Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 55


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 55



"Selamat malam, Panglima!"

   Sebagai seorang yang sering kali menghadapi bahaya dalam perang dan pertempuran, secara otomatis tubuh panglima itu meloncat dari atas kursinya, memutar tubuhnya dan siap menghadapi segala kemungkinan, karena munculnya seorang asing begitu saja dalam ruangan kerjanya di malam itu, tanpa melalui pelaporan penjaga, sungguh merupakan hal yang luar biasa. Akan tetapi begitu dia melihat siapa adanya pemuda yang muncul di luar jendela ruangannya, dia terkejut dan sejenak dia hanya terbelalak memandang penuh keheranan.

   "Apakah engkau juga seperti semua orang di Bhutan, tidak lagi sudi mengenalku sebagai seorang sahabat, Panglima?"

   Tanya Tek Hoat, di dalam suaranya terkandung penyesalan dan kepahitan.

   "Eh.... ohhh.... tidak sama sekali, Ang-taihiap! Aku hanya.... hanya terkejut dan heran. Masuklah, dari mana Taihiap datang....?"

   Tanya panglima itu dengan gugup karena dia masih terheran-heran. Dengan ringan sekali tubuh pemuda itu meloncat memasuki ruangan melalui jendela kemudian dia duduk di atas kursi, melepaskan sorbannya dan menarik napas panjang sambil menghapus keringatnya.

   "Aihhh, betapa sukarnya tugasku ini,"

   Keluhnya. Panglima Jayin cepat menutupkan daun jendela, lalu bergegas membuka pintu ruangan, meyakinkan hatinya bahwa di luar kamar tidak ada siapa-siapa, kemudian dia menutupkan kembali daun pintu ruangan itu dan menguncinya dari dalam. Kemudian dia menuangkan air teh dalam cangkir.

   "Minumlah, Taihiap, kemudian ceritakan cepat apa maksud Taihiap datang ke Bhutan dan terutama datang ke tempatku di malam hari begini. Aku yakin bahwa ada urusan penting sekali maka Taihiap teringat untuk mencari Jayin."

   Tek Hoat minum air teh itu, kemudian dia memandang wajah panglima itu yang duduk berhadapan dengannya dan yang sedang mengamati wajahnya penuh selidik.

   "Panglima, benar wawasanmu. Kedatanganku membawa berita yang luar biasa pentingnya, yang menyangkut diri Puteri Syanti Dewi, Raja Bhutan, dan keselamatan Kerajaan Bhutan sendiri.

   "Ahhh....!"

   Wajah panglima itu menjadi pucat.

   "Mengapa Taihiap tidak langsung saja menghadap sri baginda? Mari kuantarkan menghadap sekarang juga."

   "Nanti dulu, Panglima."

   Tek Hoat meng-geleng kepala.

   "Di Bhutan ini, siapa lagi yang dapat kupercaya selain engkau? Kalau aku menghadap sri baginda dan menyampaikan laporanku ini, pasti beliau tidak akan percaya bahkan aku akan ditangkap. Maka lebih baik kuceritakan dulu kepadamu, baru kau pertimbangkan apakah perlu aku pergi menghadapi sri baginda raja."

   "Baik, baik, lekas kau ceritakan, Taihiap!"

   "Dengar, Panglima. Kerajaan Bhutan dalam bahaya, juga keselamatan raja terancam. Mohinta sedang menuju pulang ke Bhutan dan membawa Puteri Syanti Dewi sebagai sandera. Dia mengatur rencana, membawa sang puteri ke dalam istana dan memaksa raja turun tahta dengan sang puteri di jadikan sandera untuk mengancam raja, dan selain itu, dia pun sudah siap dengan bala tentara untuk memberontak, dibantu oleh pasukan Nepal yang akan datang dari perbatasan."

   Tek Hoat sengaja tidak menceritakan ikutnya Syanti Dewi dalam persekutuan itu, karena cintanya terhadap puteri itu melarang dia mengabarkan tentang pengkhianatan sang puteri. Biarlah, hal itu akan kuhadapi sendiri dan akan kutanyakan sendiri kepadanya kalau aku sempat bertemu lagi dengan dia, pikirnya. Sepasang mata Panglima Jayin mengeluarkan sinar kilat yang menyoroti wajah Tek Hoat, memandang penuh selidik dan wajah panglima itu jelas membayangkan ketidakpercayaan, akan tetapi keheranan menguasai hatinya sehingga dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata!

   "Hemmm, kulihat engkau pun agaknya tidak percaya kepadaku, Panglima!"

   Tek Hoat berkata dengan alis berkerut.

   "Siapakah yang dapat mempercayai cerita segila itu? Ah, maafkan aku, Tai-hiap, akan tetapi penuturanmu itu sungguh terlalu luar biasa. Mohinta adalah putera Panglima Sangita, hal ini tentu engkau sudah tahu, dan dia malah direncanakan menjadi suami Puteri Syanti Dewi. Mana mungkin dia akan mengadakan pemberontakan seperti itu? Akan tetapi nanti dulu.... jangan kau putus asa, Taihiap karena agaknya, di negeri ini hanya ada satu orang saja yang percaya kepada ceritamu, dan orang itu adalah aku."

   "Ah, terima kasih, Panglima. Kalau begitu tidak sia-sia perjalananku sejauh ini!"

   Seru Tek Hoat dengan girang.

   "Harap Panglima suka mengatur bagaimana baiknya untuk menggagalkan pengkhianatan ini, dan aku akan membantumu."

   Wajah Panglima Jayin berseri. Biarpun dia bukan seorang pembesar ambisius yang mendambakan kedudukan yang lebih tinggi, namun dalam peristiwa ini dia melihat kesempatan besar terbuka baginya untuk membuat jasa besar sekali terhadap negara dan kerajaan, dan hal ini mendatangkan rasa girang yang amat besar dalam hatinya. Apalagi di situ terdapat pemuda perkasa, ini yang membantunya, maka dia merasa tenang dan sama sekali tidak khawatir.

   "Pertama-tama, kita harus cepat memberi laporan kepada sri baginda, dan karena urusan ini amat gawat, dan agar tidak menarik perhatian orang dan menimbulkan keributan sehingga hal ini akan bocor dan diketahui fihak pemberontak, sebaiknya kita harus malam ini juga melapor kepada sri baginda. Mari, Taihiap, mari ikut bersamaku ke istana, kita menghadap sri baginda melalui jalan rahasia."

   Pergilah kedua orang itu menuju ke istana melalui tempat-tempat gelap, dan dari luar taman bunga istana, Panglima Jayin mengajak Tek Hoat memasuki taman melalui jalan rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga raja dan para pembesar terpercaya.

   Setelah melalui jalan berliku-liku dan rumit, akhirnya mereka berdua memasuki terowongan bawah tanah dan ketika keluar dari terowongan, mereka telah berada di dalam sebuah kamar yang letaknya di belakang dapur istana yang pada saat itu sunyi. Jayin menggunakan sebuah kunci yang telah dibawanya dari rumah untuk membuka pintu kamar itu dan tibalah mereka di lorong dalam istana. Mereka bertemu dengan seorang pengawal istana untuk pertama kali. Akan tetapi ketika pengawal itu datang berlari dan melihat bahwa dua orang itu yang seorang adalah Panglima Jayin sedangkan yang ke dua adalah seorang muda yang tidak dikenalnya karena Tek Hoat menyamar sebagai seorang Bhutan pula, dia tidak menaruh curiga dan cepat memberi hormat kepada Panglima Jayin.

   "Ada urusan mendesak yang memaksa kami harus cepat menghadap sri baginda,"

   Kata panglima itu,

   "di mana beliau?"

   "Beliau sudah memasuki kamar, baru saja."

   "Laporkan kepada pengawal kamar, kami harus menghadap sekarang."

