Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 23


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



Li Sian yang pendiam itu terlalu cerdik untuk membantah. Iapun mengangguk-angguk dan untuk mengalihkan percakapan, ia berkata,

   "Harap locianpwe mulai sekarang tidak lagi menyebutku dengan nona Pouw, melainkan memanggil namaku saja seperti enci Lian."

   "Baiklah, Li Sian. Dan kita tidak akan kembali ke kota raja. Kita cari tempat yang aman di luar kota raja dan jangan sampai didapatkan oleh pasukan yang tentu akan disebarkan untuk mencari kita. Mereka tentu akan menangkap kita dengan tuduhan bahwa aku telah membunuh keluarga Pouw dan melarikanmu."

   "Ah, ini fitnah!"

   Teriak Suma Lian.

   "Kita dapat melaporkan hal yang sebenarnya terjadi, kek! Akulah saksi hidup bahwa mereka dibunuh oleh Sai-cu Lama, dan Li Sian tentu akan menjadi saksi hidup bahwa kakek sama sekali tidak menculiknya melainkan menyelamatkannya malah."

   Kakek tua itu tersenyum.

   "Aih, engkau belum tahu betapa curang dan liciknya mereka yang sudah main perebutan kekuasaan di dalam pemerintahan, Lian. Biarlah, kita menjauhi keributan dan untuk sementara ini kita bersembunyi saja di tempat yang aman."

   Dan kakek itu lalu mengajak dua orang anak perempuan itu untuk melanjutkan perjalanan.

   Pao-teng merupakan kota yang cukup besar dan ramai, terletak di sebelah selatan kota raja. Kemelut yang terjadi di kota raja karena persaingan antara Hou Seng dan para pembesar yang menentangnya, tentu saja menjadi sumber berita dan berita itu sudah tiba di Pao-teng. Apa lagi akhir-akhir ini, di kota dikabarkan bahwa Pouw Taijin dan keluarganya bersekutu dengan orang-orang kang-ouw, bahkan kemudian Pouw Taijin dan isterinya dikabarkan terbunuh oleh orang kang-ouw, sedangkan keluarganya ditangkap pemerintah dengan tuduhan pemberontak! Se-menjak terjadinya peristiwa itu, seringkali di kota raja, di pasar-pasar, di rumah-rumah makan dan di hotel-hotel, juga di pintu-pintu gerbang, diadakan pembersihan dan penangkapan-penangkapan bagi mereka yang dicurigai.

   Yang amat ditakuti oleh orang-orang yang merasa pernah belajar silat adalah munculnya pasukan berpakaian preman yang dipimpin oleh orang-orang pandai. Banyak sudah orang-orang kang-ouw ditangkap dan diperiksa. Mereka yang bersikap anti pemerintah atau anti pembesar Hou Seng, segera dijebloskan penjara dan bahkan banyak pula yang terbunuh dalam pembersihan dan penangkapan-penangkapan itu. Dunia kang-ouw menjadi gelisah. Orang-orang yang tinggal di kota Pao-teng mendengar pula akan kemelut itu dan mereka khawatir bahwa pembersihan-pembersihan dan penangkapanpenangkapan yang dilakukan pasukan itu akan menjalar sampai ke Pao-teng. Apa lagi melihat betapa banyak keluarga orang kang-ouw meninggalkan kota raja dan lari mengungsi ke selatan. Tentu saja setibanya di Pao-teng mereka itu menyebar berita yang simpang-siur dan membuat penduduk menjadi semakin gelisah.

   Berita seperti itu, yang menyangkut keamanan rakyat dan pergolakan di kalangan atas, tentu saja menarik perhatian Kao Cin Liong yang di waktu mudanya pernah menjabat sebagai seorang panglima muda. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, Kao Cin Liong bersama keluarganya tinggal di kota Pao-teng dan berdagang rempah-rempah. Sejak itu dia sama sekali tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, bahkan jarang-jarang menonjolkan diri di dunia kang-ouw. Bekas jenderal yang juga seorang pendekar perkasa itu kini berusia kurang lebih lima puluh tahun, tinggal di sebuah rumah yang cukup besar dengan isterinya yang tercinta, yaitu Suma Hui yang sekarang juga sudah berusia empat puluh tahun, dan puteri mereka yang merupakan anak tunggal, bernama Kao Hong Li, berusia tigabelas tahun.

   Apa lagi ketika terdengar berita yang mengatakan bahwa keluarga Pouw Tong Ki yang masih menjadi seorang menteri telah terbunuh, bahkan keluarganya ditangkap dengan tuduhan mengusahakan pemberontakan dengan mengadakan persekutuan dengan orang-orang jahat yang berilmu tinggi, Kao Cin Liong terkejut dan berduka sekali. Dia mengenal sahabatnya itu, sebagai orang yang setia dan jujur terkadap kaisar, seorang yang bijaksana dan tidak mau menggunakan kedudukannya untuk mencari keuntungan diri sendiri. Sukar dia dapat percaya bahwa seorang yang begitu setia seperti Pouw Tong Ki berusaha mengadakan pemberontakan! Kecuali kalau keadaan sudah terpaksa sekali dan di istana terjadi hal-hal yang luar biasa. Tentu ada sebabnya, atau kalau tidak, tentu sahabatnya ini hanya kena fitnah saja. Dia mengemukakan rasa penasaran di hatinya itu di depan isterinya.

   "Ingin sekali aku menyelidiki kematian sahabatku itu. Tentu ada rahasia di balik peristiwa itu. Dia dan isterinya terbunuh, puterinya diculik orang dan putera-puteranya ditangkap pemerintah dan dihukum.!"

   "Tak mungkin nasibnya seburuk itu. Dia orang baik sekali!"

   "Aihh!"

   Isterinya yang bernama Suma Hui, seorang cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, mengerutkan alisnya.

   "Sudah belasan tahun kita hidup dengan tenteram tanpa mencampuri urusan pemerintah maupun dunia kang-ouw. Kalau sekali kita terjun, kita tentu akan terlibat dan kesulitan-kesulitan, pertentangan dan permusuhan tentu akan datang bertubi-tubi menghancurkan ketenteraman kehidupan kita. Engkau sudah mengundurkan diri, mengapa sekarang hendak mencari penyakit? Biarkanlah mereka yang masih haus akan kekuasaan itu bekerja. Aku yakin bahwa urusan yang terjadi di kota raja itu tidak lain hanyalah masalah perebutan kekuasaan belaka. Perlukah kita mencampurinya?"

   Kao Cin Liong mengangguk-angguk dan menyentuh lengan isterinya.

   "Engkau benar, benar sekali. Kadang-kadang rasa penasaran membuat batinku memberontak! Akan tetapi apakah kalau aku bercampur tangan lalu keadaan akan menjadi baik? Apakah aku akan mampu mengatasi semua kemelut yang sedang terjadi di kota raja? Ah, aku yakin tidak mungkin bisa. Jangan-jangan pencampurtanganan dariku bahkan menambah besarnya kemelut. Engkau benar. Urusan pemerintahan bukan urusanku, dan sahabatku Pouw Tong Ki itu menjadi korban karena dia masih menjabat menteri. Andaikata dia tidak menjadi pembesar dan hidup seperti kita, kurasa dia pun tidak akan mengalami nasib sedemikian buruknya."

   Pada saat itu, seorang anak perempuan yang bermata lebar dan berwajah manis berlari masuk. Anak perempuan berusia tiga belas tahun yang lincah ini adalah Kao Hong Li, puteri dan anak tunggal suami isteri pendekar itu.

   "Ayah, ada seorang tamu ingin bertemu dengan ayah. Seorang pemuda berpakaian serba biru, bernama Gu Hong Beng."

   "Hemm, ada keperluan apakah orang muda itu datang?"

   Tanya Kao Cin Liong, merasa terganggu karena dia sedang membicarakan urusan yang penting dan serius dengan isterinya.

   "Dia tidak mengatakan keperluannya. Orangnya pendiam dan kelihatan malu-malu. Mungkin dia datang untuk minta pekerjaan, ayah."

