Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 3


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Coa-sicu, jangan bunuh anak itu dan ajaklah keluar kamar."

   Coa Pit Hu menyeringai dan memandang wanita itu.

   "Tapi.... ciangkun berjanji akan memberi bagian kepadaku...."

   "Ha-ha-ha, kita lihat saja nanti. Kalau, aku suka, aku tidak akan membaginya kepada siapapun, juga dan engkau akan kuberi hadiah barang lain, akan tetapi kalau aku tidak suka, boleh saja kuberikan padamu!"

   Coa Pit Hu tertawa dan menyeret Hong Beng keluar dari dalam kamar itu. Hong Beng berusaha meronta akan tetapi karena kedua tangannya ditelikung ke belakang, tubuhnya tak dapat diputarnya dan dia hanya dapat memutar lehernya untuk memandang ibunya. Dan sebelum daun pintu ditutup oleh orang yang menyeretnya, dia melihat betapa perwira brewok itu menubruk dan merangkul ibunya, lalu ibunya yang lemas dan pucat dan bercucuran air mata itu dipondongnya ke arah pembaringan.

   Dia masih belum tahu apa yang terjadi, bahkan hatinya agak lega karena ibunya tidak dipukuli atau disiksa. Tidak terdengar suara tangis dari dalam kamar itu. Ibu Hong Beng tidak berani mengeluarkan rintihan atau tangisan karena maklum bahwa sekali saja perwira laknat ini memberi perintah, anaknya tentu akan dibunuh di luar kamar! Akan tetapi batinnya merintih dan tangis batinnya membubung tinggi ke angkasa, seperti jerit tangis wanita-wanita lain yang pernah menjadi korban perwira ini di dalam kamar itu. Biarpun tidak terdengar suara apapun di dalam kamar itu, Hong Beng yang berada di luar dan duduk di atas lantai, merasa tidak enak sekali hatinya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dan akan terjadi. Melihat betapa Coa Pit Hu, laki-laki tinggi kurus itu tersenyum-senyum sendiri, dia tidak dapat lagi menahan hatinya.

   "Di mana ibuku? Apa yang terjadi dengan ibuku?"

   Coa Pit Hu tertawa mengejek.

   "Ha-ha, ibumu sedang bersenang-senang dengan Bong-ciangkun."

   "Kau diam sajalah di sini dan jangan pergi ke manapun."

   Mengenangkan apa yang dilakukan pembesar itu terhadap si wanita mulus, Coa Pit Hu menjilat bibirnya dan dia hampir tidak sabar lagi menanti gilirannya. Waktu terasa seperti merayap perlahan sekali oleh pria ini. Akhirnya, karena lelah menanti, Coa Pit Hu mengantuk di atas kursinya. Hong Beng sendiri tidak dapat tidur, hanya duduk bersandar dinding dengan hati diliputi kecemasan. Tengah malam telah lewat dan tiba-tiba terdengar bentakan Bong-ciangkun.

   "Coa-sicu, masuklah!"

   Coa Pit Hu yang sedang terkantuk-kantuk itu terkejut. akan tetapi tersenyum gembira dan diapun membuka daun pintu.

   "Nih, untukmu! Perempuan sialan, melayani seperti sepotong mayat saja!"

   Hong Beng juga menjenguk dan karena daun pintu terbuka, dia dapat melihat ibunya didorong terhuyung dan disambut oleh Coa Pit Hu dengan rangkulan. Ibunya berwajah pucat dan menangis, pakaiannya tidak karuan.

   Akan tetapi daun pintu sudah ditutup lagi. Dia hanya mendengar suara tangis ibunya diseling suara ketawa Coa Pit Hu dan Bong-ciangkun. Melihat kesempatan baik ini, Hong Beng lalu melarikan diri keluar dari tempat itu. Di pintu gerbang depan terdapat perajurit-perajurit yang berjaga, akan tetapi karena dari dalam tidak terdengar perintah apa-apa, mereka mengira bahwa anak itu memang dilepaskan oleh Bong-ciangkun dan merekapun hanya memandang sambil tertawa melihat anak itu berlari keluar sambil menangis. Hong Beng terus berlari menuju pulang. Ayahnya terkejut bukan main ketika melihat puteranya memasuki rumah sambil menangis. Ada rasa girang melihat puteranya dalam keadaan selamat, akan tetapi melihat anak itu menangis dan pulang tanpa ibunya, dia terkejut.

   "Hong Beng....!"

   "Ayah.... ayah....!"

   Anak itu menubruk ayahnya dan menangis.

   "Kenapa, Hong Beng? Kenapa? Mana ibumu....?"

   Hati Gu Hok merasa tidak enak sekali.

   "Ibu.... tolonglah ibu, ayah Ibu.... ibu ditahan oleh Bong-ciangkun!"

   "Eh? Bong-ciangkun? Kenapa....?"

   Tentu saja Gu Hok menjadi bingung karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa hilangnya puteranya itu adalah akibat perbuatan seorang pembesar yang berpengaruh itu. Siapa tidak mengenal Bong-ciangkun, komandan pasukan keamanan kota Siang-nam, yang seolah-olah menjadi raja kecil itu?

   "Aku.... aku ditangkap orang-orang Bong-ciangkun dan ditahan di sana, malam ini ibu datang bersama penjahat tinggi kurus, lalu ibu ditahan di dalam kamar Bong-ciangkun.... dan kulihat.... ibu setengah telanjang, ibu menangis dan aku lalu lari...."

   "Keparat.... !"

   Gu Hok tentu saja dapat menduga apa yang telah terjadi. Agaknya Bong-ciangkun yang mengatur semua itu untuk memaksa dan menggagahi isterinya! Tukang kayu itu marah sekali dan lupa siapa adanya Bong-ciangkun. Dia mengambil sebuah kapak besar yang biasa untuk menebang pohon, lalu berlari keluar.

   "Ayah....!"

   Hong Beng berteriak dan mengejar ayahnya. Ayah dan anak berlarian menuju ke gedung keluarga Bong-ciangkun. Karena hari sudah lewat tengah malam, keadaan sunyi sekali dan agaknya tidak ada seorangpun melihat ayah dan anak ini berlari-larian. Akan tetapi, mereka berdua itu tidak tahu bahwa ada sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali membayang mereka. Setelah tiba di depan pintu gerbang gedung Bong-ciangkun, Gu Hok yang diikuti puteranya itu lari masuk. Tentu saja para pengawal segera menghadangnya.

   "Heii, berhenti! Mau apa kau?"

   Bentak seorang pengawal sambil melintangkan tombaknya.

   "Minggir! Aku mau bertemu Bong-ciangkun!"

   Gu Hok membentak dan mengobat-abitkan kapaknya yang besar dan tajam! Pengawal itu terkejut dan melompat-mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gu Hok untuk menerobos masuk diikuti Hong Beng.

   "Heii! Berhenti kau....!"

   Para pengawal itu mengejar ayah dan anak ini. Akan tetapi Gu Hok yang sudah nekat itu sudah tiba di depan pintu kamar Bong-ciangkun atas petunjuk anaknya dan segera dia mengayun kapaknya menjebol daun pintu.

   Dengan suara keras dan pintu itu jebol dihantam kapak dan terbuka. Orang-orang yang berada di dalam kamar itu terkejut dan apa yang dilihat oleh Gu Hok membuat tukang kayu ini menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak. Isterinya menjerit, meronta dan terlepas dari rangkulan orang tinggi kurus itu, lalu lari ke arah suaminya dalam keadaan telanjang bulat! Ia menangis sesenggukan menjatuhkan dirinya berlutut di depan, suami dan puteranya. Melihat keadaan isterinya, Gu Hok marah bukan main dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju kearah Bong-ciangkun. Akan tetapi, dari samping si tinggi kurus itu menyambutnya dengan sebuah tendangan keras yang membuat tubuh Gu Hok terdorong mundur keluar dari dalam kamar itu. Sekali lagi Coa Pit Hu menendang dan kini tubuh Hong Beng terlempar keluar.

