyerang-nya dengan hebat sekali. Tak tahan dia untuk tidak menguap. Ang I Moli terkekeh genit.

   "Memang orang menyebutku iblis, Yo Han. Orang menjuluki aku Ang I Moli, kalau aku tidak bertindak seperti iblis, berarti julukanku itu tidak ada harganya dan kosong belaka, heh-heh-heh! Dan engkau sudah mulai mengantuk. Tidurlah sayang, tidurlah....!"

   Wanita itu terkekeh-kekeh melihat Yo Han kini merebahkan diri miring di atas rumput kering dan segera pulas. Ia pun menambahkan lagi kayu bakar di perapian, dan merebah-kan diri di dekat Yo Han, memeluk pemuda remaja itu, dengan mesra. Ia sudah siap. Begitu Yo Han terbangun pada keesokan harinya dan racun-racun itu bekerja, ia sudah siap. Karena ia pun lelah dan mengantuk, sebentar saja Moli pulas juga.

   Ia tidak tahu bahwa tak lama kemudian api unggun padam dan hawa dingin menyusup tulang. Ia tidak terbangun, hanya merangkul lebih erat. Yo Han juga tidak pernah terbangun karena dia agaknya terpengaruh oleh racun yang mulai bekerja di tubuhnya. Karena kecapaian dan tidur pulas sekali, Moli yang merangkul bahkan seperti menyelimuti tubuh Yo Han dengan tubuhnya itu, sama sekali tidak tahu bahwa lewat tengah malam, ada sesosok bayangan hitam perlahan-lahan memasuki kuil tua yang kosong itu. Bayangan itu ternyata seorang wanita yang berpakaian longgar, pakaian sutera kuning dengan kepala juga dikerudungi sutera kuning. Karena penerangan hanya datang dari bulan yang muncul lambat sekali, bulan yang tinggal sepotong, maka tidak dapat dilihat jelas wajah wanita berkerudung itu.

   Namun gerak-geriknya halus walaupun ringan dan cekatan. Langkahnya tidak menimbulkan suara ketika ia memasuki kuil dan tangannya memegang sebatang kayu kering yang membara ujungnya. Ia mengayun kayu itu dan bata itu pun menyala kecil, cukup untuk menerangi sekelilingnya sejauh tiga empat meter. Akan tetapi ia menggunakan tangan kiri menutupi mukanya agar pandang matanya tidak silau oleh nyala api di ujung kayu itu. Ia memilih tempat, mencari bagian yang kering dan bersih, agaknya untuk melewatkan malam. Bagian depan dan tengah kuil itu agaknya tidak memuaskan hatinya karena memang selain lantainya tidak begitu bersih, juga di bagian depan itu orang akan terserang angin karena terbuka. Di bagian dalam memang terlindung dari angin, akan tetapi tempat itu agak lembab.

   Ia lalu mengayun lagi kayu yang nyalanya telah padam dan hanya tinggal membara. Sekali ayun, bara itu menyala, kembali dan ia melangkah ke belakang. Diangkatnya kayu itu tinggi di atas kepala dan sekilas ia melihat dua orang laki-laki dan perempuan yang saling berpelukan itu, si perempuan hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang, si laki-laki yang masih remaja juga pakaiannya awut-awutan: Mereka itu tertidur nyenyak, perempuan merangkul laki-laki itu dengan erat sekali. Ia menurunkan kayu dan nyala di ujung kayu itu pun padam. Ia lalu membalikkan tubuh dan kembali ke ruangan depan, bahkan tidak mau tinggal di ruangan dalam karena terlalu dekat dengan ruangan belakang. Dinyalakannya kembali ujung kayu itu dengan ayunan tangannya, dan ia pun mengumpulkan rumput kering dan menaburkannya di sudut ruangan depan itu.

   Setelah itu, ia memadamkan kembali nyala api dan duduk bersila. Biarpun angin bertiup dan hawa dingin sekali, ia tidak kelihatan kedinginan. Bahkan nyamuk yang banyak beterbangan di situ, hanya beterbangan di sekitarnya dan agaknya tidak ada yang mencoba untuk hinggap di mukanya, satu-satunya bagian tubuh yang nampak dan dapat digigit. Entah apa yang menyebabkan nyamuk tidak berani hinggap di pipi atau leher itu. Agaknya harum cendana yang keluar dari tubuh itulah yang membuat nyamuk tidak berani mendekat. Atau mungkin juga bau hio berasap yang dibakar oleh wanita itu. Sebatang saja hio (dupa biting) yang nampaknya awet sekali, mengeluarkan asap yang harum. Wanita itu duduk bersila dan memejamkan mata setelah mulutnya mengomel lirih.

   "Omitohud.... tega benar menodai tempat suci ini, sungguhpun kuil ini sudah tidak terpakai. Apakah mereka tidak dapat mencari tempat lain yang lebih baik dan tepat untuk bermain cinta? Omitohud...."

   Akan tetapi, ia segera melupakan apa yang terlihat olehnya tadi dan sudah tenggelam dalam samadhi yang mendalam.

   Siapakah wanita ini? Ia seorang wanita yang tidak muda lagi walaupun masih nampak cantik. Usianya sudah empat puluh tujuh tahun, rambutnya sudah berwarna dua. Akan tetapi rambut yang tidak tersisir rapi dan awut-awutan karena perjalanan jauh dan hembusan angin itu halus dan panjang, berkilau tanda sehat, rambut itu digelung secara aneh, tidak mirip gelung orang daerah, lalu kepala itu ditutup kerudung sutera kuning. Wajahnya masih belum diganggu keriput walaupun garis-garis di antara kedua matanya menunjukkan bahwa ia seorang yang telah banyak mengalami pahit getir kehidupan di dunia. Sepasang matanya jeli dan tajam, lebar dan berwibawa. Di antara kedua alisnya terdapat titik merah, suatu kebiasaan di negerinya karena wanita ini berasal dari negara Bhutan, sebuah kerajaan kecil di sebelah selatan Tibet.

   Tubuhnya masih padat ramping, tanda bahwa selain sehat, juga wanita ini memiliki tubuh yang kuat dan terlatih. Kalau ada orang Bhutan melihatnya, tentu orang itu akan bersikap amat hormat kepadanya. Hiasan rambutnya berbentuk burung merak dan pakaiannya yang seperti pakaian pendeta itu sebetulnya menunjukkan kedudukannya yang cukup tinggi di Kerajaan Bhutan. Ia seorang puteri! Seorang wanita ningrat keluarga dekat dari raja Bhutan. Memang sesungguhnyalah. Wanita cantik ini bernama Gangga Dewi, seorang puteri Kerajaan Bhutan, atau lebih tepat lagi, ia masih cucu raja tua di Bhutan. Ibu Gangga Dewi adalah Puteri Syanti Dewi, puteri raja, dan ayahnya adalah seorang pendekar yang amat terkenal, dahulu berjuluk Si Jari Maut dan bernama Wan Tek Hoat, atau kemudian setelah menjadi duda dan sudah tua lalu menjadi seorang pendeta dan berjuluk Tiong Khi Hwesio.

