Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 52


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 52



Kata Hong Bu, mukanya pucat dan dia menundukkan mukanya.

   "Aku sudah mengatakan urusan pertama yang hendak kusampaikan, yaitu pinangan dan aku telah ditolak, bukan salah siapa-siapa melainkan salahku sendiri yang tidak tahu diri...."

   "Sim Hong Bu, setiap pinangan tentu mempunyai dua macam jawaban, diterima atau ditolak, hal itu wajar saja kukira. Dan urusan jodoh adalah urusan hati dua orang yang bersangkutan, maka engkau agak terburu-buru kukira, sebelum melihat lebih dulu bagaimana keadaan hati orang lain dalam urusan ini. Betapapun, semua sudah terlanjur dan aku kagum akan kejujuranmu, juga aku ikut menyesal atas kegagalanmu. Lalu ada sebuah soal lagi yang hendak kau bicarakan, apakah itu, Saudara Sim?"

   "Maafkan, Kam-taihiap. Engkau selalu amat bijaksana dan gagah, sejak dahulu aku kagum sekali, dan terima kasih atas hiburanmu tadi. Memang salahku sendiri maka urusan pertama aku tidak berhasil. Maka biarlah sekarang kusampaikan urusan ke dua kepadamu, Taihiap. Bukan lain aku mencarimu untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh guru-guruku, yaitu untuk menentukan mana yang lebih unggul antara Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas. Kuharap sekali ini engkau tidak berlaku kepalang tanggung, Kam-taihiap. Aku mohon petunjukmu!"

   Setelah berkata demikian, Sim Hong Bu yang wajahnya masih pucat dan sepasang matanya masih suram itu mencabut pedang Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar pedang biru menyilaukan mata.

   "Kau menantang....?"

   Ci Sian berseru, akan tetapi Kam Hong sudah memegang lengannya dan berkata dengan suara yang lembut akan tetapi mengandung wibawa.

   "Sumoi, serahkan urusan ini kepadaku. Akulah yang dahulu mengalahkan keluarga Cu dan menimbulkan rasa penasaran ini."

   Kemudian pendekar ini melangkah maju menghadapi Sim Hong Bu sambil berkata,

   "Baiklah, Sim Hong Bu. Kalau engkau berkeras hendak memenuhi pesan gurumu yang hanya terdorong oleh rasa penasaran di dalam hatinya, aku tidak akan mengecewakan hatinya. Akan tetapi, apakah engkau menyadari bahwa permusuhan yang ditanam oleh pihak keluarga Cu ini sungguh tidak bijaksana? Di antara kita sesungguhnya tidak ada permusuhan apapun juga. Dahulu, nenek moyangku secara kebetulan memperoleh pusaka Suling Emas. Kemudian aku sebagai turunannya yang terakhir, secara kebetulan pula mewarisi Ilmu Suling Emas. Bukankah itu sudah jodoh namanya? Biarpun penciptanya adalah nenek moyang keluarga Cu, apa salahnya kalau terjatuh kepada orang lain? Bukankah kini Ilmu Pedang Naga Siluman yang berasal dari keluarga Cu juga diwarisi oleh seorang she Sim? Saudara Sim Hong Bu, hendaknya engkau menyadari hal itu."

   Tentu saja Hong Bu tahu akan hal itu dan memang tadinya dia sudah lemah semangat untuk menantang Kam Hong mengadu ilmu, apalagi semenjak dia bertemu dan mendengar nasihat dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, setelah dia gagal dalam urusan cintanya terhadap Ci Sian, setelah dia patah hati, dia tidak peduli lagi dan biarlah kalau urusan kebaktian yang keliru terhadap gurunya ini gagal pula, dia rela mati di tangan seorang pendekar seperti Kam Hong.

   "Kam-taihiap, aku memang sudah keliru segala-galanya, maka biarlah kekeliruan berbakti kepada guruku ini merupakan kekeliruan yang terakhir. Keluarkanlah senjatamu dan mari kita segera laksanakan pesan guruku. Hendak kulihat sampai di mana sesungguhnya kehebatan Ilmu Suling Emas itu dan kuharap engkau tidak berlaku kepalang tanggung sekali ini. Marilah!"

   Biarpun agak ragu-ragu dan setengah hati, Kam Hong mengeluarkan juga suling emasnya. Pendekar ini dapat menduga, melihat sikap dan mendengar suara pemuda itu bahwa memang Sim Hong Bu agaknya sengaja, terdorong oleh kepedihan hati oleh penolakan Ci Sian yang kasar tadi. Dia menarik napas panjang dengan penuh penyesalan.

   "Aku dapat membayangkan betapa para nenek moyang keluarga Cu yang menjadi pencipta Ilmu Pedang Suling Emas dan Naga Siluman akan mengeluh dan menyesal bahwa ciptaannya hanya akan saling berlawanan, padahal sudah sepatutnya kalau saling bekerja sama untuk menghadapi kejahatan di dunia ini. Silahkan, Saudara Sim!"

   Maklum bahwa lawannya juga sungkan, maka Sim Hong Bu yang merasa sebagai penantang lalu menggerakkan pedangnya melakukan serangan pembukaan. Kam Hong juga menggerakkan sulingnya dan mulailah mereka saling serang.

   Mula-mula memang ada keraguan dan kesungkanan dalam hati mereka sehingga serangan-serangan mereka itu tidak dilakukan dengan tenaga sepenuhnya, akan tetapi sebagai ahli-ahli silat di mana ilmu sllat itu telah mendarah daging kepada tubuh mereka, makin lama mereka menjadi semakin bersemangat karena menghadapi lawan yang amat tangguh. Maka gerakan senjata mereka menjadi semakin cepat dan berat dan tak lama kemudian, lenyaplah kedua orang itu terselimut gulungan sinar emas dan sinar biru yang menyilaukan mata. Terdengar pula suara pedang seperti suara mengaum-aum dan suara suling yang melengking-lengking, dan angin yang amat keras menyambar, membuat daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang dan kadang-kadang seperti dilanda angin berpusing.

   Ci Sian sendiri bengong, kagum sekali menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini. Diam-diam harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh Sim Hong Bu memang hebat bukan main, dan agaknya sama sekali tidak kalah dibandingkan dengan Kim-siauw Kiam-sut yang dimainkan dengan suling emas itu. Sebagai seorang ahli, ia pun dapat mengikuti gerakan mereka, walaupun kadang-kadang gerakan kedua orang itu terlalu cepat untuk dapat diikuti dengan mata. Ia melihat betapa suhengnya bersilat dengan baik sekali, hampir dapat dikata sempurna malah, memainkan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, akan tetapi tetap saja ia masih melihat keraguan dalam gerakan suhengnya itu, seolah-olah dia tidak menghendaki perkelahian itu dan bertanding karena terpaksa sekali.

   Setelah lewat seratus jurus, keduanya sudah benar-benar bebas dari keraguan dan keduanya kini sudah lupa diri. Yang ada hanyalah kegembiraan bertanding karena baru sekarang mereka benar-benar bertemu lawan yang setanding, dan baru sekali ini mereka bertanding tanpa ada sedikit pun perasaan benci atau marah. Kini mereka bertanding demi ilmu itu sendiri, seperti orang berlatih saja, akan tetapi jauh lebih hebat dan sungguh karena keduanya tidak mau sampai kalah. Maka, kini hanya jurus-jurus yang paling ampuh sajalah yang mereka keluarkan dan di dalam hati mereka penuh kekaguman terhadap lawan. Sukar dilihat siapa yang terdesak dan siapa yang mendesak antara keduanya, karena betapapun juga, setelah kini mereka melihat intinya, ada unsur-unsur yang sama dalam dasar ilmu pedang mereka.

