Suling Emas Naga Siluman 38
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 38
"Sungguh menyesal sekali bahwa kami terpaksa harus melibatkan diri dengan persaingan yang berbahaya ini dan karenanya merepotkan Sam-wi, saja."
Antara lain tuan tanah Thio itu berkata.
"Akan tetapi, orang she Bouw itu sungguh selalu mencari perkara. Sesungguhnya, pada dasarnya dia itu hendak menentang campur tangan pemerintah, hendak, memperlihatkan kekuasaannya, akan tetapi karena dia tidak berani berterang menentang pemerintah, maka dia selalu mencari gara-gara di antara para thicu yang paling berkuasa di daerah ini. Dan kami tahu benar bahwa diam-diam dia itu condong menoleh kepada orang-orang Mongol yang kini mulai berkembang kekuasaannya di utara. Maklumlah, orang she Bouw itu adalah peranakan Mongol. Biarpun sekarang belum nampak bukti-buktinya, akan tetapi kami berani bertaruh bahwa kalau kelak terjadi pemberontakan orang Mongol, agaknya mungkin sekali dari Sin-kiang inilah pecahnya."
Mendengar ucapan itu, diam-diam Kian Bu menaruh perhatian. Kalau urusan ini sudah menyangkut gejala pemberontakan, maka penting juga.
Dia sendiri, seperti juga ayahnya dan semua keluarga Pulau Es, tidak melibatkan diri dengan politik. Kalau kakaknya, Puteri Milana, dan ibunya, Puteri Nirahai, pernah membela kerajaan, hal itu adalah karena mereka itu masih berdarah kerajaan. Akan tetapi bukan itu saja, sesungguhnya pembelaan mereka untuk menumpas pemberontakan adalah untuk mencegah terjadinya perang lagi karena perang hanya berakibat mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan bagi rakyat jelata. Pendekar ini maklum bahwa biarpun ibunya adalah puteri Mancu, namun ayahnya adalah seorang Han tulen. Dan dia maklum pula bahwa sekarang ini, tanah air dijajah oleh bangsa Mancu. Dia maklum pula akan adanya perasaan tidak puas dan penyesalan di dada orang-orang gagah bangsa Han dan adanya daya upaya untuk membebaskan negara dan bangsa daripada penjajahan.
Dan dia tidak menyalahkan sikap patriotik dari bangsa Han itu, apalagi kalau ada kaisar penjajah yang bertindak sewenang-wenang seperti yang didengarnya dilakukan oleh Kaisar Yung Ceng sekarang ini. Akan tetapi, dia sendiri bingung tidak tahu harus berpihak mana. Ibunya dalah puteri Mancu! Dan ayahnya adalah seorang pendekar Han! Maka, seperti juga semua keluarga Pulau Es, dia tidak mau mencampuri, hanya sedapat mungkin harus mencegah terjadinya perang karena yang jelas, perang mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat, apa pun alasan perang itu. Akan tetapi Siang In adalah seorang pendekar wanita yang di dalam hatinya condong berpihak kepada penentang pemerintah penjajah Mancu. Mendengar betapa hartawan ini memburukkan nama tuan tanah yang agaknya hendak menentang pemerintah, ia mengerutkan alisnya dan bertanya,
"Thio-wangwe, apakah alasannya maka engkau menganggap bahwa orang she Bouw itu ingin berkuasa, jahat dan hendak memberontak?"
Sikap dan nada suara nyonya ini agaknya menyadarkan Thio-wangwe, maka dia pun bersikap sungguh-sungguh dan memandang kepada nyonya yang cantik jelita dan gagah ini dengan tajam.
"Harap Toanio jangan salah mengerti dan mengira saya memburuk-burukkan nama orang lain. Sesungguhnyalah, dahulu, dua tiga tahun yang lalu sebelum pemerintah campur tangan, semua thicu di tempat ini, termasuk saya sendiri, selalu ingin unggul dan menang, tidak mau kalah oleh thicu lain, dan untuk itu kami semua masing-masing memperkuat diri dan mengumpulkan orang-orang pandai. Akan tetapi setelah pemerintah turun tangan melarang segala macam pertikaian dan pertentangan, timbul persaingan lain, yaitu persaingan untuk mencari keunggulan dalam perlumbaan-perlumbaan, terutama sekali lumba kuda. Kami semua telah sadar hahwa perkelahian-perkelahian seperti yang sudah-sudah memang amat tidak baik dan membahayakan. Akan tetapi agaknya tidak demikian dengan Bouw-thicu. Dia malah mengumpulkan orang-orang pandai dari golongan hitam, suka main gertak dan main keras, dan tidak jarang jagoannya melakukan penculikan dan pembunuhan secara diam-diam, tidak terang-terangan seperti dulu. Akan tetapi, semua orang tahu belaka perbuatan siapakah pembunuhan-pembunuhan dan penculikan-penculikan yang terjadi akhir-akhir ini di daerah Sin-kiang. Dan lebih mencolok lagi, setelah memperoleh kuda hitam yang luar biasa itu, dia pun menerima seorang tokoh hitam seperti Lui Shi itu!"
"Hemm, bukankah Lui Shi itu hanya seorang penjinak kuda saja?"
Pancing Siang In.
"Penjinak kuda? Memang, akan tetapi ia menjinakkan kuda untuk dicurinya! Dan ia kejam bukan main. Tentu saja saya mengenal betul wanita itu, Toanio, karena dengan wanita itu saya pernah mempunyai hubungan baik. Ia pernah membantu kami di sini, akan tetapi karena kekejaman dan kecurangannya, terpaksa kami mengeluarkannya."
Akan tetapi sebagai seorang pendekar yang banyak pengalamannya dan selalu bersikap teliti dan waspada, Siang In tidak membiarkan dirinya terpikat oleh keterangan sepihak.
"Baiklah, kita lihat saja nanti, Thio-wangwe. Kuda itu adalah kuda kami, hal ini aku yakin sekali, karena tidak ada lain kuda betina yang serupa benar dengan Hek-liong-ma kami. Kalau memang benar seperti ceritamu bahwa wanita she Lui itu pencuri kuda dan ia telah berani mencuri kuda kami, ia akan tahu rasa! Dan kalau benar orang she Bouw itu sewenang-wenang dan jahat, kami juga sekalian akan memberi hajaran kepadanya! Akan tetapi, kuharap saja engkau tidak memberi keterangan yang palsu, Thio-wangwe."
Ucapan terakhir ini mengandung ancaman halus.Thio-wangwe tertawa dan mengangkat cawan araknya.
"Kalau aku berbohong, biarlah aku menerima hajaran dari Sam-wi yang gagah perkasa."
Setelah berkata demikian, dia menuangkan arak cawannya ke dalam perut melalui mulutnya. Tiga orang tamu itu mendapatkan dua kamar yang mewah di dalam rumah besar itu. Akan tetapi Siang In dan Ci Sian tidak mau tinggal diam.
Mereka tidak mau bertindak sembrono membela orang yang belum mereka ketahui benar bagaimana keadaannya. Mereka tidak mau hanya mendengarkan keterangan sepihak saja. Oleh karena itu, mereka berpamit dari Kian Bu untuk melakukan penyelidikan berdua. Keluarlah mereka dari rumah gedung itu, meninggalkan Kian Bu yang kelihatan tidak acuh dan yang hendak beritirahat di dalam kamarnya. Hari telah menjelang senja dan dua orang wanita itu mulai melakukan penyelidikan mereka dan bertanya-tanya kepada orang-orang di sepanjang perjalanan tentang Thio-wangwe. Dan hati mereka puas karena setiap orang, dari anak kecil sampai kakek-kakek yang mereka tanyai semua memberikan jawaban yang memuaskan, bahwa Thio-wangwe adalah serang hartawan yang dermawan dan tidak pernah bertindak sewenang-wenang.
