Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 44


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 44



Mauw Siauw Mo-li tersenyum.

   "Kalian orang-orang liar kaki tangan Tambolon, lebih baik lekas pergi dari sini jangan mengganggu aku kalau kalian belum bosan hidup."

   Dengan sikap tenang seenaknya Lauw Hong Kui, wanita cantik yang merasa terganggu kesenangannya itu berkata sambil mengorek api unggun sehingga nyalanya menjadi makin besar.

   "Perempuan sombong! Kau kira aku takut kepadamu?"

   Liauw Kui membentak marah sekali.

   "Hi-hik, engkau sudah bosan hidup!"

   Mauw Siauw Mo-li tertawa lalu berbisik kepada Kian Bu,

   "Engkau tunggu sebentar, aku akan menghajar tikus-tikus busuk ini!"

   Kian Bu mengangguk dan memandang dengan terheran-heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa wanita cantik jelita yang telah menolongnya ini, yang mempunyai nama indah, yaitu Lauw Hong Kui, kiranya adalah Mauw Siauw Mo-li, Si Siluman Kucing yang telah dia dengar namanya dari kakaknya itu.

   Kiranya ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo yang lihai! Heran sekali dia mengapa seorang iblis seperti Hek-tiauw Lo-mo memiliki seorang sumoi sehebat ini dan sama sekali tidak disangkanya bahwa wanita yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li yang dikabarkan seperti iblis betina itu ternyata adalah seorang wanita yang begitu cantik. Dan wanita ini tidak membohong ketika mengatakan bahwa dia menyelamatkan Siang In dari tangan Tambolon, karena menurut ucapan Liauw Kui yang marah tadi agaknya memang demikian. Kini Kian Bu duduk di dekat api unggun dan menonton dengan hati tertarik. Lauw Hong Kui tidak tahu bahwa dia memiliki kepandaian maka dia pun tidak akan turun tangan kalau tidak perlu sekali, sungguhpun dia telah siap karena maklum betapa lihainya dua orang pembunuh utama Tambolon.

   "Mampuslah....!"

   Tiba-tiba tangan Mauw Siauw Mo-li bergerak dan dia telah melontarkan sebatang ranting yang ujungnya bernyala ke arah Petani Maut. Ranting yang ujungnya terbakar itu meluncur seperti anak panah cepatnya, menyambar ke arah dada pembantu utama Tambolon itu.

   Liauw Kui mendengus marah, batang pikulannya bergerak menangkis dan ranting itu meluncur ke kiri. Terdengar pekik mengerikan dan seorang di antara anak buah pasukan Tambolon itu roboh dengan perut tertembus ranting tadi yang kini menjadi padam. Siauw Mo-li tertawa dan Liauw Kui menjadi marah bukan main. Tak disangkanya bahwa lontaran ranting itu sedemikian kuatnya sehingga biarpun telah dapat ditangkis, namun masih dapat membunuh seorang anak buahnya. Lauw Hong Kui sudah meloncat berdiri dan tangan kanannya meraba punggung. Sinar kehijauan nampak di antara cahaya api ketika wanita ini sudah mencabut pedangnya. Melihat ini Liauw Kui sudah berteriak keras dan menerjang maju, sambil menggerakkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya.

   "Singgg.... wirrr....!"

   Pikulan berubah menjadi sinar bergulung ketika menyambar ke arah Siauw Mo-li, namun wanita ini tidak menjadi gentar, cepat mengelak dan menggerakkan pedangnya untuk balas menyerang.

   "Tring-tring-tringgg....!"

   Berkali-kali kedua senjata bertemu dan bunga api berhamburan.

   Keduanya merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata tergetar, maka dengan kaget mereka melangkah mundur dan memeriksa sen-jata masing-masing. Setelah ternyata bahwa senjata mereka tidak menjadi rusak, mereka bergerak lagi saling menyerang dengan marah. Kian Bu yang menonton pertempuran itu menjadi kagum. Ternyata bahwa Lauw Hong Kui selain cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat luar biasa, juga memiliki kepandaian tinggi, ilmu pedangnya indah dan lihai sehingga kalau saja pembantu utama Tambolon itu bukan seorang yang berilmu, tentu tidak akan kuat bertahan menghadapi gerakan pedang yang cepat dan aneh itu. Mereka ternyata seimbang karena senjata batang pikulan itupun luar biasa, berputar seperti kitiran dan mengandung kekuatan yang dahsyat.

   Kian Bu mengerti bahwa dalam hal tenaga, Petani Maut itu lebih kuat dibandingkan dengan Siauw Mo-li, akan tetapi jelas bahwa wanita itu lebih cepat gerakannya, lebih lincah dan ringan sehingga mengandalkan kelincahannya ini, Siauw Mo-li dapat mengimbangi desakan lawan. Betapapun juga, Kian Bu maklum bahwa kalau dilanjutkan, besar kemungkinan wanita itu akan dapat merobohkan lawannya, sungguhpun akan tidak mudah baginya melakukan hal itu. Maka dia hanya menonton saja dan waspada terhadap gerak-gerik Si Siucai Maut dan anak buahnya yang juga menonton dengan penuh perhatian. Melihat betapa setelah lewat lima puluh jurus temannya belum juga dapat mengalahkan wanita itu, bahkan kini gulungan sinar pedang kehijauan itu menjadi makin lebar dan makin menghimpit, Yu Ci Pok menjadi tidak sabar.

   "Iblis betina banyak tingkah!"

   Teriaknya dan dia sudah menerjang maju de-ngan sepasang poan-koan-pit di tangannya melakukan gerakan cepat menotok secara bertubi-tubi di tujuh belas jalan darah depan tubuh wanita lihai itu.

   "Cring-cring-cring-tranggg....!"

   Siauw Mo-li terhuyung ke belakang karena dia harus menghadapi serangan batang pikulan dan sepasang poan-koan-pit yang amat lihai itu. Melihat dua orang itu sudah menerjangnya lagi dan sembilan orang anak buahnya itu sudah makin mendekat, Mauw Siauw Mo-li tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa diikuti suara aneh seperti seekor kucing, tangan kirinya bergerak melemparkan sesuatu ke arah gerombolan itu, tangan kanan memutar pedang mendesak dua orang lawan yang sudah menyerangnya lagi sambil berteriak,

   "Kian Bu, tiarap....!"

   Terdengar bunyi ledakan keras dan empat orang anak buah Tambolon roboh sedangkan yang lima orang lagi cepat lari cerai-berai. Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li sendiri terdesak hebat oleh Liauw Kui dan Yu Ci Pok. Sebuah totokan yang amat cepat menyerempet lututnya, membuat wanita ini terhuyung dan pada saat itu, batang pikulan Liauw Kui menghantam punggungnya yang biarpun sudah ditangkisnya dengan pedang, tetap saja masih membuat dia terjengkang dan roboh ke atas tanah. Kini dua orang pembantu Tambolon itu sudah menubruk ke depan dengan senjata mereka.

   "Wuuuttt.... desss!"

   Dua orang itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, karena ada tenaga dahsyat dan berhawa dingin sekali melanda mereka dari depan. Itulah dorongan pukulan yang mengandung hawa sakti Swat-im Sin-kang dari Kian Bu. Pemuda ini tentu saja tidak mau membiarkan wanita cantik yang sudah menolongnya itu tewas di tangan musuh begitu saja, maka dia sudah meloncat ke depan dan melakukan pukulan jarak jauh tadi.

   "Enci Hong Kui.... apakah engkau tidak apa-apa? Tidak terluka....?"

   Kata Kian Bu sambil menghampiri wanita yang masih terduduk di atas tanah itu dan yang kini memandang kepadanya dengan mata terbelalak lebar penuh keheranan.

   "Kian Bu, awas....!"

   Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li berseru keras. Akan tetapi dengan tenang saja Kian Bu membalikkan tubuhnya dan menggerakkan kedua tangan. Tentu saja tanpa diperingatkan pun dia telah tahu bahwa dia diserang dari belakang oleh dua orang itu.

