Ceritasilat Novel Online

Si Bangau Merah 6


Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Itu mereka!"

   Teriak Ang I Moli yang tadi menyambitkan senjata rahasianya yang beracun berupa jarum dan yang telah dielakkan oleh Gangga Dewi.

   "Akhirnya kita dapat menemukan mereka!"

   Kini tiga orang itu telah tiba di depan Gangga Dewi yang seolah melindungi Yo Han yang berada di belakangnya.

   Melihat cara mereka berlari mendaki dengan amat cepat itu, tahulah Gangga Dewi bahwa dua orang yang datang bersama Ang I Moli itu pun bukan orang-orang lemah. Ia memandang dengan penuh perhatian. Dua orang itu adalah laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Yang seorang bertubuh gendut dengan perut seperti perut kerbau dan mukanya bulat, sedangkan yang kedua bertubuh kecil katai seperti anak berusia balasan tahun, akan tetapi mukanya penuh keriput dan kelihatan jauh lebih tua datipada usia sebenarnya. Mereka itu mengenakan jubah pendeta dengan rambut digelung ke atas seperti kebiasaan yang dilakukan para tosu (pendeta To). Tosu yang gendut dengan muka seperti kanak-kanak selalu tersenyum cerah akan tetapi sinar matanya kejam itu tertawa.

   "Ha-ha-ha, Moli! Engkau mengganggu ketenangan kami, mengajak kami berlari-lari mengejar, kiranya yang kau cari hanya seorang bocah seperti itu, dapat kita temukan ratusan orang banyaknya di pasar, tinggal pilih. Kenapa susah-susah?"

   "Hemmm, engkau mana tahu? Sudahlah, anak itu urusanku, aku mengajak kalian untuk menghadapi perempuan asing ini!"

   Kata Ang I Moli.

   "Moli, engkau bilang bahwa engkau tidak mampu mengalahkan perempuan ini? Aneh sekali! Apa sih keahliannya?"

   Kata pula tosu yang katai kecil memandang rendah Gangga Dewi. Gangga Dewi menegakkan kepalanya dan sepasang matanya mencorong penuh kemarahan, memandang kepada tiga orang itu dengan sikap angkuh.

   "Ang I Moli, engkau sungguh seorang iblis betina yang tidak tahu malu! Anak ini tidak sudi ikut denganmu karena engkau jahat, cabul dan keji, dan engkau hendak memakannya, hendak membunuhnya dengan minum darahnya. Aku mencegah terjadinya kekejaman itu dan hanya menghajarmu agar engkau menyadari kesesatanmu. Kiranya sekarang engkau datang mengajak dua orang kawanmu! Hemm, agaknya memang sudah sepantasnya orang macam engkau yang berwatak iblis ini dibasmi dari permukaan bumi!"

   "Kwan Suheng dan Kui Suheng, kalian hadapi perempuan asing itu, biar aku yang akan menangkap bocah itu!"

   Ang I Moli berseru.

   "Heh-heh-heh, Moli Sumoi (Adik Seperguruan) yang baik. Kenapa harus repot-repot? Biar kami menundukkan mereka agar mereka menyerah dengan suka rela, tidak perlu merepotkan dan melelahkan badan,"

   Kata tosu gendut.

   "Benar, kami akan tundukkan mereka dengan sihir!"

   Kata tosu katai. Mereka adalah suheng (kakak seperguruan) Ang I Moli dalam perkumpulan Pek-lian-kauw, yang gendut bernama Kwan Thian-cu, yang katai bernama Kui Thian-cu.

   Kini keduanya melepas ikatan rambut sehingga rambut mereka riap-riapan, dan Kwan Thian-cu mencabut golok, Kui hian-cu mencabut pedang. Akan tetapi mereka tidak menggunakan senjata itu untuk menyerang, melainkan mereka memegang senjata itu lurus di depan muka seperti mencium senjata itu. Mata mereka terpejam, mulut berkemak kemik membaca doa, tangan kiri membuat gerakan melingkar-lingkar di depan dada, kemudian telunjuk kiri membuat coret-coret di udara seperti sedang melukis atau menuliskan sesuatu. Kemudian dengan senjata mereka di kedua tangan, mereka membuat gerakan menyembah ke atas, lalu ke bawah, lalu ke empat penjuru. Barulah mereka membuka mata memandang kepada Gangga Dewi dan Yo Han, dan kini Si Katai mengeluarkan suara yang terdengar penuh wibawa.

   "Dengar dan lihatlah, perempuan berkerudung kuning, dan engkau anak laki-laki! Semua kekuatan hitam di empat penjuru membantu kami! Kekuasaan langit dan bumi melindungi kami! Kalian berdua akan tunduk dan menurut kepada kami, melakukan apa saja yang kami perintahkan! Sanggupkah kalian?"

   Gangga Dewi terkejut bukan main. Ia merasa betapa bulu tengkuknya meremang, tanda bahwa ada hawa atau kekuatan yang tidak wajar sedang menyerang dan mempengaruhinya. Kata-kata yang keluar dari mulut Si Katai itu menembus hatinya. Ia tahu bahwa dua orang tosu itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang lihai dan ia pernah melatih diri dengan menghimpun kekuatan batin untuk menolak pengaruh sihir. Ia sudah mengerahkan tenaga itu, akan tetapi ada dorongan yang amat kuat membuat ia terpaksa membuka mulut.

   "Aku sang.... sang...."

   Ia mengerahkan seluruh tenaga untuk menghentikan pengaruh itu agar ia tidak mengatakan sanggup. Pada saat ia bersitegang melawan pengaruh yang semakin kuat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa di belakangnya.

   "Ha-ha-heh-heh, lihat, Bibi Gangga Dewi! Dua orang tosu itu sungguh lucu. Apa yang sedang mereka lakukan itu? Apakah mereka itu dua orang anak wayang yang sedang membadut?"

   Mendengar suara ketawa dan ucapan Yo Han itu, seketika lenyaplah pengaruh sihir yang hampir menguasai dirinya dan lenyap pula "hawa"

   Yang membangkitkan bulu roma tadi. Dua orang tosu itu terbelalak memandang ke arah Yo Han. Ketika anak itu tertawa lalu bicara,

   Mereka berdua merasa betapa kekuatan sihir mereka yang mereka kerahkan itu membalik seperti gelombang melanda diri mereka sendiri sehingga mereka menjadi sesak napas dan terpaksa menghentikan ilmu sihir itu! Ang I Moli juga melihat semua ini dan ia berkata.

   "Nah, sudah kukatakan bahwa anak itu bukan anak sembarangan. Dia terkena jarum-jarumku tapi tidak mati, dan segala kekuatan sihir tidak mempengaru-hinya. Sekarang baru kalian percaya? Hayo kalian bunuh perempuan asing itu dan aku yang akan menangkap anak itu!"

   Kalau Gangga Dewi, Ang I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw itu tercengang keheranan melihat peristiwa tadi, Yo Han sendiri tidak merasakan sesuatu yang aneh. Dia memang tidak merasakan apa-apa, dan kalau tadi dia mentertawakan dua orang tosu itu karena memang dia merasa heran dan geli melihat tingkah mereka.

   Sama sekali dia tidak mengerti bahwa dua orang tosu itu mela-kukan sihir, dan sama sekali dia pun tidak tahu bahwa suara ketawanya membuyarkan semua pengaruh sihir mereka. Di luar kesadarannya sendiri, ada kekuatan mujijat dari kekuasaan Tuhan yang selalu melindungi anak ini. Kekuatan mujijat ini mungkin saja timbul karena kepercayaannya yang total kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Bukan sekedar percaya di mulut seperti yang dimiliki kebanyakan orang. Kita semua mengaku berTuhan, akan tetapi pengakuan kita itu sungguh amat meragukan, apakah pengakuan itu timbul dari dalam dan sesungguhnya, ataukah pengakuan itu hanya keluar dari pikiran yang bergelimang nafsu. Kalau hanya pengakuan mulut dan pikiran saja, tidak ada gunanya sama sekali. Buktinya, kita mengaku berTuhan namun kita masih berani melakukan hal-hal yang tidak benar.