   "Mari Panglima, keputusannya terserah kepada pengawal kamar."

   Mereka bertiga lalu berjalan dan beberapa kali mereka bertemu dengan pengawal-pengawal istana yang memandang dengan heran juga melihat betapa panglima itu malam-malam begini memasuki istana.

   "Maaf, panglima. Kami tidak berani membiarkan Paduka memasuki kamar sebelum ada perkenan dari sri baginda sendiri,"

   Kata seorang di antara para pengawal yang menjaga di depan kamar dengan senjata di tangan.

   "Kalau begitu sampaikan kepada sri baginda bahwa Panglima Jayin mohon menghadap sekarang juga untuk menyampaikan berita amat penting tentang sang puteri."

   "Sang Puteri Syanti Dewi....?"

   Hampir semua mulut pengawal berseru mengulang nama ini dan tahulah mereka betapa pentingnya berita yang dibawa oleh panglima ini, maka seorang di antara mereka yang bertugas sebagai komandan jaga malam itu, segera membuka daun pintu perlahan-lahan dan melangkah masuk kamar dengan hati-hati setelah menutupkan kembali daun pintu. Tak lama kemudian, daun pintu bergerak, terbuka dan pengawal itu muncul, mengangguk kepada Panglima Jayin dan berkata,

   "Paduka diperkenankan masuk dan menghadap sri baginda."

   Panglima Jayin lalu memasuki kamar, diikuti oleh Tek Hoat yang berjalan sambil menundukkan mukanya. Kamar itu besar dan ketika mereka masuk dan Tek Hoat melirik, dia melihat sri baginda sudah duduk di atas pembaringan dan beberapa orang dayang cantik berlutut di sudut kamar. Sri baginda tersenyum menerima kedatangan Jayin, akan tetapi alisnya berkerut heran ketika dia melihat Tek Hoat yang belum dikenalnya. Panglima Jayin segera menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, diikuti oleh Ang Tek Hoat.

   "Jayin, benarkah engkau datang membawa berita tentang puteriku? Bagaimana dia? Di mana dia sekarang?"

   Karena tegang mendengar puterinya telah ada beritanya, raja ini tidak begitu memperhatikan Tek Hoat. Panglima Jayin melirik ke arah para dayang yang hadir di situ, kemudian berkata dengan penuh hormat,

   "Harap Paduka sudi mengampuni hamba, akan tetapi hamba akan menghaturkan berita yang hanya layak didengar oleh Paduka sendiri saja."

   Sri baginda mengerti maksud Jayin, maka dengan gerakan tangannya dia segera mengusir para dayang itu. Enam orang wanita muda yang cantik-cantik itu segera mengundurkan diri melalui pintu belakang dan daun pintu itu segera ditutup kembali rapat-rapat.

   "Nah, ceritakan, Jayin."

   Sri baginda cepat berkata.

   "Maaf, hamba harus memeriksa pintu lebih dulu."

   Panglima Jayin memberi hormat, kemudian bangkit berdiri dan memeriksa pintu belakang yang baru saja ditutup, menguncinya, juga memeriksa jendela-jendela dan pintu depan yang besar. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang mendengarkan, dia kembali berlutut di depan raja itu. Perbuatannya ini membuat hati sang raja menjadi makin tegang dan khawatir, lalu bertanya,

   "Jayin, mengapa engkau begitu curiga? Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan Puteri Syanti?"

   "Bukan hanya keselamatan puteri Paduka terancam bahaya, Sri Baginda, bahkan juga Paduka sendiri dan kerajaan terancam pengkhianat dan pemberontakan keji."

   Raja tua itu terkejut bukan main, terbelalak dan mukanya berubah agak pucat, akan tetapi kini dia memandang ke arah Tek Hoat dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia membentak kepada Jayin,

   "Jayin, kalau engkau membawa berita yang begini hebat dan gawat, mengapa engkau mengajak orang ini? Siapa dia dan apa hubungannya dengan berita ini?"

   "Maafkan kelancangan hamba, agaknya Paduka lupa kepada hamba. Hamba adalah Ang Tek Hoat dan hambalah yang datang membawa berita ini."

   Kini sang raja benar-benar terkejut bukan main dan dia memandang kepada wajah Tek Hoat penuh perhatian, kemudian memandang kepada Panglima Jayin dengan sinar mata terheran-heran dan penuh pertanyaan.

   "Hamba rnengerti bahwa Paduka tentu merasa heran sekali, akan tetapi oleh karena Ang-taihiap membawa berita yang luar biasa penting dan gawatnya, maka hamba membawanya menghadap Paduka agar Paduka dapat mendengar sendiri berita hebat ini."

   Betapapun juga, sri baginda masih ingat benar akan jasa-jasa yang pernah dibuat oleh Tek Hoat, bahkan pernah dia mengagumi pemuda ini dan merasa bangga mempunyai calon mantu seperti dia. Hanya karena pengakuan ibu kandung pemuda ini saja yang membuat dia berubah membencinya karena merasa malu kalau harus mempunyai mantu seorang anak haram tanpa ayah! Akan tetapi, sekarang puterinya itu hilang, dan kini yang datang membawa berita tentang puterinya adalah pemuda itu sendiri!

   "Jayin, ceritakanlah apa yang terjadi!"

   Katanya singkat. Dengan jelas Panglima Jayin lalu mengulang cerita Tek Hoat tentang Syanti Dewi yang ditawan oleh Mohinta dan tentang rencana Mohinta mempergunakan puteri itu sebagai sandera untuk memaksa sang raja turun tahta, kemudian menggunakan pasukan yang dibantu oleh Kerajaan Nepal untuk merampas kedudukan sri baginda dan mengangkat diri sendiri menjadi raja. Makin lama Sang Raja Bhutan menjadi makin terheran-heran di samping terkejut dan tidak percaya. Setelah Jayin selesai bercerita, dia berkata,

   "Ah, mana mungkin terjadi hal demikian? Mohinta.... dia putera Sangita.... bagaimana aku dapat percaya akan berita ini?"

   "Memang amat mengherankan dan sukar dipercaya, Sri baginda, akan tetapi hendaknya Paduka memaklumi bahwa hamba sendiri percaya sepenuhnya akan berita yang dibawa oleh Ang-taihiap."

   "Hemmm, bagaimana kalau bohong?"

   "Hamba mempertaruhkan nyawa hamba!"

   Kata Tek Hoat cepat-cepat dengan hati penasaran karena dia masih juga belum dipercaya.

   "Dan hamba juga berani mempertaruhkan kepala hamba untuk kebenaran berita yang dibawa oleh Ang-taihiap."

   Sampai beberapa lamanya raja itu menatap kedua orang itu bergantian sehingga suasana di kamar itu sunyi senyap. Akhirnya raja itu mengangguk-angguk dan berkata,

   "Sesungguhnya aku pun tidak dapat menyangsikan omongan kalian berdua, hanya karena berita itu benar-benar mengejutkan dan luar biasa, maka aku ingin meyakinkan hatiku. Kalau benar demikian, keparat sungguh Mohinta itu! Jayin, engkau boleh memimpin pasukan menyambut Mohinta itu, menangkapnya dan menyelamatkan puteriku!"

   "Mohon diampunkan kelancangan hamba, Sri baginda. Akan tetapi kalau perintah Paduka itu dilaksanakan, berarti kita belum dapat membasmi seluruh pemberontakan itu karena tidak ada bukti. Bahkan mungkin sekali Mohinta akan menyangkal dan kita kehilangan bukti. Sebaiknya dilakukan pembersihan lebih dulu sebelum Mohinta datang, dan di sini dilakukan penjagaan ketat yang terpendam, dan dikirim pasukan untuk menghalau pasukan Nepal di perbatasan yang hendak membantu gerakan Mohinta. Hamba sendiri yang akan melindungi sang puteri kalau sudah dibawa oleh Mohinta ke istana."

