Suling Naga 25
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 25
"Harap paduka maafkan kelancangan kami, akan tetapi kami telah menyelamatkan nyawa paduka dari pengkhianatan yang dilakukan oleh dua orang pengawal pribadi paduka ini,"
Kata Kim Hwa Nio-nio dan cawan arak tadi masih berada di tangannya.
"Apa? Mereka ini hendak berkhianat? Ah, hal itu tidak mungkin! Kalian tentu keliru. Mereka adalah selir-selirku yang setia!"
"Kim Hwa Nio-nio berkata benar, Taijin. Kami berdua melihat betapa tadi mereka memasukkan bubukan putih ke dalam cawan paduka. Itu tentu racun yang amat jahat!"
Kata Sai-cu Lama.
"Karena itu, selagi Kim Hwa Nio-nio mencegah paduka minum, saya mendahului mereka dan membunuhnya agar tidak sempat menyerang paduka,"
Hou Taijin masih ragu-ragu dan ketika dia memandang kepada tiga orang tamu baru, Sam Kwi yang sudah tahu akan rencana teman-temannya, mengangguk-angguk.
"Kamipun melihatnya,"
Kata mereka.
"Begini saja, Taijin. Tuduhan kami itu perlu dibuktikan agar Taijin dapat percaya."
Melihat pembesar yang masih memandang mayat dua orang selirnya dengan muka pucat, Kim Hwa Nio-nio lalu berteriak menyuruh dua orang pengawal cepat membawa dua ekor kucing ke situ. Sebelum kucing yang diminta itu datang, Kim Hwa Nio-nio berkata,
"Taijin, kalau taijin tidak percaya, boleh taijin periksa di saku atau ikat pinggang mereka, tentu mereka membawa sebotol kecil bubukan putih."
Dengan jari-jari tangan gemetar, pembesar itu memeriksa dan benar saja, di tubuh dua orang selirnya, masing-masing terdapat sebuah botol kecil berisi bubukan putih, yang disembunyikan di dalam ikat pinggang mereka. Dia mengambil botol-botol itu dan meletakkannya di atas meja.
"Apakah ini?"
Tanyanya, suaranya masih agak gemetar karena hatinya masih diliputi ketegangan.
"Racun yang jahat sekali, taijin. Dan sebagian dari racun itu tadi ditaburkan ke dalam cawan taijin ini,"
Kata pula Kim Hwa Nio-nio. Dua ekor kucing yang diminta itu datang. Kim Hwa Nio-nio membuka dengan paksa mulut kucing itu dan menuangkan arak dari cawan Hou Seng ke dalam mulut kucing. Biarpun kucing itu meronta, percuma saja, arak itu telah memasuki perutnya. Dan seketika kucing itu berkelojotan dan tewas, tubuhnya berubah menghitam!
"Nah, apa akan jadinya kalau saya tadi tidak mencegah paduka minum arak dari cawan itu?"
Kata Kim Hwa Nio-nio dan Hou Seng bergidik, kembali memandang kepada dua orang selirnya, kini pandang matanya mulai mengandung kemarahan dan kebencian.
"Mereka.. mereka nampaknya begitu baik, mencinta dan setia.... dan aku telah memberi segala-galanya, tapi.... tapi mengapa...."
"Tidak aneh, taijin. Musuh taijin banyak sekali dan agaknya mereka itu mampu merobah pendirian dua orang ini. Karena itu, taijin harus berhati-hati dan percayalah, selama ada kami, kami akan selalu melindungi taijin dari ancaman bahaya,"
Kata Sai-cu Lama dengan suaranya yang halus.
Kini dari dua botol itu dituangkan bubuk putih ke dalam arak, lalu dituangkan dengan paksa ke dalam mulut kucing ke dua dan akibatnya, kucing inipun kejang-kejang berkelojotan dan tewas seketika. Percayalah Hou Taijin dan dua mayat dan bangkai kucing itu lalu disingkirkan, dan perjamuan itu dilanjutkan, walaupun Hou Taijin sudah kehilangan seleranya. Demikianlah, peristiwa semalam itu tentu saja sudah diatur oleh komplotan Kim Hwa Nio-nio yang cerdik. Melalui para pelayan, mereka berdua memperoleh keterangan bahwa dua orang selir itu selalu membawa sebotol kecil racun. Racun ini selalu mereka bawa karena mereka ingin membunuh diri dengan cepat kalau sekali waktu mereka itu terjatuh ke tangan musuh-musuh Hou Seng,
Sehingga mereka tidak usah menderita siksaan dan juga tidak ada bahayanya mereka akan membocorkan rahasia suami dan juga majikan mereka itu. Demikian besarnya kesetiaan mereka kepada Hou Seng. Akan tetapi justeru keterangan inilah yang memudahkan Kim Hwa Nio-nio mengatur siasat keji itu. Ketika Hou Seng hendak minum araknya, tentu saja di dalam arak itu tidak ada apa-apanya. Ia sengaja merampasnya untuk membuat suasana menjadi kalut dan memberi kesempatan kepada Sai-cu Lama untuk membunuh dua orang selir itu. Walaupun memiliki kepandaian silat yang lumayan, tentu saja dua orang selir itu sama sekali bukan tandingan Sai-cu Lama dan sama sekali tidak mampu menghindar ketika pukulan maut datang menyambar. Dan dalam kegaduhan ini, dengan mudah Kim Hwa Nio-nio memasukkan bubuk racun ke dalam cawan arak itu. Tentu saja ketika diminumkan kepada kucing, kucing itu tewas seketika.
Dan botol bubuk racun itu benar saja ditemukan dan karena memang benda itu racun, ketika diminumkan kucing ke dua, binatang itupun mati! Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya menganggap siasat itu berhasil dengan amat baiknya. Dua orang selir yang mereka anggap saingan yang berbahaya itu, telah dapat mereka singkirkan, dan yang terpenting, Hou Seng agaknya percaya akan pengkhianatan selir-selirnya sehingga dengan demikian, semua kepercayaan pembesar itu tentu akan terjatuh ke tangan mereka! Untuk kemenangan ini, pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka sudah merayakan kemenangan itu dengan sarapan pagi yang mewah. Akan tetapi, kegembiraan mereka itu terganggu oleh datangnya pengawal yang dengan muka pucat menyerahkan pisau dan sampul.
"Kami tidak tahu siapa yang menancapkan pisau itu di pintu gerbang, karena tahu-tahu ketika kami membuka pintu gerbang, pisau itu sudah menancap di daun pintu, membawa sampul itu."
Demikian laporan pengawal itu. Karena surat itu ditujukan kepada Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama, nenek yang dianggap sebagai pimpinan kelompok pembantu Hou Taijin itu, segera membuka sampulnya dan mengeluarkan suratnya yang bertuliskan dengan tinta merah. Ternyata surat itu adalah tantangan untuk pi-bu (mengadu ilmu silat), seperti yang biasa dilakukan di dunia persilatan. Yang menantang adalah Tiong Khi Hwesio yang menantang Sai-cu Lama, dan Sim Houw menantang Kim Hwa Nio-nio. Pada hari itu lewat tengah hari, dua orang penantang itu menunggu di tepi hutan di sebelah utara pintu gerbang kota raja!
"Heemmm.... keparat!"
Kim Hwa Nio-nio memaki dengan muka merah dan melemparkan surat itu kepada Sai-cu Lama. Pendeta ini membacanya dan diapun tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Tiong Khi Hwesio sudah mengejarku sampai di sini? Ha-ha-ha, dia memang sudah bosan hidup. Dengan Ban-tok-kiam di tangan, dia pasti akan mampus di tanganku sekali ini!"
Sambil tertawa-tawa, Sai-cu Lama menyerahkan surat itu kepada Iblis Mayat Hidup yang duduk di sebelahnya. Sam Kwi membaca surat itu bergantian, kemudian Bhok Gun dan Bi-kwi juga membacanya. Ketika surat itu kembali ke tangan Kim Hwa Nio-nio, Iblis Akhirat, si cebol dari Sam Kwi, yang melihat betapa Kim Hwa Nio-nio tidak gembira, berkata, dan suaranya lantang membuyarkan ketegangan yang timbul oleh surat itu.
