Ceritasilat Novel Online

Si Tangan Sakti 9


Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Akan tetapi, tak seorang pun yang menolak dan kembali mereka berseru menyatakan persetujuan mereka. Upacara sembahyang untuk mengesahkan pengangkatan calon pimpinan Thian-li-pang segera dilakukan seperti yang telah menjadi kebiasaan perkumpulan itu. Setelah upacara sembahyang dilakukan, para anggauta dipersilakan bubaran dan kembali ke tempat masing-masing melakukan tugas sehari-hari. Akan tetapi, tiga orang pimpinan baru itu masih ditahan oleh Lauw Kang Hui untuk diberi pengarahan dan nasihat-nasihat. Dalam kesempatan ini, Lauw Kang-hui minta kepada tiga orang muridnya itu untuk mulai membawa Thian-li-pang pada cita-cita semula, yaitu menggulingkan pemerintah penjajah Mancu.

   "Pemerintah penjajah Mancu amat kuat, tentu saja dengan jumlah anggauta kita yang hanya seratus orang lebih, tidak mungkin kita akan mampu melawan bala tentara Mancu. Kita harus dapat menghimpun kekuatan dengan mengajak rakyat jelata untuk menentang penjajah, dan terutama sekali harus bersatu dengan para perkumpulan pejuang lain. Aku ingin sekali mendengar berita dari Thio Cu yang kuutus sebagai wakil Thian-li-pang mengunjungi pertemuan yang diadakan oleh Pao-beng-pai karena kalau benar Pao-beng-pai merupakan perkumpulan anti penjajah, kita boleh bersekutu dengan mereka. Akan tetapi kalau Pao-beng-pai hanya merupakan perkumpulan penjahat yang berkedok perjuangan seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai, kita tidak perlu mendekati mereka."

   Mendengar ucapan gurunya itu, Lu Sek dan Lauw Kin mengangguk-angguk setuju, akan tetapi diam-diam Ouw Seng Bu tidak senang hatinya. Dia berpendapat bahwa itulah kekeliruan Thian-li-pang maka sampai sekarang tidak memperoleh kemajuan, seperti ketika masih dipegang pimpinannya oleh mendiang ayahnya. Dahulu, Thian-li-pang terkenal dengan keberaniannya, bahkan beberapa kali mencoba untuk membunuh kaisar dan para pangeran Mancu sehingga Thian-li-pang ditakuti dan terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gigih. Akan tetapi sekarang, Thian-li-pang hanya tinggal namanya saja. Yang penting adalah menggulingkan pemerintah Mancu, dan untuk itu, semua kekuatan harus dikerahkan, tidak peduli dari golongan manapun juga.

   Biar penjahat, maling dan perampok sekalipun, kalau memang mau harus diajak untuk menentang penjajah, harus dianggap kawan seperjuangan. Juga dia mempunyai pendapat bahwa sesungguhnya, dialah yang paling berhak untuk memimpin Thian-li-pang, bukan saja karena dia memiliki kepandaian paling tinggi di antara mereka semua, melainkan terutama sekali karena dialah keturunan ketua yang dulu. Kalau dia yang menjadi ketua, dia akan membuat Thianli-pang menjadi perkumpulan pejuang yang paling hebat. Siapa tahu, di tangan dialah penjajah Mancu dapat digulingkan, dan bukan mustahil pula, kalau dia telah menjadi jagoan nomor satu di dunia, yang paling lihai di antara semua tokoh persilatan, memiliki pengikut yang paling besar,

   Setelah penjajah roboh, dia yang akan diangkat menjadi kaisar baru! Cita-cita ini muncul dalam hati Ouw Seng Bu semenjak dia mempelajari ilmu rahasia di dalam gua bawah tanah. Selagi empat orang pimpinan Thian-li-pang itu berbincang-bincang, muncullah Thio Cu yang baru saja pulang dari perjalanan mengunjungi Pao-beng-pai bersama beberapa orang saudaranya. Kedatangannya tentu saja disambut oleh para anggauta Thian-li-pang. Thio Cu sendiri setelah mendengar bahwa Lauw Pang-cu berada di ruangan besar bersama tiga orang yang baru saja dipilih menjadi calon pimpinan baru, segera pergi menghadap, sedangkan kawan-kawannya sibuk menceritakan apa yang mereka alami dalam pertemuan yang diadakan Pao-beng-pai. Lauw Kang Hui gembira sekali ketika melihat Thio Cu datang menghadap.

   "Aih, baru saja aku membicarakan engkau, Thio Cu,"

   Kata kakek itu kepada Thio Cu yang menjadi seorang di antara murid-muridnya.

   "Cepat ceritakan bagaimana keadaan Pao-beng-pai, siapa ketuanya dan bagaimana keadaannya. Kuatkah mereka? Apakah mereka itu perkumpulan pejuang aseli seperti kita? Dan apa yang terjadi dalam pertemuan itu?"

   "Banyak hal menarik yang terjadi di sana, Suhu, juga hal yang aneh-aneh. Ketua Pao-beng-pai bernama Siangkoan Kok, kabarnya dia keturunan dari keluarga kaisar Kerajaan Beng-tiauw. Isterinya bernama Lauw Cu Si, nama keturunaannya sama dengan Suhu, dan kabarnya ia adalah keturunan dari partai Beng-kauw yang telah hancur. Ilmu kepandaian mereka tinggi sekali, Suhu. Teecu (murid) menyaksikan sendiri betapa ketua Pao-beng-pai itu dalam beberapa jurus saja mengalahkan Thian Ho Sianjin bersama tiga orang tokoh lain yang maju berbareng mengeroyoknya...."

   "Wahhh....! Maksudmu Thian Ho Sianjin ketua Pat-kwa-pai?"

   Tanya Lauw Kang Hui terkejut.

   "Benar, Suhu!"

   Lauw Kang Hui terbelalak. Dia sendiri tidak akan mampu mengalahkan ke tua Pat-kwa-pai itu, dan sekarang, Thian Ho Sianjin dibantu tiga orang kawannya kalah oleh Siangkoan Kok dalam beberapa jurus saja!

   "Bahkan kemudian, Kui Thian-cu, tokoh Pek-lian-kauw yang terkenal pandai bermain pedang itu, dikalahkan dengan mudah oleh puteri ketua Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Eng. Beberapa orang tokoh yang maju menguji kepandaian pimpinan Pao-beng-pai, semua juga dikalahkan dengan mudah."

   "Bukan main!"

   Seru Lu Sek yang juga tertegun seperti gurunya mendengar kehebatan pimpinan Pao-beng-pai. Diam-diam Ouw Seng Bu juga kagum sekali dan timbul keinginan hatinya untuk mengenal lebih dekat keluarga Siangkoan yang amat lihai itu. Mampukah dia menandingi mereka?

   "Bagaimana dengan para wakil perguruan-perguruan silat besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain?"

   Tanya pula Lauw Pangcu semakin tertarik.

   "Empat partai besar itu dianggap sebagai tamu kehormatan dan dipersilakan duduk di kursi-kursi kehormatan sejajar dengan ketua Pao-beng-pai. Perkumpulan itu mengajak semua aliran baik dari partai bersih maupun golongan sesat, untuk bersama-sama menggulingkan pemerintah penjajah Mancu...."

   "Tepat sekali!"

   Tiba-tiba Ouw Seng Bu berseru nyaring sehingga mengejutkan semua orang yang mengenalnya sebagai seorang pemuda yang biasanya pendiam.

   "Apanya yang tepat, Seng Bu? Apa maksudmu?"

   Tanya Lauw Kang Hui dan wajah Seng Bu berubah merah. Dia menyesali diri sendiri kenapa tidak dapat menahan diri. Akan tetapi berkat kecerdikannya yang luar biasa, dia sudah mampu menguasai dirinya dan menyediakan jawaban yang tepat.

   "Maksud teecu, perkumpulan yang kuat seperti Pao-beng-pai itu tepat sekali untuk dijadikan sekutu menentang penjajah, bukankah begitu Lu-suci dan Suheng?"

