Kisah Sepasang Rajawali 31
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 31
"Ah, engkau tentu Hoo-ciangkun, pengawal istana, bukan? Sumoi pingsan dan dia menderita pukulan batin, harus cepat ditolong,"
"Silakan, Taihiap...."
Pada saat itu muncullah seorang perwira dan dia inilah Perwira Phang, pemilik gedung itu. Dia tadi pun sudah keluar dan menyaksikan segalanya dan mendengar percakapan antara Hoo-ciangkun dengan laki-laki gagah yang memondong Puteri Milana itu, dia pun cepat-cepat mempersilakan Bun Beng masuk. Dengan pengerahan sin-kangnya, Gak Bun Beng menyalurkan hawa hangat untuk membantu Milana yang telah direbahkan di atas pembaringan itu agar siuman kembali. Mereka hanya berdua di kamar itu karena para orang kang-ouw tidak ada yang berani tinggal di situ, juga para pelayan disuruh keluar oleh Bun Beng karena pendekar ini maklum bahwa percakapan antara mereka setelah Milana siuman nanti tidak boleh didengar oleh lain telinga. Milana mengeluh lirih, dan begitu membuka matanya dia memandang ke kanan kiri sambil memanggil,
"Suheng.... Gak Bun Beng...."
"Aku di sini, Sumoi."
Milana menengok, melihat Bun Beng mendekati pembaringan lalu menubruk, kedua lengannya merangkul, mukanya disembunyikan ke atas dada pria yang selamanya dicintanya ini dan dia menangis.
"Suheng, mengapa engkau menghilang selama belasan tahun ini....?"
Bun Beng menarik napas panjang.
"Sumoi, apa kebaikannya kita saling bertemu?"
"Suheng, aku menderita selama ini...."
"Jangan mengira aku pun hidup bahagia, Sumoi...."
Hening sejenak, hanya terdengar isak Milana di atas dada Bun Beng. Gak Bun Beng lupa diri dan dia merangkul, mengelus rambut yang halus itu, seperti dulu, belasan tahun yang lalu, sudah lama sekali, ketika dia pun memeluk dan mengelus rambut itu penuh kasih sayang.
"Suheng, kau.... kau kejam...."
Milana terisak.
"Ahh, Milana, mengapa kau bisa berkata demikian....?"
Bukankah dara kekasihnya itu yang dulu lebih dulu menikah? Akan tetapi dia tidak tega menuduhnya demikian maka dia melanjutkan,
"Nasib kita yang kejam, Sumoi.... dan.... dan ingatlah, kau sudah bersuami, tidak baik begini...."
"Akan tetapi aku.... aku...."
Milana tidak melanjutkan kata-katanya dan dengan halus Bun Beng melepaskan tangan mereka yang saling rangkul itu dan melangkah mundur, aman dari jangkauan tangan Milana dan mereka kini berdiri saling pandang, sampai lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata. Memang dalam saat seperti itu, kata-kata sudah tidak ada gunanya lagi karena sinar mata mereka telah saling mengeluarkan seribu satu macam kata-kata dan mereka sudah dapat saling menangkap isi hati masing-masing. Mata Milana berkedip-kedip, bibirnya mulai tersenyum manis dan wajahnya tidak pucat lagi.
"Gak-Suheng, kau memang nakal. Mengapa lalu membiarkan diri tenggelam dalam duka dan tidak pernah muncul lagi? Mengapa ketika bertemu di kota raja kau lantas melarikan diri? Suheng, aku masih Milana, sumoimu yang dulu itu...."
Bun Beng menggeleng kepalanya.
"Sungguhpun bagiku engkau masih Milana yang dulu, tak pernah berubah sampai aku mati, akan tetapi.... tidak boleh begitu, Sumoi, suamimu...."
"Hushh, baiklah, kita tidak bicara tentang itu sekarang ini. Belum waktunya, Suheng, apalagi aku menghadapi tugas berat menumpas pemberontak. Kita sudah siap. Jenderal Kao sudah siap dengan pasukan dari kota raja dan dari sisa pasukannya yang melarikan diri dari Teng-bun, dan pertemuanku denganmu ini sungguh merupakan peristiwa mengagetkan namun juga membahagiakan, baik bagiku pribadi maupun bagi perjuangan menumpas pemberontak karena aku memperoleh bantuan yang luar biasa berupa tenagamu, Suheng, dan...."
Tiba-tiba dua orang berlari memasuki kamar itu dengan sikap tegang. Mereka itu adalah Perwira Phang pemilik gedung itu dan Hoo-ciangkun pembantu Milana.
"Celaka, rumah ini telah terkurung oleh pasukan pemberontak!"
"Hemm, bagaimana mungkin mereka tahu? Kita semua terdiri dari orang-orang sendiri, dan para pelayan pun tidak ada yang keluar...."
"Ada seorang pelayan wanita tua yang terhimpit dan kutolong tadi,"
Tiba-tiba Bun Beng berkata.
"Ah, Kim-ma! Benar juga!"
Phang-ciangkun membanting kakinya.
"Kiranya dia telah dibeli oleh pemberon-tak. Tentu dia yang membocorkan rahasia bahwa Paduka berada di sini!"
Katanya kepada Milana.
"Tidak perlu gelisah. Kita dapat mudah menerjang ke luar. Akan tetapi bagaimana dengan berita pasukan asing itu?"
"Agaknya itu pasukan dari barat yang datang melalui padang pasir di utara. Kabarnya dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri. Dan kabarnya rumah Kepala Daerah dan markas sudah pula dikurung pasukan pemberontak."
"Hemm, sudah waktunya bagi kita untuk pergi. Gak-suheng, kami akan segera keluar dari kota ini untuk bergabung dengan Jenderal Kao. Harap kau suka ikut dan membantu kami."
"Tentu saja aku suka membantu, Sumoi. Akan tetapi aku mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu mencari Syanti Dewi...."
"Puteri Bhutan? Kiranya engkau yang telah menolongnya! Bukankah dia berada di Teng-bun dan aku sudah mengutus dua orang adikku...."
(Lanjut ke Jilid 30)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 30
"Aku sudah berjumpa dengan kedua Sute Kian Lee dan Kian Bu, dan sebelum mereka datang aku sudah menyelamatkan puteri itu. Kami berempat tiba di sini dan tadi di dalam keributan, Sang Puteri itu terpisah dariku, juga kedua orang Sute. Maka aku akan mencari mereka lebih dulu...."
Terdengar suara hiruk-pikuk di luar dan agaknya para penjaga sudah mulai diserbu pasukan pembe-rontak yang mengepung.
"Baiklah, waktu tidak ada lagi untuk bicara. Kami pun membutuhkan tenaga bantuan dari dalam. Sebaiknya kalau Suheng dan dua orang adikku merupakan tenaga bantuan dari dalam. Kalau bisa menghubungi orang-orang Tiat-ciang-pang lebih baik, Suheng, mereka adalah bala bantuan yang lumayan bagi kita...."
"Si Gendut tadi...."
"Ya, dan masih banyak lagi. Nah, mari kita keluar. Suheng, selamat berpisah.... dan...."