"Suci, tak usah takut menghadapi Sim Houw itu. Bukankah Liong-siauw-kiam sudah berada di tanganmu? Dan kamipun akan membantumu."
Kim Hwa Nio-nio mengerutkan alisnya.
"Siapa bilang aku takut menghadapi orang muda itu? Akan tetapi, aku khawatir kalau-kalau surat tantangan ini hanya suatu perangkap belaka untuk memancing harimau keluar dari sarang!"
"Ha-ha-ha!"
Sai-cu Lama tertawa gembira.
"Harimau tetap harimau, di dalam maupun di luar sarang, kita tetap berani dan menang!"
"Apakah engkau akan mengabaikan saja tantangan pi-bu ini, suci?"
Tanya Iblis Akhirat dengan khawatir, karena mengabaikan tantangan pi-bu amat mencemarkan nama seorang datuk persilatan.
"Pinceng pasti datang memenuhi tantangan Tiong Khi Hwesio, ha-ha!"
Sai-cu Lama masih tertawa-tawa memandang rendah lawannya. Dan diapun memiliki alasannya untuk memandang rendah. Bukankah dia dahulu kalah oleh Tiong Khi Hwesio dalam perkelahian yang seimbang dan setelah berjalan lama baru akhirnya dia kalah? Kalau kini dia menggunakan pedang Ban-tok-kiam, dia merasa yakin akan dapat mengalahkan lawannya itu.
"Mengabaikan tantangan pibu tidak mungkin, akan tetapi...."
Kim Hwa Nio-nio masih kelihatan ragu-ragu.
"Kalau kita semua pergi bertujuh, walau andaikata mereka itu membawa teman-teman, kita tidak perlu takut,"
Kata pula Iblis Akhirat membesarkan hati sucinya.
"Aku mengerti akan kekhawatiran subo,"
Tiba-tiba Bhok Gun berkata.
"Dan memang kekhawatiran itu beralasan. Penantang kita adalah musuh-musuh dan bisa saja mereka menggunakan pi-bu ini sebagai pancingan untuk menjebak kita. Akan tetapi, subo, justeru kita harus dapat memanfaatkan keadaan dan mengambil keuntungan dari perangkap yang mereka pasang ini."
"Eh? Maksudmu bagaimana?"
Tanya Kim Hwa Nio-nio kepada muridnya yang cerdik itu.
"Mereka menggunakan muslihat memancing harimau keluar sarang? Baik, kita keluar! Akan tetapi diam-diam aku akan menghubungi Coa-ciangkun agar dikerahkan pasukan sebanyak seratus orang untuk mengepung tempat itu dan begitu lawan berkumpul dan kita hendak dijebak, kita kerahkan pasukan untuk menangkap mereka semua. Dengan demikian berarti perangkap kita menghancurkan perangkap mereka."
Sai-cu Lama mengangguk-angguk.
"Wah, Nio-nio, muridmu ini boleh juga!"
Semua orang menyatakan kagum dan Kim Hwa Nio-nio dapat menerima usul itu. Mereka melanjutkan makan minum sambil menyusun rencana untuk menghadapi pihak lawan yang mengajukan tantangan.
Tempat yang dipilih dalam surat tantangan pi-bu itu memang sunyi sekali. Di luar kota raja sebelah utara terdapat sebuah hutan yang lebat, dan di luar hutan ini terdapat lapangan rumput. Kalau musim semi tiba dan rumput di situ gemuk sekali, banyak penggembala ternak membawa ternaknya ke situ untuk makan rumput. Akan tetapi pada waktu itu, rumput di situ gundul dan kering maka tidak ada seorangpun pengembala mau membawa ternaknya ke tempat itu dan keadaan di situ amat sunyi. Matahari amat cerahnya dan cahayanya yang panas menimpa segala yang nampak di permukaan bumi, memberi kehidupan yang segar. Kita adalah mahluk-mahluk yang sama sekali tidak dapat menikmati berkah yang berlimpahan dalam kehidupan ini. Satu di antara berkah-berkah yang berlimpahan adalah sinar matahari!
Tanpa sinar matahari, kita dan segala sesuatu di permukaan bumi ini akan mati! Sinar matahari menyehatkan, menghidupkan, dan memberi segala yang menjadi kebutuhan mutlak kita. Memberi panas, kehangatan, penerangan, kenikmatan yang tiada habis-habisnya. Namun, hanya sedikit di antara kita dapat menikmatinya. Segala keindahan yang terbentang di depan kita hidup karena sinar matahari. Bahkan pandang mata kita takkan ada artinya tanpa sinar matahari. Sedikit saja di antara kita yang dapat menghirup berkah melimpah ini dengan sepuasnya mereguknya dan menikmatinya. Dan yang sedikit itu pun hanya dapat menikmatinya jarang sekali, di waktu mereka teringat saja. Dan di samping sinar matahari, masih banyak sekali berkah itu, seperti hawa udara, air, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.
Namun otak ini sudah terlalu penuh dengan persoalan-persoalan, dengan masalah-masalah yang kita buat sendiri sehingga hidup di dunia yang begini indah penuh berkah ini tak terasa lagi sebagai suatu keindahan melainkan berubah menjadi neraka karena kita terbenam ke dalam duka dan sengsara oleh problema-problema buatan kita sendiri itu. Bayangan makin memendek mendekati kaki, tanda bahwa matahari sudah naik semakin tinggi. Tengaharipun terlewat dan tak lama kemudian, tempat yang sunyi itu berubah dengan munculnya beberapa orang di lapangan rumput itu. Yang muncul adalah seorang kakek tua renta yang berjubah pendeta hwesio dan berkepala gundul, bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian sederhana. Mereka ini adalah Tiong Khi Hwesio dan Sim Houw, dua orang penantang pi-bu itu!
Belum lama kedua orang penantang ini muncul di lapangan rumput yang luas, nampak bermunculan Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama, diiringkan oleh Sam Kwi, Bhok Gun dan Bi-kwi! Kim Hwa Nio-nio tersenyum mengejek, hatinya girang sekali karena kini nenek itu tidak khawatir akan terjebak pihak musuh. Ada seratus dua puluh orang pasukan sejak pagi tadi bersembunyi di dalam hutan itu, siap untuk menyerbu setiap saat mereka dibutuhkan! Bahkan Coa-ciangkun sendiri, perwira tinggi yang menjadi sekutu Hou Seng Taijin, memimpin pasukan itu. Tidak ada sesuatu yang harus dikhawatirkan. Dan tentang pi-bu itu sendiri, iapun tidak takut. Andaikata kemudian ternyata bahwa ia tidak mampu menandingi orang muda she Sim itu, di sebelahnya masih ada Sam Kwi, Bhok Gun dan Bi-kwi yang tentu tidak akan tinggal diam. Apa lagi ketika melihat bahwa yang muncul hanya dua orang penantang itu, Kim Hwa Nio-nio tersenyum mengejek.
"Ha-ha-ha-ha!"
Sai-cu Lama tertawa bergelak setelah berhadapan dengan Tiong Khi Hwesio.
"Kiranya engkau sampai juga ke sini. Tiong Khi Hwesio, mau apakah engkau jauh-jauh menyusulku dari Tibet, kemudian mengajukan tantangan pi-bu itu?"
Tiong Khi Hwesio memandang tajam kepada la-wannya.
"Sai-cu Lama, pinceng berkewajiban untuk menangkapmu karena engkau telah membunuh dua orang pimpinan Lama. Dahulu pinceng merasa kasihan dan membebaskanmu, akan tetapi engkau tidak mengubah kelakuan yang buruk, bahkan menimbulkan kekacauan di mana-mana."
"Menangkap aku? Ha-ha-ha, jangan sesombong itu, Tiong Khi Hwesio. Dahulupun, setelah berkelahi mati-matian sampai ribuan jurus, baru engkau dapat sedikit mengungguli aku. Akan tetapi sekarang, jangan harap lagi! Aku bahkan akan membunuhmu di sini, ha-ha!"