   Dengan gerakan tangan tidak sabar karena merasa terganggu, Kao Cin Liong berkata kepada Hong Li,

   "Kau tanya apa keperluannya, kalau benar dia datang minta pekerjaan, katakan saja bahwa pada waktu ini aku belum memerlukan bantuan tenaga baru."

   Hong Li lalu berlari ke luar. Gadis cilik yang lincah ini melihat betapa sikap ayah ibunya kaku dan wajah mereka keruh. Tentu ada sesuatu yang meng-ganggu ayah ibunya dan hatinya ikut merasa tidak senang. Ia menganggap kemunculan pemuda itu hanya menggangu saja! Ia kini berhadapan dengan Hong Beng yang masih berdiri di luar pintu depan. Melihat betapa anak perempuan itu kini muncul lagi dan tidak nampak orang lain, Hong Beng memandang dengan heran. Akan tetapi, Hong Li dengan nada suara kesal segera berkata,

   "Ayah dan ibu sedang sibuk, tidak dapat menerima tamu!"

   Hong Beng mengerutkan alisnya. Menurut penuturan suhunya, Kao Cin Liong adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman. Kenapa keluarga ini sekarang bersikap begitu angkuh? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Dia merasa penasaran. Anak perempuan ini kelihatan galak dan pandang mata yang tajam itu mengandung kenakalan. Jangan-jangan ulah anak perempuan ini saja yang hendak mempermainkannya.

   "Akan tetapi, penting sekali bagiku untuk bertemu dengan Kao-locianpwe!"

   "Hemm, mungkin penting bagimu, akan tetapi tidak ada artinya bagi kami. Ada keperluan apakah engkau hendak menghadap ayah dan ibu?"

   Hong Beng menganggap bahwa sikap anak perempuan ini tinggi hati sekali, maka diapun menjawab singkat,

   "Keperluan banyak. Aku singgah di sini dan ingin menghadap adalah untuk memenuhi pesan guruku."

   "Siapa sih gurumu?"

   Tanya Hong Li sambil memandang pemuda itu dengan teliti, dari kepala sampai ke kaki.

   "Guruku bernama Suma Ciang Bun....!"

   "Bohong!"

   Hong Li membentak keras sampai Hong Beng menjadi kaget.

   "Enak saja engkau mengaku murid pamanku. Kalau benar muridnya, tentu engkau dapat menyambut seranganku ini!"

   Tanpa banyak cakap lagi gadis cilik yang galak dan lincah itu sudah menerjang maju, memukul ke arah dada Hong Beng. Tentu saja Hong Beng mengenal sebuah jurus dari Ilmu Cui-beng Pat-ciang itu, maka diapun mengelak dengan mudahnya. Bahkan karena mendongkol dan menganggap anak perempuan ini terlalu galak, ketika Hong Li menyerang lagi dengan tendangan kilat, dia mengelak sambil memutar langkahnya dan tiba-tiba saja tangannya sudah menampar ke arah pinggul anak perempuan itu, dengan maksud untuk menghajarnya agar tidak terlalu nakal dan bersikap sopan kepada tamu.

   "Plakk!"

   Pinggul itu kena ditampar, cukup keras sehingga mendatangkan rasa panas dan nyeri. Marahlah Hong Li. Sepasang matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah saking marahnya.

   "Haiiiittt....!"

   Ia berteriak dan kini ia menghujankan pukulan-pukulan ke arah tubuh Hong Beng, mempergunakan ilmu-ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayah ibunya. Kalau tadi ia sengaja menyerang dengan jurus dari Cui-beng Pat-ciang yang dilatihnya dari ibunya, kini ia menggunakan ilmu yang didapat dari ayahnya yang tentu tidak akan dikenal oleh seorang murid pamannya karena kalau ibunya merupakan keturunan keluarga Pulau Es, ayahnya adalah keturunan majikan Istana Gurun Pasir!

   Akan tetapi, Hong Li yang baru berusia tigabelas tahun ini, tentu saja belum menguasai ilmu-ilmu silat tinggi itu dengan matang dan bukan merupakan lawan berat bagi Hong Beng. Kalau pemuda ini menghendaki, tentu dia akan mampu merobohkannya. Akan tetapi Hong Beng dapat menduga siapa adanya gadis cilik ini. Puteri dari Pendekar Kao Cin Liong. Maka diapun hanya mengalah dan terus main mundur, mengelak dan menangkis, tidak pernah membalas. Pada saat Hong Li menyerang sambil mengeluarkan bentakan nyaring itu, tentu saja Kao Cin Liong dan Suma Hui yang berada di dalam rumah terkejut sekali dan mereka berdua bergegas keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ketika mereka melihat anak mereka berkelahi dengan seorang pemuda baju biru, Cin Liong sudah hendak melerai, akan tetapi lengannya dipegang isterinya yang berbisik,

   "Lihat, bukankah dia menggunakan gerakan ilmu silat keluargaku?"

   Cin Liong memperhatikan dan harus mengakui kebenaran isterinya.

   Pemuda yang selalu mengelak atau menangkis, yang terus mengalah itu, bersilat dengan gerakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Setelah mereka melihat jelas, dan juga tahu bahwa pemuda itu lihai sekali dan sengaja mengalah, Suma Hui lalu meloncat ke depan.

   "Hong Li, hentikan serangan-seranganmu itu!"

   Bentaknya. Mendengar bentakan ibunya, Hong Li meloncat ke belakang. Peluh membasahi dahi dan lehernya, ia merasa penasaran sekali tadi karena semua serangannya luput atau tertangkis, akan tetapi setelah ayah ibunya muncul, iapun kini sadar
(Lanjut ke Jilid 22)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22
bahwa ialah yang lebih dulu menyerang pemuda itu. Maka sebelum pemuda itu ditanyai, ia lebih dulu berkata kepada ibunya.

   "Siapa yang tidak mendongkol? Orang ini mengaku-aku sebagai murid paman Suma Ciang Bun!"

   "Anak bodoh! Apa engkau sudah tidak mengenal lagi gerakan-gerakannya yang jelas membuktikan kebenaran pengakuannya?"

   Kata Suma Hui dan dengan girang ia memandang kepada pemuda itu yang sudah menjatuhkan diri berlutut di depan ia dan suaminya.

   "Harap bibi guru dan paman tidak menyalahkan adik ini. Saya yang bersalah dan maafkan kelanca-ngan saya,"

   Kata Hong Beng yang diam-diam teringat betapa dia tadi sudah "menghajar"

   Gadis cilik itu dengan menampar pinggulnya! Ia menjadi khawatir kalau-kalau si kecil itu mengadu kepada orang tuanya.

   "Engkau murid adikku Suma Ciang Bun? Suma Hui bertanya. Dan siapa namamu tadi? Hong Li sudah memberitahukan kepada kami akan tetapi kami lupa......."

   "Namanya Gu Hong Beng dan kalau dia tak berhati-hati menjaga kelancangan tangan dan mulutnya, tentu akan kuhajar lagi!"

   Kata Hong Li dan ucapan ini saja sudah membuat Hong Beng semakin gelisah. Kiranya anak ini telah menyindirkan bahwa kalau ia tidak bersikap baik, tentu gadis cilik itu akan menghajarnya dengan mengadu kepada ayah dan ibunya.

   "Adik yang baik, harap maafkan aku."

   Kao Cin Liong tidak senang melihat kemanjaan puterinya. Jelas tadi bahwa yang terus-menerus melakukan penyerangan adalah Hong Li, akan tetapi kini sikap puterinya itu seolah-olah pemuda itu yang bersalah.

   "Sudahlah, mari kita masuk dan bicara di dalam."

   Mereka masuk ke dalam rumah dan kemudian duduk di ruangan dalam. Suma Hui bertanya tentang adik laki-lakinya yang sudah lama tak pernah dijumpainya itu. Hong Beng menceritakan keadaan dirinya, betapa dia diselamatkan oleh Suma Ciang Bun pada tujuh tahun yang lalu, kemudian menjadi muridnya.

   "Teecu diutus oleh suhu untuk melakukan penyelidikan tentang seorang pembesar bernama Hou Seng karena suhu mendengar betapa pembesar itu menguasai kaisar dan merajalela di kota raja."