   "Usul Ang-taihiap itu tepat sekali, Sri Baginda. Lebih penting memadamkan sumber-sumber api pemberontakan ini lebih dulu sambil menanti sampai Mohinta melakukan gerakannya dalam istana yang diam-diam sudah terjaga ketat dan dilindungi oleh Ang-taihiap. Hamba akan menangkapi kaki tangan Mohinta yang memang sudah hamba daftar, kemudian hamba akan mencari akal untuk menaruh seorang perwira yang pura-pura akan bersekutu dengan dia agar segala rencananya dapat kita ketahui."

   Raja tua itu menghela napas panjang.

   "Baiklah.... baiklah, atur saja sebaiknya. Aku sudah malas mengurus segala hal itu, akan tetapi aku menghendaki keselamatan puteriku!"

   "Hamba menanggung keselamatan puteri Paduka dengan nyawa hamba!"

   Kata Ang Tek Hoat.

   "Baik, nah, kau bawa pedangku ini sebagai tanda kekuasaan tertinggi, Jayin, dan cincin ini akan menyadarkan semua pembantuku bahwa engkau adalah seorang kepercayaanku, Ang Tek Hoat."

   Dua orang itu dengan hormat menerima pedang dan cincin, kemudian diperkenankan mundur untuk mengatur rencana penghancuran pemberontakan dan melaksanakannya tanpa menanti perintah dari sri baginda lagi karena pedang di tangan Jayin itu telah merupakan kekuasaan mutlak untuk bertindak atas nama raja!

   Dengan tenang namun cepat, tanpa menimbulkan kegelisahan dan keributan, Jayin menangkapi banyak panglima dan perwira, dimulai dari panglima tua Sangita sendiri. Sebagai panglima nomor dua di Bhutan, tentu saja Panglima Jayin sudah hafal siapa di antara para panglima dan perwira yang condong kepada Panglima Sangita, maka dalam waktu sehari itu dia menangkapi lebih lima puluh orang panglima dan perwira tinggi! Kemudian dia membawa seorang panglima yang sejak muda sudah mengabdi kepada sri baginda dan yang juga termasuk seorang di antara kaki tangan Sangita, membawanya ke dalam kamar rumahnya sendiri dan di situ dia membebaskan belenggu yang tadinya mengikat kedua tangan panglima tua ini. Di situ dibeberkan semua rahasia pemberontakan Mohinta dan mengapa Sangita dan para pembantunya ditangkapi.

   "Mohinta merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan mengingat bahwa Mohinta adalah putera Sangita, maka Sangita dan mereka yang berfihak padanya ditangkap atas perintah sri baginda."

   "Akan tetapi.... saya tidak tahu menahu sama sekali tentang rencana pemberontakan, Panglima Jayin, dan sepanjang pengetahuan saya, Panglima Sa-ngita adalah seorang panglima tua yang berbakti kepada negara. Tidak mungkin dia hendak melakukan pemberontakan, biarpun diatur oleh puteranya sendiri!"

   "Aku tahu, akan tetapi demi keamanan negara, lebih dulu Panglima Sangita dan teman-temannya, termasuk engkau diamankan. Dan kalau memang benar engkau merupakan seorang warga negara Bhutan yang setia, engkau harus dapat membantu untuk menghancurkan rencana pemberontakan ini."

   "Aku bersedia!"

   Jawab panglima itu sambil berdiri sigap seperti seorang perajurit siap menerima perintah. Jayin lalu mengatur dan menyusun siasat untuk menjebak Mohinta. Panglima tua itu adalah tangan kanan Sangita, merupakan wakilnya, maka setelah panglima ini jelas memperlihatkan sigap setia kepada negara, Jayin lalu mempergunakannya untuk menjebak Mohinta. Panglima itu dibebaskan kembali dan bahkan disuruh menghadapi dan menyelesaikan segala urusan yang seharusnya ditangani oleh Sangita, sebagai wakil panglima pertama ini.

   Panglima Jayin yang bijaksana dan pandai itu dapat mengatur sedemikian rupa sehingga peristiwa penahanan para panglima itu tidak sampai menghebohkan masyarakat, dan keadaan kota raja tetap tenang-tenang saja sehingga tidak akan mencurigakan fihak pemberontak, sungguhpun. kekuatan utama telah diamankan sehingga andaikata ada pasukan-pasukan yang condong untuk memberontak, mereka telah kehilangan kepala dan kehilangan pegangan. Kini mereka tinggal menanti saja munculnya Mohinta. Tek Hoat sendiri sudah bersiap-siap, menjaga dalam istana dan sepasukan pengawal diserahkan kepadanya untuk diatur menjaga istana itu dengan ketat namun juga tidak kentara bahwa terjadi ketegangan-ketegangan.

   Panglima Jayin sendiri mengerahkan pasukan terpendam untuk menghadapi gerakan pasukan Nepal di perbatasan. Akhirnya saat yang dinanti-nanti penuh ketegangan itu pun tiba! Pada suatu malam yang sunyi, seorang perwira utusan Mohinta yang menjadi kurir menyelinap ke dalam gedung tempat tinggal Panglima Sangita. Dia tidak tahu bahwa seluruh penjagaan di dalam gedung itu telah bertukar orang, yaitu orang-orangnya Panglima Jayin. Kemudian oleh penjaga dia dihadapkan kepada panglima tua yang mengaku sebagai wakil dari Panglima Sangita dan mengatakan bahwa Panglima Sangita sedang menjalankan tugas ke luar Bhutan dan telah memberi kuasa kepadanya untuk menerima hubungan dari putera panglima.

   Utusan itu lalu menyampaikan pesan Mohinta agar Panglima Sangita atau wakilnya suka menenuinya di luar Bhutan, dalam sebuah hutan tersembunyi untuk bicara. Panglima tua yang kini menjadi pembantu Jayin itu cepat mengikuti utusan itu meninggalkan kota raja dan menjelang pagi sampailah mereka di dalam hutan di mana telah menanti Mohinta dan kaki tangannya. Mohinta mengenal panglima tua ini sebagai pembantu ayahnya yang paling dipercaya maka dia pun tidak ragu-ragu lagi dan cepat dia menceritakan segala rencananya untuk disampaikan kepada ayahnya. Mohinta minta kepada panglima itu untuk mengirim pasukan pengawal untuk mengawalnya masuk istana, pasukan yang boleh dipercaya dan kuat untuk menghadapi pengawal-pengawal istana. Kemudian dia minta agar dikerahkan pasukan besar untuk bergerak mengepung istana,

   Dan mengirim pula pasukan untuk menyambut pasukan Nepal di perbatasan dan mengajak pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan sehingga dengan bantuan pasukan Nepal mereka akan dapat menguasai Bhutan seluruhnya. Tentu saja diam-diam panglima yang tua itu terkejut sekali mendengar rencana ini dan baru dia percaya bahwa putera panglima ini merencanakan pemberontakan hebat, bahkan pengkhianatan dengan bersekutu bersama pasukan Nepal yang menjadi musuh Bhutan. Dia menyatakan mengerti dan bergegas kembali ke kota raja untuk "melaksanakan"

   Rencana yang diatur oleh Mohinta itu. Tanpa mengenal lelah panglima tua ini lalu menemui Jayin yang memang sudah menanti dan diceritakanlah semua pembicaraannya dengan Mohinta.

   "Bagus! Permintaannya yang pertama harus dipenuhi, yaitu mengirim pasukan pengawal pilihanku sendiri. Dan memang ada pasukan yang akan menyambut pasukan Nepal di perbatasan, bukan untuk diajak bekerja sama, melainkan untuk dihancurkan!"

