Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 45


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 45



"Wah, lukisanmu itu indah sekali! Kiranya engkau ahli pula melukis, Paman!"

   Ceng Ceng berseru kagum melihat lukisan seekor kijang di atas tanah itu. Coretannya kuat dan bagus.

   "Kalau sedang iseng aku suka melukis, Ceng Ceng."

   "Kalau begitu, engkau bisa membantu aku melukis orang, Lopek!"

   Topeng Setan memandang heran.

   "Melukis orang? Siapa yang kau maksudkan?"

   Ceng Ceng duduk di atas tanah.

   "Siapa lagi kalau bukan dia! Sampai sekarang aku belum berhasil mencarinya, karena orang lain tidak ada yang tahu bagaimana macamnya. Kalau aku mempunyai gambarnya, tentu akan lebih mudah mencarinya dengan bertanya-tanya kepada orang di sepanjang perjalanan. Lopek (Paman Tua), maukah engkau menolongku lagi? Kulihat Paman pandai sekali melukis, maka tentu Paman akan dapat melukis wajahnya!"

   "Wajah siapa yang kau maksudkan?"

   Topeng Setan bertanya dan sepasang mata yang besar sebelah di balik topeng itu mengeluarkan sinar tajam penuh selidik. Muka Ceng Ceng berubah merah sekali, akan tetapi dengan menekan perasaannya, dia mengangkat muka memandang dan menjawab,

   "Siapa lagi kalau bukan musuh besarku. Paman, aku mempunyai seorang musuh besar yang harus dapat kutemukan sebelum aku mati. Selama ini, aku mencari-cari tanpa hasil, maka melihat betapa engkau pandai melukis, aku mempunyal akal, Paman. Dengan membawa gambarnya, kiranya akan lebih mudah bagiku untuk mencari dia dan membunuhnya!"

   Ceng Ceng mengeluarkan kalimat terakhir itu dengan suara penuh kegeraman karena hatinya terasa sakit sekali, sampai dia lupa bahwa andaikata dia sudah berhadapan dengan musuh besarnya itu yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, belum tentu dia akan dapat menandingi-nya!

   "Ceng Ceng, semuda engkau ini sudah menyimpan sakit hati dan dendam yang besar. Siapakah musuh besarmu itu?"

   Topeng Setan bertanya, suaranya penuh getaran karena merasa kasihan.

   "Engkau adalah satu-satunya sahabatku, penolongku dan kuanggap sebagai ayah atau paman sendiri, maka aku memberi tahu kepadamu, Paman. Si keparat laknat musuh besarku itu bernama Kok Cu."

   "Hemm...., Kok Cu? Dan siapa she (nama keluarga) orang itu?"

   "Aku tidak tahu, Paman. Aku hanya mendengar dari kakek Louw Ki Sun, pelayan dari Istana Gurun Pasir bahwa orang itu bernama Kok Cu tanpa diketahui she-nya, dan bahwa musuhku itu adalah murid dari Dewa Bongkok majikan Istana Gurun Pasir. Sudah kuselidiki di mana-mana, bahkan dibantu anak buah kita, akan tetapi tidak ada yang pernah mengenal nama itu di dunia kang-ouw. Maka, kalau aku mempunyai gambar mukanya, tentu akan lebih mudah mencari dia. Harap Paman suka membuatkan gambarnya."

   Hening sejenak. Topeng Setan menunduk dan termenung, kemudian dia berkata,

   "Mana mungkin aku dapat menggambar muka orang yang tidak pernah kulihat sendiri?"

   "Tentu bisa, Paman"

   Ceng Ceng berkata penuh semangat.

   "Mari kita mencari kertas dan alat tulisnya, nanti aku yang menceritakan bagaimana bentuk wajahnya kepada Paman."

   Gadis itu mengajak Topeng Setan untuk membeli sehelai kertas putih yang baik dan pensil serta tinta, kemudian di tempat sunyi dia mulai memberi petunjuk kepada Topeng Setan tentang wajah orang yang dimaksudkan itu. Mereka memasuki sebuah kuil kuno yang kosong dan setelah menyapu lantainya dengan daun, Ceng Ceng mengajak Topeng Setan membuat gambar musuh besarnya itu. Mula-mula dia minta kepada Topeng Setan untuk menggunakan pensil dan tinta membuat bentuk muka orang di atas lantai.

   "Paman, buatlah bentuk wajah yang bulat dari seorang laki-laki muda...."

   Katanya penuh gairah karena hatinya tegang bahwa dia kini memperoleh jalan untuk dapat mencari musuhhya itu lebih mudah.

   "Hemm, wajah bulat laki-laki muda? Berapa usianya?"

   Topeng Setan bertanya, bersila dan memegang pensil bulu.

   "Entahlah.... hemm, kira-kira dua puluh empat atau dua puluh lima begitulah,"

   Ceng Ceng menjawab. Topeng Setan mencelupkan pensil bulu ke dalam bak tinta, lalu membuat coretan, melukis bentuk wajah bulat.

   "Begini?"

   "Ah, tidak gemuk begitu, bentuk wa-jahnya bulat.... atau hampir segi empat, dengan dagu agak keras berlekuk tengahnya...."

   Topeng Setan memperbaiki coretannya di atas lantai.

   "Nah.... nah, begitu lebih mirip.... sekarang rambutnya. Rambutnya hitam tebal dan panjang, atasnya agak tebal disisir ke belakang, kucirnya panjang membelit leher dan pundak.... ah, tidak menutup telinga, Paman. Telinganya masih nampak.... yaaa, begitu lebih mirip, rambut di pelipis kanan ini agak tebal, ya begitu...."

   Topeng Setan membuat coret-coret di atas lantai.

   "Sekarang matanya, buatlah sepasang mata yang agak lebar, alisnya tebal panjang seperti golok, ah, bukan begitu.... matanya tidak sayu mengantuk begitu, matanya hidup dan tajam, hidungnya sedang saja dan bibirnya membayangkan kekerasan hati.... aihhh.... mengapa berbeda....?"

   Ceng Ceng memandang coretan di atas lantai itu dengan mata disipitkan, kadang-kadang dipicingkan sebelah dan mulutnya menggerutu,

   "Hemmm.... mata dan mulutnya sudah mirip, akan tetapi mengapa lain? Seingatku tidak begitu dia.... ahh, tentu saja! Matanya yang berbeda, Paman!"

   "Matanya berbeda bagaimana? Kau bilang tadi sudah mirip."

   "Maksudku sinar matanya! Di samping tajam, sinar matanya mengandung sorot yang ganas, seperti binatang buas...."

   "Eh....? Seperti binatang buas?"

   "Ya, seperti.... ah, cobalah Paman buatkan mata seperti mata seekor harimau buas yang hendak menerkam seekor domba!"

   "Aih, aneh betul mata orang itu."

   "Memang aneh, Paman. Dia seperti.... eh, dia memang seorang yang gila pada saat itu. Mulutnya menyeringai, matanya kemerahan dan bersinar penuh api, nah, begitu, Paman.... ya, ya.... tulang pipi dan dagunya lebih menonjol, dia kelihatan gagah dan tampan.... eh, dan jahat seperti seekor harimau jantan yang buas. Nah, mirip sekali. Sekarang harap Paman lukis di atas kertas ini!"

   Ceng Ceng merasa gembira sekali karena coret-coret itu memang mirip dengan Kok Cu, pemuda laknat musuh besarnya! Topeng Setan tidak mengeluarkan kata-kata lagi dan kini dia sibuk menyalin coretan di atas lantai itu ke atas kertas. Jari-jari tangannya bergerak lemas dan cepat, dan tak lama kemudian selesailah lukisan seorang pemuda tampan dan gagah setengah badan yang tak salah lagi memang mirip sekali dengan musuh besar Ceng Ceng itu.

   "Beginikah dia....?"

   Akhirnya Topeng Setan bertanya lirih sambil menyerahkan lukisan itu kepada Ceng Ceng. Akan tetapi dia terbelalak heran melihat gadis itu berdiri memandang lukisan dengan mata merah dan berlinang air mata. Tiba-tiba Ceng Ceng melompat, merampas lukisan itu dengan kasar dari tangan Topeng Setan.