   Suami isteri itu saling pandang.

   "Ah, jadi berita tentang orang she Hou itu sudah sampai sejauh itu?"

   Kao Cin Liong berseru heran.

   "Tidak aneh. Berita tentang kebaikan seseorang tidak akan melewati ambang pintu gerbang, sebaliknya berita tentang kebusukan seseorang akan terbawa angin dan meluas dengan cepatnya."

   "Lalu apa yang telah kau lakukan, Hong Beng?"

   Tanya Kao Cin Liong sambil memandang wajah tampan sederhana itu. Hong Beng lalu menceritakan betapa dia sudah pergi ke kota raja.

   "Teecu pergi ke kota raja bukan hanya untuk memenuhi perintah suhu, akan tetapi juga untuk mencari jejak seorang pendeta Lama dari Tibet yang telah melarikan adik Suma Lian puteri dari susiok (paman guru) Suma Ceng Liong."

   Suami isteri itu terkejut sekali.

   "Aih! Apa yang telah terjadi dengan anak itu?"

   Teriak Suma Hui. Tentu saja ia mengenal Suma Lian karena beberapa kali sudah ia bertemu dengan puteri tunggal Suma Ceng Liong itu. Hong Ben, menceritakan tentang kunjungannya ke dusun Hong-cun dan kebetulan sekali dia sempat membantu nenek Teng Siang In yang berkelahi melawan Sai-cu Lama memperebutkan Suma Lian yang diculik oleh kakek itu, sampai akhirnya nenek Teng Siang In tewas dan Suma Lian dilarikan oleh Sai-cu Lama. Mendengar cerita ini, kedua suami isteri itu menjadi semakin terkejut.

   "Bibi Teng Siang In sampai tewas? Aihhh.... kami sama sekali tidak mendengar!"

   "Mungkin susiok Suma Ceng Liong tidak sempat memberi kabar karena tentu dia dan isterinya cepat-cepat melakukan penyelidikan dan hendak mencari puteri mereka,"

   Kata Hong Beng.

   "Adik Lian diculik orang? Wah, siapa penculiknya itu! Ayah dan ibu, mari kita pergi mencari dan menyelamat-kannya!"

   Teriak Hong Li marah mendengar betapa adik misannya itu diculik orang jahat. Kao Cin Liong memberi isyarat agar puterinya itu tidak membuat gaduh, lalu dia bertanya kepada Hong Beng,

   "Kalau sampai bibi Teng Siang In tewas di tangan orang itu, tentu orang itu lihai sekali. Orang macam apakah yang bernama Sai-cu Lama itu?"

   "Sai-cu Lama memang lihai sekali, sudah tua bertubuh tinggi besar, perutnya gendut dan kepalanya gundul, mengenakan pakaian jubah pendeta Lama dari Tibet. Nenek Teng Siang In terluka oleh Ban-tok-kiam sehingga akhirnya tewas...."

   "Ban-tok-kiam....?"

   Kao Cin Liong dan Suma Hui berteriak hampir berbareng. Hong Beng teringat bahwa pedang pusaka itu adalah milik subo (ibu guru) dari Bi Lan, yaitu nenek Wan Ceng atau ibu kandung Kao Cin Liong ini.

   "Benar, pedang pusaka itu adalah milik locianpwe Wan Ceng dan oleh Sai-cu Lama pedang itu dirampas dari tangan nona Can Bi Lan."

   "Eh, bagaimana pula ini? Siapa itu Can Bi Lan dan bagaimana pedang Ban-tok-kiam milik ibuku berada di tangannya?"

   Kao Cin Liong bertanya tak sabar lagi. Tak disangkanya bahwa pemuda yang datang ini membawa banyak sekali berita yang amat penting dan mengejutkan.

   "Nona Can Bi Lan pernah menerima latihan ilmu dari locianpwe Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan nona itu menerima pedang pusaka Ban-tok-kiam yang dipinjamkan oleh subonya untuk melindungi diri. Akan tetapi ternyata, di depan teecu sendiri, kakek Sai-cu Lama merampasnya. Kami berdua sudah berusaha untuk merampasnya kembali, namun kakek itu amat lihai dan dapat meloloskan diri. Dan kemudian, teecu bertemu pula dengan kakek itu ketika kakek itu bertempur melawan locianpwe Teng Siang In, melukainya dengan Ban-tok-kiam dan menculik adik Suma Lian puteri dari susiok Suma Ceng Liong."

   Suami isteri itu terkejut dan terheran-heran.

   "Ah! Ban-tok-kiam terampas orang dan dipakai membunuh bibi Teng Siang In, dan puteri adik Suma Ceng Liong juga diculik oleh perampas Ban-tok-kiam itu! Ah, kita tidak boleh tinggal diam saja!"

   Kata Suma Hui sambil mengepal tinju. Kao Cin Liong yang lebih tenang sikapnya itu hanya mengangguk, lalu memandang wajah Hong Beng.

   "Orang muda, berita yang kau bawa ini sungguh amat penting sekali bagi kami dan kami berterima kasih sekali kepadamu. Karena kamipun mendengar kabar-kabar angin yang buruk sekali mengenai kota raja, maka dapatkah kau menceritakan bagaimana sebenarnya keadaan di sana?"

   "Teecu sudah melakukan penyelidikan di kota raja, akan tetapi tidak menemukan jejak Sai-cu Lama yang melarikan Ban-tok-kiam dan adik Suma Lian Teecu mendengar bahwa pembesar yang bernama Hou Seng itu amat berkuasa di istana dan kini dia dibantu oleh banyak orang sakti. Juga teecu mendengar akan pertentangan-pertentangan dan pembunuhan-pembunuhan rahasia yang terjadi di kota raja, di antara orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, Karena teecu tidak tahu apa yang harus teecu lakukan, maka teecu teringat akan pesan suhu agar menemui bibi guru di sini dan minta nasihat dari locianpwe yang lebih tahu akan seluk-beluk para pembesar di kota raja."

   Kao Cin Liong menarik napas panjang.

   "Sudah belasan tahun aku sendiri tidak pernah mencampuri urusan pemerintah dan dunia kang-ouw sehingga aku sendiri tidak dapat banyak memberi nasihat. Tadinya kami sama sekali tidak menaruh minat dan tidak ingin terlibat karena semua kemelut itu terjadi akibat para pembesar yang saling memperebutkan kekuasaan. Akan tetapi setelah mendengar bahwa Suma Lian diculik orang, juga pusaka ibuku yang dipinjamkan kepada gadis bernama Can Bi Lan itu dirampas orang pula, dan orang itu agaknya menuju ke kota raja, maka kami tidak akan tinggal diam saja. Setelah melihat sendiri keadaan di kota raja, barulah aku akan dapat menentukan apa yang sebaiknya harus dilakukan."

   "Ayah, aku ikut ke kota raja. Aku harus mem-bantu agar adik Lian dapat segera diselamatkan dan kita hajar penculiknya!"

   Kata Hong Li dengan gemas. Hong Beng memandang gadis cilik itu dan merasa kagum. Gadis cilik ini biarpun galak, akan tetapi penuh semangat dan keberanian, jiwa seorang pendekar sejati.

   "Hong Li, ayah ibumu bukan ingin pergi ke kota raja untuk pelesir. Engkau harus tahu bahwa kita berhadapan dengan orang pandai sekali. Lihat, ini suhengmu yang demikian pandaipun tidak mampu menandingi penculik itu! Engkau harus menjaga rumah dan kami akan pergi melakukan penyelidikan. Kami harus dapat menolong adikmu Suma Lian,"

   Kata Suma Hui kepada anaknya. Setelah bercakap-cakap menceritakan pula keadaan gurunya, Hong Beng lalu berpamit untuk melanjutkan penyelidikannya di kota raja. Suami isteri itu tidak menahannya dan berjanji akan segera berangkat juga ke sana.

   "Mudah-mudahan kita dapat saling bertemu dan bergabung di sana,"

   Kata Kao Cin Liong. Setelah pemuda itu pergi dan bicara berdua saja, Kao Cin Liong dan Suma Hui memuji pemuda murid Suma Ciang Bun itu.

