Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 14


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



Hanya keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir sajalah yang benar-benar memiliki kesaktian yang mengagumkan hatinya. Akan tetapi sekali ini, dia bertemu tanding yang benar-benar hebat! Diam-diam dia merasa kagum, juga penasaran dan timbul kegembiraannya, timbul kembali kegemarannya mengadu dan menguji ilmu silat tinggi. Segala kepandaiannya telah dia kerahkan. Dari ilmu-ilmu silat tinggi Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis), Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) dan penggabungan kedua ilmu itu, ilmu-ilmu dari Pulau Neraka peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin yang diwarisinya, sampai ilmu-ilmu yang amat lihai dengan tenaga Inti Bumi, semua dikeluarkannya, namun semua ilmu itu hanya dapat mengimbangi kehebatan ilmu-ilmu Sai-cu Lama yang juga merasa penasaran sekali.

   Sai-cu Lama sama sekali tidak mempunyai rasa kagum terhadap lawannya. Yang ada hanyalah rasa penasaran dan kemarahan yang makin menjadi-jadi. Berkelahi sampai ratusan jurus melawan seorang kakek tua renta dan dia masih belum juga mampu memperoleh kemenangan, bahkan seringkali terdesak hebat oleh ilmu-ilmu yang aneh dari hwesio itu, apalagi di depan para anak buahnya, merupakan penghinaan baginya. Dia merasa direndahkan karena selama ini dia tidak pernah kalah sehingga para murid dan anak buahnya menganggap bahwa dia adalah orang yang paling pandai di dunia ini. Makin lama, dia semakin merasa penasaran dan karena akhirnya dia maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan hwesio itu melalui ilmu silat, maka timbullah akal liciknya.

   Bagaimanapun juga, lawannya itu tentu sudah tua sekali, mungkin belasan tahun lebih tua darinya dan hal ini akan menjadi sebab kemenangannya. Kalau saja dia mampu bertahan, tentu akhirnya lawan itu akan kehabisan napas dan tenaga. Dia yang lebih muda tentu akan lebih tahan dibandinglan dengan lawan yang jauh lebih tua itu. Akan tetapi, ternyata kelicikan Sai-cu Lama yang ingin mengadu daya tahan dan napas ini tidak memperoleh hasil, bahkan dia menjadi semakin penasaran. Mereka telah berkelahi sampai ratusan jurus, entah berapa jam lamanya. Tadi ketika mereka mulai saling serang dipekarangan lebar perkampungan itu, hari telah menjelang senjadan kini telah jauh malam. Para murid yang nonton dari jarak yang cukup jauhdan aman, telah menerangi pekarangan itu dengan obor-obor dan lampu-lampu yang cukup terang.

   Dan perkelahian itu terus berlangsung tanpa pernah beristirahat sejenakpun! Kini kedua orang kakek itu sudah nampak lelah, keringat sudah membasahi semua pakaian dan muka, juga pernapasan mereka mulai memburu. Dari kepala mereka keluar uap putih yang aneh. Diam-diam, Sai-cu Lama yang tadinya merasa penasaran, ada pula rasa kagum dan gentar. Kiranya kakek ini memang hebat luar biasa! Agaknya memiliki napas melebihi napas kuda dan tenaganya juga tak pernah mengendur, bahkan bagi dia yang mulai lelah, tenaga kakek itu makin lama makin kuat saja agaknya. Dia merasa kagum dan gentar. Seorang kakek yang hebat! Biarpun kini hwesio tua itu mulai nampak kelelahan, akan tetapi dia sendiripun tiada bedanya, mulai lelah dan kehabisan tenaga.

   Kalau tadi Sai-cu Lama memiliki pikiran untuk menyuruh anak buahnya maju mengeroyok, kini dia menahan pikiran itu. Pertama, menyuruh mereka maju sama saja dengan menyuruh mereka membunuh diri. Mereka bukanlah lawan hwesio tua itu. Dan kedua, melihat kehebatan hwesio itu, dia merasa malu kepada diri sendiri kalau harus mengandalkan pengeroyokan yang hanya tipis harapannya untuk menang itu. Tiba-tiba Sai-cu Lama mengambil ancang-ancang dan sambil mengeluarkan suara melengking nyaring, dia menerjang ke depan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya! Dia hendak mengadu tenaga terakhir, kalau perlu nyawanya! Melihat lawannya menerjang dengan kedua tangan mendorong dan kedua lengan itu bergerak-gerak sehingga menimbulkan gelombang hawa pukulan dahsyat, Tiong Khi Hwesio terkejut.

   "Omitohud....!"

   Dia mengeluh, maklum bahwa lawannya yang sudah penasaran itu agaknya hendak mengadu nyawa! Apa boleh buat, diapun terpaksa harus melindungi dirinya dan cepat diapun memasang kuda-kuda, menyambut dengan kedua tangan terbuka, didorongkan ke depan menyambut kedua telapak tangan lawan. Untuk kedua kalinya, dua orang kakek ini mengadu tenaga sin-kang mereka. Akan tetapi berbeda dengan bentrokan tenaga sin-kang melalui telapak tangan yang pertama, bentrokan sekali ini dilakukan dengan mati-matian dan dalam keadaan tenaga mereka sudah mulai mengendur, sehingga tentu saja daya tahan merekapun berkurang dan dalam keadaan seperti itu, bahaya untuk menderita luka dalam atau bahkan kematian lebih besar lagi.

   "Desss....!"

   Bentrokaran tenaga itu hebat bukan main dan akibatnya, dua orang kakek itu terlempar ke belakang dan terbanting ke atas tanah! Melihat betapa pemimpin mereka roboh terbanting, akan tetapi juga lawannya terlempar dan terbanting jatuh, empat orang pendeta Lama segera menubruk ke arah Tiong Khi Hwesio dengan maksud untuk menghabiskan nyawa lawan yang tangguh itu selagi lawan itu terbanting dan nampaknya kehabisan tenaga dan tidak berdaya.

   "Tahan....!"

   Sai-cu Lama yang masih merasa lemah dan pening itu mencoba untuk mencegah, namun suaranya yang lemah itu agaknya tidak mempengaruhi empat orang anak buahnya yang sudah menyerang Tiong Khi Hwesio dengan ganas. Mereka menyerang dengan berbareng dan terdengarlah teriakan-teriakan mereka disusul terlemparnya tubuh mereka sampai jauh, terpental seperti dilempar oleh tenaga raksasa dan mereka itu terbanting tak sadarkan diri! Kiranya, biarpun sudah terbanting roboh, Tiong Khi Hwesio berada di pihak lebih kuat sehingga tenaga sin-kang yang masih besar sekali terhimpun di tubuhnya. Ketika empat orang itu menerjangnya, Tiong Khi Hwesio tidak melihat jalan lain kecuali menggerakkan kedua tangannya mendorong dan akibatnya, empat orang itu terlempar seperti daun-daun kering tersapu angin.

   "Anjing-anjing busuk, jangan serang dia!"

   Bentak Sai-cu Lama, bentakan yang bukan dilakukan karena mengkhawatirkan anak buahnya, melainkan karena dia merasa malu kalau dalam keadaan seperti itu dia harus menggunakan tenaga anak buahnya. Para pendeta Lama itupun tidak ada yang berani maju lagi. Empat orang teman mereka masih pingsan, dan tentu saja mereka tidak berani maju untuk bunuh diri! Dua orang kakek itu kini sudah bangkit duduk bersila, masing-masing mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga.

   "Omitohud....! Engkau sungguh merupakan lawan yang amat tangguh dan hebat, Sai-cu Lama. Pinceng merasa kagum sekali.... ah, sungguh sayang bahwa kita berdua berada di dua tempat yang bertentangan. Kalau saja engkau suka sadar dan kembali ke jalan benar, betapa akan senang hati pinceng untuk menjadi temanmu bicara tentang ilmu silat."