Karena di situ terdapat banyak orang, Milana tidak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya pandang matanya saja yang penuh arti dapat diterima oleh Bun Beng. Jelas bagi pendekar ini bahwa Sang Puteri menginginkan agar dia tidak pergi menyembunyikan diri lagi, agar mereka dapat bercakap-cakap lebih lanjut. Dia mengangguk dan mereka semua segera lari keluar setelah Puteri Milana dan para perwira menyambar barang-barang yang berharga bagi mereka agar jangan terjatuh ke tangan pemberontak. Di luar terjadilah pertandingan yang berat sebelah. Banyak sudah para penjaga, yaitu para perajurit anak buah Perwira Hoo, roboh oleh pasukan pemberontak yang selain jumlahnya dua puluh orang lebih, juga rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
Akan tetapi begitu Milana, Bun Beng dan orang-orang kang-ouw itu keluar dan menerjang, mereka mawut, roboh dan terlempar ke sana-sini seperti pohon-pohon tumbang diterjang sekawanan gajah mengamuk. Dengan amat mudah Milana bersama para pengikutnya merobohkan semua pemberontak, lalu lari ke luar dan menghilang di dalam kegelapan malam. Bun Beng juga merobohkan beberapa orang lalu meloncat dan lenyap dari situ, jantungnya masih berdebar dan perasaan hangat masih memenuhi hatinya oleh pertemuan yang tidak terduga-duga dengan wanita bekas kekasihnya itu. Dapat dibayangkan betapa khawatir hati Kian Bu melihat betapa Puteri Syanti Dewi kini tidak kelihatan lagi. Tadinya dia masih dapat melihat topi caping buatannya itu yang dapat dijadikan tanda di mana adanya Sang Puteri, akan tetapi kini tanda itu pun lenyap pula ditelan kegelapan dan ditelan arus manusia.
"Celaka, Lee-ko, kita harus mengejarnya!" "Tenanglah, Bu-te. Kulihat tadi dia bergerak mengikuti arus ini, mari kita maju terus ke sana,"
Jawab Kian Lee. Kian Bu menjadi tidak sabar karena cemasnya.
Dia menjadi kasar dan dengan nekat dia mendorong sana-sini di antara orang-orang itu. Melihat sikap adiknya, Kian Lee menggeleng kepala, akan tetapi agar jangan sampai tertinggal dan terpisah dari adiknya pula, dia pun terpaksa menggunakan kedua tangannya untuk membuka jalan sehingga ke mana pun kedua orang muda ini bergerak, orang-orang di depannya berteriak-teriak dan terdorong ke kanan kiri, tidak kuat menahan dorongan tangan kedua orang muda yang amat kuat itu. Namun, sampai pagi kedua orang muda itu masih belum berhasil menemukan Syanti Dewi sehingga tentu saja mereka berdua, terutama sekali Kian Bu, menjadi sangat gelisah. Orang-orang tidaklah berdesak-desakan seperti tadi lagi dan keduanya dapat mengaso dan duduk di tepi jalan yang masih penuh orang hilir mudik.
"Jangan gelisah, Bu-te. Tentu Suheng juga mencarinya, mungkin mereka berdua sudah berkumpul kembali, tinggal kita yang harus mencari mereka."
"Mudah-mudahan begitu, Lee-ko. Akan tetapi hatiku khawatir sekali. Jangan-jangan hilangnya adik Syanti Dewi memang dibuat orang. Ingat saja mereka yang mengepung kita ketika keributan itu mulai."
Sejenak mereka mengaso, kemudian mereka berjalan lagi. Dalam keadaan cemas dan gemas itu, Kian Bu dan Kian Lee mendorong lagi ke kanan kiri mencari jalan. Tiba-tiba Kian Lee terkejut sekali ketika lengan kanannya sedang mendorong orang di sebelah depan, sebuah lengan lain menangkisnya dengan keras sekali.
"Dessss....!"
Karena tidak mengira bahwa dia akan ditangkis orang sedemlklan hebatnya, pula karena memang dia hanya menggunakan sedikit tenaga saja untuk mendorong, Kian Lee terdorong oleh tangkisan itu dan terhuyung ke belakang, menabrak beberapa orang yang tentu saja menjadi marah-marah,
"He, apa kau buta?"
"Kurang ajar, jalan begini lebar menabrak orang!"
Banyak makian dari orang-orang yang sudah cemas dan marah itu kepada Kian Lee yang masih terhuyung-huyung. Untuk menjaga agar tidak sampai roboh terpelanting, Kian Lee mengeluarkan tenaganya mencengkeram ke arah baju orang terdekat, yaitu seorang laki-laki tua bertubuh tinggi kurus yang memanggul pikulan. Tiba-tiba orang itu terhuyung ke samping sehingga cengkeraman Kian Lee luput dan seperti tidak disengaja, pikulannya menyambar karena tangan Kian Lee yang luput men-cengkeram baju tadi.
"Plakkk!"
Kian Lee sudah dapat mengatur keseimbangan badannya dan dia menarik tangannya sambil menyeringai. Sakit bukan main punggung tangannya dihantam ujung pikulan tadi. Dia memandang dengan marah, akan tetapi orang itu seperti tidak tahu apa-apa dan Kian Lee menahan kemarahannya.
Orang itu tidak bersalah, pikirnya, karena dia sendirilah yang salah mendorong orang. Dia melirik ke depan dan melihat seorang laki-laki tinggi besar dengan brewok kasar seperti kawat, sedang berdiri bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan mata melotot. Kian Lee terkejut. Dia maklum bahwa laki-laki brewok ini dan Si Pembawa Pikulan adalah orang-orang pandai dan dia heran sekali mengapa di tempat itu terdapat begitu banyak orang pandai. Dia terkejut ketika mendengar ribut-ribut di sebelah belakangnya. Ketika dia menoleh, dia melihat Kian Bu sudah bersitegang dengan seorang yang berpakaian sastrawan, seorang yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, sikapnya halus akan tetapi sinar matanya liar. Cepat dia menghampiri adiknya yang sudah mengepal tinju hendak menyerang sastrawan itu.
"Bu-te, jangan berkelahi!"
"Habis dia hendak membokongmu, Lee-ko. Ketika kau terhuyung tadi, aku melihat dia menghampirimu dan tentu saja aku menangkap tangannya agar tidak memukulmu."
"Hemm, bocah lancang. Kalau aku memukulnya, apakah dia masih bisa bicara denganmu?"
Sastra-wan itu berkata halus akan tetapi penuh dengan ejekan.
"Sudahlah, Bu-te, mari kita pergi."
Kian Lee menangkap tangan adiknya dan diajak pergi dari situ. Dia maklum bahwa kecemasan hati adiknya karena kehilangan Syanti Dewi membuat adiknya itu menjadi pemarah. Setelah pergi agak jauh Kian Lee berkata,
"Mereka bertiga tadi bukanlah orang sembarangan."
"Aku pun menduga begitu, akan tetapi aku tidak takut!"
Kian Lee tersenyum.
"Siapa takut? Akan tetapi, dalam keadaan kacau seperti ini tidak baik kalau mencari permusuhan. Tugas klta belum selesai, kita belum menyelidiki sesuatu, bahkan kini kita berpisah dari Suheng dan Syanti Dewi. Kalau kita melibatkan diri dalam perkelahian yang tidak ada sebabnya, tentu lebih repot lagi. Hayo kita terus mencari, dekat pintu depan gedung besar itu banyak orang-orang, siapa tahu mereka berada di sana."
"Minggir! Minggir!"
Orang-orang cepat minggir ketika dari dalam pekarangan gedung itu keluar se-buah kereta berkuda, dikawal oleh selosin tentara di depan dan selosin lagi di belakang. Kian Lee dan Kian Bu ikut minggir, akan tetapi ketika tirai kereta tersingkap sedikit, mereka dapat melihat Si Pemuda tampan berpedang dan seorang laki-laki tua duduk di dalamnya. Mereka tidak tahu siapa lagi yang berada di dalam kereta itu karena tirainya sudah tertutup kembali.
"Lee-ko....!"
Tiba-tiba Kian Bu memegang lengan kakaknya.
"Kau melihat pemuda itu?"
Kian Lee mengangguk.
"Dia muncul di mana-mana, sungguh aneh."
"Ingat sikapnya kepada Syanti? Jangan-jangan dia yang menculiknya, jangan-jangan Syanti berada di dalam kereta itu!"
"Ah, mungkinkah itu....?"
"Mari kita mengikuti kereta itu, Lee-ko!"