   "Ha-ha-ha, bunuh para pengacau itu!"

   Kata Bong-ciangkun kepada para pengawalnya. Isteri Gu Hok menjerit melihat suami dan anaknya ditendang keluar, dan iapun bangkit, lupa bahwa ia berada dalam keadaan telanjang dan bagaikan seekor harimau betina yang marah, ia menerjang keluar pula untuk melindungi suami dan anaknya. Akan tetapi, seorang pengawal menggerakkan tombaknya.

   "Ceppp....!"

   Tombak itu menusuk perut menembus punggung wanita yang mengeluarkan suara jerit mengerikan. Tombak dicabut dan wanita itupun roboh terkulai. Melihat ini, Gu Hok meloncat bangun.

   "Isteriku....!"

   Teriaknya dan diapun meng-amuk dengan kapaknya. Akan tetapi karena dia hanya seorang tukang kayu biasa saja yang tidak pandai ilmu silat, hanya memiliki tenaga besar saja, mana
(Lanjut ke Jilid 03)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03
mungkin dia dapat melawan pengeroyokan para pengawal yang rata-rata memiliki ilmu silat dan mereka itu memegang senjata tombak yang panjang? Dalam beberapa gebrakan saja, tubuhnya tertembus tombak pula dan dia roboh tewas di dekat mayat isterinya.

   "Ayahhh....! Ibuuuu.... !"

   Hong Beng menjerit dan menangis. Anak ini lalu nekat menyerang para pengawal itu dengan kedua tangan dan kakinya, memukul menendang asal kena saja. Para pengawal itu tertawa, tidak mempergunakan senjata lagi melainkan menghadapi amukan anak kecil itu dengan tamparan-tamparan yang membuat tubuh Hong Beng terpelanting dan terlempar ke sana-sini. Akan tetapi anak itu bangkit lagi, menyerang lagi untuk disambut tamparan yang membuatnya terpelanting lagi. Dia dipermainkan oleh para pengawal seperti seekor tikus dipermainkan beberapa ekor kucing saja. Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu kini sudah keluar dari dalam kamar. Melihat betapa belasan orang pengawal itu mempermainkan anak laki-laki yang mengamuk seperti gila dan nekat itu, Bong-ciangkun berseru,

   "Bunuh saja dia dan lempar tiga mayat mereka!"

   Seorang pengawal yang berkumis tebal dan berwatak kejam lalu mengangkat goloknya dan membacok ke arah leher Hong Beng yang kembali sudah terpelanting ke atas lantai.

   "Singgg.... tranggg.... aughhhh....!"

   Bukan leher Hong Beng yang terpental putus, melainkan golok itu terpental dan pemegangnya roboh dengan kepala retak dan tewas seketika.

   Semua orang terkejut bukan main dan ketika mereka memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang laki-laki yang amat gagah perkasa. Laki-laki inilah bayangan yang tadi membayangi Gu Hok dan puteranya. Dia seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bentuk mukanya bulat dengan sepasang matanya yang mencorong tajam. Wajah yang tampan itu berkulit agak gelap. Pakaiannya serba indah dan rapi, rambutnya tersisir rapi pula, seorang laki-laki pesolek. Ketika laki-laki ini memandang ke arah dua buah mayat suami isteri Gu Hok, dan melihat keadaan mayat wanita itu yang telanjang bulat, alisnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya berkilat. Pandang mata mencorong itu kini ditujukan kepada Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang berdiri di depan pintu kamar, kemudian beralih kepada Hong Beng yang sudah bangkit lagi dengan muka matang biru dan hidung berdarah.

   "Anak baik, apakah mereka itu ayah ibumu?"

   "Benar, dan mereka.... mereka dibunuh.... dua orang jahanam itu dan anak buahnya."

   Laki-laki gagah itu mengangguk-angguk.

   "Tidak aneh kalau terjadi pemberontakan di mana-mana. Pejahat-pejahat pemerintah bertindak sewenang-wenang dan berkomplot dengan para penjahat. Manusia-manusia macam ini memang harus dibasmi!"

   Coa Pit Hu sudah dapat menenangkan hatinya yang terkejut melihat munculnya orang yang membunuh seorang pengawal itu. Dan menudingkan telunjuknya ke arah muka laki-laki itu dan membentak,

   "Kurang ajar! Siapakah engkau berani mengantar nyawa di sini? Hayo mengaku sebelum kupenggal kepalamu!"

   Laki-laki itu tersenyum, senyumnya dingin sekali.

   "Tidak ada gunanya engkau mengenal namaku karena kalian semua akan mati malam ini!"

   "Kurang ajar!"

   Coa Pit Hu marah sekali dan dia sudah mencabut sebatang golok lalu menyerang dengan amat ganas. Agaknya dia hendak memenuhi ancamannya tadi, yaitu hendak memenggal kepala orang yang berani menentang dia dan Bong-ciangkun.

   "Singgg....!"

   Goloknya menyambar ke arah leher laki-laki gagah itu. Laki-laki itu hanya menggerakkan tangan, telapak tangannya sudah menampar dada Coa Pit Hu sebelah kanan.

   "Plakkk!"

   Coa Pit Hu mengeluarkan teriakan dan tubuhnya terpelanting, roboh dan matanya mendelik, dari mulut dan hidungnya mengalir darah dan dia sudah tidak berkutik lagi karena telah tewas seketika. Jantungnya pecah karena getaran pukulan telapak tangan yang amat dahsyat itu! Melihat ini, Bong-ciangkun memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi dia masih ingat untuk memberi aba-aba.

   "Serbu dan bunuh penjahat ini!"

   Lalu dia sendiri membalikkan tubuhnya hendak lari bersembunyi ke dalam rumahnya.

   "Hemm, pembesar lalim jangan harap dapat lolos dari tanganku!"

   Laki-laki gagah itu menyambar golok yang tadi terlepas dari tangan Coa Pit Hu dan sekali menyambit, golok itu terbang meluncur.

   "Cappp....!"

   Pembesar Bong-ciangkun menjerit ketika golok itu menembus punggungnya sampai dada, dan diapun roboh tersungkur, menelungkup di atas lantai. Darah membanjir keluar dari punggung dan dadanya, dan tubuhnya hanya sebentar saja berkelojotan lalu tak bergerak lagi. Belasan, orang pengawal menjadi terkejut dan merekapun lalu mengeroyok kalang kabut.

   Namun, tubuh pria yang gagah itu berkelebatan ke sana-sini dan setiap kali tangannya bergerak tentu seorang pengeroyok roboh dan tewas. Sebentar saja sepuluh orang telah roboh. Sisanya hendak lari, akan tetapi laki-laki itu tidak mau memberi ampun dan dengan lemparan-lemparan tombak atau golok yang berserakan, dia merobohkan mereka yang melarikan diri sehingga tak seorangpun ketinggalan! Tempat itu berobah menjadi tempat mengerikan di mana mayat berserakan dan lantai banjir darah! Hong Beng sendiri merasa sakit hati dan mendendam terhadap Bong-ciangkun, kini terbelalak dengan muka pucat menyaksikan pembunuhan yang lebih tepat dinamakan pembantaian yang dilakukan laki-laki gagah perkasa itu.Laki-laki itu lalu berkata kepada Hong Beng yang berdiri di sudut dengan tubuh menggigil dan muka pucat.

   "Anak baik, mari kita pergi dari sini."

   "Tapi.... tapi.... aku ingin mengubur jenazah ayah ibuku...."

   Laki-laki itu menarik napas panjang.

   "Hemm, baiklah!"

   Dia lalu mengambil sebatang golok dan dengan golok itu dia memenggal leher Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu. Rambut dari dua buah kepala itu dia ikat menjadi satu lalu dia menyerahkan dua kepala itu kepada Hong Beng.