   Pujian yang diucapkan dengan hati yang tulus itu diterima sebagai ejekan oleh Sai-cu Lama. Bagaimanapun juga, dia merasa bahwa dalam bentrokan tenaga sin-kang terakhir tadi, dia telah terbukti kalah kuat. Kalau saja latihannya belum matang benar, bentrokan tadi saja cukup untuk membuat nyawanya putus! Dan untuk dapat memulihkan tenaga, dia membutuhkan waktu lama, sedikitnya sampai besok pagi barulah dia akan dapat memulihkan tenaganya dan mampu untuk bertanding lagi. Sedangkan lawannya baru saja membuktikan kehebatannya dengan merobohkan empat orang anak buahnya yang melakukan penyerangan serentak.

   "Tiong Khi Hwesio, tak perlu berusaha bicara manis kepadaku. Bagaimanapun, aku masih hidup dan ini berarti bahwa aku belum kalah. Aku hanya kelelahan dan kehabisan tenaga, akan tetapi engkau pun jelas kehabisan tenaga. Biarlah kita beristirahat malam ini, dan besok pagi-pagi kita lanjutkan pertandingan ini sampai seorang di antara kita benar-benar kalah."

   "Omitohud.... Sai-cu Lama, apakah engkau belum juga mau menyadari bahwa semua kekerasan ini tidak ada gunanya?"

   "Sudah, tak perlu banyak cakap lagi. Sampai besok pagi!"

   Kata Sai-cu Lama dan diapun memberi perintah kepada anak buahnya untuk tetap mengurung kakek hwesio itu dan jangan mengganggunya. Kemudian dia memejamkan mata sambil duduk bersila dan mengatur pernapasan, tanpa memperdulikan lagi kepada lawannya. Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang. Dia maklum bahwa percuma saja bicara dengan Sai-cu Lama. Orang seperti itu hanya dapat diajak berunding melalui kepalan, dan hanya akan mau bicara kalau benar-benar sudah dikalahkannya.

   Tidak ada lain jalan baginya kecuali memejamkan mata dan mengatur pernapasan pula karena dia tidak ingin besok pagi menjadi bulan-bulan kekerasan Sai-cu Lama. Diam-diam diapun merasa bingung. Tadi dia telah mengeluarkan semua ilmunya, namun semua itu hanya mampu mengimbangi kepandaian lawan. Hanya ada satu ilmu tidak dikeluarkan, yaitu Ilmu Silat Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Ilmu ini dianggapnya amat ganas dan dahulu pernah mengangkat namanya sehingga dia dijuluki Toat-beng-ci atau Si Jari Maut. Apakah dia terpaksa harus mempergunakan ilmu itu besok untuk mengalahkan Sai-cu Lama? Malam itu lewat dalam keadaan yang amat menegangkan. Para pendeta Lama itu tidak ada yang berani mengeluarkan suara karena mereka takut kalau kalau akan mengganggu pemimpin mereka yang sedang istirahat.

   Empat orang yang tadi roboh pingsan, mereka bawa pergi untuk dirawat dan mereka itu hanya berani bicara di tempat yang agak jauh dari situ. Semua orang merasa tegang karena mereka belum tahu bagaimana keadaan pemimpin mereka dalam perkelahian tadi, yaitu menang ataukah kalah. Setidaknya, pemimpin mereka itu agaknya terdesak, buktinya Sai-cu Lama minta waktu untuk beristirahat. Mulailah mereka bertanya-tanya siapa gerangan hwesio tua yang demikian sakti itu. Pada keesokan harinya, ketika dari jauh terdengar kokok ayam hutan jantan dan sinar matahari pagi mulai bercahaya di ufuk timur, Sai-cu Lama sudah membuka kedua matanya memandang kepada lawannya. Tiong Khi Hwesio sejak tadi sudah bangun dari samadhinya dan kini keduanya saling pandang. Ada kekaguman pada pandang mata masing-masing.

   "Hei, Tiong Khi Hwesio. Bagaimana kalau kita menyudahi saja perkelahian yang tidak ada gunanya ini?"

   Tiba-tiba terdengar Sai-cu Lama berkata. Wajah tua itu berseri gembira.

   "Siancai....! Agaknya Sang Buddha telah mendatangkan penerangan yang menyadarkan batinmu, saudaraku yang baik! Tentu saja pinceng berterima kasih sekali dan girang kalau perkelahian yang tidak ada gunanya ini dihentikan."

   "Bagus, kita hentikan perkelahian ini dan menjadi sahabat. Bahkan bukan hanya sahabat, akan tetapi aku akan mengangkatmu menjadi wakilku, wakil pemimpin kelompok Lama Jubah Merah. Bagaimana, sahabatku?"

   Tentu saja Tiong Khi Hwesio terkejut dan mengerutkan alisnya. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya. Kiranya lawan itu mengajak berhenti berkelahi karena ingin menarik dirinya sebagai sekutu dan pembantu! Dia menarik napas panjang, merasa menyesal sekali sebagai pengganti kegirangannya karena tadi mengira bahwa orang itu telah sadar.

   "Omitohud, Sai-cu Lama, kiranya engkau belum juga sadar bahkan ingin menyeret pinceng ke dalam kelompokmu. Betapa sesatnya keinginanmu itu. Pinceng sengaja datang untuk menyadarkan kalian dari pada jalan yang sesat, bukan untuk membantu kalian merajalela dengan kejahatan kalian."

   Sai-cu Lama tersenyum menyeringai.

   "Heh-heh, Tiong Khi Hwesio, jadi engkau menghendaki diteruskannya perkelahian ini? Hemm, kau kira percuma saja aku beristirahat semalam? Engkau takkan menang kali ini!"

   "Terserah kepadamu, Sai-cu Lama. Dalam pertandingan ilmu silat memang hanya ada dua kemungkinan, menang atau kalah, jadi tak perlu diributkan benar."

   Diam-diam Tiong Khi Hwesio merasa kecewa dan marah, akan tetapi sikapnya masih biasa, halus dan ramah, dan tenang sekali. Tiba-tiba Sai-cu Lama meloncat berdiri dan ternyata gerakannya sigap bukan main, tanda bahwa dia telah memulihkan kembali tenaganya dan tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan dia telah memegang sebatang pedang tipis yang berkilauan.

   Pedang ini diam-diam diterimanya dari seorang muridnya setelah dia memberi isyarat malam tadi. Kiranya, Sai-cu Lama yang merasa betapa lihainya orang yang menjadi lawannya, diam-diam telah mempersiapkan diri dan kini hendak mencapai kemenangan dengan bantuan sebatang pedang tipis! Tiong Khi Hwesio juga sudah bangkit berdiri dan dia tetap tenang saja melihat lawannya kini memegang sebatang pedang. Bagi seorang ahli silat tinggi yang memiliki kesaktian seperti dia, menghadapi seorang lawan seperti Sai-cu Lama, tiada bedanya apakah lawan itu bersenjata ataukah tidak. Kedua tangan dan kaki lawan itupun takkalah ampuhnya dengan pedang yang kini dipegangnya.

   "Hwesio tua bangka, makanlah pedang ini!"

   Bentak Sai-cu Lama yang sudah menerjang dengan dahsyatnya. Tempat itu masih seperti semalam, penuh dengan para pendeta Lama yang menjadi penonton dari jarak yang cukup jauh, kini mereka mengharapkan bahwa ketua mereka akan dapat membunuh hwesio tua yang tangguh itu.

   Pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar terang yang meluncur dan ketika Tiong Khi Hwesio dapat mengelak dengan lompatan ke kiri, sinar pedang berkelebatan dan bergulung-gulung menyambar ke arah tubuh Tiong Khi Hwesio dari delapan penjuru angin! Tahulah Tiong Khi Hwesio bahwa ilmu pedang yang dimainkan lawan adalah semacam Ilmu Pedang Delapan Penjuru Angin atau Pat-hong Kiam-sut yang telah diubah dan diberi banyak perkembangan. Dia sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan keringanan tubuhnya dia berkelebatan menghindarkan diri, kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi melengking yang menggetarkan semua orang dan Sai-cu Lama sendiri mengeluarkan seruan kaget. Kiranya kini Tiong Khi Hwesio telah memainkan ilmu silatnya yang semalam tidak dikeluarkannya, yaitu Ilmu Silat Toat-beng-ci.

   Jari-jari kedua tangannya seperti hidup, melakukan totokan-totokan dan cengkeraman-cengkeraman dan setiap jari itu mengandung ancaman maut! Itulah sebabnya maka dinamakan Jari Pencabut Nyawa! Dan he-batnya, jari-jari tangan itu diperkuat oleh tenaga yang membuat jari-jari tangan itu demikian kerasnya sehingga dengan tangan kosong Tiong Khi Hwesio berani menangkis pedang lawan! Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sai-cu Lama menghadapi ilmu silat yang luar biasa itu dan permainan pedangnya menjadi kacau. Tak disangkanya bahwa lawannya masih mempunyai simpanan ilmu yang demikian hebatnya, padahal tadinya dia sudah merasa yakin bahwa dia akan dapat menangkan perkelahian itu kalau dia mempergunakan pedangnya. Karena kekacauan permainan pedangnya, maka dia menjadi kurang waspada.

   "Tring-tring-crangg.... aughhh....!"

   Tubuh Sai-cu Lama terpelanting dan darah mengucur keluar dari luka di pundak kanannya, sedangkan pedangnya terlempar dan patah menjadi dua potong! Kalau saja Sai-cu Lama tidak memiliki tubuh yang sudah dilindungi kekebalan, mungkin lukanya akan lebih parah lagi. Dua jari tangan Tiong Khi Hwesio mengenai pundaknya dan biarpun pundak itu telah dilindungi ilmu kekebalan, tetap saja terobek sampai dagingnya.

   Masih untung tulang pundaknya tidak patah dan urat besarnya tidak putus. Akan tetapi, dengan luka di pundaknya itu, untuk sementara lengan kanan Sai-cu Lama tidak dapat digerakkann dan kalau pada saat itu Tiong Khi Hwesio mendesaknya, tentu akan mudah sekali bagi hwesio itu untuk menghabisi nyawanya. Namun, Tiong Khi Hwesio merasa tidak tega! Perasaan tidak tega ini timbul sejak malam tadi, setelah dia merasa kagum terhadap ilmu kepandaian Sai-cu Lama yang sanggup menandinginya sampai selama itu. Kalau saja Sai-cu Lama tadi tidak kacau permainan pedangnya, mungkin perkelahian inipun akan makan waktu yang lebih lama lagi. Dia merasa sayang untuk membunuh Sai-cu Lama dan mengharapkan bahwa kekalahannya itu akan membuat Sai-cu Lama sadar dan kembali ke jalan yang benar.

   Sai-cu Lama juga bukan seorang bodoh. Sama sekali bukan, bahkan dia cerdik sekali. Dia tahu bahwa sekali ini dia harus mengakui keunggulan lawan, bahwa dia telah bertemu dengan orang yang lebih lihai darinya. Percuma saja melanjutkan perkelahian itu. Biarpun dia dapat mengerahkan anak buahnya, namun melanjutkan perkelahian sama saja dengan membunuh diri sendiri dan membunuh anak buahnya. Ia sudah tak mampu melanjutkan perkelahian. Untuk sementara, jalan terbaik adalah menakluk, tanpa malu-malu lagi, demi keselamatan dirinya. Sai-cu Lama bangkit berdiri terhuyung-huyung, menggunakan tangan kiri untuk menekan luka di pundak kanan, mukanya pucat dan keringatnya membasahi mukanya. Diapun menghadapi Tiong Khi Hwesio yang masih berdiri tegak memandangnya.

   "Tiong Khi Hwesio, aku mengaku kalah padamu."

   "Omitohud, engkau sungguh lihai bukan main, Sai-cu Lama. Tidak, pinceng tidak merasa menang, hanya kebetulan saja yang membuat engkau terpaksa mengalah. Biarlah kita lupakan saja pertandingan tadi dan sekali lagi pinceng minta kepadamu untuk kembali ke jalan benar dan meninggalkan jalan sesat penuh perbuatan maksiat."

   Sai-cu Lama menarik napas panjang.

   "Baiklah, aku sudah bertemu dengan orang yang lebih pandai dan akan kucoba untuk mengubah jalan hidupku. Katakan, apa yang harus kulakukan?"

   Tiong Khi Hwesio tersenyum, girang bukan main bahwa dia telah berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia tidak girang atas kemenangannya, melainkan girang sekali melihat Sai-cu Lama mau mengubah jalan hidupnya.

   "Saudaralah yang baik, kita adalah orang-orang tua yang sudah menggunduli kepala dan mengenakan jubah pendeta. Tentu engkau sudah tahu apa yang sepatutnya kita lakukan sebagai pendeta. Tentu saja pertama-tama menghentikan dan menjauhkan semua perbuatan yang ditunggangi nafsu. Sebaiknya kalau engkau membubarkan saja kelompok Lama Jubah Merah, dan menghentikan semua perbuatan seperti merampok, mengganggu wanita, mengejar kesenangan duniawi dengan merugikan orang lain."

   "Baiklah, Tiong Khi Hwesio. Sekarang juga akan kububarkan kelompok ini."

   Sai-cu Lama lalu menhadapi semua pendeta yang telah berkumpul di situ.

   "Kalian telah melihat sendiri, juga mendengar sendiri percakapan antara aku dan Tiong Khi Hwesio. Mulai saat ini, perkumpulan kita kububarkan! Kalian boleh membagi-bagi harta yang ada dengan adil, kemudian pergilah dari sini. Kuperingatkan agar kalian tidak lagi melakukan perbuatan seperti yang sudah-sudah. Kalau aku mendengar ada seorang Lama Jubah Merah melanggar, aku sendiri yang akan mencari dan menghukumnya. Nah, lakukan perintahku dan bubarlah!"

   Dengan hati girang dan terharu Tiong Khi Hwesio melihat sendiri betapa para pendeta itu mentaati perintah ini. Para wanita dibebaskan dan diberi pembagian harta, dan setelah membagi-bagi harta yang berada di perkampungan itu, atas perintah Sai-cu Lama, perkampungan itu dibakar dan para pendeta jubah merah lalu berpamit dan pergi dari situ.

   "Sai-cu Lama, percayalah bahwa perbuatanmu hari ini merupakan permulaan yang amat baik bagi dirimu. Sayang ilmu kepandaianmu yang tinggi kalau kau pergunakan untuk mengeruhkan dunia. Alangkah baiknya kalau kepandaian itu kau pergunakan untuk menjernihkan dunia, menenteramkan kehidupan umat manusia. Dan maafkan kalau pinceng telah datang dan pernah mempergunakan kekerasan kepadamu!"

   Demikian kata-kata perpisahan Tiong Khi Hwesio yang dibalas oleh Sai-cu Lama dengan ramah pula. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa besar rasa penyesalan di hati Tiong Khi Hwesio ketika beberapa bulan kemudian dia mendengar bahwa biarpun Sai-cu Lama telah membubarkan kelompok Lama Jubah Merah, namun dia sama sekali belum sadar atau kembali ke jalan benar.