   "Dia masih muda sekali, kepandaiannya sudah cu-kup tinggi dan melihat sikapnya, apa lagi ketika melayani kerewelan Hong Li, dia itu orangnya sabar dan bijaksana. Sungguh seorang pemuda yang baik sekali,"

   Kata Kao Cin Liong. Isterinya mengangguk dan meman-dang wajah suaminya, seperti ingin menjenguk isi hatinya.

   "Kau pikir cukup baik untuk anak kita?"

   Kao Cin Liong mengangguk-angguk.

   "Kalau saja anak kita yang hanya satu-satunya itu kelak bisa berjodoh dengan seorang pemuda seperti Gu Hong Beng itu, aku akan merasa bersyukur sekali. Akan tetapi, tentu saja semua itu terserah kepada Hong Li sendiri."

   "Benar,"

   Kata isterinya.

   "Memang pemuda itu baik, akan tetapi itu menurut pandangan dan penda-pat kami. Dalam hal perjodohan, pandangan dan pendapat anak yang bersangkutanlah yang penting, bukan pandangan orang tua."

   Cin Liong mengangguk.

   "Engkau benar, isteriku. Tidak ada contoh yang lebih baik dari pada perjodohan antara kita sendiri. Anak kita yang harus menentukan kelak, siapa yang akan menjadi suaminya, betapapun condongnya hati kita untuk bermenantukan seorang pemuda seperti Hong Beng itu."

   "Benar, dan pula, biarpun Ciang Bun itu adik kandungku sendiri, kita sudah tahu akan kelainan pada dirinya. Hal ini yang menimbulkan keraguan. Siapa tahu Hong Beng yang menjadi muridnya itupun memiliki kelainan yang sama. Ah, sudahlah. Biar kelak Hong Li memilih sendiri dan kita sebagai orang tua hanya ikut mengamati saja agar pilihannya tidak keliru."

   Pendapat seperti yang diucapkan oleh Suma Hui inilah yang seringkali menjadi pokok dasar pertentangan antara orang tua dan anaknya dalam pemilihan jodoh.

   Orang tua bilang tidak akan memilihkan, dan membiarkan si anak memilih dan menentukan sendiri jodohnya, dengan embel-embel agar anaknya tidak KELIRU memilih! Ini sama saja dengan keharusan menurut pilihan orang tua! Tentu saja kalau orang tua tidak suka dengan calon suami pilihan anaknya, dengan mudah mereka melontarkan kata-kata KELIRU memilih itulah! Kalau orang merasa tidak suka, mudah saja mencari cacat cela orang yang tidak disukainya itu, sebaliknya kalau orang merasa suka, juga mudah pula mencari segi-segi kebaikannya untuk ditonjolkan. Memang kalau sudah ada penilaian, tidak ada orang yang hanya baik saja tanpa cacat, juga tidak ada orang yang sama sekali busuk tanpa kebaikan sedikitpun. Kalau si anak memilih orang yang disuka, maka dikatakan bahwa pilihannya itu sudah benar,

   Akan tetapi kalau sebaliknya yang dipilih itu tidak disukai, tentu dikatakan bahwa pilihannya keliru dan terjadilah pertentangan. Ini bukan berarti bahwa orang tua harus membebaskan anaknya sebegitu rupa sehingga si anak boleh melakukan apa saja sesuka hatinya! Bebas bukan berarti "semau gua". Bebas dalam arti kata tidak tertekan oleh kekuasaan orang lain, akan tetapi di dalam kebebasan itu terdapat disiplin diri yang tidak terlepas dari pada tata cara pergaulan dalam masyarakat. Karena itu, orang tua yang bijaksana, di samping memberi kebebasan yang seluasnya kepada si anak, juga sepenuh perhatian memberi bimbingan dan pendidikan kepada si anak, sehingga si anak tumbuh menjadi manusia yang cerdas, berakal budi, dan bukan hanya menjadi seorang hamba nafsu belaka.

   Perjodohan baru benar kalau berdasarkan cinta kasih, dan cinta adalah urusan batin yang bersangkutan, yang hanya dapat dirasakan dan diketahui oleh orang yang bersangkutan saja. Pilihan orang tua tak mungkin berdasarkan cinta kasih ini karena mereka tidak ikut merasakan. Pilihan orang tua tentu hanya berdasarkan keadaan si calon yang dipilih, wajah dan watak yang baik, dari keturunan keluarga yang baik, kedudukan yang baik dan sebagainya, yang kesemuanya diukur dari keadaan umum atau dari selera mereka sendiri. Sebaliknya, pilihan orang yang bersangkutan biasanya berdasarkan cinta. Sayang bahwa kebanyakan cinta di antara mereka ini sebenarnya hanyalah nafsu belaka, tertarik karena wajah elok, kepandaian, kedudukan dan sebagainya sehingga kelak mereka akan menemui kegagalan.

   Ketika Sim Houw dan Bi Lan memasuki pintu gerbang kota raja, nampaknya semua berjalan biasa saja dan keadaan di kota raja juga tetap ramai dan tenang. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya mereka sudah diintai dan dibayangi sejak mereka tiba di pintu gerbang! Bhok Gun dan Bi-kwi, dua orang yang kini bertugas memimpin pasukan berpakaian preman yang melakukan pembersihan sampai di mana-mana, bagaikan dua orang yang hendak menjala ikan, melihat dari jauh betapa Sim Houw dan Bi Lan memasuki kota raja seperti ikan-ikan kakap memasuki jaring yang mereka pasang! Mereka tidak mau turun tangan ketika melihat dua orang muda ini, khawatir kalau sampai dua orang itu dapat meloloskan diri. Maka, mereka hanya menyuruh anak buah membayangi dari jauh segala gerak-gerik dua orang itu,

   Sedangkan mereka sendiri membuat laporan kepada Kim Hwa Nio-nio dan membuat persiapan. Kim Hwa Nio-nio menjadi girang sekali mendengar bahwa orang yang kini menguasai Liong-siauw-kiam telah datang ke kota raja. Ia harus merampas kembali pu-saka yang dulu menjadi milik gurunya itu. Ialah yang berhak memiliki pusaka itu, bukan orang lain. Sim Houw dan Bi Lan melihat bahwa keadaan di kota raja nampak tenang saja, masih ramai dan biarpun hari telah senja, masih banyak toko yang buka dan banyak pula orang yang berlalu lalang memenuhi jalan-jalan raya. Demikian banyaknya orang di kota raja sehingga diam-diam Bi Lan yang selamanya baru sekali itu berkunjung ke kota besar yang ramai itu, menjadi bingung ke mana ia harus mencari Sai-cu Lama yang merampas Ban-tok-kiam itu.

   "Wah, ke mana kita harus mencari dia di tempat sebesar dan seramai ini?"

   Katanya lirih ketika mereka berjalan-jalan di sepanjang toko-toko itu.

   "Hari telah hampir malam. Kita perlu beristirahat dulu. Besok kita melakukan penyelidikan, ke kuil-kuil karena barang kali ada hwesio yang mengenal pendeta Lama itu. Atau ke pasar-pasar, ke tempat-tempat umum. Mari kita mencari rumah penginapan."

   Bi Lan yang belum berpengalaman dalam hal ini, hanya menurut saja dan mengikuti kawannya. Mereka memasuki sebuah rumah penginapan dan Sim Houw minta disediakan dua buah kamar. Setelah mereka diantar ke kamar masing-masing, Bi Lan segera menyatakan keheranannya.

   "Sim-toako, selama dalam perjalanan kita bersama, kita bermalam di dalam kuil-kuil tua, di dalam hutan bawah pohon-pohon, selalu kita berada dalam satu ruangan, tidur dalam satu ruangan. Akan tetapi sekarang, di tempat ini, kenapa mendadak engkau minta disediakan dua kamar dan kita tidur terpisah? Mengapa?"

   
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sim Houw tersenyum, terharu melihat kepolosan hati gadis ini. Dia tahu bahwa sejak kecil Bi Lan hidup seperti liar, jauh dari masyarakat umum, jauh dari apa yang oleh masyarakat disebut sebagai kesopanan atau tata-susila. Karena itu maka Bi Lan dapat mengajukan pertanyaan dan demikian terbuka dan polos.

