Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 13


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



"Aha! Siapakah gurumu itu, orang muda?"

   "Suhu bernama Suma Ciang Bun,"

   "She Suma? Ha-ha, benar sekali. Dia tentu putera Suma Kian Lee atau Suma Kian Bu."

   Girang sekali hati Hong Beng. Kiranya kakek ini malah mengenal keluarga Pulau Es!

   "Suhu adalah putera sukong Suma Kian Lee."

   "Omitohud....! Benar kiranya bahwa dunia ini tidak begitu besar kalau orang mempunyai banyak kenalan. Berpisah dari Suma Kian Lee sejak muda, sekarang tahu-tahu bertemu dengan murid dari puteranya. Dan kau, nona muda? Dua kali pukulanmu tadi mengingatkan pinceng akan ilmu mujijat dari Gurun Pasir...."

   "Mereka adalah suhu dan subo!"

   Bi Lan berseru.

   "Suhu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!"

   "Omitohud....! Engkau yang begini muda menjadi murid Kao Kok Cu dan Wan Ceng? Luar biasa sekali! Ha-ha-ha-ha, makin sempit saja dunia ini. Akan tetapi, nona muda. Kalau engkau benar murid mereka, bagaimana sampai pedang dari tanganmu dapat terampas oleh Sai-cu Lama? Walaupun dia memang lihai sekali, akan tetapi agaknya tidak akan mudah mengalahkan murid suami isteri dari Istana Gurun Pasir!"

   Wajah Bi Lan berubah merah karena ucapan itu merupakan celaan kepadanya dan harus diakuinya bahwa ia menjadi murid suami isteri sakti itu hanya selama setengah tahun saja. Ia seorang yang jujur dan ia tidak mau menurunkan harga diri dari suami isteri yang amat baik kepadanya itu, maka iapun cepat berkata,

   "Andaikata aku belajar ilmu dari suhu dan subo sejak kecil, tentu sekali tonjok saja si muka singa itu akan mampus di tanganku!"

   Timbul kembali sifat kasar dan liarnya berkat ajaran Sam Kwi sehingga kakek itu memandang dengan mata lebar.

   "Akan tetapi sayang, hanya setengah tahun saja aku dilatih oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan sebelum itu aku menjadi murid Sam Kwi selama tujuh tahun."

   Kembali kakek itu terbelalak.

   "Kau maksudkan Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat dan Iblis Mayat Hidup itu?"

   "Eh, locianpwe, agaknya locianpwe mengenal semua orang!"

   Bi Lan kini bertanya kaget dan heran.

   "Memang benar mereka itu guru-guruku."

   Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul bersih.

   "Omitohud....!"

   Dia cepat merangkap kedua tangan untuk menghentikan kebiasaannya di waktu muda yang sampai tua masih sukar dilenyapkan itu.

   "Bagaimana mungkin orang menjadi murid Sam Kwi dan murid pendekar lengan tunggal Kao Kok Cu? Dan kau tadi bicara tentang pedang pusaka? Jangan-jangan pedang Ban-tok-kiam milik Wan Ceng pula yang kau bicarakan itu."

   Kini Bi Lan terbelalak.

   "Wah, Locianpwe ini orang apa sih? Bagaimana bisa tahu segala hal? Memang benar pedang yang dirampas muka singa itu adalah Ban-tok-kiam milik subo yang dipinjamkan kepadaku!"

   "Siancai, siancai, siancai....! Bagaimana Wan Ceng begitu bodoh untuk meminjamkan pedang itu kepada muridnya yang masih begini hijau?

   "Locianpwe, jangan menghina orang!"

   "Siapa menghina orang? Pinceng bicara benar. Kau tahu, malapetaka hebat telah terjadi. Kalau tidak memiliki pusaka ampuh, Sai-cu Lama masih tidak begitu membahayakan. Akan tetapi kini Ban-tok-kiam berada di tangannya! Sama saja dengan seekor singa buas tumbuh sayap. Celaka. celaka!"

   "Locianpwe, kami mohon petunjuk."

   Hong Beng cepat berkata untuk menengahi karena juga agaknya dia tidak menghendaki Bi Lan bersikap kasar terhadap kakek yang ternyata selain sakti, juga mengenal banyak tokoh di dunia kang-ouw itu.

   "Karena pedang Ban-tok-kiam milik Wan Ceng yang dirampasnya, pincengpun berkewajiban untuk merebutnya kembali. Nona muda, kalau bertemu subomu, katakan bahwa pinceng kelak akan mengantarkan Ban-tok-kiam ke Istana Gurun Pasir kalau berhasil merampasnya dari tangan Sai-cu!"

   Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat dan lenyap dari situ dengan kecepatan yang mentakjubkan!

   "Locianpwe, siapa engkau? Bagaimana aku harus melapor kepada subo?"

   Teriak Bi Lan penasaran sambil melihat ke bawah lereng di mana nampak bayangan kakek itu kecil sekali, tanda dia sudah pergi jauh.

   "Katakan Tiong Khi Hwesio yang bicara. Ha-haha!"

   Terdengar suara lapat-lapat disusul suara melengking tinggi nyaring seperti tadi. Sejenak dua orang itu diam saja, masih terpesona oleh kehadiran kakek pendeta aneh itu. Akhirnya Hong Beng menarik napas panjang.

   "Sungguh hebat! Dalam sekejap mata saja kita bertemu dengan dua orang kakek yang demikian lihainya. Aku yakin bahwa kalau Sai-cu Lama seorang tokoh jahat sekali, sebaliknya Tiong Khi Hwesio itu tentu seorang tokoh tua di dunia persilatan yang agaknya tidak asing dengan keluarga Pulau Es dan dengan penghuni Istana Gurun Pasir. Bahkan agaknya dia mengenal baik subomu dan juga sukongku. Sungguh aneh."

   "Kalau saja dia menepati janjinya dan dapat berhasil merebut Ban-tok-kiam. Kalau tidak, bagaimana aku berani menghadap subo?"

   "Jangan khawatir, Bi Lan. Bukankah locianpwe tadi mengatakan bahwa untuk bisa menjumpai Sai-cu Lama, kita harus pergi ke kota raja? Mari kita pergi ke sana, sekalian aku harus menunaikan tugas yang diberikan suhu kepadaku di sana."

   "Tugas apakah itu? kenapa harus ke kota raja?"

   Bi Lan bertanya. Karena dia tidak begitu percaya lagi akan kelihaian pendengarannya, yang terbukti dengan munculnya Sai-cu Lama yang tidak diketahuinya, maka Hong Beng menoleh ke kanan kiri sebelum menjawab. Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak ada lain orang, dia berkata lirih,

   "Ini merupakan rahasia, Bi Lan, akan tetapi aku percaya kepadamu. Aku ditugaskan ke kota raja untuk melakukan penyelidikan atas diri seorang pembesar tinggi yang dikabarkan kini mempunyai pengaruh yang amat luas di istana dan bahkan mempengaruhi kekuasaan kaisar, mempengaruhi jalannya pemerintahan. Kabarnya pembesar itu mempunyai niat buruk. Aku harus berhati-hati karena pembesar tiu dibantu orang-orang pandai. Bahkan suhu memesan kepadaku agar aku lebih dahulu minta keterangan dari bekas Panglima Kao Cin Liong, yaitu putera tunggal gurumu, Kao Kok Cu, dan juga minta bantuan dari susiok Suma Ceng Liong, adik dari suhu. Nah, karena aku pergi ke kota raja dan engkaupun agaknya harus ke sana untuk mendapatkan kembali pedang subomu, maka sebaiknya kita pergi bersama. Dengan berdua, kita akan lebih kuat dalam menghadapi kesukaran di perjalanan, bukan?"

   Bi Lan mengerutkan alisnya.

   "Aku sendiri tidak tahu akan pergi kemana setelah aku lari dari suci. Aku hanya mempunyai satu tugas, yaitu mencari pusaka yang sudah kujanjikan kepada suci."