   Kita adalah orang-orang munafik yang teringat kepada Tuhan hanya kalau kita membutuhkan pertolongan atau perlindu-ngan saja, hanya teringat kepada Tuhan kalau kita sedang menderita. Kita melupakan Tuhan begitu nafsu mencengkeram kita, begitu kita berenang di lautan kesenangan duniawi. Sejak kecil sekali, melalui kitab-kitab yang dibacanya, kemudian dikembangkan oleh perasaan yang peka, Yo Han bukan sekedar mengaku berTuhan. Melainkan dia dapat merasakan kekuasaanNya dalam diri, yakin dan selalu ingat, selalu pasrah. Begitu mutlak kepercayaannya kepada Tuhan sehingga ia pasrah dan menyerah. Hanya kepada Tuhanlah dia berlindung karena dia tidak beribu-bapa lagi dan ancaman maut tidak cukup kuat untuk membuat dia takut dan lupa akan kepasrahan dan penyerahannya.

   Inilah yang membuat dia di luar kesadarannya, selalu diliputi kekuasaan Tuhan. Dan di dunia ini, kekuatan atau kekuasaan apakah yang mampu menandingi kekuasaan Tuhan? Apalagi hanya permainan sihir dari dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, permainan sihir yang bersandar kepada kekuasaan iblis, tentu saja tidak depat menyentuh Yo Han yang sudah dilindungi kekuasaan maha dahsyat yang tidak nampak. Kwan Thian-cu dan Kui Tuian-cu saling pandang dan mereka merasa betapa tengkuk mereka dingin. Belum pernah selama hidup mereka ada orang yang mampu membuyarkan kekuatan sihir mereka tanpa pengerahan kekuatan batin. Kalau hanya lawan yang memiliki kekuatan batin tanggung-tanggung saja, tentu akan menyerah dan tunduk terhadap kekuatan sihir mereka berdua yang disatukan.

   Akan tetapi anak kecil itu, anak belasan tahun, hanya dengan ketawa polosnya telah mampu membuyarkan kekuatan sihir mereka? Ataukah wanita peranakan barat itu yang memiliki kemampuan ini? Akan tetapi mereka lihat betapa tadi wanita itu sudah hampir menyerah kepada mereka. Diam-diam mereka bergidik dan jerih terhadap anak kecil itu. Maka, mendengar permintaan Ang I Moli, mereka merasa girang. Lebih nyaman di hati menghadapi dan mengeroyok wanita itu daripada harus menangkap anak ajaib itu! Mereka lalu meloncat dan menyerang Gangga Dewi dengan senjata mereka. Gangga Dewi mengelak dengan lompatan ke sampihg sambil menggerakkan tangan melolos sabuk sutera putihnya. Akan tetapi dua orang tosu Pek-lian kauw itu mendesak, dengan serangan-serangan mereka yang ganas.

   Sungguh janggal sekali melihat dua orang berpakaian pendeta kini memainkan golok dan pedang, menyerang seorang wanita dengan dahsyat dan buas, dengan muka beringas dan nafsu membunuh menguasai mereka, membuat mereka seperti dua ekor binatang buas yang haus darah. Mutu batin seseorang tidak terletak pada pakaiannya atau kedudukannya. Akan tetapi, kita sudah terlanjur hidup di dalam masyarakat di mana nilai-nilai kemanusiaan diukur dari keadaan lahiriahnya, dari pakaiannya. Pangkat, kedudukan, predikat dan pekerjaan, harta, bahkan sikap dan kata-kata hanya merupakan pakaian belaka. Semua itu dapat menjadi topeng yang palsu. Namun, kita sudah terlanjur suka akan yang palsu-palsu. Kita menghormati seseorang karena hartanya, karena pangkatnya. Kita menilai seseorang dari kedudukannya, dari sikapnya.

   Padahal, seorang pendeta belum tentu saleh, seorang pembesar belum tentu bijaksana, seorang hartawan belum tentu dermawan, seorang yang bermulut manis belum tentu baik hati. Kita tersilau oleh kulitnya, sehingga tidak lagi mampu melihat isinya. Hal ini disebabkan karena batin kita sebagai penilai juga sudah bergelimang nafsu, sehingga penilaian kita pun didasari keuntungan diri kita sendiri. Yang menguntungkan kita lahir batin itulah baik, yang merugikan kita lahir batin itulah buruk! Karena kita semua tahu bahwa yang dinilai tinggi oleh manusia adalah pakaiannya, yaitu nama besar, harta dunia, kedudukan tinggi, penampilan dan semua pulasan luar, maka kita pun berlumba untuk mendapatkan semua itu. Kita memperebutkan kedudukan, harta dan sebagainya karena dari kesemuanya itulah kita mendapat penghargaan dan penghormatan.

   Kita lupa bahwa penghargaan dan penghormatan semua itu adalah palsu, kita lupa bahwa yang dihormati adalah pakaian kita, harta kita, kedudukan kita, nama kita! Kita semua makin hari makin lelap dalam alam kemunafikan. Kita seyogianya bertanya kepada diri sendiri. Apakah kita termasuk ke dalam kelompok munafik ini? Bilakah kita akan sadar dari kelelapan kemunafikan ini, menjadi penganut peradaban yang tidak beradab, kemoralan yang tidak bermoral? Pertanyaan selanjutnya, kalau sudah menyadari keadaan yang buruk ini, beranikah kita untuk keluar dari dunia kemunafikan ini dan hidup baru sebagai manusia seutuhnya? Manusia yang patut disebut manusia, makhluk kekasih Tuhan, yang berakal pikir, berakhlak, bersusila, berbudi dan berbakti kepada Sang Maha Pencipta?

   Kesadaran seperti itu hanya dapat timbul apabila kita mau dan berani mawas diri, bercermin bukan sekedar mematut-matut diri dan memperelok muka, melainkan bercermin menjenguk dan mengamati keadaan batin kita, pikiran kita, isi hati kita. Berani melihat kekotoran yang selama ini melekat dalam batin kita. Kalau sudah begini, baru dapat diharapkan timbulnya kesadaran dan kesadaran ini mendatangkan perasaan rendah diri di hadapan Tuhan! Pikiran tidak mungkin membersihkan kekotoran ini, karena pikiran sudah bergelimang nafsu, sehingga apa pun yang dilakukannya tentu mengandung pamrih kepentingan diri, demi keenakan dan kesenangan diri, lahir maupun batin.

   Namun, kerendahan diri membuat kita pasrah, membuat kita menyerah total kepada Tuhan Yang Maha Kasih, menyerah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Dan Tuhan Maha Kasih! Pasti Tuhan akan membimbing orang yang menyerah sebulatnya menyerah dengan kerendahan diri sehingga di dalam penyerahan ini, pikiran tidak ikut campur dan karenanya, penyerahan itu mutlak dan tanpa pamrih, penuh kerendahan hati, penuh kerinduan dan cinta kasih kepada Tuhan yang telah mengasihi kita tanpa batas! Dari sini akan timbul gerak hidup yang wajar, manusiawi, tidak palsu dan tidak munafik lagi. Pertempuran hebat terjadi setelah Gangga Dewi memutar sabuk sutera putih di tangannya.

   Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu mengeroyoknya dan setelah lewat beberapa jurus saja, tahulah Gangga Dewi bahwa kedua orang lawannya ini lihai sekali. Menghadapi seorang dari mereka saja belum tentu dia akan menang, apalagi dikeroyok dua. Namun, bukan hal ini yang merisaukan hatinya, melainkan keselamatan Yo Han. Anak itu kini menghadapi Ang I Moli, wanita iblis yang amat berbahaya dan keji itu. Dan memang Yo Han terancam bahaya ketika Ang I Moli menghampirinya dengan mata bersinar-sinar dan mulut menyeringai. Wajahnya yang cantik nampak menyeramkan dan membayangkan kekejaman yang mengerikan. Yo Han juga maklum bahwa dia terancam bahaya namun dia sama sekali tidak merasa takut. Anak berusia dua belas tahun itu sejak mulai ada pengertian, sudah menyerah kepada Tuhan sehingga tidak mengenal arti takut lagi.