   "Lan-moi, agaknya masih banyak yang tidak kau ketahui tentang kehidupan bermasyarakat, kehidupan yang sudah penuh dengan peraturan-peraturan umum, dengan kesopanan dan tata-susila, dengan kebudayaan dan peradaban. Ada garis pemisah antara pria dan wanita di semua bidang, terutama kamar tidur. Hanya suami isteri saja yang tidur di satu ruangan, Lan-moi. Di dalam kehidupan ramai ini, segalanya ada aturannya. Berpakaianpun harus diatur, bahkan cara makan, cara kita bicara, apa lagi bagi wanita, ditentukan oleh peraturan-peraturan. Contohnya, kalau makan kita tidak boleh nongkrong seenaknya, harus duduk dengan sopan dan bahkan ketika kita mengunyah makananpun ada aturannya. Tidak boleh tergesa-gesa memperlihatkan kelahapan, dan tidak boleh sampai mengeluarkan bunyi, sedikit demi sedikit, terutama wanita. Tertawapun bagi wanita ada aturannya, mulut harus ditutup tangan, dan sedapat mungkin jangan sampai terdengar gelak tawa."

   "Hayaaa.... repot benar kalau begitu!"

   "Memang merepotkan sekali. Akan tetapi umum sudah menentukan demikian dan siapa melanggar ketentuan umum ini dianggap tidak sopan, tidak tahu aturan, bahkan bisa saja dianggap gila!"

   "Wah, merekalah yang gila kalau begitu".

   "Memang. Akan tetapi betapa gilapun, kalau umum, menjadi baik, Lan-moi. Kehidupan di masyarakat ramai memang sudah menjadi tidak wajar lagi, penuh dengan kepalsuan. Dan kita, kalau sudah hidup di dalam masyarakat ramai, mau tidak mau harus ikut-ikutan karena kalau tidak kita dicap sebagai orang yang tidak tahu aturan, tidak sopan, atau bahkan gila!"

   Apa yang dikatakan oleh Sim Houw itu, betapapun pahitnya, adalah suatu kenyataan yang tak dapat kita bantah lagi kalau kita mau membuka mata.

   Akan tetapi kita harus waspada dan membuka mata penuh perhatian, karena kalau tidak, kita tidak akan dapat melihat itu semua, karena sejak kecil kita sudah hanyut di dalamnya. Kita sudah menjadi bagian dari tata-cara yang palsu itu, kitalah yang membentuk kepalsuan-kepalsuan itu, yang menjadikan kita ini orang-orang munafik. Betapapun janggalnya, kalau sudah menjadi kebiasaan, nampaknya wajar dan normal saja karena kebiasaan ini membentuk watak kita. Peraturan-peraturan dan pandangan-pandangan umum, termasuk kita sendiri, sudah menjadi sifat kehidupan kita. Kita hidup tidak menurutkan kata hati lagi, tidak menurutkan kebutuhan badan lagi, melainkan kita harus menyesuaikan hidup kita dengan peraturan-peraturan dan pandangan-pandangan umum. Bahkan agar dianggap "umum"

   Kalau perlu kita menyiksa hati dan badan.

   Kita berlumba untuk memperoleh penghormatan dan penghargaan umum, kalau perlu dengan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan hati dan badan kita sendiri, bahkan kalau perlu menyiksa diri sendiri. Banyak sekali nampak kenyataan-kenyataan ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Cara kita berpakaian, yang didahulukan adalah kesopanan menurut pendapat dan peraturan umum. Kalau umum menghendaki bahwa yang dianggap sopan adalah berjas dan dasi, maka kita akan memakainya, walaupun badan merasa tersiksa karena panas dan gerahnya. Akan tetapi peraturan umum ini berubah-ubah, dan selalu kita mengikutinya dengan membuta. Biarpun hati kita sedang menangis, mulut kita senyum-senyum, hanya untuk menuruti kesopanan umum itulah. Cara kita menghormat dan menghargai orang sudah ditentukan oleh keadaan lahir belaka.

   Penghormatan dan penghargaan bukan lagi menjadi urusan hati, melainkan urusan lahir, untuk pameran belaka. Kita sudah tak mungkin hidup wajar lagi di masyarakat ramai ini, karena kewajaran seperti yang diperlihatkan Bi Lan, berarti pelanggaran norma-norma susila yang sudah kita tentukan, kita yang dalam hal ini berarti umum. Setelah mendapat penjelasan dari Sim Houw Bi Lan dapat mengerti terpaksa iapun tidur dalam kamar sendiri. Setelah makan malam di restoran sebelah, mereka berdua lalu beristirahat di kamar masing-masing. Justeru karena tidur terpisah inilah maka malapetaka terjadi! Biasanya, kalau mereka tidur di kuil-kuil kosong atau di dalam hutan, mereka berjaga dengan bergilir. Kini, setelah tidur dalam kamar masing-masing, dengan jendela dan pintu terkunci, mereka merasa aman dan keduanya melepaskan lelah dan tidur.

   Hujan yang turun rintik-rintik malam itu membuat Bi Lan tidur nyenyak. Tubuhnya yang lelah membuat ia tidur enak sekali sehingga ia tidak tahu bahwa ada beberapa orang mendekati kamarnya ke arah jendela. Ketika itu menjelang tengah malam, semua tamu sudah tidur nyenyak dan suasana sunyi sekali. Hanya rintik hujan di atas genteng yang terdengar seperti musik yang aneh namun mengasyikkan. Ketika daun jendela kamar dijebol orang dan beberapa bayangan berloncatan masuk, barulah Bi Lan terkejut. Sebagai seorang gadis yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, begitu terbangun, semua urat syaraf dan otot di dalam tubuhnya sudah siap siaga dan begitu ada orang menubruk ke arah dirinya di atas tempat tidur, disambutnya tubrukan orang itu dengan sebuah tendangan kilat.

   "Brukkk....!"

   Orang yang menubruknya itu, seorang laki-laki tinggi tegap, terkena tendangan pada dadanya sehingga terlempar dan terbanting jatuh di atas lantai. Bi Lan cepat meloncat bangun dan terkejutlah ia ketika melihat bahwa selain beberapa orang yang tidak dikenalnya, di dalam kamar itu telah dikenalnya dengan baik, yaitu Bi-kwi dan Bhok Gun! Marahlah Bi Lan karena ia maklum bahwa dua orang itu muncul tentu dengan niat hati yang buruk dan kotor.

   "Manusia-manusia jahat, pergilah!"

   Ia membentak dan ia sudah menerjang ke depan, menyerang Bhok Gun. Orang ini meloncat ke samping sambil menangkis dan mengejek,

   "Nona manis, lebih baik menyerah sajalah!"

   Akan tetapi, dengan marah Bi Lan menyerang terus, dan sekali ini serangannya ditujukan kepada Bi-kwi yang sudah menghadang di depannya. Bi-kwi menangkis dan Bhok Gun sudah menubruk dari samping, bermaksud untuk menotok pundak Bi Lan.

   Namun gadis ini dapat miringkan tubuh mengelak sambil mencuatkan kakinya menendang ke arah pusar laki-laki itu. Cepat dan kuat tendangannya itu, dan hampir saja mengenai sasaran. Akan tetapi Bhok Gun melempar tubuh ke belakang sehingga lolos dari tendangan yang berbahava itu. Pada saat itu, muncul Kim Hwa Nio-nio. Ketika tangannya bergerak, bulu-bulu kebutan di tangannya itu menyambar-nyambar. Pada saat itu, Bi Lan sedang sibuk menghadapi serangan Bi-kwi dan Bhok Gun yang mengeroyoknya. Maka ketika nenek itu menerjang dengan kebutannya, ia tidak mampu menghindarkan diri lagi. Jalan darah di punggung dan pundaknya tertotok dan iapun roboh dengan tubuh lemas. Semua ini berjalan dengan amat cepatnya sehingga kedatangan Sim Houw sudah terlambat.

   "Brakkkk....!"