   "Pusaka lagi? Pusaka apakah itu?"

   "Pusaka itupun sebuah pedang, akan tetapi pedang pusaka yang menurut Sam Kwi amat penting artinya. Namanya Liong-siauw-kiam, yang usianya sudah ribuan tahun, terbuat dari pada kayu yang diukir menjadi suling berbentuk naga yang indah, keras seperti baja karena direndam obat-obatan rahasia jaman dahulu. Pusaka itu bisa ditiup seperti suling, akan tetapi juga dapat dipergunakan sebagai pedang. Dan sepasang mata naga itu terbuat dari batu permata yang tak ternilai harganya. Pusaka itu dahulu pernah menjadi lambang raja-raja Bangsa Khitan, dan kemudian jatuh ke tangan Kaisar Jengis Khan dan menjadi pusaka kerajaan. Akan tetapi kemudian jatuh ke tangan susiok dari Sam Kwi yang bernama Pek-bin Lo-sian. Pusaka itu turun-temurun berada di tangan perguruan Sam Kwi, akan tetapi celakanya, Pek-bin Lo-sian tidak mau menyerahkan pusaka itu kepada Sam Kwi malah memberikannya kepada seorang pendekar!"

   "Eh, aneh sekali!"

   Kata Hong Beng.

   "Karena itu, Sam Kwi mengutus suci dan aku untuk mencari pusaka itu dan merampasnya kembali dari tangan pendekar itu."

   "Dan siapakah pendekar itu?"

   "Menurut suci, julukannya adalah Suling Naga, mungkin karena dia kini memiliki senjata Liong-siauw-kiam itu, dan katanya dia lihai bukan main. Aku harus mencari Pendekar Suling Naga itu dan merampas pusaka itu seperti sudah kujanjikan kepada suci!"

   "Biarpun sucimu telah mengkhianatimu dan bahkan hampir membunuhmu dengan jarum beracun?"

   "Janji tetap janji. Ia pernah menolongku dan aku sudah berjanji kepadanya, harus kupenuhi!"

   Diam-diam Hong Beng kagum bukan main. Jarang ada orang yang berhati teguh seperti gadis ini.

   "Baiklah, akupun akan membantumu mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam. Wah, dengan begini kita harus merampas dua batang pedang pusaka, Ban-tok kiam dan Liong-siauw-kiam!"

   "Kalau kau keberatan, jangan membantu. Aku pun tidak minta bantuanmu, Hong Beng!"

   Kata gadis itu dengan ketus.

   "Eh, eh, mengapa marah? Tentu saja aku suka sekali membantumu, Bi Lan. Nasib kita sama. Kita sama-sama yatim piatu, tiada sanak saudara. Dan nasib pula yang mempertemukan kita di sini, sejak di warung nasi itu. Marilah kita bekerja sama dan saling bantu, karena perjalanan ke kota raja bukanlah perjalanan yang dekat."

   Mereka berdua lalu menuruni lereng itu dan hati Bi Lan yang tadinya kecewa dan murung karena kehilangan Ban-tok-kiam, mulai terhibur sehingga dalam waktu beberapa hari saja, sudah pulih kembali sikapnya yang gembira dan jenaka. Kalau saja dua orang muda itu mengenal siapa adanya Tiong Khi Hwesio, tentu mereka akan terkejut dan tidak merasa aneh lagi mengapa hwesio itu mengenal tokoh-tokoh keluarga Pulau Es, bahkan mengenal baik kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng.

   Tiong Khi Hwesio bukanlah orang sembarangan. Di waktu mudanya, dia pernah menjadi seorang pendekar yang bersama-sama keturunan keluarga Pulau Es pernah menggegerkan dunia persilatan. Di waktu dia muda dahulu, nama Wan Tek Hoat dengan julukannya Si Jari Maut amat terkenal, Bahkan mengguncangkan dunia persilatan dengan wataknya yang keras dan kadang-kadang aneh. Dan diapun bukan keturunan sembarangan. Ayahnya yang bernama Wan Keng In adalah putera nenek Lulu yang kemudian menjadi isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Jadi, pendekar sakti itu adalah ayah tirinya. Ilmu kepandaian Wan Tek Hoat ini hebat sekali, sejajar dengan kepandaian para keluarga Pulau Es. Dia pernah digembleng oleh Sai-cu Lo-mo, seorang kakek sakti, kemudian ilmu kepandaiannya meningkat dengan amat hebatnya ketika dia mewarisi kitab-kitab dari Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauwjin dari Pulau Neraka!

   Para pembaca seri cerita JODOH RAJAWALI dan selanjutnya dapat mengikuti riwayat Wan Tek Hoat yang amat hebat itu. Kemudian, setelah mengalami kepahitan-kepahitan cinta asmara yang gagal, akhirnya dia berhasil juga menjadi suami wanita yang sejak semula telah dicintanya, yaitu Puteri Syanti Dewi, puteri negeri Bhutan. Bahkan sebagai mantu raja, Wan Tek Hoat terkenal sekali di Bhutan, membantu kerajaan itu dengan ilmu kepandaiannya, melatih para perwira, bahkan dia pernah berjasa sebagai panglima kerajaan menumpas kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di negara itu. Dia hidup penuh kasih sayang dengan isterinya, dan suami isteri ini mempunyai seorang anak perempuan bernama Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee. Tentu saja suami isteri ini amat sayang kepada puteri mereka karena mereka itu dikurniai seorang anak setelah usia mereka mendekati lima puluh tahun.

   Dan mengenai Wan Hong Bwee atau Gangga Dewi ini, dapat diikuti riwayatnya di dalam kisah Para Pendekar Pulau Es. Di dalam perantauannya, Gangga Dewi bertemu dengan Suma Ciang Bun yang jatuh cinta kepadanya, akan tetapi Gangga Dewi tidak membalas cintanya, bahkan melarikan diri kembali ke Bhutan. Kemudian, Wan Hong Bwee menikah dengan seorang pemuda perkasa di Bhutan yang menjadi murid ayahnya sendiri dan mereka hidup berbahagia karena pemuda itupun menjadi seorang panglima Bhutan yang terkenal. Ketika Wan Tek Hoat berusia hampir tujuh puluh tahun, dan isterinya hanya dua tahun lebih muda darinya, Syanti Dewi, isteri tercinta itu, meninggal dunia. Hal ini merupakan pukulan batin yang amat hebat bagi Wan Tek Hoat. Biarpun mereka mempunyai seorang puteri yang sudah mempunyai dua orang anak pula, namun kedukaan Wan Tek Hoat tak tertahankan oleh pendekar ini, membuatnya seperti orang gila.

   Dia tidak mau lagi kembali ke istana, dan hidup seperti orang gila di dekat makam isterinya! Sampai satu tahun lamanya dia bertapa di dekat makam isterinya, mengharapkan kematian akan segera menjemputnya agar dia dapat bersatu kembali dengan isteri tercinta. Namun, agaknya kematian belum juga mau menyentuhnya dan dia tetap segar bugar setelah setahun hidup di dekat makam. Semua bujukan dan hiburan Gangga Dewi dan suaminya tidak dapat mencairkan kedukaannya. Bahkan dia marah-marah dan tidak ada orang lain kecuali anaknya dan mantunya itu yang berani mendekati makam itu, apa lagi membujuk Wan Tek Hoat yang telah menjadi seorang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun itu. Salah-salah orang yang berani lancang membujuknya akan diserangnya dan celakalah kalau ada orang diserang oleh kakek yang sakti ini.