   Dia yakin benar bahwa nyawanya berada di tangan Tuhan dan bahwa kalau Tuhan tidak menghendaki, jangankan baru seorang manusia sesat macam Ang I Moli, biar semua iblis dan setan menyerangnya, dia tidak akan mati! Keyakinan yang sudah mendarah-daging ini membuat dia tabah dan kini dia berdiri menghadapi Ang I Moli yang menghampirinya dengan sinar mata tenang dan jernih.

   "Hi-hi-hik, Yo Han, engkau hendak lari ke mana sekarang? Tidak ada lagi yang akan mampu meloloskan engkau dari tangan-ku, heh-heh!"

   Ang I Moli menghampiri semakin dekat dan mulutnya berliur karena ia membayangkan betapa seluruh darah dalam tubuh anak ajaib itu akan dihisapnya dan ia akan segera dapat menguasai ilmu dahsyat yang diidamkannya itu.

   "Ang I Moli, aku tidak akan lari ke mana pun. Kalau Tuhan meng-hendaki, maka Dia yang akan meloloskan aku dari tanganmu!"

   Mendengar jawaban itu, Ang I Moli tertawa terkekeh-kekeh.

   "Ha-ha-ha-heh-heh! Tuhan? Mana Tuhanmu itu? Suruh dia keluar melawanku, heh-heh!"

   Ia lalu menerjang ke depan, jari tangannya menotok ke arah pundak Yo Han karena ia bermaksud menangkap anak itu dan perlahan-lahan menikmati korbannya. Yo Han tidak pernah berlatih silat. Biarpun secara teori dia tahu bahwa wanita itu menyerangnya dengan totokan, dan dia tahu pula betapa sesungguhnya amat mudah untuk mematahkan serangan ini, namun karena tubuhnya tak pernah dilatih, maka dia tidak dapat melakukan hal itu dan dia pun diam saja, hanya pasrah kepada Tuhan.

   "Tukk!!"

   Jari tangan Ang I Moli menotok jalan darah di pundak dan tubuh Yo Han tiba-tiba menjadi lemas dan dia terkulai roboh. Ang I Moli terkekeh, akan tetapi ketika ia menengok dan melihat betapa dua orang suhengnya itu, walaupun sudah dapat mendesak Gangga Dewi namun belum berhasil merobohkan dan membunuhnya, lalu ia meloncat dengan pedang di tangan untuk membantu dua orang suhengnya.

   Tentu saja Gangga Dewi menjadi semakin repot melayani pengeroyokan tiga orang lawan yang lihai itu. Tadi pun dikeroyok oleh dua orang tosu, ia sudah terdesak dan hanya mampu melindungi diri saja tanpa mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Namun, dengan memainkan gabungan dari ilmu Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) melalui sabuk sutera-nya, sambil mengerahkan tenaga Inti Bumi yang kesemuanya itu dahulu ia dapatkan dari gemblengan ayahnya, ia masih dapat membela diri dan sejauh itu belum ada ujung senjata para pengeroyok mengenai dirinya. Namun, kalau ia harus terus mempertahankan diri tanpa balas menyerang, akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan akan roboh juga.

   "Heiii, kalian ini orang-orang yang berwatak pengecut sekali! Mengeroyok seorang wanita bertiga. Percuma saja kalian mempelajari ilmu silat kalau hanya untuk mengeroyok secara curang dan pengecut."

   Yang paling kaget mendengar bentakan itu adalah Ang I Moli. Ia cepat membalik dan terbelalak melihat Yo Han telah berdiri di situ sambil menuding-nudingkan telunjuk dan mencela ia dan kedua orang suhengnya, seperti seorang kakek yang mencela dan mena-sihati cucu-cucunya
(Lanjut ke Jilid 06)
Si Bangau Merah (Seri ke 15 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06
yang nakal dan bandel! Betapa ia tidak akan kaget? Tadi ia telah menotok anak itu, totokan yang ia rasakan tepat sekali sehingga jangankan seorang anak kecil yang tidak tahu silat, biar lawan yang tangguh sekalipun kalau sudah tertotok seperti itu, pasti akan terkulai lemas dan sedikitnya seperempat jam lamanya takkan dapat berkutik. Akan tetapi anak ini tahu-tahu sudah bangkit kembali dan menuding-nudingnya!

   "Eh, anak setan, akan kubunuh kau sekarang juga!"

   Kemarahan membuat wanita iblis itu lupa akan keinginannya memanfaatkan darah anak itu dan saking kaget dan marahnya, kini ia menyerang dengan bacokan pedangnya ke arah leher Yo Han.

   "Singg....!"

   Serangan itu luput! Ang I Moli terbelalak lagi saking herannya. Anak itu seperti didorong angin ke samping dan jatuh bergulingan, dan justeru hal ini membuat sambar-an pedangnya tidak mengenai sasaran. Ia membalik dan mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia terhuyung dan hampir terjungkal karena saking tergesa-gesa dan marah tadi, ia kurang waspada sehingga kakinya terantuk batu. Ketika ia bangkit kembali, ia melihat Yo Han sudah duduk dengan sikap tenang sekali di atas tanah. Anak itu memang sudah tahu bahwa melawan tiada gunanya dan lari pun akan percuma. Maka dia lalu duduk dan pasrah, menyerahkan nasib dirinya kepada Tuhan.

   "Anak setan....!"

   Kini Ang I Moli teringat lagi bahwa ia membutuhkan Yo Han, maka ia pun meloncat dekat dan mengayun tangan kirinya, kini menampar ke arah tengkuk.

   "Plakkk!"

   Tubuh anak itu terguling dan ia roboh pingsan. Setelah memeriksa dan merasa yakin bahwa anak itu sudah pingsan dan tidak akan mudah siuman dalam waktu dekat, ia lalu meloncat lagi dan kembali mengeroyok Gangga Dewi yang sudah kewalahan. Namun pada saat itu, nampak bayangan orang berkelebat.

   "Dunia takkan pernah aman selama ada orang-orang sesat berkeliaran mengumbar nafsunya!"

   Bayangan itu berkata dan begitu kedua tangannya bergerak, nampak sepasang pedang yang bersinar putih mengkilap berada di kedua tangannya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerbu ke dalam perkelahian itu dan membantu Gangga Dewi! Semua orang memandang dan ternyata bayangan itu adalah seorang laki-laki yang usianya sekitar lima puluh satu tahun dengan wajah yang berbentuk bundar, kulitnya agak gelap, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi dan wajah itu tampan dan mengandung kegagahan, gerak geriknya lembut dan sinar matanya tajam. Baik Gangga Dewi maupun tiga orang pengeroyoknya tidak mengenal orang ini, akan tetapi karena jelas bahwa dia membantu Gangga Dewi, maka Ang I Moli sudah menyam-butnya dengan sambitan jarum-jarum beracun merah.

   "Hemmm, memang keji!"

   Orang laki-laki itu berseru dan sekali tangan kanan bergerak, pedangnya diputar dan dibantu kebutan lengan baju, semua jarum tertangkis runtuh. Ang I Moli sudah menyusul-kan serangan dengan pedangnya. Orang itu menangkis dan balas menyerang. Mereka bertanding dengan pedang, dan ternyata ilmu pedang orang itu lihai bukan main,

   Membuat Ang I Moli terkejut dan terpaksa ia harus mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh ilmu pedang simpanannya untuk melindungi dirinya dari sambaran sepasang pedang lawan yang lihai itu. Tentu saja orang itu lihai karena dia adalah Suma Ciang Bun! Pria yang kini hidup mengasingkan diri di Pegunungan Tapa-san ini adalah seorang cucu Pendekar Istana Pulau Es. Biarpun bakatnya tidak sangat menonjol dibandingkan keluarga Istana Pulau Es yang lain, namun karena dia sudah mempelajari ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya, maka dia juga menjadi seorang pendekar yang amat lihai. Banyak ilmu hebat yang dikuasainya, dan kini, dengan sepasang pedangnya dia memainkan ilmu pedang pasangan Siang-Mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) dan dalam waktu belasan jurus saja Ang I Moli yang lihai telah terdesak hebat.