   Gangga Dewi dilahirkan di Bhutan. Ia dilahirkan setelah lebih dari sepuluh tahun ayahnya menikah dengan ibunya. Ia hidup sebagai seorang puteri di kerajaan itu. Ayahnya menjadi seorang panglima atau seorang penasihat perang. Sejak kecil ia pun menjadi gemblengan dari ayahnya, sampai ia dewasa kemudian menikah dengan seorang panglima muda Bhutan yang telah banyak membuat jasa. Gangga Dewi hidup berbahagia dengan suaminya dan ia melahirkan dua orang anak. Akan tetapi, ketika dua orang anaknya berusia belasan tahun, ibunya, Puteri Syanti Dewi, meninggal dunia karena sakit tua. Ayahnya, Wan Tek Hoat, seperti berubah ingatan ketika Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya itu meninggal dunia. Seperti orang gila Wan Tek Hoat tidak mau pulang dan tinggal dalam gubuk di dekat makam isterinya,

   Seolah dia ingin menemani isterinya yang sudah berada di dalam kuburan. Akhirnya seorang pendeta tua yang bijaksana dapat menyadarkan Wan Tek Hoat sehingga dia dapat menyadari kebodohannya, menggunduli kepala, mengenakan jubah pendeta dan mempelajari keagamaan, menjadi seorang hwesio (pendeta Buddhis berjuluk Tiong Khi Hwesio. Kemudian dia meninggalkan Bhutan karena setelah isterinya meninggal dunia dia merasa terasing di Bhutan. Puteri tunggalnya, Gangga Dewi, telah menikah dan hidup berbahagia dengan suaminya, seorang Bhutan aseli. Maka dia pun pergi ke timur, kembali ke Tiongkok dan akhirnya berkunjung ke Istana Gurun Pasir dan meninggal di sana bersama saudaranya se-ayah, berlainan ibu, yaitu nenek Wan Ceng dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu. Kisah itu dapat dibaca dalam cerita SI BANGAU PUTIH.

   Sepeninggal ayahnya, Gangga Dewi masih hidup dalam keadaan bahagia dan tenteram. Bahkan dua
(Lanjut ke Jilid 04)
Si Bangau Merah (Seri ke 15 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04
orang anaknya, seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan, sudah pula menikah dan hidup penuh kemuliaan sebagai keluarga keturunan raja. Akan tetapi, kehidupan manusia tidak mungkin tanpa perubahan. Nasib manusia selalu berputar, ada kalanya terang ada kalanya gelap seperti keadaan cuaca. Lima tahun yang lalu, terjadi perang di perbatasan antara negara kecil Bhutan melawan tetangganya yaitu Kerajaan Nepal. Sebagai seorang panglima, suami Gangga Dewi memimpin pasukan Bhutan dan berperang melawan pasukan Nepal. Dalam pertempuran ini, suami Gangga Dewi tewas. Biarpun di waktu masih hidup, suami Gangga Dewi bukan merupakan seorang suami yang lembut, bahkan merupakan seorang militer yang kasar dan bahkan keras, seorang yang terlalu jantan, namun ketika suaminya tewas,

   Gangga Dewi merasa kehilangan sekali dan ia merasa kehilangan sekali dan ia pun tenggelam dalam duka yang mendalam. Agaknya ia mewarisi watak ayahnya. Dahulu Wan Tek Hoat ketika kehilangan isterinya juga dilanda kedukaan yang hampir membuatnya gila. Kini Gangga Dewi demikian pula. Hidupnya seolah kosong dan merana. Bahkan kehadiran cucu-cucunya dari dua orang anaknya tidak dapat menghibur hatinya. Setelah membiarkan dirinya merana sampai hampir lima tahun, akhirnya ia mengambil keputusan untuk pergi ke timur, mencari ayahnya yang sekian lamanya tiada kabar berita dan tidak pernah pulang pula. Biarpun perjalanan itu amat sukar, melalui pegunungan yang tinggi, daerah yang sunyi penuh dengan hutan, melalui pula padang tandus banyak pula ancaman datang dari binatang buas dan penjahat-penjahat yang suka merampok,

   Namun Gangga Dewi selalu dapat menyelamatkan dirinya. Kadang dia menggabungkan diri dengan khafilah yang melakukan perjalanan jauh, kadang menyendiri. Namun, ia adalah seorang wanita yang tidak asing akan kehidupan yang keras. Ia memiliki ilmu kepandaian tinggi, pernah digembleng oleh ayah kandungnya sendiri. Dan ia pernah menjadi isteri seorang panglima perang. Selain itu, sikapnya berwibawa, kecantikannya agung sehingga jarang ada orang berani iseng mengganggunya. Padahal, biarpun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, sebagai wanita ia masih memiliki daya tarik yang kuat sekali, baik dengan wajahnya yang masih cantik jelita maupun dengan tubuhnya yang ramping dan berisi. Demikianlah, pada malam hari itu, Gangga Dewi tiba di bukit itu dan melihat kuil tua,

   Ia pun memasukinya, sama sekali tidak mengira akan melihat pemandangan yang membuat ia merasa rikuh dan tidak enak hati. Bukan karena melihat seorang wanita tidur berpelukan dengan seorang pria yang membuat ia merasa tidak enak namun melihat bahwa mereka melakukannya di dalam sebuah kuil, walaupun kuil kosong, membuat ia merasa penasaran. Bagaimanapun juga, manusia terikat oleh hukum adat, umum, sopan santun dan tata-susila, juga hukum agama. Hukum-hukum inilah yang membedakan manusia dari mahluk lainnya. Seorang manusia yang sopan, yang tahu akan peradaban, mengenal tata-susila, sudah sepatutnya menghargai sebuah kuil atau sebuah tempat pemujaan, dari golongan atau agama apa pun. Di negaranya, Kerajaan Bhutan, agama amat dihormati, dan biarpun di sana terdapat berbagai agama,

   Di antaranya Agama Kristen, Islam, Buddhis dan lain-lainnya, namun diantara agama terdapat saling menghormati dan saling pengertian. Kerukunan agama mendatangkan kerukunan dan ketenteraman kehidupan rakyat. Kalau pun ada pertentangan-pertentangan kecil, maka pemuka agama dapat menenteramkannya kembali. Bagaimanapun juga inti pelajaran semua agama adalah hidup rukun di antara manusia, saling mengasihi, saling menolong. Hidup saleh dengan cara tidak melakukan perbuatan jahat, memupuk perbuatan baik dan saling menolong. Hidup beribadat dengan cara memuja Yang Maha Kuasa. Maha Pencipta, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Kalau pun ada pertentangan, maka yang bertentangan, maka yang bertentangan adalah manusianya dan pertentangan atau permusuhan itu merupakan pekerjaan nafsu.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi ketika sinar matahari telah membakar ufuk timur dan kepadatan malam gelap telah memudar dan cuaca menjadi remang-remang, ketika burung-burung ramai berkicau, sibuk mempersiapkan pekerjaan mereka yang berulang setiap hari, yaitu mencari makan. Ang I Moli terjaga dari tidurnya. Ia menggeliat seperti seekor kucing, akan tetapi segera ia teringat dan membuka matanya, lalu bangkit duduk, memandang kepada Yo Han yang masih tidur nyenyak. ia tersenyum, lalu merangkul dan mencium pemuda remaja itu.

   "Bangunlah, sayang. Bangunlah dan peluklah aku...."

   Yo Han membuka matanya. Seketika dia tersentak kaget ketika mendapatkan dirinya didekap wanita itu dan mukanya diciumi. Seperti orang dipagut ular, dia meronta dan bangkit berdiri, mukanya berubah merah sekali, matanya terbelalak dan cepat kedua tangannya sibuk membereskan letak pakaiannya yang awut-awutan dan setengah telanjang.

   "Apa.... apa yang kau lakukan ini, Bibi?"

   Bentaknya marah. Wanita itu memandang heran, hampir tidak percaya akan apa yang dilihat dan didengarnya. Menurut penglihatan dan pendengarannya, Yo Han sama sekali tidak berubah! Tidak hilang ingatannya, tidak terangsang sama sekali! Ini tidak mungkin! Biar seorang laki-laki dewasa yang kuat sekali pun, tentu akan terpengaruh oleh pel-pel itu! Apalagi Yo Han yang masih remaja, masih boleh dibilang kanak-kanak.

   "Yo Han, kau... kau... ke sinilah, sayang."