   Kata Jayin menahan kemarahannya. Sesuai dengan permintaan Mohinta, seregu pasukan pengawal dikirim ke hutan itu, dan seorang "utusan"

   Panglima tua menyampaikan berita kepada Mohinta bahwa pasukan telah dipersiapkan untuk "mengurung"

   Istana, dan juga dikirim sebuah pasukan untuk menyambut bala tentara Nepal di perbatasan.

   Tentu saja Mohinta menjadi girang bukan main. Biarpun hatinya juga diliputi ketegangan hebat, namun dia sudah merasa yakin akan kemenangannya dan dia segera mengawal sang puteri, berikut para penga-walnya sendiri dan pasukan pengawal yang baru saja menyambutnya, memasuki kota raja dan karena rakyat sudah dikabari akan kembalinya sang puteri, maka di sepanjang jalan rakyat menyambut dengan gembira.

   "Puteri"

   Syanti Dewi yang duduk di dalam kereta itu melambaikan tangannya ke kanan kiri sambil tersenyum manis. Mereka yang pernah mengenal sang puteri dari dekat, diam-diam merasa akan adanya perubahan pada diri sang puteri itu. Memang sejak dahulu Puteri Syanti Dewi terkenal ramah terhadap rakyat kecil, akan tetapi keramahannya itu bersifat halus, senyumnya agung dan pandang matanya lembut.

   Ketika sang puteri melambaikan tangan dari dalam kereta dan wajahnya nampak sepintas lalu, mereka ini melihat betapa senyum sang puteri itu, biarpun masih tetap manis, mengandung kegenitan dan pandang matanya juga tidak selembut dahulu lagi! Tentu saja perubahan yang sedikit ini tidak menimbulkan kecurigaan sesuatu. Rakyat bersorak-sorak menyambut sang puteri yang memang dicinta oleh rakyat Bhutan yang sudah lama ikut prihatin karena hilangnya sang puteri, sampai rombongan itu tiba di depan istana, kemudian memasuki halaman istana yang lebar. Rakyat hanya bergerombol di luar halaman yang terjaga. Para perajurit pengawal memberi hormat ketika Mohinta mengawal sang puteri turun dari kereta dan berjalan dengan agungnya memasuki istana.

   Sesuai dengan permintaan Ang Tek Hoat sri baginda menanti kedatangan puterinya itu di ruangan yang luas di tengah istana, dan yang mendampingi raja itu hanya dua orang pengawal pribadi yang memegang tombak. Ketika Mohinta tiba di luar pintu ruangan itu, para pengawal istana melarang para pengawal ikut masuk bersama Mohinta memasuki ruangan itu dan hanya membolehkan Mohinta dan sang puteri berjalan masuk. Karena Mohinta merasa yakin bahwa para pengawal di istana ini pun tentu sudah "diberi"

   Oleh ayahnya dan kaki tangannya, maka dia dengan sikap tenang saja memasuki ruangan itu dengan sikap gagah. Raja Bhutan duduk di atas kursinya dengan sikap tenang, sungguhpun jantungnya berdebar penuh ketegangan. Hanya ada dua orang pengawal di belakangnya,

   Sungguhpun dia maklum bahwa Ang Tek Hoat berada di situ pula, entah bersembunyi di mana! Dan melihat betapa raja hanya ditemani dua orang pengawal, diam-diam Mohinta menjadi girang bukan main. Inilah saatnya bertindak, pikirnya dan begitu dia dan Syanti Dewi melangkah maju sampai cukup dekat, tiba-tiba Mohinta mencabut pedangnya, menangkap pundak sang puteri dan menodongkan pedangnya ke leher Syanti Dewi! Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati sang raja melihat ini sungguhpun dia telah diberi tahu akan rencana Mohinta yang membawa puterinya sebagai sandera. Kaget dan marah bukan main hati raja itu melihat pengkhianatan ini. Dia turun dari kursinya, dengan muka merah dan mata melotot, menudingkan telunjuk kirinya ke arah Mohinta dan membentak, suaranya penuh dengan kemarahan.

   "Mohinta, apa yang kau lakukan itu?"

   Suara sri baginda gemetar. Dengan wajah beringas Mohinta berkata,

   "Sri baginda, dengarlah baik-baik! Pasukan pengawalku sudah mengurung ruangan ini, juga istana telah dikurung oleh barisan ayahku, dan di perbatasan telah menanti pasukan besar Nepal yang akan membantuku! Seluruh negeri Bhutan telah berada dalam genggamanku, dan nyawa puterimu berada di teiapak tanganku pula! Harap Paduka melihat kenyataan ini dan tidak melawan!"
Hampir raja itu tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya.

   "Pengkhianat busuk! Semenjak beberapa keturunan, keluargamu telah menerima banyak anugerah dari kerajaan, juga telah banyak membuat jasa yang mengharumkan nama keluargamu. Akan tetapi sehari ini semua itu akan dihancurkan oleh kelakuan seorang keturunan macam kamu yang hina dan rendah ini!"

   "Sri baginda, tak perlu banyak cakap kalau Paduka menghendaki puterimu ini selamat!"

   Bentak Mohinta.

   "Apa kehendakmu?"

   Tanya raja, juga membentak.

   "Buatkan pernyataan bahwa Paduka melepaskan kedudukan dan menyerahkan tahta kerajaan kepadaku. Paduka telah terlalu tua dan aku sebagai mantu yang akan menggantikan kedudukan di Bhutan!"

   "Keparat! Jahanam! Tangkap pemberontak ini!"

   Raja itu berteriak-teriak dan dua orang pengawalnya bergerak ke depan.

   "Mundur kalian! Atau, kubunuh sang puteri, kemudian kubunuh pula Sri baginda!"

   Bentak Mohinta dan pedangnya makin dilekatkan ke leher sang puteri yang menjadi pucat dan gemetar tubuhnya.

   Dua orang pengawal itu menjadi ragu-ragu dan bingung. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan berkelebat ke arah Mohinta. Panglima muda ini terkejut bukan main ketika bayangan itu menyambar ke arahnya dan ada hawa pukulan dahsyat menyambar pula. Dia mengelebatkan pedangnya, akan tetapi akibatnya, dia berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang karena pedangnya itu membalik dan hampir mengenai mukanya sendiri, sedangkan pergelangan tangannya yang kena pukulan hawa itu terasa nyeri. Ketika dia memandang, seorang pemuda telah berdiri menghadang antara dia dan sang puteri dan semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Sementara itu, Sri baginda lari menghampiri sang puteri yang segera dipeluknya.

   "Syanti.... anakku.... ah, anakku....!"

   Ang Tek Hoat memandang Mohinta dengan muka beringas dan menyeramkan sekali. Apalagi ketika pemuda ini berkata lirih, namun cukup jelas terdengar oleh Mohinta,

   "Jahanam busuk Mohinta, engkau telah membunuh ibuku dan untuk itu saja akan kuhancurkan kepalamu! Engkau telah menyesatkan Syanti Dewi dan untuk itu akan kupatahkan batang lehermu! Dan engkau merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan untuk itu engkau layak mampus sebagai anjing pengkhianat!"

   "Ahhh.... kau.... kau....!"

   Teriakan raja ini mengejutkan Tek Hoat yang cepat memutar tubuhnya. Dia melihat Syanti Dewi dengan pisau di tangan menyerang raja! Raja Bhutan mengelak akan tetapi lengannya masih tertusuk dan mengeluarkan darah.

   "Syanti....! Kau gila....!"

   Tek Hoat berseru, akan tetapi Syanti Dewi mengeluarkan suara ketawa aneh dan terus menyerang raja. Akan tetapi pada saat itu, dua orang pengawal raja sudah bergerak, tombak mereka menghalang dan menyerang dan di lain saat, perut puteri itu sudah ditembus tombak dan robohlah puteri itu dengan mata terbelalak dan ususnya keluar dari lukanya, tubuhnya mandi darah.