   Hanya dalam hal tenaga dalam, Sim Hong Bu harus mengakui bahwa dia masih kalah setingkat! Akan tetapi, Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut demikian hebatnya sehingga kekalahan tenaga ini dapat ditutupnya dengan gerakan cepat dan aneh sehingga dia tidak harus mengadu tenaga secara langsung. Serang menyerang terjadi, tikaman dan totokan ditukar, bacokan dan pukulan silih berganti, dan bukan hanya senjata mereka yang saling menyambar, melainkan juga tangan kiri mereka sering kali melakukan totokan dan pukulan maut yang amat hebat, yang kalau ditangkis menimbulkan getaran yang bahkan terasa pula oleh Ci Sian yang berdiri di pinggir. Setelah lewat dua ratus jurus, Ci Sian memandang dengan alis berkerut. Sebagai seorang ahli, maklumlah dara ini bahwa perkelahian sehebat ini kalau dilanjutkan,

   Tentu hanya berakibat robohnya seorang di antara mereka, mungkin roboh untuk tidak dapat bangkit kembali atau tewas. Setiap serangan yang dilakukan mereka itu adalah serangan maut yang amat hebat, yang kalau mengenai lawan sudah pasti akan merenggut nyawa lawan! Memang benarlah apa yang dipikirkan oleh Ci Sian ini. Setelah lewat dua ratus jurus Kam Hong yang lebih matang dalam hal latihan, dan juga memang lebih sempurna menguasai ilmunya, dapat melihat kelemahan-kelemahan yang walaupun sedikit dalam gerakan Hong Bu, namun cukuplah untuk dimasukinya dengan serangan kilat yang akan membuat lawan roboh. Akan tetapi pendekar ini tidak tega merobohkan Hong Bu dengan serangan maut. Dia sama sekali tidak ingin melukainya dengan berat. Timbul keraguan dalam hatinya.

   Apa gunanya kalau dia menang? Sebaliknya, andaikata dia mengalah sekalipun, hal itu pasti akan diketahui oleh Sim Hong Bu dan juga oleh Bu Ci Sian dan tidak akan ada manfaatnya lagi, bahkan mungkin Hong Bu akan merasa tersinggung kalau dia sengaja mengalah. Maka, sebaiknya kalau dia memberi isyarat kepada pemuda itu bahwa dia tidak ingin bermusuhan dan bahwa dia bersedia menghentikan pertandingan itu dan bersedia pula mengalah. Oleh karena itu, ketika dia kembali melihat lowongan yang merupakan kekosongan atau kelemahan dari lawan, secepat kilat sulingnya meluncur ke arah kiri dada Hong Bu dan sebelum pemuda ini dapat menghindarkan diri karena memang posisinya sudah terdesak dan terkurung, tahu-tahu ujung suling sudah mengenai dada kirinya.

   "Duk!"

   Sim Hong Bu terkejut bukan main karena biarpun ujung suling itu dengan tepat sekali mengenai dada, namun tidak terasa apa-apa dan totokan tadi sama sekali tidak mengandung kekuatan sin-kang sehingga ketika mengenai kulit dadanya lalu membalik!

   Dari heran, Hong Bu menjadi merah mukanya karena dia pun maklum bahwa lawannya sengaja tidak mengisi tenaga pada totokan tadi, dan hal ini hanya dapat diartikan bahwa lawan memang tidak menghendaki berkelahi dengannya. Padahal, dia pun mengerti benar bahwa kalau tadi Kam Hong mengisi totokannya dengan tenaga sin-kang, dia tentu sudah roboh, kalau tidak mati seketika, sedikitnya tentu terluka parah atau roboh tertotok dan kalah. Jelaslah bahwa pendekar yang dikagumi dan dihormatinya itu memang sengaja tidak mau mengalahkannya, hal ini benar-benar membuat dia merasa berterima kasih akan tetapi juga membuka matanya bahwa dia kalah jauh dalam hal penga-laman dibandingkan dengan pendekar sakti ini. Maka, kalau dia melanjutkan pertandingan itu, sama saja dengan mengaku bahwa dia tidak tahu diri!

   "Trang....!"

   Pedang bertemu dengan suling dan pedang itu terlepas dari tangan Hong Bu. Pemuda ini melangkah mundur dan menjura.

   "Kam-taihiap, saya Sim Hong Bu yang mewakili keluarga Cu mengaku bahwa di tanganku, Koai-liong Kiam-sut telah kalah melawan Kim-siauw Kiam-sut!"

   Lalu dia menjura lagi dan mengambil pedangnya dari atas tanah.

   "Saudara Sim Hong Bu, engkau terlalu merendah. Koai-liong Kiam-sut hebat bukan main dan kalau toh aku dapat mengunggulimu sedikit, hal itu bukan karena ilmunya, melainkan karena engkau kalah matang dalam latihan dan pengalaman. Ilmu pedangmu hebat bukan main!"

   "Apa ini? Saling mengalah dan saling merendah! Sim Hong bu, kakak seperguruanku memang lemah. Biarlah aku yang mewakili Kim-siauw Kiam-sut, ingin kucoba sampai di mana hebatnya Koai-liong Kiam-sut, dan antara kita tidak perlu ada sungkan-sungkanan dan mengalah segala macam!"

   Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang dengan suling emasnya, serangan maut yang hebat sekali sehingga terpaksa Hong Bu menangkis.

   "Cringggg....!"

   Bunga api berpijar saking kerasnya pertemuan senjata itu.

   "Sumoi, jangan....!"

   Teriak Kam Hong.

   "Ci Sian, aku sudah mengaku kalah,"

   Kata Hong Bu, suaranya mengandung kegetiran hati. Dia telah patah hati dan dia tadi menghendaki tewas di tangan pendekar sakti Kam Hong, siapa kira pendekar itu mengalah dan dia kalah tanpa terluka sedikit pun. Hal ini membuatnya merasa perih sekali karena dibiarkan hidup menderita patah hati! "Tidak, tadi Suheng telah banyak mengalah dan engkau sengaja membiarkan pedangmu lepas. Kaukira siapa aku ini? Anak kecil yang mudah saja dibodohi? Hayo, lawan aku, kalau engkau tidak berani dan kalau engkau takut, selanjutnya engkau harus mengaku sebagai seorang pengecut!"

   "Ci Sian....!"

   Hong Bu berseru, jantungnya seperti ditusuk rasanya.

   "Sumoi, engkau terlalu....!"

   "Engkau berpihak kepada-nya, Suheng? Boleh, kau berdua keroyoklah aku!"

   Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang lagi kepada Hong Bu yang terpaksa harus menggerakkan pedang dan melindungi dirinya kalau tidak mau mati konyol. Hatinya berduka bukan main. Tentu saja pantang baginya untuk hidup sebagai pengecut! Maka terpaksa dia pun menangkis dan balas menyerang sehingga seaat kemudian mereka berdua telah bertanding dengan seru dan hebat. Kam Hong berdiri bingung sekali, tidak mengerti mengapa sumoinya demikian marah dan membenci Hong Bu. Pada saat itu muncul tiga orang yang bukan lain adalah Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Cu Pek In! Mereka bertiga itu akhirnya dapat menemukan jejak Sim Hong Bu dan tiba di tempat itu pada saat Hong Bu sedang bertanding dengan hebatnya melawan Ci Sian. Melihat ini Cu Pek In sudah hendak meloncat untuk membantu suhengnya, akan tetapi Cu Kang Bu memegang lengannya.

   Pendekar ini melihat betapa Kam Hong berdiri di situ sejak mereka datang dan sama sekali tidak membantu Ci Sian. Oleh karena itu, kalau sekarang dia serombongan datang-datang lalu membantu Sim Hong Bu, sungguh hal ini merupakan suatu kecurangan yang membikin malu. Inilah sebabnya maka dia mencegah keponakannya untuk membantu Hong Bu. Dan pendekar tinggi besar ini pun sudah memandang penuh dengan kekaguman karena pertandingan antara mereka itu sungguh hebat luar biasa. Baru sekaranglah dia dapat mengagumi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang diwarisi oleh Hong Bu, akan tetapi dia juga berkesempatan menyaksikan kehebatan suling emas di tangan dara itu. Hebat sekali! Kedua ilmu itu sungguh merupakan ilmu yang jarang dapat ditemukan tandingannya di dunia ini.