   Ia mencoba untuk meraih. Akan tetapi Yo Han menghindarkan diri dengan langkah ke belakang.

   "Bibi, apakah engkau sudah menjadi gila?"

   Suara Yo Han lantang dan penuh teguran.

   "Ingatlah, perbuatanmu Ini amat kotor, hina dan jahat! Sadarlah, Bibi."

   "Yo Han, ke sinilah, sayang. Engkau sayang kepadaku, bukan? Mari kita menikmati hidup ini...."

   Kembali wanita itu meraih dan kini, biarpun Yo Han mengelak, tetap saja pergelangan tangannya tertangkap oleh wanita itu. Yo Han meronta, namun apa artinya tenaganya dibandingkan wanita yang sakti itu?

   "Lepaskan aku! Engkau perempuan jahat, lepaskan aku! Aku tidak sudi menuruti kehendakmu yang keji dan hina! Biar kau siksa, kau bunuh sekali pun, aku tidak sudi! Lepaskan aku, perempuan tak tahu malu!"

   "Plakk!"

   Sebuah tamparan mengenai pipi Yo Han, membuat anak itu terpelanting dan di lain detik, dia telah tertotok dan tidak mampu bergerak lagi. Ang I Moli menyeringai. Gairah berahinya menghilang, terganti kemarahan karena ia dimaki-maki tadi.

   "Anak tolol! Diberi kenikmatan tidak mau malah memilih siksaan! Kau kira kalau engkau sudah menolakku, engkau akan bebas dan aku takkan berhasil menghisap semua darah dan hawa murni dari tubuhmu? Hemmm, terpaksa aku akan menghisapmu sampai habis sehari ini juga. Darahmu akan kuminum sampai habis. Tulang-tulangmu akan kukeluarkan dan sumsumnya kuhisap sampai kering. Dan engkau akan lebih dulu mampus kehabisan darah!"

   Wanita itu tertawa-tawa seperti orang gila dan bagaimanapun juga Yo Han merasa ngeri. Bukan takut akan ancaman itu, melainkan ngeri melihat wajah wanita itu dan mendengar suaranya. Dia merasa seperti berhadapan dengan iblis, bukan manusia lagi.

   "Sratttt....!"

   Tangan wanita itu menyambar dan kuku jarinya yang tajam dan keras seperti pisau itu telah menyayat leher dekat pundak. Kulit dan daging tersayat, dan darah mengucur. Wanita itu lalu menempelkan mulutnya pada luka itu dan menghisap darah yang keluar! Pada saat yang amat gawat bagi Yo Han itu, yang hanya terbelalak ngeri namun tidak mampu bergerak, terdengar suara lembut namun mengandung getaran kuat.

   "Omitohud.... hentikan perbuatanmu yang amat keji dan jahat itu, perempuan sesat!"

   Ada hawa pukulan mendorong dari samping dan dengan kaget Ang I Moli meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya. Bibirnya masih berlepotan darah sehingga nampak mengerikan sekali. Seperti seekor binatang buas, lidahnya menjilati darah yang berada di bibir, dan matanya liar memandang kepada wanita berkerudung yang berdiri di depannya dengan sikap anggun dan berwibawa.

   "Keparat! Siapa engkau berani mencampuri urusan pribadiku?"

   Ang I Moli membentak dengan marah sekali, matanya mencorong menatap wajah Gangga Dewi.

   Ia sama sekali tidak mengenal wanita yang berpakaian longgar serba kuning, dengan kepala berkerudung sutera kuning pula itu, namun dari logat bicaranya, ia dapat menduga bahwa wanita ini datang dari barat dan bukan berbangsa Han. Gangga Dewi tidak menjawab. Sejak tadi ia memandang kepada anak laki-laki yang masih menggeletak di atas lantai. Tangan kirinya bergerak dan nampak sinar putih menyambar ke arah tubuh Yo Han. Kiranya itu adalah sehelai sabuk sutera putih yang meluncur seperti tombak dan begitu mengenai pundak dan pinggang Yo Han dua kali, anak itu dapat menggerakkan kembali tubuhnya. Yo Han seorang anak yang cerdik. Begitu tubuhnya dapat bergerak, dia segera menggelindingkan tubuh, bergulingan ke arah wanita berkerudung itu. lalu melompat bangun dan berdiri di belakangnya berlindung di belakang Gangga Dewi.

   "Terima kasih, Locianpwe (Orang Tua Sakti),"

   Katanya. Gangga Dewi melihat betapa darah masih mengucur dari luka di leher, anak ltu, luka yang tadi sempat dihisap oleh wanita berpakaian merah. Ia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dan memberikannya kepada Yo Han.

   "Kau obati luka di lehermu dengan bubuk dalam bungkusan ini agar darahnya berhenti mengucur."

   "Heiii, keparat busuk! Siapakah engkau? Katakan namamu sebelum aku mencabut nyawamu!"

   Biarpun sikapnya masih lembut, namun pandang mata Gangga Dewi kini berubah keras. Dengan perlahan, kepalanya tegak ke belakang, dadanya membusung dan ia nampak lebih tinggi dari biasanya, anggun dan angkuh, juga mengandung kegagahan yang tersembunyi di balik kelembutannya.

   "Perempuan sesat, tidak ada hubungan apa pun antara kita dan aku pun tidak ingin berkenalan denganmu. Akan tetapi, kekejaman dan kejahatan yang kau lakukan terhadap anak ini tidak mungkin kudiamkan saja. Masih baik bahwa aku belum terlambat dan anak ini masih hidup. Maka, pergilah dan bertaubatlah. Masih belum terlambat bagimu untuk menebus dosamu dengan perbuatan baik dan bertaubat!"

   "Keparat sombong! Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Aku adalah Ang I Moli dan tidak ada orang dapat hidup terus kalau dia berani menentangku. Kembalikan anak itu kepadaku dan buntungi lengan kirimu, baru aku akan mengampunimu!"

   Tiba-tiba Yo Han meloncat ke depan Gangga Dewi menghadapi Ang I Moli dan dia marah sekali. Telunjuk kanannya menuding ke arah wanita berpakaian merah itu dan suaranya lantang penuh teguran.

   "Ang I Moli! Tidak boleh kau lakukan ini! Bibi ini tidak berdosa, kenapa engkau begitu kejam menyuruh ia membuntungi lengan sendiri? Engkau boleh menyiksaku, membunuhku, akan tetapi tidak boleh mencelakai orang lain hanya karena diriku."

   Dia menoleh kepada Gangga Dewi dan berkata,

   "Locianpwe, harap cepat pergi dan jangan mengorbankan diri hanya karena aku!"

   Gangga Dewi terbelalak kagum memandang kepada Yo Han. Bukan main anak ini, pikirnya. Ingin sekali ia mengenal Yo Han lebih dekat dan mengetahui mengapa anak ini sampai terjatuh ke tangan wanita jahat itu.

   "Anak baik, ke sinilah engkau!"

   Tangannya bergerak ke depan dan Yo Han merasa dirinya tertarik kembali ke belakang wanita berkerudung itu. Gangga Dewi kini memandang kepada Ang I Moli lalu mengangguk-angguk..

   "Kini aku tidak merasa heran. Kiranya engkau bukan manusia melainkan iblis betina (Moli). Pantas engkau melakukan, kekejaman seperti itu. Ang I Moli, engkau sepatutnya berguru kepada anak ini dan belajar tentang kebajikan dari dia."

   "Engkau memang sudah bosan hidup!"

   Ang I Moli membentak dan tiba-tiba saja bagaikan seekor harimau yang marah, ia sudah menerjang dengan tubrukan ke arah Gangga Dewi.

   Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring, tubuhnya seperti terbang meluncur dan kedua lengannya dikembangkan, kedua tangan terbuka membentuk cakar hendak mencengkeram ke arah leher Gangga Dewi. Wanita Bhutan ini mengenal gerakan dahsyat dari serangan yang berbahaya itu, maka ia pun menggeser kaki ke kiri sambil tangannya menyambar lengan tangan kiri Yo Han yang berdiri di belakangnya dan tubuh anak itu terlempar sampai lima meter ke arah kiri. Yo Han terkejut dan dia pun terbanting jatuh, akan tetapi kini berada di tempat aman, di bawah pohon di luar kuil karena lemparan tadi membuat tubuhnya melayang keluar dari jendela ruangan belakang kuil itu. Gangga Dewi sendiri setelah mengelak, lalu meloncat keluar dari ruangan. Ia merasa tidak leluasa untuk menghadapi iblis betina yang ganas itu di dalam ruangan.

   "Jangan lari kau, keparat!"

   Ang I Moli marah sekali ketika terjangannya mengenai tempat kosong. Ia meraih ke arah pakaian luarnya yang ditinggalkannya semalam, mengambil kantung jarum, juga menyambar pedangnya, mencabut senjata itu dan melemparkan sarung pedangnya, kemudian ia melompat keluar melakukan pengejaran. Akan tetapi orang yang dikejarnya itu sama sekali tidak lari, melainkan menanti diluar, ditempat terbuka. Matahari pagi mulai menerangi dunia sebelah sini, sinarnya kemerahan membakar dan menghalau sisa kegelapan malam. Yo Han berdiri di belakang sebatang pohon sambil menonton, dengan penuh perhatian. Tadi, setelah dia bergulingan akibat ditampar oleh Gangga Dewi, dia bangkit berdiri. Dia melihat bayangan kuning berkelebat dan wanita berambut kelabu itu sudah berada di dekatnya.

   "Anak baik, engkau berlindunglah di balik pohon itu. Iblis betina itu berbahaya. sekali."

   Yo Han hanya mengangguk dan dia lalu berlindung di belakang pohon untuk melihat apa yang akan terjadi. Kini dia tidak mengkhawatirkan sekali, maklum bahwa wanita berkerudung itu bukan orang sembarangan dan berkepandaian tinggi. Betapapun juga, dia masih merasa tegang, tidak rela kalau sampai ada orang menderita celaka apalagi sampai tewas karena membela dia.

   "Bersiaplah untuk mampus engkau perempuan asing yang lancang!"

   Ang I Moli membentak lagi dan kini ia menyerang dengan pedangnya, menusuk dengan gerakan kilat. Pedang di tangannya meluncur dengan sinar menyilaukan mata karena tertimpa cahaya matahari pagi. Namun, ternyata lawannya juga memiliki gerakan yang amat ringan dan tangkas. Tidak begitu sukar Gangga Dewi menghindarkan diri dari tusukan pedang itu dengan meng-gerakkan kaki kirinya, melangkah ke samping dan miringkan tubuhnya. Dari bawah samping, tangannya diputar untuk menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang.

   "Syuuuttt....!"

   Ang I Moli terkejut bukan main dan cepat-cepat ia menarik kembali pedangnya dan melompat ke belakang. Ia tadi melihat lawannya menggunakan jari telunjuk menotok ke arah pergela-ngan tangannya, gerakannya aneh, cepat dan dari jari telunjuk itu datang angin yang amat dingin. Tahulah ia bahwa lawannya ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, maka ia lalu memutar pedangnya dan menyerang lebih ganas lagi.

   Pedang diputar sedemikian cepatnya sehingga lenyap bentuk pedang berubah menjadi gulungan sinar yang mendesingdesing dan dari gulungan sinar itu kadang mencuat sinar yang menyambar ke arah Gangga Dewi, merupakan serangan bacokan atau tusukan. Gangga Dewi terpaksa mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang. Senjata lawan itu demikian cepat gerakannya ia sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang. Dan Ang I Moli yang merasa penasaran itu terus mendesak dan mempercepat gerakannya. Ia tahu bahwa sebelum ia merobohkan dan membunuh wanita berkerudung ini, tak mungkin ia bisa menguasai Yo Han. Padahal, tadi ia sudah mencicipi darah pemuda itu. Segar dan manis menyegarkan dan menguatkan badan rasanya!

   Gangga Dewi terus mengelak dengan mengandalkan keringanan tubuhnya. Gerakannya demikian lincah dan indah seperti menari-nari saja sehingga Yo Han merasa kagum. Dia teringat kepada subonya, Kao Hong Li, yang kalau sedang bersilat juga nampak memiliki gerakan yang indah, seperti menari saja! Dia menemukan tiga daya guna dalam ilmu silat. Pertama seni tari yang disukainya, ke dua seni olah raga juga disetujuinya, dan ke tiga seni bela diri dan inilah yang membuat dia tidak suka belajar silat. Bela diri ini mengandung kekerasan sehingga akibatnya bukan sekedar menyelamatkan diri semata, melainkan balas menyerang dan merobohkan lawan. Memukul roboh lawan, bahkan kalau salah tangan dapat membunuh lawan! Kini, dia melihat betapa segi seni-tari menonjol sekali dalam gerakan wanita berkerudung yang menolongnya, dan dia pun kagum.

   Akan tetapi, setelah lewat belasan jurus, maklumlah Gangga Dewi bahwa tidak mungkin baginya untuk hanya terus menerus mengelak saja. Kalau dilanjutkan hal itu akan membahayakan keselamatan dirinya. Ia tahu bahwa lawannya lihai. Selisih tingkat kepandaian antara mereka tidak banyak. Ketika kembali pedang lawan mendesaknya sehingga ia harus berloncatan ke belakang, tiba-tiba ia membuat lompatan agak jauh ke belakang dan dalam loncatan ke belakang itu ia bersalto sampai lima kali dan ketika tubuhnya turun ke atas tanah, tangannya telah memegang segulung sabuk sutera putih yang tadi ia lolos dari pinggang ketika ia berjungkir balik di udara. Hampir saja Yo Han bertepuk tangan memuji, bukan memuji kehebatan gin-kang itu, melainkan memuji keindahan gerakan tadi.

   "Engkau iblis betina yang haus darah. Sudah sepatutnya kalau engkau dihajar!"

   Kata Gangga Dewi dan sekali tangan kanannya bergerak, gulungan sinar putih itu meluncur ke depan dan menegang, menjadi seperti batang tombak yang kaku. Pada saat itu, Ang I Moli sudah menyerang lagi dengan bacokan pedangnya. Gangga Dewi menggerakkan sabuk sutera putih itu menangkis.

   "Takkk!"

   Dan pedang itu terpental, seolah bertemu dengan sebatang tombak besi atau kayu yang kaku dan kuat! Akan tetapi melihat ini, tentu saja Yo Han tidak merasa kaget atau heran. Bagaimanapun juga, dia pernah tinggal bersama sepasang suami isteri yang memiliki kepandaian silat tinggi dan dia pun sudah banyak mempelajari ilmu silat walaupun hanya mengerti dan dihafalkannya saja.

   Dia tahu bahwa sabuk sutera di tangan wanita berkerudung itu menjadi kaku karena pemegangnya mempergunakan tenaga sin-kang yang tersalur lewat telapak tangan ke sabuk itu. Dia hanya kagum karena gerakan silat wanita itu selain aneh, juga amat indahnya. Kini terjadilah pertandingan yang amat seru, tidak berat sebelah seperti tadi ketika Gangga Dewi hanya terus-terusan mengelak. Kini kedua orang wanita yang lihai itu saling serang dan diam-diam Ang I Moli mengeluh. Sabuk sutera putih itu memang hebat. Pedangnya sudah digerakkan sekuatnya untuk dapat membabat putus sabuk sutera itu, namun semua usahanya sia-sia belaka. Setiap kali terbacok, tiba-tiba sabuk itu menjadi lemas dan tentu saja tidak dapat dibacok putus, bahkan ujung sabuk itu beberapa kali sempat menggetarkan tubuhnya karena totokan yang hampir saja mengenai jalan darah dan membuat ia roboh.