   "Plak-plak-bresss....!"

   Liauw Kui dan Yu Ci Pok kembali terhuyung ke belakang ketika penyerangan mereka disambut tangkisan dan tamparan kedua tangan Kian Bu yang me-ngandung tenaga dahsyat itu, kini tidak lagi mengandung hawa dingin, melainkan hawa panas karena pemuda itu telah mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang. Liauw Kui tertangkis batang pikulannya yang membalik dan hampir menghantam kepalanya sendiri, sedangkan Yu Ci Pok tertampar tangan Kian Bu yang panas, tepat mengenai lengannya, membuat dia merasa lengannya seperti lumpuh dan panas terbakar. Pada saat itu, Lauw Hong Kui sudah melemparkan dua buah benda bundar lagi ke arah musuh.

   "Awas peledak....!"

   Si Petani Maut berteriak dan bersama Yu Ci Pok dan anak buahnya dia meloncat jauh. Akan tetapi tetap saja ada dua orang anak buahnya lagi yang roboh terguling dan maklum bahwa mereka tidak akan mampu melawan pemuda lihai dan wanita berbahaya itu, Liauw Kui dan Yu Ci Pok lalu melarikan diri, menghilang di kegelapan malam diikuti anak buah mereka yang tinggal empat orang itu. Kian Bu tidak mengejar, hanya berdiri tegak memandang ke arah mereka itu melarikan diri. Tiba-tiba Kian Bu menunduk dan dia melihat wanita itu telah berlutut di dekatnya, memegang tangan kanannya lalu menciumi tangannya itu.

   "Eh, engkau kenapa, Enci?"

   Tanyanya, akan tetapi tidak dapat menarik tangannya yang digenggam erat-erat dan dibelai oleh wanita itu.

   "Kian Bu.... kau.... tak kusangka.... aihh, engkau hebat sekali! Kiranya engkau seorang pemuda yang sakti, sungguh mati aku tidak menyangkanya.... kau hebat, aku kagum sekali padamu...."

   "Ah, sudahlah, engkau pun lihai sekali, Enci Hong Kui."

   Wanita itu bangkit berdiri, masih memegangi lengan Kian Bu, dan dibawah sinar api unggun dia melihat betapa muka wanita itu kemerahan, matanya yang indah itu agak terpejam, menyipit dan sayu menatapnya, jari-jari tangan wanita itu merayap dari lengannya, ke atas, membelai dadanya, pundaknya, lehernya dan mengelus pipinya, bibirnya tersenyum, agak terbuka, agak terengah. Teringat dia akan Siang In yang pernah meniru lagak wanita genit memikat, wanita ini yang dimaksudkan oleh dara itu dan kini dia menghadapi sendiri gaya Mauw Siauw Mo-li yang amat memikat itu. Berdebar rasa jantungnya, dan dia cepat menarik diri dengan halus sambil berkata,

   "Kiranya engkau adalah Mauw Siauw Mo-li.... sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo?"

   Siauw Mo-li tersenyum, tidak mendesak dengan rayuannya karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat sekali, tidak boleh dipandang ringan. Hati wanita ini sudah terpikat. Baru sekali ini selama hidupnya dia benar-benar jatuh cinta kepada seorang pria. Biasanya dia menganggap pria hanya sebagai barang permainannya, untuk menyenangkan hatinya, untuk memuaskan nafsu berahinya. Entah sudah berapa banyaknya pria yang dibunuhnya setelah dia puas mempermainkannya lalu menjadi bosan dan membunuhnya. Biasanya, kaum prialah yang tergila-gila kepadanya. Akan tetapi sekarang, Mauw Siauw Mo-li yang tergila-gila kepada Kian Bu, setelah dia melihat betapa pemuda yang tampan gagah ini ternyata amat lihai, memiliki kepandaian yang agaknya lebih tinggi daripada kepandainnya sendiri.

   "Aku benci sekali kepada julukan itu, Kian Bu. Julukan yang diberikan oleh mereka yang tidak suka kepadaku. Aku benci sekali, apalagi kalau engkau yang menyebutnya. Bagimu aku adalah Lauw Mong Kui, wanita biasa saja...."

   Kian Bu tersenyum.

   "Enci Hong Kui, biarpun engkau mengaku seorang wanita biasa saja, kenyataannya engkau adalah seorang wanita yang luar biasa. Engkau cantik jelita, berkepandaian tinggi, sumoi dari Ketua Pulau Neraka...."

   Akan tetapi wanita itu sudah tidak mendengarkan kata-kata selanjutnya dari Kian Bu. Demikian girang hatinya mendengar pujian bahwa dia cantik jelita.

   "Benarkah, Kian Bu? Benarkah engkau berpendapat bahwa aku cantik jelita?"

   "Engkau memang cantik dan genit memikat...."

   Kian Bu kembali teringat kepada Siang In.

   "Dan biarpun engkau sumoi Hek-tiauw Lo-mo, ternyata engkau baik, telah menolong Siang In, dan juga telah menolongku. Akan tetapi sekarang aku harus pergi, Enci Hong Kui. Aku harus mencari Siang In...."

   Kian Bu sudah memutar tubuhnya hendak pergi dan merasa bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik kalau dia terus berdekatan dengan wanita ini, yang membuat jantungnya berdebar aneh. Wanita ini memiliki daya tarik yang amat luar biasa. Tadi ketika jari-jari tangan wanita itu menjelajahi tubuhnya, seperti ular-ular merayap, bulu tengkuknya meremang, akan tetapi di samping kengerian ini dia pun merasakan sesuatu yang aneh, nikmat dan membangkitkan keinginan tahunya.

   "Eh, Kian Bu, nanti dulu!"

   Lauw Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li sudah lari mengejar dan memegang lengan tangan pemuda itu.

   "Kenapa kau hendak pergi sekarang? Sudah kukatakan malam amat gelap, engkau tidak akan berhasil mencarinya, pula, di tempat ini berkeliaran orang-orangnya Tambolon sehingga di dalam gelap amat berbahaya, dapat celaka oleh mereka. Tunggulah sampai besok pagi, aku akan membantumu mencari dia, Kian Bu."

   "Tidak perlu, Enci. Biar aku mencari sendiri. Engkau baik sekali dan terima kasih atas semua bantuanmu."

   "Kau nekat hendak pergi mencari gelap-gelap begini? Kalau begitu, biar aku menemanimu."

   Tentu saja Kian Bu tidak dapat menolak atau melarang dan mereka berdua mulai mencari-cari di sepanjang sungai itu. Akan tetapi, karena memang cuaca amat gelap, sukar sekali mencari orang dan akhirnya Kian Bu terpaksa menurut bujukan Hong Kui untuk beristirahat dan menanti sampai malam lewat, baru akan melanjutkan usaha mencari Siang In dan yang lain-lain itu. Mereka duduk di tepi sungai, membuat api unggun.
(Lanjut ke Jilid 43)

   Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 43
"Tidurlah, Kian Bu. Engkau baru saja mengalami bahaya maut di sungai, mengalami pertandingan yang berat. Engkau tentu lelah sekali, biar aku yang menjaga di sini."

   Kian Bu memang merasa lelah sekali. Dia lalu merebahkan diri terlentang di atas rumput dekat api unggun, memandang wanita itu yang duduk dekat api unggun sambil menambah kayu bakar ke dalam api. Hong Kui menoleh dan mereka saling pandang. Wanita itu tersenyum. Giginya yang berderet rapi itu berkilauan tertimpa cahaya api. Wanita cantik sekali, pikir Kian Bu yang rebah terlentang berbantal kedua tangannya.

   "Enci Hong Kui, kita baru saja saling bertemu. Mengapa engkau begini baik kepadaku dan selain menolongku dari sungai ketika aku pingsan, membantuku melawan anak buah Tambolon, bersikap manis dan kini hendak membantuku mencari Siang In? Mengapa?"