   "Dewi....!"

   Tek Hoat berseru lagi dan Raja Bhutan lalu diselamatkan oleh dua orang pengawal melalui pintu rahasia. Tek Hoat merasa kepalanya pening dan hampir dia roboh pingsan menyaksikan semua itu. Syanti Dewi menyerang ayahnya sendiri dan puteri itu kemudian roboh tewas oleh pengawal. Semua ini gara-gara Mohinta. Dia memutar tubuhnya, akan tetapi Mohinta telah lari keluar, mempergunakan kesempatan selagi "puteri"

   Itu menyerang raja dan Ang Tek Hoat tidak lagi memperhatikan dirinya. Di luar terjadi keributan, terdengar suara hiruk-pikuk orang berkelahi. Dengan hati hancur melihat tubuh kekasihnya menggeletak tak bernyawa dengan usus terurai keluar,

   Tek Hoat mengerang dan berkelebat keluar dari dalam ruangan itu, mencabut pedang Cui-beng-kiam dan sinar matanya mengandung hawa maut seperti seekor harimau yang haus darah. Ternyata telah terjadi pertempuran di luar, di seluruh istana sampai keluar istana, yaitu antara para pengikut Mohinta melawan para pengawal. Mohinta terkejut setengah mati ketika tadi melihat munculnya Tek Hoat dan tahulah dia bahwa rencananya gagal. Juga Syanti Dewi palsu tahu akan kegagalan itu maka dengan nekat dia menyerang sang raja sehingga dia menemui ajalnya di ujung tombak dua orang pengawal. Ketika tiba di luar dan melihat betapa pasukan pengawal yang menyambutnya tadi kini malah bertanding melawan para pengikutnya, makin sadarlah Mohinta bahwa dia telah terjebak. Maka dia pun lalu mengamuk dibantu oleh anak buahnya.

   Dan memang sebelumnya Mohinta telah mempersiapkan diri maka para pengikutnya terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, bukan pengikut-pengikut biasa, bahkan di antara mereka terdapat orang-orang Nepal yang menyamar, orang-orang yang kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada Mohinta sendiri! Tek Hoat mengamuk dengan pedangnya. Begitu dia menerjang ke depan, kacaulah pertahanan para pengikut Mohinta dan sebentar saja, Tek Hoat telah merobohkan banyak pengikut pemberontak, akan tetapi dia terus berlari keluar mencari dan mengejar Mohinta. Ketika dia tiba di ruangan depan, dia melihat Mohinta dibantu oleh beberapa orang anak buahnya, di antaranya bahkan ada seorang berkepala gundul seperti hwesio yang amat lihai sedang mengamuk merobohkan para pengawal istana.

   Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mohinta keparat, jangan lari!"

   Tek Hoat berseru nyaring dan menerjang ke depan, akan tetapi dia disambut oleh banyak anak buah Mohinta yang cukup lihai sehingga Tek Hoat harus menggerakkan pedangnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya dari hujan senjata.

   "Kepung! Bunuh!"

   Mohinta berseru memerintahkan anak buahnya karena dia maklum bahwa selama pemuda ini belum roboh, maka dia sendiri terancam bahaya. Anak buahnya berdatangan dan kiranya panglima muda ini memang telah menaruh banyak mata-mata di situ, mata-mata yang berdatangan pada saat Mohinta memasuki istana dan para anak buah itu kini dapat membantunya mengeroyok Tek Hoat. Ada dua puluh orang lebih kini mengurung Tek Hoat yang mengamuk seorang diri saja karena para pengawal istana sudah roboh oleh para pemberontak itu.

   Tek Hoat tidak menjadi gentar dan mengamuk terus sambil berusaha mendekati Mohinta. Akan tetapi, para pengeroyoknya adalah orang-orang pilihan dari Bhutan, sebagian dari Nepal dan bahkan ada beberapa orang Han yang telah menjadi kaki tangan panglima muda itu. Bagaikan seekor naga mengamuk, Tek Hoat menggerakkan pedangnya. Hatinya masih kalut, kedukaan yang amat hebat menghimpit hatinya. Tubuh Syanti Dewi dengan usus keluar itu tak pernah meninggalkan bayangan matanya dan dia mengamuk dengan gerakan nekat dan banyak yang mengawur maka beberapa kali senjata lawan yang mengeroyoknya sempat mengenai tubuhnya. Kedua pahanya luka-luka, celananya robek dan pakaiannya sudah ternoda darahnya sendiri dan darah musuh.

   Namun, dia merobohkan mereka satu demi satu dan Cui-beng-kiam, pedang pusaka yang mengerikan itu, kini boleh puas minum darah manusia. Berkali-kali pedang ini memasuki tubuh seorang pengeroyok dan keluar lagi telah berwarna merah, dan darah-darah itu seperti mencucinya, membuatnya mengkilap dan makin ampuh! Biarpun dia sendiri luka-luka dan banyak keluar darah dari lukanya, namun Tek Hoat tidak merasakan semua itu. Satu-satunya hasrat dalam hatinya hanya membunuh Mohinta dan biarpun dia sudah merobohkan belasan orang pengero-yok, dia masih belum dapat mendekati Mohinta yang selalu menjauhkan diri itu. Kini hanya tinggal lima enam orang lagi saja yang masih mengeroyoknya, di antaranya adalah orang berkepala gundul itu yang amat lihai mainkan tombak bercabang tiga itu, bersama dengan beberapa orang pengawal dari Nepal yang pandai bermain golok dan perisai.

   Mohinta sendiri hanya menyerang dari belakang setiap kali ada kesempatan, kemudian meloncat mundur lagi kalau Tek Hoat membalikkan tubuhnya. Melihat kecurangan orang yang amat dibencinya ini, Tek Hoat menjadi marah. Dia menanti kesempatan baik sambil memutar Cui-beng-kiam menghalau semua serangan enam orang lihai yang membantu Mohinta itu. Ketika pendengarannya dapat menangkap gerakan Mohinta yang menyerangnya lagi dari belakang, Tek Hoat pura-pura tidak memperhatikannya, akan tetapi setelah serangan itu dekat dengan tubuhnya, tiba-tiba dia melakukan gerakan meloncat dan membalik, kaki kirinya menginjak tangga lantai. Mohinta terkejut dan cepat meloncat hendak menjauhkan diri, akan tetapi Tek Hoat yang berada di belakangnya itu, tanpa memutar tubuhnya telah menggerakkan Cui-beng-kiam ke belakang, ke arah punggung Mohinta melalui bawah lengan kanannya.

   "Blesssss....!"

   Mohinta menjerit ngeri ketika pedang Cui-beng-kiam itu memasuki punggung, terus ke perut dan menembus ke depan. Darahnya muncrat-muncrat dan teriakannya seperti babi disembelih.

   "Itu untuk ibuku!"

   Teriak Tek Hoat sambil mencabut pedangnya. Ketika tubuh lawan itu terhuyung-huyung, kembali pedangnya membabat dua kali.

   "Crakkk! Crakkk!"

   Kedua lengan Mohinta putus sebatas siku kena disambar Cui-beng-kiam.

   "Itu untuk Kerajaan Bhutan!"

   Kembali Tek Hoat berteriak. Mohinta kembali menjerit dan matanya terbelalak memandang kedua lengannya yang buntung, kini darah muncrat-muncrat dari perut, punggung, dan kedua lengan yang buntung. Akan tetapi Tek Hoat masih belum berhenti menyerangnya. Pedangnya kembali berkelebat, menangkis tombak laki-laki gundul sehingga ujung tombak bercabang tiga itu putus, kemudian pedang itu masih terus membabat ke arah leher Mohinta yang sudah lemas dan kedua kakinya sudah hampir tidak kuat berdiri lagi itu.