   "Plak-plak! Brettt.... reeeetttt....! Mampus engkau, jahanam....!"

   Seperti orang gila, Ceng Ceng menampari kemudian merobek-robek lukisan itu sampai hancur berkeping-keping. Kemudian Ceng Ceng melempar kepingan-kepingan kertas itu ke atas lantai dan menginjak-injaknya dengan kedua kakinya penuh kemarahan. Topeng Setan terbelalak memandang ulah dara itu dan dia memejamkan mata ketika melihat Ceng Ceng akhirnya menjatuhkan diri duduk di atas lantai, di atas robekan kertas itu sambil menangis. Dengan hati-hati Topeng Setan mendekati, duduk pula di atas lantai kemudian setelah melihat tangis Ceng Ceng mereda, dia bertanya lirih,

   "Ceng Ceng, benci benarkah engkau kepadanya?"

   Ceng Ceng mengangkat muka memandang, matanya merah dan air mata masih bertitik turun.

   "Benci? Tidak ada orang di dunia ini yang lebih kubenci seperti dia! Aku membenci lahir batin dan aku tidak akan dapat mati meram apabila belum dapat membunuh jahanam biadab itu!"

   Hening sejenak, yang terdengar hanya isak tertahan dari Ceng Ceng. Kemudian terdengar Topeng Setan berkata,

   "Betapa hebat bencimu kepadanya, Ceng Ceng. Tentu dia telah melakukan dosa besar sekali kepada seorang gadis semulia engkau sampai engkau menjadi begini membencinya."

   Orang tua bermuka seperti setan itu menghela napas panjang.

   "Apakah yang telah diperbuatnya terhadapmu?"

   Ceng Ceng menghapus air matanya. Lalu dia menggeleng kepala.

   "Hal itu tidak mungkin dapat kuceritakan kepada Siapapun juga, Paman. Pendeknya, sakit hatiku terhadap dia hanya dapat dibayar dengan nyawa, itu pun masih kurang! Akan tetapi, dia lihai sekali, Paman, dan karena Paman merupakan satu-satunya orang yang dapat membantu aku, maka aku berjanji bahwa kalau aku dapat menemukan dia, aku akan menceritakan sakit hatiku itu kepada Paman."

   "Ke mana engkau hendak mencarinya?"

   "Ke mana saja, ke ujung dunia sekalipun. Memang sisa hidupku hanya untuk mencari dia dan membalas dendam itu, Paman. Aku akan mencari dia dan.... ahhh, apa yang telah kulakukan? Gambar itu.... ah, gambar itu kurusak...."

   Ceng Ceng agaknya seperti baru teringat bahwa gambar yang dapat menolong dia mencari musuh besarnya itu tanpa disadarinya telah dirobek-robeknya ketika dia teringat akan sakit hatinya tadi.

   "Jangan khawatir, aku dapat membuatkan lagi untukmu, Ceng Ceng."

   Topeng Setan lalu mencoret-coret lagi dengan alat tulisnya di atas sehelai kertas dan setelah selesai ternyata lukisan ini malah lebih baik daripada tadi.

   Ceng Ceng menjadi girang sekali, menggulung kertas lukisan wajah musuh besarnya itu, kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Telaga Sungari. Pada suatu pagi mereka memasuki sebuah rumah makan di dalam dusun yang masih sunyi. Mereka membeli beberapa butir bakpao dan makan bakpao sambil minum air teh panas. Seperti biasa, Ceng Ceng menggunakan setiap kesempatan bertemu dusun untuk menyelidiki perihal musuh besarnya. Maka, setelah makan dua butir bakpao besar dan minum air teh, dia mempersilakan Topeng Setan melanjutkan sarapannya, sedangkan dia sendiri lalu membawa gulungan kertas menghampiri dua orang yang mengukus bakpao di dekat pintu.

   "Bung, saya ingin bertanya kepadamu,"

   Katanya kepada seorang di antara dua tukang bakpao itu yang cepat menoleh dan memandang heran serta kagum karena Ceng Ceng memang selalu mengagumkan pandang mata pria di mana pun dia berada.

   "Tentu saja, Nona...."

   Tukang bakpao yang berusia tiga puluhan tahun itu menjawab sambil tersenyum bangga bahwa ada seorang dara secantik itu mau menyapanya. Ceng Ceng seperti biasa membuka gulungan kertas itu, memperlihatkan lukisan wajah musuh besarnya sambil berkata,

   "Harap kau lihat baik-baik, barang-kali engkau mengenal orang ini dan tahu di mana dia berada?"

   Tukang bakpao itu menggerak-gerakkan bibirnya sehingga kumis tebal di atas bibir itu ikut bergerak-gerak, keningnya berkerut seolah-olah dia sedang mengasah otaknya menghadapi teka-teki yang ruwet.

   "Rasanya pernah kulihat akan tetapi mungkin juga belum pernah.... ehh, nanti kuingat-ingat dulu, Nona.... hemm...."

   "Heiiii....! Subo (Ibu Guru)....!"

   Tiba-tiba terdengar suara melengking merdu memanggil.

   "Kiranya Subo berada di sini....?" Ceng Ceng cepat memutar tubuhnya dan melihat seorang dara remaja berdiri di belakangnya, seorang dara tanggung yang cantik sekali, bertolak pinggang dan sikapnya sembarangan, bahkan seperti ugal-ugalan.

   Tentu saja dia mengenal anak perempuan yang menyebutnya subo itu. Kiranya dara remaja itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo! Ceng Ceng cepat memandang ke kanan kiri, gentar juga hatinya karena khawatir kalau-kalau ayah anak ini berada di situ. Pernah dia melawan Hek-tiauw Lo-mo dan ternyata olehnya bahwa kakek iblis itu lihai bukan main sehingga dengan mudah dia tertawan. Untung ada Hwee Li yang telah membebaskannya setelah dia berhasil menarik hati anak perempu-an itu untuk mengajarnya tentang ilmu mengenai racun. Akan tetapi segera pandang matanya bertemu dengan Topeng Setan yang masih makan
(Lanjut ke Jilid 44)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 44
bakpao di sudut ruangan, maka hatinya menjadi lega kembali. Dengan adanya orang tua ini dia tidak takut lagi kepada Hek-tiauw Lo-mo.

   "Eh, engkau Hwee Li! Engkau mencari siapa dan dengan siapa engkau di sini?"

   Ceng Ceng menegur setelah dara remaja itu menghampirinya.

   "Subo, aku mencari ayahku. Apakah Subo tidak melihatnya? Ayahku sedang mengejar musuhnya dan aku ditinggal begitu saja, maka aku menyusulnya dan mencarinya sampai di sini. Apakah Subo melihat ayahku?"

   "Tidak, Hwee Li. Aku tidak melihat ayahmu."

   "Subo sendiri mencari siapakah? Gambar siapa yang Subo pegang itu?"

   Hwee Li yang lincah itu tanpa sungkan-sungkan melihat gambar yang dipegang oleh Ceng Ceng.

   "Wah, gagah sekali pemuda ini, Subo. Apakah dia pacarmu?"

   Biarpun dara cilik itu tidak mempunyai watak cabul seperti bibi gurunya yang disukanya, yaitu Mauw Siauw Mo-li, namun dekat dengan wanita genit itu dia pun sudah biasa bersikap genit dan tanpa sungkan-sungkan lagi. Wajah Ceng-Ceng menjadi merah sekali.

   "Ihhh.... lancang mulutmu. Hayo katakan, apakah barangkali engkau tahu orang ini di mana."

   Hwee Li memandang gambar itu penuh perhatian lalu menggeleng kepala.

   "Sayang aku tidak tahu, kalau aku tahu tentu kuajak dia berteman. Dia kelihatan gagah dan tentu merupakan kawan yang menyenangkan."

   Mendengar ucapan yang dianggapnya tidak sopan itu Ceng Ceng menggulung gambar itu dengan kasar lalu berkata,

   "Sudahlah, kau mencari ayahmu akan tetapi bermain-main di sini, mana bisa bertemu dengan dia? Lekas pergi mencarinya di tempat lain!"