   Bahkan dia telah membuat kekacauan di antara para pimpinan Lama, dan Sai-cu Lama bahkan melakukan hubungan persekutuan dengan pembesar-pembesar yang mempunyai niat khianat terhadap pemerintah Ceng! Ketika para pemimpin pendeta Lama mencoba untuk memperingatkannya, Sai-cu Lama bahkan turun tangan membunuh dua orang pemimpin pendeta lama, kemudian melarikan diri! Mendengar berita ini, Tiong Khi Hwesio merasa menyesal sekali. Dia merasa bertanggungjawab terhadap peristiwa itu. Kalau saja dia tidak mengampuni Sai-cu Lama, melainkan membasmi dan membunuhnya, atau setidaknya mencabut ilmu silatnya dengan jalan membuat kaki tangannya cidera berat, tentu Sai-cu Lama tidak mampu melakukan kejahatan lagi. Membunuh dua orang pimpinan pendeta Lama!

   Dan lebih hebat lagi, melakukan hubungan persekutuan dengan para pengkhianat di kota raja. Dia dapat menduga bahwa tentu Sai-cu Lama kini melarikan diri ke kota raja, bukan hanya untuk menyembunyikan dirinya, melainkan juga untuk mengejar kedudukan dan kemuliaan di sana, bersekutu dengan para pembesar khianat dan pemberontak. Dan hal itu amatlah berbahaya, bukan hanya membahayakan kedudukan kaisar dan pemerintah, melainkan juga membahayakan keamanan hidup rakyat. Demikianlah, dia lalu cepat melakukan pengejaran sampai dia bertemu dengan Hong Beng dan Bi Lan. Tentu saja dia merasa khawatir sekali mendengar bahwa Sai-cu Lama telah merampas pedang Ban-tok-kiam dari tangan Bi Lan. Dengan pedang yang dahsyat itu di tangan, Sai-cu Lama benar-benar merupakan seorang yang amat berbahaya dan sukar dikalahkan.

   Setelah meninggalkan Hong Beng dan Bi Lan, Tiong Khi Hwesio lalu melakukan perjalanan cepat melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama menuju ke kota raja. Dusun kecil itu tidak seperti biasanya, nampak meriah dan gembira. Dusun itu biasanya amat sunyi di waktu sepagi itu. Orang-orang sudah pergi ke sawah ladang dan yang tinggal di rumah hanyalah orang-orang jompo, anak-anak dan wanita-wanita yang sibuk bekerja di dalam rumah. Jalan-jalan biasanya sunyi. Akan tetapi pagi itu, suasana meriah dan gembira sekali, karena ada perayaan di rumah sebuah keluarga dusun itu. Ada pesta pengantin! Dan seperti lajimnya di dusun-dusun, penduduknya memiliki keakraban dan penduduk dusun selalu hidup bergotong royong. Tidak seperti kehidupan rakyat di kota-kota besar, di mana keakraban sudah menipis dan kegotong royongan hampir tak terasa lagi.

   Makin besar kota itu, makin ramai dan makin maju, makin banyak kesenangan dikejar orang dan orang-orang semakin hidup menyendiri, acuh terhadap orang lain, mengurung diri dalam sangkar ke-aku-an yang selalu mementingkan diri sendiri, keluarga sendiri atau kelompok sendiri. Orang-orang dari dusun kalau sudah pindah ke kota, sudah maju dan berhasil mengumpulkan harta benda, segera terseret pula dan tidak memperdulikan orang lain. Memang demikianlah keadaan masyarakat kita di bagian manapun di dunia ini. Manusia, kalau sedang menderita, kalau sedang kekurangan, akan dapat bersatu dan bergotong-royong. Akan tetapi kalau sudah hidup senang dan mulia, serba kecukupan, lenyaplah rasa persatuan dan sifat kegotong-royongan, terganti oleh rasa saling mengiri dan saling bersaing.

   Hal ini nampak jelas dalam kehidupan masyarakat di dusun-dusun yang biasanya akrab dan bergotong royong, dan dalam kehidupan masyarakat di kota-kota yang acuh dan selalu mementingkan diri sendiri. Di dalam dusun kecil di mana sedang diadakan pesta pernikahan itu, penduduknya juga tidak berbeda dengan dusun-dusun lain, bergotong royong. Tanpa diminta, mereka pagi-pagi sudah mendatangi keluarga yang hendak merayakan pesta pernikahan anak mereka, untuk mengulurkan tangan membantu. Ada yang membantu menghias ruangan, membuat bangunan darurat untuk menerima tamu, ada pula yang sibuk membantu di dapur yang sedang mempersiapkan hidangan yang akan disuguhkan siang nanti. Sejak pagi, ada pula yang bermain musik untuk memeriahkan suasana. Semua ini mereka kerjakan dengan ikhlas, tanpa mengharapkan balas jasa dan upah.

   Suasana menjadi semakin meriah ketika matahari mulai naik tinggi. Para tetangga yang tadi pagi membantu, kini sudah berganti pakaian dan mereka kini datang sebagai tamu. Akan tetapi masih banyak di antara mereka yang sibuk di dapur, dan orang-orang mudanya sibuk pula menjadi pelayan-pelayan tanpa bayaran. Para tamu mulai berdatangan dan suasana menjadi meriah sekali walaupun pesta itu amat sederhana dengan hidangan-hidangan sederhana pula, dengan musik yang dimainkan olen seniman-seniman dusun itu sendiri. Bangku-bangku mulai dipenuhi para tamu. Kemeriahan memuncak ketika mempelai pria datang untuk menjemput mempelai wanita. Semua orang menjulurkan leher, ada yang berkerumun, untuk menyaksikan pertemuan sepasang pengantin itu. Pengantin perempuannya manis sekali,

   Berusia enam belas tahun paling banyak dan pengantin prianya juga masih muda, belum dua puluh tahun, bertubuh tegap karena biasa bekerja di sawah ladang. Melihat pandang mata kedua mempelai ini, yang nampak bersinar-sinar dan wajah mereka berseri, mulut mereka tersenyum dikulum, mudah diduga bahwa keduanya tidak asing satu sama lain dan bahwa pernikahan ini bukan pernikahan paksaan yang sering kali terjadi di dusun pada jaman itu. Tidak, sepasang mempelai ini adalah muda mudi yang sudah saling mengenal, bahkan saling mencinta walaupun tak pernah ada kata cinta keluar dari mulut masing-masing. Bagi penduduk dusun cinta kasih mereka cukup diwakili oleh kerling mata dan senyum bibir saja. Akan tetapi, sebelum orang-orang tua yang berwenang memimpin upacara pertemuan pengantin, tiba-tiba terjadi keributan di luar.

   Seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun, bertubuh gemuk dengan perut gendut, pakaiannya mewah, mukanya dicukur licin dan pakaiannya menghamburkan bau minyak yang amat wangi, masuk diiringkan belasan orang yang bertubuh tegap dan berpakaian ringkas dengan sikap congkak dan jagoan. Semua orang mengenal laki-laki itu karena dia adalah Phoa Wan-gwe (Hartawan Phoa) yang tinggal di sebuah dusun yang lebih besar, tak jauh dari dusun itu. Phoa Wan-gwe adalah orang yang paling kaya dan paling berkuasa di sedikitnya lima buah dusun di sekeliling tempat itu. Dialah raja kecil di dusun-dusun itu karena hampir semua tanah di tempat-tempat itu telah menjadi miliknya! Dialah tuan tanahnya dan sebagai tuan tanah yang berhak atas tanah miliknya, dia dapat menentukan peraturan-peraturan tersendiri di atas tanah yang menjadi hak miliknya.

   Dan untuk memperkuat peraturan-peraturan yang dibuatnya sendiri itu, dia memelihara puluhan orang tukang pukul yang bertugas untuk men-jamin dilaksanakannya peraturan-peraturan itu dan menghukum siapa saja yang berani menentangnya. Para petani miskin yang tidak mempunyai tanah, bekerja sebagai buruh tani kepada Phoa Wan-gwe dan karena seluruh kehidupan keluarga para petani itu tergantung dari pemberian si hartawan, maka merekapun semua merasa takut dan tunduk, memandang Phoa Wan-gwe seperti raja mereka. Dan memanglah, hartawan ini, seperti para hartawan yang menjadi tuan-tuan tanah di dusun-dusun, merupakan raja yang sesungguhnya bagi para petani miskin. Kaisar yang dianggap sebagai raja dari negara itu demikian jauh dan tak mungkin dihubungi, dan yang jelas terasa kekuasaannya adalah raja kecil di dusun yang menjadi tuan tanah seperti Phoa Wan-gwe itulah!