   Lu Sek dan Lauw Kin mengangguk, akan tetapi Lauw Kang Hui menarik napas panjang.

   "Belum tentu. Kita harus mengenal benar keadaan mereka. Lalu apa pula yang terjadi di sana, Thio Cu?"

   "Ada peristiwa yang pasti akan mengejutkan hati Suhu. Teecu melihat Sin-ciang Tai-hiap Yo Han berada pula di sana."

   "Ahhh....!!"

   Seruan ini keluar dari mulut keempat orang itu. Berita ini benar-benar merupakan kejutan besar.

   "Apa yang dilakukan Pendekar Tangan Sakti di sana? Ceritakan, Thio Cu, ceritakan!"

   Kata Lauw Kang Hui, tertarik sekali.

   "Yo-taihiap termasuk mereka yang ingin menguji kepandaian pimpinan Pao-beng-pai. Kui Thian-cu dari Pek-lian-kauw mengenalnya dan memaki Yo-taihiap sebagai iblis dari Thian-li-pang. Teecu lalu maju membelanya, mengatakan bahwa Yo-taihiap adalah pemimpin Thian-li-pang. Kemudian, Yo-taihiap memperkenalkan diri kepada pimpinan Pao-beng-pai bahwa dia memusuhi pemerintah Mancu, juga dia memusuhi tiga keluarga para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Siluman. Juga dia mencela empat partai besar sebagai para pendekar yang tak bersemangat, tidak mau menentang penjajah. Celaannya memarahkan Ciong Tojin dari Kun-lun-pai dan Lo Kian Hwesio dari Siauw-lim-pai, akan tetapi Yo-taihiap menantang mereka. Dua orang pendeta itu mengeroyoknya, akan tetapi mereka kalah! Kemudian Hoat Cinjin dari Go-pi-pai mengenal Yo-taihiap sebagai Sin-ciang Tai-hiap. Ketua Pao-beng-pai tertarik dan dia sendiri turun tangan menguji kepandaian Yo-taihiap. Mereka mengadu sin-kang dan agaknya mereka sama-sama kuat, sehingga Siangkoan Kok menerima Yo-taihiap sebagai tamu agung dan sahabat yang akan bekerja sama."

   Semua orang mendengarkan cerita itu dengan hati tertarik. Kalau tadi mereka kagum terhadap keluarga ketua Pao-beng-pai, kini mereka kagum dan bangga pula terhadap Yo Han yang mereka anggap sebagai pemimpin besar Thian-li-pang.

   "Kalau begitu, Yo-taihiap hendak membawa Thian-li-pang agar bekerja sama dengan Pao-beng-pai?"

   Tanya Lauw Kang Hui.

   "Teecu tidak mengerti, Suhu. Ada yang aneh dalam sikap Yo-taihiap. Ketika teecu pada waktu semua tamu berpamitan, bertanya kepadanya kalau teecu dapat membantunya dia menyuruh teecu cepat-cepat pergi dan mengatakan agar teecu tidak mencampuri urusan pribadinya di sana."

   "Urusan pribadi?"

   Lauw Kang Hui bertanya heran.

   "Suhu, kalau begitu, tentu Yo-taihiap tidak bermaksud untuk bergabung dengan Pao-beng-pai untuk urusan perjuangan. Mungkin dia hendak minta bantuan Pao-beng-pai untuk menghadapi musuh-musuhnya, dan kalau teecu tidak salah dengar, tadi Thio-suheng mengatakan bahwa dia memusuhi para pendekar dari tiga keluarga benar."

   Kata Seng Bu.

   "Hemmm, mungkin pendapatmu itu benar, Seng Bu. Bagaimana pendapatmu, Thio Cu? Engkau melihat semua peristiwa di sana, tentu lebih tahu."

   "Teecu kira pendapat sute Seng Bu tadi benar. Ketika memperkenalkan diri, Yo Taihiap juga menyatakan bahwa dia amat membenci dan memusuhi dua orang, yaitu Pendekar Suling Naga Sim Houw dan isterinya yang bernama Can Bi Lan, masih bibi-guru sendiri dari Yo-taihiap. Dia mengatakan bahwa ayah ibunya tewas karena kedua orang itu dan dia mendendam kepada mereka."

   "Jelas bahwa Yo-taihiap memang hendak mengurus persoalan pribadi maka kita pun tidak boleh tergesa-gesa bekerja sama dengan Pao-beng-pai,"

   Kata Lauw Kang Hui.

   "Akan tetapi, Suhu, bukankah kalau kita bekerja sama dengan perkumpulan yang kuat itu, maka perjuangan kita akan menjadi lebih berhasil?"

   Seng Bu bertanya dengan nada memrotes.

   "Sute, engkau tahu apa? Kita harus mentaati Suhu dan juga menunggu isyarat dari Yo-taihiap."

   Lu Sek menegur sutenya dengan alis berkerus. Seng Bu menghela napas.

   "Baik maafkan aku, Suci. Oya, Suci, kemarin Suhu memberi petunjuk agar aku mengajak Suci untuk menjadi lawan berlatih agar ilmu-ilmu yang sedang kulatih dapat memperoleh kemajuan."

   Dia mengalihkan perhatian.

   "Aih, Sute. Thio-suheng sedang bercerita tentang pengalamannya, engkau malah membicarakan urusan latihan."

   "Maaf, aku takut lupa...."

   Lauw Kang Hui tertawa.

   "Ha-ha-ha, memang benar, Lu Sek. Aku sudah terlalu tua untuk menjadi pasangannya berlatih. Dan hanya engkau yang dapat melayaninya."

   Lu Sek mengangguk dan mengerti. Ia tahu apa yang dimaksudkan oleh sutenya dan suhunya. Memang, dua macam ilmu silat guru mereka, yaitu Tok-jiuaw-kang dan Kiam-ciang, hanya diajarkan kepada dia dan sutenya saja. Selain guru mereka, hanya mereka berdua yang dapat memainkan ilmu itu, maka tentu saja hanya mereka berdua yang dapat menjadi pasangan berlatih.

   "Baik, kita bicarakan soal latihan itu lain hari saja, Sute."

   Katanya kepada Seng Bu yang mengangguk sambil tersenyum. Thio Cu melanjutkan ceritanya tentang pengalamannya di pertemuan yang diadakan Pao-beng-pai itu. Akan tetapi tidak ada yang menarik lagi bagi para pendengarnya karena yang menarik bagi mereka hanyalah tentang Yo Han dan tentang keluarga Siangkoan.

   Tentu saja Thio Cu sama sekali tidak tahu bahwa pemuda bernama Cia Ceng Sun yang dia ceritakan itu sesungguhnya adalah seorang pangeran Mancu! Kalau saja dia tahu dan menceritakan hal itu, sudah pasti peristiwa dan kenyataan ini akan menarik perhatian para pendengarnya. Demikianlah, mulai hari ini, walaupun mereka belum ditunjuk sebagai ketua dan wakil ketua secara resmi, baru dicalonkan, namun Lu Sek dan Lauw Kin makin berkuasa di Thian-li-pang, sedangkan Lauw Kang Hui hanya menjadi penasihat saja, walaupun dia masih disebut dan dianggap sebagai ketua. Ouw Seng Bu menyelinap ke dalam hutan di kaki Bukit Naga itu, lalu dia duduk di atas batu besar. Belum sepuluh menit dia duduk, terdengar gerakan orang dan dia pun cepat menoleh ke arah suara itu. Muncul seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya penuh brewok.

   "Paman Su, engkau sudah datang? Bagaimana kabarnya?"

   Tanya Seng Bu tanpa turun dari batu besar. Laki-laki itu adalah seorang anggauta Thian-li-pang dan dia pun cepat maju menghampiri dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.

   "Ouw Kongcu (Tuan Muda Ouw), aku membawa kabar baik. Pek Sim Siansu sendiri yang mengirim salam untuk Kongcu dan sebagai tanda persahabatan beliau mengirimkan benda ini kepada Kongcu, dengan harapan agar pertengahan bulan depan Kongcu suka memenuhi undangannya. Kunjungan Kongcu akan disambut dengan gembira."