   Akan tetapi, sambil melawan wanita berpakaian merah itu, Suma Ciang Bun melirik ke arah wanita gagah yang dikeroyok oleh dua orang berpakaian tosu. Dia melihat betapa wanita itu terdesak hebat dan berada dalam bahaya karena selain nampaknya sudah lelah sekali, juga paha kirinya sudah terluka dan berdarah. Maka, setelah mendesak Ang I Moli, tiba-tiba dia meloncat ke dalam arena pertempuran membantu Gangga Dewi yang dikeroyok Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu. Begitu Suma Ciang Bun menerjang dan membantu Gangga Dewi, dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu terkejut karena serangan Suma Ciang Bun amat kuatnya, membuat mereka berdua terpaksa meloncat ke belakang dan menghadapinya, meninggalkan Gangga Dewi yang sudah payah dan kelelahan. Karena kini mendapat bantuan yang kuat, timbul kembali semangat Gangga Dewi.

   "Terima kasih, Sobat. Mari kita basmi iblis-iblis Pek-lian-kauw yang jahat ini!"

   Serunya dan biarpun paha kirinya sudah terluka, ia memutar pedangnya dan bersama Suma Ciang Bun mendesak tiga orang lawan itu. Tiba-tiba dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu membaca mantra yang aneh, kemudian Kwan Thian-cu berseru,

   "Kalian berdua orang-orang bodoh! Lihat baik-baik siapa kami! Kami lebih berkuasa, hayo kalian cepat berlutut memberi hormat kepada kami!"

   Dalam suara ini terkandung kekuatan sihir. Agaknya mereka berusaha untuk mencoba sihir mereka kembali untuk menundukkan dua orang lawan tangguh itu. Gangga Dewi terhuyung, akan tetapi Suma Ciang Bun adalah cucu Pendekar Sakti Pulau Es. Dia sudah memiliki kekebalan terhadap sihir. Kakeknya, Pendekar Super Sakti, adalah seorang yang memiliki kepandaian sihir amat kuatnya, dan biarpun ilmu itu tidak dipelajari oleh Suma Ciang Bun, akan tetapi dia memiliki kekebalan terhadap segala macam ilmu sihir. Maka, melihat sikap lawan, Suma Ciang Bun tertawa halus.

   "Hemm, kalian tidak perlu menjual segala macam sulap dan sihir di depanku. Dua orang tosu itu terkejut dan pada saat itu, Gangga Dewi yang sudah tak terpengaruh sihir, menerjang dengan hebat, disusul Suma Ciang Bun yang menggerakkan sepasang pedangnya. Tiga orang itu terpaksa memutar senjata dambil mundur. Akan tetapi, Ang I Moli yang licik sudah meloncat ke dekat tubuh Yo Han yang masih pingsan. Ia menyambar tubuh itu dan dipanggul dengan tangan kiri, lalu ia berteriak nyaring,

   "Hentikan perlawanan kalian atau aku akan membunuh anak ini!"

   Mendengar ucapan itu, Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi terkejut, menahan pedang mereka dan memandang ke arah Ang I Moli. Mereka melihat betapa wanita iblis itu telah memanggul tubuh Yo Han dan mengancamkan pedangnya ke dekat leher anak itu. Melihat ini, Gangga Dewi menarik napas panjang. Ia tahu bahwa kalau ia dan penolongnya ini bergerak, tentu wanita iblis itu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Yo Han.

   "Sudahlah, biarkan mereka pergi,"

   Katanya lirih, namun tegas dan penuh wibawa. Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. Ketika dia datang tadi, dia melihat anak itu ditampar pingsan oleh wanita berpakaian merah dan dia dapat menduga bahwa wanita yang gagah perkasa itu tentu melindungi Si Anak dan ia dikeroyok. Sekarang, setelah anak itu ditawan, dan diancam, wanita itu merasa tidak berdaya dan terpaksa menyerah.

   "Mari kita pergi!."

   Ang I Moli berkata kepada dua orang suhengnya dan ia pun meloncat jauh membawa tubuh Yo Han yang masih pingsan. Dua orang takoh Pek-lian-kauw juga cepat-cepat mengejar karena mereka juga merasa jerih setelah Suma Ciang Bun muncul membantu Gangga Dewi. Melihat betapa tiga orang itu melarikan anak yang dipondong Si Iblis Betina berpakaian merah, Suma Ciang Bun merasa gelisah.

   "Tapi.... mereka membawa pergi anak itu....!"

   Katanya khawatir dan melangkah ke depan dengan maksud untuk melakukan pengejaran.

   "Jangan dikejar!"

   Kata Gangga Dewi mantap.

   "Kalau dikejar membahayakan keselamatan nyawanya. Dan lagi, aku percaya Yo Han mampu menjaga dirinya."

   "Yo Han? Yo.... Han....? Anak itu....?"

   Gangga Dewi memandang tajam.

   "Engkau mengenal Yo Han?"

   "Kalau benar Yo Han yang kau maksudkan itu, tentu saja aku mengenalnya. Dia pernah tinggal bersamaku di sini...."

   "Ah, kalau begitu engkau tentu Suma Ciang Bun!"

   Kata Gangga Dewi dengan girang. Suma Ciang Bun menatap wajah wanita yang gagah perkasa itu.

   "Benar dan.... kalau boleh aku mengetahui.... siapakah.... eh, Nyonya ini....?"

   Gangga Dewi memandang dengan wajah berubah kemerahan, matanya bersinar-sinar dan hatinya dicekam keharuan yang hampir membuat ia menangis. Ingin memang ia menangis! Suma Ciang Bun memang nampak jauh lebih tua daripada tiga puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi masih tampan, masih lembut dan canggung pemalu!

   "Ciang Bun.... kau.... benarkah engkau sudah lupa kepadaku?"

   Tanyanya, dan wanita yang berhati keras ini sudah mampu mengendalikan perasaan-nya. Biarpun hatinya menjerit, namun ia dengan gagah dapat menahan diri. Sungguh hal ini menunjuk-kan betapa Gangga Dewi kini telah menjadi seorang wanita yang lebih kuat hatinya lagi dibandingkan dahulu.

   Di waktu mudanya, sebagai seorang gadis yang menuruni jiwa petualang ayah ibunya, ia pernah merantau ke timur dan dalam perantauannya itulah ia pernah mengalami peristiwa bersama Suma Ciang Bun, peristiwa yang membuat ia tidak dapat melupakan pria ini selama hidupnya (baca KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES). Dalam perantauannya itu, ketika itu ia baru berusia delapan belas tahun, ia menyamar sebagai seorang pria dan mengganti namanya menjadi Ganggananda. Dan ia bertemu dengan Ciang Bun yang menyangka ia seorang pria. Dan, diam-diam ia jatuh cinta kepada Suma Ciang Bun yang gagah perkasa. Mereka bersahabat. Kemudian, ia pun mendapat kenyataan bahwa Ciang Bun mencintanya, mencintanya bukan sebagai Gangga Dewi, melainkan sebagai Ganggananda!

   Ternyata cucu Pendekar Sakti Pulau Es itu memiliki suatu kelainan, yaitu tidak suka berdekatan dengan wanita, melainkan suka kepada sesama pria! Ciang Bun jatuh cinta kepadanya secara aneh, yaitu karena ia disangka pria. Ia tahu akan hal itu dari Suma Hui, kakak dari Suma Ciang Bun. Ketika ia menyatakan sendiri, membuka rahasia dirinya kepada Suma Ciang Bun dan mendengar pengakuan Ciang Bun bahwa pemuda itu mencinta dirinya sebagai pria, bukan sebagai wanita, ia lalu melarikan diri. Bagaimana mungkin ia hidup bersama seorang pemuda yang mencintanya sebagai pria, betapa besar pun ia mencinta pemuda itu? Ia lari meninggalkan Ciang Bun, kembali ke Bhutan dengan hati hancur dan luka karena cinta yang gagal.