Kian Lee mengangguk dan keduanya lalu menyelinap di antara orang banyak, mengikuti kereta berkuda yang dikawal ketat itu. Untung jalan terhalang banyak orang sehingga kereta itu tidak terlalu cepat jalannya dan dapat diikuti terus oleh mereka yang harus menyelinap ke kanan kiri agar jangan menabrak orang lain. Kereta itu menuju ke sebuah rumah gedung besar sekali yang letaknya di dekat tembok benteng.
Itulah rumah kepala daerah! Melihat kereta itu memasuki pintu gerbang halaman gedung, dan karena semua penjaga sibuk menyambut kereta itu dengan pengawasan ketat sehingga mereka agak lengah, Kian Lee dan Kian Bu mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat dan memasuki kebun samping gedung itu, terus menyelinap dan bersembunyi di antara tetumbuhan kembang di tempat itu, perlahan-lahan mendekati gedung. Melihat besarnya gedung itu, mereka makin bersemangat karena me-nyangka bahwa tentu dara yang mereka cari berada di gedung itu, entah menjadi tamu entah menjadi tawanan. Teringat mereka ketika pemuda tampan itu menawarkan tempat penginapan kepada Syanti Dewi. Bukan hal tidak mungkin bahwa ketika terpisah dari mereka, Syanti Dewi tertolong oleh pemuda berpedang itu dan dibawa ke gedung ini!
Dua orang pemuda itu tentu saja tidak pernah menduga bahwa mereka telah memasuki tempat yang dijadikan sarang dan pertemuan oleh para pimpinan pemberontak! Gedung itu adalah milik Kepala Daerah yang pada saat itu telah tewas dibunuh oleh Tek Hoat, dan keluarganya semua ditahan di dalam gedung dan dijaga. Pendeknya, tanpa ada yang mengetahuinya, Tek Hoat dan anak buahnya telah merampas gedung ini dan dijadikan tempat pertemuan dengan diam-diam dan tentu saja gedung Kepala Daerah itu tidak dicurigai orang. Ketika itu, di dalam ruangan yang paling dalam dari gedung itu, tampak beberapa orang sedang duduk berunding. Mereka ini bukanlah orang-orang sembarangan, karena mereka merupakan puncak pimpinan para pemberontak dan tokoh-tokoh sakti yang membantu mereka.
Seorang yang berpakaian panglima tinggi duduk memimpin perundingan itu dan mereka semua sedang mempelajari sebuah peta gambar dengan diterangkan oleh panglima tinggi itu. Panglima itu bukan lain adalah Panglima Kim Bouw Sin, bekas wakil Jenderal Kao Liang yang telah memberontak dan menjadi kaki tangan nomor satu dari kedua orang Pangeran Liong di kota raja! Di belakang panglima ini kelihatan dua orang pengawalnya yang amat diandalkan, dan yang telah membebaskannya dari tahanan di Teng-bun tempo hari, yaitu dua orang kakek kembar Siang Lo-mo! Dua orang kakek kembar ini oleh Pangeran Liong Bin Ong sendiri dikirim ke Teng-bun untuk mengepalai pembebasan Kim Bouw Sin dan selanjutnya diangkat sebagai pengawal pribadi panglima yang amat penting bagi gerakan pemberontakan itu.
Juga terdapat beberapa orang perwira pembantu yang mulai memperoleh tugas dan petunjuk dari Panglima Kim Bouw Sin untuk mengamati gerakan pemberontakan mereka yang dianggap sudah matang untuk mulai digerakkan. Akan tetapi mereka sedang bingung juga menghadapi munculnya pasukan liar secara tiba-tiba itu. Mereka sedang merundingkan soal pasukan liar itu ketika pengawal datang mengiringkan Tek Hoat dan orang tua yang duduk di dalam kereta. Semua orang bangkit berdiri lalu memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki ketika orang tua itu masuk. Kiranya orang ini bukan lain adalah Pangeran Liong Khi Ong, orang ke dua dari biang keladi pemberontak! Kini lengkaplah tokoh-tokoh pemberontak berkumpul dan berunding di situ. Panglima Kim Bouw Sin secara lengkap melaporkan keadaan mereka kepada pangeran tua itu.
"Seribu orang pasukan liar itu menurut hasil penyelidikan adalah pasukan dari barat dan kabarnya dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri yang belum kelihatan muncul. Kami masih sangsi harus mengambil tindakan apa dan kami semua menanti keputusan dari Paduka Pangeran,"
Kim Bouw Sin berkata.
"Hemm, orang-orang liar itu menambah repot saja,"
Liong Ki Ong berkata.
"Padahal menurut penyelidikan, Milana juga sudah bergerak, bahkan wanita itu sudah meninggalkan kota raja secara diam-diam, kabarnya mengerah-kan orang-orang pandai untuk menghadapi gerakan klta. Juga berita rahasia menyampaikan bahwa pasukan istimewa dari kota raja sudah diberangkatkan. Hal ini harus kita selidiki dan jangan sampai kita kedahuluan oleh mereka,"
Liong Ki Ong berkata.
"Selain itu, juga Jenderal Kao Liang telah mengirim beberapa orang penyelidik ke Koan-bun sini dan ke Teng-bun, maka kita harus waspada,"
Kata pula Kim Bouw Sin.
"Kabarnya, ada beberapa orang yang mencurigakan telah berada di kota ini, akan tetapi kami telah menyebar mata-mata sehingga Paduka tidak perlu khawatir."
"Yang mengkhawatirkan hanyalah gerakan Puteri Milana dan datangnya pasukan liar dari Tambolon itu,"
Kata Liong Khi Ong.
"Bagaimana pendapatmu, Tek Hoat?"
Pangeran ini selalu mengandalkan nasehat pembantunya yang amat lihai ini.
"Sudah jelas bahwa Puteri Mllana tentu menggunakan tenaga orang-orang pandai dari golongan kang-ouw. Harap Paduka jangan khawatir karena saya pun sudah mengerahkan bantuan kaum hek-to. Sayang saya tidak dapat mengerahkan seluruh anggauta kaum sesat karena hanya sebagian saja yang tunduk kepada saya, akan tetapi jumlah mereka cukup banyak. Sebagian sudah saya suruh, bersiap-siap di kota raja menanti saat penyerbuan dan sebagian lagi saya suruh bersiap-siap di sekitar Teng-bun. Adapun puteri itu sendiri, biarpun kabarnya amat lihai, namun saya tidak jerih menghadapinya, apalagi di sini terdapat Siang Lo-mo."
Dua orang kakek kembar itu mengangguk-angguk.
"Dia hebat tapi kami tidak takut,"
Kata Pak-thian Lo-mo.
"Dengan ilmu kami yang baru, sekali ini kami sanggup mengalahkannya,"
Kata pula Lam-thian Lo-mo.
"Bagus! Kalau begitu kita tidak perlu mengkhawatirkan orang-orang kang-ouw yang membantu Puteri Milana. Akan tetapi bagaimana dengan pasukan liar itu? Biarpun Tambolon pernah bersekutu dengan kita, akan tetapi kedatangannya ini hanya mengacaukan rencana kita saja. Bagaimana baiknya?"
"Pasukannya hanya seribu orang, kalau menggempurnya sekarang saya kira tidak banyak kesukaran. Dalam waktu sehari saja saya sanggup membasmi mereka semua, cukup mengerahkan lima ribu orang saja!"
Kim Bouw Sin berkata.
"Saya kira itu bukan merupakan siasat yang baik, Kim-ciangkun,"
Kata Tek Hoat.