   "Haiiittt....!"

   Tiba-tiba Ang I Moli mengeluarkan suara melengking, mengikuti gerakan pedangnya yang membabat ke arah leher lawan. Gangga Dewi merendahkan tubuhnya, membiarkan pedang itu lewat di atas kepalanya dan dari bawah ia hendak menotok dengan sabuk sutera yang sudah menegang. Akan tetapi tiba-tiba tangan kiri Ang I Moli bergerak dan ada sinar kecil-kecil merah menyambar ke arah tubuh Gangga Dewi.

   "Uhhh....!"

   Gangga Dewi terkejut, maklum bahwa ia diserang senjata rahasia yang lembut. Cepat ia melompat ke belakang sambil memutar sabuknya yang membentuk payung di depan dirinya. Beberapa batang jarum kecil merah runtuh.

   "Keji....!"

   Bentak Gangga Dewi dan kini sabuk suteranya meluncur ke depan, menotok ke arah ubun-ubun kepala Ang I Moli. Gerakannya amat cepat karena ia tidak ingin memberi kesempatan lagi kepada lawan untuk menggunakan senjata rahasia secara curang. Ang I Moli melihat datangnya serangan yang amat berbahaya itu, maka ia pun mengerahkan tenaganya untuk menangkis dengan pedang.

   "Plakk!"

   Pedang bertemu sabuk sutera yang segera berubah lemas dan melibat pedang. Bukan hanya melibat, juga ujung sabuk itu masih terus ke depan menotok pergelangan tangan.

   "Tukk!"

   Ang I Moli mengeluarkan teriakan kaget karena tiba-tiba saja lengan kanannya menjadi kehilangan tenaga dan di lain saat, sekali renggut Gangga Dewi telah dapat merampas pedang itu melalui libatan sabuk suteranya! Dan sekali ia membuat gerakan mengebut, pedang yang terlibat ujung sabuk itu melayang jauh dan lenyap di antara semak-semak. Wajah Ang I Moli menjadi pucat saking marahnya.

   "Keparat jahanam engkau! Hayo mengaku siapa namamu sebelum kita mengadu nyawa!"

   Gangga Dewi tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak ingin berkenalan dengan iblis betina kejam seperti engkau. Pergilah dan jangan ganggu lagi anak itu, dan semoga Yang Maha Kasih mengampuni semua dosamu."

   Berkata demikian, Gangga Dewi sudah menyimpan kembali sabuk suteranya, dililitkan ke pinggangnya yang ramping. Akan tetapi Ang I Moli terlalu marah untuk mengalah begitu saja.

   "Biar kukirim engkau ke neraka!"

   Bentaknya dan kini ia pun sudah menyerang lagi, mengeluarkan ilmu silat tangan kosong yang amat dahsyat, yaitu Pek-lian Tok-ciang (Tangan Beracun Teratai Putih). Ilmu ini merupakan ilmu pukulan beracun yang bercampur dengan kekuatan sihir, yang didapatkannya dari Pek-lian-kauw. Melihat betapa kedua tangan lawan berubah menjadi putih pucat dan mengeluarkan bau harum-harum keras menyengat hidung, Gangga Dewi mengerutkan alisnya.

   "Omitohud, kiranya engkau iblis dari Pek-lian-kauw?"

   Akan tetapi, Gangga Dewi tidak merasa gentar. Ketika melihat lawan menyerang dengan kedua tangan yang putih pucat itu melakukan gerakan mendorong, ia pun merendahkan tubuhnya dan menangkis dari samping dengan memutar lengannya.

   "Dukkk!"

   Tubuh Gangga Dewi tergetar dan saat itu, secara curang sekali kakinya melayang ke arah selangkangan Gangga Dewi.

   "Uhhh....!"

   Gangga Dewi berseru dan cepat merapatkan kedua kakinya dan miringkan tubuh. Namun, tetap saja pahanya tersentuh dan terdorong oleh kaki Ang I Moli yang melapisi sepatunya dengan besi di bagian bawahnya, Gangga Dewi terpelanting roboh! Melihat lawannya roboh miring, Ang I Moli girang sekali,

   "Mampuslah!"

   Ia berseru dan menubruk ke depan untuk mengirim pukulan terakhir, pukulan maut yang akan menewaskan lawan yang sudah roboh itu.

   "Moli, jangan....!"

   Yo Han masih sempat berteriak ketika melihat Ang I Moli menyusulkan pukulan maut kepada wanita berkerudung yang sudah roboh miring. Akan tetapi tentu saja Ang I Moli sama sekali tidak peduli akan teriakannya itu dan melanjutkan pukulannya dengan telapak putih pucat dari ilmu pukulan Pek-lian Tok-ciang! Akan tetapi, ketika ia tertendang dan terpelanting, Gangga Dewi memang sengaja membiarkan dirinya terjatuh miring dan ia sengaja pula bersikap lambat sehingga memberi kesempatan kepada lawan untuk mengirim pukulan terakhir itu. Padahal, setelah kaki tangannya menempel pada tanah, diam-diam ia mengerahkan ilmu simpanan yang dahulu dipelajarinya dari ayahnya. Maka, begitu lawan mengirim pukulan maut, ia pun segera mengangkat kedua tangannya, dengan telapak tangan terbuka ia menyambut pukulan itu.

   "Dessss....!"

   Hebat bukan main pertemuan antara dua tenaga itu.

   Tubuh Ang I Moli terlempar ke atas seperti layang-layang putus talinya dan ia pun terpelanting jatuh ke atas tanah! Bukan main kagetnya Ang I Moli! Ia tidak tahu ilmu apa yang dipergunakan wanita berkerudung itu. Ia tidak tahu bahwa itulah Tenaga Inti Bumi! Masih untung baginya bahwa tenaga rahasia yang dimiliki atau dikuasai Gangga Dewi belum mencapai puncaknya. Kalau demikian halnya, ia bukan hanya akan terlempar dan terbanting jatuh, juga mungkin ia akan tewas seketika karena guncangan hebat akan meremukan isi dada dan perutnya. Ang I Moli bangkit dan wajahnya pucat, matanya terbelalak. Ia merasa gentar sekali, akan tetapi melihat Yo Han keluar dari balik pohon, ia merasa penasaran dan menyesal bahwa ia tidak dapat memiliki pemuda itu. Kekecewaan ini menimbulkan kemarahan dan kebencian hebat.

   "Mampuslah!"

   Bentaknya dan ketika tangan kirinya bergerak, sinar merah menyambar ke arah Yo Han.

   "Awas....!"

   Gangga Dewi berteriak, dan ia cepat meloncat ke arah Yo Han untuk menyelamatkan anak itu. Namun terlambat.

   Yo Han mengeluh dan roboh terjengkang ketika dadanya disambar sinar merah kecil-kecil itu. Gangga Dewi tidak mempedulikan lagi Ang I Moli yang melarikan diri sambil terkekeh-kekeh. Ia cepat berlutut dan membuka kancing baju Yo Han. Anak itu roboh telentang dengan muka pucat dan napas terengah-engah, matanya terpejam dan agaknya ia pingsan. Ketika Gangga Dewi menyentuh dadanya, ia terkejut. Bukan main panasnya dada itu, seperti dibakar. Dan ada lima bintik merah di dada anak itu. Ketika ia meraba, tahulah ia bahwa ada lima batang jarum masuk ke dalam dada, masuk seluruhnya dan hanya tinggal ujungnya saja nampak terbenam di kulit. Jarum-jarum itu kecil, tidak merusak isi dada, akan tetapi tentu mengandung racun jahat. Dan racun itu tentu menodai darah anak ini, padahal letaknya demikian dekat dengan jantung! Sungguh berbahaya sekali.

