Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 26


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 26



Maka diapun menerjang maju lagi membantu isterinya yang tentu saja membuat Hek-kwi-ong si Raja Iblis Hitam menjadi semakin repot dan terdesak. Kao Cin Liong juga tidak membiarkan isterinya maju sendiri melawan Iblis Mayat Hidup. Diapun membantu isterinya sehingga dua orang Sam Kwi yang masih tinggal itu menjadi repot bukan main menghadapi pengeroyokan suami isteri pendekar itu. Baik Raja Iblis Hitam maupun Iblis Mayat Hidup sama sekali bukan lawan suami isteri yang maju bersama itu. Dalam waktu belasan jurus saja, Raja Iblis Hitam roboh oleh pukulan suling di tangan Kam Bi Eng, sedangkan Iblis Mayat Hidup roboh oleh tusukan pedang Suma Hui! Sam Kwi tewas dan kini tinggal Bi-kwi dan Sai-cu Lama saja yang masih mempertahankan diri. Ketika Hong Beng hendak membantunya, Bi Lan berseru nyaring,

   "Jangan bantu aku, biarkan aku sendiri yang membuat perhitungan dengan Bi-kwi!"

   Karena teriakan ini maka para pendekar hanya nonton saja, dan biarpun mereka tidak ada yang membantu karena teriakan itu, namun mereka bersiap-siap untuk melindungi Bi Lan kalau sampai terancam. Betapapun juga, Bi-kwi merupakan lawan yang berat bagi Bi Lan karena mereka berdua itu memiliki tingkat yang seimbang. Sementara itu, Sai-cu Lama menjadi semakin lemah. Beberapa kali dia terhuyung dan Sim Houw yang ingin merampas Ban-tok-kiam, menggunakan kesempatan itu untuk menerjang dengan Liong-siauw-kiam di tangannya. Senjata pusaka ini mengancam kepala lawan dan pada saat yang sama, tangan Tiong Khi Hwesio mencengkeram ke arah pusar. Sai-cu Lama yang sudah kerepotan itu menangkis cengkeraman dengan tangan kiri sedangkan pedang Ban-tok-kiam menyambut serangan Liong-siauw-kiam.

   "Cringgg.... tukk....! Pertemuan pedang pusaka itu disusul totokan yang dilakukan cepat sekali oleh Sim Houw, tepat mengenai pundak kanan Sai-cu Lama. Biarpun tubuh Sai-cu Lama kebal dan totokan itu hanya membuat lengan kanannya kesemutan sebentar, namun ini cukup bagi Sim Houw untuk merenggut dan merampas pedang Ban-tok-kiam dari tangan yang dalam beberapa detik kesemutan dan kehilangan tenaga itu! Pada saat Ban-tok-kiam terampas, kaki Tiong Khi Hwesio menendang, tepat mengenai lutut Sai-cu Lama dan pendeta inipun roboh!

   "Ha-ha-ha, Tiong Khi Hwesio, engkau menang dengan keroyokan. Sekarang apa yang hendak kau lakukan kepadaku?"

   Sai-cu Lama yang sudah tak berdaya itu masih tertawa mengejek.

   "Pinceng akan membawamu ke Tibet agar diadili oleh para pimpinan Dalai Lama,"

   Jawab Tiong Khi Hwesio.

   "Ha-ha-ha. kau hanya akan dapat membawa mayatku!"

   Dan tiba-tiba saja sebelum ada orang mampu mencegahnya, tangan kanan pendeta Lama itu bergerak ke arah kepalanya sendiri dan jari-jari tangannya sudah mencengkeram dan amblas ke dalam kepalanya. Dia mengeluarkan pekik dahsyat dan tewas seketika dengan kelima jari tangan masih terbenam ke dalam kepalanya. Darah dan otak mengalir keluar dari jari jari tangan yang masih menancap itu. Mengerikan!

   "Lan-moi, terimalah kembali pedangmu!"

   Sim Houw berkata sambil menyusup masuk dalam perkelahian antara Bi Lan dan Bi-kwi.

   Bi Lan menyambut pedang Ban-tok-kiam dengan girang dan kini ia seperti seekor harimau betina tumbuh sayap. Begitu pedang berada di tangannya dan diputarnya, Bi-kwi nampak terkejut dan jerih. Akan tetapi tiba-tiba saja Bi-kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan Bi Lan! Wanita ini melihat betapa enam orang yang lain telah tewas. Melanjutkan perkelahian tidak ada gunanya lagi. Menghadapi Bi Lan saja sejak tadi ia tidak mampu menang. Setiap kali gadis itu mengeluarkan ilmu yang didapatnya dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, Bi-kwi selalu menjadi bingung dan terdesak. Maka, ketika Bi Lan menerima Ban-tok-kiam dari Sim Houw, Bi-kwi maklum bahwa kalau ia melanjutkan perkelahian, ia tentu akan roboh di tangan bekas sumoinya sendiri. Maka iapun mempergunakan siasat, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut.

   "Sumoi, kalau kau mau melupakan hubungan lama dan hendak membunuhku, bunuhlah!"

   Katanya. Wanita ini sudah mengenal betul watak sumoinya ini. Di balik kekerasan hati dan keberanian Bi Lan, tersembunyi watak yang halus dan mengenal budi. Melihat bekas sucinya berlutut di depan kakinya, Bi Lan menjadi bengong. Iapun teringat betapa bagaimanapun juga, selama bertahun-tahun wanita inilah yang mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepadanya, mewakili Sam Kwi. Biarpun kemudian Bi-kwi menyelewengkan ajaran-ajaran itu, namun harus diakuinya bahwa ia mempelajari banyak dari Bi-kwi. Apa lagi kalau diingat bahwa ketika ia berada di ambang kehancuran, tertawan oleh Sam Kwi dan hendak dijadikan mangsa mereka, Bi-kwilah yang menyelamatkannya dan membebaskannya. Semua ini terbayang di dalam ingatannya dan Bi Lan menjadi lemas.

   "Bangkit dan pergilah dari sini. Selamanya jangan sampai jumpa dengan aku lagi,"

   Kata Bi Lan. Bi-kwi bangkit, hampir tidak percaya. Ia memandang kepada Bi Lan dengan bibir mengulum senyum, hatinya mengejek, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi, dengan muka tunduk ia lalu pergi dari situ. Para pendekar memandang saja, tidak ada yang berani mencampuri, walaupun diam-diam merasa heran bagaimana Bi Lan membiarkan seorang wanita sejahat itu bebas.

   "Omitohud.... suatu tindakan yang bijaksana,"

   Tiba-tiba terdengar Tiong Khi Hwesio berseru kagum.

   "Sudah terlalu banyak orang mati terbunuh, mengerikan sekali!"

   Dia memandang kepada enam mayat yang berserakan di situ dan semua orangpun ikut memandang. Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara para pendekar itu yang merasa menyesal. Orang-orang seperti Sam Kwi, Sai-cu Lama, Kim Hwa Nio-nio dan muridnya itu, kalau tidak disingkirkan dari dunia, tentu hanya akan memperbanyak jumlah perbuatan jahat saja dan membikin banyak orang tak berdosa menderita oleh perbuatan mereka. Hanya dua orang yang kelihatan menyesal dan bingung. Mereka adalah Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng.

   "Mereka telah tewas, akan tetapi.... di mana adanya anak kami yang diculik oleh Sai-cu Lama?"

   Tiba-tiba terdengar suara yang besar dan tegas,

   "Jangan khawatir, anak kalian selamat, berada di sini bersamaku!"

   Semua orang menengok dan dari dalam hutan keluarlah seorang kakek tua renta yang menggandeng dua orang anak perempuan di kanan kirinya. Seorang di antara dua anak perempuan itu adalah Suma Lian.

   "Ayah....! Ibu....!"

   Suma Lian berlari menghampiri orang tuanya yang menyambutnya dengan rangkulan dan ciuman penuh kegembiraan dan keharuan.

   "Ayah, tahukah ayah siapa kakek yang menyelamatkan aku ini?"

   Suma Lian berlari dan menggandeng tangan kakek tua renta yang menghampiri sambil menuntun anak perempuan kedua sambil tersenyum. Suma Ceng Liong dan isterinya memandang, juga semua orang memandang.