Berkata demikian, Sai-cu Lama menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar berkelebat dan berkilat ketika sebatang pedang yang mengandung hawa menyeramkan telah dicabutnya. Itulah Ban-tok-kiam!
"Omitohud, kejahatanmu semakin meningkat saja, Sai-cu Lama. Engkau menggunakan pedang yang kau rampas dari orang lain. Dan justeru karena pedang itulah maka pinceng semakin bersemangat untuk mengejarmu. Selama ini pinceng pantang mempergunakan senjata, akan tetapi sekali ini terpaksa, omitohud,....!"
(Lanjut ke Jilid 24)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 24
Dan ketika tangan Tiong Khi Hwesio bergerak ke bawah jubahnya, dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengandung hawa sedemikian menyeramkan sehingga semua orang merasakan ini. Bahkan Sam Kwi sendiri bergidik ketika melihat pedang itu. Tidak mengherankan karena kini Tiong Khi Hwesio mengeluarkan senjata pusakanya yang selama ini disembunyikannya saja, yaitu pedang pusaka yang bernama Cui-beng-kiam (Pedang Pencabut Nyawa)! Pedang pusaka ini dahulu milik seorang datuk sesat seperti iblis yang menjadi penghuni Pulau Neraka bernama Cui-beng Koai-ong (Raja Setan Pengejar Nyawa), sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya dan menjadi lawan yang kuat sekali dari Ban-tok-kiam. Sementara itu, Kim Hwa Nio-nio sudah berhadapan dengan Sim Houw.
"Hemm, orang muda, engkau berhasil meloloskan diri dan sekarang datang mengantar nyawa, sungguh lucu sekali. Dengan Liong-siauw-kiam di tanganku, bagaimana engkau akan mampu menandingi aku?"
Nenek itu mencabut Liong-siauw-kiam yang dipegangnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang kebutannya. Sepasang senjata ini memang membuat Kim Hwa Nio-nio menjadi semakin lihai bukan main.
"Senjata pusaka itu milikku dan engkau merampasnya dengan cara licik. Akan tetapi, jangan mengira aku takut menghadapimu, Kim Hwa Nio-nio."
Berkata demikian, kedua tangan Sim Houw bergerak dan dia telah mengeluarkan sepasang senjata, yaitu sebatang suling emas dan sebatang pedang yang juga memiliki sinar yang menyeramkan sekali. Pedang di tangan kanannya itu bukan lain adalah Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman).
Mudah saja diduga dari mana Sim Houw memperoleh sepasang senjata ini. Cu Kun Tek telah menyerahkan dan meminjamkan sepasang senjata, yang tadinya memang menjadi milik Sim Houw dan dikembalikannya kepada keluarga Cu itu, kepada pendekar ini, meminjamkannya agar Sim Houw dapat menandingi nenek yang memegang Liong-siauw-kiam. Seperti juga Sai-cu Lama yang terkejut melihat betapa lawannya mempunyai sebatang pedang pusaka yang kelihataanya ampuh itu, Kim Hwa Nio-nio tercengang melihat lawannya kini memegang sepasang senjata suling emas dan pedang pusaka berkilauan dan memiliki hawa yang demikian menyeramkan. Diam-diam ia merasa jerih dan mengerling ke arah Sam Kwi, sebagai tanda kepada tiga orang sutenya itu agar bersiap-siap membantunya.
"Heh-heh, sudah lama aku mendengar nama Pendekar Suling Naga, dan kesempatan ini takkan kusia-siakan!"
Kata Iblis Akhirat dan tiba-tiba saja tangannya bergerak.
Sinar terang berkelebat meluncur dari tangannya, menyambar ke arah Sim Houw. Itulah Toat-beng Hui-to (Golok Terbang Pencabut Nyawa), yang secara curang telah dipergunakan oleh Im-kan Kwi, orang pertama dari Sam Kwi itu. Akan tetapi, Sim Houw telah mendengar banyak tertang kelihaian dan kecurangan tiga orang yang dia dapat menduga adalah Sam Kwi ini, maka dia telah bersikap waspada sejak tadi. Dia dapat menundukkan kepala mengelak dan golok itu terbang di atas kepalanya, lalu kembali kepada pemiliknya! Diam-diam Sim Houw terkejut. Ilmu melempar golok yang hebat, pikirnya, dan berbahaya sekali. Golok yang dapat terbang kembali seperti itu dapat dipergunakan berkali-kali. Dia sudah sering mendengar cerita Bi Lan tentang kehebatan tiga orang iblis ini.
"Hemm, kiranya Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama hanya berani menerima tantangan karena mengandalkan banyak lawan,"
Kata Sim Houw mengejek.
"Omitohud, sudah pinceng duga bahwa kalian akan bertindak curang. Kalian datang bertujuh, maka sudah sepatutnya kalau kamipun keluar bertujuh!"
Dan kakek ini tiba-tiba saja mengeluarkan suara melengking panjang dan dari balik batu-batu besar bermunculan lima orang yang dengan cepatnya berlari menuju ke padang rumput itu. Kim Hwa Nio-nio dan teman-temannya cepat memandang. Yang muncul itu lima orang, akan tetapi mereka hanya mengenal seorang di antara mereka, yaitu Bi Lan. Adapun empat orang lainnya adalah Kao Cin Liong dan isterinya Suma Hui, kemudian Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng! Dua pasang suami isteri inilah yang telah bertemu dengan Tiong Khi Hwesio dan mereka segera diajak berunding untuk bersama-sama menghadapi gerombolan datuk sesat yang menjadi kaki tangan Hou Seng.
Seperti telah kita ketahui, Suma Ceng Liong dan isterinya. Kam Bi Eng yang kematian nenek Teng Siang In dan kehilangan puteri mereka, Suma Lian, tidak sempat mendengar dari Hong Beng, siapa adanya kakek yang menculik puteri mereka ini. Akan tetapi mereka mengenal luka yang diakibatkan oleh pedang Ban-tok-kiam, maka mereka lalu melakukan perjalanan cepat pergi mengunjungi keluarga Kao, yaitu penghuni Istana Gurun Pasir di luar Tembok Besar. Dari nenek Wan Ceng, mereka mendengar bahwa pedang itu tadinya oleh nenek Wan Ceng dipinjamkan kepada muridnya, yang juga menjadi murid Sam Kwi. Akan tetapi nenek Wan Ceng memperkuat keyakinannya bahwa muridnya itu tidak mungkin melakukan kejahatan, dan ia mengkhawatirkan bahwa pedang itu telah terampas oleh orang jahat dari tangan muridnya.
Setelah mendengar penuturan nenek Wan Ceng tentang pedang Ban-tok-kiam, suami isteri itu kembali ke selatan dan sampai di kota raja. Mereka hendak mengunjungi Kao Cin Liong untuk minta bantuannya, akan tetapi kebetulan sekali Kao Cin Liong dan Suma Hui juga baru saja tiba di kota raja dan mereka bertemu di perjalanan. Pertemuan mereka yang mengharukan di tengah jalan itu menarik perhatian seorang kakek hwesio yang bukan lain adalah Tiong Khi Hwesio. Wajah Suma Ceng Liong yang mirip dengan wajah Suma Kian Bu di waktu muda, menarik perhatiannya dan melihat sikap dan gerakan mereka, Tiong Khi Hwesio dapat mengetahui bahwa empat orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka diapun segera menghubungi mereka dan memperkenalkan diri sebagai Tiong Khi Hwesio yang dahulu pernah bernama Wan Tek Hoat.