   Akan tetapi pada suatu pagi yang cerah, selagi Wan Tek Hoat seperti biasa duduk termenung di depan makam isterinya, membayangkan segala pengalamannya bersama Syanti Dewi di waktu mereka masih muda, tiba-tiba saja terdengar suara nyanyian seorang laki-laki, suara nyanyian lembut sekali. Mendengar ada suara orang di dekat situ, muka Wan Tek Hoat sudah menjadi merah dan matanya melotot. Kemarahan sudah menguasai hatinya yang setiap hari tenggelam ke dalam duka itu. Akan tetapi, pendengarannya tak dapat melepaskan kata-kata yang terkandung di dalam nyanyian itu. Menurut dorongan hatinya yang sudah rusak direndam racun duka selama satu tahun, ingin dia menghampiri orang yang berani bernyanyi-nyanyi di dekat makam itu dan seketika membunuhnya. Akan tetapi, kata-kata dalam nyanyian itu membuat dia tetap duduk terpukau dan mendengarkan. :

   Mana lebih baik siang atau malam?
Mana lebih baik hidup atau mati?
Siapa tahu?
Siapa bilang siang lebih indah daripada malam?
Siapa bilang hidup lebih enak dari pada mati?
Tanpa malam takkan ada siang,
tanpa mati takkan ada hidup.
Hidup dan mati tak terpisahkan.
Mati adalah lanjutan hidup,
dan hidup kelanjutan mati.
Mungkinkah meniadakan kematian?
Seperti meniadakan matahari tenggelam!
Bebas dari segala ikatan lahir batin
berarti hidup dalam mati dan mati dalam hidup
selalu senyum bahagia tidak perduli
dalam hidup maupun dalam mati
demikianlah seorang bijaksana sejati!

   Setelah mendengar semua kata-kata dalam nyanyian itu, Wan Tek Hoat mengerutkan alisnya dan diapun meloncat. Sekali tubuhnya melayang, dia sudah tiba di luar tanah kuburan itu dan berhadapan dengan seorang kakek yang berkepala gundul, memakai jubah hwesio, tangan kiri memegang tongkat, lengan kirinya digantungi sebuah keranjang dan tangan kanannya asyik memetik daun-daun obat yang dikumpulkannya di dalam keranjang. Sekali mengulur tangan, Wan Tek Hoat sudah mencengkeram jubah pendeta itu pada dadanya dan dengan mudah dia mengangkat tubuh pendeta itu ke atas, siap untuk memukul atau membantingnya. Akan tetapi, wajah pendeta yang usianya lebih tua darinya itu nampak tersenyum demikian lembutnya, pandang matanya sama sekali tidak menunjukkan rasa kaget atau takut sehingga timbul keheranan dan kekaguman di hati Wan Tek Hoat.

   "Kau bilang hidup dan mati tidak ada bedanya? Bagaimana kalau sekarang kubanting hancur tubuhmu dan nyawamu melayang ke akhirat?"

   Bentaknya dengan suara mengejek.

   "Siancai....! Orang lemah batin dan hanya kuat lahir, kau kira kau akan mampu melenyapkan kehidupan? Omitohud, semoga penerangan mengusir kegelapan dalam batinmu. Tubuh ini dapat kau hancurkan, tanpa kau hancurkanpun pada saatnya akan rusak sendiri. Mati hidup bukan urusan kita, akan tetapi mengisi kehidupan dengan kesadaran itulah kewajiban kita. Wahai saudara yang lemah batin, kalau kau anggap bahwa dengan jalan menghancurkan tubuhku ini engkau akan dapat terbebas daripada duka, silahkan. Aku tidak pernah terikat oleh apapun, tidak terikat pula oleh tubuh yang sudah tua dan rapuh ini. Silahkan!"

   Mendengar ucapan itu, dan melihat betapa benar-benar kakek yang tua renta ini sama sekali tidak gentar menghadapi ancamannya, seketika kedua lengan Wan Tek Hoat gemetar dan diapun menurunkan kakek itu kembali, lalu dia menutupi muka dengan kedua tangannya.

   "Saudara yang kuat lahir namun lemah batin, apa manfaatnya bagimu sendiri atau bagi orang lain atau bagi alam ini kalau engkau menenggelamkan dirimu di dalam lembah duka seperti ini? Mengapa kau biarkan racun kedukaan yang melahirkan kebencian itu menguasai batinmu?"

   Air mata menetes-netes turun melalui celah-celah jari tangan Wan Tek Hoat. Dia menangis sesenggukan! Peristiwa ini merupakan hal yang amat luar biasa. Wan Tek Hoat adalah seorang pendekar yang berhati baja. Biasanya, tangis merupakan pantangan besar baginya. Hatinya tak pernah menyerah dan tidak pernah memperlihatkan kelemahan. Di depan orang lain, sampai matipun dia tentu merasa malu untuk menangis. Akan tetapi kini, mendengar ucapan kakek itu, dia menangis sesenggukan,

   Tak tertahankannya lagi karena air matanya itu seperti air bah yang tadinya terbendung oleh bendungan yang amat kuat. Akan tetapi kini bendungan itu jebol dan air bah menerjang keluar tak dapat ditahannya lagi. Wan Tek Hoat, pendekar yang pernah dijuluki Si Jari Maut itu kini menangis seperti seorang anak kecil, menutupi muka dengan kedua tangan, terisak-isak, kedua pundaknya terguncang-guncang dan air mata menitik turun melalui celah-celah jari tangannya. Pendeta berkepala gundul itu membiarkan Wan Tek Hoat menangis seperti anak kecil, memandang sambil tersenyum dan mengangguk-angguk. Kakek yang arif bijaksana ini seolah-olah melihat getaran kekuatan duka ikut terseret keluar melalui banjir air mata itu dan maklumlah dia bahwa tangis yang mendalam ini sedikit banyak akan membebaskan dada si penderita ini dari pada tekanan duka.

   Tangis akan membebaskan orang dari tekanan duka yang dapat mendatangkan penyakit berat pada tubuh. Setelah diserang oleh dorongan tangis yang hebat itu, Wan Tek Hoat akhirnya sadar akan keadaan dirinya. Hal ini membuat dia merasa terkejut dan malu, dan cepat dia mengangkat mukanya memandang, karena kemarahan sudah timbul kembali ke dalam hatinya yang keras. Ketika dia mengangkat muka, pandang matanya yang agak kabur oleh air mata, bertemu dengan wajah yang demikian lembut dan mengandung kasih demikian mendalam, pancaran sinar mata yang demikian halus dan penuh pengertian, dan seketika luluh rasa hati Wan Tek Hoat. Semua kemarahannya lenyap bagaikan api disiram air. Dan pendekar tua yang selamanya tak pernah mau tunduk kepada orang lain itupun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki yang bersandal rumput itu.

   "Suhu yang budiman, saya mohon petunjuk dan berkah...."

   Melihat ini, kakek yang usianya tentu sudah delapan puluh tahun lebih itu tersenyum, senyum yang tidak bersuara akan tetapi seolah-olah keadaan sekeliling tempat itu ikut terseret dalam senyum bahagia itu.

   "Omitohud...., saudaraku yang baik, marilah kita duduk dan bicara dengan baik-baik."

   Diapun lalu duduk di atas rumput, di depan Wan Tek Hoat yang juga sudah duduk bersila.

   Dengan tenang dan sabar kakek itu meletakkan tongkat dan keranjangnya di kanan kiri tubuhnya, membereskan jubahnya dan duduk bersila dengan tubuh tegak lurus dengan enak sekali, tanda bahwa duduk bersila dengan baik merupakan pekerjaan yang sudah dikuasainya dengan sempurna. Sejenak mereka duduk berhadapan dan saling berpandangan. Bagi orang-orang yang sudah waspada atau setengah waspada, terdapat suatu hubungan antar manusia tanpa kata. Pandang mata yang didasari sari perasaan yang tercurah sudah cukup mengadakan komunikasi yang mendalam, dan di sini memang kata-kata tidak diperlukan lagi. Akan tetapi, kakek itu melihat betapa batin Wan Tek Hoat masih penuh dengan uap beracun yang dinamakan duka, maka dia menarik napas panjang lagi.