   Daun pintu kamar Bi Lan itu jebol ketika diterjang Sim Houw dari luar. Pemuda ini tadi mendengar ribut-ribut di kamar sebelah, kamar Bi Lan! Diapun cepat mengenakan sepatu, berlari dan menerjang daun pintu kamar temannya itu. Dan Sim Houw berdiri tertegun ketika melihat dan mengenal Bi-kwi dan Bhok Gun, apa lagi melihat betapa Bi Lan telah diringkus dan seorang nenek yang memegang sebatang kebutan memegang lengan gadis itu dan mengancam kepala gadis itu dengan gagang kebutannya.

   "Hemm, apa artinya ini? Kenapa kalian mengganggu kami?"

   Sim Houw berkata dengan sikap tenang, matanya berganti-ganti memandang kepada Bi-kwi, Bhok Gun, dan nenek itu.

   "Artinya, orang she Sim, bahwa engkau harus mengembalikan Liong-siauw-kiam kepadaku, karena akulah yang berhak atas pusaka itu,"

   Kata si nenek.

   "Hemm, siapakah engkau?"

   Sim Houw bertanya, alisnya berkerut dan dia membuat perhitungan dengan pandang matanya. Nenek ini tentu lihai sekali dan ancamannya terhadap Bi Lan membuat dia tidak berdaya. Kalau saja Bi Lan tidak diancam seperti itu, tentu dia dapat menerjang dan mengajak gadis itu meloloskan diri dari kepungan. Akan tetapi gadis itu telah ditodong, kalau dia bergerak, tentu nenek itu lebih cepat untuk lebih dulu membunuh Bi Lan.

   "Aku adalah Kim Hwa Nio-nio, murid tunggal dari mendiang Pek-bin Lo-sian...."

   "Hemmm....!"

   Pernyataan ini sungguh mengejutkan hati Sim Houw karena tak pernah disangkanya bahwa dia akan berhadapan dengan murid kakek itu yang dulu memperingatkan dia agar berhati-hati terhadap Sam Kwi, tiga orang murid keponakan kakek itu.

   "Hi-hik, kau nampak terkejut, orang muda? Aku adalah muridnya, murid tunggal. Maka engkau tentu mengerti bahwa pedang suling pusaka itu adalah hakku untuk mewarisinya dari suhu, bukan engkau seorang luar. Nah, serahkan pedang pusaka itu kepadaku atau.... kebutanku akan menghabiskan nyawa anak perempuan ini!"

   "Sim-toako, jangan layani ia! Jangan serahkan pedang pusakamu kepadanya. Biar ia membunuhku, huh, ia takkan berani!"

   "Orang she Sim, majulah dan gadis ini akan mampus!"

   Kim Hwa Nio-nio menempelkan gagang kebutannya pada ubun-ubun kepala Bi Lan. Sekali tekan saja cukup baginya untuk membunuh gadis itu dan hal ini dimaklumi oleh Sim Houw.

   "Baiklah, Kim Hwa Nio-nio. Bebaskan gadis itu dan aku akan memberikan Liong-siauw-kiam kepadamu."

   "Jangan, sukouw (bibi guru)! Aku pernah ditipunya. Kalau Siauw-kwi dibebaskan, dia akan menyerahkan pedang akan tetapi segera akan merampasnya kembali! Jangan bebaskan dulu bocah setan itu!"

   Teriak Bi-kwi dan iapun kini mendekati Bi Lan dan mengancam dengan menempelkan pedangnya di punggung Bi Lan.

   "Bi-kwi, engkau memang orang yang jahat sekali!"

   Bi Lan membentak marah.

   "Dan engkau seorang murid yang murtad!"

   Bi-kwi balas memaki.

   "Serahkan dulu pedang itu dan kami akan membebaskan gadis ini,"

   Kata pula Kim Hwa Nio-nio dengan penuh gairah karena ia membayangkan bahwa pusaka itu akhirnya akan jatuh ke tangannya.

   "Cepat, atau aku akan kehabisan sabar dan membunuh anak ini!"

   Sim Houw maklum bahwa dengan tertawannya Bi Lan, berarti dia telah kalah.

   "Baiklah,"

   Kata-nya sambil melepaskan tali pengikat sarung pedang itu di pinggangnya.

   "Jangan, Sim-toako, engkau akan ditipunya Mereka ini adalah orang-orang yang jahat sekali, yang tidak pantang melakukan segala macam kecurangan. Jangan perdulikan aku, lawan saja dan jangan serahkan pedang!"

   Teriak Bi Lan.

   "Diam kau!"

   Bentak Bi-kwi.

   "Apa kau ingin mampus?"

   "Bi-kwi, kau tahu bahwa aku tidak takut mampus!"

   Bi Lan balas membentak, matanya melotot, sedikitpun ia tidak merasa takut walaupun ia sudah tidak berdaya.

   "Kim Hwa Nio-nio, berjanjilah bahwa engkau akan membebaskan nona Can Bi Lan setelah aku menyerahkan Liong-siauw-kiam kepadamu."

   Bagi seorang datuk sesat seperti Kim Hwa Nio-nio, berjanji merupakan suatu silat lidah atau tipu muslihat saja, maka tanpa ragu-ragu ia pun berjanji,

   "Baik, aku berjanji akan membebaskan gadis ini setelah Liong-siauw-kiam kau serahkan kepadaku."

   Biarpun dia belum percaya benar kepada nenek itu, akan tetapi karena keadaan memaksa untuk menyelamatkan Bi Lan, terpaksa Sim Houw melolos pedang dan sarungnya dan menyerahkannya kepada si nenek. Melihat nenek itu hendak menyambut, cepat Bi-kwi berseru,

   "Jangan, sukouw. Suruh seorang anak buah menerimanya."

   Dan iapun cepat menyuruh seorang pengawal menerima pedang itu dari tangan Sim Houw. Memang cerdik sekali Bi-kwi ini. Karena yang menerimanya hanya seorang pengawal biasa, Sim Houw tidak dapat berbuat sesuatu dan terpaksa menyerahkan pedang itu. Pengawal itupun membawanya kepada Kim Hwa Nio-nio yang menerima-nya, lalu mencabut pedang itu, tertawa-tawa dan mencium pedang suling naga itu.

   "Liong-siauw-kiam...., akhirnya engkau kembali ke pangkuan majikan lama...."

   Dan nenek itu tertawa-tawa, akan tetapi kedua matanya basah. Ternyata nenek itu sampai mengeluarkan air mata saking girangnya.

   "Kim Hwa Nio-nio, sekarang bebaskan nona itu,"

   Kata Sim Houw, sikapnya masih tenang walaupun pedang pusakanya telah dirampas orang.

   "Bukan aku yang menangkapnya, mintalah kepada mereka yang menangkapnya untuk membebaskannya,"

   Kata nenek itu dengan sikap acuh. Hal ini memang sudah dikhawatirkan oleh Sim Houw. Dia memandang dengan muka merah dan membentak,

   "Nenek iblis, sungguh bermuka tebal dan tak tahu malu melanggar janji sendiri!"

   "Srattt...."

   Pedang suling naga itu sudah tercabut oleh Kim Hwa Nio-nio.

   "Tutup mulutmu yang lancang, orang muda! Yang menawan nona ini bukan aku. Kalau aku yang menawannya sekarang, tentu kubebaskan. Lihat, siapa yang menawannya sekarang?"

   Bi-kwi tersenyum mengejek.

   "Akulah yang menawannya dan aku tidak berjanji apa-apa kepada orang she Sim ini!" "Subo, orang ini merupakan bahaya bagi kita. Sebaiknya diapun dibasmi atau ditawan saja!"

   Kata Bhok Gun.

   "Sinngg....!"