   "Kau bawalah dua kepala ini dan aku akan membawa jenazah ayah ibumu."

   Tentu saja Hong Beng terbelalak ngeri. Melihat orang mati saja belum pernah, sekarang setelah menyaksikan belasan orang berserakan menjadi mayat dalam keadaan mandi darah, dia harus membawa dua buah kepala orang! Akan tetapi, karena mendengar bahwa laki-laki perkasa itu akan membawakan dua jenazah ayah ibunya, terpaksa dengan gemetaran dia menerima dua kepala itu, dipegang pada rambut yang diikat menjadi satu dan dibawanya kepala yang lehernya masih meneteskan darah itu. Laki-laki itu merenggut beberapa helai tirai sutera dari tempat itu, menyelimuti tubuh isteri Gu Hok yang telanjang, kemudian dia mengambil dua mayat itu dengan ringan dan mudah.

   "Mari kita pergi,"

   Katanya lagi dan dia membawa dua mayat itu berjalan keluar, diikuti oleh Hong Beng yang membawa dua buah kepala orang! Setelah dua orang ini pergi, barulah para pelayan rumah pondok yang biasanya dipergunakan Bong-ciangkun untuk menjagal wanita-wanita yang menjadi korbannya itu berani keluar. Melihat betapa mayat-mayat berserakan, diantaranya adalah mayat Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang sudah tidak berkepala lagi,

   Tentu saja para pelayan itu menjerit-jerit ketakutan, bahkan ada yang roboh pingsan. Tempat itu segera ramai di datangi orang dan gegerlah kota Siang-nam. Pasukan keamanan datang dan para pembesar di kota ribut-ribut mencari siapa yang telah membunuh Bong-ciangkun dan belasan orang itu. Akan tetapi semua orang yang menjadi saksi telah tewas, sukarlah bagi mereka untuk mencari keterangan siapa pembunuhnya. Kegemparan itu makin menghebat ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang berdatangan ke pasar menjadi terkejut melihat adanya dua buah kepala digantung di atas pintu gerbang pasar. Itulah kepala Bong-cioangkun dan Coa Pit Hu! Dan di atas tembok pintu gerbang itu terdapat tulisannya, tulisan yang bergaya kuat dan berbentuk indah, ditulis dengan darah yang telah menghitam.

   "BONG CIANGKUN BERSEKONGKOL DENGAN PARA PENJAHAT MENINDAS RAKYAT, INILAH HUKUMANNYA AGAR MENJADI CONTOH BAGI PARA PEJABAT LAIN."

   Tentu saja kota Siang-nam menjadi gempar dan semua orang menduga-duga siapa gerangan orang yang begitu berani membunuh seorang komandan pasukan keamanan, bahkan membunuh Coa Pit Hu yang terkenal sebagai pimpinan penjahat di sekitar tempat itu,

   Lalu menggantungkan kepala mereka di atas pintu gerbang pasar tanpa diketahui seorangpun. Kepala daerah, dengan hati kecut dan ketakutan, segera memerintahkan pasukan keamanan untuk menjaga rumahnya dan sebagian ditugaskan untuk mencari pembunuh itu. Sementara itu, si pembunuh pada keesokan harinya telah berjalan seenaknya di luar kota Yang-nam sambil menggandeng tangan Hong Beng. Dia telah membantu anak itu mengubur jenazah ayah ibu anak itu di luar kota Siang-nam, di sebuah lereng bukit yang sunyi, kemudian mengajak anak itu pergi dari situ. Siapakah laki-laki gagah perkasa itu? Kalau saja ada yang mengenalnya, tentu kegemparan di Siang-nam bertambah dengan rasa takut dan kagum. Laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti yang namanya telah menggemparkan dunia kang-ouw beberapa tahun yang lalu. Dia bernama Suma Ciang Bun.

   Para pembaca kisah-kisah yang menyangkut keluarga Pulau Es tentu sudah mengenal nama ini. Suma Ciang Bun adalah cucu dari mendiang Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, majikan Pulau Es. Ayahnya, bernama Suma Kian Lee, putera majikan Pulau Es itu, seorang yang telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es dan ibunya bernama Kim Hwee Li, juga seorang wanita yang sakti. Ayah ibunya kini sudah tua, sudah sekitar enam puluhan tahun usianya dan mereka bertempat tinggal di Thian-cin, sebuah kota di sebelah selatan kota raja. Suma Ciang Bun yang kini berusia tiga puluh tahun ini belum menikah. Sejak muda remaja, dia memiliki suatu kelainan, yang pernah menyiksa batinnya dengan hebat sekali. Kelainan ini amat aneh, akan tetapi banyak dialami pria di dunia ini, yaitu bahwa gairah kelaminnya tidak seperti pria umumnya,

   Tidak ditujukan terhadap wanita melainkan terhadap sejenis kelaminnya sendiri. Gairahnya timbul bukan terhadap wanita melainkan terhadap pria! Tentu saja kelainan itu menimbulkan peristiwa-peristiwa yang aneh dan yang menyeretnya ke lembah kesengsaraan batin yang hebat. Tubuhnya saja pria, akan tetapi seleranya seperti wanita. Maka, pernah beberapa kali dia patah hati, mencinta seorang pria, bahkan pernah dia tergila-gila seorang pria, yang ternyata adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria. Hal ini menghancurkan hatinya, apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia benar-benar mencinta orang itu, tak perduli orang itu pria maupun wanita. Namun segalanya sudah terlambat. Orang itu telah pergi meninggalkannya karena merasa dihina dan disakitkan hatinya. Hal ini dapat dibaca dalam KISAH PENDEKAR PULAU ES.

   Akan tetapi, pengalaman pahit yang bertubi-tubi dirasakannya, kemudian nasihat-nasihat terutama dari adik misannya sendiri yang bernama Suma Ceng Liong, dan dari kakak perempuannya yang bernama Suma Hui, dia akhirnya dapat mengetahui dirinya sendiri dan dapat melihat bahwa tidak mungkin dia menuruti seleranya yang tidak lumrah itu. Suma Ciang Bun kini telah sembuh! Tidak lagi timbul gairah berahinya melihat pria tampan, walaupun sampai kini dia belum juga dapat menimbulkan gairah berahinya terhadap wanita. Biarpun sudah sembuh, namun Ciang Bun masih belum dapat melenyapkan sifat-sifatnya yang seperti wanita, yaitu pesolek, rapi dan suka akan kelembutan! Sudah bertahun-tahun lamanya Suma Ciang Bun meninggalkan rumah orang tuanya di Thian-cin, hidup sebagai seorang pendekar perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya.

   Di manapun dia berada, pendekar ini selalu mengulurkan tangannya untuk menentang yang jahat dan membela kebenaran dengan gigih. Berkat ilmu kepandaiannya yang hebat, yang membuat dia dapat disebut orang sakti, maka jarang dia menemui lawan yang mampu menandinginya, dan karenanya, namanya amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan. Banyak orang pernah melihat sepak terjangnya yang amat hebat, akan tetapi karena dia tidak pernah meninggalkan nama, maka orang-orang yang belum pernah melihatnya dan hanya mendengar saja penuturan orang, tidak dapat menduga siapa sebenarnya pendekar sakti itu. Sepasang pedang dengan ronce-ronce biru selalu tersembunyi di balik jubahnya, dari siang-kiam (sepasang pedang) ini jarang sekali dipergunakannya, karena dengan kaki tangannya saja dia sudah sukar dikalahkan lawan.