   Hwee Li mengangguk.

   "Subo, ingat, kalau aku sudah bertemu Ayah, kelak aku akan mencarimu untuk mulai belajar ilmu itu."

   Ceng Ceng mengangguk tak sabar.

   "Baik, baik, nah, kau pergilah!"

   Hwee Li tersenyum-senyum lalu pergi meninggalkan warung itu.

   "Eh, Nona.... agaknya Nona kehilangan pacar? Daripada mencari orang yang tidak ada, aku.... eh, aku pun masih membujang."

   Ceng Ceng memandang tukang bakpao berkumis itu dengan mata bersinar.

   "Apa.... apa maksudmu....?"

   Tukang bakpao itu mengurut kumisnya.

   "Nona seorang dara cantik, tidak baik melakukan perjalanan di tempat berbahaya ini hanya untuk mencari pacar yang hilang. Tinggallah bersamaku di sini dan aku akan membikin Nona hidup senang dan.... aughhh!"

   Tukang bakpao itu tak dapat melanjutkan teriakannya karena sebagian mukanya dari dagu sampai ke hidung telah terbenam ke dalam uap panas dari tempat bakpao dikukus! Setelah menampar dan mendorong orang itu sampai mukanya masuk ke dalam tempat masak bakpao yang panas, Ceng Ceng mendengus dan membalikkan tubuhnya menghampiri Topeng Setan yang sudah bangkit berdiri dan cepat membayar makanan lalu mereka berdua pergi dari tempat itu yang sudah menjadi ribut karena tukang bakpao itu merintih-rintih dengan muka bagian bawah terbakar dan melepuh! Topeng Setan dan Ceng Ceng berjalan tanpa bicara, dan setelah mereka keluar dari dusun itu barulah Topeng Setan bertanya,

   "Ceng Ceng, siapakah anak perempuan yang muncul di warung bakpao tadi?"

   "Ohh, dia? Dia adalah Kim Hwee Li, dia puteri dari Hek-tiauw Lo-mo...."

   "Hei....?"

   Topeng Setan terkejut bukan main.

   "Hek-tiauw Lo-mo yang telah memukulmu secara keji?"

   Tentu saja orang tua bermuka seperti setan ini kaget bukan main dan juga terheran-heran.

   "Hek-tiauw Lo-mo memusuhimu, akan tetapi puterinya menyebutmu subo (Ibu guru). Apa artinya semua ini?"

   Ceng Ceng tersenyum dan menghela napas.

   "Memang di dunia ini banyak sekali terdapat hal-hal yang amat aneh, Paman Topeng Setan. Memang benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek iblis yang jahat dan kejam, selain memusuhiku apabila kami saling bertemu, apalagi akhir-akhir ini ketika dia memukulku dia adalah kaki tangan pemberontak sedangkan aku menentang pemberontakan. Dulu, pernah aku bertanding dengan dia dan aku kalah, menjadi tawanannya. Akan tetapi puterinya, Kim Hwee Li itu, menolongku dan membebaskan aku dengan janji bahwa aku akan suka menjadi subonya. Karena ingin bebas, tentu saja aku mau dan begitulah, dia membebaskan aku...."

   "Akan tetapi, ayahnya sendiri demikian lihai, mengapa dia mengangkat engkau menjadi guru?"

   "Ayahnya lihai dalam ilmu silat memang, akan tetapi dalam hal ilmu tentang racun, aku sebagai murid Ban-tok Mo-li lebih unggul. Dia ingin belajar ilmu tentang racun dariku."

   Topeng Setan menghela napas.

   "Memang tidak keliru bahwa sebagai murid Ban-tok Mo-li, engkau adalah seorang ahli yang hebat tentang racun, Ceng Ceng. Akan tetapi, buktinya engkau malah celaka karena tubuhmu mengandung racun, sehingga pukulan Hek-coa-tok-ciang dari Hek-tiauw Lo-mo membuat nyawamu terancam. Ilmu tentang racun memang hanya suatu ilmu yang tentu saja penting untuk dipelajari. Akan tetapi dalam cara mempergunakannyalah yang penting. Kalau dipelajari untuk digunakan sebagai ilmu pengobatan, baik sekali, sebaliknya kalau untuk mencelakakan lawan, menjadilah ilmu hitam yang hanya dimiliki golongan sesat. Sungguh menyesal sekali bahwa seorang seperti engkau sampai mengalami hal yang membuatmu begini sengsara....!"

   Tiba-tiba Topeng Setan menghentikan kata-katanya dan berjalan sambil menundukkan mukanya. Ceng Ceng menoleh dan memandang dengan terheran-heran. Dia menangkap getaran suara aneh penuh keharuan dalam kata-kata Topeng Setan tadi dan kini makin heranlah dia ketika melihat sepasang mata yang besar sebelah itu setengah dipejamkan dan tampak ada air membasahi bulu-bulu mata itu. Topeng Setan menangis!

   "Paman Topeng Setan, berhenti sebentar, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu."

   Topeng Setan berhenti dan mereka berdiri berhadapan.

   "Kau mau bertanya apa?"

   Topeng Setan bertanya sambil menundukkan muka.

   "Paman, engkau agaknya selalu menaruh iba kepadaku dan selalu membela dan melindungiku, akan tetapi kulihat hidupmu sendiri merana, bahkan demikian tersiksa batinmu sampai-sampai engkau selalu menyembunyikan diri di belakang topeng setan ini. Kenapa begitu? Engkau menaruh kasihan kepadaku akan tetapi melupakan kesengsaraanmu sendiri. Apa yang menyebabkannya? Kalau hal ini belum kau jelaskan, hatiku selalu akan diganggu oleh keraguan dan keheranan, Paman."

   Topeng Setan menghela napas, kemudian dengan suara terpaksa dia menjawab juga,

   "Engkau.... mengingatkan kepadaku akan seorang wanita...."

   "Ya....? Lanjutkanlah, Paman. Siapakah wanita itu dan di mana dia sekarang?"

   "Dia.... dia telah mati...."

   "Ouhhh....? Maafkan, Paman...."

   "Dia mati.... karena aku yang membunuhnya...."

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aihhh....!"

   Ceng Ceng terbelalak dan melihat Topeng Setan kini berdiri membelakanginya dengan kedua pundak yang lebar itu berguncang, tahulah dia bahwa orang tua itu menahan tangisnya dan amat menyesali perbuatannya. Dengan hati terharu dia menghampiri dan memegang tangan orang tua itu.

   "Paman, sukar dipercaya bahwa engkau telah membunuhnya.... padahal.... agaknya engkau mencinta wanita itu, bukan?"

   Topeng Setan menahan napas menenangkan batinnya, dia mengangguk.

   "Aku telah gila.... aku melakukan dosa besar dan karena itu.... tiada jalan lain bagiku kecuali menebus dosaku itu dengan jalan menjaga dan melindungimu, Ceng Ceng...."

   "Aihh, Paman Topeng Setan. Orang seperti engkau ini tidak mungkin melakukan perbuatan jahat. Kalau bibi itu, wanita itu.... sampai mati olehmu, tentu dia yang bersalah.... dan jahatlah dia kalau bibi itu tidak dapat membalas cinta kasih seorang mulia seperti Paman...."

   "Cukup....! Dia baik dan suci seperti dewi.... akulah yang jahat...."

   Melihat keadaan Topeng Setan amat menderita tekanan batin, Ceng Ceng lalu menghibur dan mengalihkan percakapan.

   "Sudahlah, Paman. Tidak perlu kita membicarakan soal-soal yang lalu. Yang jelas, Paman adalah seorang yang paling mulia bagiku...."

   "Tapi engkau hidup merana, Ceng Ceng. Engkau diracuni oleh dendam yang tak kunjung habis...."

   "Ah, urusan kecil! Sekarang, yang penting seperti kata Paman dulu, aku harus berobat sampai sembuh, kemudian aku akan tekun belajar ilmu dari Paman, kemudian setelah kepandaianku menjadi tinggi, apa sukarnya untuk mencari keparat itu? Sekarang, jangan dia mengganggu perjalanan kita ke Telaga Sungari. Nah, biar belum dapat membunuh orangnya, biar kubunuh dulu gambarnya!"