   "Crakkk!"

   Leher Mohinta putus disambar Cui-beng-kiam dan lenyaplah jeritan-jeritan Mohinta yang mengerikan tadi.

   "Itu untuk Syanti Dewi!"

   Kembali Tek Hoat berteriak dan kini pemuda ini mengamuk sampai enam orang pengeroyoknya itu roboh semua, tewas di ujung Cui-beng-kiam.

   Akan tetapi karena dia sendiri pun mengalami banyak luka, dan terutama sekali karena batinnya yang tertekan oleh kematian Syanti Dewi, sambil mengeluh panjang setelah tidak melihat adanya seorang pun lawan, Tek Hoat terkulai dan dengan Cui-beng-kiam masih di dalam genggamannya, dia roboh pingsan! Di luar istana juga terjadi pertempuran-pertempuran kecil dari pasukan-pasukan anak buah Mohinta melawan pasukan-pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pembantu Panglima Jayin. Akan tetapi karena pasukan-pasukan pemberontak itu telah kehilangan pimpinan mereka, yang sudah ditawan terlebih dahulu oleh Jayin, maka perlawanan mereka pun setengah matang, dilakukan setengah hati sehingga belum sampai setengah hari lamanya, mereka telah dapat ditundukkan, dihancurkan dan ditawan. Sebagian besar di antara mereka menaluk.

   Demikian pula, di perbatasan terjadi pertempuran antara pasukan Nepal yang sudah siap menyeberang dengan pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jayin sendiri. Pertama-tama Jayin mengirim utusan yang menyamar sebagai utusan pemberontak, mempersilakan pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan, setelah tiba di lorong sempit yang diapit dua buah bukit, pasukan Nepal itu diserbu dari kanan kiri dan depan sehingga pasukan itu menjadi panik, akhirnya melarikan diri kembali ke Nepal meninggalkan banyak korban. Pemberontakan itu berhasil dihancurkan sebelum dimulai! Rakyat merasa gembira bukan main karena mereka terhindar dari perang pemberontakan yang tentu akan merusak kesejahteraan hidup.

   Apalagi ketika rakyat mengetahui bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu hanya seorang wanita Nepal yang menyamar! Akan tetapi, Ang Tek Hoat tidak tahu akan hal ini. Ketika dia ditolong dalam keadaan pingsan, sampai beberapa hari dia tidak siuman, dan tubuhnya menderita demam panas. Dia jatuh sakit, bukan hanya karena luka-lukanya melainkan terutama sekali karena kehancuran hatinya melihat Syanti Dewi tewas. Untuk kedua kalinya, pemuda ini telah menyelamatkan dan membela Bhutan dengan taruhan nyawa, bahkan telah mengorbankan dirinya sampai luka-luka. Karena sekali ini benar-benar merasakan pembelaan pemuda ini, sri baginda merasa berterima kasih sekali dan dia sendiri yang mengatur agar Tek Hoat memperoleh perawatan sebaiknya dari para ahli pengobatan dalam istana.

   Para ahli pengobatan yang pandai itu tahu bahwa pemuda ini jatuh sakit bukan hanya karena luka-luka di tubuhnya. Untuk itu, tubuh pemuda ini sudah terlampau kebal dan terlatih sehingga luka-luka itu tidak membahayakan keselamatannya. Akan tetapi yang mengkhawatirkan para ahli pengobatan itu adalah guncangan batin yang membuat pemuda itu belum pulih benar kesadarannya. Memang Tek Hoat menjadi seperti seorang linglung. Dia hanya rebah dan kadang-kadang duduk, diam saja tak pernah mau bicara. Kadang-kadang dia menangis tersedu-sedu menutupi mukanya, memejamkan matanya hendak mengusir bayangan Syanti Dewi yang mati dalam keadaan mengerikan itu. Kadang-kadang selagi tidur dia berteriak-teriak memanggil nama Syanti Dewi dan memaki-maki Mohinta.

   Para ahli pengobatan merasa khawatir kalau-kalau tekanan batin itu akan mempengaruhi jiwa pemuda itu dan membuatnya menjadi tidak waras. Oleh karena itu, para ahli pengobatan itu menasihatkan kepada sri baginda agar kenyataan bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu sesungguhnya bukan sang puteri, melainkan seorang wanita Nepal yang menyamar. Para tabib ini khawatir kalau-kalau berita yang amat mengejutkan akan mendatangkan guncangan yang terlalu hebat sehingga bahkan membuat penyakit Tek Hoat menjadi makin parah. Sri baginda dapat menerima nasihat ini dan memerintahkan kepada semua pelayan agar jangan menceritakan hal itu kepada Tek Hoat.

   Sri baginda cukup bijaksana untuk mengampuni Panglima Sangita yang sudah tua, karena memang sesungguhnya panglima tua ini hanya terpaksa dan terbujuk oleh puteranya saja. Sedangkan para panglima dan perwira yang menjadi kaki tangan Mohinta, dijatuhi hukuman cukup berat untuk membikin jerih mereka yang masih mempunyai niat untuk memberontak. Pasukan-pasukan yang tadinya terpengaruh oleh Mohinta dan kawan-kawannya, dipecah-pecah dan digabungkan dengan pasukan pemerintah yang setia untuk mencuci bersih batin mereka dari sisa-sisa keinginan memberontak. Setelah Panglima Sangita yang tua itu dipensiun dan dibebas-tugaskan, dengan sendirinya Panglima Jayin rmenjadi panglima pertama, dan biarpun belum diadakan pengangkatan resmi,

   Namun Ang Tek Hoat diangkat lagi menjadi panglima muda oleh sri baginda di Bhutan. Perang terjadi di seluruh dunia semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiada henti-hentinya. Baik yang dinamakan perang dingin atau perang panas, perang politik, ekonomi, kebudayaan, perang halus maupun kasar, tak pernah lenyap dan selalu ada di antara bangsa sebagai letusan-letusan dari kemarahan, kebencian dan permusuhan. Perang yang terjadi antara bangsa, di bagian manapun juga di dunia ini, tidak terlepas dari setiap orang dari kita, karena bangsa merupakan kelompok manusia, oleh karena itu, perang adalah masalah setiap orang manusia di dunia ini, tidak peduli di manapun dia tinggal dan hidup, tidak peduli negaranya berada dalam perang atau tidak pada saat itu.

   Perang antara bangsa tidak terpisahkan dari keadaan diri setiap orang manusia, karena perang pada hakekatnya adalah kekerasan yang timbul dari keadaan batin yang penuh dengan kebencian, dengan perebutan kekuasaan, perebutan kebenaran, dan pementingan diri sendiri. Perang antara bangsa hanya merupakan gambaran besar dari perang yang setiap saat timbul di dalam hati kita sendiri masing-masing. Setiap saat, setiap hari juga terjadi pertentangan-pertentangan, konflik-konflik yang menimbulkan kebencian, kemarahan, dendam, iri hati, persaingan, perebutan yang kesemuanya itu didasari oleh keinginan untuk mementingkan diri sendiri, untuk mencari kesenangan atau keenakan bagi diri sendiri sehingga dalam pencarian atau pengejaran kesenangan ini kita tidak mempedulikan lagi keadaan orang lain.

   Demi mencapai cita-cita, mencapai apa yang kita kejar, yang tentu saja kita anggap akan mendatangkan kesenangan, maka kalau perlu kita membasmi siapa saja yang kita anggap menjadi penghalang tercapainya cita-cita kita itu. Demikian-lah keadaan perang di dalam batin kita setiap saat sehingga batin kita penuh dengan kemarahan, kebencian, dan kekerasan dalam permusuhan. Hal ini dapat kita lihat setiap saat di sekeliling diri kita, atau di dalam diri kita sendiri. Dan selama kita masing-masing tidak berubah, maka perang akan selalu berkobar di dunia ini, karena yang bertanggung jawab adalah kita masing-masing manusia di permukaan bumi ini. Dapatkah kita hidup tanpa perang?