   "Omitohud, saudaraku yang baik. Jangan minta petunjuk dari pinceng. Petunjuk sudah ada seleng-kapnya dan sebijaksana mungkin di sekitar dirimu, di luar dirimu, di dalam dirimu. Engkau hanya tinggal membuka mata, baik mata badan maupun mata batin, membuka dan memandang, mengamati, dan engkau sudah mendapatkan segala macam petunjuk yang kaunbutuhkan dalam kehidupan ini. Engkau tidak lagi perlu meminta berkah karena kalau engkau mau membuka mata batinmu, akan nampaklah bahwa berkah itu sudah mengalir berlimpahan sejak kita lahir sampai kita mati, tiada putus-putusnya berkah mengalir kepada kita. Kita tinggal mengulur tangan dan meraih saja. Sayang, betapa banyaknya mata manusia seolah-olah buta, tidak melihat akan limpahan berkah, merengek dan meminta-minta selalu tanpa melihat yang sudah ada. Lihat! Napasku adalah berkah, denyut darahku adalah berkah, kehidupanku adalah berkah, alam semesta adalah berkah. Lalu apa lagi yang harus kita minta? Kita tidak mau melihat itu semua, melainkan merendam diri ke dalam duka, kehilangan, kekecewaan, kesengsaraan. Betapapun bodohnya kita ini!"

   Wan Tek Hoat bukanlah seorang anak bodoh, melainkan seorang kakek yang sudah banyak belajar, dan banyak pula mempelajari filsafat dan kitab-kitab suci kuno. Akan tetapi, baru kini dia mendengar ucapan yang begitu sederhana namun menembus batinnya, dan hatinyapun tunduk. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang arif bijaksana, seorang yang patut dijadikan tempat bertanya, seorang yang tidak lagi diperhambakan oleh nafsu-nafsunya dan perasaan-perasaan hatinya.

   "Akan tetapi, suhu yang mulia. Saya menderita duka karena kematian isteri saya tercinta. Bukankah hal itupun wajar saja? Saya seorang manusia yang berperasaan, tidak lepas dari pada suka duka, dan saya amat mencinta isteri saya, yang lebih saya cintai dari pada apapun juga di dunia ini. Dan sekarang ia.... ia.... telah meninggal dunia...."

   Duka menyesak dadanya sehingga kalimat terakhir itu tersendat-sendat. Kakek itu masih tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu mengangkat muka memandang ke arah awan berarak dan kembali dia bernyanyi. :

   Anak isteri ini milik saya,
harta benda itu milik saya,
dengan pikiran ini si dungu selalu tersiksa,
dirinya sendiripun bukan miliknya,
apa lagi anak isteri dan harta benda?

   Wan Tek Hoat membantah,

   "Suhu yang mulia, duka ini datang tanpa saya sengaja, bagaimana akan dapat menghilangkan duka selagi hidup di dunia?"

   "Omitohud, perlukah hal ini saudara tanyakan lagi?"

   Kata kakek itu dengan ramah.

   "Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, itulah orang bijaksana yang tidak akan tersentuh duka."

   "Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, bagaimana pula ini, suhu? Bukankah mempunyai sama dengan memiliki?"

   "Mempunyai lahiriah, hal itu terikat oleh hukumhukum lahiriah buatan manusia. Mempunyai badaniah tidak perlu menjadi memiliki batiniah. Keluargaku dengan segala hak dan kewajibannya, hal itu adalah urusan lahiriah yang diperlukan untuk kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi, batin tidak perlu memiliki karena sekali batin memiliki, maka akan terjadi ikatan batin dan inilah sumber segala kesengsaraan, sumber segala duka! Harta bendaku hanya kepunyaan badan karena harta benda hanya diperlukan oleh badan. Namun, sekali batin memiliki pula harta benda itu, akan terjadilah kehilangan yang akan mengakibatkan duka dan kesengsaraan. Ingat, hanya dia yang memiliki sajalah yang akan kehilangan. Batin yang tidak memiliki apa-apa, batin yang bebas dan tidak terikat oleh apapun juga, tidak terikat oleh isteri, oleh anak, keluarga, harta benda dan sebagainya, batin seperti itu bebas dan murni dan takkan tersentuh duka. Lihat, saudaraku yang baik. Badan ini memang punya saya, dan adalah kewajiban saya untuk menjaganya, memeliharanya, membersihkannya, melindunginya. Akan tetapi badan, ini punya saya lahiriah saja. Batin tidak harus memiliki dan terikat karena kewaspadaan bahwa segalanya itu akan berakhir dan ikatan itu hanya menimbulkan duka karena kehilangan dan iba diri. Ikatan batin menumbuhkan akar dan jika tiba saatnya perpisahan, maka akar itu akan tercabut dengan kekerasan sehingga menimbulkan luka berdarah."

   "Akan tetapi, suhu yang mulia, bukankah kalau batin tidak memiliki lalu kita bersikap acuh dan tidak perduli akan segalanya itu? Bagaimana mungkin saya mengacuhkan isteri saya yang amat saya cinta?"

   Diserang demikian, kakek itu tersenyum lebar penuh kesabaran seperti seorang guru yang baik hati menghadapi seorang murid yang masih bodoh. Dan memang sesungguhnyalah, menghadapi alam yang menjadi guru, kita manusia ini hanyalah murid-murid yang bodoh, anak-anak kecil yang tubuhnya besar.

   "Saudaraku yang baik, justeru karena tidak adanya ikatan batin, maka batin menjadi bebas dan hanya batin yang bebas sajalah yang penuh dengan cinta kasih. Sinar cinta kasih itu akan hidup terus dan dengan adanya sinar cinta kasih, bagaimana mungkin orang menjadi acuh? Sebaliknya, cinta kasih membuat orang penuh perhatian dan waspada terhadap segala-galanya, baik yang terjadi di dalam maupun di luar dirinya."

   "Saya dapat melihat kebenaran dalam semua ucapan suhu. Akan tetapi, saya memang terikat lahir batin dengan isteri saya, dan karena itulah saya menderita dan kehilangan karena kematiannya. Kalau saya tidak mencinta isteri saya, mana mungkin tidak terikat lahir batin saya, suhu?"

   "Siancai.... di sinilah letak persimpangan yang membingungkan semua orang. Tentang cinta dan ikatan! Saudaraku, cinta kasih itu hanya ada kalau di situ terdapat kebebasan. Cinta kasih itu kebebasan. Ikatan bahkan meniadakan cinta kasih. Ikatan itu hanya menciptakan duka, dan ikatan itu terjadi karena nafsu, saudaraku! Cinta tidak menimbulkan ikatan, akan tetapi nafsulah yang menimbulkan ikatan. Nafsu timbul karena adanya aku. Cinta kasih yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu yang memakai nama cinta. Dan nafsu itu berarti mencinta diri sendiri. Saudaraku yang baik, apakah saudara mencinta mendiang isteri saudara?"

   Mendengar pertanyaan ini, terkejutlah hati Wan Tek Hoat, matanya terbelalak dan sejenak hatinya terasa panas. Ah, betapa tangannya akan bergerak menyerang, mungkin membunuh orang yang berani meragukan cintanya terhadap isterinya! Akan tetapi pertanyaan dari mulut kakek itu dikeluarkan demikian halus dan wajar, sama sekali tidak mengandung ejekan, keraguan atau celaan, bahkan dia merasa seolah-olah batinnya sendiri yang tadi mengajukan pertanyaan.

   "Apa.... apa maksud pertanyaan suhu ini?"

   Dia tergagap.

   "Maksudku agar engkau melihat sendiri, meng-amati sendiri, menjenguk isi hatimu apakah engkau mencinta isterimu, ataukah hanya mencinta diri sendiri,"

   "Suhu, tentu saja saya mencinta isteri saya! Ah, suhu tidak tahu betapa besar cinta kasih saya kepada mendiang isteri saya!"

   Wan Tek Hoat mengemukakan semua pengalamannya bersama isterinya yang dicintanya. Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Begitulah anggapan semua orang tentang cinta. Akan tetapi, saudaraku yang baik, marilah kita bersama menyelidiki tentang cinta ini. Kalau benar bahwa engkau mencinta mendiang isterimu, lalu mengapa sekarang engkau menangisi kematiannya, berduka karena kematiannya? Mengapa....?"