   Tiba-tiba Seng Bu melirik ke arah kanan. Dia mendengar gerakan orang, walaupun gerakan itu hampir tak bersuara. Dia tahu bahwa ada orang mengintai dan mendengarkan percakapannya dengan orang itu. Jantungnya berdebar tegang. Celaka, pikirnya. Su Kian adalah bekas kepercayaan mendiang ayahnya, dan sampai sekarang tetap setia kepada ayahnya, walaupun dia telah menjadi anggauta Thian-li-pang yang ikut bersumpah untuk kembali ke jalan benar dan taat kepada ketua Lauw. Su Kian merupakan satu-satunya orang yang dipercayanya, dan yang siap membantu agar dia dapat menguasai Thian-li-pang dan memimpin perkumpulan ini seperti mendiang ayahnya dahulu,

   Melanjutkan perjuangan ayahnya menentang kerajaan Mancu secara kekerasan. Dan dia telah mengutus Su Kian untuk menghubungi Pek-lian-kauw dan menceritakan kepada pimpinan Pek-lian-kauw akan niatnya untuk bekerja sama setelah dia dapat menguasai Thian-li-pang seluruhnya. Biarpun dia tahu bahwa ada orang yang memiliki kepandaian tinggi mengintai dan menyaksikan pertemuannya dengan Su Kian, juga mendengar percakapan mereka tadi, namun Seng Bu bersikap tenang dan mendengarkan laporan Su Kian sampai habis, bahkan dia menerima benda pemberian ketua Pek-lian-kauw kepadanya. Ketika buntalan kain kuning itu dibuka isinya adalah sebuah mainan terbuat dari batu giok yang berbentuk seekor naga! Indah sekali dan tentu berharga mahal bukan main.

   Tiba-tiba Seng Bu melemparkan benda indah dan mahal itu ke atas tanah dan dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Su Kian sambil memaki dengan suara nyaring dan marah.

   "Su Kian, berani engkau membujuk aku untuk menerima uluran tangan Pek-lian-kauw? Engkau pengkhianat, sepantas-nya engkau dibunuh!"

   Tangannya bergerak cepat sekali dan Su Kian yang terbelalak matanya dan ternganga mulutnya itu tidak sempat mengelak, menangkis atau bahkan mengeluarkan suara apa pun. Totokan itu cepat datangnya dan dia pun terpelanting lemas. Pada saat itu, muncul sesosok bayangan berkelebat. dan Lu Sek sudah berdiri di sana, diikuti Lauw Kin dan di belakang mereka masih nampak bayangan beberapa orang berkelebat. Seng Bu hanya mengerling saja dan melihat bahwa yang muncul adalah belasan orang saudara seperguruannya dipimpin oleh Lu Sek, tangannya kembali bergerak ke depan, mencengkeram ke arah kepala Su Kian dan orang itu pun tewas seketika terkena cengkeraman Tok-jiauw-kang. Mukanya membiru.

   "Sute, kenapa engkau membunuhnya?"

   Lu Sek melompat dekat dan menegur Seng Bu. Seng Bu mengerutkan alisnya, nampak marah sekali.

   "Pengkhianat ini layak dibunuh seratus kali!"

   Katanya.

   "Suci, dia mengkhianati kita, mengadakan hubungan dengan Pek-lian-kauw, bahkan membujuk aku untuk bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Lihat, dia hendak menyampaikan pemberian ketua Pek-lian-kauw kepadaku!"

   Dia membungkuk dan mengambil mainan berbentuk naga dari batu giok tadi dan sekali mengerahkan tenaga menjempit benda itu di antara kedua tangannya, benda itu pun remuk berkeping-keping dan dilemparkan ke atas tanah dengan pandang mata muak. Lu Sek masih mengerutkan alisnya dan kini semua murid ketua Thian-lipang sudah berada di situ, menghadapi Seng Bu dengan setengah lingkaran.

   "Aku sudah mendengarnya. Akan tetapi, kenapa engkau membunuhnya padahal tadi engkau sudah merobohkannya dengan totokan?"

   Tanya pula Lu Sek dengan sinar mata penuh selidik, sedangkan para tokoh Thian-li-pang lainnya memandang kepada pemuda itu.

   Seng Bu memandang ke arah mayat Su Kian dengan alis berkerut. Dia marah dan kecewa sekali harus membunuh pembantunya yang paling dipercayanya itu. Terpaksa dia membunuhnya karena yang menyaksikan pertemuannya dengan Su Kian terlalu banyak. Tak mungkin dia membunuh belasan orang ini untuk menutupi rahasianya. Tadi pun dia sudah sengaja menotoknya untuk melihat siapa yang muncul setelah melakukan pengintaian. Kalau hanya satu dua orang saja yang mengintai, tentu dia akan membunuh mereka dan memulihkan pembantunya. Akan tetapi yang muncul belasan orang sehingga dia terpaksa dengan hati berat, cepat membunuh Su Kian untuk membungkamnya dan menyimpan rahasianya.

   "Suci, tadinya aku ingin menangkapnya dan menyeretnya ke depan Suci. Akan tetapi melihat Suci sudah datang, aku tidak dapat menahan kemarahanku dan membunuhnya!"

   "Hemmm, memang dia pantas dibunuh, akan tetapi kenapa begitu tergesa-gesa? Semestinya engkau membiarkan dia hidup agar dia dapat membuat pengakuan dan kita dapat membongkar semua rahasianya, sampai berapa jauh dia melakukan pengkhianatan dan hubungan dengan Pek-lian-kauw. Sekarang, dia telah mati, tentu kita tidak mendapatkan keterangan yang berharga."

   Melihat suci-nya menegurnya, Seng Bu menundukkan mukanya.

   "Maafkan aku, Suci, dalam kemarahanku, aku tidak ingat lagi akan hal yang penting itu. Akan tetapi, sebelum aku membunuhnya, dia tadi sudah menceritakan betapa dia mengadakan hubungan dengan pimpinan Pek-lian-kauw dan betapa Pek-lian-kauw ingin menyambung kembali hubungannya dengan kita seperti dahulu, mengajak kita bekerja sama menghadapi penjajah. Bahkan dia membujukku dengan hadiah naga kemala yang katanya diberikan kepadaku oleh Pek Sim Siansu ketua Pek-lian-kauw."

   "Sudahlah, Sute. Kalau kita bekerja sama dengan Pek-lian-kauw, mereka hanya akan menyeret para anggauta kita ke dalam jalan sesat, melakukan kejahatan demi keuntungan diri sendiri dengan kedok perjuangan. Su Kian telah menjadi pengkhianat, dan dia sudah terhukum mati. Akan tetapi, satu hal yang membuat aku tidak senang, kenapa engkau melupakan pesan Suhu, Ouw-sute? Lupakah kau akan pesan Suhu tentang penggunaan Tok-jiauw-kang? Kenapa engkau mempergunakan ilmu itu untuk membunuhnya? Dengan pukulan biasa pun engkau akan sanggup membunuhnya."

   Sikap dan ketegasan dan suara sucinya membuat Seng Bu diam-diam merasa tersinggung. Hemmm, baru saja diangkat menjadi calon ketua, sudah begini tinggi hati dan angkuh, pikirnya. Akan tetapi dia menunduk menyembunyikan pandang matanya, mengambil sikap mengalah dan mengaku salah.

   "Maaf, Suci. Karena marah aku menjadi mata gelap dan tidak ingat mempergunakan ilmu itu. Karena belum menguasai ilmu itu dengan sempurna maka aku kelepasan tangan."

   Tentu saja ucapan ini sama sekali bohong, akan tetapi menyenangkan hati Lu Sek yang merasa bahwa tingkat kepandaian sutenya yang merupakan orang nomor dua di antara para murid suhunya, masih jauh di bawah tingkatnya sendiri.

   "Harap Suci tidak melapor kepada Suhu agar aku tidak mendapat teguran. Cukup Suci yang me-negurku dan aku menyadari kesalahanku."