   Pertanyaan yang mengandung nada suara penuh selidik ini tentu saja dapat tertangkap oleh wanita yang sudah berpengalaman itu. Mauw Siauw Mo-li tahu pemuda macam apa adanya Kian Bu. Seorang pemuda yang masih perjaka, yang belum berpengalaman, namun seorang yang gemblengan dan biarpun di dalam sinar mata pemuda itu terdapat semangat kegembiraan yang besar, namun pemuda seperti ini tidak akan mudah tunduk kepada dorongan nafsu begitu saja.

   Juga tidak mungkin untuk memaksa pemuda ini seperti yang sering dia lakukan terhadap pemuda-pemuda lain, tidak mungkin pula mempergunakan obat bius atau obat perangsang. Satu-satunya jalan dia harus dapat menundukkan hati pemuda ini dengan rayuannya, harus dapat menimbulkan cinta kasih di hati pemuda ini. Dan dia dapat membayangkan betapa akan senang dan bahagia hatinya kalau pemuda ini dapat bertekuk lutut dan dapat menjadi kekasihnya. Dia akan melepaskan semua petualangannya, akan menghindari semua pria lain kalau saja dia bisa mendapatkan cinta kasih dari pemuda luar biasa ini. Maka dia harus bersikap cerdik dan hati-hati. Dapat di bayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Bu ketika tiba-tiba dia melihat wanita cantik itu menutupi muka dengan kedua tangan dan terisak menangis!

   "Eh, Enci...., kau kenapa?"

   Tanyanya sambil bangkit duduk. Hong Kui terisak lirih, mengatur pernapasannya terengah, kemudian dia menurunkan kedua tangan. Mukanya pucat matanya merah dan air mata menetes turun ke atas kedua pipinya. Dia menggigit bibir seperti hendak memperkuat hatinya, kemudian baru dia berkata sambil menunduk,

   "Pertanyaanmu mengingatkan aku bahwa aku hanyalah seorang calon mayat, Kian Bu...."

   Air matanya bercucuran.

   "Eh, apa maksudmu, Enci?"

   Kian Bu memandang penuh perhatian dan teringat akan gaya Siang In ketika menirukan gerak-gerik wanita ini. Akan tetapi sekali ini agaknya Hong Kui tidak bersandiwara, tidak berpura-pura dan bergaya memikat.

   "Tadi aku tidak berterus terang ketika menceritakan kepadamu, Adik Kian Bu. Aku sampai mencuri kitab dari Pek-thouw-san, kitab peninggalan ayah Adik Siang In, hanya karena terpaksa. Aku keracunan hebat oleh latihan yang keliru, melatih ilmu dari kitab suheng Hek-tiauw Lo-mo, dan aku tahu bahwa kalau tidak memperoleh obat yang tepat, aku akan mati. Sekarang, melihat bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, maka timbul kembali harapanku, akan tetapi.... aku sangsi apakah engkau akan sudi membantuku sehingga nyawaku dapat terhindar dari ancaman maut...., maka aku membantumu sekuat tenagaku hanya.... hanya agar engkau menaruh kasihan kepadaku...."

   "Enci Hong Kui, mengapa kau berkata demikian? Tanpa engkau menolongku se-kalipun, kalau memang aku dapat membantu, aku tentu takkan menolak jika engkau membutuhkan bantuanku."

   Wajah yang pucat itu menjadi agak berseri, mata yang sayu oleh tangis itu memandang penuh harapan.

   "Benarkah, Kian Bu? Ah, benarkah kau sudi menolongku? Aku.... aku adalah seorang sebatang kara, tidak punya ayah bunda, tidak ada saudara...."

   "Ada suhengmu...."

   "Suhengku adalah seorang yang jahat, seorang yang kejam, bahkan ancaman maut ini datang dari kitabnya yang kupelajari, dan dia tidak peduli...."

   "Akan tetapi masih ada Hek-wan Kui-bo. Bukankah dia sucimu....? Ah, maaf, hampir aku lupa bahwa dia telah tewas...."

   "Andaikata masih hidup pun, Suci itu lebih jahat lagi daripada Suheng. Pendeknya, aku hidup sebatang kara di dunia ini, dan sekarang terancam bahaya. Hanya engkau yang kuharapkan, hanya engkau yang dapat membantuku, Kian Bu."

   "Enci Hong Kui, engkau sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau hanya mencari obat saja, tanpa bantuanku pun engkau tentu dapat melakukannya."

   "Aihhh, engkau tidak tahu. Pernah Suheng berkata kepada puterinya, si anak nakal Hwee Li, bahwa yang akan dapat menyembuhkan keracunan di tubuhku ini hanya anak naga di Telaga Sungari. Dan bulan depan ini naga itu akan muncul, munculnya setiap sepuluh tahun sekali. Nah, anak naga yang dibawa muncul di permukaan air telaga oleh induknya itulah yang akan dapat membersihkan darah dan tubuhku dari keracunan. Akan tetapi, tidak mudah untuk menangkap anak naga itu, Kian Bu. Dengan tenagaku sendiri saja, agaknya tidak akan mungkin berhasil. Oleh karena itu, aku mohon kepadamu...., sudilah engkau membantuku menangkap anak naga di Telaga Sungari itu, yang berarti bahwa engkau akan menyelamatkan nyawaku."

   Dan wanita itu menangis sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Bu! Pemuda itu terkejut, merasa kasihan sekali lalu membangunkan wanita itu.

   "Jangan begitu, Enci. Baiklah, aku akan membantumu."

   "Terima kasih.... ohh, terima kasih....!"

   Lauw Hong Kui memegang tangan Kian Bu dan mencium tangan pemuda itu. Perbuatan ini bukan merupakan sandiwara lagi, melainkan keluar dari setulusnya hati karena dia merasa gembira dan berbahagia sekali.

   "Enci, kau aneh sekali."

   Kian Bu perlahan menarik tangannya.

   "Apa sih anehnya tolong-menolong antara manusia dalam hidup ini? Bahkan kuanggap bukan pertolongan lagi namanya, melainkan sudah semestinya kalau manusia hidup harus bantu-membantu."

   "Aku besok akan membantumu mencari Siang In dan yang lain-lain sampai dapat, Kian Bu. Setelah itu barulah kita berangkat ke Telaga Sungari dan mudah-mudahan saja kita akan berhasil karena urusan ini adalah mati hidup bagiku."

   Hong Kui cerdik sekali dan dia tidak mau terlalu mendesak, menahan kerinduan dan berahinya karena dia tidak ingin pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini akan menjadi curiga kepadanya.

   Memang dia amat membutuhkan obat seperti yang diceritakan oleh Siang In itu, akan tetapi dia membohong bahwa dia akan mati. Yang jelas, dia merasa bahwa kesehatannya mundur banyak dan kadang-kadang terasa nyeri di dadanya sebagai akibat keracunan itu. Akan tetapi yang penting baginya bukanlah itu, melainkan Kian Bu! Kalau dia dapat memperoleh pemuda yang membuatnya tergila-gila ini sebagai suami atau kekasih, biar mati oleh racun itupun dia sudah merasa puas! Kedua orang ini lalu beristirahat. Kian Bu bersandar pada batang pohon, memandang ke arah tubuh Hong Kui yang rebah terlentang di dekat api unggun dalam keadaan pulas. Cantik sekali wanita ini, pikirnya, kagum melihat wajah yang cantik itu tertimpa sinar api unggun dan tubuh yang menggairahkan itu menonjol di balik pakaian dari sutera, dadanya yang penuh turun naik dalam pernapasannya.

   Wanita cantik yang terancam bahaya maut. Akan tetapi benarkah itu? Perempuan ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, dan Ketua Pulau Neraka itu demikian jahatnya! Bagaimana kalau wanita ini pun jahat seperti suhengnya dan menjalankan siasat untuk menipunya? Kelihatannya begitu sehat dan segar, dan gerakannya ketika bertanding tadi amat ringan dan lincah, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan. Akan tetapi, dia bukan seorang ahli pengobatan, maka tentu saja tanda-tanda itu tidak nampak olehnya. Betapapun juga, kepandaiannya tentang jalan darah dan hawa murni di dalam tubuh yang dimilikinya ketika dia dilatih sin-kang, di bawah gemblengan ayahnya, membuat dia dapat menentukan apakah seseorang mengandung hawa beracun di dalam tubuhnya atau tidak, dengan jalan meneliti jalan darahnya dan detak jantungnya.