   Pertanyaan ini mengejutkan hati Wan Tek Hoat dan membuatnya tercengang, sejenak tak mampu menjawab.

   "Mengapa? Tentu saja saya menangisi kematiannya karena saya cinta kepadanya, karena saya kehilangan...."

   "Nah, berhenti!"

   Kakek itu mengangkat tangannya menghentikan ucapan Wan Tek Hoat yang belum selasai.

   "Itulah, lihat baik-baik dan engkau akan menemukannya. Karena kehilangan! Karena kehilangan isterimu maka engkau berduka, menangis, merasa iba kepada diri sendiri."

   "Tapi.... tapi saya merasa kasihan kepadanya...."

   "Saudaraku yang baik. Benarkah itu? Benarkah engkau merasa kasihan kepada isterimu dan karena kasihan itu engkau menangisi kematiannya? Kalau benar demikian, mengapa engkau merasa iba kepadanya? Karena dia mati? Bagaimana mungkin kau dapat mengasihani seseorang yang mati kalau kau sendiri tidak tahu bagaimana keadaan orang setelah mati? Yang jelas, ia telah kehilangan badannya yang menua dan rapuh, tidak merasakan lagi gangguan usia tua, bebas dari penanggungan badannya. Tidak, kalau kita mau jujur, akan nampaklah oleh kita bahwa yang kita tangisi dalam kematian seseorang bukanlah si mati, melainkan diri sendiri. Kita menangis karena kita ditinggal, karena kita kehilangan sesuatu yang menyenangkan yang kita peroleh dari orang yang kita cinta itu. Cinta tidak mengandung ikatan, dan karena tidak ada ikatan inilah, maka tidak akan ada duka pada saat perpisahan. Dalam kedukaan saudara ini, yang ada bukanlah cinta, melainkan nafsu dan terputusnya ikatan yang mengakar dalam batin. Duka saudara bukan karena cinta kepada yang mati, melainkan karena iba diri sendiri yang ditinggalkan."

   Wan Tek Hoat merasa seolah-olah kepalanya disiram air dingin yang membuatnya gelagapan, akan tetapi juga membuat dia sadar. Hatinya tersentuh keharuan dan diapun menjatuhkan diri berlutut.

   "Suhu.... saya dapat melihatnya sekarang. Saya harap suhu sudi memberi bimbingan kepada saya untuk selanjutnya. Saya akan belajar mencari kebebasan...."

   "Omitohud, omonganmu itu keliru, saudara. Jangan katakan mencari kebebasan, karena kebebasan tidak mungkin dapat dicari. Yang penting, patahkan semua belenggu dari batin. Kalau sudah tidak ada ikatan, dengan sendirinya sudah bebas, bukan? Dalam keadaan terbelenggu mencari kebebasan, mana mungkin? Berada di dalam kurungan nafsu keakuan, tak mungkin mencari kebebasan. Kebebasan yang ditemukan di dalam kurungan itu bukanlah kebebasan yang sejati. Hanya kalau kita mampu menjebol kurungan itu dan berada di luar, barulah kita boleh bicara tentang kebebasan."

   "Saya ingin mempelajari tentang kehidupan dari suhu, harap suhu suka menerima saya sebagai murid."

   Kakek itu tersenyum dan mengajak pergi Wan Tek Hoat. Semenjak hari itu, tidak ada seorangpun di Bhutan yang pernah melihat lagi bekas panglima itu. Oleh kakek yang arif bijaksana itu, Wan Tek Hoat diajak merantau ke Tibet, diperkenalkan dengan para pendeta Lama dan para pertapa, memperdalam kewaspadaan dan kebijaksanaan, mempelajari tentang kehidupan, tentang alam. Wan Tek Hoat mencukur rambut kepalanya, mengenakan jubah pendeta sederhana dan memakai nama Tiong Khi Hwesio. Akan tetapi di Tibet terdapat hanyak aliran keagamaan.

   Banyak orang-orang pandai di kalangan pendeta itu yang saling memperebutkan kekuasaan sehingga terjadi perpecahan dan ada pula pemberontakan ditujukan kepada Kerajaan Ceng. Hal ini menyedihkan hati Tiong Khi Hwesio. Tak disangkanya bahwa biarpun manusia ada yang sudah berjubah pendeta, namun tetap saja jarang yang benar-benar sudah bebas, dan nafsu masih mencengkeram dalam berbagai bentuk, dengan umpan-umpan yang berbeda pula dengan yang dikejar orang di dunia ramai. Kalau di dunia ramai orang berebutan mengejar harta dan kemuliaan atau kesenangan-kesenangan lainnya, di tempat sunyi itu, para pendeta itu saling memperebutkan kedudukan, yaitu nama dan kehormatan! Akhirnya, pemberontakan-pemherontakan itu dapat dipadamkan oleh balatentara yang dikirim Kaisar Kian Liong. Keadaan di Tibet menjadi aman kembali.

   
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Akan tetapi, ada satu golongan yang selalu memberontak dan mengeruhkan keamanan di Tibet. Golongan ini menamakan dirinya golongan Lama Jubah Merah dan dipimpin oleh Sai-cu Lama yang sakti. Karena para pendeta Lama di Tibet merasa kehabisan akal untuk dapat menundukkan Sai-cu Lama dan anak buahnya, akhirnya Tiong Khi Hwesio yang dikenal oleh para pendeta sebagai seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, dimintai tolong oleh para pendeta itu. Mula-mula Tiong Khi Hwesio menolak permintaan bantuan ini. Dia sudah berjanji kepada diri sen-diri untuk tidak melibatkan diri dalam urusan dunia, apa lagi dia mendapatkan banyak pelajaran dari gurunya, hwesio perantau yang tak pernah dikenal namanya itu yang kini sudah meninggal dunia.

   "Aku sudah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak lagi menggunakan kekerasan untuk menghadapi orang lain,"

   Demikian dia menyatakan penolakannya kepada para pendeta Lamma di Tibet.

   "Kekerasan hanya mendatangkan kebencian dan permusuhan, menimbulkan dendam. Tidak, aku tidak akan mau mempergunakan kekerasan lagi, para suhu yang baik,"

   Katanya. Lama tertua di antara para pendeta itu melangkah maju dan merangkap kedua tangan ke depan dada.

   "Omitohud, semoga Sang Buddha memberkahi keyakinan hati saudara yang budiman. Memang, kita semua maklum bahwa menggunakan kekerasan bukanlah perbuatan yang baik. Akan tetapi, saudaraku yang budiman, menjadi kewajiban mutlak bagi kita untuk melindungi diri dari pada ancaman dari luar, terutama sekali melindungi orang lain dari pada ancaman dari luar. Golongan Jubah Merah telah menyebar maut, bertindak sewenang-wenang hanya untuk melampiaskan nafsu-nafsu hewani mereka. Kalau kita menentang mereka, bukan berarti kita suka akan kekerasan, melainkan kita menggunakan tenaga untuk menghentikan perbuatan yang justeru bersifat kekerasan itu. Apakah saudara hendak membarkan saja golongan itu merajalela, menyiksa dan membunuh, merampok dan memperkosa, tanpa ada sedikitpun semangat dalam batin saudara untuk menolong mereka yang tertindas itu? Benarkah dan patutkah seorang pencinta kehidupan seperti saudara ini membiarkan orang-orang merusak kehidupan? Apa lagi kalau diingat bahwa saudara memiliki sarana untuk menghentikan perbuatan laknat itu."

   Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang dan membuka mata memandang kepada semua pendeta itu.

   "Aih, tidak bolehkah aku menghabiskan sisa hidupku yang tidak seberapa ini dengan penuh ketenteraman dan kedamaian?"

   "Bagaimana hati kita dapat tenteram dan damai kalau di sekitar kita terdapat srigala-srigala yang haus darah? Haruskah kita mendiamkan saja srigala-srigala itu menyerang, menerkam dan membunuh banyak orang?"