   Tiba-tiba pedang kayu yang berbentuk naga itu menyambar ke arah Bi Lan. Dan berhamburanlah rambut kepada Bi Lan. Tidak kurang dari satu dim panjangnya ujung rambut itu sudah putus oleh sinar Liong-siauw-kiam yang tadi menyambar, diiringi suara ketawa nenek itu, dan dipandang dengan penuh kagum oleh Bi-kwi dan Bhok Gun. Mereka tak pernah mengira bahwa pedang kayu itu sedemikian hebatnya, dan juga Sim Houw diam-diam terkejut. Dia tahu bahwa nenek itu sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya, dan cara nenek itu mempergunakan pedang suling naga memang luar biasa. Jelas bahwa nenek itu, seperti Pek-bin Lo-sian gurunya, telah mempelajari semacam ilmu tersendiri untuk mempergunakan pedang itu.

   "Kalau aku menghendaki, bukan rambutnya melainkan lehernya yang putus, heh-heh!"

   Nenek itu tertawa girang. Sim Houw maklum bahwa dia telah tertipu. Dia menjadi marah bukan main.

   "Keparat, kalian memang orang-orang jahat dan curang!"

   Dan diapun menerjang maju dengan tangan kosong saja, menyerang ke arah nenek Kim Hwa Nio-nio!

   Biarpun hanya bertangan kosong, namun dari kedua tangan pemuda itu menyambar hawa pukulan yang amat hebat, mendatangkan angin yang menyambar dahsyat. Kim Hwa Nio-nio terkejut, cepat ia menggerakkan kebutannya untuk menangkis kedua serangan dengan dua tangan itu. Bulu-bulu kebutannya yang menjadi kaku karena disaluri tenaga sinkang itu terpental ketika bertemu dengan kedua tangan Sim Houw, akan tetapi pada saat itu, nenek yang lihai ini juga membalas dengan tusukan pedang Liong siauw-kiam yang sudah berada di tangannya, menusuk ke arah leher lawan. Tusukan ini berbahaya sekali, namun Sim Houw yang memang memancing agar nenek itu menggunakan Liong-siauw-kiam, sudah miringkan tubuh dan tangannya diputar untuk menangkap dan merampas pedangnya!

   Pada saat itu, Bhok Gun sudah memyerangnya dari belakang dengan tusukan pedang. Serangan ini mengganggu pencurahan tenaga dan kecepatan Sim Houw untuk merampas pedang karena dia harus mengelak dari tusukan yang dilakukan Bhok Gun, maka nenek itu dapat menarik kembali Liong-siauw-kiam. Wajah nenek itu agak pucat karena ia tahu bahwa ia telah terpancing mempergunakan pedang itu dan sekiranya muridnya tidak membantu, besar sekali kemungkinannya pusaka itu akan dapat dirampas kembali oleh Pendekar Suling Naga yang memang lihai bukan main ini! Cepat nenek itu melangkah mundur, menyimpan pedang pusaka di balik jubahnya dan kini iapun maju lagi menyerang dengan menggunakan kebutannya, membantu Bhok Gun yang sudah terdesak hebat oleh Sim Houw.

   Ketika kebutan itu meledak dan menyerang ke arah kepala, Sim Houw mengakhiri desakannya dengan sebuah tendangan yang mengenai lambung Bhok Gun. Bhok Gun sudah mengerahkan sin-kang melindungi lambungnya, akan tetapi saking kerasnya tendangan, tubuhnya terlempar dan terbanting keras ke atas meja kamar itu, membuatnya nanar! Kim Hwa Nio-nio berkelahi dengan hebatnya melawan Sim Houw. Pendekar ini merasa betapa kamar itu terlalu sempit, maka diapun meloncat keluar melalui pintu yang tadi diterjangnya. Setelah tiba di ruangan luar kamar, dia telah dikepung oleh para perajurit dan kini Kim Hwa Nio-nio maju lagi bersama Bhak Gun yang sudah dapat memulihkan keadaannya. Dia tidak terluka, hanya terkejut dan agak nanar saja oleh tendangan tadi. Dan terjadilah pengeroyokan yang amat seru.

   Biarpun Pendekar Suling Naga sudah kehilangan senjata pusakanya, namun sepak terjangnya masih amat hebat sehingga biarpun dikeroyok dua oleh Kim Hwa Nio-nio dan Bhok Gun, masih dikepung oleh dua puluh lebih perajurit, dia sama sekali tidak nampak terdesak. Bahkan setiap kali ada perajurit berani mencoba-coba untuk membantu nenek itu, perajurit ini tentu roboh oleh tam-paran atau tendangan kakinya. Bhok Gun sendiri agak jerih dan hanya menyerang dari jarak jauh mengambil keuntungan dari pedangnya menghadapi lawan bertangan kosong itu. Hanya Kim Hwa Nio-nio yang berani menyerang pemuda itu dari jarak dekat dan secara bertubi-tubi, dan nenek itu harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaianrya, karena kalau tidak, keselamatannyapun terancam.

   Sim Houw memang menujukan serangan-serangannya kepada nenek ini, untuk merobohkannya dan untuk merampas senjata pusakanya. Hebat memang sepak terjang Sim Houw, Si Pendekar Suling Naga itu. Lawannya, nenek Kim Nwa Nio-nio adalah seorang yang sakti, mewarisi hampir seluruh kepandaian mendiang Pek-bin Lo-sian, dan dibantu pula oleh muridnya, Bhok Gun yang juga lihai sekali. Guru dan murid itu memegang senjata, akan tetapi Sim Houw yang bertangan kosong dan dikeroyok dua itu sama sekali tidak menjadi terdesak. Pemuda ini mengamuk seperti seekor naga bermain-main di antara awan hitam di angkasa. Gerakan-gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang amat kuat sehingga beberapa kali Bhok Gun terpaksa harus agak menjauh karena angin pukulan lawan teramat kuat. Tiba-tiba terdengar suara tertawa halus dari Bikwi.

   "Ha-ha, Sim Houw, lihat. Apakah engkau belum juga mau menyerah? Aku akan membunuh Can Bi Lan, menggorok lehernya kalau kau tidak mau menyerah."

   Dengan sudut matanya Sim Houw memandang sambil melayani serangan dua orang pengeroyoknya dan jantunguya hampir berhenti ketika dia melihat betapa Bi-kwi benar-benar telah menempelkan pedangnya yang tajam itu di leher Bi Lan! Pedang yang tajam itu sudah ditekankan dan nampak betapa kulit leher yang putih mulus dan halus itu tertekan mata pedang. Dia tahu bahwa Bi Lan tertotok, tak mampu mengerahkan tenaga dan sedikit saja pedang itu ditekan, maka kulit dan daging leher itu akan koyak dan tersayat, urat-urat leher akan putus dan nyawa Bi Lan takkan dapat tertolong lagi. Dan diapun tidak berdaya dalam keadaan seperti itu untuk membebaskan Bi Lan dari ancaman pedang Bi-kwi. Tanpa berpikir panjang lagi diapun meloncat jauh ke belakang.

   "Tahan dulu!"

   Bentaknya. Kim Hwa Nio-nio cepat mendekati Bi-kwi. Nenek yang cerdik ini maklum bahwa tentu perhatian lawan kini ditujuknn kepada Bi-kwi yang menodong gadis itu, maka Bi-kwi yang harus dijaganya dan diperkuat kedudukannya.

   "Nah, begitu lebih baik, Sim Houw. Menyerahlah, karena engkau telah melawan pasukan pemerintah, berarti bahwa engkau telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintah! Kalau engkau menyerah dengan baik-baik, mungkin kami masih akan mempertimbangkan agar hukuman kalian ringan saja,"

   Kata pula Bi-kwi dengan sikap seperti seorang pembesar yang baik hati. Dalam keadaan negara kalut, memang amat mudah bagi se-seorang untuk menjatuhkan fitnah. Apa lagi mereka yang berada dalam kedudukan menang dan berkuasa, dengan mudahnya menjatuhkan fitnah "memberontak"

   Kepada orang-orang yang menjadi musuhnya atau yang tidak disukainya.

   "Sim Houw, jangan perdulikan mereka! Serang terus atau kau loloskan diri! Jangan kau perdulikan diriku. Mereka boleh siksa, boleh bunuh, aku tidak takut mati!"

   Teriak Bi Lan dengan marah sekali. Akan tetapi, mana mungkin Sim Houw meninggalkan gadis itu begitu saja menjadi tawanan orang-orang yang jahat ini?