   Setelah matahari naik tinggi, Suma Ciang Bun mengajak Hong Beng berhenti mengaso di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan yang sunyi. Anak itu sejak pagi tadi, sejak meninggalkan makam ayah ibunya, tidak pernah bicara, hanya menurut saja ketika tangannya digandang oleh Ciang Bun dan diajak pergi. Tak pernah bertanya hendak ke mana, tak pernah mengeluh walaupun keringatnya sudah membasahi seluruh pakaiannya dan nampaknya lelah sekali. Maklumlah, semalam suntuk anak itu tidak pernah tidur, apa lagi mengalami hal-hal yang amat menegangkan dan menekan hatinnya. Melihat betapa dirinya dikurung, lalu muncullnya ibunya, kemudian melihat betapa ayah ibunya tewas di depan matanya, dan dia sendiri dihajar babak belur dan bengkak-bengkak oleh para pengawal yang terdiri dari anak buah penjahat itu,

   Kemudian melihat pula betapa semua orang itu dibantai oleh penolongnya ini. Ditambah lagi sejak kemarin dia tidak mau makan, perutnya lapar, badannya sakit-sakit, hatinya berduka, namun anak ini sama sekali tidak pernah mengeluh! Hal ini memang sejak semalam telah diketahui oleh Suma Ciang Bun. Dia datang agak terlambat, yaitu setelah Gu Hok dan isterinya tewas. Dia melihat betapa anak kecil itu mengamuk, nekat dan tidak pernah mengeluh walaupun dijadikan bola oleh para pengawal ini. Dan kini, setelah mengubur jenazah ayah ibu Hong Beng, dan mengajak anak itu berjalan terus sampai siang, melihat betapa anak itu sebenarnya menderita lahir batin akan tetapi sama sekali tidak mengeluh, Cian Bun merasa semakin kagum. Inilah seorang bocah yang amat hebat, dan pantas menjadi muridnya.

   "Kita beristirahat dulu di sini. Duduklah,"

   Katanya dan dia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah. Hong Beng juga dengan tubuh lemas menjatuhkan diri duduk di atas rumput.

   "Kau lelah sekali?"

   Tanya Ciang Bun sambil memandang wajah anak itu. Seorang anak laki-laki yang berkulit kuning berwajah jernih dan tampan. Anak itu mengangguk tanpa menjawab.

   "Muka dan tubuhmu sakit-sakit?"

   Tanya lagi Ciang Bun, menatap muka yang bengkak-bengkak dan matang biru itu. Kembali Hong Beng mengangguk tanpa menjawab.

   "Perutmu lapar?"

   Kembali anak itu mengangguk.

   "Hemm, akupun lapar sekali. Tapi di tempat sunyi seperti ini, dari mana kita bisa mendapatkan makanan?"

   "Di rumahku ada telur, ada banyak ayam, dan masih ada beras."

   "Rumahmu? Di Siang-nam itu?"

   Hong Beng mengangguk.

   "Katakan di mana rumahmu."

   "Di jalan kecil belakang pasar, sebelah kiri toko yang berdagang mangkok piring, rumahku bercat kuning."

   "Baik, kau tunggu saja di sini. Aku yang akan mengambil bahan makanan. Kalau kau ikut ke sana, tentu akan timbul keributan karena semua orang mengenalmu."

   Dan sebelum Hong Beng menjawab, sekali berkelebat tubuh Suma Ciang Bun telah berada jauh sekali dari situ, seperti terbang saja dan tak lama kemudianpun lenyap. Tentu saja Hong Beng memandang dengan melongo.

   Tadipun ketika melihat laki-laki itu mengamuk dan membantai semua orang, dia sudah terheran-heran dan amat kagum. Akan tetapi karena kedukaan oleh kematian ayah ibunya, dia kurang memperhatikan hal itu. Kini, melihat betapa orang itu seperti terbang saja pergi dari situ, baru dia mengkirik. Ibliskah orang itu? Dia pernah mendengar tentang orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah bertemu dengan orang yang pandai terbang! Yang pernah dilihatnya hanya orang-orang penjual obat di pasar yang suka bermain silat dan memamerkan kekuatannya, mengangkat besi berat atau bahkan ada yang memukuli dadanya dengan benda keras memamerkan kekebalannya. Tak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang demikian lihainya seperti penolongnya itu. Mulailah dia memperhatikan dan diam-diam dia khawatir sekali.

   Jangan-jangan orang itu pergi meninggalkannya dan tidak akan kembali lagi. Setelah ditinggal seorang diri, baru Hong Beng teringat bahwa dia sekarang sebatangkara. Dan bahwa keselamatannya terancam di Siang-nam. Dia harus pergi dari tempat tinggalnya. Akan tetapi ke mana? Dan apa yang harus dilakukannya? Satu-satunya harapan baginya adalah ikut bersama orang yang menolongnya tadi. Ah, kenapa tidak? Kalau penolongnya itu mau, dia suka menjadi muridnya, atau jadi pelayannya sekalipun. Dengan cepat sekali, terlalu cepat bagi Hong Beng sehingga sukar dipercaya, tiba-tiba saja orang itu telah berkelebat dan tahu-tahu telah berada di dekatnya, membawa buntalan yang cukup besar. Ketika Suma Ciang Bun menurunkan buntalan itu ke atas tanah, isi buntalan bergerak dan terdengar suara ayam!

   "Nah, ini kubawakan semua keperluan dari rumahmu,"

   Kata Suma Ciang Bun yang sudah duduk kembali. Hong Beng membuka buntalan itu dan ternyata di dalamnya, selain terdapat belasan butir telur dan dua ayam paling gemuk, juga terdapat beras yang cukup dan juga beberapa potong pakaiannya yang paling baik. Melihat pakaiannya itu, Hong Beng memandang kepada Suma Ciang Bun dengan sinar mata bertanya.

   "Kau tentu membutuhkan pakaian pengganti,"

   Kata Ciang Bun.

   "Apakah kau dapat masak?"

   Hong Beng mengangguk.

   "Akan tetapi tidak ada tungku dan tidak ada api...."

   Ciang Bun tersenyum. Dia sudah berpengalaman hidup merantau di gunung-gunung dan sebentar saja dia sudah dapat membuat api dan membuat tungku dari batu-batu. Hong Beng segera menanak nasi dari panci yang berada dalam buntalan, dan dua ekor ayam itupun dipotong dan dipanggang. Tak lama kemudian, dua orang ini makan nasi dan panggang ayam dengan lahapnya, walaupun bumbunya hanya garam dan bawang yang dibawa oleh Ciang Bnn dari rumah kecil keluarga Gu.

   "Nah, sekarang kita bicara,"

   Kata Ciang Bun telah mereka makan kenyang.

   "Siapakah namamu dan apa yang telah terjadi maka ayah ibumu tewas di sana?"

   Hong Beng memandang Ciang Bun dengan tajam untuk beberapa saat lamanya, kemudian menceritakan segala peristiwa yang menimpa keluarga orang tuanya, dimulai dari peristiwa di pasar ketika ibunya diganggu oleh Bong-ciangkun sampai dia diculik dan ibu berdua ayahnya kemudian tewas. Setelah anak itu selesai bercerita, Ciang Bun mengangguk-angguk.

   "Hemm, sudah kuduga tentu demikian. Aku sudah banyak mendengar akan kejahatan orang she Bong itu dan aku girang bahwa aku telah berhasil membasmi dia bersama komplotannya. Hong Beng, sekarang ayah ibumu telah tiada, lalu apa rencanamu selanjutnya? Apakah engkau memiliki sanak keluarga?"

   Hong Beng menggeleng kepala.

   "Jadi engkau sebatangkara saja?"

   Anak itu mengangguk.

   
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hemmm, engkau sebatangkara dan engkau tak mungkin kembali ke Sang-nam. Di sana sudah geger dan orang-orang mulai mencari keluargamu yang lenyap. Lalu apa yang akan kau lakkukan sekarang?

   "Kalau paman suka, aku akan ikut dengan paman...."

   "Ikut aku?"

   "Ya, menjadi.... murid atau pelayan...."