   "Omitohud!"

   Tiong Khi Hwesio berseru paling dulu.

   "Locianpwe telah meninggalkan Beng-san dan hidup merantau dalam pakaian pengemis? Sungguh aneh sekali dan amat mengherankan!"

   Kakek yang kini memakai nama julukan Bu-beng Lo-kai itu tersenyum.

   "Tidak begitu mengherankan seperti melihat engkau, mantu raja ini, sekarang menjadi seorang hwesio!"

   Dan dua orang kakek itupun tertawa. Mendengar bahwa kakek berpakaian jembel itu datang dari Beng-san, Suma Ceng Liong terkejut.

   "Dari Beng-san....?"

   Serunya.

   "Apakah.... locianpwe ini.... paman.... paman...."

   Dia masih ragu-ragu untuk menyebutkan nama orang itu.

   "Ayah, kakek ini adalah suami nenek Milana!"

   "Benar, dia paman Gak Bun Beng!"

   Seru Suma Hui dan ia bersama Suma Ceng Liong segera memberi hormat kepada kakek berpakaian jembel itu. Kakek itu tertawa dan memandang kepada Tiong Khi Hwesio.

   "Agaknya keadaanku tidak jauh bedanya dengan dia yang kini telah menjadi hwesio itu. Nama lama itu sudah hampir kulupa, namaku sekarang adalah Bu-beng Lo-kai, nama yang diberikan oleh Suma Lian kepadaku, ha-ha-ha. Dan engkau, hwesio yang baik, siapakah namamu?"

   Tiong Khi Hwesio menjura dengan hormat.

   "Nama pinceng adalah Tiong Khi Hwesio."

   Kakek jembel itu kini memandang kepada Suma Lian.

   "Nah, Suma Lian, engkau sudah bertemu dengan orang tuamu. Bagaimana sekarang? Aku akan segera pergi bersama Li Sian."

   "Enci Lian, mari kita pergi!"

   Kata Li Sian. Suma Lian memandang kepada ayah ibunya.

   "Ayah dan ibu, bolehkah aku ikut dengan kakek untuk belajar ilmu silat?"

   Suami isteri itu saling pandang. Tentu saja mereka merasa berat untuk berpisah dari anak satu-satunya ini. Akan tetapi merekapun merasa sungkan terhadap kakek itu kalau hanya melarang begitu saja. Ceng Liong lalu bertanya kepada Bu-beng Lo-kai.

   "Benarkah bahwa paman ingin mengajak Suma Lian untuk dibimbing dalam ilmu silat?"

   Bu-beng Lo-kai tersenyum.

   "Usiaku tidak berapa banyak lagi dan memang aku ingin meninggalkan semua ilmu yang pernah kupelajari kepada Suma Lian dan Li Sian, kalau saja kalian tidak menaruh keberatan."

   Makin tidak enak rasa hati Suma Ceng Liong kalau harus melarang, maka dia mengharapkan bantuan anaknya.

   "Lian-ji, di rumah engkau dapat belajar ilmu silat dari ayah ibumu. Kenapa engkau ingin ikut paman Gak?"

   "Ayah, aku suka sekali kepada kakek Bu-beng Lo-kai, juga aku suka sekali kepada Li Sian. Aku ingin ikut dia merantau, menjelajahi dunia sambil berlatih silat bersama adik Li Sian. Ayah, aku tidak akan melupakan ayah dan ibu, dan setelah selesai belajar, tentu aku akan pulang lagi."

   Suami isteri itu saling pandang. Kakek itu menghendakinya, bahkan tadi dengan suara memohon menyatakan keinginannya untuk mewariskan ilmu-ilmunya kepada Suma Lian, dan anak itu sendiripun menginginkannya. Tentu akan janggal sekali rasanya kalau mereka melarang. Mereka adalah pendekar-pendekar dan di waktu masih kecil dan masih muda,

   Itulah saatnya bagi seorang pendekar untuk menerima gemblengan-gemblengan dalam kehidupan, menderita kesukaran-kesukaran dan pengalaman-pengalaman berbahaya. Semua itu telah mereka alami dahulu di waktu mereka masih muda. Tentu saja mereka tidak ingin puteri mereka menjadi lemah dan luput dari pengalaman-pengalaman yang amat diperlukan itu. Maka merekapun menyetujui dan Kam Bi Eng menahan air matanya ketika ia dan suaminya mengikuti bayangan anak mereka yang digandeng pergi oleh kakek tua renta itu, bersama seorang anak perempuan lain, puteri keluarga Pouw yang juga menderita musibah yang amat hebat. Para pendekar yang tadi terlibat dalam perkelahian, kini di bawah pimpinan Tiong Khi Hwesio, sibuk melakukan penguburan atas semua mayat bekas lawan.

   Kemudian merekapun bubar dan meninggalkan tempat itu yang kembali menjadi sunyi-senyap seperti biasa. Peristiwa hebat itu, perkelahian antara datuk-datuk sesat dan para pendekar, hanya ditandai dengan adanya sebuah makam baru di tepi hutan itu. Peristiwa hebat yang mengakibatkan terbasminya semua pembantu Hou Seng, bukan tidak ada pengaruhnya bagi pergolakan yang terjadi di kota raja karena ulah pembesar Hou Seng. Perubahan besar terjadi dengan sendirinya. Ketika mendengar betapa semua pembantunya dibasmi oleh para pendekar, terutama keturunan para pendekar Pulau Es, Hou Seng menjadi terkejut bukan main. Berita itu tersiar luas sampai kaisar sendiri mendengarnya dan bertanya kepadanya, ada hubungan apa antara para datuk sesat itu dengan dirinya! Akan tetapi Hou Seng memang cerdik.

   Sambil menangis dia mengadu kepada kaisar betapa limpahan kasih sayang dari kaisar itu menimbulkan iri hati yang membuat dia dimusuhi oleh banyak pejabat. Karena merasa dirinya terancam, terpaksa dia mempergunakan tenaga luar untuk melindungi keselamatannya, dan dia sama sekali tidak tahu bahwa tenaga luar itu kemasukan tokoh-tokoh dari dunia sesat. Sebagai contohnya dia menceritakan tentang dibunuhnya dua orang pengawal pribadinya merangkap selirnya oleh para datuk sesat. Panjang lebar dia bercerita dan mengemukakan alasan-alasan sampai akhirnya kaisar merasa kasihan dan berpihak kepadanya! Dan sejak itu, urusan para datuk yang menyelundup ke kota raja itu tidak dibicarakan lagi, kesalahan Hou Seng dimaafkan. Akan tetapi, Hou Seng sendiri tidak berani banyak tingkah semenjak peristiwa itu dan dia tidak lagi mau mencari gara-gara.

   Kedudukannya sudah cukup baik dan dia harus tahu diri dan tidak mengadakan tindakan-tindakan yang menimbulkan kecurigaan kaisar. Hou Seng tidak begitu membela kematian para datuk itu karena dia telah mengetahui bahwa dua orang selir yang menjadi pengawal pribadi itu sesungguhnya difitnah oleh Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya. Hal ini diketahuinya sebelum terjadi pembunuhan atas diri para datuk sesat oleh para pendekar. Diketahuinya karena dia merasa curiga melihat betapa kematian kedua kucing itu tidak sama keadaannya. Kucing pertama mati dengan muka kehitaman, akan tetapi kucing ke dua tidak demikian. Hal itu menunjukkan bahwa racun pertama yang diminumkan kucing dari cawan araknya itu tidak sama dengan racun yang diambil dari tubuh selir-selirnya yang diminumkan kucing ke dua.

   Racun-racun yang dibawa dua orang selirnya itu membuat kucing mati tanpa hitam pada mukanya, sedangkan racun yang berada dalam cawan araknya itu merupakan racun yang lain lagi, berarti racun itu berada dalam cawan araknya bukan dari kedua orang selirnya melainkan dari luar! Apa lagi ketika dia mendengar dari para selirnya bahwa dua orang selir merangkap pengawal pribadi itu memang selalu membawa racun di tubuhnya, untuk membunuh diri kalau sampai mereka tertangkap musuh agar mereka tidak perlu disiksa untuk mengakui dan membuka rahasia Hou Seng! Mendengar ini, Hou Seng merasa menyesal sekali dan kepercayaannya terhadap para datuk sudah goyah, itulah sebabnya, ketika mendengar betapa para datuk itu tewas oleh para pendekar, dia pura-pura tidak tahu saja.