"Dalam keadaan seperti sekarang ini, menghadapi kekuatan kerajaan yang besar dan kuat, kita harus menyimpan tenaga, bahkan kalau perlu menambah kekuatan kita. Tambolon datang pada saat kacau ini tentu hanya untuk mencari kesempatan baik guna mengeduk keuntungan, maka mengapa kita tidak bujuk saja mereka? Biarlah kita suruh mereka menyerbu dusun Ang-kiok-teng dan menggempur pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Thio Luk Cong dengan janji menyerahkan dusun itu kepadanya! Ini hanya untuk sementara saja, biar anak buahnya puas merampok membunuh dan memperkosa. Selain hal ini melemahkan kedudukan musuh, juga kita mendapatkan bantuan mereka. Kelak, apa sih sukarnya menendang mereka keluar kalau urusan sudah selesai?"
"Bagus!"
Pangeran Liong Khi Ong menepuk-nepuk tangan.
"Bagus, Tek Hoat. Akalmu ini memang hebat. Bagaimana pendapatmu, Ciangkun?"
Liong Khi Ong bertanya sambil memandang kepada semua orang dan Panglima Kim bersama semua perwira mengangguk-angguk. Memang siasat itu baik sekali.
"Kalau begitu, sekarang juga hubungilah Tambolon, Kim-ciangkun. Sebaiknya kalau engkau sendiri yang berhadapan dengan dia agar dia percaya penuh."
Kim Bouw Sin mengangguk lalu bersama dua orang kakek kembar yang menjadi pengawalnya dan beberapa orang perwira meninggalkan tempat itu.
Mereka langsung menuju ke benteng dan naik ke benteng itu mengatur siasat. Seorang kurir diutus menyerahkan surat panggilan kepada pimpinan pasukan liar yang bertenda di luar kota itu. Tak lama kemudian muncullah tiga orang penunggang kuda yaitu seorang komandan pasukan liar yang dikawal oleh dua orang tinggi besar. Mereka ini dipersilakan turun di atas jembatan gantung, lalu komandan pasukan liar yang rambutnya awut-awutan dan dahinya diikat kain putih itu melangkah maju dengan kasar dan sombong. Dia menoleh ke kanan kiri dan memandang rendah kepada barisan penjaga, kemudian bertemu di tengah jembatan dengan Panglima Kim Bouw Sin. Begitu bertemu, dia bertolak pinggang dan suaranya keras dan kasar sekali ketika dia bertanya,
"Urusan apakah yang hendak dibicarakan?"
Dia mengerti bahasa Han, akan tetapi bahasa itu diucapkan dengan kaku dan tidak memakai banyak peraturan sopan santun. Kim Bouw Sin mendongkol. Orang ini hanyalah seorang perwira pasukan liar yang besarnya hanya seribu orang. Kalau dia menghendaki, betapa mudahnya membasmi mereka habis! Dan orang ini bersikap demikian kasar kepadanya, padahal dia adalah panglima besar barisan pemberontak yang kelak tentu akan menjadi panglima besar dari pemerintah baru di kerajaan! Sekarang pun dia telah mengepalai barisan yang tidak kurang dari lima laksa orang banyaknya!
"Apakah engkau komandan dari pasukan yang berada di luar itu?"
Panglima Kim Bouw Sin bertanya.
"Benar, akulah yang diserahi pimpi-nan atas pasukan maut kami itu!"
Jawab Si Komandan dengan bangga.
"Kalau begitu, kami persilakan Ciangkun untuk masuk benteng agar kita dapat mengadakan perundingan."
"Ha-ha, apa lagi yang hendak dirundingkan? Tugasku hanya memimpin pasukan, istirahat menggempur, membasmi, menawan atau membunuh. Kami sedang menanti perintah, begitu perintah tiba kami akan menghan-curkan dan membumihanguskan kota ini, ha-ha-ha!"
Tentu saja Kim Bouw Sin menjadi makin marah. Kalau saja tidak ingat akan perintah Pangeran Liong Khi Ong, tentu dia sudah menyuruh tangkap dan bunuh komandan pasukan asing ini.
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu, dengan siapakah kami harus berunding?"
"Dengan pimpinan kami, dengan raja kami yang sakti dan yang sudah siap menghancurkan kota ini."
"Hemm, dengan Raja Tambolon? Kalau begitu, di mana adanya beliau?"
Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan beberapa orang penjaga di pintu benteng itu terlempar ke kanan kiri. Muncullah tiga orang laki-laki dan seorang di antara mereka menudingkan ibu jari kiri ke hidungnya sendiri sambil berkata,
"Inilah aku Raja Tambolon!"
Kim Bouw Sin terkejut sekali dan menoleh. Orang yang mengaku sebagai Raja Tambolon itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka brewok, kelihatan kasar dan kuat, matanya terbelalak lebar penuh kebengisan. Biarpun pada saat itu orang ini berpakaian seperti seorang petani atau buruh kasar namun jelas betapa sikapnya keagung-agungan dan sikap ini adalah sikap orang yang biasanya ditaati perintahnya.
Orang ke dua yang berada di sebelah kiri Raja Tambolon yang menyamar itu, adalah seorang laki-laki tua bertubuh tinggi kurus, bersikap angkuh dan pandang matanya seperti pandang mata seorang guru besar terhadap murid-muridnya, tangan kirinya memegang sebatang pikulan keranjang kosong di pundak kirinya. Adapun orang ke tiga yang berusia empat puluh tahunan, termuda di antara mereka, adalah seorang berpakaian sastrawan miskin dan berada di belakang raja suku bangsa liar itu. Panglima Kim Bouw Sin bermata tajam dan dapat mengenal orang. Jelas bahwa tiga orang yang menyamar ini bukanlah orang-orang biasa dan komandan pasukan liar di depannya itu tertawa sambil memandang kemudian memberi hormat dengan sigapnya kepada Raja Tambolon, maka dia pun cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil berkata,
"Maafkan kami yang tidak mengenal sehingga tidak mengadakan penyambutan!"
"Ha-ha-ha!"
Raja Tambolon tertawa bergelak.
"Kami pun tidak membutuhkan sambutan melainkan diam-diam menyelinap ke dalam. Kalian lihat betapa mudahnya kalau kami melakukan gerakan, ha-ha-ha. Engkau tentu Kim Bouw Sin Tai-ciangkun yang terkenal itu, bukan?"
"Benar, Ong-ya. Dan kami persilakan Ong-ya untuk masuk ke benteng dan mengadakan perundingan bagi keuntungan kita bersama."
"Bagus, bagus! Ha-ha-ha, Kimonga, kau tarik mundur semua pasukan. Kirim gerobak untuk mengambil ransum dari kota ini dan.... heh-heh-heh, Tai-ciangkun, engkau tentu tidak begitu pelit untuk memberi sekedar hiburan kepada anak buah pasukanku, bukan? Ha-ha-ha!"
"Jangan khawatir, Ong-ya,"
Berkata panglima itu dan mereka lalu memasuki benteng untuk mengadakan perundingan seperti yang telah direncanakan oleh Tek Hoat dan Pangeran Liong Khi Ong tadi. Selagi Panglima Kim Bouw Sin yang dikawal oleh kedua orang kakek kembar Siang Lo-mo memasuki kamar perundingan di dalam tempat penjagaan di benteng bersama Raja Tambolon yang dikawal oleh dua orang pengawalnya yang menyamar sebagai sastrawan dan petani itu, di gedung kepala daerah yang telah dijadikan sarang para pimpinan pemberontak itu terjadi geger. Ternyata bahwa tidak hanya bekas gedung Kepala Daerah ini yang kini telah dikuasai pemberontak dan dijaga oleh pasukan yang telah menjadi kaki tangan pemberontak, bahkan malam ketika terjadi keributan itu, pihak pemberontak mempergunakan kesempatan itu untuk bertindak.