   "Sudahlah, sudahlah.... pinceng akan menemui dan membujuk mereka...."

   Akhirnya dia berkata. Para pendeta Lama itu segera menyatakan terima kasih dan rasa bersyukur mereka. Dengan penuh perasaan gelisah karena dia lagi-lagi harus menghadapi kekerasan, Tiong Khi Hwesio yang dahulunya bernama Wan Tek Hoat dan berjuluk Si Jari Maut itu, segera mendatangi perkampungan para Lama Jubah Merah.

   Dan apa yang didapatinya di sini membangkitkan jiwa pendekarnya yang sejak lama tidur. Bagaimana dia dapat berdiam diri saja menyaksikan betapa para pendeta Lama ini menjadi budak-budak nafsu mereka yang nampak jelas di dalam perkampungan mereka? Mereka itu berpesta pora atas hasil perampokan-perampokan dan penculikan-penculikan mereka, mengumpulkan harta rampasan, minum-minum sampai mabok dan bahkan ada yang sedang menghina wanita-wanita culikan dengan semena-mena. Tentu saja Tiong Khi Hwesio menjadi marah, akan tetapi dia masih berusaha untuk menemui kepala atau pimpinan kelompok Jubah Merah itu. Melihat munculnya seorang hwesio di pintu gerbang mereka, beberapa orang Lama Jubah Merah menyambutnya dengan mulut menyeringai.

   "Sobat, apakah engkau datang ingin ikut bersenang-senang dengan kami?"

   "Pinceng datang untuk bertemu dan bicara dengan pemimpin kalian, Sai-cu Lama."

   "Ha-ha-ha, pemimpin kami sedang bersenang-senang dengan wanita pilihannya yang baru saja kami dapatkan. Beliau tidak suka diganggu pada saat ini. Kalau ada keperluan, bicara dengan kamipun sama saja, kawan. Ada keperluan apakah?"

   Tiong Khi Hwesio mengerutkan alisnya yang masih tebal walaupun warnanya sudah putih. Hatiya sedih sekali menyaksikan tingkah polah para pendeta Lama ini, yang sungguh berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan jubah mereka dan kepala gundul mereka.

   "Maafkan, pinceng tidak dapat bicara dengan siapapun juga kecuali dengan Sai-cu Lama dan dia harus keluar menyambut pinceng sekarang juga. Kalau tidak ada di antara kalian yang mau memanggilkannya, biarlah pinceng sendiri yang akan mencarinya."

   Berkata demikian, Tiong Khi Hwesio melanjutkan langkah kakinya memasuki perkampungan itu.

   "Heii, tunggu dulu!"

   Dua orang pendeta Lama cepat menghadang dan muka mereka menunjukkan kemarahan. Lenyaplah senyum mereka tadi yang ramah, terganti pandang mata penuh curiga. Terpaksa Tiong Khi Hwesio berhenti dan menghadapi dua orang itu dengan sikap tenang.

   "Siapakah kamu, berani. hendak mengganggu pimpinan kami? Kamu tidak boleh mengganggu dan pergilah dari sini sebelum kami mempergunakan kekerasan!"

   "Omitohud!"

   Tiong Khi Hwesio menyembah dengan kedua tangan di depan dada.

   "Pinceng datang bukan untuk mencari pertentangan, melainkan hendak bicara dengan pimpinan kalian. Panggil dia ke luar."

   "Tidak! Apakah kamu belum mengenal para Lama Jubah Merah dan datang mencari penyakit?"

   Seorang Lama yang bertubuh tinggi besar dan nampak bengis wajahnya membentak dengan sikap mengancam.

   "Pergilah sekarang juga. Kami masih memandang kedudukanmu sebagai seorang hwesio, Pergilah atau terpaksa aku akan melemparmu keluar!"

   Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang.

   "Siancai.... sekali lagi pinceng katakan bahwa pinceng tidak mencari permusuhan."

   Lalu dia mengerahkan khi-kang dan berteriak, suaranya lantang menembus udara dan terdengar sampai jauh di seluruh penjuru perkampungan itu dan mengejutkan semua orang,

   "Sai-cu Lama, keluarlah, pinceng hendak bicara denganmu!"

   Melihat ini, dua orang pendeta Lama itu menjadi marah dan mereka sudah menubruk dan hendak menangkap hwesio tua yang datang membuat kacau itu. Akan tetapi, mereka berdua menangkap angin karena yang ditubruk tahu-tahu sudah lenyap dari depan mereka! Tentu saja mereka kaget bukan main dan para pendeta Lama yang lain kini sudah datang mengepung Tiong Khi Hwesio yang tadi dapat mengelak dengan mudah dari tubrukan dua orang lawan itu.

   "Tangkap pengacau! Pukul roboh dia!"

   Terdengar teriakan-teriakan dan kini para pendeta yang semua memakai jubah merah itu mengepung dan menyerang Tiong Khi Hwesio dari segala jurusan. Mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang amat tinggi, Menghadapi serangan dari semua jurusan ini, Tiong Khi Hwesio sama sekali tidak menjadi gentar. Kalau serangan itu dilakukan terhadap dirinya sepuluh tahun yang lalu saja, tentu dia akan mengamuk dan merobohkan mereka semua tanpa ampun lagi.

   Akan tetapi, Tiong Khi Hwesio sekarang ini sama sekali berbeda dengan Wan Tek Hoat atau Si Jari Maut. Selama beberapa tahun ini dia hidup di dekat kakek hwesio yang menyadarkannya, dia telah mampu mengalahkan kekerasan hatinya. Kini tidak mudah hatinya tersinggung kemarahan atau emosi yang lain lagi. Dia selalu tenang dan memandang segala hal yang terjadi dengan sinar mata penuh pengertian sehingga keadaan batinnya seperti air telaga yang dalam dan selalu tenang, sikapnya halus dan wajahnya selalu tersenyum. Terjangan yang dilakukan dengan kemarahan oleh para pendeta Lama berjubah merah itu, hanya disambutnya dengan elakan dan tangkisan. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga beberapa kali dia seperti menghilang saja dari kepungan, membuat para pengepung terheran-heran dan keadaan menjadi semakin kacau balau.

   "Sai-cu Lama, apakah engkau termasuk orang yang berani berbuat akan tetapi tidak berani bertanggungjawab?"

   Kembali Tiong Khi Hwesio berteriak dengan pengerahan khi-kangnya ketika dia kembali berhasil meloncat keluar dari kepungan dan membiarkan para pengeroyoknya kebingungan mencari-carinya.

   Mendengar suaranya, kembali para pendeta yang kini jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang itu sudah menerjang dan menubruknya, bahkan sebagian di antara mereka ada pula yang menggunakan senjata. Tiong Khi Hwesio sedang berdiri tegak ketika dua puluh orang pendeta itu menerjangnya dari depan, belakang dan kanan kiri. Karena tidak mungkin mengelak atau menangkis semua serangan itu satu demi satu, Tiong Khi Hwesio tidak mengelak dan tiba-tiba saja dari mulutnya terdengar suara melengking, kedua kakinya terpentang dan kedua lengannya juga dikembangkan lalu diputar di sekeliling tubuhnya. Akibatnya, para pengeroyok itu terpelantingan seperti diterjang angin puyuh yang amat kuat! Terkejutlah kini para pengeroyok itu.

   Tak mereka sangka bahwa hwesio yang datang ini memiliki kesaktian yang demikian hebat, dan sebagai orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi, mereka maklum bahwa kalau lawan itu menghendaki, tentu mereka semua sudah roboh dan terluka berat, tidak hanya berpelantingan seperti itu. Timbul kekhawatiran hati mereka. Jangan-jangan orang ini sahabat dari pemimpin mereka yang mempuyai keperluan ingin bertemu dengan Sai-cu Lama. Akan tetapi mereka tidak perlu ragu-ragu lagi karena pada saat itu terdengar suara keras dan mengandung getaran parau seperti suara seekor singa mengaum. Mendengar suara ini, para pendeta Lama cepat-cepat menahan napas, bahkan ada yang menutupi kedua telinga karena tidak tahan mendengar suara yang mengandung khi-kang amat kuat dan yang menggetarkan jantung mereka itu.