   Ceng Ceng lalu merobek-robek gulungan gambar dari Kok Cu, musuh besarnya itu.

   "Mari kita melanjutkan perjalanan ke Sungari mencari obat anak naga itu, Paman."

   Berangkatlah kedua orang itu dengan cepat karena kini tidak lagi mereka berhenti untuk menyelidiki musuh besar Ceng Ceng.

   "Auhhh....!"

   Kian Bu merapatkan matanya kembali ketika merasa betapa kepalanya pening berdenyut-denyut, tubuhnya sakit-sakit semua dan dia teringat betapa dia ditelan ombak air sungai, digulung dan dihanyutkan tanpa dapat berdaya sama sekali. Perasaan ngeri membuat dia memejamkan kembali matanya. Akan tetapi dia tidak merasa lagi tubuhnya dipermainkan gelombang air, bahkan dia merasa rebah di suatu tempat yang keras, kepalanya berbantal sesuatu yang lunak dan hangat, kemudian mukanya ada yang menyentuh, bukan air yang keras dan ganas melainkan sentuhan-sentuhan hangat dari jari-jari tangan yang dengan lunak memijat-mijat pelipisnya.

   "Bagaimana....? Pening sekalikah kepalamu....? Akan tetapi tidak mengapa, air sudah keluar semua dari perutmu dan memang akibatnya agak pening di kepala, atau mungkin kepalamu terbanting kepada batu ketika hanyut...."

   Kian Bu mendengarkan suara itu seperti dalam mimpi.

   Suara seorang wanita, merdu dan halus, dengan nada naik turun seperti orang bersenandung, atau seperti orang membaca sajak yang indah. Wanita? Dia teringat dengan kaget dan membuka matanya, apalagi ketika perasaannya makin sadar membuat dia dapat menduga bahwa kepalanya rebah di atas dua buah paha yang lunak dan hangat, di atas pangkuan seorang wanita! Begitu matanya terbuka, dia memejamkannya kembali karena silau! Bukan silau oleh sinar matahari pagi saja yang cerah, melainkan juga oleh wajah yang amat cantik, oleh sepasang mata panjang lentik, oleh sebatang hidung kecil mancung dan sepasang bibir yang merekah manis, perpaduan antara merahnya daging berkulit tipis dan putihnya gigi seperti mutiara! Kian Bu tersentak kaget ketika dia teringat dan mengenal wajah wanita itu. Cepat dia bangkit duduk dan menegur, mukanya merah sekali,

   "Aihhh.... Enci Hong Kui....?"

   Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li tersenyum,

   "Mengapa engkau terkejut, Kian Bu yang baik? Tadi engkau gelisah sekali dalam tidurmu, mengeluh dan agaknya engkau mimpi terbawa air sungai, maka aku.... eh, memangku kepalamu dan memijit-mijit. Bagaimana sekarang, apakah masih pening....?"

   Sikap wanita itu biasa saja dan diam-diam Kian Bu merasa terharu. Apakah wanita cantik ini benar-benar demikian mencintanya seperti seorang kakak perempuan mencinta adiknya? Akan tetapi.... sikapnya benar-benar terlalu mesra dan darahnya masih berdesir ketika teringat betapa tadi rebah dengan kepala di atas pangkuan wanita cantik itu.

   
"Ti.... tidak, Enci. Terima kasih. Ah, kiranya sudah pagi, biar aku pergi...."

   Dia teringat akan janjinya untuk membantu wanita itu mencari obat di Telaga Sungari, maka cepat disambungnya,

   "Marilah kita pergi mencari mereka...."

   Lauw Hong Kui tersenyum mengangguk tanpa menjawab dan mereka lalu bangkit berdiri. Tanpa banyak cakap mereka lalu menyusuri sungai itu mencari-cari, akan tetapi sampai setengah hari lamanya, mereka tidak berhasil menemukan jejak dari Siang In dan yang lain-lain, seolah-olah rakit mereka itu telah ditelan air sungai yang ganas semalam. Melihat wajah Kian Bu yang berduka dan khawatir, Hong Kui segera memegang lengannya dan berkata,

   "Jangan kau khawatir, Kian Bu. Aku yakin bahwa mereka itu tidak mengalami malapetaka dan masih dapat menyelamatkan diri mereka."

   Mendengar ucapan yang nadanya bersungguh-sungguh itu Kian Bu memandangnya dengan penuh harapan dan bertanya,

   "Bagaimana engkau bisa menduga demikian, Enci?" "Mudah saja. Malapetaka yang dapat menimpa mereka hanya dua macam, bukan? Yang pertama adalah bahwa mereka terjatuh ke air dan dibawa hanyut seperti keadaanmu.

   Yang ke dua adalah bahwa mereka terjatuh ke tangan musuh atau terbunuh oleh mereka. Aku melihat bahwa kedua malapetaka itu tidak menimpa diri mereka. Karena, andaikata mereka hanyut, tentu ada di antara mereka yang terdampar ke pinggir seperti yang kau alami atau ada yang tersangkut di daerah yang berbatu-batu tadi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa mereka itu hanyut. Dan juga andaikata mereka itu tertawan atau terbunuh musuh, tentu orang-orangnya Tambolon semalam tidak mencari-cari dan menyerang kita. Jadi aku yakin bahwa mereka itu tentu telah berhasil menyelamatkan diri dan telah pergi dari tempat ini."

   Kian Bu menjadi girang sekali karena kini dia pun percaya bahwa agaknya memang demikianlah. Dia merasa kasihan sekali kepada Siang In, apalagi melihat gadis itu telah kehilangan encinya.

   "Ah, engkau hebat dan cerdik sekali, Enci Hong Kui. Aku percaya keteranganmu itu."

   Hong Kui melempar senyum, mengerling, mencubit lengan Kian Bu dan berkata dengan bibir merah mencibir, manis sekali,

   "Ihhhh, engkau bisa saja memuji orang! Engkau yang tak kusangka ternyata amat sakti, mengalahkan dua orang pembantu Tambolon secara demikian mudah, masih memuji-muji aku yang lemah dan bodoh. Huiii.... sungguh menggemaskan!"

   Kembali dia mencubit, kini yang dicubit-nya adalah paha Kian Bu dan agak keras sehingga pemuda itu berteriak kesakitan sambil tertawa-tawa. Mereka tertawa-tawa dan Hong Kui menggandeng tangan Kian Bu dengan sikap mesra dan manja.

   "Kian Bu, aku merasa berbahagia sekali....!"

   Kian Bu memandang tajam, kecurigaannya timbul kembali. Wanita ini dijuluki orang Mauw Siauw Mo-li, biarpun cantik jelita dan menggairahkan, namun cantiknya cantik siluman, bisa berbahaya.

   Jangan-jangan wanita ini hendak menjebaknya dengan menggunakan kecantikannya. Dia harus waspada! Pernah ayahnya secara samar-samar memperingatkan dia bahwa di antara hal-hal yang amat berbahaya, lebih berbahaya daripada musuh yang sakti, selain kesombongan diri, nafsu-nafsu pribadi, juga kecantikan seorang wanita. Kecantikan seorang wanita mampu merobohkan pertahanan seorang pendekar yang bagaimana sakti pun! Dan Mauw Siauw Mo-li ini memang cantik bukan main. Cantik jelita dan manis, memiliki keindahan dalam segala gerak-geriknya, gerak matanya, alisnya, bibirnya, dan gerak tubuh dari leher, pinggang, pinggul sampai langkahnya! Bukan main! Dia harus berhati-hati sekali. Siapa tahu di balik semua keindahan ini tersembunyi perangkap yang akan mencelakakannya.

   "Kenapa engkau berbahagia, Enci?"

   Pancingnya. Jari-jari tangan yang menggandeng lengannya itu makin mengetat dan mendekat. Kepala yang berambut panjang terurai sebagian terlepas dari gelungnya yang tinggi bergerak-gerak dan tercium bau harum oleh hidung Kian Bu.