   Ciang Bun tertawa. Dia semakin kagum kepada anak ini. Tidak banyak cakap, dan cukup sopan.

   "Aku suka kepadamu, Hong Beng. Kalau engkau mau, akupun suka sekali mengambil engkau sebagai muridku."

   Mendengar ucapan ini, segera Hong Beng menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suma Ciang Bun.

   "Suhu, mulai saat ini, teecu akan mentaati segala perintah suhu dan teecu berjanji akan menjadi seorang murid yang baik."

   Ciang Bun menyentuh kedua pundak anak itu dan menyuruhnya bangkit duduk. Ditatapnya wajah anak itu dan dia merasa senang sekali.

   "Berapa usiamu Hong Beng?"

   "Sebelas tahun, suhu."

   "Ah, engkau pantas menjadi anakku, keponakanku, atau muridku. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, aku seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya, kadang-kadang bermalam di dalam hutan, di puncak gunung atau di tepi sungai. Hidupmu akan serba kekurangan dan bahkan kadang-kadang harus berani menahan kehausan dan kelaparan kalau ikut aku. Beranikah engkau menghadapi semua kesukaran itu?"

   Hong Beng mengangguk.

   "Teecu berani dan apapun yang akan suhu perintahkan, teecu akan mentaati tanpa membantah."

   Ciang Bun lalu bangkit dan menarik tangan Hong Beng agar berdiri dan merangkul anak itu sambil tertawa.

   "Ha-ha, jangan khawatir, muridku. Aku belum begitu gila untuk membuat engkau sengsara. Mari kita pergi naik ke puncak bukit di depan itu. Besok, di puncak itu, akan mulai kuajarkan dasar-dasar ilmu silat kepadamu. Engkau tidak akan menyesal menjadi muridku. Ketahuilah bahwa saat ini, engkau merupakan anak murid keluarga Pulau Es dan kalau engkau tekun belajar, kelak akan sukar orang menandingimu."

   Demikianlah, Suma Ciang Bun yang selama bertahun-tahun hidup dalam kesunyian dan kesepian, kini memperoleh seorang murid yang seolah-olah membuat hidupnya berarti dan dia berguna bagi seseorang. Kesepian atau kesendirian merupakan suatu hal yang amat ditakuti oleh kebanyakan orang. Sendirian sama artinya dengan mati atau lenyapnya bayangan tentang diri sendiri yang kita bentuk sendiri. Timbulnya sang aku adalah karena ada hubungan dengan manusia lain, dengan benda maupun dengan gagasan-gagasan. Kalau sudah berada sendirian maka sang akupun tidak dapat bergerak lagi, atau kalaupun bergerak, tentu hanya karena dorongan ingin mempertahankan hidup. Itulah sebabnya kita selalu haus akan perhatian orang lain, selalu haus akan kasih sayang orang lain.

   Orang yang merasa bahwa dia tidak diperhatikan orang, tidak disukai orang, akan merasa sengsara dan hidupnya seolah-olah kosong, dapat mendatangkan penyakit hampa atau frustrasi, Karena sang aku yang sudah digambarkan dan dipupuk semenjak kecil menjadi tidak berarti lagi, menjadi diremehkan. Takut akan kesepian atau sendirian ini pula yang mendorong kita untuk mengingatkan diri dengan apa saja yang menyenangkan lahir dan batin. Kalau sudah terikat, kita merasa aman, merasa terjamin. Padahal, ikatan-ikatan inilah yang membuat kita hidup seperti robot. Pengulangan-pengulangan, kebiasaan-kebiasaan, menurut "umum", dan menonjolkan sang aku sama saja dengan hidup di atas awan angan-angan dan karenanya seringkali menemui kekecewaan dan kedukaan karena kenyataan sama sekali berbeda dengan angan-angan dan harapan-harapan.

   Siapa yang berani meninggalkan hidup dalam dunia angan-angan dan harapan ini, dan berani membuka mata menghadapi segala macam kenyataan hidup, Menerima sebagaimana adanya, barulah dia itu benar-benar hidup dan tidak terkecoh oleh harapan-harapan yang pada dasarnya hanyalah sang aku yang ingin senang. Pemuda itu berjalan seorang diri menyusuri tepi Sungai Wu-kiang, sebuah sungai yang mengalir ke utara untuk kemudian terjun ke sungai besar Yang-ce-kiang. Sungai Wu-kiang ini mengalir di antara bukit-bukit pegunungan yang amat luas, sunyi dan penuh dengan hutan liar. Dia tidak sangat muda lagi. Usianya sekitar dua puluh enam tahun, bertubuh sedang namun tegap. Wajahnya sederhana seperti pakaiannya, hanya sapasang mata yang mengandung sinar penuh ketajaman itu yang menarik perhatian.

   Dilihat sepintas lalu, dia mirip seorang petani atau mungkin seorang pemburu karena berjalan seenaknya di tempat yang amat sunyi dan liar itu. Padahal, tempat itu amat berbahaya dan kalau tidak dengan rombongan yang bersenjata lengkap, jarang ada orang berani memasuki daerah ini. Akan tetapi, orang muda itu berlenggang seenaknya dan memandang ke kanan kiri, kadang-kadang tersenyum sendiri kalau melihat kupu-kupu, atau burung, atau kelinci berkejaran. Di tempat yang amat sunyi itu, di mana tidak terdapat manusia lain kecuali diri sendiri, membuat mata menjadi waspada sekali. Pikiran menjadi hening, tidak terisi berbagai masalah seperti kalau berada di tempat ramai yang penuh orang. pikiran tidak mengada-ada, tidak dipenuhi keinginan-keinginan, karena kosong dan hening inilah maka panca indera bekerja dengan amat baiknya,

   Setiap anggauta tubuh menjadi amat pekanya. Dan dalam keadaan hening dan waspada ini, maka segala keindahanpun nampak! Biasanya, panca indera kita seperti menjadi tumpul karena dipenuhi oleh keinginan batin yang berupa nafsu sehingga perhatian hanyalah ditujukan kepada hal-hal yang belum ada yang sedang dikejar atau diinginkan. Akan tetapi, berada di tempat sunyi itu, barulah terasa betapa indahnya segala hal yang ada, betapa bersilirnya angin membawa suara indah melebihi alunan musik yang manapun juga, bahkan gugurnya setangkai daun kering yang menari-nari ke bawah nampak sedemikian indahnya seperti tarian yang menakjubkan. Diri menjadi lenyap, seperti lebur menjadi suatu kenyataan yang ada, bukan lagi boneka yang dipermainkan oleh nafsu dan keinginan.

   Pemuda itu amat sederhana, hanya menggendong sebuah buntalan pakaian dan di pinggangnya terselip sebuah benda kecil yang panjangnya kira-kira tiga kaki, terbungkus oleh sarung dari kain kuning. Bagi orang yang tidak mengenalnya tentu mengira bahwa dia itu hanya seorang petani biasa, atau seorang pemburu dan paling hebat tentu seorang perantau yang biasa melakukan perjalanan seorang diri dengan bekal sedikit kepandaian silat untuk mlindungi dirinya. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar yang amat lihai, bahkan yang baru-baru ini memperoleh julukan Pendekar Suling Naga! Bagi para pembaca KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES, pemuda ini pasti dapat diduga siapa orangnya, karena dia merupakan seorang di antara para tokoh dalam kisah itu. Pemuda ini adalah Sim Houw.