   Kian Bu mendekati tubuh Hong Kui. Melihat wanita itu sudah tidur pulas, dan hal ini diketahuinya dari jalan pernapasannya, Kian Bu lalu mengulur tangan, yang kiri meraba ulu hati Hong Kui, yang kanan memegang pergelangan tangannya. Pemuda yang lihai namun masih hijau ini dapat dikelabuhi oleh Hong Kui. Wanita ini amat pandai, dan tahu bahwa untuk mengelabuhi seorang pemuda setinggi Kian Bu kepandaiannya bukanlah hal mudah dan kalau hanya dengan memejamkan mata pura-pura tidur saja tentu akan diketahui oleh pemuda lihai itu. Dia pun tahu bahwa bagi seorang yang mengerti akan ilmu silat, tanda bagi seseorang apakah dia itu pulas atau tidak dapat dilihat dari pernapasannya, karena pernapasan dari seorang yang tidak tidur,

   Betapapun diusahakan supaya halus dan panjang, tetap saja dikuasai oleh kesadaran dan setiap saat dapat berubah sesuai dengan isi pikirannya yang menguasai jantung sehingga pernapasan yang tidak dapat terlepas dari keadaan jantung itu terpengaruh pula, pernapasan seorang yang tidur adalah wajar dan tidak dikuasai apa-apa, paru-paru bekerja sewajarnya dan dengan sendirinya. Pendengaran tajam seorang ahli silat yang terlatih seperti Kian Bu tentu dapat membedakannya. Oleh karena itu, Hong Kui yang rebah terlentang dan sengaja menghimpit bajunya di bawah tubuh sehingga bajunya tertarik ketat mencetak lekuk-lengkung tubuhnya sehingga kelihatan amat menggairahkan, melakukan siu-lian sambil rebah sehingga keadaannya tiada bedanya dengan orang tidur karena segala bentuk rasa,

   Hati dan pikiran telah terhenti dan tidak lagi mempengaruhi jantungnya, membuat pernapasannya menjadi wajar seperti napas orang tidur! Patut dikagumi kekuatan kemauan wanita ini. Dapat dibayangkan betapa ketika Kian Bu mendekatinya, menempelkan telapak tangan di antara bukit dadanya, nafsu berahinya telah terangsang dan ingin dia merangkul leher pemuda itu dan menariknya untuk didekap dan dicumbu, akan tetapi Hong Kui menahan diri dan tidak bergerak sama sekali. Kian Bu sendiri adalah seorang pemuda yang pada dasarnya memiliki sifat-sifat romantis. Dia memang tidak mempunyai niat lain kecuali memeriksa keadaan tubuh wanita itu untuk menyelidiki apakah benar wanita itu keracunan darah dan tubuhnya, akan tetapi ketika ujung jari tangannya menyentuh ulu hati dan tanpa disengaja menyentuh lereng bukit dada,

   Jantungnya sendiri berdebar tegang sehingga ketegangannya membuat kepekaannya berkurang dan dia tidak tahu bahwa dalam beberapa detik, jantung wanita itu berdebar keras sekali, kemudian terhenti dan menjadi normal lagi. Ketika Kian Bu mengerahkan sedikit sin-kang yang hangat untuk menyelidiki, dan merasa betapa tenaganya itu bertemu dengan hawa yang tidak wajar padahal wanita itu masih pulas, tahulah dia bahwa memang ada hawa beracun yang mujijat dan berbahaya mengeram di dalam tubuh dan darah Lauw Hong Kui. Cepat dia melepaskan kedua tangannya dan kembali ke tempatnya semula, yaitu bersandar pada batang pohon. Dia tidak membohong, pikirnya lega, akan tetapi perasaan jari tangan bersentuhan dengan bukit dada tadi selalu mengganggu pikirannya, tak pernah dapat dilupakannya sehingga Kian Bu menjadi gelisah dan tidak berhasil tidur sama sekali.

   Maka dia lalu menghampiri api unggun, ditambahi kayu sehingga api membesar, kemudian dia duduk bersila untuk mengatur penapasan dan menenteramkan hatinya yang diganggu dan digelitik pengalaman tadi. Akhirnya dia dapat menenangkan dirinya dan dapat beristirahat, tidak tahu betapa sebuah di antara sepasang mata Hong Kui bergerak dan setengah terbuka memandang ke arahnya, dan betapa bibir bawah yang berkulit tipis penuh dan merah segar itu bergerak-gerak aneh mengarah senyum. Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi jalan. Matahari amat teriknya sehingga bumi seperti terengah-engah kehausan. Musim panas agaknya dimulai dengan kemarahan matahari yang sudah terlalu sering diganggu mendung dan hujan.

   Sepasang mata di wajah yang buruk itu menatap wajah cantik yang bersandar pada batang pohon dan kedua matanya terpejam itu. Wajah cantik itu bersinar kehijauan, warna yang tidak wajar sungguhpun tidak merusak atau mengurangi kecantikan wajah yang manis itu. Ceng Ceng yang bersandar pada batang pohon memejamkan matanya, mengenangkan kembali semua pengalamannya, teringat dia akan Kian Lee, pemuda gagah tampan yang cinta kepadanya akan tetapi ternyata adalah pamannya sendiri itu! Membayangkan wajah gagah berwibawa dari Gak Bun Beng, supeknya yang selama ini dianggapnya sebagai ayah kandungnya yang sudah mati. Betapa anehnya lika-liku jalan hidupnya, aneh dan penuh dengan kekecewaan karena peristiwa yang tak tersangka-sangka olehnya.

   Betapa semenjak meninggalkan Bhutan, dia bertemu dan berhubungan dengan orang-orang besar dan pandai. Dimulai dengan pengangkatan saudara oleh Puteri Syanti Dewi, disusul peristiwa hebat yang membuat kakeknya gugur dan membuat dia mulai memasuki hidup baru, hidup perantauan dan petualangan yang penuh kegetiran hidup. Pertemuannya dengan Ang Tek Hoat, dengan Jenderal Kao, dengan Ban-tok Mo-li, sampai dengan Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hitam, dengan Hek-tiauw Lo-mo, kemudian malapetaka yang menimpa dirinya, yang menghancurkan semua keindahan hidupnya, pemerkosaan atas dirinya! Semua itu agaknya masih belum habis sehingga dia terlibat dalam pemberontakan, berhasil membantu demi kehancuran pemberontakan, dan bertemu dengan rahasia kehidupan mendiang ibunya!

   Dan sekarang, dia menderita luka parah yang agaknya tidak ada lagi obatnya. Nyawanya hanya tinggal paling lama satu bulan lagi saja. Satu bulan! Hanya tiga puluh hari lagi, bahkan menurut Yok-kwi, mungkin dalam belasan hari saja dia akan mati! Dan musuh besarnya, pemerkosanya, belum juga dapat ditemukannya! Ah, mengapa nasibnya begini buruk? Ayahnya...., ah, ibunya pun diperkosa orang, dan dia adalah anak yang lahir dari hasil perkosaan! Mengapa mesti disesalkan? Dia seorang yang tidak berharga, dan tinggal sebulan lagi! Mengapa hidup yang tinggal singkat itu harus diisi dengan kedukaan? Tidak, dia harus bergembira! Dia dahulu selalu gembira, sebelum bertemu dengan Syanti Dewi. Sekarang, hidup tinggal sebulan, bahkan mungkin hanya beberapa hari lagi saja, dia harus bergembira.

   "Hemm, sebulan lagi....!"