Tentu saja nama ini amat dikenal oleh Suma Ceng Liong dan Suma Hui, dan mereka lalu mengadakan perundingan. Girang hati Suma Ceng ketika mendengar dari kakek ini bahwa yang mempergunakan pedang Ban-tok-kiam adalah seorang pendeta Lama bernama Sai-cu Lama. Apa lagi setelah mereka berempat itu dipertemukan dengan Hong Beng, Kun Tek dan terutama Bi Lan. Mereka dapat mendengar secara jelas segala hal mengenai Sam Kwi -dan Sai-cu Lama. Dan mereka bersama-sama lalu mengadakan perundingan, dipimpin oleh Tiong Khi Hwesio yang mengatur siasat. Mereka itu merupakan sekelompok kecil anggauta keluarga para pendekar Pulau Es, kecuali Cu Kun Tek dan mereka membagi-bagi tugas. Melihat munculnya lima orang itu, Sam Kwi, Bi-kwi dan Bhok Gun cepat menyambut mereka.
Sesuai dengan tugas mereka, Kao Cin Liong menghadapi Iblis Akhirat, Suma Ceng Liong menghadapi Raja Iblis Hitam, Kam Bi Eng yang sudah siap dengan suling emasnya menghadapi Iblis Mayat Hidup, Bhok Gun dihampiri oleh Suma Hui sedangkan Bi-kwi dihadapi Bi Lan! Kini mereka benar-benar melakukan pi-bu satu lawan satu dan semua ini sudah diperhitungkan oleh keluarga Pulau Es itu! Sam Kwi yang tidak mengenal lawannya, memandang rendah. Terutama sekali Im-kan Kwi (Iblis Akhirat), orang pertama dari Sam Kwi, ketika melihat majunya seorang laki-laki setengah tua yang tidak begitu mengesankan, memandang rendah. Dia sama sekali tidak tahu bahwa yang dihadapinya itu adalah Kao Cin Liong, bekas panglima yang amat terkenal di kota raja, putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!
"Ha-ha-ha, kalian ini semua sudah bosan hidup, mengantar nyawa untuk mati konyol!"
Berkata demikian, Iblis Akhirat ini membuka perkelahian satu lawan satu itu dengan serangannya yang ganas, yaitu dengan menggunakan Kiam-ciang (Tangan Pedang) menubruk ke arah Cin Liong. Melihat lawan maju dan menyerang sembarangan dengan tangan kanan dibarengi pengerahan tenaga sin-kang yang membuat tangan itu berdesing seperti senjata tajam, Cin Liong yang sudah mendengar tentang si cebol ini dari Bi Lan, menyambut dengan tangkisan dan untuk mengadu tenaga, diapun mengerahkan sin-kangnya yang istimewa, pelajaran dari Istana Guruu Pasir.
"Desss....!"
Dan Iblis Akhirat mengeluarkan pekik kaget karena tangkisan itu bukan saja mampu menangkis serangan Kiam-ciang,
Akan tetapi bahkan dia merasa betapa seluruh lengan kanannya tergetar hebat seperti bertemu dengan baja yang lemas namun kuat sekali. Dan ternyata Iblis Akhirat tidak menyendiri dalam kekagetannya. Raja Iblis Hitam yang menyerang Ceng Liong, membuka serangan dengan mempergunakan jurus dari Hek-wan Sip-pat-ciang, tangan kirinya mencengkeram dan lengannya mulur panjang melewati kepala lawan, lalu dari belakang tubuh lawan, lengan itu membalik dan tangannya mencengkeram ke arah kepala Ceng Liong! Cucu Pendekar Super Sakti ini sudah mendengar pula dari Bi Lan tentang ilmu kepandaian si Raja Iblis Hitam, bahkan Bi Lan sudah mendemonstrasikan semua ilmu tiga orang gurunya, maka diapun tidak terkejut melihat lengan yang dapat mulur memanjang itu. Dia membalik dan menangkis, mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang.
"Dukk....!"
Dan seperti juga rekannya, Raja Iblis Hitam yang tinggi besar ini mengeluarkan teriakan kaget dan cepat menarik kembali lengan kirinya yang mulur tadi karena tangkisan lawan itu bukan saja membuat pukulannya membalik dan tangannya terpental, akan tetapi seluruh lengannya merasa dingin seperti dimasuki air es! Dia terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar Pulau Es, maka diapun tidak berani main-main lagi. Sama saja kekejutan yang dialami oleh Iblis Mayat Hidup. Kakek yang seperti tengkorak hidup ini-pun tadinya memandang ringan kepada Kam Bi Eng, wanita yang masih nampak cantik jelita dalam usianya yang tiga puluh dua tahun itu. Seorang wanita yang hanya bersenjatakan sebatang suling emas!
Maka dia ingin menangkap wanita ini hidup-hidup, dan sudah menubruk dengan Ilmu Hun-kin Tok-ciang untuk membikin putus otot kedua pundak lawan dan sekaligus membekuknya. Seperti juga suaminya, Kam Bi Eng sudah mempelajari lebih dahulu ilmu-ilmu dari calon lawannya. Diketahuinya sudah bahwa lawannya ini selain memiliki Sam Kwi Cap-sha-ciang seperti yang lain, juga paling ahli dalam penggunaan Kiam Ciang, dan memiliki ilmu silat yang berbahaya, yaitu Hun-kin Tok ciang. Kini, melihat datangnya serangan, ia mengenai jurus Hun-kin Tok-ciang dan cepat ia sudah memutar sulingnya. Terdengar suara melengking-lengking dan tahu-tahu lengan kanan Iblis Mayat Hidup sudah tertangkis, sedangkan lengan kirinya tiba-tiba menjadi kejang karena serangannya disambut oleh totokan yang cepat sekali datangnya dari suling yang menangkis lengan kanan tadi,
Mengenai tepat pada pergelangan tangannya dan membuat lengan itu menjadi kejang. Dia menahan pekiknya akan tetapi melangkah mundur untuk mengurut lengan kirinya, lalu maju lagi menyerang dengan Kiam-ciang, bertubi-tubi dan dengan marah sekali. Bhok Gun yang dihadapi Suma Hui terkejut bukan main dan segera dia mengerti bahwa wanita ini bukan lawannya! Wanita ini memiliki pukulan-pukulan yang mengandung hawa panas sekali ,seperti api, dan ketika menangkis mengenai lengan kirinya ada hawa yang amat dingin seperti es menyusup ke dalam lengannya! Hampir saja dia melepaskan pedangnya, dan dia cepat melompat mundur dengan mata terbelalak. Suma Hui tersenyum mengejek dan ialah yang kini menerjang mendesak lawannya cepat memutar pedangnya melindungi tubuh. Bi-kwi seoranglah yang agaknya menemukan tandingan yang seimbang.
Akan tetapi ia menjadi semakin penasaran saja karena semua serangannya terhadap Bi Lan atau Siauw-kwi yang ketika kecil menjadi muridnya ini, dapat dihindarkan oleh Bi Lan, bahkan Bi Lan membalas dengan tidak kalah sengitnya! Dua orang ini, ketika mempergunakan ilmu silat dari Sam Kwi, nampaknya seperti orang berlatih saja karena gerakan mereka sama, dan kelincahan mereka berimbang. Bi-kwi menjadi semakin penasaran dan sambil mencoba untuk mendesak sumoinya, ia berteriak-teriak memaki dan menghina, disambut oleh Bi Lan sambil tersenyum saja. Memang ialah yang minta kepada Tiong Khi Hwesio agar diperbolehkan menghadapi sucinya, karena ia sudah hafal akan semua ilmu sucinya, dan iapun tahu bagaimana caranya untuk menghadapi dan melawannya. Ada sedikit kelebihan pada diri Bi-kwi, yaitu ia lebih matang dalam hal ilmu-ilmu dari Sam Kwi dibandingkan sumoinya.