   Sebagai seorang tuan tanah, Phoa Wan-gwe pandai mengemudikan pemerintahan kecilnya. Dia maklum bahwa tanpa tenaga petani miskin, biarpun memiliki tanah yang amat luas, tidak akan ada artinya. Dia sendiri tak mungkin mengerjakan semua tanah itu. Hasilnya yang didapatkannya secara berlimpah dari tanahnya yang luas, lebih dari cukup dan diapun tidak dapat dikata pelit dalam hal memberi upah kepada para buruh tani. Tidak, dia bahkan kadang-kadang merasa gembira sekali untuk memperlihatkan kedermawanannya kepada para penduduk dusun, dan merasa senang sekali dipuji-puji dan disanjung-sanjung sebagai majikan yang baik hati dan murah hati. Tentu saja, semua yang dibagikannya kepada para petani itu hanya beberapa bagian kecil saja dari hasil yang diperolehnya dari tanahnya berkat cucuran keringat para petani.

   Betapapun juga, karena dia amat memperhatikan kebutuhan para petani sehingga para penduduk di lima dusun itu semua dapat makan kenyang setiap hari dan tidak sampai kehabisan pengganti pakaian, maka Phoa Wan-gwe dianggap orang baik dan tidak dibenci oleh para buruhnya. Namun, ada satu hal yang membuat orang-orang takut kepada Phoa Wan-gwe, juga kadang-kadang menimbulkan rasa iri dan benci kepada banyak orang. Pertama, karena dia dapat bersikap kejam, menghukum berat para pe-langgar peraturan. Hal ini memang ada baiknya, merupakan cambuk bagi para buruh tani sehingga mereka itu rajin bekerja, dengan pengetahuan bahwa kalau bermalas-malasan mereka berarti melanggar peraturan dan dihukum cambuk, akan tetapi kalau rajin merekapun akan berkecukupan, bukan sekedar makan kenyang dan dapat bertukar baju setiap hari, melainkan juga mungkin bisa mengumpulkan uang simpanan.

   Hal ke dua yang merupakan cacat dan kelemahan Phoa Wan-gwe adalah sifatnya yang mata keranjang, gila perempuan dan dia tidak pernah mau melepaskan wanita cantik yang sudah diincarnya. Dia berkeluarga, mempunyai isteri dan beberapa orang anak, bahkan telah memiliki tidak kurang dari lima orang isteri muda. Akan tetapi, matanya yang tajam seperti burung elang itu masih selalu mengincar anak-anak ayam. Kalau dia sedang berjalan-jalan di dusun-dusun yang menjadi wilayah kekuasaannya, banyak orang tua cepat-cepat menyembunyikan anak-anak perempuan mereka. Akan tetapi, tidak percuma Phoa Wan-gwe memiliki banyak kaki tangan yang setiap saat datang memberi laporan tentang adanya gadis-gadis cantik, baik di dalam maupun di luar dusun. Dan kalau dia sudah melihat sendiri gadis yang dipuji-puji kaki tangannya dan dia tergila-gila, dengan cara apapun juga akan diusahakannya agar gadis itu menjadi miliknya.

   Biarpun bukan menjadi selir, setidaknya untuk beberapa hari, pekan atau bulan gadis itu harus menjadi miliknya! Dan dia terkenal royal dan tidak sayang mengeluarkan uang untuk mendapatkan wanita yang membuatnya mengiler. Ketika Phoa Wan-gwe muncul di dalam pesta itu, semua orang yang mengira bahwa hartawan itu hendak datang bertamu, menjadi gembira dan juga memuji keluarga yang berpesta. Jarang ada keluarga petani yang dipenuhi undangannya oleh Phoa Wan-gwe yang biasanya hanya mengirim wakil dan mengirim pula sekedar sumbangan. Akan tetapi kini hartawan itu datang sendiri! Akan tetapi, ketika melihat belasan orang tukang pukul, melihat pula betapa wajah hartawan itu keruh dan sikap para tukang pukul itu bengis, semua orang terkejut ketakutan. Mereka bangkit dari duduk mereka, memberi hormat kepada yang lewat dan saling pandang dengan sinar mata bertanya-tanya.

   Ketegangan muncul dalam hati para tamu. Melihat kekeruhan wajah Phoa Wan-gwe, jelas bahwa hartawan itu sedang marah, apa lagi dikawal oleh belasan orang tukang pukul. Tentu ada urusan penting. Biasanya, semua urusan, terutama yang mengenai pelanggaran, hartawan itu cukup mengirim jagoan-jagoannya untuk memberi hukuman, menagih hutang dan sebagainya. Mereka yang sudah mengenal cara hidup hartawan ini maklum bahwa hanya satu hal yang mendorong hartawan itu keluar dan menangani sendiri suatu urusan, yaitu urusan yang menyangkut wanita! Setelah menerobos di antara para tamu, kini Phoa Wan-gwe dan para jagoannya telah tiba di ruangan tengah di mana sedang sibuk dipersiapkan upacara pernikahan. Seorang jagoan berteriak lantang,

   "Hentikan semua kebisingan musik itu! Lo Cin! Phoa Wan-gwe datang untuk bicara denganmu. Majulah!"

   Semua orang menjadi panik dan memandang dengan hati penuh ketegangan. Suara musik berhenti dan nampak Lo Cin, tuan rumah, muncul dari belakang dan setengah berlari menuju ke ruangan itu, mukanya agak pucat, akan tetapi sambil tersenyum ramah dia segera membungkuk dan memberi hormat di depan Phoa Wan-gwe yang memandang dengan sikap congkak karena dia sedang marah sekali, tidak seperti biasanya dia bersikap ramah kepada para penduduk.

   "Ah, kiranya Phoa Wan-gwe yang datang! Maafkan bahwa karena tidak diberi tahu sebelumnya, saya tidak keluar menyambut,"

   Kata Lo Cin dengan senyum lebar dipaksakan karena diapun dapat melihat bahwa hartawan ini sedang marah dan dia sendiri yang tahu mengapa hartawan itu marah-marah. Hal inilah yang mengecutkan hatinya. Hartawan itu tetap memandang dengan muka keruh, bahkan kini kemarahan berpancar keluar dari sinar matanya.

   "Lo Cin, kami datang bukan untuk makan hidangan pestamu, melainkan untuk bertanya mengapa engkau berani melanggar peraturan yang telah disetujui olehmu sendiri? Puluhan kali engkau datang merengek minta bantuan, dan selalu aku mengulurkan tangan membantumu, dengan harapan engkau akan menetapi janji, akan membayar pada waktu yang telah disepakati bersama. Akan tetapi apa kenyataannya? Engkau tidak membayar, hanya mengulur waktu terus menerus, dan sekarang, sedangkan hutangpun tidak dibayar, engkau malah menghamburkan uang untuk pesta pora. Uangku yang kau hamburkan itu! Dan engkau berani mengundang aku untuk bersama-sama makan uangku sendiri!"

   Wajah tuan rumah itu menjadi pucat dan tubuhnya gemetar. Dia bukan saja merasa takut sekali, akan tetapi juga merasa malu karena semua tamu berkumpul mendengarkan ucapan itu.