Bukan hanya Perwira Phang yang diserbu sehingga Puteri Milana dan yang lain-lain terpaksa melarikan diri, juga semua perwira yang setia kepada pemerintah disergap dan dibunuh! Pasukan dikuasai dan mereka yang melawan dibunuh, dan banyak pula yang melarikan diri. Mereka yang menakluk masih diper-gunakan berikut para perwira mereka yang menakluk sehingga penjagaan tetap dapat dilakukan, hanya kini dicampur dengan pasukan dari pemberontak, diawasi oleh perwira-perwira dari pemberontak. Demikian hebatnya pengaruh pemberontak sudah mencengkeram Koan-bun yang hanya sepuluh li jauhnya dari Teng-bun, sehingga dalam waktu semalam saja tanpa banyak perlawanan kota benteng itu telah terjatuh ke tangan pemberontak yang operasinya dipimpin sendiri oleh Panglima Kim Bouw Sin.
Pengambilalihan kota Koan-bun itu terjadi diam-diam dan dengan amat mudah sehingga pasukan dari Teng-bun hanya tinggal masuk saja melalui pintu benteng yang sudah dibuka lebar. Dan semua peristiwa ini ditonton oleh pasukan Tambolon yang berkemah di luar kota sambil tertawa-tawa dan bernyanyi-nyanyi secara liar tanpa melakukan sesuatu karena mereka menanti perintah dari pemimpin besar mereka, yaitu Raja Tambolon yang bersama dua orang pengawalnya menyelundup masuk kota Koan-bun. Maka ketika datang kurir dari Panglima Kim Bouw Sin, komandan pasukan Kimonga yang datang memenuhi undangan itu tidak berani mengambil keputusan apa-apa. Tentu saja semua peristiwa ini diketahui dengan baik oleh Puteri Milana dan Jenderal Kao Liang.
Akan tetapi mereka tidak mau mengambil tindakan, bahkan membiarkannya saja karena merasa belum tiba waktunya. Pada saat itu, Jenderal Kao sedang menyusun kekuatan dan diam-diam telah melakukan persiapan-persiapan untuk menumpas pemberontak dan sekaligus membasmi pasukan liar pimpinan Raja Tambolon yang telah muncul di tempat itu. Pasukan Tambolon ini terdiri dari pasukan inti, pasukan pilihan dan anggautanya terdiri dari bermacam suku bangsa, campuran dari suku bangsa Tibet, Mongol, Turki dan ada pula orang Han bekas anggauta Pek-lian-kauw. Namun mereka itu rata-rata adalah orang-orang yang liar dan ganas, pandai berkelahi dan berani mati. Sementara itu, kegegeran pagi hari itu di gedung Kepala Daerah disebabkan oleh Kian Lee dan Kian Bu.
Seperti kita ketahui, dua orang kakak beradik itu berhasil menyelundup masuk ke taman bunga gedung itu dan diam-diam mereka menghampiri gedung dan terus saja mereka menyelinap masuk melalui pintu belakang dan ubek-ubekan mencari Syanti Dewi! Mereka telah menangkap pelayan sampai lima orang banyaknya yang mereka paksa mengaku, akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang tahu tentang Syanti Dewi. Terpaksa mereka menotok pingsan para pelayan itu dan terus masuk makin dalam dengan maksud mencari Syanti Dewi atau menyelidiki pemuda berpedang dan orang tua yang naik kereta tadi. Ketika mereka tiba di gudang belakang mereka mendengar keluh-kesah dan tangis dari dalam gudang itu. Kian Bu dan Kian Lee meloncat ke atas genteng dan mengintai. Tampaklah oleh mereka isteri kepala daerah dan keluarganya yang dikumpulkan menjadi satu di tempat itu. Mereka hanya saling pandang akan tetapi tidak mampu melakukan sesuatu.
"Beginilah perang."
Kian Lee berbisik.
"Betapa kejam dan jahatnya!"
Ketika mereka turun, tiba-tiba terdengar jerit wanita tertahan dari sebuah kamar belakang dekat gudang. Kian Bu yang menyangka bahwa suara itu mungkin suara Syanti Dewi, sudah cepat mencelat dan mengintai dari celah jendela kamar itu, diikuti oleh Kian Lee. Apa yang tampak oleh mereka membuat Kian Bu hampir saja mendobrak jendela kalau tidak cepat lengannya ditangkap oleh kakaknya. Seorang laki-laki berpakaian perwira kelihatan sedang memperkosa seorang wanita muda yang melihat pakaiannya tentulah keluarga dari kepala daerah tadi!
"Diamlah, kalau aku mau, betapa mudahnya membunuhmu sebagai anggauta keluarga yang mela-wan kami. Diam!"
Kian Lee menarik tangan Kian Bu menjauh dari situ.
Muka mereka merah sekali, sepasang mata Kian Bu mengeluarkan sinar berapi dan sampai lama mereka duduk berlindung di belakang bangunan untuk menenteramkan hati yang bergolak panas. Tak lama kemudian, tampak perwira tadi keluar dari kamar itu. Kian Lee tidak dapat mencegah adiknya memungut sebuah batu sebesar kepalan tangan dan sekali menggerakkan tangan, batu itu menyambar dan tepat mengenai pelipis perwira itu. Tanpa sempat mengeluarkan teriakan, perwira itu terjungkal dengan pelipis pecah dan tentu saja dia tewas seketika! Terdengar suara aneh di dalam kamar itu dan ketika mereka cepat mengintai lagi, mereka melihat wanita muda itu dengan tubuh telanjang bulat sudah rebah telentang di atas lantai dan sebatang gunting menancap di antara buah dadanya yang masih muda. Wanita itu telah membunuh diri!
"Perang.... akibat perang...."
Kian Lee mengeluh.
"Bedebah dia! Bukan akibat perang Lee-ko. Di waktu damai sekalipun ada saja manusia keji yang melakukan perbuatan biadab seperti ini!"
"Benar, Bu-te, akan tetapi tidaklah sebanyak di waktu perang. Semua itu terjadi karena terbuka kesempatan, dan di waktu perang terbuka segala macam kesempatan bagi orang-orang yang batin-nya lemah sehingga mudah ia menurutkan nafsu jahat melakukan hal-hal yang biadab seperti ini. Engkau tentu sudah membaca tentang perang sejak dahulu kala, pembunuhan kejam tanpa sebab tertentu, perampokan semena-mena, perkosaan yang biadab, semua terjadi dalam perang. Di waktu damai, membunuh manusia pun akan berurusan dengan yang berwajib, akan tetapi di waktu perang, membunuh sebanyak-banyaknya bukan apa-apa, bahkan makin banyak makin baik, makin besar jasanya!"
"Perang! Phuh, muak aku, Lee-ko!"
"Hemm, kau lupa apa yang menyebabkan kita berdua berada di sini?"
"Ya, sebabnya adalah pemberontakan."
"Perang juga!"
"Kita terseret mau tidak mau karena kita membela Enci Milana."
"Dan Enci Milana terseret karena hendak membela kerajaan."
"Dan kerajaan membela siapa?"
"Aha, membela diri sendiri tentunya, membela kedudukannya. Pemerintah mana yang tidak akan membela kedudukannya, Bu-te? Semua pemerintah di dunia ini, yang sedang berkuasa, tentu tidak akan rela begitu saja kalau ditentang, dan setiap penentangnya dianggap pemberontak dan akan dibasmi oleh pemerintah itu."
"Hemm, siapakah pemerintah itu, Lee-ko?" "Pemerintah? Tentu saja kaisar dan para pembesarnya."
"Jadi orang-orang juga, bukan? Orang-orang yang telah memperoleh kedudukan tinggi, tentu saja mempertahankan kedudukannya. Dan siapakah yang memberontak?"
"Yang memberontak sudah jelas adalah kedua orang Pangeran Liong dan para pembantunya."
"Juga orang-orang yang tidak mendapat bagian, atau orang-orang yang tidak puas dengan kekuasaan mereka sekarang ini, dan ketidakpuasan itu tentulah karena mereka berada di bawah, bukan? Hemm, andaikata pemberontakan mereka berhasil, tentu mereka akan berbalik menjadi di atas dan memperoleh kekuasaan, Lee-ko, dan merekalah yang menjadi pembesar-pembesar wakil pemerintah."