   Akan tetapi hanya Kam Hong seorang yang sudah dapat mengenal kedua ilmu itu dan dapat mengikuti pertandingah itu dengan amat jelas yang melihat kenyataan betapa Sim Hong Bu kini selalu mengalah terhadap Ci Sian! Kalau tadi dia sendiri mengalah terhadap Sim Hong Bu, mengalah sedikit saja, kini Hong Bu mengalah secara keterlaluan! Pemuda itu tidak pernah melakukan serangan yang sungguh-sungguh, sebaliknya, Ci Sian yang melakukan serangan dengan jurus-jurus terampuh dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut. Sementara itu, ketika Hong Bu melihat datangnya susioknya dan dua orang wanita yang tidak dilihatnya jelas karena dia didesak hebat oleh lawan, hatinya terguncang dan kedukaannya memuncak, maka ketika itu gerakannya menangkis kurang tepat dan kurang kuat.

   "Tokkk!"

   Ujung suling itu mengenai lehernya, dan biarpun dia sudah miringkan kepalanya, masih saja ujung suling itu mengenai pangkal lehernya. Serangan ini hebat sekali dan Hong Bu terjungkal dan terbanting, tak mampu bergerak lagi!

   "Suheng....!"

   Cu Pek In menjerit dan menubruk tubuh itu sedangkan Kam Hong sudah menarik tangan Ci Sian yang juga terbelalak memandang ke arah Hong Bu, wajahnya agak pucat karena ia tidak bermaksud membunuh Hong Bu dan kini melihat pemuda itu terjungkal, hatinya merasa ngeri karena ia khawatir kalau-kalau ia telah kelepasan tangan membunuh orang yang sebenarnya amat disukainya itu! Pek In sudah menangis sambil memeluk tubuh Hong Bu yang tak bergerak seperti mayat itu. Mata pemuda itu mendelik dan mukanya pucat, napasnya berhenti! Cu Kang Bu cepat memeriksa dan mengurut beberapa jalan darah di dada, punggung dan leher, maka nampaklah Hong Bu mengeluh lirih dan napasnya pun berjalan kembali.

   "Dia akan sembuh...."

   Kata Cu Kang Bu dan melihat ini, Kam Hong dan Ci Sian merasa lega bukan main.

   "Maafkan kami!"

   Kata Kam Hong sambil menjura ke arah Cu Kang Bu, kemudian ia memegang tangan sumoinya dan menariknya pergi meninggalkan tempat itu. Kam Hong maklum bahwa jika dibiarkan sumoinya berada di situ lebih lama lagi, bukan tidak mungkin timbul kesalahpahaman baru dengan keluarga Cu. Dia tidak menghendaki hal ini, apalagi di situ terdapat pula Yu Hwi, bekas tunangannya dan hal ini pun membuat dia merasa tidak enak sekali. Dan agaknya Cu Kang Bu juga tidak ingin mencari urusan. Dia sudah melihat betapa jago dari keluarga Cu telah kalah dan dia tahu bahwa melawan Pendekar Suling Emas dan sumoinya yang amat lihai itu dia dan isterinya tidak akan menang. Cu Pek In sudah memondong tubuh Hong Bu.

   "Mari kita mencari tempat yang baik untuk merawatnya,"

   Kata gadis itu kepada pamannya.

   "Baik, akan tetapi biarkan aku memondongnya, Pek In,"

   Kata pamannya.

   "Biarlah, Paman, biarlah aku memondongnya,"

   Pek In berkata dan mendekap tubuh pemuda itu seperti orang memondong anak kecil saja. Bagi seorang gadis seperti Pek In yang memiliki kepandaian cukup tinggi, memondong tubuh seorang dewasa bukan hal yang sukar. Akhirnya mereka menemukan sebuah pondok kecil terpencil di luar dusun. Mereka menyewa pondok ini dari kakek petani yang memilikinya dan Pek In lalu merebahkan Hong Bu di atas dipan bambu sederhana yang berada di dalam kamar.

   Cu Kang Bu dan Yu Hwi segera memeriksa kembali keadaan pemuda itu. Mereka adalah suami isteri yang berilmu tinggi, bahkan Yu Hwi mengerti pula tentang ilmu pengobatan. Totokan suling tadi memang hebat, akan tetapi untung meleset dari urat penting yang dapat membawa maut. Totokan itu menggetarkan jantung, akan tetapi karena tubuh Hong Bu memang amat kuat, maka tidak sampai membahayakan dirinya, walaupun membuatnya roboh pingsan dan sekitar pundak dan pangkal leher menjadi kebiruan karena ada otot yang pecah. Cu Kang Bu dan isterinya lalu mencarikan obat ke Lok-yang, sedangkan Pek In menjaga pemuda itu dengan penuh perhatian. Pek In yang terus menjaga dan meminumkan obat sedikit demi sedikit, menjaga siang dan malam dan merawatnya penuh kasih sayang sehingga melihat ini, Cu Kang Bu dan Yu Hwi merasa terharu bukan main.

   Baru pada keesokan harinya, pernapasan Hong Bu berjalan seperti biasa dan mukanya yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan kembali. Hari telah larut ketika Hong Bu mengeluh lirih. Pek In cepat mendekatinya, duduk di tepi dipan dan meraba dahi pemuda itu, lalu mempergunakan saputangan untuk mengusap keringat yang membasahi dahi dan leher. Pemuda itu telah berkeringat dan menurut paman dan bibinya, kalau pemuda itu sudah mengeluarkan keringat berarti akan segera sembuh. Bukan main girang hati Pek In dan ia menatap wajah yang tampan itu dengan penuh kemesraan. Kedua mata itu terbuka perlahan, lalu berkedip-kedip karena agak silau oleh sinar matahari yang memasuki kamar lewat jendela. Kemudian, setelah mata itu agak terbiasa, Hong Bu memandang kepada Pek In, lalu berkata lirih,

   "Siapa Nona....?"

   Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Pek In tertawa geli, akan tetapi ia segera teringat bahwa semenjak menjadi suhengnya, barulah sekali ini Hong Bu melihat ia berpakaian sebagai seorang wanita dengan rambut digelung ke atas. Pek In tersenyum manis.

   "Coba kau terka, siapa aku ini?"

   Suaranya terdengar merdu sekali karena hatinya riang melihat pemuda itu telah siuman dan tampak sehat.

   "Seperti.... seperti tak asing bagiku...."

   Hong Bu mengerutkan alisnya. Memang gadis ini telah dikenalnya! Akan tetapi dalam detik-detik pertama dia lupa lagi siapa ia. Akan tetapi dia segera menepuk dahinya.

   "Sumoi....! Ah, benar, engkau Sumoi Cu Pek In....!"

   Pek In tertawa dan menutupi mulutnya.

   "Aku sudah khawatir engkau tidak akan mengenalku,"

   Katanya tertawa. Hong Bu juga tertawa.

   "Siapa dapat mengenalmu? Engkau telah menjadi seorang gadis yang.... manis sekali!"

   Cu Pek In cemberut.

   "Apa kau kira biasanya aku bukan seorang gadis?"

   Hong Bu baru sadar bahwa dia telah kesalahan bicara.

   "Maaf, bukan begitu maksudku.... eh, maksudku...."

   Memang baru sekarang inilah dia menyadari bahwa sumoinya adalah seorang gadis, seorang gadis yang cantik manis. Mungkin biasanya dia hampir tidak memperhatikan Pek In karena gadis itu baginya seperti adik seperguruan biasa saja, hampir seorang saudara atau kawan baik laki-laki karena gadis itu selalu berpakaian pria.

   "Maksudmu bagaimana?"

   Pek In menggodanya.

   "Maksudku.... eh, di mana aku ini? Apa yang telah terjadi? Ahhh...."

   Dan Hong Bu bangkit duduk dengan wajah muram. Teringatlah dia akan Semua itu, akan pertandingannya melawan Ci Sian dan betapa karena mengalah maka ia terkena totokan suling emas.

   "Engkau sudah ingat, Suheng?"

   Tanya Pek In halus, suaranya mengandung kekhawatiran. Pemuda itu mengangguk dan menatap wajah sumoinya.

   "Kiranya aku belum mati...."