   Dan diapun tahu bahwa kemarahan hartawan itu sama sekali bukan hanya karena dia belum membayar hutang-hutangnya. Sama sekali tidak. Kalau hanya itu persoalannya, Phoa Wan-gwe tidak akan semarah itu dan juga tentu hanya akan menyuruh orang-orangnya datang menagih. Dia teringat akan ucapan seorang di antara jagoan-jagoan hartawan itu yang pernah disampaikan kepadanya bahwa Phoa Wan-gwe menginginkan Cun Si, anak perempuannya! Hal inilah yang mendorongnya untuk cepat-cepat merayakan pernikahan puterinya itu, yang sudah ditunangkan dengan seorang pemuda tani dari dusun lain. Dia harus cepat-cepat menikahkan puterinya sebelum Phoa Wan-gwe sempat mengajukan pinangan atau minta sendiri kepadanya! Dan itulah agaknya yang menyebabkan Phoa Wan-gwe marah-marah sekarang ini.

   "Harap tuan suka memaafkan saya,"

   Katanya dengan suara gemetar.

   "Seperti tuan ketahui, hasil panen kemarin payah, bahkan untuk dimakan keluarga kami sendiripun kurang, panen itu rusak oleh hama, juga oleh air yang terlalu banyak dan karena hasilnya dicuri orang di waktu malam. Adapun pernikahan ini.... kami dapatkan dari hasil pinjaman sana-sini dan bantuan saudara-saudara kami di dusun-dusun lain...."

   "Alasan yang dicari-cari!"

   Bentak hartawan itu dan ketika dia menengok dan memandang pengantin perempuan yang nampak ketakutan itu kini dipeluk oleh pengantin pria yang bersikap seperti hendak melindungi, hatinya semakin panas. Gadis itu dalam pakaian pengantin nampak semakin manis dan menggairahkan.

   "Karena engkau bisa memperoleh pinjaman dari orang lain, lalu memandang rendah kepadaku, ya? Pendeknya, sekarang juga kau harus dapat membayar hutang-hutangmu, kalau tidak, rumah ini dan segala isinya akan kami sita dan kau sekeluargamu harus keluar dari sini!"

   "Tuan Phoa.... kasihanilah kami.... setidaknya tunggulah sampai selesai upacara pernikahan anak kami dan setelah itu...."

   "Tidak! Harus sekarang diselesaikan! Kesabaranku sudah habis!"

   Kata pula hartawan itu.

   "Tuan Phoa, kasihanilah kami....!"

   Isteri Lo Cin meratap dan menjatuhkan diri berlutut di depan hartawan itu. Lo Cin juga menjatuhkan diri berlutut.

   "Persetan dengan bujuk rayumu!"

   Hartawan itu membentak dan dengan kakinya mendorong tubuh Lo Cin sampai terjengkang.

   "Bayarlah atau kami akan melakukan kekerasan!"

   Sementara itu, para tamu menjadi pucat dan mereka tidak mau ikut terlibat, maka mereka lalu menjauhkan diri, keluar dari ruangan itu, berkelompok di luar rumah, bahkan ada sebagian yang cepat pulang karena mereka inipun merasa masih mempunyai hutang kepada Phoa Wan-gwe dan takut kalau-kalau mereka kebagian kemarahan hartawan itu.

   Melihat betapa ayah ibunya berlutut di depan hartawan itu dan ayahnya yang kena tendang itu sudah berlutut kembali, pengantin perempuan itupun menangis dan menjatuhkan diri berlutut di belakang ayahnya. Calon suaminya juga berlutut di sampingnya, memandang bingung karena pemuda inipun sudah mengenal akan kekuasaan Phoa Wan-gwe. Dusunnya termasuk wilayah hartawan ini pula. Akan tetapi dia sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mengira bahwa hartawan itu menginginkan calon isterinya yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi tunangannya. Sementara itu, kepala pengawal Phoa Wan-gwe yang sudah tahu akan suasana yang menguntungkan bagi majikannya, melihat kesempatan terbuka baginya untuk turun tangan dan membuat jasa baik. Dia lalu mendekati Lo Cin, ikut berlutut dan berkata dengan lirih kepada petani itu.

   "Lo Cin, kita semua tahu bahwa tuan Phoa adalah seorang yang murah hati dan bijaksana. Beliau marah karena engkau banyak berhutang kepadanya, sebelum melunasi hutang-hutangmu malah merayakan pernikahan puterimu. Hal ini berarti bahwa engkau kini menghadapi kesulitan karena anak perempuanmu. Karena itu, sudah sepatutnya kalau engkau menyuruh anak perempuanmu membujuk tuan Phoa agar suka mengampunimu. Biarkan anakmu ikut bersama kami dan akan kuatur agar ia dapat menemui dan membujuk tuan Phoa dan aku yakin pasti akan berhasil. Tentang pernikahan, dapat diundurkan untuk beberapa pekan atau beberapa bulan."

   Berkata demikian, kepala pengawal ini memandang dan mengedipkan matanya kepada tuan rumah dengan arti yang tak mungkin disalahtafsirkan lagi.

   "Ahh.... ahhh....!"

   Lo Cin mengeluh dengan bingung, sebentar menoleh ke arah puterinya yang berlutut di belakangnya, memandang isterinya dan memandang Phoa Wan-gwe yang kelihatannya tidak tahu manahu tentang bisikan kepala pengawalnya itu. Akan tetapi Cun Si, pengantin wanita yang tadi menangis sambil menundukkan mukanya, ikut memperhatikan ucapan kepala pengawal itu dan iapun mengerti. Ia sudah banyak mendengar tentang hartawan itu yang suka mengganggu anak bini orang, maka iapun tahu apa maksudnya kepala pengawal itu, menyuruh ayahnya mengirim ia untuk pergi membujuk hartawan itu agar suka mengampuni ayahnya. Pernikahan diundur sampai beberapa pekan atau bulan! Ini saja sudah cukup baginya untuk dapat membayangkan atau menduga apa yang harus ia lakukan.

   "Tidak....!"

   Tiba-tiba ia berkata lirih akan tetapi dengan muka pucat, mata terbelalak dan ia memegang lengan calon suaminya.

   "Tidak, aku tidak mau ke sana....! Ayah, aku tidak mau. Aku lebih baik mati sekarang juga...."

   Dan iapun menangis. Calon suaminya segera merangkulnya tanpa malu-malu lagi dan pemuda inipun maklum mengapa calon isterinya begitu ketakutan dan berduka.

   "Tenanglah, tidak ada seorangpun yang akan dapat mengganggumu seujung rambut saja selama aku masih hidup!"

   Sungguh gagah sekali ucapan itu, terdorong oleh tanggung jawab untuk melindungi dan membela isterinya. Akan tetapi ucapan itu membuat merah muka si kepala pengawal. Dia meloncat berdiri dan dengan alis berkerut dia menghampiri mempelai pria.

   "Apa kau bilang? Engkau menjadi pembela gagah berani, ya? Kalau begitu, hayo keluarkan uang, dan bayar semua hutang mertuamu. Itu baru gagah namanya!"

   Dan kakinya menendang ke depan. Pemuda itu hanyalah seorang pemuda tani biasa, walaupun tubuhnya kuat karena pekerjaannya yang kasar, namun dia tidak pandai ilmu silat. Ketika ditendang, tangannya menangkis begitu saja, akan tetapi tetap saja tendangan itu mengenai punggungnya.

   "Bukkk....!"

   Tubuh mempelai pria itu terguling-guling.

   "Jangan....!"

   Mempelai wanita menjerit dan menubruk tubuh calon suaminya yang kini berusaha untuk bangkit itu. Ada darah keluar dari mulut pemuda itu.

   "Bocah lancang ini perlu dihajar!"

   Kata pula kepala pengawal yang agaknya mendapatkan pikiran baru.

   "Atau akan kubunuh sekali di sini! Bagaimana nona? Kubunuh saja dia atau engkau bersedia untuk menolong keluarga ayahmu?"

   Agaknya dia memperoleh sasaran lain untuk membantu majikannya, bukan lagi sekedar janji pembebasan hutang atau ampunan, akan tetapi kini dia mengancam akan membunuh pengantin pria kalau gadis itu tidak mau menuhi kehendak majikannya.