   "Sudahlah, lupakan hal itu. Sekarang ceritakan, bagaimana engkau dapat berada di sini dan mengadakan pertemuan dengan Su Kian. Tadi kami melihat gerakan Su Kian yang mencurigakan, maka diam-diam kami membayanginya karena memang sudah lama aku memper-hatikan gerak-geriknya yang mencurigakan."

   "Begini, Suci. Malam tadi dia menemuiku dan mengatakan bahwa pagi hari ini dia ingin membicarakan sesuatu yang teramat penting, yang katanya menyangkut urusan Thian-li-pang. Tadinya aku merasa heran mengapa dia tidak bicara secara terbuka saja, akan tetapi dia mengatakan bahwa hanya aku yang dia percaya, maka dia minta agar aku datang ke sini sekarang dan dia akan menceritakan kepentingannya itu. Dapat Suci bayangkan betapa kaget hatiku mendengar pelaporannya tentang hubungannya dengan Pek-lian-kauw, dan ketika dia membujukku untuk mau bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan memberikan benda itu, aku menjadi marah sekali. Selanjutnya, Suci mungkin telah mendengar dan melihat sendiri."

   Lu Sek mengangguk-angguk.

   "Pengalaman ini agar dapat menjadi peringatan kepadamu, Sute, bahkan kita sama sekali tidak boleh menyim-pang dari jalan yang diambil Thian-li-pang, sesuai dengan pengarahan Yo-taihiap dan bimbingan Suhu selama ini."

   Yo-taihiap lagi, Yo-taihiap lagi, demikian Seng Bu mengomel dalam hati. Macam apakah Yo Han itu sehingga semua orang seolah-olah tunduk dan taat kepadanya? Bertahun-tahun tidak pernah muncul, tidak melakukan sesuatu untuk Thian-li-pang, akan tetapi semua pimpinan Thian-li-pang selalu menyebut-nyebut namanya penuh hormat! Mereka lalu kembali ke markas Thian-li-pang setelah Lu Sek menyuruh para sutenya menguburkan jenazah Su Kian sebagaimana mestinya, di tempat itu juga. Bagi seorang pengkhianat, tidak ada tempat peristirahatan di makam keluarga Thian-li-pang! Seng Bu ikut pulang dengan wajah biasa, akan tetapi hatinya mengalami tekanan yang berat. Dia terpaksa harus membunuh Su Kian, satu-satunya orang kepercayaannya di Thian-li-pang. Bahkan hanya Su Kian yang tahu bahwa dia telah mewarisi ilmu Bu-kek-hoat-keng,

   Dan Su Kian pula yang selama ini menjadi perantara baginya untuk berhubungan dengan para pimpinan Pek-lian-kauw. Dia sudah mengambil keputusan untuk mengambil alih kepimpinan Thian-li-pang dan bergabung dengan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, seperti dulu ketika ayahnya masih menjadi ketua Thian-li-pang. Dan sudah cukup lama, melalui Su Kian, dia mengadakan hubungan rahasia dengan para pimpinan Pek-lian-kauw. Ketika mereka berjalan pulang, Seng Bu melangkah mendekati Lu Sek yang berjalan berdampingan dengan Lauw Kin yang bukan rahasia lagi menjadi sahabat baik dan bahkan kedua orang itu sudah merencanakan pernikahan dalam waktu dekat. Hubungan antara janda dan duda yang tidak mempunyai anak dan masih bersaudara seperguruan ini direstui oleh Lauw Kang Hui.

   "Suci, aku merasa menyesal sekali atas kejadian tadi...."

   Seng Bu berkata. Lu Seng mengerutkan alisnya dan menoleh, memandang kepada sutenya itu dengan sinar mata heran dan penuh selidik.

   "Sute, apa sih yang mendatangkan perubahan kepadamu? Biasanya engkau pendiam, akan tetapi hari ini engkau banyak bicara. Bukankah urusan itu sudah selesai?"

   "Aku tetap merasa menyesal sekali telah kelepasan tangan, Suci. Hal itu terjadi karena aku belum menguasai Tok-jiauw-kang sepenuhnya. Aku teringat akan pesan Suhu agar aku mengajak engkau untuk memberi petunjuk dalam latihan. Maukah engkau memberi petunjuk kepadaku, Suci?"

   "Hemmm, baiklah. Nanti akan kusediakan waktu untuk itu."

   "Bagaimana kalau besok pagi-pagi sekali, Suci? Aku biasa berlatih di dekat sumur tua yang ditutup itu, di sana sunyi dan kurasa latihan ini tidak baik kalau sampai terlihat murid lain."

   "Baiklah, besok pagi kusediakan waktu."

   "Aku akan menunggumu pada saat matahari mulai menyingsing, Suci."

   Tanpa menanti jawaban, Seng Bu kembali menjauhkan diri dan berjalan bersama para murid Thian-li-pang lainnya. Setelah Seng Bu menjauhkan diri, Lauw Kin berkata kepada Lu Sek,

   "Kulihat Ouw-sute itu setia kepada Thian-li-pang, tegas dan semangatnya untuk maju besar sekali. Kita beruntung mendapatkan seorang pembantu seperti dia. Kelak dia boleh diharapkan untuk membawa Thian-li-pang maju."

   Lu Sek menghela napas,

   "Tadinya aku juga mengira Suhu akan mengangkat dia menjadi calon ketua. Dia memang berbakat dan ilmu silatnya maju pesat, hanya di bawah tingkatku saja. Akan tetapi, agaknya Suhu melihat bahwa dia masih terlalu muda dan kadang-kadang wataknya amat aneh. Seperti yang tadi dia lakukan, dia menggunakan Tok-jiauw-kang untuk membunuh Su Kian, padahal ilmu itu merupakan ilmu simpanan yang hanya boleh dipergunakan kalau terpaksa menghadapi lawan berat dan nyawanya terancam saja. Dan dia mempergunakannya untuk membunuh seorang anggauta Thian-li-pang sendiri begitu saja!"

   "Akan tetapi, pengkhianat itu memang sudah sepatutnya dibunuh."

   "Itu memang benar, akan tetapi dia tidak perlu mempergunakan Tok-jiauw-kang. Mungkin karena dia memang belum menguasai ilmu itu dengan sempurna. Ilmu itu memang amat sulit, sama sulitnya dengan ilmu Kiam-ciang. Biar besok kuberi petunjuk kepadanya, sesuai dengan perintah Suhu."

   Lauw Kin tidak bicara lagi, akan tetapi hatinya mengandung kekhawatiran. Tadi dia seperti melihat sinar mata yang aneh dari pandang mata Seng Bu terhadap sucinya, seperti kilatan mata yang tajam dan dingin! Lu Sek telah tiba di tempat sunyi itu pagi-pagi sekali. Matahari belum nampak di langit timur, akan tetapi sinarnya telah menerangi langit itu dan cuaca sudah mulai terang. Keruyuk ayam jantan hanya terdengar kadang-kadang, tidak sesering tadi, akan tetapi burung masih ramai berkicau membuat persiapan untuk berangkat kerja mencari makan hari itu.

   Pada tengahari saja, tempat ini jarang dikunjungi orang. Apalagi orang luar, bahkan orang-orang Thian-li-pang sendiri kalau tidak mempunyai keperluan yang penting sekali, merasa segan datang ke tempat ini. Seolah-olah ada hukum tak tertulis dan terucapkan bahwa daerah ini merupakan daerah pantangan. Itu adalah daerah liar di mana terdapat sumur yang dahulu pernah menggegerkan Thian-li-pang. Sumur itu pernah dijadikan hukuman atau siksaan oleh nenek moyang Thian-li-pang. Bahkan seorang tokoh besar Thian-li-pang telah dibuang hidup-hidup di dasar sumur oleh para suhengnya sendiri, demikian menurut dongeng yang dikenal oleh para murid Thian-lipang. Tokoh besar itu dibuntungi kaki tangannya dan dibuang ke sumur itu.