   Bahkan Coa-ciangkun tidak ditegurnya sama sekali! Diam-diam dia malah bersyukur akan tindakan Coa-ciangkun. Bayangkan saja kalau pasukan itu mencampuri dan kemudian terdengar berita bahwa pasukan itu bekerja sama dengan para datuk sesat atas perintahnya! Mungkin kaisar sendiri tidak akan memaafkannya kalau sampai terjadi hal seperti itu. Betapapun juga, usaha para pendekar menentang Kim Hwa Nio-nio dan akhirnya berhasil membasmi komplotan itu, amat berhasil dan keadaan kota raja menjadi tenteram kembali. Diam-diam para pembesar yang setia kepada kaisar bersyukur dan memuji-muji para pendekar. Mereka maklum akan kelemahan kaisar dan mereka tidak akan mengadakan reaksi terhadap Hou Seng sebagai kekasih dan kepercayaan kaisar kalau saja Hou Seng tidak mengadakan tindakan yang bukan-bukan.

   Dan kini, dibasminya komplotan kaki tangan Hou Seng, membuat pembesar itu menjadi jerih dan tidak begitu menonjol lagi. Sementara itu, para pendekar sudah kembali ke tempat masing-masing. Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, yang kehilangan puteri mereka dengan suka rela, hanya bercakap-cakap sebentar, karena adanya Sim Houw di situ membuat suami isteri ini merasa kurang enak hatinya. Seperti diketahui, Kam Bi Eng tadinya adalah tunangan dari Sim Houw menurut ikatan orang tua mereka, akan tetapi kemudian tunangan itu terputus karena Bi Eng tidak mencinta Sim Houw, melainkan mencinta Suma Ceng Liong. Setelah suami isteri itu pergi, Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui juga berpamit setelah Cin Liong meningggalkan pesan kepada Bi Lan.

   "Sumoi, biarpun engkau baru setahun belajar dari ayah ibuku, engkau tetap seorang sumoi (adik seperguruan) dariku. Dan ibu telah meminjamkan Ban-tok-kiam, hal itu berarti bahwa ibu sayang dan percaya kepadamu. Dan aku sendiri, dalam pergaulan beberapa saat ini, tahu bahwa pilihan ayah ibu terhadap dirimu tidak keliru. Nah, engkau berhati-hatilah menjaga Ban-tok-kiam dan bawa pusaka itu kembali kepada ibuku."

   Tiong Khi Hwesio juga meninggalkan tempat itu untuk pulang ke Bhutan, karena semua pengalamannya setelah bertemu dengan para pendekar itu, membuka matanya bahwa dia telah terlalu menurutkan kedukaan hati sehingga dia lupa bahwa dia telah melupakan puterinya sendiri, Wan Hong Bwee atau Puteri Gangga Dewi yang hidup bersama suaminya di Bhutan. Dia ingin kembali dan tiba-tiba merasa rindu kepada puterinya itu, dan ingin menghabiskan sisa usianya di dekat keluarga puterinya dan dekat pula dengan makam isterinya. Setelah Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek juga pergi, melanjutkan perjalanan masing-masing, tinggal-lah Bi Lan dan Sim Houw berdua. Mereka saling pandang dan akhirnya Sim Houw yang bertanya lebih dahulu,

   "Lan-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?"

   Sampai lama Bi Lan tidak mampu menjawab. Gadis ini sedang merasakan sesuatu yang amat aneh terjadi di dalam hatinya. Ia melihat Sam Kwi, tiga orang gurunya, tewas dan tidak merasa kehilangan. Juga kepergian Bi-kwi yang disusul kepergian semua pendekar, termasuk Hong Beng dan Kun Tek, tidak sedikitpun membekas di dalam hatinya. Ia tidak merasa kehilangan dan kesepian. Akan tetapi mengapa sekarang, setelah berada di ambang perpisahannya dengan Sim Houw, tiba-tiba saja ia merasa bahwa tak mungkin dia dapat berpisah dari orang ini?

   Ia seakan-akan sudah seharusnya berada di samping Sim Houw, menghadapi kehidupan yang penuh dengan kesulitan ini bersama Sim Houw! Ia merasa bahwa begitu berpisah, ia akan kehilangan segala-galanya. Apa pula gejala seperti ini? Apa artinya? Apakah ia jatuh cinta kepada Sim Houw? Tidak mungkin! Selama dalam perjalanan berdua, Sim Houw bersikap seperti seorang kakak, begitu penuh perhatian dan sayang, akan tetapi kesayangan seorang saudara. Sedikitpun Sim Houw tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia cinta kepadanya. Berbeda dengan sikap Hong Beng atau Kun Tek ketika berdua bersamanya. Dan ia sendiri? Tiba-tiba Bi Lan merasa nelangsa. Bagaimana kalau ia benar-benar mencinta orang ini akan tetapi di lain pihak Sim Houw tidak cinta kepadanya? Tiba-tiba ia menjadi panik, takut kehilangan Sim Houw!

   "Eh, Lan-moi, kenapa kau kelihatan melamun dan tidak menjawab pertanyaanku?"

   Sim Houw bertanya, suaranya mengandung perasaan iba. Dia tahu bahwa sejak kecil, gadis ini bergaul dengan Sam Kwi sebagai guru- guru dan penolongnya, juga dengan Bi-kwi sebagai sucinya yang pernah mendidiknya seperti diceritakan gadis itu kepadanya. Dan kini tiba-tiba saja ia kehilangan semua orang itu! Tentu Bi Lan berduka, walaupun tidak diperlihatkannya, demikian Sim Houw berpikir. Bi Lan menjadi kaget dan kedua pipinya berubah merah.

   "Aku.... aku.... ah, aku tidak mendengar pertanyaanmu, toako. Engkau bertanya apakah tadi?"

   "Aku bertanya, ke mana engkau hendak pergi sekarang, Lan-moi."

   "Ke mana....? Ah, tadi aku bingung, toako. Yang jelas, aku harus mengembalikan pedang Ban-tok-kiam ini kepada subo."
(Lanjut ke Jilid 25)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 25
"Itu benar, Lan-moi. Dan mengapa engkau menjadi bingung?" "Entahlah, toako Setelah semua orang pergi, setelah semua tujuan perjalananku tercapai, semua masalah yang tadinya kujadikan tujuan dan kewajiban terpenuhi, aku merasa kosong, sunyi dan bingung. Baru terasa olehku betapa hampanya hidup ini, toako. Aku tadinya mempunyai guru-guru, mempunyai suci, mempunyai mereka sebagai musuh-musuhku juga. Sekarang mereka telah tidak ada. Dan aku seperti berada seorang diri saja di dunia ini, kosong dan sunyi, tidak ada gunanya lagi...."

   "Ah, engkau dilanda perasaan kesepian, Lan-moi. Pernah aku mengalaminya...."

   Sim Houw menghentikan kata-katanya, merasa bahwa dia telah terlanjur bicara. Akan tetapi, ucapannya itu rupanya menarik perhatian Bi Lan karena gadis itu cepat mendesaknya.

   "Pernah kau mengalami kesepian seperti aku ini, toako? Kapankah engkau mengalaminya? Dan mengapa? Orang seperti engkau ini, yang memiliki kepandaian tinggi, pengetahuan luas, banyak kawan-kawan baik, bagaimana bisa kesepian seperti aku?"

   Belum pernah selamanya Sim Houw menceritakan keadaan dirinya kepada siapapun juga. Biarpun dia pernah menderita sengsara karena kesepian, namun hal itu selama ini menjadi rahasia hatinya. Akan tetapi, entah bagaimana, kini mendengar desakan Bi Lan, dia ingin membuka rahasia hatinya! Dia ingin sekali nampak oleh gadis itu sebagaimana adanya, tanpa rahasia dan biarlah segala keburukan dan cacatnya nampak, kalau ada!