   Dia berkata sambil membuka matanya. Begitu membuka matanya, tampaklah Topeng Setan yang duduk tak jauh di depannya, memandang kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan iba dan ke-khawatiran. Baru Ceng Ceng teringat bahwa dia tidak sendirian, bahwa di situ masih ada Topeng Setan yang menjadi satu-satunya sahabatnya di dunia ini. Manusia aneh yang berkali-kali telah me-nolongnya, yang amat setia kepadanya.

   "Lu-bengcu, mengapa kau kelihatan berduka sekali?"

   Topeng Setan bertanya, suaranya mengandung getaran aneh, seperti orang yang amat terharu, sungguhpun wajah yang kasar dan buruk itu tidak membayangkan apa-apa. Ceng Ceng menarik napas panjang, menatap wajah buruk itu penuh perhatian sehingga beberapa lamanya mereka saling beradu pandang mata dan akhirnya Topeng Setan menundukkan mukanya, seolah-olah tidak kuat menatap pandang mata itu.

   "Kenapa engkau tidak mau menanggalkan topengmu dan memperkenalkan wajahmu kepadaku?"

   Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya dan Topeng Setan cepat menggeleng kepalanya.

   "Harap bengcu tidak memaksaku, kita telah berjanji...."

   Ceng Ceng menghela napas.

   "Aku tidak ingin melanggar janji, hanya karena engkau satu-satunya sahahatku yang baik dan karena aku ingin tahu apakah engkau ini seorang kakek tua renta, seorang setengah tua atau seorang muda sehingga memudahkan aku untuk memanggilmu...."

   "Mengapa? Bengcu sudah biasa memanggilku Topeng Setan dan aku sudah merasa senang dengan panggilan itu...."

   "Tidak pantas! Sungguh tidak pantas. Engkau adalah penolongku, sudah berulang kali mem-bantu dan menyelamatkan aku. Apakah engkau seorang kakek-kakek ataukah seorang muda? Kepandaianmu demikian tingginya sehingga sepantasnya engkau sudah sangat tua, akan tetapi...."

   
"Aku memang sudah tua, Bengcu...."

   "Kalau begitu, biarlah kusebut engkau Paman...."

   "Terserah kepada Bengcu...."

   "Dan harap Paman tidak menyebutku bengcu (ketua), karena sekarang aku tidak mau menjadi kepala dari para perampok dan maling itu. Apalagi dengan sebutan Lu-bengcu karena aku bukan she Lu."

   "Eh....?"

   Topeng Setan berseru heran.

   "Aku bukan she Lu, aku she Wan.... ah, aku sendiri baru tahu. Namaku Wan Ceng, nama terkutuk...."
Topeng Setan kelihatan kaget dan gelisah.

   "Bengcu...., mengapa.... mengapa begitu? Apa yang terjadi?"

   "Paman, maaf, aku tidak dapat menceritakan kepadamu. Dan karena aku sudah menyebutmu paman, maka kau anggaplah aku keponakanmu sendiri dan kau menyebut namaku yang biasa dipanggil Ceng Ceng. Tentu saja kalau kau sudi...."

   "Tentu saja! Dan kuharap kau jangan memikirkan yang bukan-bukan sehingga hatimu menjadi tertindih, Ceng Ceng. Apalagi dengan luka yang kau derita sekarang, sama sekali kau tidak boleh diganggu pikiran yang menimbulkan duka."

   Ceng Ceng tersenyum.

   "Memang aku harus begembira, Paman. Paling lama hidupku tinggal sebulan lagi, perlu apa aku berduka?"

   "Tidak! Demi Tuhan, tidak, Ceng Ceng. Engkau memang menderita pukulan beracun, akan tetapi kau tidak mati...."

   "Terima kasih, Paman. Kata-katamu menghibur sekali, akan tetapi tidak perlu kau memberi harapan kosong. Yok-kwi adalah seorang ahli yang pandai dan dia mengatakan bahwa aku tidak akan dapat bertahan lebih dari satu bulan, kecuali kalau bertemu dengan manusia-manusia dewa yang pandai seperti Pendekar Super Sakti ayah dari.... Paman.... eh, dari Suma Kian Lee, atau dengan Si Dewa Bongkok atau.... Ban-tok Mo-li guruku sendiri yang telah mati...."

   "Ahhh....! Jadi engkau murid Ban-tok Mo-li?"

   Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Benar, dan hal itulah yang membuat Yok-kwi tidak dapat menolongku. Pukulan-pukulan yang kuderita dari Hek-tiauw Lo-mo adalah pukulan beracun yang amat dahsyat akan tetapi itupun masih dapat disembuhkan oleh Yok-kwi, kalau saja di dalam tubuhku tidak penuh dengan racun yang timbul karena latihan-latihan pukulan beracun yang kuterima dari mendiang Subo Ban-tok Mo-li. Karena tubuhku mengandung hawa beracun, maka pukulan Hek-tiauw Lo-mo bergabung dengan racun di tubuhku sendiri, maka aku tidak dapat tertolong lagi...."

   "Cukup, Ceng Ceng. Jangan kau khawatir karena ada orang yang akan mampu menolongmu dan menyembuhkanmu."

   "Siapa....?" "Aku sendiri!"

   "Aihh.... Paman.... engkau yang telah menolongku berkali-kali.... katakanlah sejujurnya, apakah benar engkau dapat menyembuhkan aku?"

   Ceng Ceng berteriak sambil meloncat berdiri dengan mata terbelalak dan wajahnya yang bersinar kehijauan itu membayangkan harapan besar, kedua matanya menjadi basah karena hatinya tergoncang penuh ketegangan. Topeng Setan mengangguk.

   "Duduklah, Ceng Ceng dan tenangkan hatimu. Kebetulan sekali bahwa aku pun pernah mempelajari tentang racun-racun yang terkandung dalam pukulan Hek-tiauw Lo-mo. Coba perkenankan aku memeriksa pundakmu yang terpukul oleh iblis tua itu."

   Dengan penuh gairah Ceng Ceng lalu duduk di dekat Topeng Setan, membuka bajunya dan membiarkan pundaknya yang kanan telanjang. Dia tidak melihat betapa Topeng Setan memejamkan matanya sebentar sambil menahan napas ketika melihat dia membuka baju dan melihat pundak yang berkulit putih halus itu. Kemudian orang aneh itu membuka matanya kembali dan berkata,

   "Maafkan aku harus meraba pundakmu untuk memeriksa, Ceng Ceng."

   "Aih, Paman Topeng Setan mengapa begitu sungkan? Aku sudah menganggap engkau sebagai pamanku sendiri."

   Topeng Setan lalu meraba pundak yang menjadi hijau kehitaman itu. Beberapa lamanya dia meraba-raba pundak dan punggung, menekan sana-sini dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan kaget.

   "Bagaimana Paman?"

   "Ah, Yok-kwi itu memang pintar sekali...."

   Ceng Ceng terkejut.

   "Kalau begitu.... benarkah bahwa aku.... aku akan mati dalam waktu sebulan?"

   Topeng Setan menjawab cepat.

   "Tidak! Memang demikian kalau tidak ada yang mengobati, akan tetapi aku akan menyembuhkanmu, Ceng Ceng. Demi Tuhan, aku akan menyembuhkanmu, apa pun yang akan terjadi!"

   Ceng Ceng merasa heran dan terharu menangkap nada suara yang aneh dan tergetar di dalam kata-kata Topeng Setan.

   "Dan memang benar sekali ketika mengatakan bahwa racun pukulan Hek-tiauw Lo-mo bercampur dengan racun di tubuhmu yang timbul karena latihan-la-tihanmu menurut pelajaran Ban-tok Mo-li. Akan tetapi aku mengenal pukulan Hek-tiauw Lo-mo ini dan aku dapat menyembuhkan. Hanya hawa beracun di tubuhmu yang kini telah membalik dan menyerang dirimu sendiri.... biarpun setelah akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo lenyap engkau tidak akan mati karenanya, akan tetapi hawa beracun itu akan membuatmu menderita dan kiranya hanya ada satu macam obat yang akan dapat membersihkan tubuhmu sama sekali dari cengkeraman hawa beracun itu."