   "Aku berbahagia karena dapat bertemu dengan seorang seperti engkau, Kian Bu. Kini bangkit kembali harapanku untuk dapat hidup karena aku yakin, dengan bantuan seorang pendekar sakti seperti engkau, sudah pasti anak naga keramat di Telaga Sungari itu akan berhasil kita dapatkan sehingga racun dari tubuhku dapat dibersihkan."

   Kian Bu menghela napas panjang, hatinya lega bahwa kecurigaannya tadi ternyata palsu. Wanita ini memang sudah sepatutnya merasa berbahagia karena wanita ini agaknya menggantungkan harapannya kepadanya.

   "Jangan khawatir, Enci Hong Kui. Aku pasti akan membantumu sekuat tenagaku agar engkau dapat menjadi sehat kembali."

   Wanita itu memandang dan dua butir air mata mengalir turun.

   "Engkau.... engkau baik sekali...."

   Katanya terisak dan Kian Bu merasakan jantungnya berdebar keras ketika jari-jari tangan yang kecil panjang itu menyusup di antara jari-jari tangan Kian Bu.

   Pergeseran dan sentuhan antara jari-jari tangan ini seolah-olah mengandung getaran dahsyat yang memasuki tubuh Kian Bu, membuat dia merasa tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdebar seperti akan meledak! Tubuhnya agak menggigil dan untung baginya, pada saat itu Hong Kui melepaskan tangannya sambil mengeluarkan suara ketawa yang aneh akan tetapi terdengar amat merdu dan mesra dalam telinga Kian Bu. Suara ketawa yang mirip bunyi seekor kucing yang memanggil-manggil pasangannya di waktu malam! Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang biarpun usianya baru tiga puluh tahun, namun telah memiliki pengalaman matang dalam hal bermain cinta dan mempermainkan seorang pria. Dia sekali ini benar-benar terjebak ke dalam permainan dan nafsunya sendiri. Dia jatuh cinta!

   Belum pernah selama hidupnya dia mengalami perasaan seperti ini terhadap seorang pria. Biasanya, dia mempermainkan pria, seperti seekor kucing betina kelaparan mempermainkan seekor tikus, dipermainkan lebih dulu sebelum diganyang dan kemudian ditinggalkan bangkainya begitu saja, sama sekali tidak diingatnya lagi. Belum pernah dia dapat bertahan lebih dari tiga hari tiga malam mengeram seorang pria. Kebosanannya timbul dan dia akan meninggalkan korbannya yang kebanyakan tentu dibunuhnya dulu. Akan tetapi sekali ini, bertemu dengan Kian Bu, dia benar-benar jatuh cinta. Dia sama sekali tidak merasa seperti seekor kucing yang mempermainkan tikus, melainkan seperti seekor kucing yang haus akan belaian manusia yang lebih kuat! Pemuda ini bukan hanya tampan, karena ketampanan mudah didapatkan di antara orang-orang muda,

   Akan tetapi yang amat menarik hatinya adalah karena pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, lebih tinggi daripadanya, dan terutama sekali seorang perjaka tulen yang dia tahu mempunyai sifat romantis! Di dalam kecerdikannya, Hong Kui tidak mau menuruti nafsu berahinya. Dia bersikap hati-hati dan biarpun tadi belaiannya membuat pemuda itu mulai tergetar, namun dia tidak mau terlalu mendesak, karena sekali pemuda sehebat ini timbul kecurigaannya, akan berbahayalah. Dia sama sekali tidak mungkin dapat memaksa seorang seperti Kian Bu, maka dia akan menggunakan siasat halus dan tidak akan bermain kasar! Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super Sakti, dan ibunya adalah bekas Ketua Thian-liong-pang, dia adalah seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian hebat dan kegagahan luar biasa.

   Akan tetapi, menghadapi seorang wanita matang seperti Lauw Hong Kui, tentu saja dia itu hanya seorang pemuda hijau. Andaikata Mauw Siauw Mo-li mempergunakan kekerasan dan kepandaian silatnya, tentu dalam waktu singkat saja dia akan roboh oleh pemuda itu dan andaikata dalam rayuannya dia terlalu tergesa-gesa, tentu pemuda perkasa itu akan menjadi curiga dan sadar. Akan tetapi, Hong Kui terlalu cerdik dalam hal ini dan dia menjatuhkan hati Kian Bu secara perlahan-lahan, secara cerdik sekali dan tidak kentara sehingga setelah mereka melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, Kian Bu telah percaya penuh bahwa wanita ini benar-benar seorang wanita yang patut dikasihani, seorang yang

   "baik-baik"

   Akan tetapi tidak kebetulan menjadi sumoi dari orang-orang jahat macam Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka dan mendiang Hek-hwa Kuibo. Wanita ini amat ramah, amat halus dan sopan! Dan di dalam perjalanan itu Hong Kui selalu menonjolkan keringanan tangannya, melayani Kian Bu, dan sikapnya penuh rasa sayang seorang kakak perempuan terhadap seorang adiknya.

   Maka, diam-diam Kian Bu juga mengambil keputusan untuk mengerahkan kepandaiannya berusaha menangkap anak naga di Telaga Sungari untuk menyembuhkan keracunan di dalam tubuh Hong Kui. Pada suatu siang yang amat panas mereka mengaso di dalam hutan dan duduk di bawah sebatang pohon yang lebat daunnya. Sambil bersenandung merdu, Hong Kui memanggang daging ayam hutan yang tadi ditangkap oleh Kian Bu dan kini pemuda itu duduk beristirahat tidak jauh dari tempat itu. Ketika Kian Bu sedang terlena mengantuk, tiba-tiba dia mendengar suara Hong Kui menjerit. Dia terkejut sekali dan tubuhnya sudah bergerak meloncat, menyambar tubuh Hong Kui yang terhuyung dan ketika dia memeluk tubuh wanita itu ternyata Hong Kui telah pingsan! Kian Bu terkejut bukan main, dan cepat dia mengurut jalan darah di tengkuk wanita itu. Hong Kui membuka matanya, lalu menjerit,

   "Ular.... ahh, Kian Bu, ada ular....!"

   Matanya terbelalak dan telunjuknya menuding ke atas pohon. Kian Bu menengok dan hampir dia tertawa bergelak. Seekor ular hijau kecil merayap ketakutan di antara daun-daun di cabang pohon itu.

   "Enci Hong Kui, kau kenapakah? Mengapa kau pingsan dan ular kecil itu...."

   "Aihhh.... maafkan aku, Kian Bu...."

   Hong Kui menggunakan saputangan, menyusuti peluh dari dahinya yang pucat sekali.

   "Engkau belum kuberi tahu.... aku.... aku paling takut melihat ular...."

   Kian Bu tersenyum lebar dan memandang aneh. Mereka sudah duduk kembali dan Hong Kui melanjutkan pekerjaannya memanggang daging setelah beberapa kali menengok ke atas dan melihat bahwa ular itu sudah tidak tampak lagi.

   "Enci Hong Kui, engkau seorang yang memiliki kepandaian begitu tinggi takut melihat seekor ular kecil itu? Biar ada seratus ekor seperti itu, mana mungkin bisa mengganggu seorang lihai seperti engkau?"

   "Ah, engkau tidak tahu, Kian Bu. An-daikata aku tidak takut terhadap ular, tentu sudah sejak dahulu aku pergi mencari anak naga di Telaga Sungari itu! Akan tetapi, aku amat takut melihat ular...."

   "Enci, sungguh aneh sekali. Mengapa orang yang lihai seperti engkau takut melihat ular?"

   "Aku bukan takut, akan tetapi lebih dari takut, aku jijik sekali dan bisa pingsan kalau melihatnya. Dan tentu saja ada sebabnya.... ehh, malu aku untuk menceritakan pengalamanku di waktu aku baru berusia belasan tahun itu...."

   Wanita itu lalu menunduk. Kedua pipinya yang halus menjadi kemerahan, dari bawah matanya mengerling tajam ke atas dan bibirnya menahan senyum, giginya yang putih menggigit bibir bawah. Sikap malu-malu kucing ini kelihatan manis dan menarik sekali sehingga timbul kelnginan tahu Kian Bu untuk mendengar cerita yang tentu aneh itu sehingga orangnya sampai merasa malu untuk bercerita.