   "Hwesio tolol dari manakah berani main gila di depan Sai-cu Lama!"

   Demikian bentakan suara itu dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang kakek bertubuh tinggi besar dan berperut gendut sekali,

   Kepalanya gundul dan jubahnya bukan hanya merah seperti yang dipakai para pendeta di situ, melainkan kotak-kotak berwarna merah kuning. Biarpun kepalanya gundul plontos licin, namun mukanya penuh cambang bauk seperti muka singa karena dari cambang, sampai semua pipi, kumis dan dagunya penuh rambut yang keriting berwarna agak kekuning-kuningan! Melihat pendeta ini, Tiong Khi Hwesio dengan mudah dapat menduga bahwa tentu inilah orangnya yang berjuluk Sai-cu Lama (Pendeta Lama Muka Singa) itu. Diam-diam dia kagum melihat kakek yang masih membayangkan kegagahan itu, walaupun usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. Memang muka seperti itu pantas sekali kalau memakai julukan Muka Singa. Sejenak hati kakek ini tertegun.

   Melihat muka pendeta Lama itu, teringatlah dia akan gurunya yang pertama kali ketika dia masih muda. Gurunya yang pertama adalah seorang kakek yang berjuluk Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Muka Singa) yang memiliki muka seperti Sai-cu Lama ini, penuh cambang bauk yang bagus dan gagah seperti singa. Hanya bedanya, gurunya yang memakai julukan Ki-mo (Iblis Tua) itu adalah seorang gagah perkasa sebaliknya kakek yang memakai julukan Lama (Pendeta Buddha Tibet) ini malah seorang hamba nafsu yang jahat! Jelaslah bahwa manusia tidak dapat diukur dari namanya, julukannya, apa lagi dari pakaiannya. Setelah merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan orang yang dicarinya, Tiong Khi Hwesio segera melangkah menghampiri dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, menjura ke arah kakek bermuka singa itu.

   "Omitohud, kalau tidak keliru pinceng berhadapan dengan yang terhormat Sai-cu Lama, benarkah itu?"

   Sejenak sepasang mata yang lebar dan penuh wibawa itu memandang Tiong Khi Hwesio penuh selidik. Memang kakek bermuka singa inilah Sai-cu Lama yang amat terkenal di Tibet itu. Mula-mula kakek ini heran mendengar di luar ada orang memanggil-manggil namanya, akan tetapi karena dia sedang sibuk dengan seorang gadis yang dipilihnya di antara para wanita yang diculik, dia tidak memperduli-kan panggilan itu dan menyerahkan kepada anak buahnya untuk menghadapi orang yang berani mengganggu kesenangannya.

   Akan tetapi, dia kemudian mendengar teriakan-teriakan anak buahnya. Dengan ogah dan marah dia keluar meninggalkan korbannya dan terkejutlah dia melihat betapa seorang kakek hwesio yang tua bergerak dengan amat cepatnya menghindarkan semua serangan para Pendeta Lama. Bahkan dia dibuat tertegun melihat betapa sekali menggerakkan tubuhnya, pendeta tua itu berhasil membuat dua puluh orang anak buahnya berpelantingan. Maklum bahwa dia berhadapan dengan orang yang berkepandaian, yang bukan merupakan lawan para anak buahnya, Sai-cu Lama lalu menghampiri tempat itu. Kini dia memandang Tiong Khi Hwesio dengan teliti, mencoba untuk mengingat-ingat. Akan tetapi dia merasa heran dan penasaran karena dia belum pernah mengenal hwesio tua renta ini.

   "Benar, aku adalah Sai-cu Lama. Setelah mengenalku, engkau masih berani membikin kacau di perkampungan kami. Apakah kau sudah bosan hidup?"

   Tiong Khi Hwesio tersenyum halus dan ramah.

   "Sai-cu Lama, pinceng datang sebagai seorang sahabat, bukan hanya karena kita berdua sama-sama murid Sang Buddha, akan tetapi juga terutama sekali karena kita berdua sama-sama manusia yang wajib saling memberi ingat kalau ada yang salah tindak."

   "Dan kau datang untuk memberi peringatan itu?"

   Sai-cu Lama berkata, alisnya yang tebal keriting itu berkerut dan mulutnya menyeringai seperti seekor singa mencium bau kelenci. Tiong Khi Hwesio mengangguk.

   "Omitohud, betapa sukarnya bagi kita untuk mengenal diri sendiri dan melihat kesalahan-kesalahan sendiri. Selalu harus ada orang lain yang membantu memberi ingat. Sai-cu Lama, tanpa kuberitahu sekali-pun, kiranya engkau sudah tahu bahwa saat ini engkau sedang melakukan penyelewengan dari pada jalan kebenaran seperti yang sudah sama-sama kita pelajari. Engkau menghimpun kawan-kawanmu ini, terkenal di Tibet sebagai kelompok yang selalu mengganggu ketenteraman kehidupan rakyat. Merampok, mengganggu wanita, membunuh, mengumpulkan kekayaan. Bukankah semua itu merupakan perbuatan yang bahkan harus dipantang oleh orang-orang yang sudah menggunduli kepala dan mengenakan jubah pendeta seperti kita? Sai-cu Lama, pinceng datang untuk memberi ingat kepada kalian semua agar kalian sadar dan mengubah kesesatan itu mulai saat ini juga, dan kembali ke jalan kebenaran."
(Lanjut ke Jilid 13)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
"Keparat!"

   Sai-cu Lama membentak, lalu dia tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, siapakah engkau ini yang berani sekali datang untuk memperingatkan dan mengancam aku? Ha-ha, orang yang bosan hidup, apakah nyawamu rangkap?"

   Mendengar ucapan dan tawa pemimpin mereka, para pendeta Lama yang mengurung tempat itupun tertawa dan mereka merasa yakin bahwa sebentar lagi mereka akan melihar hwesio tua itu pasti akan dihajar oleh pemimpin mereka sampai mampus.

   "Pinceng tidak mengancam, melainkan ingin menyadarkan kalian dari pada kesesatan."

   "Hemmm, tua bangka tak tahu diri. Siapakah engkau? Dari perguruan mana? Dari pertapaan mana?"

   Sai-cu Lama bertanya, teringat bahwa kakek itu tadi telah memperlihatkan kesaktiannya.

   "Omitohud...."

   Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang, merasa bahwa agaknya tidak mungkin baginya mengingatkan orang seperti Sai-cu Lama ini.

   "Pinceng hanyalah seorang perantau biasa, tanpa per-guruan bahkan tidak mempunyai pertapaan, nama pinceng Tiong Khi Hwesio. Pinceng mendengar tentang gerakan dari kelompok Lama Jubah Merah dan mendengar ratapan rakyat, maka terpaksa pinceng datang ke sini untuk berusaha menyadarkan kalian. Muka yang seperti singa itu nampak beringas dan bengis.

   "Tiong Khi Hwesio, engkau ini sudah tua bangka, umurmu sudah tidak berapa lama lagi akan tetapi tindakanmu masih jahil dan mulutmu masih usil! Tindakan-tindakan kami sama sekali tidak ada sangkut-pautnya denganmu, akan tetapi engkau berani tidak memandang mata kepadaku dan berani memperingatkan aku. Dengarlah. Aku mau mendengarkan nasihatmu itu dan mau membubarkan kelompok kami ini kalau engkau mampu mengalahkan aku!"

   Terdengar suara di sana-sini mentertawakan Tiong Khi Hwesio. Hwesio ini menarik napas panjang.

   "Siancai...., pinceng datang bukan untuk mempergunakan kekerasan."