   "Tidak, aku tidak mau lebih baik kau bunuh saja kami berdua!"

   Mempelai perempuan meratap sambil memeluk calon suaminya.

   "Ya, bunuh saja kami. Kami rela mati bersama dari pada mengalami penghinaan,"

   Sambung pemuda itu.

   "Jangan bunuh mereka....!"

   Ayah pengantin perempuan meratap dan memohon sambil berlutut dan menyembah-nyembah.

   "Hemm, tidak mau memenuhi permintaan akan tetapi minta diampuni. Mana bisa!"

   Bentak pula kepala pengawal. Sejak tadi, di antara para tamu yang kini bergerombol di luar sebagai penonton, terdapat seorang gadis bersama seorang pemuda. Mereka itu bukan tamu, melainkan dua orang yang kebetulan lewat di dusun itu, melihat ramai-ramai, tertarik dan mendekat. Mereka berdua itu adalah Gu Hong Beng dan Can Bi Lan yang seperti kita ketahui, melakukan perjalanan bersama menuju ke kota raja. Mereka sejak tadi diam saja dan merasa kagum kepada sepasang pengantin itu yang demikian berani menentang maut walaupun mereka itu hanya sepasang muda mudi dusun yang lemah.

   Jelas nampak betapa mereka itu saling mencinta dan rela mati bersama Baik Hong Beng maupun Bi Lan belum pernah melihat atau mendengar pernyataan cinta yang demikian mendalam, dan diam-diam mereka merasa terharu sekali. Melihat betapa kini kepala jagoan itu hendak menyiksa bahkan mengancam hendak membunuh, Bi Lan mengerutkan alisnya. Ia tadi sudah mendengar semuanya dan seperti juga Hong Beng, ia dapat menduga bahwa hartawan itu tentu menginginkan pengantin wanita dan kini mempergunakan kekuasaanya untuk merampas pengantin wanita. Akan tetapi sebelum ia atau Hong Beng meloncat ke dalam untuk membela keluarga pengantin, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Anjing-anjing srigala bermuka manusia sungguh menjemukan sekali!"

   Dan dari kerumunan orang-orang itu meloncat masuk seorang pemuda yang gagah perkasa.

   Bi Lan dan Hong Beng memandang dan keduanya kagum. Pemuda itu memang mengagumkan sekali. Tubuhnya tinggi besar dan gagah perkasa. Mukanya yang berkulit agak gelap nampak jantan dan gagah. Usianya sebaya dengan Hong Beng, mungkin hanya lebih tua satu dua tahun, akan tetapi karena tubuhnya tinggi besar dia nampak lebih tua. Di punggungnya terdapat buntalan pakaian seperti halnya Bi Lan dan Hong Beng, dan hal ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang sedang melakukan perjalanan jauh sehingga membawa bekal pakaian. Akan tetapi ada benda sepanjang kurang lebih tiga kaki di dalam buntalan itu, kelihatan menonjol kecil dan Bi Lan dapat menduga bahwa tentu benda itu sebatang pedang dalam gagangnya.

   Pemuda gagah perkasa itu memang bukan pemuda sembarangan. Dia adalah Cu Kun Tek, puteri tunggal pendekar sakti Cu Kang Bu dan isterinya Yu Hwi, pendekar dari Lembah Gunung Naga Siluman di Himalaya! Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, ketika pendekar Sim Houw mengunjungi paman kakeknya, Cu Kang Bu, di lembah itu, pendekar ini telah menerima pedang pusaka Suling Naga dari kakek Pek-bin Lo-sian dan karena senjata itu sudah cukup ampuh baginya, maka pendekar Sim Houw lalu menyerahkan kembali pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang berasal dari lembah itu kepada paman kakeknya.

   Bahkan dia juga menyerahkan sebatang suling emas kepada keluarga Cu. Ketika itu, tujuh tahun yang lalu, Cu Kun Tek baru berusia duabelas tahun. Kini dia telah menjadi seorang muda perkasa berusia sembilanbelas tahun, telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari ayah bundanya! Dia mendapat anjuran dari ayah bundanya untuk turun gunung dan menuju ke dunia ramai di timur, untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman. Sebelum berangkat, ayah ibunya memperkenalkan nama-nama deretan pendekar yang mereka kenal, terutama sekali keluarga para pendekar Pulau Es dan lain-lain. Juga ayah bundanya memperingatkan dia akan nama-nama beberapa orang tokoh dunia hitam yang mereka kenal.

   "Ingatlah selalu, Kun Tek, bahwa kepandaian silat yang kaup elajari selama ini hanya merupakan sekelumit saja dari ilmu-ilmu yang tinggi yang dimiliki tokoh-tokoh dunia persilatan. Oleh karena itu jangan sekali-kali menonjolkan ilmu silatmu, apa lagi menyombongkannya. Engkau masih harus banyak belajar dan engkau hanya akan dapat belajar dan menambah pengetahuanmu kalau engkau bersikap kosong dan tidak memiliki kepandaian apa-apa. Hannya periuk yang selalu kosong dapat menampung tambahan air dari luar, sebaliknya periuk yang selalu penuh takkan mampu menampung apapun dari luar. Jadilah seperti periuk yang selalu kosong."

   "Akan tetapi, kalau engkau melihat peristiwa yang tidak adil, melihat kesewenang-wenangan dilakukan orang terhadap yang lemah, engkau harus turun tangan membela yang lemah tertindas, menentang yang kuat dan jahat. Engkau harus berwatak sebagai seorang pendekar budiman yang gagah perkasa dan pantang mundur untuk membela kebenaran dan keadilan!"

   Kata ibunya. Mendengar nasihat isterinya kepada putera mereka, Cu Kang Bu tersenyum. Memang isterinya berwatak keras dan gagah perkasa.

   
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Benar kata ibumu, Kun Tek, akan tetapi engkau harus waspada dan kalau tidak perlu sekali, jangan melibatkan diri dalam perkelahian. Ingat, engkau turun gunung untuk mencari pengalaman, bukan mencari permusuhan dengan siapapun juga."

   Ketika Kun Tek berangkat pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, baru saja dia tiba di lereng pertama, ibunya menyusulnya. Ibunya menyerahkan pedang Koai-liong Po-kiam kepadanya.

   "Bawalah pedang pusaka ini, anakku. Di dunia ramai banyak sekali orang jahat yang lihai. Pedang ini boleh kau pergunakan kalau engkau berada dalam ancaman bahaya. Hanya untuk melindungi dirimu, kalau tidak perlu jangan kau keluarkan, simpan saja dalam buntalan pakaian."

   Kun Tek merasa girang sekali. Memang dia amat sayang kepada pedang pusaka pemberian Sim Houw itu, pedang pusaka yang memang berasal dari keluarga mereka. Ketika dia mempelajari ilmu pedang dari ayahnya, pedang pusaka itulah yang dia pakai untuk berlatih sehingga dia dapat memainkan pedang itu dengan baiknya. Kini ibunya memberikannya untuk bekal, tentu saja dia merasa girang sekali. Hatinya menjadi lebih besar dan tabah kalau membawa pedang pusaka itu. Setelah dia berangkat meninggalkan ibunya yang berdiri mengikuti bayangan putera tercinta itu dengan mata basah, tiba-tiba terdengar suara lembut di belakang wanita itu.

   "Hemm, kau menyerahkan pedang pusaka itu kepadanya? Sungguh besar sekali resikonya."

   Yu Hwi membalikkan tubuhnya dan memandang suaminya.

   "Dia memerlukan pusaka itu untuk membela diri. Banyak sekali penjahat-penjahat lihai di sana."

   "Tapi pedang itu adalah pusaka keluarga kita sejak dahulu, sudah seharusnya disimpan dan dipuja oleh Lembah Naga Siluman. Bagaimana kalau sampai pedang pusaka itu hilang dirampas orang?"