"Ya, dan tentu timbul pula mereka yang tidak puas karena tidak mendapat bagian tadi, karena iri dan ingin di atas. Maka tidak akan ada habisnyalah pemberontakan dan peperangan ini, Bu-te!"
Kian Bu menggeleng-geleng kepalanya.
"Manusia memang gila!"
"Kita juga. Kita juga manusia dan kita sekarang pun terlibat!"
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dan muncullah belasan orang perajurit.
"Tangkap mata-mata!" "Jangan sampai lolos!"
"Bunuh! Dia telah membunuh Kok-ciangkun!"
"Ada pelayan-pelayan yang pingsan!"
Kian Lee dan Kian Bu terkejut. Karena keenakan bercakap-cakap tadi mereka kurang waspada, sehingga ketahuan oleh penjaga yang segera mengajak teman-teman mengepung mereka. Kian Lee dan Kian Bu meloncat dengan niat untuk melarikan diri keluar dari gedung itu. Akan tetapi para perajurit pemberontak itu menerjang mereka dan dengan cepat kedua orang kakak beradik itu menggerakkan kaki tangan dan enam orang perajurit berpelantingan ke kanan kiri!
"Bu-te, lari....!"
Kian Lee berseru kepada adiknya karena dia khawatir bahwa adiknya yang suka bergurau dan suka menggoda orang, suka berkeiahi pula itu akan memperpanjang waktu pertempuran di situ, padahal tempat itu adalah tempat yang amat berbahaya, sarang dari para pimpinan pemberontak. Agaknya sekali ini Kian Bu juga maklum akan bahaya, maka dia cepat melompat mengejar kakaknya setelah kembali dia merobohkan dua orang pengeroyok terdepan. Sisa para perajurit pemberontak itu mengejar, akan tetapi tentu saja mereka jauh kalah cepat oleh Kian Lee dan Kian Bu yang sudah meloncat ke bagian belakang dari kompleks gedung besar itu. Mereka maklum bahwa lari melalui depan amat berbahaya. Akan tetapi, begitu tiba di halaman belakang, mereka bertemu dengan banyak perajurit yang dipimpin oleh pemuda berpedang!
"Huh, kiranya kalian mata-mata!"
Bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Tek Hoat.
"Dan engkau anjing pemberontak!"
Kian Bu memaki. Memang dia sudah tidak senang dan benci kepada pemuda ini semenjak dia hampir ditabrak oleh kudanya, dan baru sekaranglah dia teringat akan pemuda ini yang pernah menculik Jenderal Kao.
"Kiranya engkau Si Penculik itu!"
Bentakan Kian Bu ini pun menyadarkan Kian Lee dan marahlah pemuda ini.
Tak disangkanya bahwa pemuda yang kelihatan sopan dan gagah itu ternyata adalah pemuda kaki tangan pernberontak yang pernah menculik Jenderal Kao. Kini dia pun teringat dan cepat dia menerjang maju pula bersama Kian Bu. Tek Hoat yang terlalu percaya kepada kepandaiannya sendiri, biarpun dia maklum bahwa dua orang pemuda ini lihai, memandang rendah. Apalagi dia masih belum ingat bahwa dua orang ini adalah mereka yang dulu pernah membela Jenderal Kao. Terlalu banyak dia berhubungan dengan orang-orang pandai dalam pekerjaannya membantu Pangeran Liong sehingga dia lupa kepada dua orang pemuda ini. Akan tetapi begitu mendengar Kian Lee menyebutnya penculik, dia terkejut dan mengingat-ingat. Seketika teringatlah dia akan dua orang pemuda yang dulu pernah membantu Jenderal Kao ketika dia dan Siang Lo-mo menyerbu rombongan jenderal itu.
"Aihh, jadi kaliankah mereka itu?"
Bentaknya sambil mengerahkan kedua tangannya dengan tenaga sin-kang untuk menangkis pukulan Kian Lee dan Kian Bu.
"Duk! Plakkk!" "Ahhhh....!"
Tubuh Tek Hoat terlempar ke belakang dan dia merasa sambungan lengannya hampir terlepas. Demikian dahsyat pukulan-pukulan yang ditangkisnya tadi, pukulan yang mendatangkan hawa dingin dan tentu sudah melukai sebelah dalam dadanya melalui tangkisannya kalau dia tidak cepat-cepat bergulingan sambil mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi tubuh sebelah dalam.
Dia sudah meloncat lagi dan mencabut Cui-beng-kiam! Sementara itu, ketika Tek Hoat terlempar dan bergulingan, para perajurit sudah menerjang dua orang pemuda itu, dibantu oleh beberapa orang berpakaian preman yang merupakan kaki tangan Tek Hoat dan bekerja sebagai mata-mata atau penyelidik. Ilmu silat mereka ini tentu saja lebih tinggi daripada para perajurit, akan tetapi dengan mudah Kian Bu dan Kian Lee menyapu mereka seperti petani membabat rumput saja. Melihat Tek Hoat mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan hawa menyeramkan, dua orang saudara itu maklum bahwa itu adalah sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, maka mereka cepat meng-ulur tangan menyambut serangan para perajurit bertombak dan sambil menendangi mereka, Kian Lee dan Kian Bu berhasil merampas dua batang tombak bergagang besi.
"Mundur semua, kurung saja mereka!"
Tek Hoat membentak marah sekali ketika melihat betapa para perajurit dan kaki tangannya sama sekali tidak berdaya menghadapi dua orang pemuda itu.
Semua perajurit lalu mundur dan mengurung dengan senjata ditodongkan ke depan. Jumlah mereka banyak sekali, membuat dua orang kakak beradik itu memandang khawatir. Akan tetapi Tek Hoat tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk mencari jalan lari karena dia sudah mengeluarkan suara melengking yang menggetarkan jantung semua orang yang hadir di situ kecuali Kian Lee dan Kian Bu, lalu tubuhnya mencelat ke depan didahului oleh sinar pedang Cui-beng-kiam yang menyeramkan. Pedang ini adalah pedang ciptaan mendiang Cui-beng Koai-ong, datuk Pulau Neraka yang seperti iblis, maka dibuatnya juga dengan cara mujijat dan entah sudah minum berapa banyak darah manusia, sudah menghisap berapa banyak nyawa korbannya sehingga kalau dipergunakan, pedang itu mengeluarkan hawa mujijat yang amat menyeramkan.
"Sing.... sing.... tranggg.... krek! Krek....!"
Kian Lee dan Kian Bu terkejut sekali ketika tombak rampasan mereka patah ketika bertemu dengan sinar pedang di tangan lawan itu. Tek Hoat tersenyum mengejek dan terus menyerang dengan gencar, pedang Cui-beng-kiam di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang dahsyat menyambar-nyambar. Namun dua orang lawannya itu adalah putera-putera dari Pulau Es yang sejak kecil telah digembleng oleh orang tua mereka yang sakti.
Maka Kian Lee dan Kian Bu sedikit pun tidak menjadi gentar biarpun mereka maklum bahwa lawan mereka ini bukan orang sembarangan melainkan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan memegang sebatang pedang yang ampuh dan mujijat pula. Tanpa bersepakat lebih dulu mereka sudah tahu bagaimana caranya menghadapi lawan yang berpedang mujijat sedangkan mereka sendiri hanya memegang potongan tombak! Cepat mereka mengeluarkan ilmu mereka dan mengerahkan tenaga, menggunakan keringanan tubuh yang luar biasa sehingga tubuh mereka kini bergerak mencelat ke sana sini seperti dua ekor burung walet yang amat ringan beterbangan di antara sambaran sinar pedang Cui-beng-kiam, kadang-kadang menggunakan tombak buntung mereka untuk menusuk dan menotok jalan darah!
"Ahhh....!"
Tek Hoat berseru kaget sekali.