   "Mau mempergunakan kekerasan atau tidak, masukmu ke perkampungan kami sudah merupakan tindak kekerasan, yang melanggar dan untuk itu, engkau sebagai orang luar sudah dapat dijatuhi hukuman mati. Nah, majulah, kalau engkau tidak mau mati konyol. Aku sendiri tidak suka membunuh orang yang tidak mau melawan. Tiong Khi Hwesio kini memandang dan sepasang matanya mencorong penuh teguran.

   "Sai-cu Lama, belum tentu pinceng dapat mengalahkanmu dalam ilmu silat, akan tetapi ketahuilah bahwa di atas puncak Gunung Thai-san yang tertinggi sekalipun masih ada awan. Bersikap tinggi hati mengandalkan kepandaian sendiri akan mempercepat kejatuhannya...."

   "Sudah, tak perlu banyak kuliah lagi, sambutlah ini!"

   Sai-cu Lama sudah menerjang ke depan, ju-bahnya berkembang karena gerakan ini mendatangkan angin dan tangan kirinya yang besar itu menyambar ketika dia menggerakkan lengan. Tangan itu dengan jari-jari tangan terbuka mencengkeram ke arah kepala Tiong Khi Hwesio, sedangkan tangan kanannya menyusul dengan dorongan telapak tangan terbuka ke arah dada lawan.

   "Wuuuuuttt....!"

   Bukan main dahsyatnya serangan yang dilakukan Sai-cu Lama itu. Cepat seperti kilat menyambar dan mengandung kekuatan yang mengerikan.

   Entah mana yang lebih berbahaya, cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu ataukah hantaman ke arah dada. Kepala dapar hancur berantakan dan dada dapat pecah kalau terkena serangan itu! Tiong Khi Hwesio mengenal pukulan-pukulan ampuh, maka sambil mengeluarkan seruan diapun menggerakkan tubuhnya ke belakang. Cepat dan ringan tubuhnya itu bergerak ke belakang, seolah-olah terdorong oleh angin pukulan lawan dan Sai-cu Lama juga menahan seruan kagetnya. Dia merasa seperti menyerang sehelai bulu saja yang melayang pergi sebelum serangannya mengenai sasaran! Maklumlah dia bahwa lawannya ini, biarpun sudah tua sekali, namun memiliki gin-kang yang istimewa dan sukarlah menyerang orang dengan gin-kang seperti ini kalau tidak mempergunakan pukulan jarak jauh dan kecepatan kilat.

   "Haiiiiittt....!"

   Diapun membentak nyaring dan kedua tangannya didorongkan ke depan dan kini Sai-cu Lama menyerang dengan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sin-kang sepenuhnya. Pukulannya ini, yang dilakukan dengan kedua tangan terbuka, tidak membutuhkan kontak langsung dengan tubuh lawan. Angin pukulannya saja sanggup untuk merobohkan lawan dengan guncangan yang akan dapat merusak jantung!

   "Omitohud...., keji sekali pukulan ini!"

   Tiong Khi Hwesio berseru dan diapun cepat memasang kuda-kuda, bukannya mundur, bahkan dia melangkah maju dan kedua tangannya juga didorongkan ke depan, menyambut langsung kedua telapak tangan lawan.

   "Desss....!"

   Dua pasang telapak tangan saling bertemu, nampaknya saja empat buah tangan itu memiliki telapak tangan yang lunak, akan tetapi ternyata mengandung tenaga sin-kang yang hebat. Pertemuan tenaga sin-kang melalui dua pasang tangan itu hebat bukan main, sampai terasa oleh semua pendeta Lama yang berada di situ karena udara di sekitar tempat itu seolah-olah tergetar, seperti bertemunya dua tenaga Im dan Yang di musim hujan yang menciptakan kilat dan guntur. Akibat dari pada pertemuan tenaga dahsyat itu, dua orang pendeta itu terdorong ke belakang, masing-masing lima langkah. Keduanya tidak sampai jatuh, akan tetapi berdiri dengan muka berubah agak pucat. Sejenak keduanya memejamkan mata dan mengumpulkan hawa murni untuk melindungi isi dada dari pengaruh guncangan hebat itu.

   Hal ini saja membuktikan bahwa keduanya memiliki tenaga sin-kang yang seimbang. Terkejutlah keduanya. Tiong Khi Hweiso sendiripun terkejut bukan main. Belum pernah dia, kecuali di waktu muda dahulu, bertemu dengan lawan yang sekuat ini, maka diapun bersikap hati-hati, maklum bahwa dia harus berjaga dengan sepenuh tenaga dan kepandaian. Juga Sai-cu Lama terkejut sekali. Dia memang tadinya sudah menduga bahwa lawannya ini lihai, akan tetapi tak pernah disangkanya akan selihai itu, kuat menahan pukulannya tadi yang dilakukan sepenuh tenaga, bahkan tangkisan itu membuat dia terdorong ke belakang sampai lima langkah dengan dada terasa sesak dan panas. Akan tetapi di samping rasa kagetnya, timbul pula perasaan marah yang berapi-api. Inilah kesalahan Sai-cu Lama. Sebetulnya, dalam hal ilmu silat dan tenaga, dia tidak kalah oleh lawan,

   Hanya dalam satu hal dia kalah, yaitu dalam kekuatan batin. Kalau Tiong Khi Hwesio menghadapi kenyataan akan kekuatan lawan itu dengan sikap hati-hati, sebaliknya Sai-cu Lama menjadi marah menghadapi kenyataan itu. Dan kemarahan merupakan kelemahan yang mengurangi kewaspadaan, bahkan kemarahan menghamburkan tenaga dalam. Dengan suara menggeram seperti seekor singa. Sai-cu Lama kini sudah meryerang lagi, disambut tangkisan oleh Tiong Khi Hwesio yang segera membalas pula. Tiong Khi Hwesio sudah tidak mempunyai nafsu untuk meraih kemenangan, apa lagi mencelakai lawan, namun menghadapi seorang lawan seperti Sai-cu Lama yang menyerang dengan pukulan-pukulan maut, kalau hanya melindungi diri sendiri saja akhirnya dia tentu akan terkena pukulan dan roboh.

   Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri hanyalah mengalahkan Sai-cu Lama dan untuk dapat mengalahkannya dia harus membalas serangan lawan yang tangguh itu. Terjadilah perkelahian yang sengit dan hebat. Saling menyerang dengan jurus-jurus pilihan yang aneh dan dahsyat. Demikian cepatnya mereka bergerak sehingga pandang mata para anggauta Lama Jubah Merah menjadi kabur. Mereka tidak dapat mengikuti gerakan kedua orang kakek itu, hanya melihat bayangan kuning dan bayangan kemerahan dari jubah mereka berdua itu berkelebatan dan berloncatan ke sana-sini. Andaikata para pendeta Lama itu disuruh membantu pemimpin mereka pada saat itu, mereka tentu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, karena sukarlah menyerang lawan yang tidak nampak dan yang bayangannya seringkali menjadi satu dengan bayangan merah.

   Juga, saking dahsyatnya gerakan dua orang kakek itu, pukulan-pukulan mereka mendatangkan hawa pukulan yang menyambar-nyambar ke segala penjuru, membuat para pendeta yang nonton perkelahian itu terpaksa mundur sampai pada jarak yang cukup jauh dan aman. Diam-diam Tiong Khi Hwesio merasa kagum bukan main setelah seratus jurus lewat mereka berkelahi belum juga dia mampu menundukkan lawan itu. Jarang dia bertemu dengan lawan yang demikian tangguhnya, yang membalasnya pukulan dengan pukulan, tendangan dengan tendangan, yang menandingi kecepatan gerak dengan gin-kangnya, mengimbangi kekuatan dahsyat tenaga sin-kangnya. Sejak mudanya memang hwesio tua ini suka sekali akan ilmu silat dan selalu menghargai orang gagah yang memiliki kepandaian tinggi.

   

Suling Emas Naga Siluman Eps 55 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 16 Suling Emas Naga Siluman Eps 49

Cari Blog Ini