   "Engkau nyaris tewas, Suheng. Kata Paman, kalau sedikit saja ke atas, mengenai urat penting, engkau takkan tertolong lagi. Menurut Paman dan Bibi, agaknya gadis itu memang sengaja tidak membunuhmu...."

   "Hemm...., mana Susiok Cu Kang Bu?"

   "Dia dan Bibi sedang berada di luar tadi...."

   Akan tetapi pada saat itu, Cu Kang Bu dan Yu Hwi memasuki kamar dan mereka berdua merasa girang melihat betapa Hong Bu telah siuman dan nampak sehat kembali. Hong Bu cepat memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara penuh penyesalan,

   "Susiok, harap maafkan bahwa teecu tidak berhasil memenuhi pesan Suhu sehingga teecu kalah ketika melawan pewaris Kim-siauw Kiam-sut."

   Cu Kang Bu menarik napas panjang.

   "Aku sudah menyaksikan pertandingan itu dan aku tidak menyalahkanmu, Hong Bu. Memang hebat sekali Ilmu Suling Emas itu, tiada keduanya di dunia ini. Bagaimanapun juga, kita harus bijaksana dan dapat melihat kelemahan sendiri. Aku tidak setuju dengan pendapat kakakku yang berkeras hendak membalas kekalahan. Biarpun kedua ilmu itu bersumber dari keluarga kita, akan tetapi jelaslah bahwa Ilmu Suling Emas ini jauh lebih tua dan tidak mengherankan kalau lebih kuat daripada Koai-liong Kiam-sut yang tercipta ratusan tahun kemudian. Sudahlah, Hong Bu, tidak perlu hal itu dibuat menjadi beban batin dan rasa penasaran. Bagaimana-pun juga, harus kita akui bahwa mereka berdua itu adalah pendekar-pendekar yang hebat."

   Atas bujukan Cu Kang Bu, akhirnya Sim Hong Bu mau untuk ikut kembali ke lembah. Bahkan Cu Kang Bu yang berwatak jujur itu menambahkan pula secara blak-blakan, di depan Pek In.

   "Engkau tentu masih ingat akan pesan Twako bahwa dia menghendaki agar engkau dan Pek In berjodoh, Hong Bu. Kurasa hal itu amat baik, dan kalau memang engkau menyetujui, marilah kita segera langsungkan saja pernikahan itu di sana. Usia Pek In sudah cukup untuk segera membentuk rumah tangga denganmu."

   Mendengar ucapan itu otomatis Hong Bu menoleh dan memandang kepada Pek In. Sejenak mereka saling pandang, akan tetapi Pek In lalu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Dan Hong Bu mempunyai perasaan yang aneh. Mengapa baru sekarang dia seolah-olah baru melihat Pek In?

   Seorang gadis yang amat manis, dan dia mendengar betapa gadis ini merawatnya sehari semalam tanpa beranjak dari sampingnya, tidak makan tidak tidur. Dia tahu benar betapa besar rasa cinta kasih sumoinya ini terhadap dirinya dan dia selama ini tidak memperhatikan karena keadaan Pek In yang selalu berpakaian seperti pria itu seolah-olah memiliki daya tolak yang besar. Akan tetapi sekarang lain sekali keadaannya. Gadis itu ternyata memiliki daya tarik yang cukup kuat dan terus terang saja, dia suka melihat wajah yang manis itu, bentuk tubuh yang padat, indah dan menggairahkan sebagai wanita itu. Dan dia pun kini sudah tidak mempunyai harapan lagi terhadap diri Ci Sian. Mengapa tidak? Kalau dia menolak, apa pula alasannya? Dan penolakannya tentu akan membuat Pek In merasa sengsara, di samping membuat hubungannya dengan keluarga Cu menjadi hambar.

   "Baiklah, Susiok. Akan tetapi usul Susiok itu mengingatkan kepada teecu bahwa untuk memperoleh doa restu dari arwah ayah teecu, selagi teecu berada di Propinsi Ho-nan ini, sebaiknya kalau teecu mengunjungi makam ayah dan bersembahyang di sana."

   "Tentu saja, itu baik sekali! Di manakah makam ayahmu?"

   "Di dekat kota Sin-yang, di selatan Sungai Huai."

   "Baik, kalau begitu mari kita pergi beramai ke sana, aku pun ingin memberi hormat kepada makam ayahmu,"

   Kata Cu Kang Bu yang tidak ingin kehilangan lagi murid keponakannya itu kalau mereka harus berpisah lagi. Maka berangkatlah mereka meninggalkan dusun itu menuju ke selatan. Tubuh Hong Bu yang kuat itu membuat dia sembuh kembali dalam waktu singkat dan beberapa hari kemudian dia sudah pulih kembali seperti biasa.

   "Ci Sian, sungguh aku menyesal sekali mengapa engkau sampai melukai Hong Bu seperti itu, nyaris dia tewas di tanganmu,"

   Kata Kam Hong ketika mereka berjalan meninggalkan lembah itu. Ci Sian merasa ngeri mendengar ini dan ia pun bersungut-sungut,

   "Habis hatiku mengkal sekali sih!"

   "Kenapa? Bukankah dia hanya memenuhi tugas yang diperintahkan gurunya untuk mengadu ilmu denganku? Dan bukankah dia sudah mengaku kalah? Kenapa engkau mendesaknya sehingga melukainya, Ci Sian? Padahal, engkau sendiri tentu sudah tahu benar betapa selama dalam perkelahian melawanmu itu dia terus mengalah. Ah, kenapa engkau begitu kejam kepadanya, Ci Sian? Engkau tahu, dia amat mencintamu...." "Suheng!"

   Ci Sian berkata dengan suara membentak sehingga mengejutkan hati Kam Hong.

   "Justeru itulah yang membikin hatiku jengkel!"

   Kam Hong memandang dengan heran.

   "Apa katamu? Kau jengkel karena dia mencintamu?"

   "Bukan!"

   "Habis apa? Apakah engkau jengkel karena dia mentaati perintah gurunya dan menantangku?"

   "Juga tidak!"

   "Habis, apa yang membuatmu jengkel?"

   "Karena dia berani melamarku!"

   "Ah, lebih aneh lagi itu. Dia melamarmu adalah sudah wajar, karena dia mencintamu, dan kulihat dia memang seorang pemuda pilihan yang hebat. Aku pun masih merasa heran dan penasaran mengapa engkau tidak menerima pinangannya malah marah-marah, padahal pinangan itu wajar saja."

   Tiba-tiba Ci Sian memandang kepada suhengnya dengan sinar mata muram.

   "Suheng, mengapa engkau begitu membenciku?" "Eh?"

   Kam Hong memandang bengong dan terheran.

   "Engkau demikian membenciku sehingga engkau ingin agar aku meninggalkanmu. Begitukah? Engkau seperti mendorongku untuk menerima pinangan Hong Bu. Itulah yang membuatku jengkel!"

   Kam Hong memandang dengan jantung berdebar. Tak salah lagi, Ci Sian mencintanya! Dia berusaha untuk menyangkal kenyataan ini, untuk membantah hatinya sendiri, untuk mendorong sumoinya agar berjodoh dengan pemuda yang lebih patut menjadi sisihan Ci Sian, yang sama mudanya. Akan tetapi ternyata itu malah mendatangkan kemarahan di dalam hati Ci Sian!

   "Kalau begitu maafkanlah aku, Sumoi. Maksudku baik...."

   "Sudahlah, Suheng, harap jangan bicarakan itu lagi. Aku pun menyesal sekali telah merobohkan Hong Bu. Sebenarnya aku suka kepadanya. Masih untung bahwa dia tidak tewas olehku tadi. Aku menyesal."

   Kam Hong percaya. Dari suaranya saja jelas terbukti bahwa sumoinya benar-benar menyesal dan sebetulnya sumoinya sama sekali tidak membenci Hong Bu. Hanya karena Hong Bu meminangnya, dan karena dia sendiri seperti menyetujui dan mendorong, maka hal itu mendatangkan kemarahan di hati sumoinya.

   "Baiklah, Sumoi. Apakah kita jadi membeli perahu?"