Namun mereka masih belum puas dan pergilah mereka keluar kota ke dusun-dusun yang tanahnya menjadi milik hartawan ini. Kepada para buruh petani mereka bertanya dan melihat keadaan rumah tangga mereka. Memang, seperti biasa kaum tani di situ pun miskin, rumah mereka gubuk dan pakaian mereka sederhana, namun mereka itu sehat-sehat tanda tidak kurang makan dan wajah mereka juga gembira. Pada senja hari itu, anak-anak para petani bermain-main di pekarang luar dengan gembira, ini saja sudah menunjukkan bahwa kehidupan mereka cukup baik, tidak kekurangan makan dan tidak dicekam rasa takut akan hari depan. Setelah menerima keterangan yang membuktikan adanya dugaan mereka, kedua orang wanita ini merasa puas dan yakin bahwa mereka benar-benar membela orang yang memang patut dibela.
"Cici, sebaiknya kalau kita menyelidiki sekalian orang she Bouw itu."
Kata Ci Sian ketika Siang In mengajaknya kembali.
"Eh, beberapa kali kukatakan agar engkau menyebut Bibi kepadaku, Ci Sian. Usiamu baru tujuh belas tahun dan aku sudah tiga puluh empat tahun. Aku patut menjadi Bibimu."
"Aihh, engkau masih nampak begini muda, sungguh tidak patut dan tidak enak menyebut Bibi kepadamu, Enci Siang In"
Kata Ci Sian tertawa.
"Pula, engkau belum mempunyai anak, belum pantas disebut Bibi...."
Tiba-tiba wajah yang tadinya cerah dan berseri gembira itu menjadi muram, bahkan kata-kata yang mengandung kelakar dari Ci Sian itu seperti menusuk jantung dirasakan oleh Siang In sehingga pendekar wanita ini memejamkan matanya dan berdiri agak terhuyung. Ci Sian terkejut dan merangkulnya.
"Cici! Engkau kenapakah....?"
Dan terkejutlah Ci Sian karena orang yang dirangkulnya itu tiba-tiba saja menangis! Mereka berada di luar dusun, di tempat yang sunyi sehingga peristiwa itu tidak nampak oleh orang lain. Siang In tidak menjawab, melainkan terisak menangis di atas pundak Ci Sian. Sampai beberapa lama ia menangis, dan akhirnya ia dapat menguasai perasaannya.
"Maafkan, Ci Sian.... ah, baru sekarang aku dapat menangis, seolah-olah aku bertemu seorang adik, seorang saudara yang dapat kucurahkan kesedihanku.... aku.... aku sungguh lemah...."
"Ah, tidak mengapa, Cici. Anggaplah aku adikmu sendiri. Akan tetapi mengapakah engkau bersedih? Sungguh sukar untuk dipercaya, orang seperti engkau ini, isteri dari Pendekar Siluman Kecil Sakti dan tidak kekurangan apa-apa, dapat bersedih."
"Ci Sian, kata-katamu tadi bahwa aku.... aku belum mempunyai anak itulah yang menusuk perasaanku dan membongkar kesedihan yang sudah lama bertumpuk di dalam hatiku."
"Ohh.... kalau begitu maafkanlah aku, Cici, aku.... aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu...."
"Tidak mengapa, Adikku, tidak mengapa. Memang aku seorang wanita malang, seorang isteri yang bodoh. Engkau tahu, kami berdua, suamiku dan aku meninggalkan Pulau Es hanya karena kebodohanku inilah, karena kami tidak punya anak. Sudah belasan tahun menikah.... belum juga aku mempunyai anak. Aku sampai merasa malu sekali kepada kedua orang ibu mertuaku. Aku sudah membujuk suamiku agar dia mau mengambil selir, akan tetapi dia tidak mau. Akhirnya, kami berdua pergi, merantau sampai di tempat ini, hanya dengan maksud untuk dapat memperoleh keturunan."
"Kasihan engkau, Cici...., kalau saja aku dapat membantumu...."
"Tidak ada seorang pun di dunia ini dapat membantu kami, Adikku. Kecuali.... kalau engkau tahu di mana adanya ular naga hijau, karena katanya, hanya Jengliong-cu (Mustika Naga Hijau) saja yang dapat memberikan keturunan kepada suami-Isteri."
"Jeng-liong-cu....? Di mana kita bisa mendapatkan itu?"
Ci Sian bertanya heran.
"Kabar angin yang kami tangkap, katanya ular naga hijau itu berada di daerah ini, dan karena itulah kami tiba di tempat ini, Ci Sian. Ah, baru sekarang selama hidupku aku merasa kecewa dan sengsara!"
Nyonya yang masih cantik jelita itu menarik napas panjang dan bersama napasnya tedengar suara rintihan lirih. Ci Sian termenung, melamun dengan penuh keheranan. Melihat kenyataan itu ia menjadi bengong, dan termenung memikirkan nasibnya sendiri. Akhirnya ia pun mengeluarkan kata-kata bersama tarikan napas panjang.
"Aihhh....siapa kira...."
Siang In mencoba untuk memandang wajah gadis itu melalui keremangan senja.
"Apa maksudmu, Ci Sian?"
"Sungguh keadaan dan penjelasan Cici tadi membuat aku terheran-heran bukan main. Kukira hanya aku seorang saja yang dirundung duka, tadinya kusangka bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang lebih kebingungan dan berduka daripada aku. Apalagi Cici yang nampak hidup demikian bahagia, di samping suami yang mencinta, berkepandaian tinggi dan menjadi isteri dari putera majikan Pulau Es yang amat ternama. Setelah mendengar penuturanmu, Enci Siang In, aku menjadi semakin bingung. Apakah kehidupan ini hanya terisi oleh kekecewaan-kekecewaan belaka?"
Memang demikianlah pandangan setiap orang yang sedang dilanda kekecewaan dan kedukaan. Kecewa menimbulkan iba diri dan melahirkan duka. Dan orang yang sedang dilanda duka selalu berang-gapan bahwa di dunia ini, dialah yang paling sengsara, yang paling buruk nasibnya, paling malang, paling celaka.
Inilah sebabnya mengapa orang yang sedang dilanda duka merasa terhibur apabila melihat orang lain menderita duka, apalagi kalau penderitaan orang lain itu lebih besar daripada yang dideritanya sendiri. Orang yang dilanda duka selalu berusaha untuk menghindarkan rasa duka itu dengan berbagai macam hiburan berupa kesenangan maupun hiburan, baik hiburan berupa kesenangan maupun hiburan berupa pelarian diri kepada filsafat-filsafat atau petuah-petuah yang menghibur. Atau ada pula yang menyerah dan taluk membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka sampai menjadi putus asa, bunuh diri menjadi gila dan sebagainya. Namun, segala macam pelarian tidak mungkin membebaskan kita dari duka. Mengapa? Karena duka adalah kita sendiri. Duka adalah kita, yang ingin melarikan diri itu pula.
Duka tidak terpisah dari kita sendiri, takkan dapat kita tinggalkan, ke manapun kita melarikan diri. Jika kita menutupinya dengan berbagai hiburan, baik hiburan badaniah maupun batiniah, maka penutupan itu hanya sementara saja. Si duka masih ada, kadang-kadang menyelinap ke bawah sadar dan selalu menghantui kehidupan kita. Lalu bagaimana agar kita benar-benar terbebas dari pada duka? Terbebas dari pada kecewa? Tanpa menyerah dan taluk? Pertanyaan ini perlu kita ajukan kepada diri kita masing-masing, karena tanpa menyelidiki hal ini sedalam-dalamnya, kehidupan kita akan selalu penuh dengan kecewa dan duka sepanjang hidup, hanya dengan adanya kesenangan sekilas lintas sebagai selingan lemah saja. Kecewa bukanlah akibat dari peristiwa di luar diri, melainkan seuatu proses dari penilaian pikiran atau si aku.