   "Dan obat itu tak mungkin didapatkan....?"

   Ceng Ceng bertanya, siap menghadapi hal yang paling buruk sekalipun karena sekarang Topeng Setan sudah menyatakan sanggup melenyapkan ancaman maut dari tubuhnya.

   "Sukar sekali didapatkan, akan tetapi akan kucoba juga. Obat itu merupakan seekor anak naga yang berada di Telaga Sungari, yang muncul sepuluh tahun sekali. Itu pun kalau kebetulan telurnya menetas. Sudahlah, hal itu kita bicarakan lagi nanti kalau luka pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah sembuh. Akan tetapi kita harus mencari tempat sunyi untuk pengobatan ini agar jangan terganggu orang lain."

   Mereka lalu memasuki sebuah hutan lebat dan akhirnya mereka berdua tiba di tempat yang sunyi dan tersembunyi, di balik sekumpulan batu-batu besar yang tertutup semak-semak belukar. Topeng Setan minta agar Ceng Ceng membuka baju di punggungnya, menyuruh dia duduk bersila, kemudian dia sendiri lalu duduk bersila dan bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga dan memusatkan panca indra.

   "Kau lumpuhkan semua tenaga di dalam tubuhmu, dan apa pun yang kulakukan kepadamu, jangan kau lawan dan jangan kaget kalau nanti engkau muntah darah,"

   Terdengar suara Topeng Setan berbisik dan Ceng Ceng mengangguk, membiarkan dirinya "terbuka"

   Dan melemaskan seluruh urat menyimpan semua hawa tenaga di dalam tubuhnya. Dalam keadaan seperti itu, pukulan seorang biasa saja sudah cukup untuk membunuhnya! Tiba-tiba dia teringat akan pengalamannya ketika Kian Lee mencoba untuk mengobatinya, maka dia berkata,

   "Nanti dulu, Paman. Apakah pengobatan ini tidak berbahaya bagimu? Paman.... Suma Kian Lee pernah mencoba untuk mengobatiku dengan sin-kang dan hampir dia celaka karena racun di tubuhku menular kepadanya."

   "Jangan khawatir, aku akan mencegah hawa beracun di tubuhmu mengadakan perlawanan otomatis. Nah, aku mulai!"

   Topeng Setan lalu menotok jalan darah di daerah pundak yang terluka, di seputarnya, kemudian mengurut punggung dara itu beberapa kali. Ceng Ceng merasa betapa tubuh belakangnya menjadi panas sekali, akan tetapi dia mempertahankannya, bahkan ketika kepalanya terasa pening, dia pun tidak menggerakkan tubuh sedikitpun juga.

   Dia sudah pasrah dengan kepercayaan penuh kepada orang aneh bertopeng buruk ini. Nyawanya sudah terancam bahaya maut, apakah artinya bahaya lain lagi yang mungkin mengancamnya dalam cara pengobatan ini? Kemudian gerakan jari-jari tangan yang kuat dan mengurut-urut punggung dan pundaknya itu berhenti, lalu terasa olehnya betapa kedua telapak tangan yang lebar, kasar dan kuat itu menempel di punggung atas dan dekat pundak. Mula-mula hanya ada hawa hangat saja menjalar keluar dari kedua telapak tangan itu, hawa panas yang berputaran dan berpusat di pundaknya yang terluka. Rasa nyeri menusuk-nusuk tempat itu, akan tetapi Ceng Ceng tetap duduk tak bergerak dan hanya beberapa tetes air mata yang meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di sepanjang kedua pipinya saja yang menandakan betapa gadis itu menderita rasa nyeri yang hebat!

   Kedua tangan yang lebar itu kini gemetar dan makin lama makin hebat, akhirnya menggigil dan Ceng Ceng merasakan betapa gelombang demi gelombang hawa yang amat kuat memasuki tubuhnya dan menyerang pundaknya yang terluka. Dia kagum sekali. Pernah dia merasakan hawa sakti yang keluar dari tangan Suma Kian Lee, juga amat kuat dan panas akan tetapi halus dan tidak sedahsyat tenaga yang keluar dari tangan Topeng Setan ini. Diam-diam dia makin kagum dan terheran-heran. Siapakah sebenarnya orang yang amat lihai ini? Siapa yang bersembunyi di balik topeng buruk itu dan mengapa orang ini menyembunyikan mukanya dari dunia? Agaknya orang ini sudah mengalami pukulan batin hebat pula, pikir Ceng Ceng dengan perasaan kasihan. Tiba-tiba hawa yang amat kuat mendesaknya dari pundak ke atas dan dia merasa lehernya tercekik dari dalam, membuatnya tidak dapat bernapas lagi!

   Kalau saja Ceng Ceng tidak sudah menyerahkan seluruh keselamatan nyawanya kepada Topeng Setan, kalau saja dia tidak sudah percaya sepenuhnya lahir batin karena dia tahu bahwa nyawanya memang sudah terancam maut, tentu dia akan meronta dan melawan. Akan tetapi, dia pasrah dengan seluruh kepercayaannya sehingga cekikan yang dirasakan dalam tubuhnya, yang membuatnya sama sekali tidak dapat bernapas lagi itu, tidak membuat dia menjadi panik. Bahkan dia merasakan serta mengikuti tenaga dahsyat yang mengalir dari bawah dan mendesak itu. Akhirnya hawa yang amat kuat itu sampai di tenggorokannya dan tak dapat ditahan lagi dia lalu muntahkan darah kental menghitam yang cukup banyak! Topeng Setan melepaskan kedua tangannya dan berkata lirih,

   "Sekarang kau rebahlah, Ceng Ceng. Rebah dan tidurlah, jangan memikirkan apa-apa...."

   Seperti terkena sihir, tanpa membuka matanya Ceng Ceng lalu merebahkan diri terlentang, bajunya masih belum dipakai lagi, kini dipegang oleh kedua tangannya dan menutupi dadanya.

   Rasa lemas dan lelah luar biasa membuat Ceng Ceng seperti setengah pingsan, akan tetapi rasa nyaman meliputi dirinya, terutama sekali karena pundaknya tidak terasa sakit lagi, membuat dia menjadi mengantuk sekali dan tak lama kemudian gadis ini pun sudah tidur pulas! Ketika dia terbangun, Ceng Ceng merasakan tubuhnya nyaman dan ringan, juga perutnya menjadi lapar sekali. Dia teringat akan pengobatan tadi dan membuka matanya. Ternyata di luar bajunya yang dipakai menutupi dadanya kini terdapat sehelai jubah lebar yang menyelimutinya. Jubah Topeng Setan! Dia teringat bahwa tadi dia muntah darah, akan tetapi ternyata sudah tidak ada bekas-bekasnya di situ, sudah dibersihkan oleh Topeng Setan tentunya. Ceng Ceng bangkit duduk dan memakai kembali bajunya. Sambil membawa jubah itu, dia keluar dari balik batu-batu besar dan melihat Topeng Setan sedang memanggang sesuatu.

   "Eh, kau sudah bangun? Nah, mukamu sudah merah lagi, tanda hawa beracun itu telah lenyap. Eh, eh.... apa yang kau lakukan ini?"

   Topeng Setan cepat meloncat berdiri ketika dia melihat Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut di depannya!

   "Paman telah berkali-kali menolongku, dan sekarang pun Paman telah memperlihatkan kebaikan kepadaku, entah bagaimana aku akan dapat membalas budi kebaikan Paman."

   "Eh, kau.... kau.... jangan begitu!"

   Sekali tarik saja, Topeng Setan telah membuat Ceng Ceng terpaksa bangkit berdiri.

   "Ceng Ceng, jangan kau ulangi lagi perbuatanmu itu. Aku berusaha mengobatimu dengan hati tulus, sama sekali tidak mengandung pamrih agar engkau berhutang diri kepadaku. Aku.... aku tidak suka engkau bersikap demikian. Pula engkau memang sudah terbebas dari pukulan Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi engkau masih dicengkeram hawa beracun dalam dirimu yang menjadi racun jahat setelah bertemu dengan pukulan kakek iblis itu."