   "Anak yang malang....!"

   Katanya dan ia pun bersila di dekat tubuh Yo Han, lalu menghimpun tenaga sakti, menggosok kedua telapak tangannya, kemudian ia menggunakan telapak tangan kanannya ditempelkan di dada, menutupi lima bintik merah itu. Ia mengerahkan sin-kangnya, menyedot dan setelah dahinya basah oleh keringat, dari balik kerudung kepalanya mengepul uap putih, akhirnya ia berhasil. Lima batang jarum itu kini nampak tersembul keluar. Gangga Dewi menggunakan saputangan sutera, mencabuti lima batang jarum yang amat lembut itu, jarum yang merah kehitaman warnanya. Jelas jarum-jarum itu beracun, pikirnya.

   "Iblis betina kejam....!"

   Katanya lirih, kemudian setelah membuang jarum-jarum itu, ia memeriksa luka bekas jarum.

   "Omitohud....!"

   Serunya kaget dan heran. Ia melihat darah merah kehitaman keluar dari lima luka kecil itu, seolah olah darah beracun itu didorong dari dalam! Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki sin-kang yang sudah amat kuat. Mungkinkah anak ini memiliki sin-kang yang sedemikian kuatnya sehingga tenaga sakti dari dalam tubuh itu mampu dikerahkan untuk mendorong keluar darah beracun dari luka-luka sekecil itu? Akan tetapi, andaikata benar demikian, hal itu pun sama sekali tidak mungkin. Anak ini jelas dalam keadaan pingsan! Tidak mungkin dalam keadaan pingsan dia mampu mengerahkan sin-kangnya. Kalau bukan tenaga sin-kang, lalu tenaga apa yang demikian hebatnya, yang dapat bekerja selagi orangnya pingsan, mampu mendorong keluar racun dari dalam tubuh?

   "Omitohud....!"

   Kembali wanita itu memuji kebesaran Yang Maha Kasih dan matanya terbelalak mengamati dada itu. Kini darah yang keluar dari lima luka kecil itu sudah berwarna merah bersih, berarti bahwa racunnya sudah terdorong keluar semua. Darah merah itu menetes-netes. Ketika ia merabanya, dada itu tidak panas lagi, napas anak itu tidak terengah lagi, dan agaknya dia tidur pulas!

   
Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Omitohud....!"

   Gangga Dewi terheran-heran dan kagum, lalu mengeluarkan obat dari bungkusan yang dilihatnya berada di dekat anak itu, bungkusan obat bubuk yang tadi ia berikan kepadanya. Ditaburkannya bubuk obat luka itu pada lima luka kecil dan darah pun berhenti menetes. Ia mengenakan lagi baju anak itu yang tadi ia buka, dan diam-diam ia merasa aneh. Kalau menurut perhitungannya, orang yang terkena luka batang jarum beracun seperti itu, di dadanya, kecil sekali harapannya untuk dapat diselamatkan nyawanya.

   Akan tetapi anak ini, tanpa pengobatan, hanya ia bantu agar jarum-jarum itu keluar, telah dapat sembuh dengan sendirinya, racun berbahaya itu dapat keluar dengan sendirinya, tanpa disengaja, karena anak itu pun masih dalam keadaan pingsan! Sungguh selama hidupnya, belum pernah Gangga Dewi melihat hal seperti ini, bahkan mendengar pun belum pernah. Ilmu apa yang dimiliki anak ini sehingga ada kekuatan mujijat yang melindunginya? Setelah mengenakan kembali pakaian Yo Han, Gangga Dewi lalu menekan tengah-tengah bawah hidung, sedikit di atas bibir, dengan jari telunjuknya. Yo Han mengeluh dan membuka matanya. Ketika, melihat wajah wanita berkerudung itu, Yo Han segera teringat akan semua yang terjadi dan dia pun bangkit duduk.

   "Di mana wanita jahat itu?"

   "Tenanglah, anak yang baik. Ia sudah pergi melarikan diri."

   "Aahhhh.... jadi Locianpwe berhasil mengusirnya?"

   Kata Yo Han dengan hati lega.

   "Aku tadinya sudah khawatir sekali melihat Locianpwe roboh...."

   Gangga Dewi tersenyum dan menarik napas panjang. Pahanya yang kena tendang masih berdenyut nyeri.

   "Ia memang licik dan lihai sekali, akan tetapi untunglah aku berhasil mengusirnya. Bagaimana dengan lehermu?"

   Gangga Dewi sengaja tidak menyinggung dulu soal luka di dada. Yo Han meraba luka di lehernya yang tadi dihisap darahnya oleh Ang I Moli.

   "Sudah kering berkat obat Locianpwe yang amat manjur. Ihhh, wanita itu sungguh mengerikan. Ia.... ia menghisap darahku!"

   "Dan bagaimana dengan dadamu?"

   "Dadaku? Kenapa, Locianpwe?"

   Gangga Dewi menatap tajam wajah anak itu, penuh selidik.

   "Tidak tahukah engkau bahwa dadamu terluka oleh jarum-jarum beracun?"

   "Ahhh...?"

   Yo Han terkejut.

   "Aku tidak tahu, Locianpwe."

   Dia meraba dadanya dan menggigit bibir.

   "Sakitkah?"

   "Perih sedikit."

   "Coba bernapas yang dalam dan rasakan, apakah terasa nyeri di sebelah dalam?"

   Yo Han menarik napas panjang dan merasakan, lalu menggeleng kepalanya.

   "Tidak ada yang sakit, Locianpwe."

   Gangga Dewi terheran-heran. Ia masih duduk bersila dan anak itu pun kini duduk di atas rumput. Mereka saling pandang sejenak dan Yo Han lalu berkata,

   "Locianpwe telah menolong dan menyelamat-kan aku dari ancaman wanita jahat itu. Terima kasih, Locianpwe. Semoga Tuhan berkenan memberi kesempatan kepadaku untuk membalas budi kebaikan Locianpwe ini."

   Gangga Dewi semakin kagum mendengar ucapan Yo Han. Seorang bocah yang luar biasa sekali.

   "Anak yang baik, siapakah engkau? Siapa namamu dan dari mana engkau datang?"

   "Namaku Yo Han, Locianpwe. Aku hidup sebatangkara, yatim piatu dan aku sedang dalam perjalanan mengikuti Ang I Moli."

   "Omitohud, anak yang patut dikasihani. Engkau sebatang kara? Akan tetapi bagaimana engkau dapat bersama-sama seorang iblis betina seperti Ang I Moli?"

   "Aku tidak tahu bahwa ia sedemikian jahatnya, Locianpwe. Aku.... aku menjadi muridnya dan sedang ia ajak pergi ke tempat tinggalnya, entah di mana. Setelah tiba di sini, ternyata ia berubah mengerikan dan hendak membunuhku, menghisap darahku...., ihh, mengerikan sekali. Ia seperti bukan manusia lagi."

   "Omitohud! Sudah menjadi kehendak Yang Maha Kasih bahwa kebetulan sekali aku datang ke kuil ini untuk bermalam. Yo Han, sudah berapa lama engkau menjadi murid Ang I Moli?"

   "Baru kurang lebih dua minggu."

   "Ehh? Jadi, engkau belum belum belajar ilmu silat darinya?"

   "Sama sekali belum dan juga tidak. Aku tidak suka belajar ilmu silat, Locianpwe."

   "Apakah selama ini engkau belum pernah mempelajari ilmu silat?"