Pikiran membentuk suatu gambaran tentang diri sendiri, yaitu si aku yang selalu menginginkan hal-hal yang menyenangkan. Keinginan-keinginan untuk senang ini kalau tidak tercapai akan menimbulkan kekecewaan. Keinginan-keinginan itu dapat juga dinamakan harapan-harapan berlangsungnya sesuatu yang telah terjadi. Pikiran atau gambaran si aku ini tak terpisahkan dari kenang-kenangan akan kesenangan yang menimbulkan ikatan kuat sekali. Si aku terikat erat dengan kesenangan, baik kesenangan badani maupun rohani, dan kalau ikatan itu putus, akan menimbulkan rasa sakit. Kalau kesenangan dijauhkan dari si aku, maka si aku merasa sakit, kecewa, dan duka. Lalu si aku pula yang menilai bahwa duka amat tidak enak, maka si aku pula yang berusaha melarikan diri dari kecewa dan duka itu, dengan berbagai macam hiburan lahir maupun batin.
Padahal, sang suka itu ya si aku itu juga, yang agar tidak ingin duka. Dengan begini, tercipta lagi suatu keinginan lain, yaitu ingin tidak duka! Betapa berbelit-belitnya pikiran ini bekerja, betapa licinnya. KITA akan menjadi permainannya, diombang-ambingkan oleh permainan pikiran yang membentuk si aku. Si aku selalu mengejar senang, selalu menjauhkan yang tidak enak. Mula-mula menginginkan kesenangan, lalu tidak tercapai, lalu kecewa dan duka, lalu menganggap kecewa dan duka tidak enak, lalu ingin lari dari itu pula, bukan lain karena ingin agar senang, agar terlepas dari keadaan yang tidak enak itu. Dan demikian seterusnya. Padahal, justeru keinginan untuk lari dari duka inilah yang memberi pupuk dan memperkuat adanya duka! Karena memperkuat si aku, menambah subur keinginan-keinginan si aku.
Habis bagaimana? Kalau tidak melarikan diri dari duka, kalau tidak mencari hiburan dari duka lalu apakah kita harus menerima begitu saja, membiarkan duka menenggelamkan kita? Sama sekali tidak demikian, karena sikap "menerima nasib"
Ini hanya akan mendatangkan kelemahan jiwa, membuat orang menjadi frustasi dan apatis, menjadi masa bodoh! ini mendatangkan kemalasan dan mengurangi semangat atau gairah hidup! Kalau datang kecewa? Kalau datang rasa duka? Pernahkah kita menghadapinya? Bukan membiarkan pikiran sibuk sendiri, memikirkan hal-hal yang menimbulkan, kecewa dan duka itu, melainkan menghadapi dan mengamati perasaan kecewa atau duka itu dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan tidak lari daripadanya? Beranikah kita mengamati diri sendiri ketika kecewa atau duka datang, mengamati tanpa penilaian baik atau buruk, tanpa keinginan melenyapkannya, melainkan hanya pengamatan saja yang ada?
Bukan si aku yang mengamati luka, karena kalau begitu, tentu akan timbul penilaian dan tanggapan dari si aku dan kita kembali terseret ke dalam iingkaran setan dari permainan si aku lagi. Yang ada hanya kewaspadaan saja, pengamatan penuh perhatian, tanpa pamrih apa pun melainkan hanya kewas-padaan. Maukah dan beranikah kita mencobanya? Mungkin hanya inilah rahasia pemecahannya, tanpa teori melainkan harus dihayati oleh diri masing-masing. Kini Ci Sian yang merenungkan ke-adaan dirinya, sudah tenggelam dalam renungan itu, tenggelam dalam kesedihannya sendiri, wajahnya lesu, pandang matanya layu, merenung ke tempat jauh tanpa melihat sesuatu kecuali isi lamunan dan kesenangannya sendiri saja. Sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya. Tangan Siang In.
"Adikku, Ci Sian, kenapakah engkau yang semuda ini dirundung duka? Ketika aku sebaya denganmu, hidup ini rasanya penuh kegembiraan bagiku, akan tetapi engkau yang muda remaja ini mengapa sudah dilanda duka?"
"Ah, Enci, aku sungguh bingung sekali...."
Kemudian, karena merasa betapa wanita isteri pendekar Siluman Kecil itu amat akrab kepadanya, bahkah telah membuka rahasia hatinya,
Ci Sian yang selama ditinggal Kam Hong merasa berduka dan bingung, kini seperti memperoleh tempat pencurahan isi hatinya. Dengan sedih ia menceritakan semua pengalamannya, semenjak ia diajak oleh kakeknya dan pertemuannya yang pertama kali dengan Kam Hong, sampai pengalamannya bersama Kam Hong yang amat berbahaya, sehingga akhirnya mereka berdua menemukan jenazah kuno yang mengandung rahasia ilmu silat sehingga mereka menjadi suheng dan sumoi. Kemudian tentang penyerbuan mereka berdua ke sarang Hek-i-mo, betapa mereka berdua mengobrak-abrik sarang gerombolan jahat itu. Betapa kemudian ia melawan Hek-i Mo-ong dan munculnya Sim Hong Bu yang membantunya.
"Dan pada saat itu, Kam-suheng telah pergi meninggalkan aku, Cici!. Tanpa ada alasan sama sekali, meninggalkan aku begitu saja sendirian di dunia ini...."
Ci Sian mengakhiri ceritanya dengan suara sedih.
"Dia tidak memberi tahu hendak ke mana dan di mana aku dapat bertemu dengan dia. Aku tidak mempunyai keluarga.... aku tidak mau lagi mengenal Ayahku.... dan aku tidak tahu harus pergi ke mana. Aku mencarinya, tapi aku pun tidak tahu harus mencari ke mana...."
"Hemm.... Kam Hong, meninggalkanmu setelah pemuda bernama Sim Hong Bu itu muncul?"
Tanya Siang In.
"Benar, Cici. Aku sendiri pun tidak tahu mengapa."
"Bagaimana keadaan Sim Hong Bu itu? Pemuda yang baikkah dia?"
"Dia seorang pemuda yang mewarisi ilmu dan pedang Koai-liong-kiam, ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan dia.... dia seorang pemuda yang gagah dan baik."
"Usianya sebaya denganmu?"
"Ya, begitulah, mungkin hanya selisih dua tiga tahun...."
"Dan Kam Hong? Berapa usianya?"
Siang In mengingat-ingat dan menjawab sendiri.
"Kalau tidak salah, dia itu sudah sebaya denganku, tentu sudah tiga puluh tahun lebih."
"Cici, mengapa engkau bertanya-tanya tentang usia?"
"Jawab dulu pertanyaanku, apakah engkau dan Kam Hong saling mencinta?"
"Tentu saja, kami adalah Suheng dan Sumoi, dan lebih dari itu, kami sudah banyak menghadapi banyak hal-hal yang hebat bersama, menghadapi maut dan kesengsaraan, ancaman bahaya...."
"Bukan begitu maksudku, mencinta sebagai seorang pria dan wanita."
Ditanya demikian, sampai lama Ci Sian menundukkan mukanya. Pertanyaan seperti ini memang pernah memasuki hatinya, akan tetapi setiap kali ia segera menghindarinya, karena merasa sukar menerima pertanyaan itu. Akan tetapi, karena pertanyaan itu keluar dari mulut orang lain, maka ia memikirkannya secara mendalam dan akhirnya ia menjawab sejujurnya.
"Entahlah, EnCi Siang In. Aku sendiri tidak tahu, karena kami tidak pernah menyatakannya dengan kata-kata. Akan tetapi, Kam-suheng amat baik kepadaku dan aku.... ah, setelah berpisah darinya, aku merasa betapa aku kehilangan dia, betapa hidupku kesepian dan tiada kegembiraan"
"Hemm, itu artinya engkau cinta padanya, Ci Sian. Dan aku yakin bahwa dia pun tentu jatuh cinta kepadamu."