   Seorang pemuda gemblengan yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari dua aliran yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas). Ilmu yang pertama dia peroleh dari mendiang ayahnya sendiri, yaitu Sim Hong Bu yang mewarisinya dari keluarga isterinya, keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman, di daerah Pegunungan Himalaya. Adapun ilmu yang ke dua itu diperolehnya dari pendekar sakti Kam Hong yang pernah menjadi calon mertuanya akan tetapi perjodohannya dengan puteri gurunya ini gagal karena gadis itu mencinta orang lain. Ayahnya, pendekar sakti Sim Hong Bu telah gugur dalam pertempuran antara para pendekar yang melawan pasukan tentara pemerintah. Juga ibunya telah tewas sehingga dia hidup sebatangkara. Memang masih ada keluarga dari pihak ibunya, yaitu keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman,

   Akan tetapi karena ayahnya telah bercerai dari ibunya dan terjadi pertentangan antara mendiang ayahnya dan keluarga Cu, dia tidak mau lagi kembali ke lembah itu. Demikianlah sedikit riwayat pendekar yang dijuluki orang Pendekar Suling Naga itu. Baru kurang lebih tiga tahun dia diberi julukan itu setelah beberapa kali dia menghadapi datuk-datuk sesat yang lihai dan terpaksa dia menggunakan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang suling yang dapat dipergunakan sebagai pedang pula. Suling ini terbuat dari kayu yang diukir berbentuk seekor naga dan kayu yang sudah ribuan tahun usianya dan direndam ramuan obat itu menjadi keras seperti baja, dan selain dapat ditiup sebagai suling yang suaranya merdu, juga dapat dipergunakan sebagai pedang. Kurang lebih tiga tahun yang lalu, timbul dalam pikiran Sim Houw untuk menjenguk kelu-arga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman.

   Dia teringat bahwa yang tadinya bertentangan dengan ayahnya adalah ayah dari ibunya bersama seorang paman, juga ibunya sendiri. Keluarga Cu terdiri dari tiga orang kakak beradik, yang pertama adalah Cu Han Bu, yaitu ayah ibunya, ke dua adalah Cu Seng Bu dan ke tiga adalah Cu Kang Bu. Yang menentang ayahnya hanyalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang sekarang telah meninggal dunia, sedangkan Cu Kang Bu tidak menentang ayahnya. Dan sekarang, yang tinggal di lembah itu hanya tinggal Cu Kang Bu dan isterinya. Teringat akan paman kakeknya ini, seorang pendekar berjuluk Ban-kin-sian yang gagah perkasa, juga isteri pendekar ini seorang wanita bernama Yu Hwi yang memiliki kepandaian tinggi pula, Sim Houw menjadi rindu. Tidak ada lagi keluarganya di dunia ini kecuali paman kakek Cu Kang Bu itu, maka diapun berangkatlah ke Pegunungan Himalaya. Akan tetapi, ketika pada suatu pagi dia tiba di lembah itu, menyeberangi jembatan tambang yang direntang dari lembah oleh seorang murid keluarga Cu,

   Sim Houw menjadi terkejut bukan main melihat betapa paman kakek berdua isterinya itu berada dalam keadaan luka parah! Cu Kun Tek, putera yang baru berusia dua belas tahun menjaga mereka dengan sikap murung dan berduka. Lembah Gunung Naga Siluman itu merupakan tempat yang selain amat indah juga tersembunyi dan tidak mungkin dapat dikunjungi orang kecuali kalau penghuni lembah itu menghendaki. Lembah itu dikurung oleh jurang yang amat curam, dan jalan masuk satu-satunya hanyalah melalui jembatan tambang yang direntang dari lembah dan selalu dijaga oleh murid-murid penghuni lembah itu. Pada waktu itu, Cu Kang Bu yang hanya mempunyai seorang putera memiliki belasan orang murid, selain untuk menjadi teman puteranya, juga untuk melayani segala keperluan keluarganya dan menjaga kebersihan tempat tinggal mereka.

   Murid-murid ini yang melakukan penjagaan jembatan tambang itu. Ketika Sim Houw muncul dan memperkenalkan namanya, di antara murid-murid itu ada yang sudah pernah mengenalnya, maka tambang yang tadinya tergantung ke dalam jurang lalu ditarik dan direntang. Sim Houw mempergunakan ilmunya untuk menyeberang melalui atas tambang yang besar itu. Kalau tidak memiliki kepandaian dan tidak memiliki keberanian besar, siapa berani menyeberang melalui jembatan yang terbuat dari sehelai tambang itu? Sekali jatuh, nyawa akan melayang dan tubuh akan hancur lebur. Melihat keadaan paman kakeknya suami isteri yang rebah dengan muka pucat, Sim Houw terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut. Suami yang nampak lemah tubuhnya itu memandang penuh perhatian, lalu terdengar Cu Kang Bu bertanya,

   "Orang muda, siapakah engkau dan ada keperluan apakah engkau mendatangi tempat kami ini?"

   Mendengar pertanyaan kakek itu, Sim Houw merasa terharu sekali.

   "Cek-kong (paman kakek), saya adalah Sim Houw...."

   "Sim Houw....?"

   Isteri kakek itu bangkit duduk dan memandang dengan penuh perhatian. Juga kakek itu bangkit duduk.

   "Engkau Sim Houw putera mendiang Pek In?"

   Tanya kakek yang kini usianya sudah lima puluh tiga tahun itu. Disebutnya nama mendiang ibunya, Sim Houw menjadi semakin terharu.

   "Benar dan saya menghaturkan hormat kepada cek-kong berdua."

   Suami isteri yang sedang menderita luka itu nampak gembira sekali.

   "Kun Tek, lihat, pemuda perkasa ini adalah keponakanmu sendiri, putera tunggal mendiang encimu Cu Pek In! Sim Houw, ini adalah anak tunggal kami, bernama Cu Kun Tek."

   Sim Houw memandang kepada anak laki-laki itu. Dia hanya pernah mendengar bahwa suami isteri itu mempunyai seorang anak laki-laki dan baru sekarang dia bertemu dengan anak laki-laki itu, seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua belas tahun yang menjadi pamannya! Dia merasa canggung, akan tetapi Sim Houw segera bangkit berdiri dan menjura kepada anak itu.

   "Paman kecil, harap engkau baik-baik saja dan banyak memperoleh kemajuan."

   Cu Kun Tek juga sudah banyak mendengar dari ayah bundanya tentang Sim Houw, maka diapun membalas penghormatan itu.

   "Harap kau tidak terlalu sungkan, karena walaupun aku terhitung pamanmu, akan tetapi aku jauh lebih muda dan banyak mengharapkan petunjuk darimu."

   Diam-diam Sim Houw kagum dan dapat melihat bahwa paman cilik ini adalah seorang anak laki-laki yang cerdas dan ada pembawaan yang gagah perkasa seperti paman kakeknya.

   "Selama ini engkau ke mana sajakah, anak Houw?"

   Tanya Yu Hwi, isteri Cu Kang Bu itu.

   "Saya merantau memperluas pengalaman dan tiba-tiba saya merasa rindu kepada keluarga di sini, juga tempat ini di mana saya dibesarkan, maka hari ini saya datang menghadap. Harap cek-kong berdua sudi memaafkan bahwa baru sekarang saya sempat singgah. Akan tetapi betapa kaget hati saya melihat bahwa cek-kong berdua agaknya dalam keadaan sakit.... kalau tidak salah, menderita luka dalam. Apakah cek-kong berdua berkelahi dengan seorang lawan yang amat lihai?"

   Mendengar pertanyaan ini, suami isteri itu saling pandang dan seperti diingatkan akan sesuatu yang membuat mereka penasaran. Cu Kang Bu menarik napas panjang dan menjawab,

   "Kalau diceritakan, sungguh membuat orang menjadi jengkel dan penasaran sekali. Seperti kau ketahui, Sim Houw, keluarga Cu selalu menjauhkan diri dari keributan, bahkan menempati lembah yang terpencil dan terasing ini, karena tidak ingin terlibat dalam permusuhan. Akan tetapi, kalau memang perkelahian akan terjadi, ke manapun kita bersembunyi, ada saja yang datang mencari perkara. Dan sekali ini yang datang mencari keributan adalah seorang kakek tua renta yang gila...."