   "Baiklah, aku menyerah dan jangan ganggu nona Can Bi Lan."

   Diapun berdiri dengan lemas. Bi-kwi lalu menyuruh anak buahnya untuk mengikat kaki tangan Sim Houw dengan rantai baja yang kuat, lalu beramai-ramai mereka membawa Sim Houw dan Bi Lan menuju ke gedung yang menjadi markas Kim Hwa Nio-nio dan para pembantunya.

   Para tamu, bahkan pengurus penginapan yang tadi mendengar ribut-ribut dan keluar dari dalam kamar, segera bersembunyi lagi ke kamar masing-masing dengan tubuh gemetar ketika mereka tahu bahwa keributan itu terjadi karena pasukan keamanan kota raja sedang mengadakan "pembersihan"

   Di rumah penginapan itu. Mereka hanya berdoa bahwa pasukan itu tidak akan memasuki kamar mereka untuk melakukan penggeledahan. Karena kalau hal itu terjadi, andaikata mereka tidak ditangkappun, setidaknya mereka akan kehilangan barang berharga dan uang yang berada di dalam kamar mereka! Hal ini sudah diketahui oleh semua orang. Setiap kali anak buah pasukan keamanan itu melakukan penggeledahan, tentu kesempatan itu mereka pergunakan untuk mengambil barang-barang berharga dan uang orang yang sedang digeledah tanpa orang itu mampu memprotes.

   Tidak ditahanpun sudah untung, maka orang-orang yang diambil barang-barangnya itu merasa lebih aman tutup mulut saja. Bukan hanya barang berharga yang diganggu, juga kalau ada wanita muda dan bersih, tentu tidak akan terbebas dari gangguan tangan-tangan jail para anak buah pasukan itu. Karena itu, setiap kali ada pembersihan, rakyat sudah gemetar ketakutan. Akan tetapi sekali ini, agaknya para pimpinan itu sudah puas ketika dapat menangkap Sim Houw dan Bi Lan. Terutama sekali Kim Hwa Nio-nio sudah puas dan girang karena berhasil mendapatkan kembali pusaka yang pernah oleh gurunya diberikan kepada orang lain. Pergilah pasukan itu membawa dua orang lawanannya ke gedung besar itu dan kedua orang tawanan ini dijebloskan ke dalam kamar tahanan yang kuat dan terjaga ketat, dan kaki tangan mereka masih dibelenggu, tubuh mereka ditotok pula!

   Pemuda yang memasuki rumah makan dengan langkah yang tegap dan tenang itu usianya paling banyak dua puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar, kulit mukanya agak kehitaman seperti muka yang sering kali tertimpa panas matahari. Namun wajah itu gagah dan bentuknya tampan, sepasang matanya memandang lurus dan tajam, penuh keberanian dan kejujuran, akan tetapi juga mengandung bayangan hati keras. Pemuda ini membawa sebuah buntalan pakaian dan jubahnya yang lebar panjang menutupi apa yang tersembunyi di ikat pinggangnya. Dia segera menghampiri sebuah meja yang masih kosong di sudut dan dari situ dia dapat memandang ke seluruh ruangan rumah makan itu yang telah diisi oleh belasan orang tamu yang makan siang di tempat itu. Pemuda itu adalah Cu Kun Tek, pendekar muda dari Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya itu.

   Seperti kita ketahui, pemuda ini menderita kecewa karena cintanya ditolak oleh Bi Lan, bahkan dia dicemooh. Salahnya sendiri. Dia telah bersikap tolol sekali terhadap Bi Lan, sikap yang tentu menyakitkan hati gadis itu. Dan dia menyalahkan dirinya sendiri menghadapi penolakan Bi Lan. Hatinya terasa sakit dan kesepian setelah dia melakukan perjalanan seorang diri, tanpa gadis itu. Dia pergi meninggalkan lembah untuk mencari pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Siapa kira, di tempat itu dia malah jatuh cinta dan sekaligus patah hati karena cinta gagal! Tiba-tiba dia melihat ada seorang pemuda masuk ke dalam restoran itu dan jantungnya berdebar keras ketika dia menpenal pemuda itu. Pemuda yang pernah menyerangnya mati-matian karena cemburu melihat hubungannya dengan Bi Lan!

   Pemuda yang gagah perkasa dan lihai bernama Gu Hong Beng, yang agaknya juga jatuh cinta kepada Bi Lan dan ditolak oleh gadis itu. Diam-diam Kun Tek tersenyum dalam hati. Senyum pahit. Pemuda yang baru masuk ini mengalami nasib yang sama dengan dia. Sama-sama ditolak cintanya oleh Bi Lan, sama-sama patah hati. Di lain pihak, Hong Beng juga melihat dan mengenal Kun Tek. Hatinya berdebar dan diapun merasa tidak enak sekali. Bukan hanya karena dia menganggap Kun Tek sebagai seorang saingan, akan tetapi karena dia pernah menyerang pemuda itu secara membabi buta karena cemburu. Peristiwa itulah yang membuat dia merasa malu sekali dan dia pura-pura tidak melihat Kun Tek, menghampiri meja di sudut lain yang menghadap ke luar sehingga meja Kun Tek berada di seberang kirinya.

   Dengan demikian, dia tidak usah berhadapan langsung dengan pemuda itu yang agaknya saling mencinta dengan Bi Lan! Melihat sikap Hong Beng, Kun Tek juga diam saja. Diapun merasa tidak enak hati. Kini dia dapat membayangkan betapa sakit rasa hati Hong Beng ketika itu, ketika melihat gadis yang dicintanya itu diraba-raba kulit pinggangnya oleh seorang pemuda lain! Dia dapat mengerti akan kemarahan Hong Beng yang langsung menyerangnya seperti orang mabok itu. Dan kini, dia sendiri dapat merasakan betapa sakitnya hati menderita cinta yang gagal, cinta yang hanya bertepuk tangan sebelah. Dan perasaan senasib sependeritaan membuat Kun Tek memandang ke arah Hong Ben dengan sinar mata akrab dan bersahahat, berbeda dengan sikap Hong Beng yang merasa tidak enak dan biarpun hanya bersisa sedikit,

   Masih ada perasaan iri terhadap pemuda yang dianggapnya menjadi pilihan hati Bi Lan itu. Kebetulan sekali, kedua orang pemuda itu, tanpa disengaja, memesan makanan yang sama, yaitu bakmi goreng, bebek panggang dan arak! Hong Beng sebagai orang yang berasal dari selatan, lebih biasa makan nasi dan memesan nasi, sedangkan Kun Tek tidak, cukup dengan bakmi. Mereka berdua makan tanpa saling tegur atau lirik dan makanan mereka hampir habis ketika tiba-tiba restoran itu ramai dikunjungi banyak orang. Akan tetapi, dua orang pemuda itu melihat betapa para pengurus rumah makan itu menjadi pucat keta-kutan dan mereka itu berkelompok di belakang meja pemilik restoran dengan tubuh gemetar. Juga para tamu lain memandang dengan ketakutan ke arah orang-orang yang baru saja tiba itu.

   Ketika Kun Tek dan Hong Beng memandang ke luar, mereka berduapun terkejut. Mereka mengenal siapa adanya wanita cantik dan pemuda tampan yang memimpin rombongan orang itu. Hong Beng sudah mengenal Bhok Gun dan Bi-kwi, pernah bentrok dengan mereka ketika dia menolong Bi Lan. Juga Kun Tek pernah menolong Bi Lan dari tangan Bhok Gun, maka kedua orang pemuda itu diam-diam bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan. Bhok Gun dan Bi-kwi menyapu ruangan rumah makan itu dengan pandang mata mereka penuh selidik. Akhirnya mereka melihat Hong Beng dan Kun Tek. Tentu saja mereka terkejut dan sekali melihat Kun Tek yang pernah menolong Bi Lan dari tangannya, Bhok Gun sudah marah. Sambil menunjuk ke arah pemuda itu, dia memerintahkan anak buahnya yang berjumlah dua puluh empat orang.

   

Kisah Pendekar Pulau Es Eps 8 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 5 Suling Emas Naga Siluman Eps 41

Cari Blog Ini