Akan tetapi kekurangan Bi Lan ini tertutup oleh ilmu-ilmu dari Naga Sakti Gurun Pasir yang pernah dilatihnya, bahkan ilmu-ilmu ini akan membuat Bi-kwi bingung kalau dikeluarkan oleh Bi Lan. Sementara itu, Kim Hwa Nio-nio sudah terlibat dalam perkelahian yang amat hebat dan seru melawan Sim Houw. Liong-siauw-kiam di tangan nenek itu memang membuatnya semakin lihai. Kebutan di tangan kirinya itu sudah berbahaya sekali, ujung bulu kebutan yang kadang-kadang lemas kadang-kadang kaku seperti batangan-batangan baja itu menyambar-nyambar ganas dan setiap ujung bulu kebutan itu dapat menghancurkan otot atau jalan darah dapat ditotoknya. Ini semua masih ditambah lagi dengan pedang suling yang menyambar-nyambar seperti seekor naga. Akan tetapi, dalam hal peng-gunaan Liong-siauw-kiam ini,
Nenek Kim Hwa Nio-nio hanya dapat memanfaatkan ketajamannya saja, dan lubang-lubang pada pedang itu hanya mengeluarkan suara mendengung panjang, tidak seperti kalau Sim Houw yang memainkannya. Biarpun demikian, karena pedang suling itu bekerja sama dengan kebutan, nenek itu benar-benar merupakan lawan yang berbahaya dan kuat sekali. Namun, Sim Houw telah mempergunakan sepasang senjata yang memang menjadi senjata istimewanya sebelum dia memiliki pedang suling. Kini pedang di tangan kanannya berkelebatan dan mengaung-ngaung seperti seekor naga mengamuk, sedangkan suling emas di tangan kiri mengeluarkan suara melengking-lengking, lebih kuat malah dari pada lengking suara suling yang keluar dari suling emas di tangan Kam Bi Eng, sumoinya yang menghadapi Iblis Mayat Hidup, seorang di antara Sam Kwi.
Dan dengan sepasang senjata yang ampuh ini, Sim Houw dapat menandingi dan mengimbangi permainan sepasang senjata Kim Hwa Nio-nio sehingga mereka terlibat dalam pertandingan yang amat seru. Perkelahian antara Sai-cu Lama dan Tiong Khi Hwesio agaknya merupakan perkelahian yang paling hebat di antara mereka. Dua orang kakek ini memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, dan keduanya memiliki tenaga sin-kang yang sudah matang, juga pengalaman berkelahi puluhan tahun lamanya. Lebih lagi, kini keduanya mempergunakan pedang pusaka yang amat ampuh dan baru sinar pedangnya saja sudah cukup untuk menggentarkan hati lawan. Kalau tadinya Sai-cu Lama mengandalkan keampuhan Ban-tok-kiam sehingga dengan senjata ampuh itu dia dapat menebus kekalahannya yang sedikit dari Tiong Khi Hwesio,
Kini harapannya itu kandas. Ternyata pedang pusaka di tangan lawan itu tidak kalah ampuhnya, bahkan kini Tiong Khi Hwesio memainkan ilmu pedang yang amat aneh dari Pulau Neraka, membuat Sai-cu Lama repot dan harus melindungi diri kuat-kuat. Dengan demikian, dia mulai terdesak dan lebih banyak menangkis daripada menyerang. Beratlah melawan kakek yang menggunakan pedang Cui-beng-kiam dengan Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dan didasari dengan tenaga Inti Bumi, semacam sin-kang yang hebat dari Pulau Neraka. Hebat bukan main perkelahian yang terjadi di luar hutan, di padang rumput yang sunyi itu. Yang terdengar adalah sambaran-sambaran senjata yang berdesingan, bentrokan-bentrokan senjata dan teriakan-teriakan yang mengiringi suatu serangan.
Akan tetapi lebih-lebih dari itu semua, dua suara suling melengking-lengking seperti ditiup terdengar, yaitu dari suling emas yang digerakkan oleh Kam Bi Eng dan yang digerakkan oleh Sim Houw. Biarpun Kam Bi Eng adalah puteri Pendekar Suling Emas Kam Hong, namun dalam hal memainkan suling emas, ia masih kalah matang dibandingkan suhengnya, Sim Houw. Dua batang suling yang berkelebatan seperti naga itu selain mengeluarkan hawa pukulan yang hebat, mengintai nyawa lawan, juga mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup dan dimainkan saja. Yang paling repot di antara gerombolan datuk sesat itu adalah Bhok Gun. Dia diserang dan didesak oleh Suma Hui yang kini sudah mengeluarkan senjatanya pula, yaitu sepasang pedang! Padahal tadi, dengan kedua tangan kosong saja ia masih mampu mengatasi pedang lawan.
Karena jengkel tak dapat segera mengalahkan lawan, Suma Hui telah mencabut sepasang pedangnya dan kini ia mainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang luar biasa ganasnya. Bhok Gun terkejut dan dia terus didesak mundur oleh lawan. Hal ini sungguh sama sekali di luar perhitungan Bhok Gun. Ketika berangkat, Kim Hwa Nio-nio begitu yakin bahwa mereka bertujuh akan mampu mengalahkan lawan tanpa perlu bantuan pasukan. Akan tetapi sekarang, ternyata mereka menghadapi tujuh orang lawan yang demikian tangguhnya sehingga mereka semua terdesak. Maka, Bhok Gun segera mengeluarkan suara teriakan tiga kali. Mendengar ini, Kim Hwa Nio-nio yang juga terdesak dan maklum bahwa dari teman-temannya ia tidak dapat mengharapkan bantuan karena mereka sendiripun terdesak, segera bersuit tiga kali.
Teriakan Bhok Gun dan suitan gurunya itu merupakan isyarat bagi pasukan yang bersembunyi di dalam hutan untuk bergerak. Terdengar sorak-sorai dan seratus dua puluh orang perajurit keluar dari dalam hutan menuju ke padang rumput. Akan tetapi, pada saat itu, nampak seorang laki-laki tinggi besar berlari-lari mendahului para perajurit ke arah padang rumput dan di belakangnya ikut berlari Hong Beng dan Kun Tek! Ketika tiba di dekat padang rumput, panglima itu dibawa meloncat oleh Hong Beng ke atas sebuah batu besar. Panglima itu mengeluarkan sebuah sempritan dari saku bajunya dan meniup alat ini berkali-kali. Mendengar itu, para perajurit menahan langkah mereka dan hanya mengurung tempat perkelahian itu, dan semua perajurit itu memandang ke arah orang berpakaian panglima itu dengan bingung.
"Berhenti di tempat! Dilarang bergerak mencampuri perkelahian!"
Mendengar teriakan ini, tentu saja para perajurit tidak berani bergerak. Yang mengeluarkan perintah itu adalah Coa-ciangkun, komandan mereka sendiri! Ketika tadi mereka membuat persiapan di dalam hutan, mereka dibagi menjadi beberapa kelompok dari masing-masing kelompok mempunyai seorang perwira atau kepala kelompok. Dan kini, para kepala kelompok itu sendiri menjadi bingung dan cepat memberi aba-aba agar anak buahnya jangan bergerak. Mereka terkejut dan merasa heran akan perintah dari komandan mereka itu. Tentu saja Kim Hwa Nio-nio menjadi lebih kaget lagi.
"Coa-ciangkun, cepat bergerak menangkap pemberontak-pemberontak ini!"
Teriaknya sambil terus memutar sepasang senjatanya melindungi tubuhnya dari desakan Sim Houw.
"Kim Hwa Nio-nio, kami tidak melihat adanya seorangpun pemberontak. Mereka adalah para pendekar, keluarga dari para pendekar Pulau Es! Karena perkelahian ini adalah urusan pribadi dan tidak menyangkut pemerintah, kami tidak mau campur tangan. Seluruh pasukan mundur....!"
Sempritan itu ditiupnya beberapa kali sebagai isyarat agar pasukannya mundur. Para perwira juga cepat memberi aba-aba dan pasukan itupun mundur kembali ke dalam hutan!
Semua ini adalah hasil rencana yang matang dari Tiong Khi Hwesio. Dia dapat menduga bahwa orang-orang licik seperti Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama, untuk mencari kemenangan, tentu bukan hanya membawa semua temannya, melainkan juga mengandalkan bantuan pasukan pemerintah. Perhitungannya itu tepat ketika pagi hari itu, para pendekar melihat masuknya pasukan yang seratus orang lebih besarnya ke dalam hutan dengan cara sembunyi. Mereka itu agaknya keluar dari pintu gerbang timur, lalu mengambil jalan memutar ke utara dan memasuki hutan itu dari timur. Melihat ini, Hong Beng dan Kun Tek segera melaksanakan tugas yang telah diberikan oleh Tiong Khi Hwesio kepada mereka berdua. Dua orang pendekar muda ini menyusup ke dalam hutan, mendekati tempat persembunyian para perajurit.