Dia juga mengeluarkan kecepatannya sehingga tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedang, akan tetapi menghadapi pengeroyokan dua orang yang sama sekali tidak dapat dicium oleh sinar pedangnya itu, yang mengelak ke sana-sini amat cepatnya dan tidak pernah mau menangkis pedang dengan tombak mereka, kemudian sambil mengelak, ujung tombak buntung mereka memasuki lowongan antara gerakan pedang di waktu menyerang untuk melakukan penotokan jalan darah yang amat berbahaya, perlahan-lahan Tek Hoat mulai terdesak! Hampir saja Tek Hoat yang selama ini menganggap diri sendiri paling pandai di dunia, bahkan Siang Lo-mo sendiri mengaku kelihaiannya, tidak percaya bahwa dia sampai bisa terdesak, padahal dia memegang Cui-beng-kiam sedangkan dua orang lawannya hanya memegang tombak buntung. Mana mungkin ini? Dengan penasaran dia mengeluarkan pekik mengerikan, pekik yang mengandung khi-kang luar biasa sehingga beberapa orang perajurit yang terlampau dekat terjungkal pingsan,
Kemudian dia mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin secara bergantian. Namun sia-sia belaka. Sungguhpun Kian Lee dan Kian Bu terkejut menyaksikan gerakan yang bermacam-macam dan kesemuanya amat luar biasa itu, namun dengan ilmu silat mereka yang kokoh kuat dan bersih dari Pulau Es, mereka dapat menandingi gerakan lawan dan selalu dapat mengelak sambil mengirim tusukan-tusukan kilat. Mereka terus mendesak Tek Hoat dan setiap kali ada perajurit atau pembantu Tek Hoat berani maju, dua orang maju, roboh dua orang, empat orang maju roboh pula semua, bahkan pernah sekaligus delapan orang roboh oleh dua orang pemuda lihai ini sehingga akhirnya tidak ada lagi yang berani maju melainkan mengurung dan berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tombak dan golok.
Tek Hoat menyesal sekali mengapa dua orang pembantunya yang paling diandalkan, yaitu Pak-thian Lo-mo, pada saat itu mengawal Panglima Kim Bouw Sin mengadakan perundingan dengan Raja Tambolon. Kalau berada di situ, tentu dia dibantu oleh Siang Lo-mo akan dapat menawan dua orang pemuda hebat ini.
"Bu-te, mundur ke jembatan!"
Tiba-tiba Kian Lee berseru dan tombak buntungnya diputar cepat melakukan penusukan kilat bertubi-tubi ke arah sepasang mata lawan. Tek Hoat terkejut sekali dan karena khawatir menghadapi serangan aneh yang amat berbahaya itu dia memutar pedangnya di depan mukanya untuk melindungi matanya yang terus diserang oleh ujung tombak buntung.
Kesempatan itu dipergunakan oleh dua orang saudara Suma untuk mundur ke jembatan yang merupakan jalan terakhir di taman belakang menuju ke tembok yang mengurung kompleks gedung. Kalau dapat melewati jembatan sungai buatan kecil di taman itu mereka akan dekat dengan dinding dan sekali melompat melewati dinding tentu akan berada di luar dan mudah melarikan diri. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan yang amat cepat gerakannya, bahkan seperti dilontarkan saja, melayang dari dinding itu dan tahu-tahu telah tiba di atas jembatan itu. Semua orang terkejut menyaksikan betapa ada orang dapat meloncat dari dinding ke jembatan begitu saja! Tek Hoat sendiri tidak mengenal orang ini, juga semua perajurit tidak ada yang mengenalnya.
Sebaliknya, Kian Lee dan Kian Bu juga belum pernah melihat wanita yang buruk rupanya ini. Wajah wanita ini buruk sekali untuk ukuran wanita, serba kasar dan serba besar dan kaku, pantasnya wajah seorang laki-laki kasar yang tidak tampan. Rambutnya riap-riapan sudah bercampur uban dan sekiranya buah dadanya tidak menonjol dan tampak membusung di balik bajunya yang panjang itu tentu dia akan disangka laki-laki. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat akar pohon yang bentuknya seperti ular. Beberapa lamanya nenek ini berdiri di atas jembatan, kemudian dia mengeluarkan suara tertawa aneh dan suaranya juga besar seperti suara laki-laki. Kemudian sekali kedua kakinya bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan dan dari atas tongkatnya bergerak menusuk ke arah ubun-ubun Kian Lee!
"Hehhh!"
Kian Lee mengelak sambil berseru kaget, otomatis tombak buntungnya menusuk dari bawah ke arah lambung nenek itu, seperti kilat menyambar cepatnya.
"Heiii.... kau hebat juga!"
Nenek itu memekik, tongkatnya menangkis sambil mengerahkan sin-kangnya.
"Takkk!"
Tubuh nenek itu mencelat lagi, jelas bahwa menghadapi tenaga Swat-im Sin-kang dari Kian Lee, dia terkejut dan tidak dapat bertahan selagi tubuhnya berada di udara. Akan tetapi begitu kakinya menyentuh tanah, dia sudah mencelat tapi ke arah Kian Bu dan tongkatnya membuat gerakan seperti pedang menyambar ke arah leher Kian Bu dan disambung dengan tusukan ke arah bawah pusar. Gerakan nenek ini cepat dan kuat, namun Kian Bu yang biarpun masih muda sudah memiliki tingkat kepandaian hebat itu secara otomatis sudah menangkis dan berbareng meloncat ke belakang, kemudian tombak buntungnya membalas dengan serangan maut yang ditujukan ke arah hidung Si Nenek Buruk!
"Huh, luar biasa!"
Nenek itu berseru, mencelat ke belakang lalu melompat lagi ke depan, terus menyerang Kian Bu dan Kian Lee secara bergantian. Dua orang pemuda itu kini menghadapi serangan-serangan aneh dari wanita buruk itu dan juga dari Tek Hoat yang menjadi girang dan sudah memutar pedangnya lagi.
Karena terkejut dan bingung melihat gerakan aneh dari wanita itu, untuk beberapa lamanya Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu terdesak hebat. Gerakan wanita itu memang aneh sekali. Tubuhnya mencelat ke atas dengan kedua kaki berbareng, mencong ke kanan kiri, depan belakang, bahkan mumbul-mumbul seperti seorang anak kecil bermain-main, kadang-kadang sampai tinggi sekali dan menyerang dengan tongkatnya dari atas. Menghadapi gaya serangan yang aneh seperti ini, yang belum pernah dilihatnya, Kian Lee dan Kian Bu takjub dan terdesak. Juga Tek Hoat menjadi kagum sekali, juga girang karena nenek yang tidak dikenalnya siapa ini datang-datang terus membantunya, sehingga dia terbebas dari desakan dua orang muda yang amat lihai itu.
"Bu-te, mari pergunakan pelajaran terakhir!"
Tiba-tiba Kian Lee berseru kepada adiknya. Kian Bu mengangguk dan tiba-tiba mereka melontarkan tombak buntung itu ke depan. Kian Lee melontarkan tombaknya ke arah Tek Hoat dan Kian Bu melontarkannya ke arah nenek buruk. Biarpun hanya tombak buntung akan tetapi lontaran kedua orang kakak beradik ini tidak boleh dipandang ringan. Kalau mengenai dinding tebal sekalipun, tombak buntung itu akan dapat menembus, apalagi tubuh manusia! Tenaga yang mendorong tombak sehingga meluncur ini adalah tenaga sakti yang membuat tombak meluncur melebihi anak panah cepatnya.
"Cringg....!"
"Trakkk....!"
Tek Hoat dan nenek itu berhasil menangkis tombak buntung yang menyambar mereka akan tetapi mereka merasa betapa telapak tangan mereka yang memegang senjata menjadi panas dan nyeri sehingga mereka terkejut sekali. Tek Hoat menjadi makin girang melihat dua orang pemuda itu "membuang"
Senjata mereka, agaknya mereka sudah putus harapan dan agaknya pelajaran terakhir adalah melontarkan tombak tadi.