   "Enci Hong Kui, diantara kita yang sudah seperti kakak dan adik sendiri, mengapa engkau merasa malu? Ceritakanlah, apa yang telah terjadi sehingga engkau yang begini lihai sampai pingsan ketakutan melihat seekor ular kecil tadi."

   "Terjadi di waktu aku berusia kira-kira tiga belas tahun,"

   Wanita itu bercerita sambil menunduk dan memperhatikan daging yang dipanggangnya.

   "Pada suatu hari ketika aku tertidur di dalam kamarku, tengah malam aku terbangun dengan kaget sekali dan.... dan.... dapat kau bayangkan betapa ngeri dan jijik serta takutku ketika aku merasa ada sesuatu yang dingin bergerak-gerak di dalam.... celanaku, di paha...."

   Kian Bu terbelalak, mulutnya ternganga memandang wanita itu yang hanya mengangkat muka sebentar memandangnya kemudian menunduk kembali dengan pipi yang makin kemerahan.

   "Ketika aku cepat-cepat melepas pakaian.... ternyata.... benda bergerak itu adalah seekor ular hitam! Aku menjerit-jerit dan jatuh pingsan. Nah, semenjak saat itulah setiap kali melihat ular, terbayang kembali kengerian hatiku di waktu dahulu itu dan aku tak kuat menahan."

   Hening sejenak. Entah mengapa, membayangkan pengalaman wanita ini di waktu berusia belasan tahun itu, jantung Kian Bu berdebar tegang dan beberapa kali dia menelan ludah.

   "Memang.... memang mengerikan...."

   Komentarnya pendek.

   "Itulah sebabnya mengapa setelah mendengar bahwa yang menjadi obat tubuhku hanya anak naga di Telaga Sungari, aku menjadi ngeri dan takut. Untung aku bertemu dengan engkau, Kian Bu, yang telah begini baik hati untuk membantu aku menangkap anak naga itu. Kalau aku sendiri harus menangkapnya, apalagi anak naga, baru melihat seekor ular biasa saja aku sudah akan jatuh pingsan!"

   Beberapa hari kemudian, mereka tiba di luar sebuah dusun. Telaga Sungari tidak begitu jauh lagi dari situ. Ketika melihat sebatang anak sungai yang airnya amat jernih mengalir di luar dusun itu, dan betapa tempat itu sunyi sekali, Hong Kui berkata,

   "Kian Bu, aku merasa gerah sekali. Air itu jernih, aku ingin mandi."

   "Akan tetapi tempat ini dekat dusun, Enci. Tentu akan ada orang lewat nanti...."

   Hong Kui mengerling penuh celaan.

   "Habis ada engkau untuk apa?"

   Katanya menegur sambil tersenyum.

   "Kau jagalah di sini sebentar agar kalau ada orang lewat, kau minta dia jangan ke sungai dulu sebelum aku selesai mandi. Aku tidak akan lama, asal sudah berendam sebentar pun cukuplah untuk mengusir kegerahan dan menghilangkan debu yang menempel di tubuh."

   "Baiklah...."

   Kian Bu lalu duduk di tepi jalan, membelakangi anak sungai yang tidak begitu jauh dari jalan kecil itu. Memang panas hawanya siang hari itu dan Kian Bu membuka kancing bajunya menelanjangi dada agar terhembus angin lalu. Hatinya gembira. Selama melakukan perjalanan dengan Hong Kui, dia makin tertarik dan kagum kepada wanita itu. Gayanya yang genit memikat, persis seperti yang dulu ditirukan oleh Siang In, akan tetapi tentu saja lebih memikat karena gerak-gerik Hong Kui tidak dibuat-buat, memang sudah menjadi wataknya. Biarpun genit memikat, namun wanita ini sopan dan amat baik terhadap dia, tidak pernah mengeluarkan kata-kata cabul, apalagi melakukan sesuatu yang tidak sopan. Hanya setiap kali mereka bersentuhan, seperti ada aliran hawa panas keluar dari tubuh wanita itu menjalar di seluruh tubuhnya dan menggoncang jantungnya!

   "Eiiihhh.... ular.... tolong.... Kian Bu....!"

   Jerit ini mengejutkan Kian Bu. Sekali meloncat dia telah mengejar ke pinggir sungai dan alangkah kaget hatinya ketika dia melihat tubuh Hong Kui rebah miring dengan kepala masuk ke dalam air, sedangkan seekor ular hitam yang panjangnya ada satu meter berenang terbirit-birit meninggalkan tempat itu menyeberang anak sungai. Celaka, pikirnya, kalau tidak cepat ditolong, Hong Kui yang pingsan dengan kepala terbenam air itu tentu akan kehabisan napas dan tewas!

   Maka dia lalu meloncat mendekati, memasuki anak sungai yang airnya hanya setinggi lututnya, kemudian dia mengangkat tubuh Hong Kui yang lemas. Dapat dibayangkan betapa kacau perasaan Kian Bu ketika mengangkat tubuh yang sama sekali tidak berpakaian, yang telanjang bulat itu! Ketika dia mengangkat tubuh polos itu, dia mencoba untuk memejamkan mata dan tidak melihat. Akan tetapi tangannya dan lengannya menyentuh kulit tubuh yang mulus dan hangat, dan jantungnya berdebar hampir copot dari tempatnya! Dan dia pun tidak mungkin memejamkan mata terus karena dia harus membawa Hong Kui ke tepi anak sungai. Tidak lupa dia menyambar pakaian wanita itu yang tadi terletak di atas sebuah batu. Teringat bahwa wanita itu tentu akan merasa malu sekali kalau sadar nanti dalam keadaan polos, Kian Bu lalu cepat-cepat mengenakan pakaian Hong Kui pada tubuh itu.

   Dan tentu saja untuk dapat melakukan ini, dia harus membuka matanya, dan karena dia membuka matanya, tentu saja dia melihat dengan jelas semua bagian tubuh yang berada di depan hidungnya! Sekali melihat, dia tidak kuasa lagi untuk menahan matanya yang menjelajahi semua bagian tubuh yang mulus dan menggairahkan itu. Berkali-kali dia menelan ludah karena merasa lehernya seperti dicekik. Jari-jari tangannya menggigil sehingga sampai lama barulah akhirnya dia berhasil mengenakan pakaian itu pada tubuh Hong Kui, walaupun setengah memaksa kedua tangannya yang agaknya mau mogok saja! Begitu akhirnya Kian Bu selesai mengenakan pakaian Hong Kui, wanita itu siuman dan mengeluh, kemudian merangkul pinggang Kian Bu sambil merintih ketakutan,

   "Ular.... ular...."

   Kian Bu tersenyum, merasa geli juga melihat wanita yang dia tahu amat lihai ini menjadi begitu ketakutan seperti anak kecil ketika bertemu ular.

   "Ularnya sudah pergi, Enci Hong Kui."

   Wanita itu kembali mengeluh, kemudian tiba-tiba merenggutkan tubuhnya dan melepaskan pelukannya, melihat ke arah tubuhnya yang sudah berpakaian.

   "Eh.... ahhh.... aku tadi sedang mandi.... ada ular hitam menjijikkan...."

   "Kau menjerit dan aku melihat engkau pingsan di air, Enci...."

   "Dan aku...."

   Muka yang halus itu menjadi merah sekali dan matanya mengerling malu-malu, sikap yang bahkan amat manis dan menarik hati,

   "....aku tadi mandi.... kutanggalkan pakaianku...."

   Kini Kian Bu memandang dengan muka terasa panas.

   "Aku yang mengenakan kembali pakaianmu, Enci Hong Kui."

   "Aihhh.... engkau.... engkau baik sekali, Kian Bu."