   "Tidak, sudah hilang seleraku untuk melakukan perjalanan melalui air. Kita berpesiar saja di Pegunungan Fu-niu-san ini, aku mendengar bahwa pemandangan di situ amat indahnya."

   "Benar, Sumoi. Dan bambu-bambu dari Fu-niu-san amat terkenal. Banyak terdapat bambu-bambu yang indah dan aneh-aneh bentuknya di pegunungan ini."

   Mereka pun lalu melakukan perjalanan seenaknya di pegunungan itu, kalau malam mereka bermalam di hutan-hutan. Mereka tidak kekurangan makanan karena terdapat dusun-dusun berpencaran di pegunungan itu di mana mereka dapat membeli buah-buah dan juga daging yang mereka masak di rumah para penduduk dusun. Pada suatu pagi, ketika mereka keluar dari sebuah dusun di lereng timur setelah malam tadi mereka bermalam di dusun itu, tiba-tiba Ci Sian menuding ke depan.

   "Suheng, bukankah itu ada orang datang?"

   
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kam Hong juga sudah melihat-nya. Pagi itu kabut tebal memenuhi lereng sehingga yang nampak hanya bayangan berlari dari depan, kadang-kadang nampak kadang-kadang tidak, tergantung tebal tipisnya kabut yang lewat dengan cepat seolah-olah kabut-kabut itu ketakutan oleh munculnya sinar matahari di balik puncak. Akhirnya bayangan itu tiba di depan mereka dan terkejut ketika saling mengenal. Yang datang itu bukan lain adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong! Kalau Kam Hong dan sumoinya terkejut, sebaliknya Cin Liong tersenyum gembira sekali melihat mereka. Cepat jenderal yang berpakaian preman itu menjura dengan hormat sambil berseru,

   "Ah, akhirnya saja dapat juga bertemu dengan Ji-wi setelah dengan susah payah mencari jejak Ji-wi! Akan tetapi, tidak saya sangka akan bertemu dalam kabut ini sehingga agak mengejutkan juga."

   "Kiranya Kao-goanswe yang datang!"

   Kata Kam Hong dan tersenyum kagum. Pemuda ini adalah putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Hati siapa takkan kagum memandangnya? Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, memiliki ilmu kepandaian yang jarang ditemukan tandingannya, dan semuda itu telah menjadi seorang panglima, seorang jenderal!

   "Ah, selamat datang, Kao-goanswe, dan ada kepentingan besar apakah maka engkau bersusah payah mencari kami?"

   "Harap Kam-taihiap jangan menyebut saya goanswe, biarpun saya seorang jen-deral akan tetapi pada saat ini saya tidak bertugas dan lihat saja pakaianku adalah orang biasa, bukan? Dan keperluanku adalah keperluan pribadi, bukan sebagai seorang berpangkat."

   Kam Hong tersenyum.

   "Baiklah, Saudara Kao Cin Liong. Nah, keperluan apakah yang kau bawa?"

   Cin Liong memandang kepada Ci Sian dan tersenyum. Gadis itu juga tersenyum karena sudah lama ia mengenal Cin Liong.

   "Bagaimana kabarnya, Nona Bu? Kuharap engkau sehat-sehat saja."

   "Terima kasih, aku baik-baik saja, Saudara Cin Liong. Ada keperluan apakah engkau datang mencari kami?"

   Mereka saling berpandangan dan teringatlah mereka akan pengalaman mereka berdua ketika bersama-sama beraksi di dalam benteng pasukan Nepal yang dipimpin oleh Nandini, ibu Siok Lan.

   Kalau mengenangkan masa lalu, di dalam hati keduanya ada suatu kehangatan karena ketika itu mereka berjuang sehidup semati menghadapi lawan-lawan tangguh. Betapapun juga, kini, menghadapi pengakuan cintanya, dan peminangannya, Cin Liong si jenderal yang tidak gentar menghadapi ribuan orang pasukan musuh itu tiba-tiba merasa badannya panas dingin dan jantung berdebar tegang! Sampai lama dia tidak mampu menjawab, hanya memandang kepada Ci Sian dengan bingung. Kam Hong yang bepandangan tajam itu agaknya dapat menduga bahwa jenderal muda itu ingin menyampaikan sesuatu kepada Ci Sian, maka dia pun lalu berkata dengan suara halus,

   "Kalau engkau hendak bicara berdua dengan Sumoi, silakan, Saudara Cin Liong, aku akan menyingkir lebih dulu...."

   "Ah, tidak.... saya.... saya hendak bicara denganmu, Kam-taihiap!"

   Kata Cin Liong dengan gugup.

   "Kalau begitu, biarlah aku saja yang menyingkir!"

   Kata Ci Sian dan sebelum ada yang menjawab, ia sudah pergi dari tempat itu, agak menjauh dan melihat-lihat pemandangan alam yang indah.

   "Nah, bicaralah Saudara Kao Cin Liong,"

   Kata Kam Hong sambil tersenyum memberanikan hati pemuda itu.

   "Kam-taihiap, terus terang saja.... kedatangan saya mencari Taihiap berdua adalah untuk melamar Nona Bu Ci Sian!"

   Hampir saja Kam Hong tertawa mendengar ini. Memang tadi, melihat sikap Cin Liong, dia sudah setengah menduga bahwa jangan-jangan pemuda ini hendak menyatakan cintanya kepada Ci Sian, maka tadi dia mengusulkan untuk menyingkir kalau pemuda itu hendak bicara berdua dengan sumoinya. Akan tetapi dia tidak percaya akan dugaannya sendiri. Dan ternyata memang benar! Bahkan jenderal muda ini mengajukan lamaran. Hampir sukar untuk dapat dipercaya bagaimana bisa begini kebetulan! Dalam waktu beberapa hari saja, Ci Sian sudah dilamar oleh dua orang pemuda!

   Sumoinya itu sungguh "laris", dihujani lamaran dan yang melamarnya adalah pemuda-pemuda pilihan. Cin Liong ini dalam segala-galanya bahkan tidak kalah dibandingkan dengan Hong Bu, maka timbullah harapan di dalam hatinya. Siapa tahu kalau sumoinya akan suka menjadi jodoh pemuda ini. Dia sendiri akan ikut merasa bangga! Menjadi mantu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Dan pemuda ini pun jujur, seperti Hong Bu. Hanya bedanya, karena pemuda ini terdidik di kota raja, dan hidup sebagai seorang berkedudukan tinggi, tentu saja pemuda ini masih terikat oleh kesusilaan sehingga merasa malu dan sungkan menyatakan isi hatinya. Berbeda dengan Hong Bu yang sejak kecil hidup setengah liar, maka kejujurannya lebih terbuka tanpa halangan sesuatu lagi.

   "Ahh, Saudara Kao! Bagaimana ini? Aku hanyalah suheng dari Sumoi Bu Ci Sian, bagaimana engkau melamarnya kepadaku? Bukankah seharusnya kepada ayahnya....?"

   "Tentu saja saya tidak berani melampaui Bu-locianpwe, Taihiap. Sebelum saya mencari Taihiap berdua, saya bersama orang tua saya pernah datang mengajukan lamaran kepada Bu-locianpwe dan beliau sendiri yang menganjurkan agar saya mencari Ji-wi dan langsung saja meminang kepada Nona Bu atau kepada Kam-taihiap sebagai walinya."

   "Hemm...., Bu-locianpwe sungguh menaruh kepercayaan besar kepadaku. Saudara Kao Cin Liong, kalau tidak salah, menurut penuturan Sumoi, kalian berdua telah lama sekali saling berkenalan, bahkan telah menjadi sahabat baik dan pernah berjuang bahu-membahu, bukan? Aku yakin bahwa yang mendorongmu mengajukan pinangan ini tentu berdasarkan hatimu yang mencinta, bukan?"

   Wajah Cin Liong menjadi agak merah, akan tetapi dengan tenang dia menatap wajah pendekar itu dan menjawab,

   "Benar demikian, Taihiap."

   "Dan engkau tentu tahu bahwa aku atau siapapun juga tidak akan dapat memaksa Sumoi, dan hal itu tergantung sepenuhnya kepadanya. Akan tetapi, aku tidak tahu bagaimana dengan isi hatinya. Apakah ia mencintamu, Saudara Kao? Maafkan pertanyaanku ini."