"Tapi, kalau benar demikian, Cici, kenapa dia malah meninggalkan aku?"
"Yah, cinta memang kadang-kadang mendatangkan hal-hal yang aneh-aneh."
Kata Siang In yang merenung dan mengenangkan pengalaman-pengalamannya sendiri ketika ia bercinta dengan Suma Kian Bu yang kini menjadi suaminya.
"Kalau dia meninggalkanmu, hanya ada dua kemungkinan, Ci Sian. Pertama, karena dia cemburu...."
"Cemburu....? Dia, Kam-suheng cemburu....?"
Ci Sian berseru dengan pandang mata terbelalak keheranan.
"Mungkin sekali! Bukankah dia meninggalkanmu setelah munculnya pemuda gagah perkasa Sim Hong Bu itu? Mungkin dia melihat sesuatu antara engkau dan pemuda itu, atau barangkali menduga sesuatu...."
"Ah, jangan-jangan demikian adanya! Sim Hong Bu itu kutinggalkan karena dia.... dia menyatakan cintanya kepadaku!"
"Nah, itulah! Dia tentu melihat tanda-tanda bahwa pemuda yang lain itu jatuh cinta padamu dan merasa cemburu, mengira engkau juga tertarik kepada Sim Hong Bu itu."
"Akan tetapi, tidak mungkin Kam-suheng sama sekali tidak memiliki watak seperti itu! Dia seorang pendekar tulen, tidak mungkin sedangkal itu jalan pikiran atau perasaan hatinya!"
"Kalau tidak demikian, maka besar kemungkinan adalah karena hal yang kedua."
"Apakah itu, EnCi Siang In?"
"Karena dia jauh lebih tua darimu, sepatutnya menjadi pamanmu, maka mungkin saja dia sengaja mengundurkan diri setelah melihat bahwa engkau lebih pantas dengan pemuda Sim yang lebih muda dan yang sebaya denganmu itu. Mungkin dia merasa bahwa engkau lebih cocok dengan pemuda yang sebaya, dan melihat bahwa pemuda itu mencintamu, maka dia sengaja mundur. Banyak terdapat pendekar berhati mulia yang sengaja mau berkorban diri demi orang yang dicintanya."
"Ah, Kam-suheng....!"
Dan Ci Sian menangis! Hatinya terharu sekali karena ia pun kini melihat kemungkinan ini. Kini Siang In yang merangkul dara yang menangis itu, membiarkan Ci Sian menangis dan setelah agak reda tangis dara itu, ia menghibur,
"Sudahlah, Ci Sian. Jangan berduka, dan jangan putus-asa. Kalau memang dia mencintamu, tentu dia tidak akan membiarkan engkau begitu saja. Dan kalau memang engkau berjodoh padanya, tentu akan tiba saatnya engkau bertemu kembali dengannya. Agaknya memang orang yang jatuh cinta harus selalu mengalami banyak suka duka, seperti aku dahulu."
Akhirnya, setelah Ci Sian terhibur dan menghentikan tangisnya, dua orang wanita perkasa ini lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke utara untuk mendatangi rumah keluarga Bouw, yaitu tuan tanah yang memiliki daerah kekuasaan di sebelah utara dari wilayah kekuasaan Thio-thicu.
Batas tanah antara mereka itu ditandai dengan pagar kawat yang tinggi, akan tetapi tidak sukar bagi Ci Sian dan Siang In untuk melompati pagar dan memasuki wilayah kekuasaan Bouw-thicu. Mereka sebelumnya memang sudah menyelidiki tempat tinggal Bouw-thicu ini, maka kini dengan mudah mereka mengunjungi perkampungan Bouw-thicu yang cukup ramai, tidak kalah ramainya dengan perkampungan tempat tinggal Thio-thicu. Bagaikan bayangan burung-burung raksasa saja dua orang wanita ini berkelebatan di atas genteng-genteng rumah para penghuni perkampungan itu sampai akhirnya mereka tiba di atas wuwungan yang tinggi dari rumah berloteng milik Bouw-thicu. Tiba-tiba sekali Ci Sian memegang dengan Siang In dan berbisik.
"Ssttt....!"
Siang In kagum sekali akan ketajaman pendengaran dan penglihatan dara itu, dan cepat ia menengok.
Benar saja, dari arah barat nampak bayangan orang berkelebatan di atas genteng-genteng rumah orang, dan gerakannya memang cepat bukan main. Dan melihat bentuk tubuh bayangan itu, biarpun dari jauh sudah mudah diduga bahwa bayangan itu adalah seorang wanita. Mereka berdua cepat mendekam di balik wuwungan yang tinggi dan menanti. Dan memang dugaan mereka benar karena bayangan yang bertubuh ramping itu ternyata datang ke jurusan mereka, atau lebih tepat lagi ke jurusan rumah gedung bertingkat tempat tinggal Bouw-thicu. Dan melihat cara bayangan itu melompat dari genteng tingkat pertama ke atas genteng loteng, dapatlah dimengerti oleh dua orang pendekar wanita itu bahwa bayangan itu memiliki gin-kang yang cukup tinggi, bahkan ketika kaki bayangan itu hinggap di atas genteng loteng, sama sekali tidak terdengar jejak kakinya.
"Tentu ia malingnya...."
Bisik Ci Sian dan dara ini sudah hendak bergerak. Siang In merasakan gerakan ini dan cepat ia memegang lengan Ci Sian dan menggeleng kepala,
"Jangan...."
Ci Sian sadar akan kesembronoannya. Kalau ia bergerak, berarti menggagalkan segala-galanya, padahal, menurut percakapan antara suami istri pendekar itu ia mengerti bahwa mereka berdua itu bukan semata-mata ingin merampas kembali kuda dan menundukkan orang she Bouw, melainkan juga berusaha untuk mengatasi dan mendamaikan pertentangan antara para tuan tanah di daerah Sin-kiang itu. Maka ia mengangguk dan keduanya membiarkan bayangan itu menyelinap dan melayang turun di bagian belakang bangunan itu. Setelah memberi waktu beberapa lama dan keadaannya sunyi benar, barulah keduanya dengan hati-hati meloncat turun ke belakang bangunan, kemudian melalui taman bunga mereka berindap-indap memasuki bangunan dari tembok belakang yang mereka lompati.
Tak lama kemudian dua orang wanita sakti itu telah mengintai ke dalam sebuah ruangan belakang di gedung itu dan menemukan wanita yang tadi melayang masuk sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam. Dari percakapan itu, tahulah mereka bahwa pria tinggi besar itu bukan lain adalah Bouw-thicu, ditemani oleh empat orang pembantunya yang kesemuanya nampak garang dan bertenaga kuat, sedangkan wanita itu tentulah Lui Shi yang telah mereka dengar. Memang seorang wanita yang cantik, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun akan tetapi nampak masih cantik dengan muka dirias tebal, sikapnya genit, dan pakaiannya serba ringkas namun wanita ini pesolek sekali. Dan mendengar percakapan mereka, tahulah Siang In dan Ci Sian bahwa Lui Shi ini pun baru saja pulang dari penyelidikannya ke tempat tinggal Thio-thicu!
"Bagaimana, Nona Lui, benarkah berita angin itu bahwa orang she Thio itu memperoleh seekor kuda hebat yang dapat menyaingi kuda kita?"
Antara lain Bouw-thicu bertanya. Mendengar per-tanyaan ini, diam-diam Siang In dan Ci Sian kagum juga akan cara kerjanya para anak buah orang ini sehingga tentang kuda Hek-liong-ma yang akan membantu Thio-thicu dalam perlombaan, sudah didengar oleh orang she Bouw ini.
"Memang benar, Bouw-loya."