   Perang dalam arti kata perang antara bangsa, antara suku, antara kelompok, antara golongan, antara keluarga, antara tetangga, dan antara manusia perorangan, bahkan perang dalam diri sendiri antara nafsu-nafsu keinginan kita? Berakhirnya "perang"

   Di dalam batin mengakhiri perang di luar diri, karena lahir dan batin tak terpisahkan, kait-mengait dan pengaruh-mem pengaruhi. Bagaimana mungkin kita hidup damai lahiriah dengan orang lain kalau batin kita mengandung kebencian? Mengandung kemarahan, iri hati, rasa takut dan keinginan untuk enak sendiri? Jelas tidak mungkin! Sebaliknya, kalau batin tidak lagi dihuni oleh kemarahan, kebencian, iri hati, rasa takut, keinginan enak sendiri, batin seperti itu adalah batin yang hening dan bersih, batin seperti itu penuh dengan cahaya cinta kasih, dan bagi batin seperti itu tidak ada perang, tidak ada permusuhan, tidak ada kekerasan!

   Raja Bhutan dan Panglima Jayin tentu saja merasa bahwa mereka telah berhasil membasmi pemberontakan, akan tetapi mereka lupa bahwa pemberontakan-pemberontakan tidak akan pernah berhenti, baik pemberontakan halus maupun kasar, selama manusia mementingkan kedudukan, harta benda, nama dan kehormatan, pendeknya selama manusia mengejar-ngejar kesenangan dan mementingkan semua itu lebih tinggi daripada si manusia sendiri. Raja Bhutan dan Jayin sama sekali bukan melenyapkan pemberontakan, melainkan hanya memperoleh kemenangan sementara saja, kemenangan yang harus pula dijaganya dengan kekerasan, karena kemenangan itu diperoleh dengan jalan kekerasan pula. Ketenangan dan kedamaian yang diciptakan oleh penekanan dan kekerasan bukanlah kedamaian lagi namanya.

   Manusia tidak lagi melakukan pemberontakan bukan karena dalam batinnya sudah penuh dengan cinta kasih, melainkan karena mereka takut melakukan pemberontakan itu! Dan ketenteraman seperti ini, yang diciptakan dengan menciptakan pula rasa takut, hanya akan bertahan untuk sementara saja, karena sekali waktu, ketenteraman itu akan terganggu oleh pemberontakan yang lain apabila yang takut sudah tidak takut lagi menurut keadaan pada saat itu! Ketertiban yang sungguh-sungguh ketertiban adalah ketertiban yang timbul dari cinta kasih! Ketertiban yang timbul oleh paksaan kekuasaan, bukanlah ketertiban lagi namanya, melainkan ketidaktertiban yang dipulas. Dan ketertiban berdasarkan cinta kasih tidak mungkin dapat diatur, melainkan datang dengan sewajarnya apabila kita masing-masing tidak lagi dicengkeram oleh keinginan menyenangkan diri sendiri,

   Apabila tidak ada lagi si aku, si kamu dan si dia. bukan berarti bahwa kita lalu menjadi boneka-boneka hidup yang digerakkan oleh suatu kekuasaan tertentu yang membuat kita mati daya cipta kita, membuat kita kehilangan kepribadian, membuat kita memejamkan mata dan hanya bertindak menurut perintah atau menyesuaikan diri dengan apa yang diajarkan oleh kekuasaan itu! Sama sekali tidak, karena kalau demikian, sama saja kita hidup di bawah penekanan kekerasan dan terjadi konflik-konflik dalam batin yang akhirnya akan tercetus keluar menjadi tindakan kekerasan yang menimbulkan permusuhan antara manusia. Ketertiban, cinta kasih tidak bisa dipaksakan, tidak bisa disusun atau dibentuk, melainkan timbul sewajarnya kalau segala bentuk kekerasan sudah lenyap sama sekali dari batin.

   Seperti juga dengan para pendekar yang membantu pemerintah menentang pemberontakan yang didalangi oleh Koksu Nepal, yang setelah benteng musuh itu dapat dihancurkan lalu pergi cerai-berai, masing-masing mengambil jalan sendiri, demikian pula dengan para tokoh yang tadinya membantu pemberontakan itu. Seperti kita ketahui, rombongan Bhutan yang dipimpin oleh Mohinta telah lebih dulu meninggalkan benteng dan mengawal Puteri Syanti Dewi palsu untuk melaksanakan rencana pemberontakan Mohinta di Bhutan. Juga rombongan Liong-sim-pang yang dikepalai Hwa-i-kongcu Tang Hun telah lolos dari benteng, mengambil jalannya sendiri. Hek-tiauw Lo-mo juga telah pergi, mencari puteri angkatnya, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi juga sudah pergi mencari keselamatannya sendiri.

   Bahkan tiga orang pandai yang tadinya membantu Hwa-i-kongcu Tang Hun, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To, setelah melihat kegagalan orang yang dibantunya, juga telah pergi memisahkan diri meninggalkan benteng. Demikian pula dengan halnya Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi itu. Biarpun tadinya mereka memperoleh kesempatan untuk meninggalkan benteng bersama-sama, namun setelah tiba di luar benteng, mereka berpencar. Empat orang di antara Ngo-ok tidak mau mengikuti Sam-ok atau Koksu Nepal yang telah gagal itu. Mereka tidak mau ikut pergi ke negara Nepal, maka mereka pergi sendiri memisahkan diri, meninggalkan Koksu Nepal yang seperti kita ketahui pergi bersama muridnya, Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu.

   Kalau tadinya keempat orang di antara Ngo-ok itu menyambut undangan Sam-ok untuk membantu adalah karena Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengadakan pergerakan di Tiongkok dan mereka mengharapkan kedudukan kalau gerakan itu berhasil. Akan tetapi gerakan pemberontakan itu gagal dan mereka kini tidak bernafsu untuk mencari kemuliaan di negeri lain seperti Nepal, maka mereka berempat meninggalkan Koksu Nepal dan mengambil jalan sendiri, sungguhpun mereka berempat masih belum berpencar, masih melakukan perjalanan bersama menuju ke utara. Pada saat benteng yang dibangun oleh mendiang Jenderal Kao Liang atas pemaksaan Koksu Nepal itu runtuh dan terbakar di antara pertempuran ketika pasukan-pasukan pimpinan Puteri Milana menyerbu benteng, jauh tinggi di angkasa nampak sebuah titik hitam bergerak-gerak, melayang-layang berputaran di atas tempat itu.

   Orang-orang yang berada di bawah, di dalam dan luar benteng yang terbakar itu, terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri, dengan perang dan bunuh-membunuh sehingga tidak ada seorang pun yang sempat memandang ke atas dan melihat titik hitam yang kini makin membesar sehingga akhirnya nampak bahwa titik hitam itu adalah seekor burung rajawali yang melayang-layang di antara awan dan asap yang bergulung-gulung naik dari benteng yang kebakaran itu. Andaikata ada yang melihatnya, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa di atas punggung burung rajawali raksasa itu duduk seorang manusia! Orang yang melihatnya tentu akan menyangka bahwa yang menunggang rajawali itu seorang dewa!