   Namun dia tidak mati-mati, dan seringkali terdengar teriakan dan lolongnya yang mengerikan. Tokoh rahasia ini amat sakti dan akhirnya, tokoh sakti ini menjadi guru dari Yo Han yang pernah tinggal di Thian-li-pang sehingga Yo Han akhirnya menjadi tokoh yang dianggap pemimpin besar Thian-li-pang, yang mengubah jalur Thian-li-pang yang tadinya menyeleweng dan sesat. Dan biarpun telah dikabarkan bahwa kakek sakti yang bernama Cu Lam Hok itu telah mati, namun tempat itu masih dianggap keramat. Sumur yang telah ditutup oleh para tokoh besar Thian-li-pang untuk membunuh kakek buntung itu, kini dianggap sebagai tempat yang dihuni iblis dan hantu. Bahkan ada murid Thian-li-pang yang berani bersumpah bahwa dia pernah mendengar lolong dan pekik mengerikan itu keluar dari dalam sumur yang sudah ditutup itu.

   Tempat ini amat sunyi. Karena para murid Thian-li-pang sendiri menganggap tempat itu angker dan keramat, maka tempat itu jarang dijamah tangan dan tidak terpelihara sehingga di situ tumbuh alang-alang dan semak belukar yang membuat tempat itu kelihatan semakin menyeramkan. Biarpun ia seorang ahli silat tingkat tinggi yang tangguh dan tak pernah mengenal takut, namun diam-diam Lu Sek merasa bulu tengkuknya meremang kalau ia teringat akan dongeng menyeramkan dari tempat itu. Ia mulai menyesal mengapa ia menyanggupi sutenya untuk berlatih. silat di tempat seperti itu? Akan tetapi, ia tidak terlalu menyalahkan sutenya yang biasa berlatih di tempat ini karena untuk melatih kedua ilmu simpanan guru mereka yang hanya diajarkan kepada mereka berdua,

   Guru mereka berpesan agar kalau mereka berlatih ilmu Tok-jiauw-kang dan Kiam-ciang, mereka harus berlatih di tempat tersembunyi agar tidak kelihatan oleh murid-murid lain dan menimbulkan perasaan iri. Ia sendiri selalu berlatih di dalam kamar yang tertutup dan memang tidak begitu menyenangkan berlatih di kamar tertutup, tidak seperti di tempat terbuka seperti ini. Apalagi untuk melatih kedua ilmu itu, ia harus mengerahkan tenaga sinkang yang amat kuat dan ini membuat tubuh menjadi panas dan banyak mengeluarkan keringat, apalagi kalau latihan di kamar tertutup yang pengap. Ia berhenti, menengok ke sekeliling. Sumur mengerikan itu masih nampak tembok bibirnya, di antara semak-semak dan di sekitar sumur itu masih terdapat banyak batu-batu besar, agaknya kelebihan batu-batu yang dipakai untuk menutup sumur. Mengerikan!

   "Ouw-sute....!"

   Ia memanggil sambil memandang sumur itu, seolah-olah ia mengharapkan sutenya itu akan muncul keluar dari sumur tua itu. Ia tahu bahwa masih ada sumur ke dua yang tertutup semak belukar sama sekali, beberapa ratus meter dari situ, akan tetapi sumur ke dua ini lebih menyeramkan lagi karena belum tertutup dan merupakan lubang gelap hitam tak kelihatan dasarnya dan kabarnya mengandung hawa beracun dan menjadi tempat tinggal ular-ular berbisa.Tiba-tiba ia terbelalak dan merasa bulu tengkuknya dingin meremang. Ia memandang ke arah sesosok bayangan yang benar-benar muncul dari sumur itu! Perlahan-lahan sosok bayangan itu bangkit berdiri tanpa mengeluarkan suara, berdiri tegak seperti iblis yang datang untuk membalas dendam, haus darah! Lu Sek mentertawakan diri sendiri. Ia seorang pendekar gagah perkasa, tidak takut dan tidak percaya kepada segala macam ketahyulan!

   "Sute, engkaukah itu?"

   Serunya dan ia pun melangkah maju agak mendekat. Bayangan itu meloncat dan ternyata dia benar Ouw Seng Bu. Karena cuaca belum terang benar, dan kemunculannya tepat di belakang sumur itu, maka tentu saja membuat ia berkhayal melihat iblis sendiri keluar dari dalam sumur yang sudah tertutup. Akan tetapi, ketika Seng Bu melangkah maju mendekat dan ia dapat melihat wajahnya, Lu Sek mengerutkan alisnya.

   "Ouw-sute, engkaukah itu?"

   Kembali ia bertanya. Memang ia mengenali sutenya, akan tetapi sinar mata sutenya itu, senyum pada mulut sutenya itu. Betapa asing dan aneh baginya. Belum pernah selama ini ia melihat sinar mata dan senyum seperti itu pada wajah Ouw Seng Bu. Sinar mata yang mencorong seperti mata binatang buas, penuh kebengisan dan kekejaman. Dan senyum itu! Mengerikan sekali. Senyum itu demikian dingin penuh ejekan, membuat Lu Sek merasa tengkuknya dingin dan bulu kuduknya meremang. Akan tetapi, bayangan khayal menyeramkan itu membuyar ketika ia mendengar suara sutenya,

   "Lu-suci, aku sudah menunggumu sejak tadi."

   "Ouw-sute, kenapa tergesa-gesa? Matahari juga belum muncul, baru nampak sinarnya saja."

   "Suci, latihan kedua ilmu simpanan dari suhu ini merupakan ilmu yang hanya diajarkan kepada kita berdua. Murid lain tidak boleh mempelajarinya, bahkan suheng Lauw Kin juga tidak diajari kedua ilmu itu. Maka, sebaiknya kalau kita latihan secara tersembunyi. Di tempat ini sunyi, juga pagi-pagi seperti ini, belum ada anggauta Thian-li-pang yang keluar. Amat baik kalau kita berlatih sekarang, Suci. Aku ingin agar dapat menguasai Tok-jiauw-kang dan Kiam-ciang sepenuhnya. Agar aku dapat paham benar, sebaiknya kalau kita melatih dua macam ilmu itu sekaligus. Bagaimana, Suci?"

   "Baiklah. Akan tetapi kita harus berhati-hati. Kedua macam ilmu pukulan ini amat berbahaya dan dapat mendatangkan luka beracun atau bahkan kematian. Kita tidak boleh kesalahan tangan. Nah, aku sudah siap, engkau mulailah!"

   Kata Lu Sek sambil memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Ouw Seng Bu tersenyum dan kembali Lu Sek merasa bulu tengkuknya meremang dan terasa dingin. Senyum itu sungguh aneh dan tidak wajar, seperti senyum iblis!

   "Suci sambutlah seranganku ini!"

   Tiba-tiba Seng Bu menyerang dengan pukulan tangan miring dan terdengar suara bersiut dibarengi angin dahsyat. Itulah Kiam-ciang (Tangan Pedang). Ilmu ini membuat tangan yang memukul itu seperti sebatang pedang saja, dapat membuntungi anggauta badan lawan, bahkan dapat menyambut senjata tajam lawan seperti sebatang pedang! Melihat betapa pukulan yang menyambar itu amat dahsyat, Lu Sek cepat mengelak. Akan tetapi begitu tangan kiri Seng Bu yang menyambar itu luput, tangan kanannya sudah meluncur ke arah dada sucinya dan ketika terpaksa Lu Sek menangkis serang mencengkeram. Kembali ada angin menyambar dan itulah sebuah jurus Tok- jiauw-kang yang amat ampuh!

   "Ihhh....!!"

   Lu Sek berseru kaget.