Jawab wanita yang masih disebut nona itu, yang menunjukkan bahwa wanita ini masih belum menikah.
"Akan tetapi Lo-ya tidak usah khawatir, karena biarpun kuda hitam mereka itu pun baik sekali, akan tetapi kuda itu hanyalah seekor kuda jantan. Maka dalam perlombaan, tidak mungkin kuda jantan itu mau melampaui kuda hitamku yang betina. Dan andaikata demikian pun, saya masih mempunyai akal untuk menundukkan kuda lawan itu agar jantan melanggar atau mendahuLui."
"Hemm, perlombaan kuda itu penting sekali, Nona Lui, dan bagaimanapun juga, pihak kita tidak boleh sekali-kali kalah. Kalau memang orang she Thio itu benar-benar menemukan kuda jempolan dan dalam perlombaan dapat mengalahkan kudamu, lalu bagaimana?"
"Jangan khawatir, saya mempunyai jampe untuk menahan kuda itu, dan kalau jampe itu gagal, masih ada jarum-jarum saya untuk merobohkannya kalau perlu agar kuda kita tidak terkalahkan."
Mendengar ini, Bauw-thicu tertawa girang.
"Bagus, bagus.... akalmu sungguh bagus sekali, Nona. Kalau kuda kita benar-benar menang, jangan khawatir, hadiahnya besar sekali untukmu!"
Terdengar mereka tertawa-tawa dan Siang In lalu menarik lengan Ci Sian untuk meninggalkan tempat itu. Dengan hati-hati mereka pergi dan meloncat naik ke atas genteng, lalu mempergunakan ilmu berlari cepat untuk kembali, ke perkam-pungan Thio-thicu.
"Si Genit itu! Ingin kutampar mukanya yang dipulas itu!"
Di tengah jalan Ci Sian mengomel.
"Ia mau menjampe kuda dan menyerang dengan jarum! Si keparat!"
"Kita harus sabar dan menanti sampai perlombaan diadakan. Tentang jampe, jangan khawatir, Hek-liong-ma tentu lebih taat kepada suamiku, dan tentang serangan jarumnya...."
"Serahkan saja jarum-jarum itu kepadaku, EnCi Siang In! Kalau benar-benar ia berani menyerang dengan jarum, awas Si Genit itu!"
Ci Sian mengepal tinju. Ketika dua orang pendekar wanita ini tiba kembali di rumah Thio-thicu, ter-nyata Suma Kian Bu masih menanti di luar kamar dan pendekar ini dengan tersenyum mendengarkan cerita isterinya tentang hasil penyelidikannya. Malam itu mereka mengaso dan tidak terjadi hal-hal yang luar biasa. Lapangan rumput itu amat luas dan sepotong tanah ini merupakan daerah milik pemerintah, jadi merupakan daerah netral bagi para tuan tanah yang pada pagi hari itu berkumpul di situ. Suasana amat meriah, seperti dalam pesta. Dan memang pesta itu diadakan tiap tahun dan diprakarsai oleh pejabat pemerintah di Sin-kiang, dalam usahanya untuk mengalihkan permusuhan antara para tuan tanah itu menjadi semacam perlombaan yang sehat.
Dan yang populer adalah lumba kuda itulah. Pembesar yang paling tinggi, yaitu semacam gubernur atau kepala Propinsi Sin-kiang, sudah hadir bersama para pembesar bawahannya yang lain, dan sepasukan tentara pengawal berbaris rapi di seputar panggung kehormatan yang dibangun untuk para pembesar ini, di luar arena perlombaan kuda. Dari tempat yang tinggi di panggung ini, para pembesar dapat melihat pemandangan yang indah dan aneh, yaitu kelompok-kelompok orang yang mudah dibedakan dari atas dengan melihat warna tenda, pakaian pasukan pengawal, dan bendera mereka. Setiap orang tuan tanah datang bukan hanya membawa kuda jagoan mereka, akan tetapi juga para pembantunya dan sepasukan pengawal masing-masing yang berpakaian seragam.
Bermacam-macam warna pakaian pasukan pengawal ini, akan tetapi semuanya berbeda! Dan lucunya, tenda yang mereka dirikan, untuk Sang Tuan Tanah dan keluarganya tentu saja, agar terlindung dari panas dan dapat menyakasikan balapan itu dengan santai, tenda-tenda itu pun tidak ada yang sama warnanya! Karena perbedaan warna inilah maka pemandangan dari atas panggung para pembesar itu nampak indah dan aneh. Tenda-tenda para tuan tanah itu didirikan di sekitar luar arena perlombaan yang amat luas itu, masing-masing memilih tempat yang agak tinggi agar mudah
(Lanjut ke Jilid 36)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 36
mengikuti perlumbaan kuda. Rombongan Thio-thicu berada di tempat yang tidak jauh dari panggung, tempat para pembesar duduk. Seperti para tuan tanah yang lain, juga di tempat ini didirikan sebuah tenda besar tempat Thio-thicu berlindung dari sengatan matahari siang nanti.
Akan tetapi tidak seperti yang lain, Thio-thicu tidak membawa pasukan pengawal, melainkan hanya beberapa orang pengawal yang juga bertindak sebagai pelayan. Bahkan Thio-thicu tidak membawa keluarganya. Pihak tuan tanah Thio ini hanya membawa seekor kuda saja, yang ditutupi selimut kuda sehingga tidak nampak jelas dari luar apa warna kuda itu dan bagaimana macamnya karena muka kuda itu pun tertutup selimut. Suma Kian Bu dan dua orang pendekar wanita itu datang bersama Thio-thicu. Karena ia akan menunggang Hek-liong-ma ikut berlomba, Ci Sian mengenakan pakaian ringkas warna kuning, rambutnya diikat dengan kain sutera merah. Akan tetapi ia sudah memberitahu kepada Thio-thicu bahwa ia hanya akan keluar bersama kudanya kalau semua peserta sudah berkumpul.
Sejak tadi, banyak sudah peserta yang memasuki gelanggang, menunggangi kuda masing-masing dan menjalankan kuda mereka berkeliling sebagai pemanasan dan juga untuk berlagak. Setiap kuda dengan penunggangnya mempunyai pendukung sendiri-sendiri, tentu saja kawan-kawannya para pembantu majikan masing-masing. Kali ini, yang mengikuti perlombaan hanya ada sembilan orang, thicu, sungguhpun hampir semua thicu yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu datang untuk menyaksikan perlombaan itu, juga untuk bertaruh dengan taruhan-taruhan yang besar sekali. Hal ini adalah karena para thicu yang tanggung-tanggung saja sudah meng-undurkan diri, tidak berani mengikuti perlombaan, apalagi setelah mendengar akan adanya kuda hitam milik Bouw-thicu yang dapat lari seperti terbang itu.
Yang mengikuti perlombaan hanyalah para thicu yang tergolong besar, dalam arti luas daerahnya dan kekayaannya. Akan tetapi, semua orang sudah mendengar bahwa yang agaknya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu hanyalah Thio-thicu. Menurut kabar angin, Thio-thicu memiliki kuda "simpanan"
Yang belum pernah dilihat orang, akan tetapi yang kabarnya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu itu. Maka,tujuan orang-orang di situ, termasuk para pembesar, hanyalah kepada dua orang tuan tanah ini. Dan terjadilah taruhan-taruhan besar di antara para thicu yang tidak ikut berlumba, bahkan yang ikut berlumba dengan menurunkan seekor kuda pun ikut berlumba bahkan yang ikut berlumba dengan menurunkan seekor kuda pun ikut berlomba antara dua thicu terkemuka ini.