   Ceng Ceng mengembalikan jubah itu, duduk dekat api tempat Topeng Setan memanggang seekor ayam hutan, menarik napas panjang lalu berkata,

   "Aku tidak akan berbuat demikian lagi kalau engkau tidak suka, Paman Topeng Setan. Akan tetapi mengapa engkau begini baik kepadaku? Mengapa engkau selalu menolongku, sejak aku dikeroyok orang di atas rumah di kota raja dahulu itu? Mengapa?"

   "Karena.... aku adalah pembantumu, Ceng Ceng. Engkau bengcu dan aku pembantumu, bukan?"

   "Ah, harap jangan menggunakan alasan itu, karena aku tahu bahwa itu hanya merupakan alasan kosong yang dicari-cari. Kepandaianmu sepuluh kali lebih tinggi daripada kepandaianku, namun engkau merendahkan diri menjadi pembantuku! Kita semua telah berpura-pura, bersandiwara. Kau tahu bahwa aku menjadi bengcu karena hanya ingin membantu pemerintah agar gerombolan itu tidak dikuasai oleh Tek Hoat yang menjadi kaki tangan pemberontak. Dan Tek Hoat bersandiwara karena dia kalah janji dan terikat sumpah dengan aku. Akan tetapi kau.... mengapa kau selalu menolongku?"

   Topeng Setan menarik napas panjang dan membalik panggangannya.

   "Mungkin karena aku kasihan kepadamu, Ceng Ceng, juga karena kagum menyaksikan jiwa kepahlawananmu. Sudahlah, mari kita makan ayam panggang ini dan aku sudah mencari air minum."

   Dia mengangkat sebuah guci penuh air.

   "Engkau harus makan sampai kenyang, baru nanti kuberi petunjuk latihan untuk membersihkan sisa hawa pukulan itu, sungguhpun racun di dalam tubuhmu hanya dapat disembuhkan oleh obat mujijat itu."

   "Anak naga....?"

   Topeng Setan mengangguk. Mereka lalu makan daging ayam panggang yan masih mengepulkan uap itu. Gurih sedap! Makanan apa pun akan terasa gurih, sedap dan lezat apabila perut sudah lapar dan tubuh membutuhkan tenaga baru. Apalagi makanan daging ayam hutan panggang, ayamnya muda dan gemuk lagi! Tak lama kemudian habislah semua daging ayam itu, dan setelah mereka minum air jernih dari guci itu, Ceng Ceng bertanya,

   "Paman, kalau obat mujijat itu berupa seekor anak naga, mana mungkin kita menangkapnya?"

   "Sebetulnya mungkin hanya sebutannya saja anak naga! Menurut cerita dari gu-ruku, yang berada di dasar Telaga Sungari itu adalah seekor ular besar, semacam ular laut yang sudah pindah ke telaga dan menjadi ular telaga. Ular ini mungkin hanya tinggal satu-satunya di dalam dunia. Setiap sepuluh tahun sekali dia bertelur dan kalau telurnya menetas, biasanya hal itu terjadi di permulaan musim semi, dia akan membawa anaknya yang baru menetas itu keluar ke permukaan telaga untuk menangkap inti tenaga matahari. Nah, permulaan musim semi adalah bulan depan, maka kita harus berusaha untuk menangkap ular besar itu."

   "Tentu sukar dan berbahaya sekali. Dan kalau kita gagal bagaimana, Lopek (Paman Tua)?"

   Ceng Ceng berhenti sebentar dan memandang penuh selidik.

   "Kalau gagal memperoleh obat mujijat itu, akhirnya aku akan mati juga?"

   Topeng Setan menggeleng kepalanya.

   "Bahaya pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah lewat. Pukulannya itu adalah pukulan Hek-coa-tok-ciang (Pukulan Tangan Beracun Ular Hitam) yang kukenal, dilatihnya dengan menggunakan racun ular hitam. Tidak, engkau tidak akan mati karena racun itu, Ceng Ceng, hanya.... karena racun di tubuhmu sudah diselewengkan oleh akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo, maka tanpa obat itu engkau akan menjadi seorang manusia beracun yang banyak menderita. Akan tetapi, untuk itu pun masih ada jalan untuk mengurangi penderitaan dan dengan sedikit demi sedikit racun itu dapat dikurangi pengaruhnya."

   "Jalan apa, Paman?"

   "Dengan latihan inti dari gerakan ilmu silat."

   "Paman, sudah sejak kecil saya berlatih silat...."

   "Aku tahu, Ceng Ceng. Akan tetapi harus kau akui bahwa selama ini engkau mempelajari silat dengan dasar membekali diri untuk perkelahian, bukan? Itulah maka engkau sampai terjeblos mernpelajari ilmu dari Ban-tok Mo-li. Padahal, ilmu silat tercipta dari gerakan yang tadinya sama sekali mempunyai dasar lain, yaitu dasar sebagai olah raga untuk menjaga kesehatan."

   "Paman Topeng Setan, aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan, aku belum pernah mendengar tentang itu."

   "Begini riwayatnya, Ceng Ceng. Engkau perlu mengetahui riwayatnya lebih dulu sebelum melatih diri dengan ilmu itu untuk menyehatkan tubuhmu dan sedikit demi sedikit mengusir hawa beracun dari tubuhmu. Engkau tentu telah mendengar bahwa pencipta ilmu silat yang amat terkenal adalah Tat Mo Couwsu. Beliau adalah seorang pendeta yang sakti dan mulia, yang tidak hanya meng-ajarkan ilmu kebatinan Agama Buddha untuk menolong manusia dari lembah kesengsaraan dan menuntun ke jalan kebajikan, juga beliau yang menciptakan dasar-dasar gerakan yang menjadi inti dari ilmu silat, terutama ilmu silat para pendeta Buddha, yaitu Siauw-lim-pai."

   Ceng Ceng mengangguk-angguk.

   Soal Tat Mo Couwsu pernah didengarnya dari kakeknya. Menurut kakeknya, Tat Mo Couwsu adalah pencipta pertama dari ilmu silat yang menjadi sumber semua ilmu silat yang dikenal sekarang.

   "Ceritanya begini,"

   Topeng Setan melanjutkan dan mulailah dia menceritakan riwayat penciptaan dasar gerakan ilmu silat oleh pendeta kenamaan itu, didengarkan oleh Ceng Ceng dengan penuh perhatian. Tat Mo Couwsu adalah seorang pendeta Buddha yang hidup di dalam jaman Dinasti Liang (Tahun 506-556 M). Pada suatu hari ketika Tat Mo Couwsu sedang berkotbah dan mengajar ilmu tentang kehidupan kepada muridnya, dia melihat beberapa orang di antara mereka yang bertubuh lemah terkantuk-kantuk. Mengertilah pendeta sakti itu bahwa untuk memiliki jiwa yang sehat haruslah mempunyai tubuh yang sehat pula, maka dia lalu menciptakan gerakan-gerakan delapan belas jurus gerakan yang semata-mata harus dilatih oleh para pendeta lemah itu untuk memperkuat dan menyehatkan tubuh mereka.

   Dan delapan belas jurus ini kemudian menjadi dasar dari semua gerakan ilmu silat yang makin lama makin berkembang dan diolah serta ditambah oleh para ahli di kemudian hari, setiap jurus dikembangkan menjadi empat sehingga terciptalah ilmu silat yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Kemudian sekali tujuh puluh dua jurus ini dikembangkan menjadi seratus tujuh puluh jurus yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai sampai sekarang. Penciptanya adalah tiga orang sakti, yaitu pendeta Chueh Goan, Li Ceng dan Pai Yu Feng, yang merangkai tujuh puluh dua jurus yang berdasar dari pelajaran gerakan delapan belas jurus dari Tat Mo Couwsu itu menjadi seratus tujuh puluh jurus.