   "Baru-baru ini perasaan itu berakhir, Lan-moi, akan tetapi selama bertahun-tahun, aku seperti hidup di alam mimpi, setiap hari aku melamun dan merasa kesepian yang selalu menghantui diriku. Dan semua itu timbul karena.... putus cinta, Lan-moi."

   Bi Lan tertarik sekali.

   "Ceritakanlah, toako, ceritakanlah. Aku ingin sekali mendengar tentang cinta itu!"

   Melihat betapa gadis itu kini nampak bersemangat, Sim Houw tersenyum.

   "Mari kita tinggalkan dulu tempat ini,"

   Dia melirik ke arah gundukan tanah di mana terkubur enam mayat itu.

   "Di dalam hutan sana itu aman kita bicara."

   Mereka lalu memasuki hutan dan di bawah sebuah pohon besar, di mana terdapat batu-batu yang kering dan bersih, mereka duduk berhadapan.

   "Ketahuilah, Lan-moi. Ketika aku berusia belasan tahun, oleh orang tuaku aku telah ditunangkan dengan seorang gadis yang kemudian menjadi sumoiku sendiri karena gadis itu adalah puteri tunggal dari suhu. Akan tetapi, kalau aku yang telah menerima ikatan perjodohan itu dengan taat mulai memperhatikan gadis itu dan sudah mempunyai perasaan cinta, sebaliknya gadis itu tidak cinta kepadaku, melainkan cinta kepada orang lain! Melihat kenyataan ini, maka aku mengalah, akulah yang memutuskan tali perjodohan itu sehingga gadis itu dapat menikah dengan pria yang dicintanya."

   Sampai di sini, Sim Houw berhenti dan termenung.

   "Dan kau....?"

   Bi Lan bertanya, hatinya merasa terharu. Ia dapat membayangkan betapa sedihnya hati pemuda itu, dan betapa luhur budinya, mengalah karena ingin membahagiakan gadis yang dicintanya.

   "Aku....?"

   Sim Houw tersenyum pahit.

   "Aku lalu merantau.... sampai sekarang ini."

   "Sumoimu....? Ahhh, bukankah wanita cantik yang sakti itu, yang memegang suling emas, isteri dari pendekar Suma Ceng Liong, ia itulah sumoimu? Jadi iakah orangnya gadis.... yang pernah menjadi tunanganmu itu?"

   Sim Houw sudah menguasai kembali hatinya dan dia mengangguk sambil tersenyum.

   "Ia hebat dan lihai, bukan? Dan suaminya juga hebat. Mereka memang pasangan yang sepadan dan cocok, aku ikut gembira melihat ia berbahagia dengan suaminya dan mereka telah mempunyai seorang anak perempuan yang demikian manis."

   Bi Lan memandang dengan sinar mata kasihan.

   "Dan engkau sekarang masih merasa kesepian, toako?"

   "Tidak, tidak lagi! Penderitaan itu sudah lewat bagiku."

   Dan diam-diam Sim Houw maklum bahwa yang melenyapkan perasaan kesepian itu adalah setelah dia berjumpa dengan Bi Lan! Dia mencinta gadis ini, akan tetapi cintanya sekali ini bukan sekedar cinta nafsu yang dibangkitkan oleh gairah karena tertarik oleh pribadi dan kecantikan Bi Lan. Tidak! Ia mencinta Bi Lan, merasa kasihan kepada Bi Lan dan dia ingin melihat orang yang dicintanya ini berbahagia. Bukan hanya ingin memperoleh gadis ini sebagai isterinya agar selamanya tidak berpisah darinya, Dia tidak akan menderita lagi walaupun dia tidak menjadi suami Bi Lan, asal gadis ini hidup bahagia.

   "Dan sejak itu kau.... kau tak pernah jatuh cinta lagi?"

   Pertanyaan yang tiba-tiba ini mengejutkan hati Sim Houw. Akan tetapi dia tenang sekali sehingga kekagetannya tidak sampai nampak di wajahnya. Dia hanya menggeleng kepalanya. Apa lagi yang dapat dilakukannya? Mengaku bahwa kini dia jatuh cinta kepada Bi Lan? Tidak! Biarpun dia sungguh mencinta gadis ini, dia tidak akan membuat pengakuan, tidak akan memberi kesempatan gadis ini mentertawakannya.

   Putus cinta merupakan suatu kegagalan yang pernah dialami dan ditertawakan cintanya akan merupakan hal yang lebih menyakitkan lagi. Biarlah cintanya kepada Bi Lan menjadi suatu rahasia saja bagi dirinya sendiri. Tiba-tiba ada suatu keinginan menyelinap di hati Bi Lan. Ia ingin menghapus kedukaan Sim Houw karena penderitaan putus cinta itu. Ia ingin membahagiakan orang ini. Ia ingin orang ini dapat jatuh cinta lagi dan bukan kepada orang lain, kecuali kepada dirinya! Betapa akan bahagianya dicinta oleh seorang pendekar yang memiliki cinta kasih sedemikian besar dan tulusnya. Seorang pria yang sudah matang, tidak dan bukan pemuda mentah seperti Hong Beng dan Kun Tek, cinta yang penuh cemburu, dan cinta yang membanding-bandingkan seperti Kun Tek. Hong Beng dan Kun Tek! Dua orang pemuda itu dapat membantunya. Setidaknya, nama mereka.

   "Cinta memang membuat orang menjadi bingung, ya, toako? Aku sendiripun bingung menghadapi-nya!"

   Tiba-tiba Bi Lan berkata dan wajahnya membayangkan kedukaan. Rasa kaget yang lebih besar melanda hati Sim Houw. Tidak lagi! Begitu kejamkah nasib sehingga baru saja bertemu dan jatuh cinta, dia sudah harus mendengar bahwa Bi Lan juga sudah mencinta pemuda lain? Terlalu cepat datangnya, terlalu kejam walaupun dia sudah siap dengan kekuatan batin yang sudah mengalami luka patah cinta. Dia tetap tenang ketika bertanya.

   "Hemm.... apakah hatimu juga dilanda cinta, Lan-moi?"

   "Aku tidak tahu. Akan tetapi ada dua orang pemuda yang sama-sama menyatakan cinta kepadaku. Mereka adalah Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek...."

   "Ahh!"

   Sim Houw tercengang karena hal ini sama sekali tak pernah dibayangkannya. Paman cilik itu telah jatuh cinta! Hampir dia tertawa, akan tetapi lalu teringat bahwa sekarang Kun Tek bukan seorang anak kecil lagi, melainkan seorang pemuda yang telah dewasa!

   "Mula-mula Hong Beng yang lebih dahulu mengaku cinta. Kemudian Kun Tek juga menyatakan cinta kepadaku. Hong Beng pernah merasa cemburu dan berkelahi dengan Kun Tek. Akan tetapi sekarang agaknya mereka sudah dapat mengatasi rasa cemburu itu dan keduanya nampak sudah rukun dan akrab. Aku menjadi bingung, Sim-toako."

   "Kenapa bingung? Pilih saja salah satu, mana yang berkenan di hatimu."

   "Kalau menurut pandanganmu, siapa di antara kedua pemuda itu yang lebih baik, Sim-toako?"

   Bertanya demikian, Bi Lan menatap wajah itu dengan penuh perhatian dan sinar matanya yang tajam itu seolah-olah hendak menembus ke dalam dan menjenguk isi hati Pendekar Suling Naga. Sim Houw mengerutkan alisnya. Dia berpikir dengan sungguh-sungguh karena dia menanggapi permintaan gadis itu dengan sungguh hati pula.

   "Lan-moi, sungguh pertanyaanmu ini aneh sekali. Perjodohan hanya benar kalau berdasarkan cinta kasih, dan hanya engkau sendiri yang mengetahui siapa di antara kedua orang pemuda itu yang kau cinta."