   "Aku belum pernah latihan ilmu silat,"

   Kata Yo Han. Dia tidak mau berbohong. Memang sudah banyak dia mempelajari ilmu silat, dari suhu dan subonya di Tatung, akan tetapi dia hanya menghafal saja, dan tidak pernah berlatih. Dia tidak mau membawa-bawa nama suhu dan subonya, maka dia mengatakan saja bahwa dia belum pernah latihan silat, dan ini memang benar. Tentu saja jawaban ini membuat Gangga Dewi menjadi semakin terkejut dan heran. Selamanya belum pernah latihan silat. Akan tetapi, lima batang jarum memasuki dadanya dan dia selamat! Dan anak yang tidak bisa silat ini begitu berani dan tabahnya, berani menentang seorang iblis betina seperti Ang I Moli! Padahal, sekali pukul saja iblis itu dapat membunuhnya! Anak apakah ini?

   "Yo Han, ketera-nganmu sungguh membuat aku menjadi bingung. Engkau tidak suka belajar ilmu silat. Engkau seorang anak yang baik dan tidak suka akan kejahatan. Akan tetapi engkau melakukan perjalanan bersama Ang I Moli sebagai muridnya! Bagaimana ini? Keadaanmu serba bertolak belakang. Kenapa engkau bisa menjadi murid seorang seperti Ang I Moli dan apa yang hendak kau pelajari darinya kalau bukan ilmu silat?"

   Yo Han menarik napas panjang. Di antara segala macam kepalsuan yang dilihatnya dilakukan manusia, adalah membohong. Dia tidak suka berbohong. Akan tetapi dia pun tidak suka bicara tentang suhu dan subonya.

   "Begini, Locianpwe. Aku terpaksa menjadi muridnya walaupun aku tidak akan mau belajar ilmu silat darinya."

   "Engkau dipaksa menjadi muridnya dengan ancaman?"

   "Tidak, akan tetapi aku sudah berjanji kepadanya. Ketika itu, dua pekan yang lalu, ia menculik seorang anak perempuan. Aku membujuknya untuk mengembalikan anak itu kepada orang tuanya. Ia mau mengembalikan anak itu asal aku mau menukarnya dengan diriku. Anak itu dibebaskan akan tetapi aku harus ikut dengannya, menjadi muridnya. Karena aku ingin anak itu dikembalikan kepada orang tuanya, maka aku menyanggupi., Demikianlah, anak itu selamat dan aku pun ikut dengannya sampai ke sini."

   "Bukan main! Luar biasa! Omitohud.... belum pernah aku mendengat hal seperti ini....!"

   Kata Gangga Dewi dan ia pun tertegun. Bocah ini, bocah yang usianya baru dua belas tahunan, telah mengorbankan diri untuk menolong seorang anak lain! Dan bocah ini sama sekali tidak pernah belajar silat, akan tetapi memiliki keberanian seperti seorang pendekar sejati! Lebih lagi, bocah ini tidak tewas biarpun terkena lima batang jarum di dadanya, jarum-jarum beracun yang ia tahu amat jahat dan mematikan karena dilepas oleh seorang iblis betina seperti Ang I Moli! Anak apakah ini?

   "Ah, Locianpwe. Apanya yang luar biasa? Locianpwe sendiri sama sekali tidak mengenalku, akan tetapi Locianpwe telah turun tangan menolongku sehingga aku terhindar dari bahaya maut di tangan iblis itu. Saling bantu di antara manusia merupakan suatu kewajiban, bukan?"

   "Omitohud.... engkau benar sekali, Yo Han. Sekarang aku mulai mengerti mengapa iblis itu ingin sekali menghisap darahmu. Engkau bagaikan Tong Sam Cong, sang perjaka saleh yang melakukan perjalanan ke barat itu. Dalam cerita See-yu, perjaka Tong Sam Cong yang melakukan perjalanan ke barat untuk memperdalam agama dan mencari kitab-kitab suci, juga dihadang oleh segala macam iblis dan siluman yang ingin menghisap darahnya."

   Yo Han tertawa dan kembali Gangga Dewi menjadi terkejut.

   "Ha-ha-ha, Locianpwe sungguh lucu. Kalau aku dianggap Tong Sam Cong, lalu siapa yang menjadi Sun Go Kong, See Ceng dan Ti Pat Kay?"

   "Engkau tahu pula akan cerita See-yu-ki?"

   "Locianpwe, aku adalah seorang kutu buku. Hampir semua kitab kuno telah kubaca habis. Dongeng-dongeng seperti See-yu-ki, Hong-sin-pong, Sie Jin Kui, Sam Kok dan yang lain telah saya baca semua!"

   "Omitohud.... engkau memang anak ajaib! Anak yatim piatu, sebatang kara, dalam usia dua belas tahun telah membaca semua dongeng kuno yang mengandung filsafat itu! Engkau sudah pula membaca Su-si Ngo-keng?"

   Dapat dibayangkan betapa Gangga Dewi melongo ketika melihat anak itu mengangguk dan menjawab dengan sikap bersahaja,

   "Juga banyak kitab Agama Buddha, kitab sejarah yang penuh kekerasan."

   Setelah sejenak tak mampu bicara saking kagum dan herannya, Gangga Dewi lalu bertanya,

   "Yo Han, setelah kini engkau terbebas dari Ang I Moli, engkau hendak ke mana? Apa yang akan kau lakukan?"

   "Locianpwe, aku seperti burung yang bebas terbang di udara. Aku tidak terikat oleh apapun juga. Melihat kejahatan Ang I Moli yang sudah tidak mengakui aku sebagai muridnya lagi, andaikata tidak ada Locianpwe yang menolongku, tentu aku pun tidak suka lagi bersamanya. Kini aku bebas, aku hendak pergi ke mana saja kakiku membawaku. Akan tetapi kalau mungkin, aku ingin sekali melihat kota Ceng-tu di Propinsi Secuan."

   Untuk ke sekian kalinya Gangga Dewi tertegun. Anak ini penuh kejutan, pikirnya. Sekecil ini sudah bicara tentang Propinsi Se-cuan, jauh di barat.

   "Kota Ceng-tu di Se-cuan? Pernahkah engkau ke sana!"

   Yo Han menggeleng kepala.

   "Akan tetapi aku tahu di mana letaknya, Locianpwe. Pernah aku mempelajari ilmu bumi dari kitab. Letaknya di barat, bukan? Kalau dari sini, menuju ke barat daya, melalui Propinsi-propinsi San-si, Shen-si, lalu masuk Propinsi Se-cuan."

   Gangga Dewi yang baru saja melewati propinsi-propinsi itu ketika ia meninggalkan Bhutan, tersenyum. Keanehan anak ini demikian luar biasa sehingga terdengar lucu!

   "Anak baik, kalau boleh aku mengetahui. Engkau hendak ke Ceng-tu di Se-cuan ada keperluan apakah?"

   "Locianpwe, baru-baru ini aku membaca kitab sejarah dan aku ingin sekali melihat batu monumen yang didirikan oleh Chang Sian Cung."

   "Ahhh? Batu monumen terkutuk itu? Engkau tahu tentang batu monumen itu?"

   "Aku. telah membaca sejarahnya, Locianpwe. Bukankah di batu monumen itu terdapat satu huruf saja, yaitu hurufyang berbunyi BUNUH? Aku ingin melihatnya sendiri."

   "Yo Han, engkau tidak suka akan kejahatan dan kekerasan, kenapa engkau ingin melihat batu monumen terkutuk, lambang kekejaman dan pembunuhan itu?

   "Kisah itu amat mengesankan hatiku, Locianpwe. Kekejaman Chang Sian Cung itulah yang telah menggerakkan hatiku sehingga aku tidak suka mempelajari ilmu silat, tidak suka menggunakan kekerasan untuk mencelakai orang."