   "Sute, gerakanmu sudah hebat,"

   Dan karena serangan sutenya ini benar-benar amat kuat ia berseru kaget, akan teramat berbahaya, juga tidak sopan karena mencengkeram ke arah dadanya tapi kembali ia merasa ngeri melihat. sutenya. Sinar mata sutenya yang demikian aneh, Tidak begitu seharusnya dalam latihan. Tidak sopan namanya. Akan tetapi masih menganggap bahwa sutenya tidak sengaja, maka ia pun cepat mengelak lalu balas menyerang dengan Kiam-ciang yang dikombinasikan dengan cengkeraman Tok-jiauw-kang. Akan tetapi tentu ia menahan dan membatasi tenaganya agar jangan sampai melukai sutenya yang ia tahu belum begitu sempurna menguasai kedua ilmu itu! Akan tetapi, semua serangannya ternyata dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Seng Bu, dan pemuda itu membalas lagi semakin lama semakin dasyat!

   
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Duk-duk-plakkk!"

   Tiga kali beruntun kedua tangan mereka saling bertemu ketika terpaksa Lu Sek menangkis serangan sutenya yang amat dasyat, dan karena ia membatasi tenaganya, akibatnya ia terdorong dan terhuyung ke belakang.

   "Sute, gerakanmu sudah hebat dan amat kuat!"

   Ia berseru kaget, akan tetapi kembali ia merasa ngeri melihat sinar mata sutenya yang demikian aneh,mencorong dan senyumnya semakin menakutkan. Bahkan tanpa mengeluarkan kata apa pun, sutenya kini meloncat ke depan dan menerjang lagi dengan dasyat. Lu Sek semakin kaget. Sutenya nyerangnya dengan Kiam-ciang atau Tok-jiauw-kang, akan tetapi dengan tenaga yang dahsyat dan sama sekali bukan orang yang sedang mengajaknya berlatih. Sutenya menyerangnya seperti orang yang berkelahi, menyerang sungguh-sungguh, dengan pukulan-pukulan maut! Terpaksa ia mengerahkan tenaganya untuk memukul mundur sutenya. Ketika sutenya memukul ke arah dadanya dengan Kiamciang, ia pun mengerahkan seluruh tenaga dan menangkis dengan gerakan Kiam-ciang pula.

   "Wuuuttt.... desss....!!"

   Dua tenaga bertemu melalui pukulan tangan miring dan akibatnya, tubuh Lu Sek terjengkang dan tentu ia terbanting roboh kalau saja tidak cepat membuat gerakan bergulingan. Ketika ia meloncat bangun, ia merasa napasnya agak sesak dan ia memandang kepada sutenya dengan mata terbelalak.

   "Sute, kau...."

   "Lu-suci, kita belum selesai latihan. Sambut seranganku ini!"

   Katanya dan tanpa memberi kesempatan lagi kepada Lu Sek, Seng Bu sudah menerjang lagi dengan pukulan kombinasi antara Kiam-ciang dan Tok-jiauw-kang (Cakar Beracun).

   "Hemmm....!"

   Kini Lu Sek menjadi marah. Kiranya sutenya ini benar-benar hendak memamerkan kepandaiannya dan biarpun ia terkejut menyaksikan kemajuan sutenya, namun ia merasa lebih unggul dan ia pun tidak mau kalah. Apalagi, ia adalah menjadi ketua Thian-li-pang.

   Bagaimana ia sampai dapat dikalahkan seorang pembantunya, juga sutenya yang minta petunjuk dalam ilmu silat darinya? Lu Sek kini mengerahkan seluruh tenaga-nya dan memainkan kedua ilmu itu sebaik mungkin. Terjadilah serang-menyerang yang hebat dan seru. Memang harus diakui oleh Seng Bu bahwa dalam hal penggunaan kedua ilmu itu, dia masih kalah mahir dibandingkan sucinya. Kalau dia hanya mempergunakan kedua ilmu itu tanpa menambah tenaga mujijat yang dihimpunnya melalui latihan ilmu rahasia Bu-kek-hoat-keng, jelas dia tidak akan mampu menandingi sucinya. Akan tetapi, setiap kali beradu lengan, diam-diam dia mengerahkan tenaga mujijat itu dan selalu sucinya terpental dan terhuyung ke belakang. Karena kalah tenaga, maka Seng Bu dapat menutupi kekalahannya dalam kemahiran memainkan kedua ilmu itu, bahkan kini dia yang mendesak hebat!

   "Desss....!!"

   Kembali kedua tangan mereka saling bertemu dan kembali Lu Sek terpental dan terjengkang, dengan dada terasa makin sesak. Dan pada saat itu, Seng Bu sudah meloncat ke depan dan mengirim tamparan susulan dengan Kiam-ciang ke arah kepala sucinya yang masih belum sempat bangun.

   "Sute, kau....!"

   Lu Sek mengangkat tangan menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

   "Plakkk!"

   Tubuhnya terdorong dan bergulingan, dan dari mulutnya keluar darah, dadanya terasa nyeri.

   "Ouw-sute, apa yang kau lakukan ini?"

   Bentak Lauw Kin yang tiba-tiba sudah berada di situ. Melihat tunangannya terdesak bahkan muntah darah, tentu saja Lauw Kin terkejut dan marah sekali. Dia memang sudah merasa curiga kepada Seng Bu kemarin, maka pagi ini dia sengaja datang ke tempat itu untuk melihat keadaan tunangannya. Dan ternyata kekhawatirannya terbukti. Dalam berlatih melawan Seng Bu, agaknya tunangannya terluka, dan latihan itu agaknya menjadi perkelahian yang sungguh-sungguh.

   "Dia.... dia menjadi gila....!"

   Kata Lu Sek yang sudah dapat bangkit kembali.

   "Ouw-sute, apa yang kau lakukan ini? Kenapa engkau melukai. ketua kita?"

   Kembali Lauw Kin menegur Ouw Seng Bu dengan alis berkerut. Tiba-tiba Seng Bu tertawa dan kedua orang itu saling pandang, merasa ngeri. Itu bukan tawa manusia waras! Mirip tawa iblis, atau tawa orang sinting.

   "Heh-heh-ha-ha-hah....! Engkau boleh maju sekalian, Lauw-suheng. Atau engkau tidak berani? Takut berlatih melawan sutemu seperti Lu-suci? Heh-heh-heh, ketua dan wakil ketua Thian-li-pang begini pengecut! Sungguh tidak pantas!"

   Lauw Kin dan Lu Sek terbelalak, terkejut dan heran, akan tetapi juga marah sekali. Gila atau tidak, Ouw Seng Bu ini sungguh merupakan seorang murid yang murtad!

   "Ouw-sute, sadarlah! Sudah gilakah engkau?"

   Bentak Lu Sek marah, akan tetapi karena ia tadi melihat kenyataan betapa lihai sutenya ini, ia kini sudah siap waspada dan sudah meraba gagang pedangnya, sedangkan Lauw Kin meraba gagang goloknya.

   "Ha-ha-ha, berani atau takut, tetap saja aku akan menyerang kalian! Nah, sambutlah ini!"

   Dia sudah menyerang lagi dengan tamparan-tamparan Kiam-ciang. Karena maklum betapa serangan itu amat berbahaya, Lu Sek meloncat ke belakang, diikuti Lauw Kin dan mereka kini sudah mencabut pedang dan golok.

   "Ouw-sute, sadarlah! Atau terpaksa kami akan menghadapimu dengan senjata. Engkau dapat merupakan bahaya besar bagi Thian-li-pang kalau tidak mau sadar dan berubah gila!"

   Ouw Seng Bu tersenyurn dan sekali ini bukan hanya Lu Sek yang merasa ngeri, juga Lauw Kin memandang dengan terbelalak karena dia pun tidak lagi mengenal sutenya dengan senyum seperti itu.

   "Kalian mencabut senjata? Bagus, bagus! Kesempatan bagiku untuk menguji kepandaianku sendiri. Nah, sambutlah seranganku dengan senjata kalian, heh-heh-heh!"