"Ha-ha, itukah pelajaran terakhir kalian?"
Ejeknya. Akan tetapi dia berseru kaget dan cepat memutar pedang dan meloncat ke belakang ketika Kian Bu sudah menerjangnya dengan kedua tangan kosong. Dari kedua tangan pemuda itu menyambar hawa yang amat dingin dan amat panas, yang dingin keluar dari tangan kiri, yang panas keluar dari tangan kanan. Betapa mungkin ini? Tek Hoat sendiri telah mempelajari ilmu-ilmu sin-kang kitab-kitab peninggalan kedua datuk Pulau Neraka,
Bahkan dari kitab peninggalan Bu-tek Siauw-jin dia telah melatih ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi, akan tetapi baru sekarang dia menghadapi lawan yang sekaligus dapat menggunakan dua pukulan yang berbeda, bahkan berlawanan tenaga sin-kangnya, panas dan dingin! Selain kedua pukulan yang mengandung dua hawa sakti bertentangan atau berlawanan ini, juga gerakan Kian Bu amat cepatnya, tubuhnya meluncur ke sana-sini seperti kilat! Melihat adiknya Sudah bergerak, Kian Lee juga melakukan gerakan yang sama. Tubuhnya mencelat seperti kilat menyambar, mengimbangi gerakan nenek yang aneh tadi, dan kedua tangannya menyerang dari kanan kiri, mengeluarkan hawa panas dan dingin secara berbareng sehingga nenek itu terkejut, berteriak keras dan mencelat mundur. Memang itulah pelajaran terakhir yang dimaksudkan oleh Kian Lee tadi.
Sebelum mereka keluar dari Pulau Es, ayah mereka telah menggembleng mereka secara tekun untuk mempelajari ilmu ini, ilmu yang dikombinasikan oleh Pendekar Super Sakti, mengambil inti dari gerakan ilmu silatnya Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Badai dan Kilat) dengan menggunakan inti pukulan Hwi-yang Sin-ciang (Tenaga Sakti Inti Api) dan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) digabung menjadi satu! Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun tidak mungkin dapat dipelajari oleh orang yang berkaki dua maka Pendekar Super Sakti hanya mengambil inti gerakannya saja, membuat gerakan kedua orang puteranya itu seperti kilat cepatnya, mencelat ke sana-sini tak terduga-duga oleh lawan! Dan karena ilmu ini harus dimainkan dengan kedua tangan yang masing-masing merupakan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, maka dua orang pemuda itu tadi telah membuang tombak buntung mereka.
Setelah kedua orang kakak beradik itu mengeluarkan ilmu yang aneh dan hebat ini, mereka dapat mengimbangi lawan dan tidak terdesak lagi sungguhpun hawa pukulan mereka yang berselang-seling panas dan dingin itu hanya dapat mendesak lawan agak menjauh dan tidak berani terlalu dekat, akan tetapi mereka pun tidak dapat terlalu mendesak karena senjata kedua orang lawan mereka amat lihai. Tek Hoat menjadi penasaran bukan main. Kembali dia bertemu dengan "batu"! Tak disangkanya sama sekali bahwa di dunia ini terdapat orang muda yang begini hebat, setelah dia terkejut bertemu dengan pemuda tinggi besar yang dulu menolong Jenderal Kao, yang juga amat lihai ilmunya. Kiranya bukan dia seorang saja yang menjadi jago muda di kolong langit ini.
Kenyataan ini sedikitnya telah menghancurleburkan kebanggaannya, membuka matanya sehingga dia tidak akan berani lagi menganggap dirinya sebagai jago muda nomor satu di dunia! Sementara itu, nenek yang didesak oleh Kian Lee yang lebih berani mendesak daripada Kian Bu karena nenek itu hanya bersenjata tongkat, bukan pedang mujijat seperti yang dipegang oleh lawan Kian Bu, berkali-kali mengeluarkan lengking mengerikan dan aneh, seperti suara jerit seekor binatang yang terjepit. Tiba-tiba dia meloncat agak jauh ke belakang dan ketika Kian Lee mengejarnya dengan gerakan kilat, tiba-tiba wanita itu tertawa dan tangan kirinya melontarkan sebuah benda bulat ke arah pemuda ini. Kian Lee sedang meloncat dan lontaran itu cepat sekali, maka dia tidak sempat lagi mengelak dan sambil mengerahkan tenaga ke arah kaki kirinya dia menendang benda hitam bulat itu.
"Darrr....!"
Benda itu meledak ketika ditendang oleh Kian Lee dan pemuda ini mengeluh, terlempar ke bawah dan darah membasahi celana karena pahanya telah terluka oleh pecahan besi. Kiranya benda itu adalah semacam senjata peledak yang ampuh dan karena tidak mengira sama sekali bahwa benda itu akan meledak, maka Kian Lee menjadi kurang hati-hati dan pahanya terkena pecahan besi sehingga kulit dan dagingnya terluka yang lumayan parahnya.
"Lee-ko....!"
Kian Bu berseru kaget sekali dan sekali meloncat, dia telah berada di depan nenek itu, terus menyerangnya dengan kedua tangannya sambil mengerahkan seluruh tenaga. Dipukul dengan Hwi-yang Sin-ciang berbareng dengan Swat-im Sin-ciang secara hebat itu, Si Nenek terkejut dan biarpun dia sudah mengelak, tetap saja dia terdorong oleh hawa pukulan sehingga dia terhuyung dengan muka pucat dan roboh. Cepat dia bergulingan kemudian meloncat ke atas lagi. Suma Kian Bu sudah menarik kakaknya bangun, kemudian menggandeng kakaknya itu, meloncat ke atas jembatan.
"Lepaskan aku, aku bisa membela diri. Mari kita ke dinding itu...."
Kata Kian Lee sambil menyeret kaki kirinya yang sukar digerakkan. Melihat seorang pemuda telah terluka, para perajurit dan pembantu Tek Hoat menjadi berani. Mereka mengejar dan beberapa orang telah menyerang dengan tombaknya. Kian Bu menjadi marah, dia membalik, merampas sebatang tombak dan memutap tombak itu, merobohkan enam orang sekaligus, ada yang dikemplang tombak, ada yang ditusuk, ada yang ditendang dan ada yang didorong oleh tangan kirinya.
"Hayo, Lee-ko....!"
Dia hendak menggandeng kakaknya lagi akan tetapi pada saat itu, seorang pembantu Tek Hoat yang gerakannya cukup gesit dan kuat, seorang yang berjenggot dan berkumis pendek telah menusuk dari belakang dengan tombaknya.
"Haiiittt....!"
Kian Bu berseru, kaki kirinya yang seperti bermata itu diputar ke belakang dan dengan tepat menangkis tombak itu, kemudian dia membalik, tombak yang dipegangnya menyambar ke arah kepala orang berkumis pendek, sedangkan pedang Si Kumis itu telah terlempar oleh tangkisan kaki Kian Bu.
"Ouhhhh....!"
Orang itu mengelak, akan tetapi tetap saja telinga kirinya kena dihantam tombak sehingga remuk.
"Wadouuuhhh....!"
Dia berloncatan sambil memegangi telinga kirinya yang sudah tidak berdaun lagi, dan saking sakitnya dia tidak melihat kanan kiri atas depan lagi, maka tanpa disengaja dia menabrak dan menghalangi Tek Hoat yang sedang lari hendak mengejar Kian Lee dan Kian Bu. Karena tiba-tiba ditabrak pembantunya sendiri yang sedang kesakitan, Tek Hoat marah-marah dan ditendangnya pembantu yang sudah tidak berdaun telinga kiri lagi itu.
Sepasang Pedang Iblis Eps 2 Pendekar Super Sakti Eps 43 Pendekar Super Sakti Eps 39