   Gangga Dewi bergidik membayangkan kekejaman yang terjadi seratus tahun lebih yang lalu di Propinsi Se-cuan. Ia pun sudah mendengar akan kisah itu. Seratus tahun lebih yang lalu, dalam tahun 1649, yang berkuasa di Se-cuan adalah seorang penguasa yang bernama Chang Sian Cung. Ketika itu, baru saja bangsa Mancu menguasai Tiongkok dan dalam masa peralihan itu, di mana-mana timbul pengingkaran terhadap kerajaan yang sedang diancam runtuh oleh penyerangan bangsa Mancu. Raja-raja muda, penguasa-penguasa daerah, kehilangan pegangan dan karena melihat betapa kota raja terancam, mereka pun mengumumkan pengangkatan diri mereka sebagai penguasa yang berdaulat penuh, tidak lagi menjadi hamba atau pamong praja yang bekerja di bawah pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw.

   Chang Sian Cung adalah seorang penguasa di Se-cuan yang memiliki watak sedemikian kejamnya sehingga mendekati tidak normal atau gila! Siapa pun orangnya yang tidak berkenan di hati, dibunuh-nya! Bahkan pernah dia memerintahkan para perajuritnya untuk membunuh isteri mereka masing-masing, hanya karena dia tidak ingin melihat pengeluaran terlalu besar kalau para perajuritnya diikuti isteri-isteri mereka! Yang tidak mentaati perintah ini, dibunuh sendiri! Chang Sian Cung mengangkat diri menjadi seperti seorang raja, didukung oleh anak buahnya dan dia begitu takut kalau sampai kedudu-kannya diganggu orang, maka setiap ada orang yang nampak kuat, lalu disuruhnya bunuh. Dalam waktu beberapa bulan saja, hampir semua laki-laki di daerah itu yang bertubuh kuat dan dianggap berbahaya, dibunuh tanpa dosa!

   "Omitohud.... mengapa engkau ingin melihat batu monumen yang melambangkan kekejaman yang tiada taranya itu? Ketahuilah, hampir semua orang di daerah itu, terutama kaum prianya yang bertubuh kuat, dibunuh oleh Chang Sian Cung sehingga sampai kini, lebih banyak pendatang dari Propinsi Hu-pei dan Shen-si tinggal di Se-cuan, dibandingkan penduduk aselinya yang tinggal sedikit."

   "Aku telah membaca pula tentang hal itu, Locianpwe. Menurut catatan sejarah, Chang Sian Cung mendirikan batu monumen dengan huruf berbunyi BUNUH itu untuk menakut-nakuti, rakyat. Dan setelah dia meninggal, batu monumen itu oleh rakyat dibalikkan agar huruf itu tidak dapat dilihat. Kabarnya, kalau batu monumen ini dibalikkan lagi sehingga huruf itu dapat terbaca, maka Chang Sian Cung akan lahir kembali untuk melanjutkan kekejamannya di dunia."

   Gangga Dewi mengangguk-angguk dan tersenyum.

   "Memang benar demikian, akan tetapi yang terakhir itu hanya dongeng dan tahyul belaka, Yo Han. Kehidupan manusia hanya selewatan saja, betapapun baik maupun buruknya. Semua itu lewat dan takkan pernah kembali. Tak mungkin Chang Sian Cung yang sudah mati itu akan kembali melanjutkan kebiadabannya, kecuali sebagai manusia lain, di tempat lain dan dengan jalan hidup yang berlainan pula. Semua perbuatan manusia hanya akan menjadi pengalaman yang lewat dan menjadi contoh mereka yang hidup kemudian. Dan perjalanan ke Se-cuan bukan perjalanan yang dekat dan mudah. Apalagi sekarang di Barat sudah mulai tidak aman, banyak bergolakan dan pembesar daerah mulai memperlihatkan sikap menentang terhadap pemerintah bangsa Mancu di timur."

   "Locianpwe, aku tidak takut menghadapi kesukaran, tidak takut menghadapi pergolakan."

   Gangga Dewi tersenyum.

   Kalau ia tidak berhadapan sendiri, tidak melihat dan mendengar sendiri, kalau hanya diceritakan orang lain, tentu ia tidak akan percaya ada seorang anak berusia dua belas tahun seperti ini! Seorang anak yatim piatu, lemah dan miskin, namun memiliki keberanian yang sepantasnya hanya dimiliki seorang pendekar sakti! Anak seperti ini memiliki harga diri yang tinggi, kalau ia menawarkan diri untuk menjadi guru anak ini, belum tentu dia mau menerimanya. Kalau tadinya dia suka menjadi murid seorang wanita iblis seperti Ang I Moli, hal itu adalah karena dia hendak menolong seorang anak perempuan yang diculik iblis betina itu. Anak ini keras hati, namun lembut dan rendah hati, siap untuk menolong siapa saja. Ia harus pandai mengambil hatinya kalau ia ingin menuruti dorongan hatinya yang amat sangat yaitu mengangkat anak ini sebagai muridnya!

   "Yo Han, aku telah mendengar tentang riwayatmu, walau hanya sedikit. Engkau sebatang kara, yatim piatu tidak mempunyai keluarga, hidup seorang diri saja di dunia ini, bukan? Nah, engkau boleh pula mengenalku. Namaku Gangga Dewi, aku berasal dari Bhutan, ibuku seorang puteri Bhutan dan ayahku seorang pendekar bangsa Han. Aku pun hidup seorang diri dan aku sedang melakukan perjalanan ke timur untuk mencari ayahku yang sudah lama sekali meninggalkan Bhutan."

   "Locianpwe seorang yang pandai dan berilmu tinggi, tentu akan dapat berhasil dalam usaha Locianpwe itu."

   Gangga Dewi menghela napas panjang

   "Agaknya tidak akan semudah itu, anak yang baik. Semenjak dewasa aku tidak pernah berkunjung ke timur. Akan tetapi aku sudah lupa lagi dan daerah timur merupakan tempat asing bagiku. Kalau saja engkau suka menolongku, Yo Han."

   "Menolong Locianpwe? Aku....? Aih, bagaimana seorang anak bodoh seperti aku akan dapat menolongmu, Locianpwe?"

   Yo Han bertanya dengan heran, sepasang mata yang jernih itu menatap wajah wanita setengah tua yang memiliki raut muka yang lembut dan cantik akan tetapi pandang mata dan sikapnya mengandung kekerasan itu.

   "Yo Han, aku seorang asing di tempat ini. Aku tidak tahu ke mana aku harus mencari ayahku. Aku hampir putus asa mencarinya tanpa hasil. Aku sudah melakukan perjalanan amat jauh dan lama, dari Bhutan namun sampai kini tidak berhasil. Maukah engkau menolongku, Yo Han, menemaniku dan membantuku mencari keterangan tentang ayahku itu? Karena engkau seorang bocah bangsa Han, kukira akan lebih mudah mencari keterangan dan tidak akan dicurigai orang, tidak seperti kalau aku yang bertanya-tanya."

   Dua pasang mata itu bertemu dan Yo Han melihat betapa mata wanita itu memandangnya penuh harap, penuh permintaan. Dia merasa kasihan, dan juga baru saja dia diselamatkan oleh wanita ini, bahkan mungkin diselamatkan dari ancaman maut yang mengerikan. Baru saja orang ini menolongnya, menyelamatkan nyawanya. Kalau sekarang penolongnya ini minta bantuannya untuk mencarikan ayahnya, bagaimana dia akan mampu menolaknya? Kalau dia menolak, berarti dia merupakan orang yang paling bo-ceng-li (tak tahu aturan) dan tidak mengerti budi. Dengan tegas dia mengangguk.

   

Kisah Si Bangau Putih Eps 30 Suling Naga Eps 32 Suling Naga Eps 28

Cari Blog Ini