   "Justeru itu yang tidak aku ketahui, toako. Selama hidupku, belum pernah aku jatuh cinta. Aku tidak tahu yang mana di antara mereka yang kucinta. Akan tetapi terus terang saja, aku suka keduanya karena mereka berdua adalah murid-murid orang sakti, memiliki ilmu kepandaian tinggi, keduanya adalah pendekar-pendekar sejati, dan keduanya sudah pernah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Oleh karena itu, sukar bagiku untuk memilih seorang di antara mereka. Tolonglah, toako, tolong bantu aku. Menurut engkau, siapa di antara mereka yang lebih baik?"

   Ia berhenti sebentar lalu menyambung,

   "Terus terang sajalah, Sim-toako, apakah aku harus memilih salah satu dan yang mana, ataukah aku harus menolak dua-duanya?"

   Tentu saja kalau menurut kata hatinya, Sim Houw akan mengatakan agar gadis itu menolak keduanya! Akan tetapi Sim Houw tidak melakukan hal ini, tidak mau melakukan begitu karena dia tidak mau mempengaruhi pilihan hati Bi Lan. Betapapun juga, dia harus membantu gadis itu agar jangan salah pilih.

   "Aku tidak ingin mempengaruhimu, Lan-moi. Engkau tahu bahwa Cu Kun Tek adalah pamanku, walaupun usianya jauh lebih muda dariku. Akan tetapi hubungan keluarga itu sama sekali tidak kumasukkan dalam penilaianku. Mari kita nilai mereka itu seorang demi seorang. Pertama kita menilai Gu Hong Beng. Dia murid pendekar Sakti Suma Ciang Bun, seorang anggauta keluarga Pulau Es, akan tetapi aku tidak tahu siapa orang tuanya. Dan menurut ceritamu, dia berwatak pencemburu, sedangkan sifat-sifatnya tentu engkau yang lebih tahu karena engkau pernah bergaul dengannya. Sekarang Cu Kun Tek. Dia keturunan penghuni Lembah Naga Siluman dan keturunan keluarga Cu yang terkenal sebagai keluarga yang memiliki kepandaian tinggi dan kegagahan luar biasa, dan tentu dia telah mewarisi ilmu dari keluarga itu. Sepanjang pengetahuanku, dia jujur dan keras akan tetapi sifat-sifat itu memang merupakan sifat keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Adapun sifat-sifat lainnya, engkau pula yang lebih mengenalnya. Nah, sekarang terserah kepadamu untuk memilih yang mana."

   Diam-diam sejak tadi Bi Lan memperhatikan Sim Houw dan mendengar ucapan dan melihat sikap yang sungguh-sungguh itu, tiba-tiba saja Bi Lan merasa kecewa. Agaknya pendekar ini sama sekali tidak peduli ia akan berjodoh dengan pria mana! Pendekar ini sama sekali tidak menaruh perhatian kepada dirinya! Tiba-tiba saja Bi Lan merasa nelangsa sekali. Ia merasa betapa kini, satu-satunya orang yang dekat dirinya, dekat pula dengan hatinya, hanyalah Sim Houw. Kalau Sim Houw begitu acuh terhadap pilihannya akan seorang calon suami, berarti pendekar ini tidak menaruh hati kepadanya. Ia menarik napas panjang.

   "Sudahlah, Sim-toako. Aku sendiri sudah menolak cinta mereka. Hong Beng kuanggap kekanak-kanakan dan pencemburu besar, sedangkan Kun Tek hanyalah seorang laki-laki yang tinggi hati mengenai wanita. Aku sudah menolak cinta mereka berdua karena aku tidak cinta kepada mereka! Sekarang aku mau pergi saja, mencari subo.... selamat tinggal!"

   Dan gadis itu sudah meloncat dan lari dengan cepat meninggalkan Sim Houw.

   
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Heiii! Nanti dulu, Lan-moi....!"

   Sim Houw mengejar, akan tetapi gadis itu mengerahkan seluruh tenaganya dan ilmu gin-kang (meringankan tubuh) sehingga tubuhnya berlari seperti terbang saja. Sim Houw harus mengerahkan tenaga pula untuk dapat menyusul dan setelah mereka berlari berkejaran sampai jauh meninggalkan hutan itu, barulah Bi Lan dapat tersusul oleh Sim Houw.

   "Lan-moi, berhentilah sebentar, aku mau bicara!"

   Kata Sim Houw setelah berhasil mendahului lalu menghadang di depan gadis itu. Dia melihat betapa selain terengah-engah kelelahan, juga ada bekas-bekas air mata di kedua pipi Bi Lan. Mudah dilihat bahwa ketika berlari-larian, Bi Lan telah menangis!

   "Sim-toako, kenapa engkau mengejarku?"

   Bi Lan bertanya, dan suaranya yang agak parau juga membayangkan bekas tangis. Akan tetapi karena gadis itu berusaha menyembunyikan tangisnya, biarpun Sim Houw merasa heran sekali, dia pura-pura tidak melihat tangis itu.

   "Lan-moi, engkau begitu tergesa-gesa pergi. Engkau hendak mencari keluarga Istana Gurun Pasir, apakah engkau sudah tahu di mana tempat itu?"

   Bi Lan menggeleng kepala.

   "Aku belum pernah ke sana, akan tetapi subo pernah memberi keterangan tentang arah dan tanda-tandanya menuju ke sana sete-lah melewati Tembok Besar di utara."

   "Aih, perjalanan itu begitu jauhnya! Lewat Tembok Besar? Sungguh merupakan daerah yang asing dan berbahaya sekali, Lan-moi. Karena itu, aku akan mengantarmu sampai engkau tiba di Istana Gurun Pasir."

   Sinar kegembiraan yang cerah menerangi wajah yang tadinya kusut dan keruh itu. Dengan sepasang mata terbelalak gadis itu menatap wajah Sim Houw. Melihat betapa sepasang mata yang masih basah itu kini terbelalak lebar dan indah memandangnya, dan bayangan senyum didahului lesung pipit di kanan kiri pipi, Sim Houw memejamkan kedua matanya. Kagum dan haru memenuhi hatinya, akan tetapi dia memejamkan mata agar tidak terpesona oleh keindahan yang dilihatnya.

   "Sim-toako.... benarkah engkau hendak mengantar aku?"

   Sim Houw mengangguk, tersenyum.

   "Tentu saja benar."

   "Tapi.... aku hanya akan mengganggu waktumu...."

   "Sama sekali tidak, Lan-moi. Aku tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, tidak mempunyai tugas sesuatu, bahkan tidak mempunyai tempat tinggal. Kemanapun aku pergi, sama saja. Di mana-mana adalah tempat tinggalku. Perjalanan itu amat berbahaya dan hatiku tidak rela membiarkan engkau pergi seorang diri menempuh bahaya sebesar itu."

   "Akan tetapi.... kenapa, toako? Kenapa engkau hendak bersusah payah untukku? Kenapa?"

   Ingin sekali Sim Houw mengatakan seperti yang juga diharapkan oleh Bi Lan, bahwa untuk Bi Lan dia mau melakukan apa saja karena dia mencinta gadis itu. Akan tetapi Sim Houw menahan mulutnya dan tidak mau mengatakan hal seperti itu. Tidak, dia tidak akan membuka rahasia hatinya kepada Bi Lan sebelum dia yakin benar bahwa Bi Lan juga mencintanya dan akan menerima dan membalas cintanya.

   "Lan-moi, engkau masih bertanya lagi kenapa? Bukankah kita sudah menjadi sahabat yang baik? Bukankah kita sudah sama-sama mengalami hal-hal yang hebat, bahkan sama-sama menghadapi bahaya maut di tangan Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawan mereka? Setelah apa yang kita alami bersama itu, bagaimana mungkin sekarang aku membiarkan engkau pergi menempuh bahaya melakukan perjalanan ke luar Tembok Besar? Dan akupun hidup seorang diri, tidak mempunyai tempat tinggal, jadi, tiada salahnya kalau aku menemanimu pergi ke utara sampai engkau tiba di tempat yang kau cari, bukan?"

   Bi Lan merasa kurang puas dengan jawaban itu, akan tetapi karena hatinya terlalu gembira mendengar keputusan Sim Houw yang hendak mengantarnya mencari Istana Gurun Pasir, iapun tersenyum gembira kini.