   Karena itulah, ia menurut saja ketika ayah dan ibunya menjodohkan ia dengan seorang panglima muda di Bhutan, panglima yang masih murid ayahnya sendiri dan seorang pria Bhutan yang gagah perkasa. Ia berusaha untuk melupakan Ciang Bun. Sampai suaminya tewas di dalam perang dan ia sudah mempunyai dua orang anak yang sudah dinikahkannya pula, kemudian sampai ia pergi lagi ke timur untuk mencari ayahnya, ia sudah hampir tidak pernah ingat lagi kepada Suma Ciang Bun. Siapa kira, ia bertemu Yo Han dan anak itulah yang mengajaknya menemui Suma Ciang Bun untuk bertanya di mana ia dapat menemu-kan ayahnya. Ketika Yo Han menyebut nama Suma Ciang Bun, dapat dibayangkan betapa rasa kagetnya. Dan kini, ia telah berhadapan dengan bekas kekasih hatinya itu. Suma Cian Bun menatap wajah Gangga Dewi dengan sinar mata heran dan penuh pertanyaan.

   Dia tidak dapat mengingat lagi wajah wanita perkasa yang berdiri di depannya ini. Seorang wanita yang cantik dan gagah. Rambutnya sudah beruban, namun wajahnya masih segar dan nampak muda. Pakaiannya, dari sutera kuning, juga rambut beruban yang mengkilap dan tebal panjang itu ditiup kerudung sutera kuning. Namun hiasan rambutnya yang berbentuk burung merak masih dapat nampak karena kerudung itu tipis. Wajah yang cantik itu membayangkan ketabahan dan semangat yang amat kuat. Namun, ia tetap tidak dapat mengingat wajah ini, apalagi karena jarang ia bergaul dengan wanita. Dia merasa heran sekali mendengar betapa wanita ini menyebut namanya sedemikian akrabnya. Hanya di dalam hatinya ada keyakinan bahwa dia seperti pernah mengenal sinar mata itu, sepasang mata yang lebar dan jernih sekali, juga tajam berwibawa.

   "Siapa.... siapakah Nyonya? Aku.... rasanya pernah bertemu, tapi aku lupa lagi di mana dan kapan...."

   Gangga Dewi tidak merasa menyesal atau kecewa. Ada baiknya kalau Suma Ciang Bun melupakannya. Dahulu ia selalu teringat kepada Suma Ciang Bun dengan hati penuh iba dan ia selalu membayangkan betapa hancur hati pemuda itu ditinggalkannya, betapa pemuda itu tentu merana dan hidup sengsara. Kalau Suma Ciang Bun dapat melupakannya, maka hal itu sungguh baik sekali. Akan tetapi, ia melihat betapa sinar mata pria ini jelas menunjukkan betapa dia telah menderita banyak sekali, matanya begitu redup dan ada kesedihan mendalam yang tak pernah hapus dari batinnya.

   "Ciang Bun, aku dari Bhutan!"

   Ia membantu ingatan bekas kekasih hatinya itu. Tiba-tiba mata itu terbelalak, sinarnya penuh pengenalan, wajah itu mendadak menjadi pucat, bibir itu gemetar dan beberapa kali bergerak tanpa suara, kedua tangan dikembangkan dan agaknya Ciang Bun harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk akhirnya dapat mengeluarkan suara. Bagaikan air bah yang membanjir karena jebol tanggulnya, dari dalam dadanya menghambur suara yang tidak jelas.

   "Gangga.... kau Gangga.... Gangga Dewi....!"

   Dan dia pun menubruk wanita itu. Gangga Dewi membiarkan dirinya dirangkul dan ia pun balas memeluk.

   "Ciang Bun....!"

   Ia harus mengerahkan tenaga sin-kangnya untuk melindungi tubuhnya, ketika merasa betapa dekapan itu amat kuatnya. Akan remuklah tulang-tulang iganya kalau ia tidak mengerahkan tenaga, dan dengan hati penuh iba ia pun berbisik,

   ".... aku Ganggananda, Ciang Bun,"

   "Gangga Dewi.... engkau Gangga Dewi....!"

   Hanya itu yang dapat diucapkan Ciang Bun dan wanita itu merasa jantungnya seperti diremas-remas ketika ia menengadah dan melihat betapa air mata bercucuran dari kedua mata pria gagah perkasa itu. Suma Ciang Bun menangis! Menangis seperti seorang wanita! Gangga Dewi merasa semakin terharu, Ciang Bun mencium dahi dan rambutnya dan ia dapat merasakan detak jantung yang penuh kasih sayang dalam dada pria itu.

   "Ya Tuhan, terima kasih, terima kasih bahwa engkau telah mempertemukan aku kembali dengan Gangga-ku.... Ahhh, Gangga Dewi, betapa aku rindu kepadamu...."

   "Aku pun rindu kepadamu, Ciang Bun. Akan tetapi kepada siapakah engkau rindu? Gangga Dewi ataukah Ganggananda....?"

   "Sama saja, Gangga, sama saja. Aku mencintamu, mencinta pribadimu, tidak peduli engkau pria atau wanita...."

   Kembali Suma Ciang Bun mencium dahi Gangga Dewi dengan penuh cinta kasih dan Gangga Dewi merasa betapa air mata membasahi dahinya dan menuruni pipinya. Jawaban itu melegakan hatinya dan ia pun balas merangkul. Betapa keadaan seperti ini seringkali terjadi dalam mimpinya ketika dulu, betapa ia merindukan rangkulan pria ini. Akan tetapi, tiba-tiba Ciang Bun mengeluarkan keluhan perlahan dan dia pun melepaskan rangkulan, lalu melangkah ke belakang dan ketika Gangga Dewi memandang, ia melihat wajah itu basah air mata yang masih menetes turun, dan wajah itu pucat kembali, mulutnya bergerak-gerak gugup.

   "Aih, Gangga Dewi.... kau maafkan aku.... ya Tuhan! Apa yang telah kulakukan? Gangga, maafkan aku.... maafkan aku...."

   Dan kini Ciang Bun menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya. Gangga Dewi memandang dan wajahnya sendiri berubah pucat. Kiranya Ciang Bun masih seperti dulu! Masih menangis cengeng seperti seorang wanita lemah, dan agaknya merasa menyesal atas sikapnya yang penuh kehangatan dan kemesraan tadi karena ia muncul sebagai wanita. Agaknya Ciang Bun teringat lagi bahwa ia seorang wanita dan menyesali perbuatannya tadi. Perasaan kecewa yang membuat hatinya nyeri terasa oleh Gangga Dewi.

   "Ciang Bun,"

   Katanya dan suaranya kini kering dan tegas.

   "Katakan mengapa engkau minta maaf? Mengapa? Katakan"

   Ciang Bun menurunkan kedua tangannya dan memandang dengan mata merah. Dia pun sudah dapat menguasai hatinya, tidak menangis lagi walau kedua matanya masih basah.

   "Gangga Dewi, maafkanlah kelemahanku tadi. Sesungguhnya aku telah lupa diri tadi, saking haru dan girangku bertemu denganmu. Aku telah melakukan hal yang tidak pantas, tidak sopan. Aku lupa bahwa engkau bukanlah Gangga Dewi yang dulu lagi, engkau seorang yang telah bersuami, berumah tangga. Aku telah mendengar bahwa engkau kini menjadi seorang isteri yang berbahagia di Bhutan, dengan anak-anakmu. Ah, aku ikut merasa girang bahwa engkau hidup berbahagia, Gangga."