   Burung itu sendiri adalah seekor burung rajawali yang sudah jarang dapat ditemukan orang di jaman itu, seekor burung rajawali besar yang hanya hidup di tempat asing, jauh di utara. Burung itu telah tua sekali, namun masih kelihatan kuat ketika menggerakkan sayapnya yang lebar dan nampaknya ringan saja dia membawa seorang manusia di punggungnya. Manusia itu pun aneh. Kakinya buntung sebelah, tinggal kaki kanannya saja, pakaiannya sederhana sekali, rambutnya panjang terurai dan berwarna putih perak, demikian pula jenggotnya yang agak panjang. Wajahnya agak kurus, namun masih nampak bahwa dahulu orang berkaki buntung sebelah ini tentu merupakan seorang pria yang tampan. Tubuhnya sedang, agak kekurus-kurusan dan dia duduk di atas punggung rajawali yang terbang cepat di angkasa itu seperti orang menunggang kuda saja, enak dan tenang.

   Tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut yang ditempelkannya ke leher burung, agaknya tongkat itulah yang menjadi pengganti kendali untuk mengemudikan burung itu, atau setidaknya untuk memberi isyarat ke mana burung itu harus terbang. Kini burung rajawali itu menguik-nguik panik ketika dia terpaksa memasuki gumpalan asap menghitam bercampur awan, asap yang membubung tinggi dari benteng yang terbakar itu. Kakek berkaki buntung yang usianya tentu sudah lebih dari enam puluh tahun itu menggerakkan tongkatnya dan burung itu menukik turun lalu membelok ke kiri menghindarkan diri dari asap, keluar dari gumpalan menghitam yang baunya menyesakkan napas itu.

   "Hemmm, perang...., lagi-lagi perang.... pertempuran, bunuh-membunuh di antara manusia....!"

   Kakek itu menggumamkan sambil memandang ke bawah di mana pertempuran masih berlangsung. Kakek ini bukan lain adalah Suma Han. Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.

   Seperti telah kita ketahui, Pendekar Super Sakti seolah-olah ditangisi oleh kedua orang isterinya yang tercinta untuk pergi meninggalkan pulau dan mencari putera-putera mereka yang sudah terlalu lama pergi merantau tanpa ada kabar ceritanya. Sebenarnya, pendekar sakti yang tua ini enggan pergi meninggalkan pulaunya, akan tetapi akhirnya dia mengalah juga terhadap keluhan dan bujukan isteri-isterinya dan pergilah dia bersama burung rajawali yang tua itu meninggalkan pulau dan mulai dengan perantauannya mencari dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Ketika dia mendengar akan gerakan pasukan kerajaan yang kabarnya telah menindas pemberontakan di Propinsi Ho-nan dan kini pasukan itu bergerak menuju ke sebuah benteng di lembah, hatinya tertarik karena sangat boleh jadi kedua orang puteranya itu terlibat pula dalam penindasan pemberontakan ini,

   Seperti yang pernah mereka lakukan ketika terjadi pemberontakan dari kedua orang Pangeran Liong. Maka dia pun lalu menyusul ke tempat itu, menunggang burung rajawalinya yang tua. Akan tetapi, ketika melihat pertempuran yang terjadi di bawah, melihat betapa benteng para pemberontak itu dapat dibobolkan dan terbakar, pendekar sakti yang sudah sering menyaksikan perang di antara manusia itu menjadi muak, dan tidak mau mendekati tempat ini, melainkan menyuruh raja-walinya berputaran di atas dan memasang mata kalau-kalau dia akan melihat dua orang puteranya. Dari tempat tinggi, di antara gumpalan asap, dia samar-samar dapat melihat pemimpin pasukan pemerintah dan jantungnya berdebar karena dia mengenal puterinya, yaitu Puteri Milana!

   Ah, kalau begitu tentu pemberontakan itu cukup penting dan berbahaya, pikirnya. Kalau tidak demikian, kiranya kaisar tidak akan mengganggu Milana yang sudah hidup tenang dan tenteram bersama pria yang dikasihinya, Gak Bun ESeng di puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Pula, kalau tidak penting dan berbahaya, tentu puterinya itu pun tidak akan mau menceburkan diri dalam medan perang seperti itu. Akan tetapi, melihat puterinya memimpin pasukan untuk membasmi pemberontak, yang berarti adanya bunuh-membunuh yang mengerikan di antara manusia, Pendekar Super Sakti merasa enggan untuk turun menemui puterinya. Dia tidak melihat adanya Kian Lee dan Kian Bu, maka dia lalu menyuruh burungnya agak menjauhi benteng.

   Burung itu agaknya merasa girang karena binatang ini pun menjadi panik melihat asap hitam bergumpal-gumpal itu maka dengan cepat lalu meluncur ke arah timur. Tiba-tiba Pendekar Super Sakti terkejut melihat bayangan empat orang yang bentuk tubuhnya aneh-aneh, akan tetapi terutama sekali yang mengejutkan hati pendekar ini adalah cara empat orang itu bergerak dan lari. Mereka itu bergerak cepat bukan main dan dari tempat tinggi itu Suma Han dapat mengenal orang-orang pandai yang memiliki ilmu yang sudah sangat tinggi tingkatnya. Maka dia lalu menyuruh burungnya menukik dan mendekati. Setelah agak dekat di atas empat orang yang berlari cepat sekali itu, pendekar sakti yang tua ini makin kaget karena dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dengan dia belum lama ini.

   Kalau yang dua orang ini Twa-ok dan Ji-ok, maka melihat bentuk tubuh mereka, yang dua orang lain lagi pastilah orang-orang di antara Ngo-ok yang terkenal itu. Dan kalau Ngo-ok sudah bergerak di tempat ini, maka tentulah terjadi urusan besar dan bukan tidak mungkin empat orang itu tahu di mana adanya Kian Lee dan Kian Bu. Bukankah Twa-ok sendiri pernah bercerita kepadanya tentang Kian Bu yang katanya rambutnya putih semua, berjuluk Siluman Kecil dan katanya bergulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo? Tentu mereka itu tahu di mana adanya Kian Bu. Berpikir demikian, Suma Han lalu menyuruh rajawalinya terbang turun dan setelah burung itu berada kurang lebih empat meter dari tanah, dia lalu meloncat turun dan membiarkan burungnya terbang naik lagi.

   Munculnya pendekar sakti ini sama sekali tidak menimbulkan suara sehingga ketika empat orang itu tiba-tiba melihat si pendekar sakti berdiri tegak di depan mereka, tentu saja mereka terkejut bukan main. Memang mereka itu adalah Twa-ok, Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, empat di antara Ngo-ok. Mereka sedang meninggalkan benteng yang terbakar itu dengan hati kecewa dan mengkal karena gagalnya usaha mereka, yaitu Sam-ok atau Koksu Nepal. Kegagalan itu bukan hanya merugikan mereka yang telah membuang waktu dan tenaga untuk membantu usaha Sam-ok, akan tetapi terutama sekali karena kegagalan itu pun sekaligus menjatuhkan nama mereka sebagai Ngo-ok! Pemberontakan yang dibantu oleh Ngo-ok gagal sedemikian rupa, tentu saja hal ini menampar muka mereka.

   Kini, melihat betapa tiba-tiba Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es itu menghadang di depan mereka, empat orang ini terkejut, agak gentar akan tetapi juga marah. Anak-anak dari pendekar inilah yang membantu pemerintah sehingga gerakan itu gagal dan terutama sekali Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dan terpukul mundur oleh Pendekar Siluman ini, kini mendapatkan kesempatan untuk membalas kekalahan mereka karena kini ada Su-ok dan Ngo-ok yang membantu mereka. Rasa penasaran karena pernah dikalahkan, kemudian rasa kecewa karena kegagalan pemberontakan itu, kini hendak mereka tumpahkan kepada Pendekar Super Sakti, maka Twa-ok sudah berkata dengan sikapnya yang biasa, yaitu tenang dan gerak-geriknya yang halus lembut.

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 4 Kisah Sepasang Rajawali Eps 6 Kisah Sepasang Rajawali Eps 59

Cari Blog Ini