   Sambil tertawa-tawa Ouw Seng Bu sudah menyerang lagi,

   Akan tetapi kedua orang kakak seperguruannya itu terkejut dan terheran bukan main karena kini gerakan sute mereka itu sama sekali berlainan dengan gerakan ilmu silat yang pernah mereka pelajari. Gerakan itu aneh sekali dan nampaknya seperti gerakan yang kacau, gerakan pesilat yang mungkin gila! Karena maklum betapa besar bahayanya kalau sute yang gila ini dibiarkan saja, Lu Sek sudah meloncat ke depan menyambut serangan itu dengan pedangnya, dengan maksud merobohkan sutenya, menangkap atau kalau perlu membunuhnya. Lu Sek yang memiliki gerakan ringan dan cepat itu, sudah memutar pedang dan meloncat ke depan, menyambut gerakan kedua tangan sute yang seperti hendak mencakar itu dengan sambaran pedangnya!

   "Wuuut.... singgg....! Krakkk....!"

   Pedang itu bertemu dengan jari tangan kanan Seng Bu dan pedang itu patah-patah, kemudian tangan kiri Seng Bu menampar ke depan dengan jari tangan terbuka, bukan gerakan Kiam-ciang, melainkan gerakan aneh. Angin yang panas sekali menyambar ke arah dada Lu Sek dan wanita itu mengeluarkan jerit tertahan, tubuhnya roboh dan tak bergerak lagi. Ketika Lauw Kin memandangnya, dia terbelalak dengan wajah pucat melihat betapa tunangannya itu telah tewas dalam keadaan tubuh menghitam seperti hangus terbakar!
(Lanjut ke Jilid 09)

   Si Tangan Sakti (Seri ke 16 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09
"Kau.... jahanam.... kau membunuhnya....!"

   Lauw Kin menjadi marah dan sedih sekali. Dengan nekat dia maju menggerakkan goloknya, menerjang maju dan menyerang Seng Bu dengan cepat sekali.

   "Bagus, memang engkau harus pergi untuk selamanya agar tidak menjadi penghalang bagiku!"

   Bentak Seng Bu dan dia menyambut golok itu dengan kedua tangannya.

   Tangan kirinya begitu saja, dengan jari terbuka, menerima golok itu dan mencengkeramnya. Bukan main hebatnya jari-jari tangan itu karena begitu kena dicengkeram, golok itu pun patah-patah dan remuk! Kemudian, tangan kanan Seng Bu sudah memukul ke depan. Dada Lauw Kin terkena tamparan itu dan dia pun terjengkang dan tewas seketika di dekat mayat tunangannya dengan tubuh hangus pula. Ouw Seng tertawa bergelak seperti seekor binatang buas, akan tetapi hanya sebentar karena kemudian sikapnya itu berubah kembali. Dia tidak tertawa lagi, juga sinar matanya tidak liar dan mulutnya, tidak mengandung senyum iblis. Dia nampak tenang dan termenung berdiri memandang ke arah dua mayat suheng dan sucinya yang telah dibunuhnya. Pikirannya bekerja, penuh kelicikan.

   Dia sudah berhasil membunuh ketua dan wakil ketua Thian-li-pang. Hanya ada satu lagi pengganjal yang akan menjadi penghalang dia memimpin Thian-li-pang, yaitu gurunya sendiri, Lauw Kang Hui! Kakek itu tentu tidak akan tinggal diam kalau mendengar betapa kedua orang murid tersayang itu tewas, apalagi kalau tahu bahwa dia membunuh mereka, pikirnya. Kalau penghalang yang tinggal seorang ini disingkirkan, siapa lagi yang akan berani dan mampu menghalanginya menjadi ketua Thian-li-pang? Tak lama kemudian, di pagi hari buta itu, dia sudah mengetuk pintu kamar Lauw Kang Hui. Seperti biasa, kakek ini sejak pagi sekali sudah terbangun dan sudah duduk samadhi. Mendengar ketuken pintu, hatinya merasa tidak senang. Siapa berani demikian lancangnya mengganggu samadhinya di pagi hari seperti itu?

   "Siapa?"

   Tanyanya, suaranya halus namun mengandung ketidaksabaran karena merasa terganggu.

   "Suhu, teecu ingin melaporkan hal yang amat penting dan gawat!"

   Terdengar suara Seng Bu dari luar, juga lirih akan tetapi dapat didengar jelas oleh orang pertama Thian-li-pang itu.

   "Masuklah, pintunya tidak terkunci."

   Kata Lauw Kang Hui. Seng Bu masuk dan berlutut di depan gurunya.

   "Seng Bu, ada apakah engkau sepagi ini menggangguku dari samadhi?"

   "Maaf, Suhu. Telah terjadi sesuatu dengan suci Lu Sek dan suheng Lauw Kin. Marilah Suhu tengok sendiri dan melihat keadaan mereka.

   "Hemmm, ada apa dengan mereka?"

   "Mereka.... ahhh, teecu khawatir sekali, Suhu. Marilah, kita ke sana dan Suhu melihat sendiri!"

   Kata Seng Bu sambil bangkit dan keluar dari kamar itu. Tentu saja Lauw Kang Hui menjadi heran dan tertarik, lalu dia bangkit dan mengikuti muridnya. Dia menjadi semakin heran ketika muridnya itu pergi ke tempat sunyi yang dikeramatkan, yaitu di daerah yang terdapat sumur yang dahulu dipakai sebagai tempat menghukum kakek Ciu, yaitu mendiang supeknya (uwa gurunya). Lauw Kang Hui mengerutkan alisnya.

   "Seng Bu, kenapa engkau mengajakku ke tempat ini?"

   Dia merasa tidak enak juga melihat ke arah dua buah sumur itu, yang sebuah tertimbun batu, yang sebuah lagi tersembunyi di balik semak belukar dan tempat ini merupakan tempat yang mengerikan.

   "Lihatlah, Suhu."

   Kata Seng Bu dan dia berhenti tak jauh dari semak yang menyembunyikan sumur ke dua yang masih belum ditimbuni apa-apa. Lauw Kang Hui menghampiri dan dia terbelalak memandang kepada tubuh dua orang muridnya yang rebah telentang dengan muka, leher dan tangan menghitam seperti arang! Kakek itu mengeluarkan suara tertahan, berjongkok untuk memeriksa mereka, makin heran dan terkejut ketika mendapat kenyataan. bahwa mereka tewas oleh pukulan beracun yang tidak dikenalnya.

   "Apa yang telah terjadi? Siapa yang telah membunuh mereka?"

   Tanyanya sambil berdiri dan memandang Seng Bu dengan muka agak pucat dan mata terbelalak. Dan tiba-tiba dia melihat perubahan pada wajah yang tampan itu. Sepasang mata pemuda itu menco-rong liar, dan senyum aneh berkembang di bibirnya, senyum iblis!

   "Mereka mengajak teecu berlatih silat dan mereka roboh terpukul oleh teecu,"

   Katanya dengan nada suara mengejek walaupun kata-katanya masih menghormat. Sepasang mata kakek itu semakin dilebarkan dan dia mengamati muridnya itu dari kepala sampai ke kaki.

   "Tidak mungkin! Engkau tidak akan mampu mengalahkan mereka, apalagi memukul mati seperti ini!"

   "Hemmm, kalau Suhu tidak percaya, boleh Suhu buktikan sendiri. Apalagi mereka, Suhu pun tidak akan mampu menandingiku dan aku dapat membunuhmu dengan mudah."

   Tentu saja kakek itu menjadi marah bukan main.

   "Engkau telah gila!"

   Teriaknya marah.

   "Dan engkau akan mati bersama mereka!"

   Kata Seng Bu dan dia pun kini sudah menggerakkan kaki tangannya menyerang gurunya sendiri.

   Lauw Kang Hui kini sudah menjadi marah sekali. Dua orang muridnya tersayang tewas, padahal mereka baru saja dia angkat menjadi ketua dan wakil ketua. Kalau tadinya dia masih tidak percaya bahwa Seng Bu yang membunuh mereka, bukan saja karena dia tahu betapa tingkat kepandaian Seng Bu masih kalah dibandingkan Lu Sek juga tidak ada alasan mengapa pemuda ini harus membunuh suci dan suhengnya, kini tiba-tiba dia teringat. Ketua dan wakil ketua dibunuh! Ini berarti bahwa Seng Bu merasa iri dan ingin merebut kedudukan ketua! Akan tetapi, dia tidak sempat berpikir lagi karena melihat Seng Bu berani menyerangnya, dia cepat mengerahkan tenaga dan menangkis, dengan maksud sekali tangkis dapat merobohkan dan menangkap murid yang agaknya tiba-tiba menjadi gila itu.