   Gangga Dewi tersenyum. Hatinya senang karena ternyata Ciang Bun tidak minta maaf sebagai tanda bahwa penyakitnya yang dulu masih ada, melainkan minta maaf karena teringat bahwa ia seorang yang telah bersuami. Hal ini wajar, bahkan baik sekali, tanda bahwa pria ini masih dapat menguasai gelora nafsunya.

   "Dan engkau sendiri bagaimana, Ciang Bun?"

   Tanyanya, sikapnya tenang, juga Ciang Bun agaknya sudah mampu menguasai hatinya dan kini mereka berdiri saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, seolah ingin menjenguk isi hati masing-masing. Mendengar pertanyaan itu, Ciang Bun menggeleng kepala dan menghela napas panjang.

   "Aku masih hidup sendirian, Gangga. Semenjak engkau pergi, aku telah kehilangan segala-galanya dan aku hidup mengasingkan diri di sini. Gangga Dewi, bagaimana dengan suami dan anak-anakmu? Kenapa engkau melakukan perjalanan seorang diri dan bersama Yo Han?"

   "Ciang Bun, aku meninggalkan Bhutan. Aku sekarang juga hidup sendirian seperti engkau. Suamiku telah lama meninggal dalam perang. Kedua orang anakku telah berumah tangga dan hidup berbahagia dengan keluarga masing-masing. Aku kesepian. Ibu telah meninggal dan ayahku telah lama meninggalkan Bhutan. Aku lalu pergi untuk mencari ayahku, dan dalam perjalanan aku bertemu Yo Han. Dialah yang mengajak aku ke sini karena dia berkata bahwa engkau tentu tahu di mana adanya ayahku"

   "Ahhh....! Yo Han telah dilarikan orang jahat. Kita harus cepat mengejarnya Gangga. Kita harus menyelamatkannya dari tangan mereka. Nanti saja kita bicara, yang penting sekarang kita harus menolong Yo Han!"

   Suma Ciang Bun yang teringat kepada Yo Han meloncat jauh ke depan untuk melakukan pengejaran.

   
Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tahan dulu....!"

   Suma Ciang Bun melihat bayangan kuning berkelebat menda-huluinya dan Gangga Dewi sudah berdiri di depannya menghalanginya. Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya.

   "Yo Han tarjatuh di tangan orang-orang jahat, nyawanya terancam bahaya dan aku hendak mengejar dan menolongnya. Kenapa engkau mencegahku, Gangga Dewi?" "Kenapa engkau hendak menolong Yo Han?"

   "Tentu saja! Aku sayang padanya. Dia pernah tinggal di sini, dititipkan oleh gurunya, Tan Sin Hong. Biar anak lain yang tidak kukenal sekalipun, sudah sepatutnya kubebaskan dari tangan orang-orang jahat itu. Apalagi Yo Han!"

   Suma Ciang Bun hendak meloncat lagi, akan tetapi Gangga Dewi menghadangnya.

   "Nanti dulu, Suma Ciang Bun. Tenanglah dan mari kita bicara dengan kepala dingin. Kau kira aku tidak sayang kepada Yo Han? Biarpun belum lama kami saling berkenalan, namun anak itu sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri, bahkan aku suka dan ingin mengambilnya sebagai murid. Justeru karena kita sayang kepadanya, kita tidak boleh melakukan pengejaran secara langsung, karena hal ini bahkan akan membahayakan dirinya. Kalau Ang I Moli yang jahat itu melihat kita melakukan pengejaran, ia tidak akan ragu untuk segera membunuh Yo Han! Kau tahu, Ciang Bun, perkenalanku dengan Yo Han justeru ketika aku merampasnya dari cangkeraman Ang I Moli. Tak kusangka hari ini ia merampas anak itu kembali dari tanganku, dibantu dua orang tosu Pek-lian-kauw itu. Jadi, kalau hendak menyelamatkan Yo Han, kita harus menggunakan siasat, tidak boleh sembarangan saja!"

   Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan meraba jenggotnya yang terpelihara rapi. Dia berada dalam pemainan gelombang perasaan. Ketika tadi mendengar bahwa Gangga Dewi sekarang hidup seorang diri, sudah menjadi janda, dia merasakan suatu kegembiraan luar biasa di hatinya, kegembiraan yang muncul dengan adanya suatu harapan baru. Akan tetapi kegembiraan ini terganggu oleh kekhawatiran tentang diri Yo Han. Kini menghadapi sikap Gangga Dewi yang demikian tegas dan tenang, dia merasa tak berdaya, seperti seorang bawahan menghadapi atasannya!

   "Kurasa engkau benar, Gangga Dewi. Baiklah, aku menurut saja bagaimana baiknya untuk dapat menolong Yo Han."

   "Kita membayangi mereka dari jarak jauh dan menjaga agar mereka, jangan sampai tahu bahwa kita membayangi mereka. Kita mendekati mereka dan mencari kesempatan baik untuk turun tangan, suatu penyerbuan mendadak sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk membunuh Yo Han."

   "Akan tetapi, kalau kita berlambat-lambat, aku khawatir mereka akan mengganggu dan membunuh Yo Han dan kita akan terlambat."

   Gangga Dewi menggeleng kepalanya.

   "Engkau, tidak mengenal betul siapa Yo Han. Aku sendiri pun masih terheran-heran dan takjub melihat keadaan anak itu. Dia mampu menjaga dirinya sendiri. Dia memiliki kekuatan yang ajaib. Mari kita mulai membayangi mereka dan akan kuceritakan semua tentang keanehan Yo Han dalam perjalanan."

   "Karena pengejaran ini mungkin memakan waktu lama, biarlah aku akan membawa bekal pakaian dulu, Gangga. Tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Mari!"

   Keduanya lalu berlari mendaki lereng dan tak lama kemudian mereka tiba di sebuah pondok sederhana yang kokoh dan yang terletak di dataran dekat puncak, sebuah tempat yang amat indah pemandangan alamnya, dan sejuk hawanya.

   "Alangkah indahnya tempat ini...."

   Gangga Dewi memuji dan dengan wajah berseri ia memandang ke empat penjuru dari tempat ketinggian itu dan menghisap hawa udara yang jernih, sejuk dan harum karena di sekitar tempat itu terdapat banyak sekali pohon dan tumbuh-tumbuhan yang sedang berkembang. Suma Ciang Bun hanya tersenyum girang dan mencatat ucapan Gangga Dewi itu di dalam hatinya. Dia membawa pakaian dalam buntalannya dan tak lama kemudian, mereka berdua sudah menuruni puncak dengan ilmu berlari cepat mereka. Biarpun tidak mengeluarkan suara, keduanya merasa betapa ada kebahagiaan besar menyelubungi hati mereka ketika mereka melakukan perjalanan bersama seperti itu. Tanah dalam hati mereka yang tadinya hampir mengering itu seolah tersiram embun pagi yang sejuk, menerima siraman air yang membuat tanah itu hidup kembali dan bunga-bunga cinta yang tadinya seperti layu kini mekar kembali.

   Mereka melakukan pengejaran dan mencari jejak Ang I Moli yang melarikan Yo Han dan di sepanjang perjalanan ini, mereka saling menceritakan pengalaman mereka semenjak mereka saling berpisah kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu! Setelah mendengarkan Ciang Bun menceritakan semua pengalamannya, Gangga Dewi merasa terharu sekali. Kini ia merasa yakin bahwa Ciang Bun memang mencinta dirinya, bukan mencintanya sebagai seorang pemuda yang dulu memakai nama samaran Ganggananda, melainkan mencintainya dengan tulus walaupun sudah tahu bahwa ia seorang wanita, bukan pria seperti yang disangkanya semula. Ciang Bun rela hidup menyendiri, tidak lagi mau mencari pasangan, baik pria maupun wanita. Ia merasa terharu, akan tetapi tidak mem-perlihatkannya.

   "Gangga, sekarang giliranmu untuk bercerita. Aku ingin sekali mendengar tentang semua pengalamanmu sejak kita saling berpisah sampai sekarang."