   "Ah, terima kasih, Sim-toako, engkau sungguh baik sekali kepadaku. Ah, bagaimana aku akan dapat membalas semua kebaikanmu? Engkau pernah menolongku, bahkan engkau membantu aku mendapatkan kembali Ban-tok-kiam yang dirampas Sai-cu Lama, dan sekarang engkau hendak mengantarkan aku mencari subo dan suhu di gurun pasir! Ahh, betapa senangnya hatiku. Tadinya aku sudah bingung. Biarpun subo sudah memberi gambaran tentang jalan menuju ke tempat itu, aku masih bingung dan aku.... aku takut!"

   Sim Houw tersenyum melihat kegembiraan gadis itu. Hatinya juga dipenuhi oleh perasaan girang yang belum pernah dirasakannya selama ini. Melihat gadis itu demikian gembira mendatangkan perasaan nyaman di hatinya. Kalau saja selamanya dia dapat membuat gadis itu bergembira selalu!

   "Lan-moi, ucapanmu itu membuat aku merasa lucu, Engkau takut? Aihh, selama ini aku mengenalmu sebagai seorang gadis perkasa yang tidak mengenal takut! Sungguh aneh dan lucu mendengar engkau berkata bahwa engkau takut."

   "Sungguh, toako, Aku tidak berbohong. Aku ketakutan, bukan takut akan ancaman orang tertentu, bukan takut akan bahaya. Melainkan takut.... eh, aku merasa begitu sunyi dan terpencil, seperti seekor semut di tengah-tengah daun yang hanyut di tengah sungai. Aku takut akan kesepian itu sendiri, toako."

   Sim Houw nengangguk-angguk. Ketakutan seperti itu pernah pula dia rasakan. Kesepian, merasa hidup sendirian dan tidak dibutuhkan oleh siapa-siapa lagi! Betapa mengerikan itu.

   "Aku mengerti, Lan-moi. Marilah kita berangkat sebelum hari menjadi gelap. Kita harus mencari tempat istirahat yang baik malam ini karena kita terlalu lelah setelah semua pengalaman dan perkelahian yang menegangkan itu. Kita tidak perlu tergesa-gesa, melainkan harus dapat menikmati perjalanan ini, menikmati semua keindahan alam yang tentu berlainan dengan keadaan tempat-tempat yang pernah kita kunjungi. Dan waspada akan bahaya di tempat asing itu. Mari kita berangkat."

   Dengan wajah berseri keduanya lalu berjalan berdampingan, menuju ke utara, melalui jalan yang sunyi itu. Akan tetapi kini mereka tidak merasa sunyi lagi. Bahkan sinar matahari nampak cerah sekali, dan awan-awan di angkasa membentuk gambar-gambar yang menarik, seperti sekelompok domba yang berjalan perlahan-lahan menuju ke timur dalam suasana yang begitu bersih, jernih dan gembira. Wanita itu menangis seorang diri, terisak-isak dan tersedu-sedan di dalam pondok tua di tepi jalan yang sunyi itu.

   Sudah berjam-jam ia menangis seorang diri, pundaknya terguncang-guncang dan kadang-kadang tangisnya terdengar menyedihkan. Ia seorang wanita yang cantik, usianya tiga puluh dua tahun. Sebetulnya ia mengenakan pakaian yang indah, dari sutera yang mahal dan mewah, dengan hiasan-hiasan rambut dan tubuh terbuat dari pada emas permata. Akan tetapi pakaian yang indah itu kini kusut dan bahkan kotor karena beberapa hari tidak pernah diganti. Rambutnya yang panjang hitam itu terlepas dari sanggulnya, riap-riapan menutupi sebagian mukanya. Di dekatnya, terletak di atas lantai, nampak sebuah pedang dalam sarung pedang yang indah. Ia bukan wanita sembarangan, melainkan seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi. Jarang ada orang dapat menandinginya. Ia seorang wanita kosen dan lihai.

   Akan tetapi, sekarang ia berada dalam kedukaan dan ketika ia menangis seperti itu, nampak betapa bagaimanapun juga, ia hanya seorang perempuan yang lemah tak berdaya dan membutuhkan perlindungan! Wanita itu adalah Ciong Siu Kwi atau yang dikenal dengan julukan Bi-kwi (Iblis Cantik). Seperti telah kita ketahui, gerakan wanita ini dengan semua sekutunya telah mengalami kegagalan dan hanya berkat pengampunan yang diberikan oleh Bi Lan atau Siauw-kwi (Iblis Cilik) sajalah maka ia sendiri dapat keluar dari pertempuran itu dengan selamat. Sekutunya telah hancur, semua orang yang bekerja sama dengannya telah tewas dalam pertempuran melawan para pendekar. Guru-gurunya, Sam Kwi, tewas semua, juga Bhok Gun, kekasihnya yang terakhir, tewas. Demikian pula orang-orang sakti seperti Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio tewas di tangan para pendekar.

   "Uuhhhh....hu-hu-huhhh....!"

   Ciong Siu Kwi menangis terisak-isak. Ia bukan menangisi mereka itu. Sama sekali tidak. Bagaimanapun juga, permainan cintanya dengan Bhok Gun hanya merupakan petualangannya saja. Tidak ada rasa cinta di dalam hatinya terhadap Bhok Gun atau siapapun juga ia, wanita ini belum pernah mencinta orang, arti kata yang sesungguhnya. Permainan cintanya dengan pria-pria seperti yang sudah-sudah, hanyalah merupakan pelampiasan nafsu belaka. Juga tidak ada rasa cinta terhadap Sam Kwi, tiga orang gurunya yang juga memperlakukan sebagai kekasih.

   Cinta kasih tidak mendatangkan duka. Cinta kasih tidak membelenggu batin. Cinta kasih itu bebas dan wajar, seperti sinar matahari yang menghidupkan segala yang berada dalam sentuhannya, menghidupkan dan membahagiakan, sama sekali tanpa pamrih untuk kepentingan atau kesenangan diri sendiri. Sebaliknya, nafsu berahi, seperti segala macam nafsu, menimbulkan ikatan, membelenggu. Dan tentu saja menimbulkan derita karena ikatan berarti ketergantungan. Kita menggantungkan kesenangan batin terhadap sesuatu atau seseorang dan kalau gantungan itu terlepas, tentu kita akan jatuh dan kita menderita duka. Ikatan itu dapat saja berupa ikatan terhadap kekasih, keluarga, harta benda, kedudukan, bahkan ikatan terhadap suatu cita-cita. Dan yang suka menggantungkan diri, mengikatkan diri adalah si aku, ciptaan pikiran.

   Pikiran menciptakan aku yang selalu ingin senang, pikiran menimbulkan ikatan terhadap segala sesuatu yang menyenangkan si aku, dan kalau terjadi kegagalan dan perpisahan sehingga terlepas ikatan itu, maka pikiran pula yang tenggelam ke dalam duka. Si aku selalu condong untuk membesarkan iba diri, pementingan diri pribadi, karena dasarnya adalah pengejaran terhadap kesenangan pribadi dan pelarian terhadap hal-hal yang dianggap tidak menyenangkan. Siu Kwi tidak menyedihi kematian orang-orang itu. Tidak ada ikatan dalam batinnya terhadap mereka. Guru-gurunya, Bhok Gun dan yang lain-lain itu baginya hanya berupa alat belaka, untuk mencapai idaman hatinya, cita-citanya. Kehilangan alat-alat itu tidak mendatangkan duka, karena dapat saja ia mencari alat-alat lain. Akan tetapi, yang menimbulkan duka adalah hancurnya semua cita-citanya.

   Habislah segala-galanya. Gagal semuanya dan rasa kecewa dan iba diri membuatnya berduka sehingga ia, seorang wanita perkasa yang biasanya amat keras hati, kini menangis dan air matanya mengalir deras tanpa dapat dibendungnya. Ia sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi yang dicengkeram duka. Ia merasa hampa, kosong dan tidak ada artinya hidup ini baginya. Hatinya nelangsa dan terasa kesepian yang mengerikan mencekam hatinya. Apa lagi kalau diingat betapa ia telah kalah oleh Bi Lan! Gadis itu adalah sumoinya, bahkan lebih dari itu, dapat dibilang muridnya karena ialah yang membimbing dan melatihnya sejak awal. Bahkan ia telah menyelewengkan pelajaran silatnya untuk mencelakakan Bi Lan. Akan tetapi, Bi Lan tidak mati, tidak celaka, bahkan memperoleh ilmu-ilmu yang hebat.