   "Demikianlah, ilmu silat berkembang terus sampai terpecah-pecah menjadi bermacam cabang ilmu silat yang bertebaran di seluruh negeri seperti sekarang ini, ada yang bercampur dengan ilmu-ilmu bela diri dari negara lain,"

   Topeng Setan melanjutkan.

   "Akan tetapi ada ciptaan Tat Mo Couwsu yang masih aseli, dan kini menjadi pusaka simpanan bagi para tokoh Siauw-lim-pai. Ciptaan ini merupakan latihan singkat yang dapat menyehatkan tubuh dan latihan inilah yang akan kuajarkan kepadamu agar dapat mengurangi hawa beracun di tubuhmu sebelum engkau dapat memperoleh obat mujijat itu, Ceng Ceng."

   Gadis itu menjadi girang sekali.

   "Terima kasih, Lopek. Aku akan suka melatihnya dengan giat."

   "Ini bukan latihan silat, melainkan gerakan untuk menyehatkan tubuh, maka melatihnya pun tidak boleh berlebihan, sungguhpun kalau kurang pun tidak akan ada gunanya. Cukup dilatih dua kali sehari, pagi dan sore di tempat terbuka. Nama ilmu olah raga ini adalah I Kin Keng (Ilmu Mengganti Otot), terdiri dari dua belas gerakan."

   Topeng Setan lalu mulai mengajarkan I Kin Keng kepada Ceng Ceng. Karena ilmu kuno ini mempunyai nilai yang amat tinggi bagi kesehatan, maka sengaja pengarang sajikan di sini karena mungkin bermanfaat sekali bagi siapa yang suka mempelajarinya.

   Gerakan Pertama :
Kosongkan pikiran dan satukan perhatian. Berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang sejauh satu kaki (30 senti), muka lurus ke depan. Ujung lidah menyentuh pertemuan antara gigi atas dan bawah. Bengkokkan kedua lengan ke samping pinggang sampai kedua tangan melintang lurus ke depan. Pada saat membengkokkan lengan tenaganya didorong ke bawah oleh telapak tangan, seolah-olah kedua telapak tangan menekan meja dan siap untuk meloncat. Lakukan ini perlahan-tahan sampai tiga puluh sembilan kali, mengendur dan menegang dalam waktu yang sama, kemudian turunkan tangan kembali. Tarik dan tahan napas di waktu mengerahkan tenaga, dan buang napas di waktu mengen-durkan tenaga.

   Gerakan ke dua :
Agak dekatkan kedua kaki sampai setengah kaki. Kepal jari-jari tangan dengan ibu jari lurus mengacung. Gerakkan kedua kepalan tangan di depan bawah pusar, kedua ibu jari bersambung. Lalu tarik ibu jari (menegangkan) sejauh mungkin ke atas. Tahan menegang sejenak, lalu kendurkan dan turunkan ibu jari. Lakukan ini berulang 49 kali.

   Gerakan ke tiga :
Pentangkan kaki terpisah satu kaki seperti pertama. Kedua kaki menahan kekuatan di bawah, tak pernah mengendur. Kepal tangan dengan ibu jari di dalam kepalan dan kendurkan kedua pundak. Lalu keraskan kepalan. Lakukan ini berulang kali mengeras dan mengendur sampai 49 kali.

   Gerakan ke empat :
Rapatkan kedua kaki. Kepal kedua tinju dengan ibu jari di dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sampai lurus dengan pundak. Kerahkan tenaga ke depan di waktu menarik dan menahan napas. Lalu keluarkan napas dan turunkan lengan. Ulangi sampai 39 kali.

   Gerakan ke lima :
Kedua kaki merapat. Angkat kedua lengan dari samping terus ke atas dengan telapak terlentang sampai jari-jari saling bertemu di atas kepala, sambil mengangkat tumit kaki berdiri di atas jari kaki. Lalu kepal kedua tangan dengan kuat, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi sampai 49 kali.

   Gerakan ke enam :
Pisahkan kedua kaki seperti pertama. Buatlah kepalan biasa, ibu jarinya di luar. Angkat kedua lengan ke samping, terlentang sampai rata dengan pundak. Kemudian bongkokkan lengan menjadi segi tiga, permukaan tangan menghadap pundak. Lalu keraskan kepalan tangan. Ulangi sampai 49 kali.

   Gerakan ke tujuh :
Rapatkan kedua kaki. Membuat kepalan biasa, angkat kedua lengan sampai sejajar pundak ke depan. Menggunakan tangan, tarik kedua lengan ke samping sampai sejajar pundak, kepalan menelungkup. Lalu angkat jari kaki dan berganti-ganti berdiri di atas sebelah tumit kaki. Ketika menurunkan jari kaki kembali keluarkan napas dan buka kepalan. Ulangi sampai 49 kali.

   Gerakan ke delapan :
Kedua kaki masih merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat kedua lengan, berdiri di atas jari kaki angkat tumit. Lalu kepalkan tinju dengan keras. Kemudian kendurkan kepalan dan turunkan tumit, ulangi sampai 49 kali.

   Gerakan ke sembilan :
Kedua kaki masih merapat dan ibu jari tangan di dalam kepalan. Angkat kedua lengan ke depan akan tetapi bengkokkan lengan setelah kepalan berada sejajar dengan perut. Lalu naikkan kepalan, menghadap ke muka sampai lengan menjadi bentuk segi tiga. Kemudian putar kedua kepalan ke dalam sampai menghadap ke depan dagu. Ulangi 49 kali.

   Gerakan ke sepuluh :
Kaki tetap merapat dan ibu jari dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sejajar pundak. Lalu tarik kedua kepalan melintang ke kanan kiri pundak dengan muka kepalan menghadap ke depan, seolah-olah sedang mengangkat benda seberat setengah ton dengan siku menegang dan kepalan mengeras. Ulangi 49 kali.

   Gerakan ke sebelas :
Kedua kaki merapat akan tetapi jari membuat kepalan tangan biasa, ibu jari di luar. Kepalan mengendur dan diangkat ke depan pusar, siku membengkok. Lalu keraskan kepalan dengan ibu jari ditegangkan. Kemudian kendurkan ibu jari dan kepalan. Ulangi 9 kali.

   Gerakan ke dua belas :
Kedua kaki merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat lengan ke depan sejajar pundak dengan telapak terlentang, angkat pula tumit. Jangan mengerahkan tenaga. Tahan posisi ini se-jenak, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi 12 kali.

   Demikianlah latihan olah raga I Kin Keng yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu dan yang diajarkan oleh Topeng Setan kepada Ceng Ceng.

   "Kau latih gerakan semua itu, ulangi dari pertama sampai ke dua belas sebanyak tiga kali, dan lakukan setiap pagi dan sore. Jangan lupa, setiap pengerahan tenaga dilakukan setelah napas ditarik dan ditahan, kemudian setiap pengenduran tenaga dilakukan ketika napas dikeluarkan."

   "Baiklah, Paman. Setelah semua ilmu silat yang pernah kulatih selama ini, latihan I Kin Keng itu tidak berapa berat bagiku."

   Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Telaga Sungari. Makin lama kedua orang ini makin akrab dan Ceng Ceng melatih I Kin Keng setiap hari, sedangkan Topeng Setan setiap kali masih membantunya dengan pengerahan sin-kang yang disalurkan dengan telapak tangan menempel di punggung gadis itu. Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng melatih I Kin Keng, gadis itu melihat Topeng Setan duduk seorang diri dengan mencoret-coret tanah, menggunakan sebatang ranting kecil sambil memandang ke depan. Ceng Ceng tidak menegurnya karena dia sibuk sendiri dengan latihan gerak badan itu. Setelah selesai dan menghapus keringatnya yang bercucuran, barulah dia menghampiri Topeng Setan.

   

Pendekar Super Sakti Eps 31 Sepasang Pedang Iblis Eps 11 Sepasang Pedang Iblis Eps 45

Cari Blog Ini