   Mereka bercakap-cakap di dalam sebuah guha di mana mereka terpaksa melewatkan malam. Jejak Ang I Moli yang mereka dapatkan melewati bukit itu dan karena malam itu gelap, mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan dan terpaksa melewatkan malam di guha itu. Mereka membuat api unggun, dan setelah makan malam, makan roti dan daging kering yang dibawa oleh Ciang Bun dan minum air jernih yang dibawa Gangga sebagai bekal, mereka lalu bercakap-cakap.

   "Baiklah, Ciang Bun. Pengalamanku jauh lebih menyenangkan daripada pengalamanmu, walaupun berakhir dengan perasaan kesepian juga."

   Ia lalu menceritakan tentang pernikahannya dengan seorang panglima Bhutan, hidup berbahagia sampai mempunyai dua orang anak. Akan tetapi setelah kedua orang anaknya berumah tangga, dan suaminya tewas di dalam medan perang, ia merasa kesepian sekali.

   "Sudah bertahun-tahun ayahku meninggalkan Bhutan, sejak ibu meninggal. Aku ingin sekali bertemu dengan ayah, maka aku lalu meninggalkan Bhutan dan mencarinya di timur. Dalam perjalanan, aku bertemu dengan Yo Han yang sedang terancam keselamatannya oleh Ang I Moli itu. Aku menolong Yo Han dan berhasil mengusir Ang I Moli. Ketika mendengar bahwa guru Yo Han yang pertama yang bernama Tan Sin Hong itu adalah murid ayahku, tentu saja aku menganggap Yo Han seperti warga sendiri. Dia yang mengajak aku ke sini untuk menemuimu, karena menurut Yo Han, engkau tentu tahu di mana ayahku berada. Nah, sekarang katakan, di mana ayahku, Ciang Bun? Engkau tahu siapa ayahku, bukan?"

   Suma Ciang Bun menarik napas panjang dan wajahnya yang tampan itu nampak muram.

   "Tentu saja aku tahu siapa ayahmu, Gangga. Ayahmu dahulu terkenal dengan Julukan Si Jari Maut, bernama Wan Tek Hoat dan sekarang menjadi hwesio dengan Julukan Tiong Khi Hwesio. Benarkah?"

   "Benar, dan ayahku selalu memuji-muji keluarga Pulau Es. Di mana dia sekarang?"

   "Ketahuilah, Gangga Dewi. Kurang lebih lima tahun yang lalu, ayahmu pergi ke Istana Gurun Pasir, dan tinggal di sana bersama Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya...."

   "Bibi Wan Ceng, saudara seayah dari ayahku?"

   Gangga Dewi memotong.

   "Benar, Gangga. Tiga orang tua itu tinggal di Istana Gurun Pasir, hidup dengan tenteram dan bahagia, bahkan mereka bertiga mengambil Tan Sin Hong sebagai murid. Beruntung sekali pendekar itu, sekaligus menjadi murid mereka bertiga."

   "Ahhh! Kalau begitu, ayahku kini masih di sana?"

   Ciang Bun menarik napas panjang dan sampai lama tidak dapat menjawab, karena dia merasa ragu untuk menerangkan keadaan yang sesungguhnya.

   "Ciang Bun, jawablah! Aku bukan anak kecil lagi, aku siap untuk mendengar berita apa pun. Masih hidupkah ayahku? Dan apakah dia masih berada di Istana Gurun Pasir?"

   Setelah beberapa kali menarik napas panjang, Suma Ciang Bun berkata,

   "Terjadi hal yang menyedihkan dan juga menggemaskan, Gangga. Tiga orang tua itu sudah mengasingkan diri di tempat sunyi itu dan tidak lagi mencampuri urusan dunia, hidup dengan tenang tenteram. Akan tetapi, agaknya orang-orang yang dahulu pernah mereka basmi atau kalahkan, orang-orang sesat dari dunia hitam, agaknya masih menaruh dendam. Orang-orang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, dan beberapa orang datuk sesat lainnya, menyerbu Istana Gurun Pasir dan mengeroyok tiga orang tua itu. Akibatnya, biarpun pihak pengeroyok itu banyak yang terluka dan tewas, namun tiga orang Locianpwe itu juga tewas.... ah, maafkan aku, Gangga Dewi, telah menyampaikan berita duka ini."

   Akan tetapi Gangga Dewi sama sekali tidak nampak berduka atau terkejut, bahkan ia mengepal tinju dan bangkit berdiri. Wajahnya yang tertimpa api unggun itu kemerahan dan cantik sekali, gagah pula, dan matanya bersinar-sinar.

   "Bukan berita duka, Ciang Bun! Aku bangga mendengar ayah tewas seperti itu. Sungguh sesuai dengan wataknya yang gagah. Apalagi tewas dalam menentang para datuk sesat bersama Bibi Wan Ceng dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak, aku tidak berduka, apalagi ayah memang telah berusia lanjut. Aku bangga karena dia mati secara gagah perkasa! Akan tetapi aku penasaran kepada mereka yang melakukan penyerbuan itu. Sungguh pengecut dan curang! Mengeroyok tiga orang yang sudah tua dan yang sudah mengasingkan diri dari dunia persilatan!"

   "Begitulah watak orang-orang jahat dari dunia sesat, Gangga."

   "Siapakah mereka itu? Kalau engkau tahu, sebutkan namanya satu demi satu, aku akan pergi mencarinya dan membunuh mereka!"

   Kata Gangga Dewi dengan marah.

   "Tenanglah, Gangga. Mereka itu sudah tidak ada lagi. Seorang demi seorang telah tewas oleh para pendekar muda, termasuk Tan Sin Hong."

   "O ya, mengapa Tan Sin Hong diam saja ketika tiga orang gurunya dikeroyok? Apakah dia tidak membantu, dan kalau demikian, mengapa, dia dapat lolos dan hidup? Apakah dia melarikan diri?"

   "Sama sekali tidak. Ketika peristiwa penyerbuan itu terjadi, baru saja Sin Hong menerima sebuah ilmu dari ketiga orang gurunya, bahkan menerima, pengoperan tenaga gabungan mereka. Selama setahun Sin Hong harus memperdalam ilmu itu dan dia sama sekali tidak boleh mempergunakan sin-kang, karena kalau hal itu dilanggar, dia akan tewas oleh tenaganya sendiri! Itulah sebabnya dia tidak mampu membela ketika tiga orang gurunya dikeroyok. Dia ditawan, akan tetapi mampu meloloskan diri dan bersembunyi untuk menyelesaikan ilmu baru itu selama setahun. Setelah itu, baru dia pergi mencari mereka yang membunuh tiga orang gurunya, dan akhirnya setelah bekerja sama dengan para pendekar muda lainnya, dia berhasil menewaskan para penjahat itu. Dia bekerja sama dengan para pendekar muda keturunan Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir."

   Gangga Dewi mengangguk-angguk.

   "Ah puaslah rasa hatiku. Kematian ayah telah dibersihkan dari penasaran oleh para pendekar keluarga Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir! Sungguh merupakan suatu kehormatan besar sekali dan aku ikut merasa bangga dan ber-bahagia. Tentu arwah dari ayah akan merasa bangga dan puas pula. Ingin aku bertemu dan mengucapkan terima kasihku kepada Tan Sin Hong. Dia masih terhitung suteku (adik seperguruanku) sendiri. Akan, tetapi, bagaimana aku dapat bertemu dengan dia tanpa membawa Yo Han, muridnya yang terculik penjahat? Mari, Ciang Bun, kita percepat usaha kita mencari jejak iblis betina itu."

   Mereka lalu berlari cepat dan tiga hari kemudian baru mereka mendapatkan jejak Ang I Moli. Mereka mendapatkan keterangan dari penduduk sebuah dusun di kaki bukit. Tidak begitu sukar mencari jejak Ang I Moli dan dua orang tosu itu. Ang I Moli adalah seorang wanita cantik yang selalu menggunakan pakaian merah. Keadaannya menyolok sekali dan orang yang berjumpa dengannya tidak mudah melupakannya. Jejak itu menuju ke Propinsi Hu-nan di sebelah selatan. Mereka melakukan pengejaran terus dan hubungan mereka menjadi semakin akrab. Dua orang setengah baya ini merasa seperti menjadi muda kembali dan mereka terkenang akan masa lalu ketika mereka masih sama muda dan juga melakukan perjalanan bersama.