   Membanding-bandingkan keadaan dirinya dan Bi Lan membuat perasaan hatinya tertusuk dan terasa nyeri sekali. Tertusuk rasa kecewa dan iri hati. Anak yang hampir gila itu kini malah menjadi seorang pendekar, menjadi seorang tokoh baik yang menonjol, dan bahkan dibela oleh para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir! Penilaian secara otomatis menimbulkan perbandingan keadaan diri sendiri dengan orang lain dan muncullah ketidakpuasan, bahkan putus harapan. Kita selalu merasa kurang, selalu merasa betapa buruk keadaan kita karena kita menilai dan membandingkan. Dan kalau sudah ada penilaian dan perbandingan, tentu saja tidak ada yang sempurna di dunia ini. Hasil pemikiran tentu saja tidak sempurna karena pikiran merupakan suatu sumber kekacauan dari konflik-konflik dan pertentangan-pertentangan antara baik buruk, untung rugi dan sebagainya.

   Bagi orang yang tidak menilai, tidak membandingkan, melainkan memandang dan mengamati segala sesuatu tanpa penilaian, tanpa perhitungan untung rugi, akan nampak bahwa tidak ada yang tidak sempurna pada alam semesta ini! Bagaimana mungkin hasil dari ulah dan perbuatan kita akan sempurna kalau kita sendiri penuh dengan benci, iri, dan pementingan diri sendiri? Siu Kwi menangis tersedu-sedu. Mengingat akan keadaan Bi Lan yang dianggapnya hidup penuh kebahagiaan, ia merasa betapa ia tidak punya apa-apa lagi. Ia merasa kesepian dan takut untuk melanjutkan hidup, merasa tidak kuat untuk memulai hidup baru. Mengapa hid"pnya begini sengsara dan serba mengecewakan? Mengapa ia seakan-akan dikutuk? Ketika hatinya mengeluh demikian, ada bisikan pada hati nuraninya yang membuat Siu Kwi menghentikan tangisnya,

   Mukanya pucat dan sepasang matanya yang menjadi membengkak dan merah karena tangis itu kini sayu memandang jauh ke depan, merenungkan segala kehidupannya yang lalu. Nalurinya membisikkan bahwa hidupnya yang lalu penuh dengan penyelewengan dan kejahatan. Sebagai manusia, tentu saja ia mempunyai kesadaran dan pengertian tentang baik buruk. Akan tetapi, selama kejahatan yang dilakukannya itu mendatangkan hasil baik dan mendatangkan kesenangan, ia tidak perduli dan seperti lupa bahwa yang dilakukan adalah jahat. Barulah, setelah perbuatan jahat itu mendatangkan suatu malapetaka yang menimpa diri, timbul penyesalan! Walaupun penyesalan itu belum tentu berarti mendatangkan perasaan bertaubat, melakukan lebih condong menyesali kegagalan atau malapetaka itu!

   Akan tetapi, Siu Kwi merasa benar-benar menyesal mengapa ia membiarkan dirinya terseret ke dalam kejahatan. Timbul keinginan hatinya untuk mengubah cara hidupnya, meninggalkan dunia sesat dan mencontoh jalan yang ditempuh oleh sumoinya. Akan tetapi bagaimana caranya? Jalan apakah yang harus diambil? Namanya sudah menjadi rusak dan kiranya tidak ada seorangpun manusia di dunia ini, kecuali mereka dari golongan sesat pula, yang akan mempercayanya dan mau menerimanya. Akan tetapi kalau ia bergaul lagi dengan golongan sesat, maka sejarah akan terulang. Ia tentu akan bergelimang kejahatan lagi dan ia sudah merasa takut untuk menderita akibatnya yang amat buruk, seperti yang dirasakannya sekarang. Pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan memang dapat menimbulkan kepalsuan-kepalsuan dalam batin kita.

   Kalau kita TAHU bahwa kita berbuat baik, maka pengetahuan ini saja sudah menyembunyikan suatu pamrih di balik perbuatan kita itu. Tahu tentang kebaikan tentu saja dirangkai dengan tahu bahwa kebaikan itu membuahkan suatu keuntungan! Sebaliknya, tahu tentang kejahatan disertai pengetahuan bahwa perbuatan jahat itu membuahkan keburukan dan kerugian kepada kita. Dengan demikian, kita BERUSAHA untuk melakukan kebaikan, tentu saja karena tahu bahwa hal itu akan mendatangkan keuntungan bagi kita. Kita memaksa diri tidak mau melakukan kejahatan dengan pengetahuan bahwa hal itu akan mencelakakan kita sendiri. Jelaslah bahwa pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan ini dapat mendorong kita untuk menjadi munafik, untuk menjadikan perbuatan kita palsu dan tidak wajar!

   Tentu saja bukan maksud kita untuk mengabai-kan pengetahuan tentang baik dan jahat. Akan tetapi kita harus mengenal dasar dari perbuatan kita sendiri, mengenal watak-watak palsu kita sendiri dengan cara pengamatan terhadap diri sendiri, setiap kali kita berbuat, setiap kali kita bicara, setiap kali kita berpikir. Amat jauh bedanya antara perbuatan baik yang kita sadari dengan perbuatan apapun juga yang kita lakukan dengan dasar cinta kasih! Jika ada sinar cinta kasih menerangi sikap dan perbuatan kita, maka perbuatan itu wajar, kita lakukan tanpa penilaian baik ataukah buruk dan yang sudah pasti sekali, segala perbuatan yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, seperti matahari menyinarkan cahayanya, seperti bunga menyiarkan keharuman dan keindahannya, seperti ibu menyusui anaknya, maka perbuatan itu adalah suci!

   Ketika Siu Kwi sedang terombang-ambing dalam lamunannya sendiri, mulai timbul rasa penyesalan terhadap segala perbuatannya yang sudah-sudah, dan timbul pula keinginan untuk mengubah jalan hidupnya, meninggalkan kesesatannya, tiba-tiba ia mendengar suara seorang laki-laki bernyanyi. Suara itu lantang dan bersih, kadang-kadang tersendat suaranya seperti tertahan sesuatu, dan lagunyapun lagu dusun yang sederhana sekali, seperti orang membaca sajak saja. :

   Alangkah cantiknya duniaku!
Langit biru terhias awan bergumpal-gumpal
Itulah atap rumahku!
Pohon-pohon berdaun hijau
berbunga aneka warna
Itulah dinding rumahku!
Tanah segar dengan babut rumput hijau
Itulah lantai rumahku....!

   Siu Kwi membelalakkan kedua matanya. Hatinya tersentuh. Ada kesederhanaan dan keaslian dalam suara itu. Kewajaran yang indah walaupun isi nyanyian itu teramat sederhana. Dan suara itu begitu wajar dan segar, membayangkan bahwa penyanyinya tentulah berada dalam kebahagiaan. Siu Kwi yang tadi merasa sengsara, jauh dari kebahagiaan yang didambakannya, menjadi tertarik sekali. Tangisnya terlupa, terhenti dengan sendirinya dan sejak tadi ia terbawa hanyut oleh suara nyanyian. Suara itu masih bernyanyi, mengulang-ulang kata-kata itu akan tetapi tidak menjemukan, seperti suara burung-burung pagi berkicau dengan riang. Ia bangkit berdiri, membereskan pakaiannya yang kusut, juga rambutnya yang awut-awutan dalam keadaan setengah sadar karena gerakan itu hanya terjadi karena kebiasaan, kemudian ia keluar dari dalam pondok tua dan berjalan menuju ke arah suara nyanyian.