   Cin Liong menggeleng kepala.

   "Aku tidak tahu dengan pasti...."

   Katanya lirih seperti kepada dirinya sendiri, kemudian dia memandang kembali kepada pendekar itu.

   "Terus terang saja, kami tidak pernah bicara tentang cinta, Taihiap, akan tetapi kalau saya melihat sinar matanya, saya kira.... yah, mudah-mudahan ia pun mencinta saya seperti saya mencintanya selama ini."

   "Hemm.... kalau begitu, kiranya sebaiknya kalau engkau mengatakannya kepadanya sendiri, karena keputusannya terserah kepadanya."

   Kembali Cin Liong nampak gugup.

   "Ah, sukar sekali saya dapat bicara kalau di depannya, Taihiap. Ia seorang berwatak keras, saya sudah mengenalnya baik-baik, dan sikap keras itu justru merupakan satu di antara sifatnya yang menarikku. Saya.... saya mohon bantuan, Taihiap, sukalah menjadi perantara membuka percakapan tentang itu. Kalau sudah dimulai, agaknya saya akan berani mengemukakan kepadanya."

   Kam Hong mengerutkan alisnya.

   Sungguh tugas yang berat. Dia sendiri, walaupun dilawannya sendiri dengan melihat kenyataan bahwa dia tidak pantas menjadi jodoh sumoinya, dia telah jatuh cinta kepada dara itu. Dan kini dia diminta tolong untuk menjadi perantara perjodohan dara itu dengan orang lain! Akan tetapi, bukanlah ini yang dia kehendaki? Bukankah dia akan merasa girang kalau Ci Sian menjadi jodoh Cin Liong, bahkan lebih baik malah daripada menjadi jodoh Hong Bu? Ci Sian mungkin akan marah kepadanya. Akan tetapi biarlah. Dia harus dapat mengambil keputusan yang tepat dan melihat kenyataannya bagaimana. Dia masih tidak dapat menerima kenyataan bahwa sumoinya hanya mencinta dia seorang. Agaknya tidak mungkin kalau di samping dia terdapat pemuda-pemuda seperti Hong Bu dan Cin Liong yang mencintanya bahkan mengajukan pinangan kepadanya!

   "Sumoi....!"

   Dia memanggil, suaranya terdengar agak gemetar. Gadis itu menoleh. Melihat suhengnya menggapai, ia lalu menghampiri setengah berlari. Nampak masih kekanak-kanakan ketika ia berlari-lari itu, akan tetapi juga manis sekali. Ci Sian tersenyum memandang kepada Cin Liong.

   "Nah, sudah selesaikah urusan besar yang teramat penting itu?"

   "Belum, Sumoi, bahkan baru dimulai." "Eh, kalau begitu mengapa memanggil aku?"

   "Karena urusan ini memang mengenai dirimu. Duduklah, Sumoi dan dengarlah baik-baik,"

   Kata Kam Hong, Ci Sian mengerutkan alisnya, sejenak memandang kepada Cin Liong dengan sinar mata tajam penuh selidik, akan tetapi ia duduk juga di atas batu besar yang banyak terdapat di situ.

   "Ada apa sih, begini penuh rahasia?"

   "Begini, Sumoi. Saudara Kao Cin Liong ini pernah bersama ayah bundanya pergi berkunjung kepada Ayahmu di Cin-an, kemudian sekarang ia mencari kita. Adapun keperluannya adalah untuk me-minangmu, Sumoi, engkau dilamar untuk menjadi isteri Saudara Kao Cin Liong...."

   "Suheng! Lagi....? Engkau.... engkau...."

   Dan Ci Sian lalu menangis! Tentu saja Cin Liong terkejut bukan main sedangkan Kam Hong hanya termenung saja, maklum bahwa kembali dia telah menyakiti hati sumoinya.

   "Nona Bu Ci Sian, maafkanlah aku...."

   Kata Cin Liong.

   "Sungguh mati, aku meminangmu dengan hormat, sama sekali tidak bermaksud menyinggung perasaanmu...."

   "Kau tahu apa tentang menyinggung hati? Kalian laki-laki sungguh memandang rendah kaum wanita! Kenapa laki-laki tidak mau tahu tentang perasaan hati wanita? Kenapa tanpa meneliti perasaan wanita, mudah saja datang melamar seolah-olah wanita itu barang dagangan yang boleh saja ditawar orang seenak perutnya? Kam-suheng, kalau memang engkau begitu benci kepadaku, bilang saja terus terang dan aku pasti akan pergi dari sampingmu, entah apa jadinya denganku! Tidak perlu engkau mendorongku untuk menjadi isteri orang lain! Tak kusangka kau.... sekejam ini...."

   "Sumoi, sama sekali tidak begitu...."

   "Nona Bu, sekali lagi maafkanlah aku...."

   Akan tetapi Ci Sian sudah mencabut sulingnya dan menghadapi Cin Liong sambil menantang.

   "Jenderal Kao Cin Liong! Engkau telah meminangku melalui ayah kandungku, juga engkau telah meminangku kepada Kam-suheng yang agaknya tidak peduli kepadaku dan ingin melihat aku menjadi isteri siapapun juga dan mau memberikan aku kepada pria pertama yang mau datang meminangku. Sekarang engkau dengarlah syaratku. Aku mau menjadi isterimu asal engkau dapat mengalahkan aku dan dapat menewaskan aku di sini. Majulah!

   "Wajah Cin Liong menjadi pucat seketika dan dia merasa jantungnya seperti ditusuk. Dia telah salah sangka! Dara ini tidak mencintanya, melainkan mencinta Kam Hong! Akan tetapi agaknya Kam Hong tidak tahu akan hal ini, maka pendekar itu seperti mendorong sumoinya untuk menerima pinangan orang lain. Tapi dia sendiri dapat melihat dengan jelas dan tahulah dia mengapa Ci Sian marah-marah, yaitu karena sikap Kam Hong itulah. Dia menarik napas panjang dan menundukkan mukanya.

   "Sumoi, harap engkau jangan bersikap begini!"

   Kam Hong yang jadi terkejut sekali mendengar tantangan Ci Sian terhadap Cin Liong, menegur. Akan tetapi tegurannya ini bagaikan minyak yang menyiram api, membuat kedukaan dan kemarahan dalam hati Ci Sian menjadi semakin berkobar. Dengan kedua mata yang agak kemerahan karena menangis tadi, ia menoleh dan memandang wajah suhengnya.

   "Suheng, daripada engkau mendorong-dorongku untuk menjadi isterinya, lebih baik engkau membelanya sekali dan biarlah aku mati di tangan kalian. Majulah dan keroyoklah aku!"

   "Sumoi....!"

   Cin Liong sudah maju mendekati Ci Sian dan menjura, mukanya masih pucat akan tetapi dengan gagahnya pemuda, ini menekan perasaan nyeri dan mencoba untuk tersenyum.

   "Nona Bu Ci Sian, ternyata, aku telah buta. Telah begitu lama aku mengenalmu, akan tetapi ternyata aku salah menafsirkan sikapmu kepadaku. Engkau baik kepadaku bukan karena cinta, dan cintaku bertepuk tangan sebelah. Aku tahu bahwa engkau telah mencinta orang lain, Nona, dan memang orang itu patut menerima cinta kasihmu karena dia adalah seorang yang hebat, cintanya kepadamu tanpa pamrih untuk dirinya sendiri dan dia hanya mendambakan kebahagiaanmu. Kam-taihiap, Nona Bu, selamat tinggal, maafkanlah aku sebanyaknya dan semoga kalian berdua berbahagia."

   Tanpa menanti jawaban, Cin Liong lalu meloncat pergi dari situ meninggalkan mereka berdua. Keadaan menjadi sunyi sekali setelah Cin Liong pergi dan Ci Sian sudah menyimpan sulingnya dan membalikkan tubuhnya. Kini ia berhadapan dengan Kam Hong, saling berpandangan sampai beberapa lama dan akhirnya Kam Hong menarik napas panjang dan berkata,
(Lanjut ke Jilid 49)

   Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 49
"Sumoi, sungguh kasihan sekali pemuda itu. Dia tidak boleh sekali-kali dipersalahkan karena dia jatuh cinta kepadamu dan meminangmu, ah, dapat kubayangkan betapa hancur rasa hatinya...."