   Sim Houw terkejut dan merasa heran sekali. Seorang kakek tua renta yang gila? Dan seorang kakek gila demikian lihainya sehingga cek-kongnya yang lihai ini, bersama isterinya yang juga amat lihai, kalah dan menderita luka dalam.

   "Cek-kong, apakah yang telah terjadi?"

   Kembali Cu Kang Bu menarik napas panjang.

   "Dua pekan yang lalu, pada suatu siang muncul seorang kakek di seberang jurang dan dia berteriak dengan mempergunakan khi-kang, minta bertemu denganku. Karena maklum bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian tinggi maka aku menyuruh para murid merentangkan jembatan tambang. Kakek itu menyeberang dan ternyata dia sudah sangat tua, dan dia datang mengajukan usul yang aneh."

   "Bagaimana usulnya itu?"

   Sim Houw bertanya dengan hati tertarik sekali melihat Cu Kang Bu menghentikan ceritanya.

   "Ahh, sungguh aneh dan memalukan. Dia mengatakan bahwa dia memiliki sebuah benda pusaka yang akan diwariskan kepada seorang pendekar yang mampu mengalahkannya. Karena dia bertapa di Pegunungan Himalaya dan dia mendengar bahwa di lembah ini tinggal pendekar-pendekar sakti, dia lalu datang untuk minta dikalahkan agar dia dapat mewariskan pusaka itu kepada kami. Tentu saja aku yang tidak butuh pusakanya, menolak. Akan tetapi dia malah marah-marah dan mengatakan bahwa kalau aku tidak mau melayaninya, dia akan membunuh aku dan seluruh penghuni lembah ini...."

   "Gila...."

   Sim Houw berseru heran dan penasaran. Mana di dunia ini ada aturan seperti itu? Hendak mewariskan pusaka saja dengan syarat harus mengalahkannya, dan kalau orang tidak mau menyambut usulnya yang aneh itu, akan dibasmi seluruh keluarganya!

   "Memang, agaknya dia telah gila, akan tetapi dia lihai bukan main."

   Cu Kang Bu menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

   "Karena ancamannya yang gila itu, tentu saja aku menjadi marah dan akhirnya kami bertanding, bukan untuk memenuhi permintaannya, melainkan untuk menentang niatnya yang hendak membasmi kami itu. Akan tetapi, biarpun isteriku telah membantuku, tetap saja setelah lewat seratus jurus, kami berdua terkena pukulannya yang ampuh dan terluka. Akan tetapi dia tidak membunuh kami, hanya mengatakan bahwa setelah kami sembuh, dia akan datang lagi, karena dia menganggap bahwa aku cukup pantas menerima warisan dan dia minta agar aku berlatih dan memperkuat diri agar lain kali aku dapat mengalahkannya. Kemudian dia pergi."

   "Orang itu agaknya memang gila dan dia bisa berbahaya sekali, kata Yu Hwi. Bayangkan saja, cek-kongmu ini sudah mempergunakan cambuknya, dan akupun sudah melawan mati-matian. Kami hanya mampu mengimbangi saja tanpa mampu mengatasinya sehingga akhirnya kami terluka."

   "Siapakah nama kakek itu dan di mana tempat tinggalnya?"

   Sim Houw yang merasa amat tertarik dan penasaran bertanya.

   "Dia belum sempat memperkenalkan diri dan kamipun tidak tahu di mana dia tinggal,"

   Jawab Cu Kang Bu.

   "Kami memang tidak tertarik sama sekali untuk berkenalan dengan orang gila itu, apa lagi mewarisi pusakanya."

   Tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh suara melengking tinggi yang terdengar dekat sekali, seolah-olah suara itu keluar dari mulut seorang yang berada di dalam gedung atau ruangan di mana mereka duduk bercakap-cakap. Lengkingan suara itu disusul kata-kata yang lembut,

   "Orang she Cu, rentangkan jembatan tambang, aku datang berkunjung!"

   "Nah, itu dia orang gila itu datang lagi!"

   Cu Kang Bu berkata dan dia bersama isterinya nampak pucat. Cu Kun Tek yang masih kecil itu bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. Anak ini kelihatan marah sekali.

   "Ayah dan ibu, kalau dia datang lagi, biarlah kita lawan mati-matian. Bukankah di sini ada Sim Houw yang pernah ayah ceritakan sebagai seorang yang amat lihai? Tentu dia akan membantu kita, bukankah demikian, Sim Houw?"

   Sim Houw memandang kagum dan tersenyum, lalu mengangguk.

   "Tentu saja, paman kecil."

   Sementara itu, tiga orang murid datang menghadap dengan muka pucat dan jelas nampak betapa mereka ini cemas sekali.

   "Suhu, kakek gila itu datang lagi...."

   Kata mereka.

   "Ada tamu datang, rentangkan jembatan, biarkan dia ke sini,"

   Kata Cu Kang Bu dengan sikap gagah. Dia maklum bahwa selagi dalam keadaan sehat dan segar saja, dia dan isterinya yang maju mengeroyok kakek itu tidak menang bahkan terluka parah, apa lagi sekarang dalam keadaan masih belum sembuh benar. Maju melawan kakek itu berarti mengundang kematian. Akan tetapi kalau perlu dia tidak takut mati. Lebih baik mati melawan dari pada memperlihatkan rasa takut dan tidak berani merentangkan jembatan.

   "Suhu, biar teecu rentangkan jembatan dan kalau Si kakek gila itu sudah menyeberang sampai di tengah-tengah, teecu lepaskan tambang agar dia mampus terbanting ke dalam jurang,"

   Kata seorang murid yang tinggi besar.

   "Brakkkk!"

   Cu Kang Bu menggebrak dipannya dengan mata melotot.

   "Pengecut! Hayo kau masuk ke dalam Ruangan Bertobat, tiga hari tiga malam tidak boleh keluar mempelajari sikapmu yang pengecut itu sampai dapat kau hapus sama sekali dari batinmu!"

   Murid tinggi besar itu berlutut dengan muka pucat, mengangguk-angguk.

   "Baik, teecu menerima perintah dan hukuman."

   Lalu dengan tubuh lemas dia mengundurkan diri untuk memasuki sebuah ruangan di bawah tanah yang dipergunakan untuk menghukum murid-murid yang bersalah. Di tempat ini dia terpaksa harus bertapa selama tiga hari tiga malam untuk menebus kesalahannya karena tadi dia mengeluarkan kata-kata yang sifatnya pengecut dan curang.

   "Rentangkan jembatan dan biarkan dia menyeberang!"

   Katanya kepada dua orang murid lain yang cepat mengangguk dan pergi. Kemudian pendekar itu berkata kepada isterinya dan puteranya.

   "Kalian jangan turut campur. Biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya dan kalau perlu mengadu nyawa dengannya."

   "Akan tetapi engkaupun masih belum sembuh!"

   Seru isterinya dengan khawatir. Sim Houw cepat maju berkata,

   "Cek-kong berdua harap tenangkan hati. Saya kira, dengan bujukan yang halus dan dapat diterima, kiranya dia dapat disadarkan dan dapat disuruh pergi tanpa kekerasan. Saya tidak sakit, maka biarlah saya mewakili cek-kong berdua karena bagaimanapun juga, saya adalah anggauta keluarga di lembah ini."

   Cu Kang Bu mengangguk.

   "Akan tetapi, engkau harus berhati-hati benar, Sim Houw. Dia memiliki ilmu yang luar biasa anehnya."

   "Saya mengerti, cek-kong. Orang yang mampu mengalahkan cek-kong berdua tentu seorang sakti."

   Setelah berkata demikian, Sim Houw melangkah keluar, diikuti oleh Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan juga Cu Kun Tek. Ketika mereka tiba di luar gedung, tak lama kemudian nampak bayangan berkelebat cepat, datang dari depan dan diam-diam Sim Houw terkejut bukan main karena bayangan itu sungguh memiliki gin-kang yang luar biasa sehingga tubuh itu seolah-olah terbang saja ketika berlari ke arah mereka.