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sudah ada tujuh ekor kuda yang memasuki arena. Tujuh ekor kuda pilihan yang besar dan kuat, dengan penunggangnya yang semuanya adalah pria-pria muda yang tubuhnya kerempeng. Memang sebaiknya kalau penunggang kuda balap dipilih orang bertubuh kecil dan ringan, demikian pendapat para pemilik kuda balap. Tujuh ekor kuda itu dengan para penunggangnya, berjalan dengan gagah berputaran di sekitar tempat permulaan, atau garis start di mana telah berkumpul pula para petugas yang mengatur perlumbaan. Di tempat pemberangkatan itu telah dipasang sembilan tempat kuda, agar para kuda itu dapat bersiap dengan tenang dan baru bergerak kalau aba-aba dan pintu tempat itu sudah diberikan dan dibuka.
Akan tetapi karena para pengikut belum lengkap, maka para penunggang kuda belum memasuki tempat masing-masing, masih memperagakan kebolehan mereka menunggang kuda dan keindahan kuda tunggangan mereka. Agaknya Lui Shi, wanita pembantu Bouw-thicu itu memang sengaja menanti dan hendak melihat seperti apa macamnya kuda yang akan diajukan oleh Thio-thicu, oleh karena itu, ia pun menanti dan belum juga keluar bersama kudanya. Akhirnya setelah menanti dan belum juga kuda jagoan Thio-thicu muncul, dan para penonton yang sudah tidak sabar lagi berteriak-teriak menuntut agar Bouw-thicu yang sudah dinanti-nanti orang itu suka mengeluarkan kudanya, Bouw-thicu menyuruh Lui Shi untuk memasuki arena.
Maka muncullah wanita cantik ini di atas kudanya yang hitam, dengan amat gagahnya memasuki arena itu. Kuda hitamnya memang amat indah. Besar dan bertubuh kuat sekali, bulunya hitam mengkilap seperti dicat, bulu surinya riap-riapan amat rapinya dan bulu ekornya juga subur dan indah. Wanita itu sendiri nampak cantik dan gagah, perkasa, apalagi karena wajahnya yang dirias tebal, dari jauh nampak amat cantik, jelita. Pakaiannya dari sutera putih dan merah muda itu serasi benar dengan bulu kuda yang hitam kelam, maka ketika kudanya memasuki arena, dan angin membuat bulu suri dan ekor kuda juga baju sutera putih dan merah muda itu berkibar-kibar, para penonton menyambutnya dengan sorak-sorai dan tepuk tangan.
Pada pagi hari itu, boleh dibilang seluruh penduduk di sekitar daerah itu berkumpul di tempat itu, terutama kaum prianya. Soraksoral yang menggegap-gempita menyambut munculnya Lui Shi ini membuat kuda hitam yang ditungganginya terkejut dan berdiri di atas dua kaki belakang. Semua orang terkejut dan khawatir, akan tetapi Lui Shi dapat duduk di atas panggung kuda yang berdiri itu dengan enaknya, bahkan mengangkat tangan kiri melambai-lambai ke segala jurusan dengan gaya memikat. Ketika kuda hitam itu sudah menurunkan kembali kedua kaki depannya, tiba-tiba wanita itu sendiri meloncat dan tubuhnya yang tadinya duduk itu kini berdiri di atas punggung kuda, dan ia melarikan kudanya berputar-putar di situ seperti seorang akrobat pemain sirkus kuda yang mahir.
Kembali para penonton menyambutnya dengan tepuk sorak gembira. Lui Shi sengaja lewat di depan panggung, memberi hormat kepada para pembesar lalu lewat pula di depan rombongan Thio-thicu dengan lagak mengejek. Ketika Lui Shi lewat di situ, Suma Kian Bu dan Siang ln sengaja tidak memperlihatkan diri. Ci Sian melihat bahwa calon lawannya sudah muncul, lalu membuka penutup dan pelindung tubuh kudanya, meloncat ke atas punggung kuda itu dan setelah mengangguk kepada Siang In dan Kian Bu, ia pun lalu menggerakkan kudanya memasuki arena perlumbaan. Semua penonton memang sudah sejak tadi menanti munculnya kuda dari Thio-thicu, terutama mereka yang berpihak kepada tuan tanah ini dan telah mempertaruhkan banyak uang untuk kuda Thio-thicu.
Kini, melihat munculnya seekor kuda hitam yang serupa benar dengan kuda hitam milik Bouw-thicu, hanya bedanya kuda hitam ini jantan sedangkan kuda hitam milih Bouw-thicu betina, semua orang terheran-heran. Apalagi ketika melihat bahwa yang menunggang kuda hitam itu adalah seorang dara remaja yang berpakaian serba kuning, seorang dara yang biarpun tidak memakai riasan muka seperti Lui Shi akan tetapi yang memiliki kecantikan seperti bidadari dan sikapnya amat gagah, pecahlah ledakan sorak-sorai dan tepuk tangan. Semua orang memang sudah mendengar berita angin bahwa Thio-thicu juga telah mendapatkan seekor kuda pilihan yang kabarnya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu. Akan te-tapi tidak ada yang mengira bahwa kuda itu pun adalah seekor kuda hitam yang sama benar, bahkan agak lebih tinggi dibandingkan dengan kuda milik Bouw-thicu.
Dan yang membuat mereka gembira dan terheran-heran karena sama sekali lebih tidak mereka sangka lagi adalah bahwa penunggangnya juga seorang wanita, bahkan seorang dara remaja yang demikian cantik dan gagahnya! Biarpun dari jauh Lui Shi nampak cantik sekali, akan tetapi semua orang tahu bahwa kecantikan wanita yang lebih tua itu banyak dibantu oleh bedak dan gincu, sedangkan kecantikan dara remaja itu adalah kecantikan aseli. Maka, kenyataan bahwa kuda kedua orang tuan yang saling bersaing itu serupa, dan juga penunggangnya sama wanita cantik, tentu saja para penonton menjadi gembira sekali dan suapana menjadi tegang, apalagi mereka yang bertaruh. Sibuklah mereka ini untuk menambah atau merobah taruhan mereka setelah kedua "jago"
Itu keluar. Sementara itu, melaLui wakil masing-masing, terjadi pertaruhan yang luar biasa antara Bouw-thicu dan Thio-thicu.
Mereka itu saling mempertaruhkan tanah di perbatasan antara wilayah mereka, tanah yang luas lebih dari separoh milik mereka, masih ditambah lagi dengan jumlah perak dan emas yang membuat salah satu di antara mereka rudin kalau kalah! Dan pertaruhan besar ini disyahkan dan disaksikan oleh kepala daerah sendiri! Ci Sian tidak berlagak seperti yang diperlihatkan Lui Shi tadi. Akan tetapi tanpa berlagak sekalipun dara ini sudah nampak gagah sekali. Hek-liong-ma berlari congkiang dan Ci Sian langsung melarikan kudanya ke dalam tempat berkotak yang diperuntukkan para pembalapitu. Ia membawa kudanya memasuki tempat yang bertuliskan huruf Thio. Sementara itu, semua kuda yang sudah memasuki kotak masing-masing. Karena para petugas perlumbaan sudah mengibarkan bendera, pertanda bahwa perlumbaan akan dimulai dan semua kuda harus bersiap-siap di dalam kotak masing-masing.
Semua pembalap memandang ke arah petugas yang memegang sebuah bendera merah dan yang berdiri di tempat yang agak tinggi. Petugas inilah yang akan memberi tanda dimulainya balap kuda itu. Kalau bendera yang diangkatnya tinggi itu sudah dikelebatkan turun, itulah tandanya. Dan Si Petugas, itu pun masih memegang tangkai bendera dengan kedua tangannya dan dia sejak tadi memandang ke atas panggung, ke arah kepala daerah. Karena kalau para pembalap itu menanti tanda dari dia, maka diapun menanti tanda dari pembesar itu. Hanya kepala daerah saja yang berhak memberi tanda bahwa perlumbaan boleh dimulai. Agaknya kepala daerah itu sedang menerima laporan-laporan dari para petugas dan penyelidikannya bahwa segala sesuatunya berjalan beres, tidak ada apa apa yang mencurigakan dan tidak ada permainan curang dilakukan orang dalam perlumbaan itu.