   Kian Bu yang masih hijau itu tentu saja sama sekali tidak menduga bahwa ular-ular itu, baik yang merayap di cabang pohon maupun di sungai, adalah ular-ular yang sengaja ditangkap oleh Hong Kui dan dilepas di dekatnya, tidak tahu bahwa wanita ini sama sekali tidak takut terhadap ular yang bagaimana juga pun, bahkan sejak kecil dia telah biasa bermain-main dengan ular berbisa! Kian Bu tidak tahu bahwa wanita itu secara halus dan cerdik sekali mulai menggoda dan memikat hatinya. Dan memang hati Kian Bu terguncang hebat sekali. Mula-mula hatinya sudah tergerak oleh cerita Hong Kui yang membuat dia selalu membayangkan yang bukan-bukan, kemudian dia disuguhi pemandangan yang amat mengesankan, melihat tubuh telanjang bulat yang menggairahkan itu, sehingga setiap kali memandang Hong Kui, dia melihat seolah-olah wanita itu tidak berpakaian. Penglihatan itu terus menggodanya, membuat dia selalu terbayang akan hal yang mesra dan seringkali Kian Bu termenung.

   Dia tidak tahu betapa Hong Kui seringkali tersenyum puas dan sepasang matanya kelihatan bersinar-sinar karena wanita yang berpengalaman ini dapat menduga bahwa siasatnya telah berhasil dan dia telah berhasil mengisi hati dan pikiran pemuda yang dicintanya ini dengan nafsu berahi yang berkobar. Hanya berkat pendidikan yang baik di Pulau Es saja yang membuat Kian Bu masih dapat bertahan dan selalu menindas kobaran nafsu berahi itu. Akan tetapi, pemuda ini merasa tersiksa sekali dan kini dia melihat setiap gerak-gerik Hong Kui sebagai sesuatu yang amat indah dan manis membangkitkan berahinya. Apalagi memang sikap Hong Kui tepat seperti yang dikatakan Siang In dahulu, yaitu genit memikat, baik cara matanya memandang dan mengerling, cara bibirnya bergerak dalam berkata-kata atau tersenyum,

   Gerak lehernya, lengannya, pinggang dan pinggulnya ketika berjalan, sentuhan-sentuhan halus ujung jari tangannya, harum wangi-wangian yang keluar dari tubuhnya dan rambutnya, getaran pada suaranya yang mesra. Bagaikan seekor laba-laba yang menjerat seekor lalat, Hong Kui terus memperketat jeratnya dan matanya yang penuh pengalaman itu melihat betapa lalat itu menjadi makin lemah, makin berkurang daya tahan dan daya lawannya, sampai dia yakin benar bahwa lalat itu sudah siap dan matang untuk dihisap da-rahnya. Dan malam itu, ketika mereka berdua bermalam di sebuah rumah penginapan di dalam sebuah dusun, dia mengambil keputusan untuk melakukan penerkaman terakhir. Dia sengaja memesan masakan-masakan lezat dan arak wangi sampai dua guci besar. Ketika Kian Bu menyatakan keheranannya, Hong Kui berkata sambil tersenyum manis.

   "Kian Bu, hari ini kebetulan adalah hari ulang tahunku, maka aku hendak merayakannya. Engkau tentu mau menemaniku merayakan hari ulang tahunku, bukan?"

   Wajah Kian Bu berseri.

   "Ah, tentu saja, Enci Hong Kui! Dan biarlah aku mengucapkan selamat atas hari ulang tahunmu ini!"

   Kian Bu menjura dan dibalas oleh Hong Kui sambil tersenyum.

   "Engkau baik sekali, terima kasih. Mari kita makan minum sekedarnya."

   Mereka duduk menghadapi meja yang penuh hidangan, dan Hong Kui menuangkan arak wangi di dalam cawan mereka. Kian Bu mengangkat cawan sambil berkata,

   "Semoga engkau panjang usia, banyak rejeki dan berbahagia, Enci"

   "Terima kasih!"

   Mereka mengangkat cawan lalu minum arak itu.

   "Kalau aku boleh bertanya, hari ini merupakan ulang tahunmu yang ke berapa, Enci Hong Kui?"

   Wanita itu memandang dengan mata dan mulut berseri.

   "Coba kauterka, berapa kiranya umurku sekarang, Kian Bu?"

   Kian Bu memandang wajah yang cerah itu. Dia dapat menduga bahwa wanita ini tentu lebih tua daripada nampaknya, mengingat bahwa suhengnya, Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek, dan sucinya, mendiang Hek-wan Kui-bo, adalah seorang nenek. Akan tetapi melihat wajah yang cantik itu, orang akan menduga bahwa wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun usianya. Dan Kian Bu yang sejak keluar dari Pulau Es sudah sangat memperhatikan wanita, mengerti bahwa wanita paling suka mendengar dugaan orang bahwa dia masih muda, maka sambil tersenyum dia menjawab,

   "Menurut dugaanku, usiamu paling banyak dua puluh tahun, Enci."

   "Hi-hi-hik!"

   Hong Kui tertawa merdu sambil menutupi mulutnya dan matanya mengerling tajam.

   "Masa kau kira aku semuda itu, Kian Bu? Bukan paling banyak dua puluh tahun, melainkan dua puluh dua tahun. Usiaku sudah dua puluh dua tahun, Kian Bu. Aihhh, tanpa kusadari aku sudah menjadi sangat tua, bukan? Setua nenek-nenek...."

   Dia menarik napas panjang.

   "Ah, siapa bilang engkau sudah tua, Enci? Sama sekali tidak! Engkau masih sangat muda dan.... dan...."

   Kian Bu teringat bahwa dia sudah terlanjur bicara, maka dia cepat menahan kata-katanya dan menunduk.

   "Ya....? Mengapa tidak kau teruskan? Katakanlah bahwa aku jelek dan tua."

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kian Bu tidak dapat melanjutkan karena dari pandang mata wanita itu, dia tahu bahwa wanita itu menertawakan dia. Hong Kui juga tidak mau mendesak dan kembali mengisi arak ke dalam cawan Kian Bu yang sudah kosong. Mereka makan minum dan karena pandainya Hong Kui bicara, Kian Bu terpaksa me-nemaninya minum arak sampai dua guci besar itu habis memasuki perut mereka! Malam telah gelap ketika dalam keadaan setengah mabok Kian Bu mencuci muka dan mulut, menggosok gigi lalu memasuki kamarnya. Begitu membuka baju karena arak membuat tubuhnya gerah dan me-lemparkan bajunya ke atas meja, membuka sepatunya, dia lalu melempar tubuhnya yang hanya memakai celana itu ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur pulas.

   Kian Bu hanyut dalam mimpi. Dia merasa seperti sedang berlatih sin-kang di Pulau Es, di atas salju yang amat dingin. Seperti ketika dia berlatih di waktu masih tinggal di pulau itu, dia duduk bersila di atas salju yang lembut dan dingin itu, mengerahkan sin-kang melawan hawa dingin sehingga uap mengepul dari seluruh tubuhnya. Kemudian dia melihat ada seekor ular bergerak perlahan berlenggak-lenggok mendekatinya dan ular itu lalu menggelutnya. Dicobanya untuk melawan akan tetapi ular itu kuat sekali sehingga dia terjengkang rebah terlentang. Ular besar itu menindihnya, membelit dan menggelutnya. Tubuh ular itu licin halus dan hangat, dan ular itu menjilat-jilat mukanya, matanya, hidungnya, bibirnya. Kemudian ular itu mengeluarkan suara aneh, suara merintih dan mengeong seperti suara seekor kucing! Dan dalam mimpinya, Kian Bu melihat betapa ular itu berubah menjadi seekor kucing.

   Kucing putih berbulu tebal, lunak halus dan hangat, lalu kucing itu menindih dan menggelutinya, menjilat-jilatkan lidah dan bibirnya yang basah dan hangat itu ke pipinya dan mulutnya, sambil mengeluarkan suara lirih mengerang. Ketika kucing itu tidak hanya menjilat, akan tetapi kini menggigit bibirnya dengan gigitan halus, Kian Bu terkejut dan takut. Cepat dia meronta dan kucing itu terlempar didorongnya. Dia cepat bangkit mengangkat tubuh atasnya dan matanya terbelalak memandang kepada tubuh polos yang dihias rambut panjang itu. Kiranya Hong Kui telah duduk di atas pembaringannya dan dadanya hanya tertutup rambut hitam panjang yang terurai lepas. Kian Bu terbelalak memandang wajah yang cantik kemerahan dan sepasang mata yang seperti mata kucing, jeli dan berkilauan aneh itu.