   Akan tetapi ucapan ini sama sekali tidak dipedulikan oleh Cin Sian, bahkan seperti tidak didengarnya, matanya masih menatap wajah suhengnya dan akhirnya ia pun berkata,

   "Suheng, benarkah apa yang dikatakan oleh Cin Liong tadi....?"

   "Apa? Kata-kata yang mana maksudmu?"

   "Tentang orang yang mencintaku tanpa pamrih untuk dirinya sendiri dan dia hanya mendambakan kebahagiaanku. Benarkah itu, Suheng?"

   Di dalam suara ini terkandung nada permohonan dan pengharapan yang menggetar melalui suara-nya. Sejenak Kam Hong memandang tajam, mereka saling pandang dan akhirnya Kam Hong hanya menarik napas panjang lalu mengangguk.

   "Kam-suheng....!"

   Ci Sian berseru dan menangis sambil menubruk suhengnya yang lalu memeluknya. Dara itu menangis di dada Kam Hong yang menggunakan tangannya untuk mengelus rambut yang hitam halus itu. Air mata membasahi bajunya dan menembus membasahi kulit dadanya, bahkan terasa seolah-olah menembus kulit dan menyiram perasaan, menimbulkan kesejukan seperti bunga kekeringan menerima curahan air hujan.

   "Suheng....!"

   Akhirnya Ci Sian dapat meredakan tangisnya dan bertanya, suaranya lirih tanpa mengangkat mukanya dari dada pendekar itu,

   "Kalau benar engkau mencintaku seperti cintaku kepadamu.... ya, tak perlu aku mengaku, aku memujamu sejak dahulu, Suheng.... kalau benar engkau cinta padaku, kenapa sikapmu begitu? Kenapa engkau seperti mendorongku untuk menerima pinangan orang lain?"

   Kam Hong mencium rambut kepala yang bersandar di dadanya itu, Dekapannya menjadi kuat untuk beberapa lama, kemudian mengendur lagi dan dia pun berkata,

   "Sumoi, semenjak aku merasakan bahwa hubungan antara kita berubah.... semenjak aku melihat gejala bahwa engkau jatuh cinta kepadaku seperti cinta seorang wanita terhadap pria, dan aku melihat kenyataan bahwa perasaan hatiku pun condong seperti itu, mencintamu bukan sebagai seorang suheng terhadap sumoinya melainkan sebagai seorang pria terhadap seorang wanita, maka aku menjadi khawatir sekali. Karena itulah maka aku dahulu sengaja meninggalkanmu bersama Sim Hong Bu...."

   Pendekar itu berhenti bicara dan Ci Sian yang tadi mendengarkan penuh perhatian, lalu bertanya,

   "Akan tetapi, mengapa, Suheng? Mengapa? Apa salahnya kalau kita saling mencinta sebagai wanita dan pria, bukan hanya sebagai suheng dan sumoi? Apa salahnya?"

   "Ingatkah engkau akan ucapan Cin Liong tadi? Dia bermata tajam dan berotak cerdas, sekilas pandang saja dia telah dapat menyelami sampai mendalam. Aku mencinta padamu, Sumoi, dan cintaku bukan hanya untuk menyenangkan diriku sendiri. Aku ingin melihat engkau berbahagia. Aku melihat kenyataan bahwa aku adalah seorang yang sudah berusia jauh lebih tua daripadamu. Selisih antara kita belasan tahun! Aku khawatir bahwa kelak engkau akan menyesal dan tidak berbahagia di sampingku. Aku melihat betapa engkau jauh lebih tepat menjadi sisihan pendekar-pendekar muda seperti Hong Bu atau Cin Liong. Karena itulah maka aku seperti mendorongmu, aku hanya ingin melihat engkau berbahagia, Sumoi. Nah, sudah kukeluarkan semua isi hatiku...."

   Pendekar itu menarik napas panjang, hatinya terasa lapang setelah dia mengeluarkan semua itu. Ci Sian melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur selangkah, lalu memandang suhengnya dengan sinar mata penasaran.

   "Suheng, kalau aku, mencinta hanya karena melihat usia muda, wajah tampan, kedudukan, harta benda, kepandaian dan semacamnya lagi, berarti aku hanya mencinta semua keadaan dan sifat itu, bukan mencinta orangnya. Akan tetapi aku mencintamu karena dirimu, karena engkau adalah engkau, Suheng.... mengapa bicara tentang perbedaan usia segala? Kenapa engkau yang katanya mencintaku dan ingin melihat aku berbahagia, malah tega meninggalkan aku sendirian, membiarkan aku merana dan sengsara dan menderita rindu, kemudian malah tega hendak mendorongku menjadi isteri orang lain? Suheng ingin melihat aku berbahagia, atau ingin melihat aku sengsara? Kebahagiaan hanyalah apabila aku berada di sampingmu, Suheng!"

   "Sumoi, kau maafkan aku...."

   Dengan penuh keharuan hati Kam Hong lalu merangkul dara itu. Ci Sian mengangkat mukanya, berdekatan dengan muka suhengnya dan seperti ada daya tarik sembrani yang kuat, entah siapa yang bergerak lebih dulu, tahu-tahu mereka telah berciuman dengan mesra. Cinta asmara bukan sekedar terdorong oleh daya tarik masing-masing antara pria dan wanita, walaupun tentu saja dimulai oleh suatu daya tarik.

   Daya tarik, itu bisa saja berupa wajah rupawan, kedudukan tinggi, harta benda, kepandaian, atau keturunan keluarga orang besar. Akan tetapi juga dapat berupa sikap yang menyenangkan hati yang tertarik, tentu saja sikap ini pun bermacam-macam sesuai dengan selera masing-masing yang tertarik. Akan tetapi, hubungan kasih sayang ini barulah mendalam dan juga membahagiakan orang yang dicintanya. Sebaliknya, cinta asmara yang didorong oleh keinginan menyenangkan diri sendiri, sudah tentu akan bertumbuk kepada banyak hal yang mendatangkan derita. Derita ini timbul karena sekali waktu tentu orang yang dicintanya itu akan melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak menyenangkan hatinya lagi! Tiada sesuatu yang kekal di dalam kehidupan ini kecuali cinta kasih!

   Seperti kita ketahui, Sim Hong Bu meninggalkan daerah Lok-yang dan pergi menuju ke Sin-yang bersama Cu Pek In, Cu Kang Bu dan Yu Hwi. Mereka tidak tahu bahwa gerak-gerik mereka itu telah diawasi sejak lama dari jauh oleh banyak pasang mata yang bersembunyi-sembunyi. Baru setelah mereka tiba di sebuah hutan kecil di lereng gunung, mereka berempat merasa heran melihat munculnya belasan orang yang sudah mengepung mereka. Empat orang itu bersikap tenang, bahkan Hong Bu tersenyum mengejek dengan hati terasa geli. Orang-orang ini mencari penyakit, pikirnya. Akan tetapi sedikit pun hatinya tidak menjadi marah. Kemarahan jauh dari hati Hong Bu pada saat itu. Dia telah menemukan kesejukan hati yang baru, setelah dia "mengenal"

   Pek In sebagai seorang gadis yang wajar, sebagai kekasihnya, bahkan lebih dari itu, sebagai tunangannya, calon isterinya!

   Dan di dalam perjalanan itu, Cu Kang Bu dan isterinya yang bijaksana memang sengaja memberi banyak kesempatan kepada mereka untuk berduaan. Hong Bu selalu merasa gembira dan bahagia. Terlupakanlah sudah kegetiran yang terasa oleh penolakan Ci Sian! Memang, segala macam perasaan hanya timbul oleh permainan pikiran yang mengingat-ingat belaka. Seperti juga kepuasan yang hanya sebentar, kekecewaan pun lewat bagai angin lalu saja. Suka dan duka silih berganti seperti awan-awan bergerak di angkasa. Ketika Hong Bu merasa kecewa dan berduka karena penolakan Ci Sian, hal itu timbul karena pikirannya mengenang semua itu dan menimbulkan rasa iba diri dan kecewa. Akan tetapi sekarang, begitu pikirnya penuh dengan kegembiraan karena hasil baru yang amat menyenangkan dan baik dalam hubungannya dengan Pek In, maka semua kedukaan yang lalu pun lenyap tanpa bekas.