Ketika mereka melihat betapa Coa-cianqkun sedang memberi perin-tah dan keterangan dan perintah kepada para pembantunya, mereka hanya mengintai saja. Sampai Coa-ciangkun selesai memberi perintah pasukan itu dibagi menjadi enam kelompok, masing-masing dikepalai oleh seorang perwira, dan panglima itu mengundurkan diri beristirahat ke dalam sebuah pondok darurat yang dibuat oleh anak buahnya, barulah mereka berdua turun tangan. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, mudah saja bagi Hong Beng dan Kun Tek untuk menyergap dan membuat para pera-jurit yang berjaga di belakang pondok tiba-tiba saja roboh pingsan tanpa mengetahui apa yang menimpa diri mereka. Totokan-totokan yang dilakukan dua orang pendekar itu membuat enam orang perajurit roboh terkulai dan seperti orang tidur saja.
Mereka lalu membongkar dinding belakang pondok darurat itu dan masuk ke dalam. Dapat dibayangkan betapa kagetnya Coa-ciangkun ketika tiba-tiba ada dua orang pemuda gagah berdiri di depan pembaringannya selagi dia beristirahat. Sebelum dia sempat berteriak, Kun Tek sudah menodongkan sebatang pisau belati ke arah dada pembesar militer itu dan Hong Beng cepat menotok urat gagunya dan membuat tubuh pembesar itu lemas. Kemudian, dua orang pemuda itu membawa tubuh Coa-ciangkun keluar pondok melalui pintu belakang, dan terus membawanya jauh ke dalam hutan, tempat yang memang sudah mereka persiapkan. Di tempat sunyi ini, Hong Beng membebaskan totokannya sehingga panglima itu dapat bergerak dan bicara kembali.
"Maafkan kami, Coa-ciangkun, akan tetapi kami terpaksa melakukan hal ini terhadap ciangkun, karena kami sedang menghadapi fitnah yang dilakukan oleh Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama bersama kawan-kawan mereka!"
Setelah merasa dirinya bebas dan dua orang pemuda itu tidak menodongnya lagi, Panglima Coa marah sekali. Dia bukan orang lemah, bahkan orang yang memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tinggi. Maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang maju, mengirim pukulan ke arah dada Hong Beng. Pemuda ini tidak mengelak, melainkan menerima pu-kulan itu begitu saja.
"Bukk....!"
Bukan pemuda itu yang roboh, melainkan panglima itu terkejut dan berseru keras sambil meloncat ke belakang. Ketika tangannya bertemu dada pemuda itu, dia merasa tangannya sakit dan ada hawa yang amat dingin seperti es menyusup ke dalam tubuhnya melalui tangan yang memukul!
"Siapa.... siapa kalian....?"
Bentaknya.
"dan.... apa maksud kalian berbuat kurang ajar seperti ini terhadap aku?"
"Maaf, ciangkun. Harap suka dengarkan dulu baik-baik. Kami tujuh orang adalah pendekar-pendekar yang melihat betapa ada sekelompok datuk kaum sesat kini merajalela di kota raja. Mereka adalah Kim Hwa Nio-nio, Sai-cu Lama, Sam Kwi dan yang lain-lain. Kami harus menentang mereka dan hari ini kami menantang mereka mengadakan pi-bu di luar hutan ini. Akan tetapi kami tahu bahwa tentu orang-orang sesat itu mengunakan akal jahat, menarik pasukan pemerintah untuk campur tangan dengan tuduhan bahwa kami pemberontak-pemberontak. Karena itu terpaksa kami mendahului, mendatangi ciangkun untuk memperkenalkan diri dan menceritakan hal yang sebenarnya."
Coa-ciangkun adalah seorang pembesar militer yang korup dan ambisius, dan karena inilah maka mudah saja dia diperalat oleh Hou Seng. Tentu saja dia mengerti bahwa Hou Seng mempergunakan datuk-datuk kaum sesat untuk memperkuat kedudukan. Hal itu tidak dia perdulikan karena dianggap bukan urusannya. Yang penting baginya, dia memperoleh banyak hadiah dan janji bahwa kelak kedudukannya akan dinaikkan kalau dia membantu Hou Taijin yang sedang berkembang kekuasaannya itu. Oleh karena itu, mendengar ucapan Hong Beng, dia tidak merasa heran, bahkan memandang dengan sikap tidak perduli, bahkan dia mencurigai Hong Beng.
"Orang muda, mana aku tahu bahwa engkau dan kawan-kawanmu bukan pemberontak-pemberon-tak. Aku hanya mendengar laporan bahwa ada pemberontak-pemberontak sedang hendak ditangkap oleh Kim Hwa Nio-nio dan teman-temannya, maka aku hendak menangkap mereka dengan kekuatan pasukanku."
"Tentu saja ciangkun juga sudah kena dikelabuhi. Tahukah ciangkun bahwa kami bertujuh dipimpin oleh seorang hwesio tua?"
"Ya, menurut laporan, para pemberontak ini dipimpin oleh seorang hwesio tua yang bernama Tiong Khi Hwesio"
"Hemmm, ciangkun adalah seorang panglima yang sudah lama bertugas, tentu mengenal pula catatan sejarah dan riwayat para panglima besar di kota raja yang setia kepada kaisar dan pemerintah. Tentu ciang-kun pernah pula mendengar nama Puteri Milana, bukan? Apakah ciangkun mau berpura-pura tidak mengenal puteri dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu? Dan kenalkah akan nama Puteri Nirahai?"
Coa-ciangkun menelan ludah dan mukanya berubah ketika dia menatap wajah pemuda itu.
"Tentu.... tentu aku mengenal nama Puteri Nirahai dan.... ketika masih muda sekali pernah aku melihat Puteri Milana memimpin pasukan. Gagah sekali akan tetapi apa hubungannya dengan ini semua?"
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sabarlah, ciangkun dan dengarkan ceritaku. Ciangkun tahu bahwa yang memimpin kami bertujuh adalah Tiong Khi Hwesio dan hwesio tua itu bukan lain adalah Pendekar Tangan Maut Wan Tek Hoat, cucu tiri Pendekar Supert Sakti, suami Puteri Syanti Dewi dari Bhutan."
"Ahh....!"
Panglima itu terkejut.
"Nah, apakah ciangkun masih percaya bahwa tujuh orang yang dipimpin oleh pendekar Wan Tek Hoat yang kini telah menjadi seorang pendeta itu, para pendekar budiman dan gagah perkasa itu benar-benar hendak memberontak? Tujuh orang memberontak? Apakah itu masuk di akal?"
Panglima itu mulai merasa bimbang.
"Aku.... aku tidak tahu...."
"Dan ketahuilah pula, bahwa di antara kami yang dianggap pemberontak ini, terdapat pula bekas Pa-nglima Kao Cin Liong! Tentu ciangkun belum lupa akan nama besarnya....!"
Panglima Coa menjadi semakin gelisah. Tentu saja dia mengenal Kao Cin Liong yang sudah lama mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai panglima. Akan tetapi Panglima Kao itu terkenal jujur dan bersih sehingga tidak disuka di antara rekan-rekannya.
"Dan mereka semua, ketujuh orang yang akan mengadakan pi-bu dengan Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya, semua adalah anggauta keluarga Pulau Es."
"Hemm, engkau sendiri agaknya seorang di antara mereka dari Pulau Es, bukan?"
Panglima itu bertanya. Hong Beng mengangguk. Memang tadi dia sengaja menerima pukulan untuk mendemonstrasikan kekuatan Soat-im Sin-kang dari Pulau Es.
"Guru saya adalah cucu dari Pendekar Pulau Es, ciangkun."
"Hemm, kalau begitu, apa yang kalian kehendaki?"