   "Dukkk....!!"

   Lauw Kang Hui mengeluarkan gerengan kaget dan marah ketika benturan lengan itu membuat dia terhuyung ke belakang! Seng Bu sendiri hanya tergetar saja, namun dapat mempertahan-kan kuda-kudanya. Ini tidak mungkin, pikirnya! Akan tetapi, pemuda itu menyeringai dan kini melakukan gerakan yang aneh, lalu menerjang lagi ke depan, tangan kirinya menyambar. Hawa pukulan yang panas sekali menerjangnya! Kakek itu cepat menyambut dengan kedua tangannya.

   "Desss....!!"

   Dan sekali ini, dia terjengkang! Sambil mengerahkan seluruh tenaganya, Lauw Kang Hui meloncat bangun berdiri dan memandang kepada murid itu dengan mata hampir tidak percaya.

   "Ilmu.. siluman apakah itu..?"

   Saking herannya, dia bertanya, keheranan yang melampaui kemarahannya.

   "Ha-ha-heh-heh-heh, Suhu, engkau selalu memuji-muji Yo Han dengan ilmu Bu-kek Hoat-keng! Nah, inilah Bu-kek Hoat-keng! Bukan hanya Yo Han yang menguasainya, aku pun telah menguasainya dan kalau dia berani muncul, akan kuhancurkan kepalanya. Sekarang, bersiaplah untuk menemani suci Lu Sek dan suheng Lauw Kin!"

   Lauw Kang Hui marah bukan main dan dia pun mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kepandaiannya, bahkan melakukan gerakan ilmu silat Tokjiauw-kang dan Kiam-ciang yang sudah mencapai tingkat tinggi.

   Maklum bahwa kalau dia mengandalkan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya dari kakek itu, dia tidak mungkin akan menang, maka Seng Bu segera memainkan ilmunya yang didapat dengan rahasia di dalam sumur, yaitu ilmu Bu-kek Hoat-keng yang dipelajarinya secara ngawur dan terbalik-balik. Dan memang hebat bukan main ilmu ini. Ilmu Bu-kek Hoat-keng yang aselinya, seperti yang dikuasai Yo Han, sudah merupakan ilmu ajaib, memiliki daya atau pengaruh yang aneh, yaitu selain gerakannya aneh dan lihai, mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, kalau ada lawan, betapapun lihainya, menyerang dengan kemarahan dan kebencian dalam hati, maka serangan itu akan membalik dan menghantam si penyerang sendiri!

   Kini, ilmu aneh yang dipelajari secara ngawur dan terbalik oleh Seng Bu itu, memberinya ilmu yang luar biasa kejamnya, walaupun pengaruh ilmu itu membalik kepada dirinya, membuat dia kalau sedang kumat seperti orang gila, atau lebih tepat seperti iblis sendiri. Lauw Kang Hui adalah seorang datuk yang sudah memiliki tingkat tinggi dalam ilmu silat. Jarang ada tokoh mampu menandinginya. Akan tetapi sekarang, bertanding mati-matian melawan muridnya sendiri, dia mulai terdesak setelah mampu bertahan sampai lima puluh jurus. Kedua lengan sudah terasa panas seperti dibakar setelah beberapa kali bertemu dengan lengan Seng Bu. Dia merasa menyesal, mengapa tadi tidak membawa golok besar, senjata andalangya. Sejak melepaskan kedudukan ketua Thian-li-pang dan bersamadhi, dia sudah menyingkirkan golok itu, maka tadi ketika pergi ke tempat ini, dia pun tidak membawa senjata.

   "Heh-he-heh, Lauw Kang Hui, sekarang engkau mati!"

   Kata Seng Bu, sikapnya sama sekali berubah dan tidak lagi menyebut suhu. Lauw Kang Hui menjadi nekat dan dia pun mengerahkan seluruh tenaganya, menerjang ke depan.

   "Hyaaaaattt....!!"

   Bentaknya dan suara gerengannya seperti seekor binatang buas yang terluka. Seng Bu tersenyum mengejek. Ketika kedua tangan gurunya yang mendorong itu meluncur ke arah dadanya, tiba-tiba dia merendahkan diri hampir berjongkok sehingga kedua tangan Lauw Kang Hui menyambar lewat atas kepalanya dan pada detik itu juga, tangan kiri Seng Bu sudah mencuat ke depan, menghantam dengan telapak tangannya ke arah dada Lauw Kang Hui.

   "Hukkk.... !!"

   Mata kakek itu melotot, punggungnya melengkung dan dia pun terbanting ke belakang, terjengkang.

   "Kau.... Kau...."

   Suaranya terhenti karena dia muntah darah, tubuhnya berkelojotan sebentar, matanya mendelik memandang Seng Bu dan akhirnya dia tidak bergerak lagi,

   Kulit tubuhnya berubah menghitam seperti dibakar sampai hangus! Kembali Seng Bu mengeluarkan suara tawa yang mengerikan itu sambil berdiri memandang tiga buah mayat yang hangus. Tiba-tiba sikapnya berubah lagi, termenung dan pendiam, dan segera dia lari ke perkampungan Thian-li-pang, dan dipukulnya kentungan tanda bahaya dengan gencar. Tentu saja para anggauta Thian-li-pang terkejut. Bahkan yang masih tidur, segera terbangun dan mereke berlari-larian menuju ke gardu di mana Seng Bu memukuli kentungan dengan gencar seperti orang kesetanan. Setelah semua anggauta berkumpul, kurang lebih seratus orang banyaknya, dan mereka bertanya-tanya mengapa pembantu ketua baru itu memukuli kentungan tanda bahaya. Seng Bu menghentikan perbuatannya dan dengan napas terengah dia berkata,

   "Celaka, terjadi pembunuhan besar-besaran!"

   "Apa? Siapa yang dibunuh? Di mana? Apa yang terjadi?"

   Pertanyaan-pertanyaan itu saling susul dengan gencar, ditujukan kepada Seng Bu.

   "Mari kalian semua ikut aku dan lihat sendiri!"

   Katanya dan dia pun berlari keluar dari perkampungan, diikuti oleh semua anggauta. Melihat pemuda itu lari menuju ke sumur tua yang merupakan tempat yang ditakuti dan dikeramatkan, para anggauta menjadi semakin heran, akan tetapi mereka mengikuti terus sampai akhirnya Seng Bu berhenti di dekat sumur tua yang tertutup semuk belukar.

   "Nah, kalian lihat sendiri!"

   Katanya sambil menunjuk ke arah tiga sosok mayat di atas tanah. Ketika para angguta melihat tiga buah mayat itu, mula-mula mereka tidak mengenal, akan tetapi setelah mereka mengamati wajah-wajah menghitam itu dan mengenal mereka, tentu saja mereka menjadi gempar. Ketua lama, ketua baru dan wakilnya telah mati dibunuh orang, mati dalam keadaan yang amat menyedihkan, dengan seluruh tubuh menjadi hangus! Segera terdengar jerit tangis dan keadaan menjadi amat gaduh, di samping pertanyaan yang dihujankan kepada Seng Bu.

   "Ouw-sute, apa yang telah terjadi?"

   "Ouw-suheng, siapa pembunuh mereka?"

   Demikian pertanyaan yang datang dari para suhengnya, sutenya atau suci-nya, juga para paman dan bibi gurunya. Seng Bu mengangkat kedua tangan ke atas.

   "Harap kalian suka tenang dulu. Dalam keadaan gaduh begini, bagaimana aku dapat bicara? Tenanglah, tenang dan hentikan lolong dan tangis itu!"

   

Kisah Si Bangau Putih Eps 28 Suling Naga Eps 37 Suling Naga Eps 40

Cari Blog Ini