   Segera nampak seorang kakek berdiri di depan mereka. Kakek itu memang nampak sudah tua sekali, sukar menaksir berapa usianya, akan tetapi tentu mendekati seratus tahun. Rambut di kepalanya tinggal sedikit, tipis panjang dan tak terpelihara membuat kepala itu nampak kecil. Tubuhnya kurus dan saking kurusnya, nampak tulang terbungkus kulit belaka. Matanya sipit hampir terpejam, mulutnya kempot dan kedua pipinya cekung ke dalam. Akan tetapi yang luar biasa adalah kulit mukanya, Kulit muka itu putih, bukan pucat melainkan putih seperti dibedaki tebal saja. Jubahnya hitam lebar dan panjang, celananya berwarna kuning. Begitu berhadapan dengan mereka, mata yang sipit itu menujukan pandangannya ke arah Cu Kang Bu dan isterinya, lalu terdengar kakek itu berkata dengan nada suara penuh sesal,

   "Aih, kalian belum sembuh! Itulah akibatnya kalau tinggi hati, kuberi obat tidak mau. Sekarang, jangankan mengalahkan aku, baru menandingi seratus jurus seperti tempo hari saja kalian akan mati, dan siapa lagi yang dapat kuharapkan mengalahkan aku dan mewarisi pusakaku? Aihhh.... aku tidak mau pusakaku terjatuh ke tangan mereka, aku tidak mau biar mereka itu murid-murid keponakanku sendiri, aku tdak mau...."

   Dan suara kakek itu berobah seperti suara orang menangis! Sim Houw melangkah maju menghadapi kakek itu sambil menjura dengan sikap hormat dan suaranya terdengar halus namun tegas,

   "Locianpwe, kami para penghuni Lembah Naga Siluman tidak pernah bermusuhan dengan siapapun juga, tidak pernah mencampuri urusan orang lain, harap locianpwe suka mundur dan meninggalkan tempat kami tanpa mengganggu kami lagi. Kalau locianpwe memaksa, terpaksa sayalah yang akan menghadapi dan melawan locianpwe!"

   Kakek itu mengeluarkan suara mendengus dan kini mata yang sipit sekali itu ditujukan kepada Sim Houw, memandang dari atas ke bawah.

   "Heh-heh, kau gagah juga....! Apakah kau murid mereka?"

   Jari telunjuknya yang kurus panjang itu menunjuk ke arah Cu Kang Bu dan isterinya.

   "Bukan, locianpwe. Saya adalah cucu keponakan mereka yang kebetulan datang berkunjung."

   "Uuh-huh-huh, murid juga bukan, malah hanya cucu keponakan! Dan kau bilang bahwa kau akan melawan aku? Heh-heh-heh, bocah, engkau sombong benar!"

   "Locianpwe yang sombong, seolah-olah locianpwe pandai mengukur tingginya langit dalamnya lautan. Akan tetapi, tidak ada pertandingan dilakukan tanpa sebab, apa lagi tanpa saling mengenal. Nama saya adalah Sim Houw, dan sudah jelas bahwa saya mewakili cek-kong saya berdua isterinya, mewakili keluarga dan penghuni Lembah Naga Siluman untuk menandingi locianpwe, Sebaliknya, siapakah locianpwe dan mengapa locianpwe datang mengacau di lembah kami?"

   Kakek kurus kering itu terkekeh.

   "Heh-heh-heh, kau bocah kemarin sore tapi omonganmu berisi! Agaknya dirimu berisi kepandaian pula. Dengarlah, aku disebut orang Pek-bin Lo-sian (Dewa Tua Muka Putih), seorang pertapa di puncak bukit sebelah utara yang nampak dari sini itu."

   Dia menuding ke arah sebuah puncak bukit yang nampak samar-samar dari lembah itu, terhalang kabut dan awan.

   "Aku sudah tua, sudah mau mati, akan tetapi aku takkan dapat mati dengan mata terpejam sebelum pusaka yang berada padaku kuserahkan kepada orang yang pantas memilikinya. Dan yang pantas memilikinya hanyalah seorang pendekar yang mampu menandingiku. Kalau aku tidak menemukan orang itu, pusaka itu tentu akan terjatuh ke tangan tiga orang murid keponakanku yang seperti setan, dan aku tidak rela, sungguh tidak rela! Karena itulah aku datang ke sini karena aku mendengar bahwa keluarga Cu adalah keluarga pendekar yang sakti. Akan tetapi ternyata kepandaian mereka hanya begitu saja, sungguh mengecewakan hatiku."

   "Locianpwe, mengapa bersusah payah menetapkan syarat begitu aneh dan berat? Kalau memang locianpwe tidak rela memberikan pusaka kepada orang lain, perlu apa mencari-cari? Kepandaian locianpwe begitu tinggi, siapa yang akan sanggup mengalahkannya? Dan kalau memang locianpwe berhasrat mewariskan pusaka itu kepada orang lain, berikan saja kepada siapa yang locianpwe sukai, tidak perlu dengan syarat yang aneh-aneh. Pula, kami keluarga Lembah Naga Siluman juga tidak kepingin memperoleh pusaka apapun juga."

   Kakek itu menghela napas panjang.

   "Orang muda, enak saja kau bicara. Kalau aku memberikan kepada sembarang orang, berarti menyuruh dia mampus dan pusaka itu akhirnya akan terampas pula oleh tiga orang murid keponakanku. Mengertikah kau? Aku sudah menjatuhkan pilihanku kepada penghuni lembah ini, kalau tidak ada yang mampu mengalahkan aku, berarti mengecewakan hatiku dan karenanya akan kubunuh semua!"

   Sim Houw menjadi marah.

   "Hemm, watak locianpwe begini aneh dan jahat, pantas murid keponakan locianpwe juga jahat seperti setan. Nah, biarlah saya mewakili keluarga Cu untuk menghadapi locianpwe!"

   Sambil berkata demikian, karena maklum bahwa lawannya yang sudah mengalahkan cek-kongnya bersama isterinya tentu amat sakti, dia sudah mencabut keluar sebatang suling dari balik jubahnya. Begitu suling di cabut, nampak sinar emas berkelebat dibarengi suara melengking dari suling itu seolah-olah ditiup. Melihat dan mendengar ini, kakek itu terbelalak.

   "Ihhh....? Itu.... itu senjatamu? Sebatang suling emas?"

   Tanyanya kaget dan memandang ke arah sebatang suling terbuat dari pada emas yang berada di tangan pemuda itu. Memang suling ini sebuah suling emas, pemberian pendekar sakti Kam Hong, sebatang suling yang merupakan duplikat dari suling emas di tangan pendekar itu, yang dipergunakan oleh Sim Houw untuk berlatih ketika digembleng oleh bekas calon mertuanya itu.

   "Aneh....!"

   Kakek itu berkata, matanya yang sipit itu agak terbelalak lebar dan mulutnya tersenyum, wajahnya yang tadinya keruh nampak berseri penuh harapan.

   "Lihat seranganku!"

   Tiba-tiba kakek itu sudah menggerakkan kedua tangannya dan Sim Hoaw merasa betapa ada angin yang amat kuat menyambar ke arahnya dari kanan kiri. Kakek itu telah menyerang dengan pukulan-pukulan yang ampuh, aneh datangnya, melengkung dari kanan kiri dan dari angin serangan itu saja dapat diketahui bahwa kakek itu menggunakan tenaga yang amat kuat! Akan tetapi, yang diserang oleh Pek-bin Losian adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah matang kepandaiannya.

   

Kisah Pendekar Pulau Es Eps 16 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 5 Suling Emas Naga Siluman Eps 49

Cari Blog Ini