"Kami mengharap kebijaksa-naan Coa-ciangkun agar menarik mundur pasukan, agar tidak mencampuri pi-bu antara kami dan para datuk sesat itu."
Coa-ciangkun mengerutkan alisnya. Mana mungkin hal ini dilakukan? Kalau dia melakukan hal itu, tentu Hou Seng akan marah kepadanya. Bukankah Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya itu merupakan para pembantu yang amat dipercaya oleh Hou Taijin? Dia menggeleng kepala beberapa kali.
"Tidak mungkin aku melakukan hal itu. Sudah menjadi kewajibanku untuk membasmi pemberontak. Kalau aku tidak setia kepada kewajibanku, berarti aku berdosa besar dan mendapat hukuman."
Hong Beng mengerutkan alisnya dan mencoba membantah.
"Akan tetapi, ciangkun sama sekali tidak dapat melihat bukti bahwa kami memberontak terhadap pemerintah. Kami hanya menentang para datuk kaum sesat yang merajalela di kota raja!"
"Aku tidak tahu akan hal itu. Mereka itu adalah pembantu-pembantu Hou Taijin...."
Tahulah Hong Beng bahwa panglima ini sudah menjadi antek Hou Taijin, maka dia segera berkata dengan nada suara tegas.
"Kalau ciangkun tidak mau memenuhi permintaan kami dengan baik, terpaksa kami akan membunuh ciangkun!"
"Hong Beng, bunuh saja dia ini! Dia tentu antek Hou Seng dan merencanakan pemberontakan terhadap kaisar!"
Kun Tek juga berkata dengan sikap mengancam. Orang seperti Panglima Coa ini hanya galak terhadap bawahannya atau terhadap rakyat jelata yang tidak mampu melawan saja. Kalau dia sendiri menghadapi ancaman dan berada dalam keadaan tak berdaya, kekuasaan dan anak buahnya tidak lagi mampu melindunginya, dia berubah menjadi seorang penakut dan pengecut. Orang yang paling kejam sebetulnya adalah orang yang menyembunyikan rasa takut yang besar sekali di dalam batinnya. Melihat betapa dua orang pemuda yang dia tahu amat lihai ini bersikap hendak membunuhnya, Coa-ciangkun menjadi ketakutan. Wajahnya berubah pucat dan tubuhnya gemetar.
"Jangan kira kami akan kalah kalau kau tidak mau memenuhi permintaan kami!"
Bentak Hong Beng.
"Kami dapat membunuhmu, kemudian kami masih mempunyai waktu cukup untuk membunuh enam orang perwira pembantu itu, baru kami akan mengamuk membunuhi pasukan yang tentu akan kacau karena kehilangan pimpinan itu. Kami tidak melakukan hal itu, justeru karena kami bukan pemberontak dan kami tidak mau menyusahkan pasukan pemerintah. Nah, cepat kau pilih sekarang juga!"
Ucapan itu merupakan desakan yang membuat Coa-ciangkun tidak berdaya lagi. Dia tahu bahwa orang-orang kang-ouw ini berbahaya sekali. Membunuh atau dibunuh bagi mereka tidak ada artinya, seperti para perajurit yang maju perang.
"Baiklah."
Akhirnya dia berkata sambil menundukkan muka, seperti tunduknya hati yang sudah tidak mampu mencari jalan keluar lagi. Dia terpaksa melakukan ini, dan tentang akibatnya dengan Hou Taijin,
Itu urusan nanti dan dia baru akan mencari jalan keluarnya kalau saatnya sudah tiba. Demi-kianlah, Hong Beng dan Kun Tek lalu membawa pembesar militer itu mendekati padang rumput, sambil bersembunyi. Ternyata perkelahian pibu itu sudah dimulai dan ketika Bhok Gun dan Kim Hwa Nio-nio memberi isyarat kepada pasukan yang bergerak maju, dua orang pendekar muda itu lalu membawa Coa-ciangkun keluar. Karena terpaksa, Coa-ciangkun meneriakkan perintahnya agar pasukannya itu tidak bergerak lalu mengundurkan diri. Tentu saja peristiwa ini sama sekali tidak pernah disangka-sangka oleh Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya. Mereka terkejut bukan main dan sekaligus menjadi gelisah. Pasukan itu mundur ke dalam hutan dan mereka tidak terlindung pasukan lagi! Pada hal, mereka semua terdesak dengan hebat oleh pihak lawan.
"Coa-ciangkun, engkau akan dihukum gantung oleh Hou Taijin atas perbuatanmu ini....!"
Kim Hwa Nio-nio berteriak marah, akan tetapi kemarahannya yang ditujukan kepada Coa-ciangkun inilah yang mencelakakannya. Ia sudah terdesak hebat oleh suling dan pedang di tangan Sim Houw, dan karena ia marah-marah dan meneriakkan kata-kata itu kepada Coa-ciangkun sambil menoleh ke arah batu besar di mana panglima itu berdiri, berarti dia membagi perhatiannya, dan kelengahan sedikit saja membuat Sim Houw melihat lowongan yang baik sekali.
"Singgg.... srattt....!"
Darah muncrat dan Kim Hwa Nio-nio terpekik, Liong-siauw-kiam terlepas dari tangan kanannya dan Sim Houw sudah cepat menyambar pedang pusaka itu dengan suling emasnya. Pedang pusaka itu dapat ditempel suling dan ditariknya, lalu dipegangnya dengan tangan kiri sambil menyimpan suling emas. Kim Hwa Nio-nio terbelalak melihat lengan kanannya. Ujung pedang Koai-liong Po-kiam tadi dengan kecepatan seperti kilat melihat lowongan dan sudah menyambar ke arah lengan kanan, membuat putus urat nadi lengan kanannya sehingga darahnya muncrat-muncrat keluar.
Kim Hwa Nio-nio menotok lengan kanannya untuk menghentikan jalan darah, kemudian sambil mengeluarkan teriakan melengking saking marahnya, ia menggunakan kebutan di tangan kiri untuk menyerang Sim Houw dengan membabi-buta. Akan tetapi, kalau tadi saja ketika ia masih menggunakan dua senjata, ia selalu terdesak oleh Sim Houw, apa lagi sekarang setelah lengan kanannya tak dapat dipergunakan lagi untuk menyerang! Dengan mudah saja Sim Houw mengelak, lalu nampak sinar berkelebat menyilaukan mata ketika Koai-liong Po-kiam meluncur dan membabat. Nampak bulu-bulu kebutan itu berhamburan karena terbabat putus dan selagi nenek itu terhuyung, Liong-siauw-kiam sudah bergerak di tangan kiri Sim Houw.
"Tukk....! Nampaknya ujung Liong-siauw-kiam itu hanya menyentuh sedikit saja belakang kepala nenek itu sebelah kiri, akan tetapi akibatnya sungguh hebat. Nenek Kim Hwa Nio-nio mengeluarkan jeritan mengerikan dan tubuhnya terjengkang dan terbanting ke atas tanah, dan tubuh itu diam tak bergerak lagi.
Kiranya ujung pedang pusaka Suling Naga itu telah membikin retak bagian kepala itu dan merusak isi kepala sehingga nenek itupun tewas seketika setelah mengeluarkan jeritan itu. Kebutan buntungnya masih tergenggam di tangan kirinya. Nenek ini, bagaimanapun juga tewas sebagai seorang gagah, tak pernah menyerah sampai maut merenggut nyawanya. Jeritan nenek yang mengantar nyawanya itu disusul pekik yang keluar dari mulut Bhok Gun. Sejak tadi, diantara tujuh orang di masing-masing pihak, Bhok gun yang paling repot keadaannya. Tingkat kepandaian lawan, yaitu Suma Hui, masih lebih tinggi dengan selisih yang lumayan, maka sejak bentrok pertama kali, Bhok Gun selalu terdesak dan lebih banyak menangkis daripada menyerang. Ketika mendengar teriakan Coa-ciangkun yang memerintahkan pasukannya mundur,
Wajahnya menjadi pucat sekali dan jeritan gurunya benar-benar merupakan pukulan hebat baginya. Tubuhnya seketika menjadi lemas dan dia tak mampu lagi menghindarkan benturan pedangnya dengan pedang milik Suma Hui yang membuat pedangnya menyeleweng dan terpental, kemudian tahu-tahu pedang kanan lawan telah menembus dadanya. Dengan teriakan panjang diapun roboh dan nyawanya melayang, menyusul nyawa subonya. Kematian dua orang ini tentu saja mendatangkan perasaan tidak tenang dan gelisah dalam dada Bi Kwi, Sam Kwi dan bahkan Sai-cu Lama sendiri. Diantara mereka, hanya Sai-cu Lama dan Bi Kwi yang dapat mengimbangi permainan lawan, sedangkan tiga orang Sam Kwi itu harus mengakui bahwa lawan mereka adalah orang-orang yang sakti dan mereka merasakan betapa beratnya menandingi mereka.