Maka, setelah merasa yakin bahwa tidak ada hal yang patut dicurigai, kepala daerah itu lalu bangkit dari tempat duduknya, lalu mengangkat tangan ke kanan ke atas dan menggerakkan tangan itu tiba-tiba ke bawah. inilah tanda bahwa perlumbaan boleh dimulai, yang merupakan isyarat bagi Si Petugas pemegang bendera merah. Dan semua mata penonton hampir tak pernah berkedip memandang ke arah kotak-kotak itu, menanti dengan hati berdebar saat dimulainya perlumbaan yang menegangkan hati itu, terutama yang akan terjadi di antara dua penunggang kuda wanita itu. Akan tetapi, di dalam ketegangan ini ada saja penonton yang berkelakar mengatakan bahwa jangan-jangan yang dinanti-nanti dengan tegang, yaitu dua orang pembalap wanita itu, ternyata akan menjadi pemenang dari belakang!
"Bagaimanapun juga, mereka hanyalah wanita-wanita!"
Tambahnya. Kelakar ini mengurangi ketegangan dan terdengar suara ketawa. Bagaimanapun juga, kelakar itu masuk di akal dan bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi seperti yang diramalkan oleh orang itu. Dan betapa akan lucunyakalau kedua penunggang kuda wanita itu, yang kini dikagumi dan diadakan pusat pertaruhan yang amat ramai, di akhir perlumbaan itu akan menjadi juara dari belakang, yaitu nomor satu dan nomor dua paling akhir! Begitu kepala daerah itu menggerakkan tangannya, petugas yang memegang bendera merah pun berseru dengan suara nyaring, suara yang sudah dinanti-nanti oleh para peserta perlumbaan.
"Perlombaan dimulaiiiii!"
Dan bendera merah itu pun berkelebat turun dari atas. Para pembalap itu menggebrak kuda masing-masing, pada saat para petugas menarik palang yang menutup kotak-kotak itu dan mulailah terdengar derap kaki kuda yang diiringi tepuk tangan dan sorak-sorai para penonton. Binatang-binatang itu seperti mendapatkan semangat tambahan, atau memang ketakutan mendengar sorak-sorai itu dan mereka pun lari semakin kencang. Menurut peraturan perlumbaan, para pembalap harus mengelilingi arena balap itu sebanyak tiga kali putaran,
Dan setelah memutar lapangan itu tiga kali, lalu membelok ke depan panggung para pembesar di mana telah disediakan seikat bunga dengan pita merah yang digantungkan. Peserta yang paling dulu meraih dan mengambil seikat bunga indah yang dinyatakan sebagai pemenang pertama. Ada pula di situ digantungkan ikatan bunga untuk diambil oleh pemenang ke dua dan ke tiga. Dan di sepanjang arena perlumbaan itu, di tengah jalan diadakan rintangan-rintangan seperti pagar dan parit yang harus dilompati oleh kuda peserta. Jadi, yang diperlumbakan bukan hanya kecepatan, melainkan juga ketangkasan dan kemahiran si penunggang kuda. Pada tengah putaran pertama, sembilan ekor kuda itu masih kelihatan sama cepatnya, mereka lari kencang berdampingan seolah-olah mereka itu bersepakat untuk lari bersama, tidak saling mendahuLui.
Akan tetapi begitu mereka tiba di rintangan-rintangan di mana mereka harus mengerahkan kekuatan kaki dan kemahiran penunggang kuda masing-masing untuk melompat agar tidak sampai tersandung pagar atau jatuh ke dalam parit lumpur, mulailah nampak keunggulan Lui Shi Wanita ini mengeluarkan teriakan melengking dan agaknya ini merupakan tanda bagi kuda hitamnya untuk meloncati parit dengan loncatan yang amat indah dan tinggi, jauh melampaui para saingannya dan ketika tiba di seberang parit, kuda itu lalu lari membalap dengan cepat sekali seolah-olah keempat kakinya tidak lagi menyentuh bumi! Sorak-sorai meledak dari para penonton di luar arena balap itu, terutama sekali dari anak buah Bouw-thicu dan dari mereka yang berpihak dan bertaruh atas kuda hitam milik Bouw-thicu.
Dan seolah-olah didorong oleh suara sorak-sorai ini, kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi makin membalap sehingga jauh meninggalkan para saingannya. Sedangkan Hek-liang-ma yang ditunggangi Ci Sian masih bersama dengan para pembalap lain, hanya berada paling depan saja. Makin cepat juga kuda hitam Lui Shi meluncur sehingga ketika putaran pertama habis, ia telah meninggalkan para lawan sejauh hampir seperempat putaran! Tentu saja para penonton menjadi gegap-gempita, bersorak-sorak dan mencemooh kuda lain, terutama Ci Sian yang tadinya diharapkan akan dapat mengimbangi kecepatan kuda milik Bouw-thicu itu. Hal ini membuat Lui Shi timbul kesombongannya dan mulailah ia berlagak. Ia berloncatan di atas punggung kudanya, berjungkir-balik, berjongkok dan menari-nari di atas punggung kudanya yang berlari kencang itu.
Memang harus diakui bahwa wanita ini pandai sekali menunggang kuda. Berdiri di atas punggung kudanya yang berlari kencang itu agaknya bagi wanita itu tiada bedanya dengan berdiri di atas tanah saja! Para penonton tentu saja menjadi semakin gembira, ada yang tertawa dan bertepuk tangan riuh, bahkan mereka yang berpihak kepada kuda lain pun mau tidak mau harus mengagumi kepandaian wanita itu dan kecepatan lari kuda hitam yang ditungganginya. Mereka semua tahu bahwa apa yang dipertontonkan wanita itu bukanlah main-main, berbeda dengan pertunjukan komedi kuda di mana kudanya tidak berlari sekencang itu dan bukan sedang dalam suatu perlumbaan besar. Sekali saja salah perhitungan dan wanita itu terjatuh dari punggung kuda, akibatnya maut! Thio-thicu memandang semua itu dan wajahnya berobah agak lesu.
Dia adalah seorang yang sudah sering mengadakan perlombaan kuda dan setelah melihat betapa dalam putaran pertama, jadi sepertiga jarak perlumbaan, pihak musuh sudah mendahului dengan seperempat putaran, harapannya sudah menipis. Tak mungkin ada kuda yang akan dapat menyusul ketinggalan sejauh itu. Dan diam-diam dia pun harus mengakui bahwa kuda hitam milik orang she Bouw itu memang luar biasa sekali. Belum pernah dia melihat ada kuda dapat berlari secepat itu, juga belum pernah dia melihat penunggang kuda sepandai wanita yang bekerja untuk lawan itu. Maka dia pun menoleh ke arah Suma Kian Bu dan Teng Siang In yang duduk di sebelah kirinya dan dia terheran-heran. Suami isteri pendekar ini nampak tenang-tenang saja! Hal ini membuat dia penasaran, maka dia pun tak dapat menahan hatinya bertanya kepada Siang In yang duduknya paling dekat dengannya,
"Bagaimana pendapat Toanio? Kuda kita agaknya akan kalah...."
Betapa herannya hati tuan tanah itu ketika mendengar jawaban pendekar wanita itu dengan suara tenang,
"Ia tidak akan kalah, Adik Ci Sian adalah seorang penunggang kuda yang baik dan mencinta kudanya. Ia tidak mau menguras tenaga kudanya, melainkan menanti saat baik. Lihatlah....!"