   "Aih, apakah engkau kurang percaya kepada putera sendiri? Kun Tek cukup kuat untuk menjaga pedang itu, dan pedang itupun amat berguna untuk melindunginya dari ancaman bahaya, kalau kaki tangannya sudah tidak mampu lagi melindungi dirinya. Pula, pedang itu adalah pedang pusaka keluarga Cu, dan bukankah Kun Tek merupakan keturunan terakhir dari keluarga Cu? Dia berhak memilikinya."

   Cu Kang Bu menarik napas panjang. Dia maklum bahwa percuma saja berbantah dengan isterinya yang keras hati.

   Pula, perbuatan isterinya itu terdorong rasa cinta dan khawatir terhadap keselamatan Kun Tek. Dengan pedang itu di tangan, memang keadaan putera mereka lebih kuat. Demikianlah, pada hari itu, seperti juga Bi Lan dan Hong Beng, Kun Tek kebetulan lewat di dusun itu dan melihat peristiwa yang membuat mukanya yang agak kehitaman itu menjadi lebih gelap karena marah. Dia marah sekali dan tidak dapat menahan gejolak hatinya untuk membela keluarga pengantin yang sedang ditekan oleh hartawan dan anak buahnya itu. Mendengar dirinya dimaki anjing srigala, kepala pengawal itu marah sekali. Dia menoleh dan melihat kegagahan pemuda tinggi besar itu, kepala pengawal ini bersikap hati-hati. Pemuda ini nampak tegap dan kuat, dan kalau sudah berani memaki dia, tentu pemuda ini memiliki kepandaian yang diandalkan.

   "Hemm, orang muda yang lancang, siapakah engkau dan dari perguruan mana?"

   Bentaknya, setengah menghardik dan setengah menyelidik.

   "Namaku tidak ada sangkut pautnya dengan kalian serombongan srigala yang jahat!"

   Bentak Kun Tek marah, lalu dia menoleh kepada Phoa Wan-gwe dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah hidung hartawan itu.

   "Dan kau, orang kaya yang hendak memeras dan menindas orang miskin, minggatlah dan bawa anjing-anjingmu pergi, kalau tidak, akan kuhajar kau dan anjing-anjingmu sampai berkuik-kuik minta ampun!"

   Sikap pemuda itu benar-benar gagah dan semua ucapannya itu bukan karena kesombongannya, melainkan karena kemarahannya yang memuncak. Memang pemuda ini mewarisi kekerasan hati seperti ibunya. Dari ayahnya dia hanya mewarisi tubuh yang tinggi besar dan tenaga raksasa. Kepala pengawal itu marah bukan main. Dia seorang yang sudah biasa menggunakan kekerasan memaksakan kehendaknya atau kehendak majikannya dan tidak malu-malu untuk mengandalkan jumlah banyak. Melihat sikap Kun Tek, dia merasa agak gentar untuk maju sendiri, maka dia lalu berteriak memberi aba-aba kepada anak buahnya yang berjumlah empatbelas orang bersama dia itu.

   "Mari kita hajar bocah ingusan sombong ini!"

   Pekerjaan para jagoan, pengawal atau tukang pu-kul itu adalah untuk memukul dan menganiaya orang. Hanya dengan cara itulah mereka dapat menyenangkan hati majikan mereka, dan untuk keperluan itu pula mereka dibayar. Kini, mendengar perintah dari pemimpin mereka, belasan orang itu bergerak mengepung dan menyerang, didahului oleh dua orang tukang pukul yang berada paling dekat dengan pemuda itu. Kun Tek tidak bergerak dari tempat dia berdiri,

   Hanya kedua tangannya bergerak cepat dan dua orang penyerang itu terpelanting dan mengaduh-aduh, tidak mampu bangkit lagi karena tulang pundak mereka telah patah ketika bertemu dengan jari-jari tangan Kun Tek! Para pengawal lainnya menjadi marah dan terjadilah pergeroyokan yang kacau dan bising. Para pengawal itu berteriak-teriak, dan memang mereka itu sekumpulan orang yang kejam dan ganas. Bi Lan yang nonton perkelahian itu melihat ketepatan makian pemuda itu tadi yang menamakan mereka itu segerombolan srigala. Memang mereka itu mengeroyok seperti srigala-srigala kelaparan, sambil menggonggong membisingkan. Akan tetapi, pemuda tinggi besar itu sungguh mengagumkan sekali. Sikapnya tenang dan kokoh kuat, gerakannya mantap dan tabah penuh wibawa, seperti seekor naga yang dikeroyok.

   Dan hebatnya, kalau ada pukulan yang mengenai tubuhnya, pukulan itu seperti tidak dirasakannya dan pemukulnya malah mengaduh menggoyang-goyang tangan yang dipakai memukul, sedangkan setiap kali pemuda itu menampar atau menendang, tentu ada tubuh pengeroyok yang terpental atau terpelanting keras. Perkelahian itu tidak berlangsung lama. Ketika orang terakhir, yaitu kepala pengawal, roboh oleh tendangan kaki Kun Tek, hartawan Phoa sudah cepat melarikan diri. Akan tetapi, Kun Tek yang se-jak tadi memperhatikan orang itu, cepat meloncat ke depan dan seperti seekor harimau menerkam kelenci, dia sudah menubruk dan mencengkeram punggung baju orang itu. Ketika dia mengangkat tangan kirinya yang mencengkeram, hartawan itu terangkat keatas. Dengan muka pucat dan mata terbelalak hartawan Phoa memandang kepada pemuda itu.
(Lanjut ke Jilid 14)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14
"Ampun.... ampunkan aku...."

   Ratapnya, dan dia sama sekali tidak ingat betapa seringnya ratapan minta ampun itu keluar dari mulut orang-orang yang pernah ditindasnya. Kun Tek tersenyum mengejek.

   "Pernahkah engkau mengampuni orang lain?"

   Dan sekali dia membanting, tubuh hartawan itu jatuh ke atas tanah dan dia tetap rebah tanpa berani bangkit lagi, mukanya menjadi semakin pucat. Para pengawal yang sudah mampu bangkit kembali hanya memandang, tidak berani berkutik.

   "Diantara mereka ada yang menderita patah tulang, benjol-benjol dan babak belur. Pada saat itu, Lo Cin, si petani menghampiri Kun Tek dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.

   "Taihiap, harap taihiap sudi mdepaskan Phoa Wan-gwe. Sesungguhnya, dia tidak bersalah. Sayalah yang bersalah, harap taihiap tidak menjadi salah mengerti dan suka membebaskan dia."

   Tentu saja Kun Tek tertegun dan memandang heran. Orang ini bersama keluarganya tadi ditindas dan diancam. Dia turun tangan menghajar para penindas, akan tetapi mengapa orang ini malah memintakan ampun terhadap penindasnya?

   "Paman, tidak kelirukah engkau? Bukankah hartawan ini menindasmu dan hendak mengganggu puterimu? Memeras dan mengancam, bahkan tukang pukulnya tadi telah memukul mantumu?"

   "Semua itu memang benar, akan tetapi sebabnya adalah karena kesalahan kami, taihiap. Phoa Wan-gwe telah banyak menolong keluarga kami, seperti juga keluarga semua petani di sini. Kalau kami kekurangan makan dan pakaian, selalu dialah yang mengulurkan tangan menolong kami. Akan tetapi, saya telah berkali-kali melanggar janji, tidak dapat mengembalikan hutang-hutangku yang banyak seperti yang telah saya janjikan. Karena itulah dia marah-marah melihat kami mengadakan pesta sedangkan hutang-hutang kami belum terbayar. Dan saya berjanji, asal Phoa Wan-gwe suka memberi kelonggaran hati, dalam beberapa bulan ini, dibantu mantuku, kami pasti akan membayar hutang-hutang itu."

   

Kisah Pendekar Pulau Es Eps 1 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 23 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 16

Cari Blog Ini