"Sai-cu Lama, kembalikan Ban-tok-kiam milik keluarga Gurun Pasir itu!"
Sim Houw yang sudah mengembalikan pedang dan suling kepada Kun Tek kini maju menerjang Sai-cu Lama dengan Liong-siauw-kiam, membantu Tiong Khi Hwesio. Diserang oleh senjata pusaka itu dari samping, Sai-cu Lama terkejut karena serangan dengan pedang pusaka itu selain mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, juga mengeluarkan suara lengkingan nyaring seolah-olah ada suling ditiup dekat telinganya dan mengguncang jantungnya. Suara itupun mengandung khi-kang yang amat hebat! Dia cepat menggerakkan Ban-tok-kiam menangkis.
"Cringgg....!"
Nampak bunga api berhamburan ketika Ban-tok-kiam bertemu dengan Liong-siauw-kiam.
"Bagus! Kalian ini pendekar macam apa? Main keroyok!"
Bentak Sai-cu Lama dengan sikap congkak, untuk menutupi kegelisahannya, matanya sudah liar mencari-cari jalan keluar untuk melarikan diri.
"Ingat, Sai-cu Lama. Yang melakukan tantangan adalah aku dan locianpwe Tiong Khi Hwesio terhadap Kim Hwa Nio-nio dan engkau, jadi boleh saja aku maju melawanmu dan membantu locianpwe ini karena lawanku sudah tewas."
Dan Sim Houw melanjutkan serangannya.
"Omitohud...., memang sudah tiba saatnya engkau harus menyerah Sai-cu Lama. Ucapan Pendekar Suling Naga itu benar, dan pinceng tidak malu harus mengeroyokmu agar engkau cepat takluk!"
Tiong Khi Hwesio juga menyerang dengan pedang pusakanya, Cui-beng-kiam yang ampuh itu. Hwesio tua ini maklum bahwa andaikata dia akan menangpun, akan makan waktu banyak sekali untuk menundukkan Lama yang menyerang Ban-tok-kiam. Akan tetapi, kalau seorang pendekar muda sakti seperti Sim Houw itu maju membantunya, pihak lawan tentu takkan dapat bertahan lama.
Sai-cu Lama tidak melihat adanya lowongan untuk melarikan diri. Melarikan diri dari dua orang lawan yang sakti itu berarti bunuh diri, maka diapun mengamuk dan melawan mati-matian dan sekuat tenaga. Tentu saja dia harus bergerak lebih cepat dan mengalurkan tenaga lebih banyak dari pada dua orang yang mengeroyoknya dan karena itu, sebentar saja tubuhnya sudah penuh keringat, napasnya memburu dan dari kepalanya yang gundul itu keluar uap tebal! Setelah merobohkan lawannya, Suma Hui membalikkan tubuh dan melihat betapa suaminya, Kao Cin Liong masih terlibat dalam perkelahian yang amat seru melawan kakek cebol Im-kan Kwi atau Iblis Akhirat, wanita yang gagah ini mengeluarkan suara melengking nyaring dan ia pun menerjang ke dalam perkelahian itu.
"Haiiiittt....!"
Sepasang pedang di tangannya sudah berubah menjadi dua sinar bergulung-gulung yang menyambar-nyambar ke arah kepala dan tubuh Iblis Akhirat. Tentu saja orang pertama dari Sam Kwi ini terkejut bukan main. Menghadapi Kao Cin Liong saja dia sudah merasa repot dan terdesak terus, makin lama dia merasa tubuhnya semakin lemah dan lelah sedangkan lawannya nampak masih segar. Kini, isteri lawannya yang memainkan sepasang pedang dengan amat ganasnya, ikut maju mengeroyok! Tentu saja dia menjadi panik dan gerakannya kacau. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kao Cin Liong utuk mengirim sebuah tendangan ke arah perut kakek cebol itu.
"Dukkk....!"
Iblis Akhirat yang juga seorang ahli tendang Pat-hong-twi, berhasil menangkis tendangan itu dengan kakinya, akan tetapi pada detik yang sama, pedang di tangan kiri Suma Hui "masuk"
Dan menyayat paha kakinya.
"Srattt....!"
Darah mengucur deras dari celana dan kulit paha yang robek. Iblis Akhirat terkejut, golok Toat-beng Hui-to yang hanya dapat dipergunakan dalam jarak jauh, kini dibabatkan ke arah perut Suma Hui, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah selangkang Kao Cin Liong. Hebat memang orang pertama dari Sam Kwi ini. Dalam keadaan terluka itu, dia masih mampu sekaligus membagi serangan kepada dua orang lawannya. Dan serangan berganda inipun sama sekali tak boleh dipandang ringan karena kalau mengenai sasaran, tentu dua orang lawannya itu akan roboh tewas! Akan tetapi, tentu saja suami isteri keturunan Gurun Pasir dan Pulau Es itu tidak mudah dirobohkan oleh lawan yang sudah terdesak.
"Tranggg....!"
Golok itu dibabat oleh pedang sedemikian kerasnya sehingga patah, dan tangan yang mencengkeram itupun dapat ditangkis oleh Cin Liong yang menyusulkan tamparan ke arah kepala. Pada saat yang sama, sepasang pedang di tangan Suma Hui telah melakukan gerakan menggunting, satu ke arah kaki dan satu ke arah pinggang! Dalam satu detik, tubuh Iblis Akhirat menghadapi serangan ke arah kepala, pinggang dan kakinya. Dia terkejut dan dengan gugup berusaha meloncat ke belakang. Namun kurang cepat.
"Prokk!"
Iblis Akhirat tidak sempat mengeluh karena kepalanya retak terkena tamparan tangan Cin Liong dan tubuhnya terlempar lalu terbanting jatuh tanpa dapat bergerak kembali! Suma Hui yang seperti seekor naga betina haus darah, begitu lawan ke dua ini tewas, ia sudah menerjang lagi memasuki perkelahian antara Iblis Mayat Hidup dan Kam Bi Eng. Sepasang pedangnya bergulung-gulung mengurung tubuh Iblis Mayat Hidup yang menjadi terkejut karena sejak tadi diapun sudah repot menghadapi suara suling emas yang melengking-lengking dan yang membawa sinar-sinar maut itu dari lawannya, Kam Bi Eng. Melihat betapa Suma Hui menerjang maju membantunya, Kam Bi Eng lalu berseru,
"Enci Hui, kuserahkan tengkorak ini kepada enci dan cihu (kakak ipar), aku mau membantu suamiku!"
Berkata demikian, Kam Bi Eng meloncat keluar dari perkelahian itu dan langsung menubruk ke arah Raja Iblis Hitam yang sedang berkelahi melawan suaminya, Suma Ceng Liong. Sebenarnya, kalau dia menghendaki, Suma Ceng Liong sudah akan dapat merobohkan lawannya sejak tadi. Tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari lawannya. Akan tetapi pendekar ini memang sengaja mempermainkan lawannya. Betapapun juga, tidak ada niat membunuh lawan dalam hatinya. Akan tetapi tiba-tiba isterinya masuk dan me-ngirim serangan dahsyat ke arah Raja Iblis Hitam yang menjadi kaget dan terhuyung ke belakang.
Suling Emas Naga Siluman Eps 53 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 16 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 41