   Akan tetapi sekarang perasaan mereka lebih mendalam dibandingkan dahulu karena sekarang agaknya Suma Ciang Bun telah sembuh dari kelainan yang dideritanya. Atau mungkin juga dia tidak berubah, hanya karena sifat Gangga Dewi yang gagah perkasa, keras dan bahkan "jantan"

   Itu yang membuat Ciang Bun semakin jatuh cinta. Andaikata sikap Gangga Dewi lunak dan penuh kewanitaan, belum tentu dia akan merasa demikian tertarik dan jatuh cinta untuk ke dua kalinya. Kalau dahulu dia mencinta Ganggananda, kini dia benar-benar mencinta Gangga Dewi sebagai wanita. Ketika Gangga Dewi menceritakan tentang keadaan Yo Han yang aneh, Suma Ciang Bun termenung. Mereka menghadapi api unggun di sebuah kuil kosong di luar sebuah dusun di mana mereka terpaksa melewat-kan malam karena di dusun itu tidak ada rumah penginapan.

   "Sungguh luar biasa sekali anak itu,"

   Katanya termenung.

   "Dahulu ketika dia di titipkan kepadaku oleh Sin Hong, aku hanya melihat dia sebagai seorang anak yang luar biasa cerdiknya, berwatak halus dan berpemandangan terlalu dewasa dan luas bagi seorang anak berusia tujuh tahun. Memang sudah menonjol dan aku amat sayang kepadanya, akan tetapi belum memperlihatkan sesuatu yang aneh. Dia tidak pernah berlatih silat akan tetapi luka beracun dan kekuatan sihir tidak mempengaruhinya? Hebat!"

   "Aku melihat sesuatu yang mujijat pada diri anak itu, Ciang Bun. Akan tetapi dia tidak mau menceritakan riwayatnya. Sebetulnya, anak siapakah dia?"

   Suma Ciang Bun menghela napas panjang dan sejenak menatap wajah wanita yang amat dicintanya itu.

   "Aihhh, dunia ini penuh dengan penderitaan. Bahkan orang yang baik hati nampaknya lebih banyak menderita ketimbang orang yang menyeleweng dari pada kebenaran. Mungkin memang demikianlah keadaannya yang wajar. Orang jahat menjadi hamba nafsu, dan penghambaan nafsu ini nampaknya mendatangkan kesenangan. Tentu saja kesenangan duniawi yang palsu. Ayah kandung Yo Han adalah seorang laki-laki bernama Yo Jin, seorang petani yang jujur dan tidak pandai silat. Akan tetapi juga seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang tidak berkedip takut menghadapi ancaman maut, berani menentang kejahatan. Bahkan sikapnya yang jantan itulah yang menjatuhkan seorang tokoh sesat, seorang iblis betina cantik yang terkenal dengan sebutan Bi Kwi (Setan Cantik). Bukan hanya menjatuhkan hatinya, akan tetapi setelah mereka menjadi suami isteri, Bi Kwi yang tadinya terkenal sebagai seorang tokoh sesat yang amat jahat dan kejam itu menjadi sadar sama sekali! Ia ikut suaminya menjadi seorang petani di dusun yang mencuci tangannya dari segala macam kekerasan."

   "Luar biasa dan menarik sekali!"

   "Nah, mereka menikah dan lahirlah Yo Han! Suami isteri itu telah bersepakat untuk tidak memperkenalkan putera mereka dengan kekerasan dan kehidupan dunia persilatan. Mereka tidak mengajarkan ilmu silat kepada Yo Han. Tentu saja hal ini terpengaruh oleh sikap Yo Jin yang tidak suka akan kekerasan, dan juga oleh pengalaman-pengalaman pahit dari Bi Kwi selama ia menjadi tokoh sesat dalam dunia kang-ouw."

   "Keputusan yang bijaksana."

   Gangga Dewi memuji.

   "Akan tetapi, latar belakang kehidupan Bi Kwi tidak membiarkan ia hidup tenang dan tenteram. Ada saja penjahat yang menginginkan tenaganya dan orang-orang jahat menculik Yo Han yang baru berusia tujuh tahun, bahkan menculik Yo Jin pula. Karena suami dan puteranya diculik penjahat yang memaksa ia membantu golongan sesat, terpaksa Bi Kwi terjun lagi ke dunia kang-ouw. Suami isteri itu berhasil menukar diri mereka dengan putera mereka yang dibebaskan dan Yo Han diserahkan kepada Tan Sin Hong oleh ayah dan ibunya. Sin Hong menitipkan Yo Han kepadaku, dan dia sendiri bersama para pendekar membasmi penjahat di mana terdapat pula pembunuh-pembunuh yang membunuh kakek dan nenek penghuni istana Gurun Pasir dan juga ayahmu itu. Dan dalam pertempuran itu, ayah dan ibu Yo Han yang juga membalik dan membantu para pendekar menentang golongan sesat yang tadinya mereka bantu demi menyelamatkan putera mereka, tewas sehingga Yo Han menjadi seorang yatim-piatu."

   Gangga Dewi berulang kali menghela napas panjang.

   "Omitohud....! Betapa penuh kekerasan kehidupan manusia di dunia ini. Sekarang aku mengerti mengapa Yo Han tidak pernah mau melatih ilmu silat walaupun dia memiliki suhu dan subo yang berkepandaian tinggi seperti Tan Sin Hong dan Kao Hong Li itu. Hanya yang tetap membuat aku heran, bagaimana dia dapat memiliki kekuatan aneh yang dapat menolak pengaruh racun dan ilmu sihir. Sungguh aneh sekali!"

   "Hal itu tentu akan dapat kita ketahui kelak kalau kita berhasil membebaskannya dari tangan Ang I Moli,"

   Kata Suma Ciang Bun.

   "Mudah-mudahan saja kita tidak akan terlambat,"

   Kata Gangga Dewi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah meninggalkan kuil tua itu dan melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat untuk melakukan pengejaran dan mencari Yo Han yang diculik Ang I Moli dan dua orang suhengnya dari, Pek-lian-kauw itu.

   Siang itu cuaca cerah sekali di Bukit Naga. Matahari amat teriknya. Bahkan hutan di puncak bukit itu yang biasanya gelap karena rindangnya pohon-pohon besar yang sudah puluhan tahun umurnya, kini nampak terang ditembusi cahaya matahari yang kuat. Di langit tidak ada mendung, hanya awan-awan putih berserakan di sana sini, tidak, menghalangi kecerahan sinar matahari, bahkan menjadi hiasan langit yang indah. Tepat pada tengah hari, nampak bayangan-bayangan orang berkelebat memasuki hutan itu.

   Hutan yang biasanya amat sepi itu tiba-tiba saja diramaikan oleh kunjungan orang-orang yang memiliki gerakan yang amat ringan dan cekatan. Mula-mula nampak seorang tosu yang usianya sekitar lima puluh tahun, dengan sebatang pedang di punggung. Tosu tinggi kurus itu muncul dengan loncatan yang ringan, berada di atas lapangan rumput yang dikurung pohon-pohon tinggi dan dia memandang ke sekeliling. Pandang matanya yang tajam sudah melihat adanya beberapa sosok bayangan orang yang bergerak dengan cepat dan kini suasana nampak sunyi kembali. Bayangan-bayangan itu agaknya sudah menyelinap dan bersembunyi di balik pohon-pohon besar atau semak belukar. Setelah memandang ke sekelilingnya, tosu ini tersenyum mengejek, dan dia pun berseru dengan suara lantang karena dia mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya langsung keluar dari perut dan terdengar melengking nyaring.

   

Suling Naga Eps 41 Suling Naga Eps 44 Kisah Si Bangau Putih Eps 28

Cari Blog Ini