   "Enci...."

   Dia berbisik dengan mata terbelalak lebar. Hong Kui sudah menutupi dadanya dengan pakaiannya, akan tetapi gerakan ini membuat tubuh yang menjadi setengah telanjang itu makin menarik. Kiranya wanita itu telah memasuki kamarnya, dan hal ini tidak sukar sama sekali bagi wanita yang lihai itu, dan telah menyalakan lampu tanpa diketahui Kian Bu yang tadi tidur pulas.

   "Kian Bu.... Kian Bu.... kasihanilah aku...."

   Hong Kui lalu menubruk pemuda yang masih bengong itu dan menangis, memeluk lehernya dan mendekapkan mukanya di dada pemuda yang telanjang itu.

   "Enci.... apa.... apa artinya ini....?"

   Kian Bu gelagapan.

   "Artinya.... bahwa aku.... aku cinta padamu, Kian Bu.... kau kasihanilah aku...."

   Tangan Hong Kui terjulur ke arah lampu dan di lain saat lampu itu pun padam. Kamar menjadi gelap sekali akan tetapi Kian Bu tidak membutuhkan penerangan karena tubuhnya merasa betapa wanita itu mendekap dan menciuminya penuh nafsu. Kian Bu hanyalah seorang pemuda yang baru menjelang dewasa. Dia masih hijau dan sebelumnya dia telah digoda secara halus oleh Hong Kui. Tanpa disadarinya, dengan cerdik sekali Hong Kui telah mengusahakan agar nafsu berahi pemuda remaja itu bangkit dan dia maklum akan hasil usahanya itu ketika melihat Kian Bu seringkali melamun dan di waktu berhadapan sering melihat pandang mata pemuda itu menjelajahi tubuhnya dari leher turun sampai ke kaki.

   Kemudian, malam itu sengaja dia mengajak Kian Bu minum banyak arak sampai setengah mabok sehingga oleh pengaruh arak, lenyap sama sekalilah daya pertahanan batin Kian Bu dan kini pemuda itu hanyut dalam kemesraan belaian dan bujuk rayu, terseret hanyut oleh gelombang nafsu berahi yang dahsyat dari Hong Kui. Wanita itu merupakan guru yang amat pandai dalam permainan cinta sehingga makin dalamlah Kian Bu tenggelam dan makin jauh dia terhanyut sehingga semalam suntuk itu dilewatkan oleh Kian Bu sebagai suatu malam yang amat indah dan nikmat. Pada keesokan harinya, ketika mereka berdua pagi-pagi sekali sudah melanjutkan perjalanan, Hong Kui telah menjadi kekasih Kian Bu. Wanita ini telah berhasil menundukkan dan menguasai Kian Bu yang menjadi tergila-gila, mabok oleh permainan cinta Hong Kui, dirayu oleh suara aneh seperti kucing mengerang yang bagi Kian Bu merupakan pendengaran yang menambah berkobarnya nafsu berahinya.

   Mereka melanjutkan perjalanan sambil bergandeng tangan dan kadang-kadang mereka berhenti untuk berpelukan dan berciuman, seolah-olah permainan cinta semalam suntuk tadi masih belum memuaskan dahaga wanita itu yang memang tidak pernah mengenal kepuasan. Kian Bu menjadi makin mabok. Dalam hal ilmu silat, dia jauh lebih lihai daripada Hong Kui, namun dalam hal ilmu mengumbar nafsu berahi ini, dia merupakan seorang murid bodoh dan mentah menghadapi Hong Kui yang amat pandai. Demikianlah, Suma Kian Bu, pemuda perkasa putera Pendekar Super Sakti dan Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang, jatuh cinta dan tergila-gila ke dalam pelukan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, lupa sama sekali bahwa wanita ini adalah seorang wanita cabul yang hidupnya menghamba kepada nafsu berahinya. Akan tetapi di lain pihak, sebaliknya wanita itu pun tergila-gila kepada Kian Bu.

   Selama hidupnya baru sekarang dia mendapatkan seorang pria seperti pemuda ini yang selain tampan dan memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada dia sendiri, juga merupakan seorang pemuda yang romantis dan sebentar saja sudah hampir menandingi kelihaiannya dalam permainan cinta! Perjalanan mereka menuju ke Telaga Sungari seringkali tertunda karena setiap kali mereka berhenti untuk mencurahkan perasaan yang penuh oleh hawa nafsu. Pada suatu hari, lupa akan keadaan sekelilingnya, dua orang itu duduk di bawah pohon yang teduh. Kian Bu duduk dan wanita itu menyandarkan tubuh ke dadanya, mereka saling mencumbu dan Hong Kui sudah mengeluarkan suara mengerang seperti seekor kucing manja. Tiba-tiba terdengar suara orang ter-tawa.

   "Kiranya Siluman Kucing dan kekasihnya berada di sini!"

   Hong Kui dan Kian Bu terkejut. Cepat mereka membetulkan letak pakaian mereka pada tubuh dan meloncat berdiri. Pertama-tama yang muncul adalah Yu Ci Pok Si Siucai pembantu Tambolon dan yang tadi menegur sambil tertawa mengejek. Lalu dari belakang mereka muncul pula Si Petani Liauw Kui dan dari balik-balik pohon berlompatlah anak buah mereka, orang-orang suku liar yang menjadi kaki tangan mereka. Kian Bu menjadi marah sekali. Dia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk membasmi orang-orang ini.

   Dia marah karena merasa malu bahwa tadi ada orang melihat dia bercumbu dengan Hong Kui. Akan tetapi selagi dia hendak membentak, tiba-tiba terdengar suara meledak, kelihatan asap mengebul dan dari dalam asap itu muncul seorang nenek berpakaian serba hitam. Terkejutlah Kian Bu karena dia mengenal nenek ini sebagai orang yang berada di pesta Tambolon tempo hari. Nenek itu memang bukan lain adalah Durganini, guru dari Tambolon! Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui juga marah sekali, merasa bahwa kesenangannya terganggu. Sambil menggereng dia sudah mengeluarkan sebuah peluru peledak dan melontarkannya ke arah nenek yang muncul seperti itu. Akan tetapi nenek itu tertawa, menudingkan telunjuknya ke arah senjata rahasia itu dan.... senjata rahasia itu meledak di udara!

   "Aihhh....!"

   Hong Kui menjerit dengan kaget sekali. Kian Bu juga maklum bahwa nenek itu amat lihai, maka melihat betapa kini anak buah Tambolon ternyata lebih banyak lagi, dia berbisik,

   "Mari kita pergi!"

   Hong Kui mengangguk, kedua tangannya sibuk melempar-lemparkan senjata peledak ke kanan kiri dan depan, kemudian bersama Kian Bu dia meloncat ke belakang dan merobohkan empat orang anak buah mereka, terus menghilang pada saat senjata-senjata itu meledak dan tempat itu penuh asap.

   "Siluman Kucing, hendak lari ke mana kau?"

   Terdengar Si Petani membentak.

   "Bresss!"

   Liauw Kui yang tadi melihat ke mana berkelebatnya dua orang itu dan menerjang dengan lompatan dahsyat, bertemu dengan hantaman Kian Bu. Dia menangkis, dan benturan tenaga dahsyat membuat Si Petani terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia bergulingan dan cepat meloncat ke belakang dengan kaget bukan main. Kian Bu dan Hong Kui mempergunakan kesempatan itu untuk melompat jauh dan terus melarikan diri. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa melengking tinggi. Mendengar suara tertawa yang seolah-olah mengikuti mereka ini, Kian Bu dan Hong Kui bergidik ngeri karena suara tertawa itu seperti menikam-nikam jantung mereka. Kemudian terdengar suara tinggi nyaring yang mengandung wibawa aneh,

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 51 Sepasang Pedang Iblis Eps 2 Pendekar Super Sakti Eps 43

Cari Blog Ini