   Wajahnya masih agak pucat, bekas-bekas air mata masih nampak di kedua pipinya. Matanya masih kemerahan dan agak membengkak. Isaknya kadang-kadang masih mengguncang dadanya, seperti gema tangisnya tadi. Ia berjalan perlahan ke arah suara. Pria itu berusia antara dua puluh lima tahun. Dia tidak berbaju, hanya memakai sebuah celana dari kain kasar yang berwarna hitam. Celana panjang itu digulungnya sampai ke lutut dan di sana-sini ternoda lumpur. Badan yang tidak tertutup baju itu memperlihatkan otot-otot yang berkembang dengan bagusnya, bergerak-gerak ketika kedua lengannya mengayun cangkul. Tubuh yang tegap itu nampak penuh dengan tenaga. Wajahnya sederhana saja, bersih dan penuh kejantanan. Pria itu mencangkul tanah berlumpur sambil bernyanyi, suara nyanyiannya kadang-kadang tersendat kalau cangkulnya terayun dan menghunjam tanah basah di depan kakinya.

   Bunyi "crok-crok!"

   Cangkulnya seirama dengan nyanyiannya dan agaknya suara itu menjadi pengiring nyanyiannya yang sederhana. Pria itu memusatkan perhatiannya dengan sepenuhnya kepada tanah yang dicangkulnya dan ini merupakan suatu keharusan. Kalau tidak, cangkulnya dapat menghantam batu atau menyeleweng, ke arah kakinya sendiri. Akan tetapi ada yang lebih dari pada itu, yalah rasa cinta terhadap apa yang dikerjakannya! Dan rasa cinta inilah yang mendatangkan ketekunan, mendatangkan pencurahan perhatian, sepenuhnya. Dan sepatutnya, kita semua mencontoh pemuda itu, yaitu : melakukan segala pekkerjaan dengan perasaan cinta terhadap apa saja yang kita kerjakan! Dan kalau sudah begitu, kita bekerja tanpa mengharapkan apa-apa, karena di dalam pekerjaan itu sendiri kita sudah menemukan suatu kebahagiaan besar.

   Adapun hasil pekerjaan itu hanyalah merupakan akibat saja dari pekerjaan kita, merupakan bunga dan buah dari pada pohon yang kita tanam. Siu Kwi memandang ke arah pria itu dengan terpesona. Sampai lama ia berdiri seperti patung mengamati pria itu, mengikuti seluruh nyanyiannya, mengikuti setiap gerak kaki tangannya. Biasanya, ia memandang rendah kepada orang-orang yang bekerja kasar, apa lagi seorang petani miskin dan kotor seperti pria itu! Seorang pria yang tentu saja tidak terpelajar, bodoh dan juga lemah, hanya memiliki tenaga kasar saja, bukan ahli silat! Biasanya, terhadap seorang pria mencangkul sawah seperti ini, ia tentu sama sekali acuh, menengokpun tidak sudi. Akan tetapi sekarang, ia terpesona! Ada keindahan tersendiri yang khas pada tubuh pria itu. Wajahnya yang sederhana, tubuhnya yang tegap, nyanyiannya,

   Semua itu nampak begitu riang dan cerah, seperti burung yang berkicau sambil berlompatan dari dahan ke dahan, seperti sinar matahari pagi itu. Ah, dia tentu seorang yang berbahagia, pikir Siu Kwi. Dan iapun ingin sekali tahu. Bagaimana ia akan bisa memperoleh kebahagiaan? Bagaimana pula pria petani sederhana ini dapat hidup demikian bahagia, walaupun bergelimang kesederhanaan, lumpur kotor dan mungkin kemiskinan? Pada hal pria itu jelas seorang yang amat sederhana, bodoh hanya seorang petani biasa! Siu Kwi melangkah maju menghampiri sampai ia tiba di tepi sawah. Pemuda yang sedang mencang-kul itu belum juga melihat kedatangannya. Ini saja biasanya cukup untuk menjengkelkan hati Siu Kwi yang merasa tidak diperhatikan, pada hal jarak antara ia dan pemuda itu hanya beberapa meter saja.

   "Heii, bung! Aku ingin bertanya sedikit padamu."

   Akhirnya Siu Kwi berkata dan biarpun tidak ada kemarahan di hatinya terhadap pemuda itu, karena sudah menjadi kebiasaannya, suaranya terdengar lantang dan juga galak. Pria petani itu nampak terkejut.

   Tak disangkanya akan ada seorang wanita datang menegurnya dan ketika dia menengok, dia menjadi semakin terkejut sehingga sampai beberapa lamanya dia hanya bengong saja memandang, menoleh ke arah Siu Kwi dengan cangkul masih dalam genggaman kedua tangan. Tentu saja, melihat seorang wanita dengan pakaian indah dan sedemikian cantiknya kini berdiri di depannya dan mengajak dia bicara, merupakan suatu pengalaman yang amat mengejutkan dan mengherankan bagi petani itu. Tentu saja dia menjadi bengong dan tak mampu mengeluarkan jawaban. Siu Kwi mengerutkan alisnya. Biasanya, melihat pertanyaannya tidak segera dijawab orang, tentu akan membuat ia marah sekali. Akan tetapi aneh, sekali ini tidak. Ia seperti dapat mengerti bahwa pria ini terheran-heran dan terkejut, sehingga melihat orang itu bengong, ia merasa geli sendiri.

   "Heii, bung! Apakah engkau tuli ataukah gagu sehingga tidak mendengar dan tidak dapat menjawab?"

   Barulah pemuda petani itu nampak semakin gugup. Ia menurunkan cangkulnya, demikian keras dan canggung sehingga cangkul itu menimpa lumpur yang memercik ke atas dan mengenai dagunya! Melihat ini, Siu Kwi menjadi semakin geli dan tanpa disadarinya, wanita itu tersenyum lebar dan iapun tidak sadar betapa senyumnya ini membuat wajahnya manis sekali.

   "Uh, maaf....!"

   Kata pemuda itu, mencoba untuk membungkuk sebagai tanda penghormatan.

   "Nyonya.... eh, nona.... tadi bertanya apakah?"

   Sikap yang canggung dan suara yang lantang itu saja sudah mendatangkan kegembiraan di hati Siu Kwi.

   "Aku belum bertanya,"

   Jawabnya,

   "akan tetapi aku ingin bertanya sedikit padamu dan maafkan kalau aku mengganggu pekerjaanmu."

   Siu Kwi merasa heran sendiri mendengar sikap dan bahasanya. Ia seolah-olah mendengar suara orang lain bicara melalui dirinya. Belum pernah ia se "ramah"

   Dan se "sopan"

   Ini terhadap orang lain, apa lagi hanya seorang pria petani. Pemuda itu tentu saja mengira bahwa tentu nona kota ini hendak bertanya jalan, atau menanyakan dusun di sekitar tempat itu, maka dia menjawab,

   "Boleh saja kalau nona mau bertanya. Apakah yang nona tanyakan?"

   "Yang ingin kutanyakan adalah : Apakah engkau berbahagia?"

   Petani muda itu melongo. Sama sekali tidak pernah disangkanya dia akan menerima pertanyaan seperti itu.

   "Apa....? Ehh....... aku....? Bahagia? Ah, aku tidak tahu, nona."

   Pemuda ini terlalu polos dan jujur, kalau mengatakan tidak tahu, tentu benar-benar tidak tahu, atau tidak mengerti apa yang ia tanyakan. Ia mengangguk yakin.

   "Engkau tentu seorang yang hidup bahagia. Ya, aku yakin engkau tentu berbahagia!"

   Akan tetapi pemuda itu tidak yakin.

   "Bahagia? Apa sih bahagia itu, nona?"

   Kini Siu Kwi yang bengong. Apa sih bahagia itu?

   "Bahagia.... ya, bahagia, hidupnya senang dan tenteram, aman makmur penuh damai...."

   Pemuda itu mengangguk-angguk.

   "Itukah yang dinamakan bahagia?"

   "Begitulah.... atau mungkin aku keliru, entahlah."

   Pemuda itu memandang bingung.

   "Bagaimana pula ini? Kalau nona sendiri tidak tahu dengan jelas, apa lagi aku. Aku tidak pernah mendengar kata itu dan akupun tidak membutuhkan kebahagiaan itu."

   

Kisah Pendekar Pulau Es Eps 12 Suling Emas Naga Siluman Eps 55 Suling Emas Naga Siluman Eps 49

Cari Blog Ini