   Kita ini, biarpun sudah dewasa, namun masih tiada bedanya dengan anak-anak, hanya badan kita saja yang bertumbuh menjadi besar, kita masih mudah tertawa dan menangis, seperti kanak-kanak yang mudah tertawa memperoleh permainan baru dan mudah menangis karena kehilangan sesuatu yang disenanginya. Akan tetapi setiap muncul pengganti yang baru, yang lama, baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan, akan terlupa dan hilang tak berbekas. Yang berbeda hanyalah macam permainan itu saja. Biasanya, kita manusia, di ujung dunia yang manapun juga, selalu mengejar-ngejar pengulangan kesenangan atau mencari keadaan yang lebih menyenangkan atau dianggap lebih menyenangkan lagi, selalu mencoba untuk menjauhi atau menghindari apa saja yang dianggap menyusahkan.

   Kita ingin hidup ini penuh dengan yang manis-manis saja. Kita lupa bahwa selama kita mendambakan yang manis, maka akan bermunculanlah yang pahit, yang getir, yang masam dan sebagainya karena semua itu muncul apabila yang manis dan kita dambakan itu tidak tercapai. Itulah romantika hidup. Ya manis, ya pahit, ya getir. Semua itu merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, yang menjadi isi daripada kehidupan kita sekarang ini. Mengapa kita tidak menerima semua itu secara wajar saja? Mengapa mesti bersenang kalau mendapatkan yang manis akan tetapi mengeluh kalau memperoleh yang pahit? Kalau kita menghadapinya dengan pengamatan mendalam, tanpa penilaian si pikiran yang mencari manis selalu, mungkin kita akan melihat sesuatu yang ajaib.

   Benar pahitkah yang kita anggap pahit itu dan benar maniskah yang kita anggap manis? Apakah akan terasa nikmatnya manis kalau kita tidak merasakan tidak enaknya pahit? Apakah kita dapat mengenal terang kalau kita tidak mengenal gelap? Melihat munculnya belasan orang yang memegang senjata golok dan pedang lalu mengepung tempat itu, Yu Hwi juga tersenyum lebar seperti melihat sesuatu yang lucu sekali. Akan tetapi tidak demikian dengan Cu Pek In. Gadis ini mengenal seorang di antara mereka, yaitu orang yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, usianya sekitar empat puluh tahun, berkumis tebal melintang dan lengan kiri orang itu masih dibalut. Orang itu bukan lain adalah Koa Cin Gu, guru silat dari Lo-couw yang lebih suka pria tampan daripada wanita cantik itu! Maka, melihat orang ini, marahlah Pek In.

   "Orang she Koa yang tidak tahu malu! Sudah kupatahkan lengan kirimu engkau masih berani datang berlagak, apakah harus kupatahkan tulang lehermu?"

   Sambil berkata demikian, Cu Pek In melangkah maju ke arah laki-laki tinggi besar itu. Si Tinggi Besar itu terbelalak. Tentu saja dia tidak mengenal Pek In sebelum dara ini membuka suara dan sekarang dia memandang, dengan mata terbelalak,

   "Ah, kiranya seorang perempuan....?"

   Katanya perlahan. Sebelum Pek In dapat turun tangan atau bicara lagi, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu dan beberapa orang kawannya membuat gerakan minggir dan terdengar suara yang tenang dan halus,

   "Ah, kiranya keluarga Lembah Suling Emas yang berada di sini!"

   Pek In tidak jadi menyerang Si Tinggi Besar dan cepat mundur kembali mendekati paman dan bibinya dan Hong Bu ketika mengenal siapa yang mengeluarkan suara itu. Nampak empat orang berjalan perlahan memasuki kepungan itu dan ternyata mereka itu adalah Toa-ok Su Lo Ti, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, Sam-ok Ban Hwa Sengjin, dan orang ke empat adalah seorang kakek raksasa yang rambutnya sudah putih semua dan pakaiannya serba hitam, membawa sebuah kipas merah dan mengipasi lehernya tanpa bicara, akan tetapi jelas memiliki sikap yang amat berwibawa. Cu Kang Bu, isterinya, dan Pek In tidak mengenal kakek ini, akan tetapi Sim Hong Bu terkejut bukan main ketika mengenal bahwa kakek berpakaian hitam itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, manusia iblis yang pernah menjadi ketua perkumpulan iblis Hek-i-mo itu!"

   Sementara itu, ketika Hek-i Mo-ong melihat Hong Bu, wajahnya berubah. Tadinya, kakek ini sama sekali tidak tertarik dan amat memandang rendah kepada orang-orang yang hendak dihukum oleh Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Akan tetapi begitu dia melihat Hong Bu, tentu saja dia mengenal musuh besar yang pernah menghancurkan perkumpulannya bersama seorang gadis bersuling emas dengan suhengnya yang lihai bukan main itu. Dia merasa girang bukan main, merasa bahwa secara kebetu-lan dia dapat membalas dendam atas kekalahannya dikeroyok tempo hari.

   "Ha-ha-ha, kiranya engkau bocah setan datang mengantar nyawa!"

   Katanya sambil menudingkan kipasnya, ke arah muka Sim Hong Bu. Melihat lagak ini, Pek In yang tidak mengenal lagak Hek-i Mo-ong, menjadi marah. Tunangan atau kekasihnya dimaki orang bocah setan, tentu saja ia marah.

   "Iblis tua bermulut busuk!"

   Katanya dan ia pun sudah mencabut sulingnya dan menyerang.

   "Sumoi, jangan....!"

   Teriak Hong Bu dan cepat dia melompat ke depan.Akan tetapi, suling itu telah menge-luarkan suara melengking ketika menyambar ke arah kakek itu, berubah menjadi sinar kuning emas. Melihat gadis ini menggunakan senjata suling emas, kakek itu terkejut dan mengira bahwa tentu gadis ini mempunyai hubungan dengan gadis yang pernah mengalahkannya bersama pemuda berpedang biru itu. Maka ia pun menggunakan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga karena kalau gadis ini selihai gadis yang dulu pernah mengeroyoknya, serangan itu cukup berbahaya.

   "Dukkk....!"

   Dan akibatnya, tubuh Pek In terlempar dan tentu ia akan terbanting keras kalau saja pamannya, Cu Kang Bu, tidak cepat mengulurkan tangan dan menangkap tangan keponakannya itu, terus dilontarkan ke atas sehingga Pek In dapat turun dengan enak, tidak sampai terbanting, Pek In terkejut bukan main, dan kakek itu tertawa.

   Kiranya gadis itu masih amat lemah, sebaliknya laki-laki tinggi besar yang amat gagah perkasa itu cukup lihai. Hal ini dapat dilihatnya dengan mudah ketika laki-laki itu menahan jatuhnya gadis yang terlempar. Bagaimanakah tiga orang sisa dari Im-kan Ngo-ok itu tahu-tahu telah bisa bersekutu dengan Hek-i Mo-ong dan agaknya membantu guru silat She Koa itu? Persekutuan antara mereka tidaklah aneh karena Hek-i Mo-ong sebetulnya masih terhitung susiok (paman guru) dari Toa-ok Su Lo Ti orang pertama Im-kan Ngo-ok. Dan karena keduanya telah mengalami musibah, yaitu Im-kan Ngo-ok selain kehilangan pekerjaan atau kedudukan sebagai pendukung Sam-thaihouw juga telah kehilangan dua orang anggauta termuda yaitu Su-ok dan Ngo-ok,

   

Jodoh Rajawali Eps 27 Jodoh Rajawali Eps 14 Jodoh Rajawali Eps 59

Cari Blog Ini