Tuan tanah itu menengok, apalagi karena tepat pada saat itu terdengar sorak-sorai riuh-rendah, dan tepuk tangan gegap-gempita. Ketika dia menoleh ke arah perlombaan, wajahnya segera berobah, kalau tadinya lesu kini menjadi berseri-seri dan saking lupa diri dia sampai bangkit berdiri dari tempat duduknya. Dia melihat kuda hitam yang ditunggangi Ci Sian mulai "terbang"! ya, memang lebih pantas disebut terbang karena kuda hitam itu berlompatan atau berlari seperti terbang saja, meninggalkan kelompok teman-temannya yang tadinya tertinggal jauh oleh kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi!
Lui Shi tadinya masih enak-enakan, masih mengira bahwa semua tepuk sorak itu adalah untuknya. Memang ia sudah yakin akan kemenangannya dan memandang rendah kepada semua lawannya. Bukankah ia sudah menang seperempat putaran dan dua putaran lagi ia akan meninggalkan mereka lebih jauh lagi! Akan tetapi ketika ia iseng-iseng menoleh ke arah panggung dan melihat betapa rombongan Thio-thicu juga bersorak-sorak, bahkan Thio-thicu sendiri yang gendut itu bangkit berdiri dan berjingkrak-jingkrak, ia terkejut dan heran sekali. Cepat Lui Shi menoleh dan ketika ia melihat seekor kuda hitam meluncur cepat sekali dari belakang, tahulah ia bahwa kuda hitam yang ditunggangi dara remaja itu, milik Thio-thicu, telah mulai berusaha untuk mengejar dan menyusulnya!
"Setan!"
Ia memaki dan kalau tadinya ia enak-enakan jongkok di atas punggung kudanya, kini ia turun lagi dan duduk di atas punggung, lalu membedal kudanya agar berlari lebih cepat lagi. Kuda hitam tunggangannya itu bukan lain adalah kuda hitam milik suami isteri dari Pulau Es itu, dan memiliki ketangkasan yang seimbang dengan Hek-liong-ma. Maka begitu dibedal, kuda ini meringkik dan meluncur ke depan lebih cepat lagi. Terjadilah kejar-mengejar antara dua ekor kuda hitam ini. Kejar-mengejar dalam putaran yang kedua dan ketika menghadapi rintangan, mereka berlompatan dengan amat cekatan.
Karena kuda hitam Lui Shi dibedal sekuatnya, maka kembali Hek-liong-ma tidak dapat menyusulnya dan jarak di antara mereka masih cukup jauh, sungguhpun Hek-liong-ma juga sudah jauh sekali meninggalkan para lawan yang lain! Dan ketika putaran kedua habis, jarak antara mereka masih ada sedikitnya lima puluh meter! Tentu saja kejar-kejaran ini membuat para penonton panas dingin rasanya, apalagi di pihak Bouw-thicu dan Thio-thicu. Mereka semua dari kedua rombongan ini, sudah bangkit berdiri dan tidak ada yang tidak menggerakkan kaki tangan dan mulut mereka untuk memberi dorongan semangat. Seolah-olah nampak semangat mereka beterbangan ke arah dua kuda jagoan masing-masing dan semangat itu ikut mendorong pantat kuda agar lebih cepat lagi! Tinggal satu putaran lagi dan di sinilah letak, keuntungan Ci Sian.
Kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi telah lebih dulu diperas tenaganya, dipaksa berlari sekencangnya dan pada putarsn terakhir ini, nampak betapa kuda itu menjadi lemah. Mulutnya mulai berbuih dan hidungnya mendengus-dengus, tanda bahwa kuda itu mulai kelelahan. Tidak demikian dengan Hek-liong-ma yang kelihatan semakin gembira untuk mengejar kuda di depan itu. Lomba itu kini seolah-olah hanya dilakukan oleh dua ekor kuda hitam itu. Yang lain-lain sudah tidak masuk hitungan lagi. Bahkan para thicu yang memiliki kuda lain itu sama sekali tidak lagi memperhatikan kuda mereka sendiri yang jauh tertinggal di belakang, melainkan menujukan perhatian mereka kepada dua ekor kuda yang berrlari secepat terbang itu. Dan para petaruh mulai berteriak-teriak untuk menambah taruhan mereka. Kini, lambat namun jelas sekali, Hek-liong-ma mulai dapat mengurangi jaraknya dari kuda hitam di depan.
Dan Lui Shi yang sejak tadi sering menoleh ke belakang, melihat pula akan hal ini. Telinganya dapat menangkap derap kaki kuda di belakangnya itu, yang merupakan suara seperti ancaman setan, makin lama semakin jelas. Mereka berdua tiba di tempat di mana ada rintangan-rintangan pagar dan parit dan mulailah Hek-liong-ma memperlihatkan ketangkasannya. Lompatan demi lompatan dilakukannya dan perlahan-lahan kuda ini mulai dapat menyusul kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi! Ketika semua rintangan dapat dilompati oleh dua ekor kuda itu, kini dua ekor kuda itu sudah hampir sejajar, dan Hek-liong-ma hanya kalah setengah badan saja! Kini Lui Shi dapat melihat wajah Ci Sian yang tersenyum tenang, wajah yang menimbulkan benci dan iri dalam hati Lui Shi. Tiba-tiba Lui Shi mengeluarkan suara nyaring yang bunyinya seperti ring-kikan kuda,
"Hiiii-yehh.... hiii-yehhh....!"
Dan akibatnya memang hebat. Hek-liong-ma mengurangi kecepatan gerakan kakinya dan tiba di belakang kuda hitam betina itu! Mereka kini sudah melalui separuh dari putaran terakhir! Ci Sian terkejut sekali dan ia teringat bahwa wanita ini adalah seorang penjinak kuda. Tentu teriakannya tadi merupakan teriakan yang khas, yang merupakan bahasa kuda yang agaknya menahan Hek-liong-ma! Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara lain di dekat mereka. Suara ini seolah-olah berada dekat sekali dengan dua orang wanita itu, dan seperti suara setan yang tidak nampak.
"Hek-liong-ma.... ckk, ckk.... hyaaakkk....!"
Mendengar suara ini, Hek-liong-ma tiba-tiba meloncat ke depan dan dengan beberapa kali loncatan saja kuda ini sudah dapat menyamai lagi sehingga lari berendeng dengan kuda hitam! Penonton seperti gila, berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan menyaksikan peristiwa ini, kejar-mengejar yang mendebarkan dan menegangkan hati ini. Ada beberapa orang petaruh yang jantungnya lemah sudah jatuh pingsan di tempat dia berdiri! Melihat ini, Lui Shi terkejut bukan main dan beberapa kali ia berusaha untuk menguasai Hek-liong-ma dengan teriakan-teriakan aneh. Akan tetapi selalu ada suara lain yang menentangnya dan agaknya Hek-liong-ma lebih taat kepada suara tanpa rupa ini.
Diam-diam Ci Sian kagum bukan main dan tahulah ia bahwa suara itu tentulah suara Pendekar Siluman Kecil yang mempergunakan khi-kang yang amat kuat, mengirim suara dari jauh untuk menguasai Hek-liong-ma. Melihat betapa Hek-liong-ma kini malah telah menang setengah badan dibandingkan dengan kudanya, Lui Shi marah bukan main tangan kirinya mengambil sesuatu dari balik bajunya dan tangan itu bergerak. Sinar lembut menyambar ke arah belakang kuda Hek-liong-ma. Akan tetapi, sejak tadi Ci Sian tidak pernah lengah. Ia tahu akan kecurangan lawan, maka sejak tadi pun ia sudah bersiap. Melihat tangan kiri lawan merogoh saku saja ia sudah curiga, maka begitu tangan kiri itu bergerak dan jarum-jarum meluncur ke arah belakang tubuh Hek-liong-ma, cepat dara ini mencondongkan tubuhnya ke belakang, dengan tangan kiri ia mengebut dan mengerahkan tenaga khi-kang sehingga jarum-jarum itu runtuh,
Jodoh Rajawali Eps 12 Jodoh Rajawali Eps 1 Jodoh Rajawali Eps 1