Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 49


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 49



Dia sama sekali tidak tahu bahwa telah terjadi perubahan di dalam hati pemuda kekasihnya itu. Kian Bu telah menyadari kepalsuan wanita cantik ini dan dia hanya menganggap Hong Kui sebagai seorang wanita yang amat pandai menyenangkan hati dan menghiburnya, seorang wanita yang sengaja merayunya dan sama sekali bukan berdasarkan cinta kasih seperti yang dahulu sering diimpikannya. Dia tahu bahwa di antara mereka berdua yang ada hanyalah cinta jasmani belaka, dorongan nafsu berahi yang mengasyikkan. Kalau dia mau mengikuti Hong Kui dan tinggal di rumah Hek-tiauw Lo-mo, sesungguhnya hanya karena diam-diam dia mengambil keputusan untuk melindungi Ceng Ceng yang masih terhitung keponakannya sendiri itu.

   Ketika dia menyaksikan perebutan anak ular naga antara Ceng Ceng dan Hong Kui, dia sudah menganjurkan kepada kekasihnya itu untuk memberikan saja ular kecil itu kepada Ceng Ceng yang dia tahu amat membutuhkannya. Kemudian melihat ular itu putus dan Hong Kui mendapat bagian sedikit sedangkan selebihnya terampas oleh Ceng Ceng, diam-diam dia merasa girang sekali akan tetapi tentu saja dia tidak menyatakannya di depan kekasihnya. Kemudian Hong Kui menyatakan ketidakpuasan hatinya bahwa dia hanya dapat makan bagian ekor anak naga itu dan wanita ini menyatakan dugaannya bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan yang terluka parah itu tentu akan kembali ke sarang kaum sesat di selatan kota raja di mana gadis itu menjadi ketuanya.

   Mendengar bahwa Hong Kui hendak mengejar Ceng Ceng ke sana, dia sengaja menyatakan persetujuannya, akan tetapi diam-diam tentu saja bersiap untuk melindungi Ceng Ceng dan mencegah kekasihnya ini mengganggu Ceng Ceng. Siapa kira, di tempat itu dia malah bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo, maka tahulah dia bahwa Ceng Ceng akan terancam bahaya hebat kalau benar-benar datang ke tempat itu. Hal ini membuat dia terpaksa menerima ajakan Hong Kui untuk bermalam dan tinggal di gedung yang ditinggali Hek-tiauw Lo-mo itu, menanti kalau Ceng Ceng benar datang di tempat berbahaya itu. Sayang bahwa kedatangan mereka agak terlambat sehingga Kian Bu tidak mendengar akan perintah Hek-tiauw Lo-mo terhadap anak buahnya untuk menangkap Puteri Syanti Dewi yang bermalam di dusun tidak jauh dari tempat itu.

   Kalau dia mendengarnya, tentu dia terkejut sekali dan akan turun tangan mencegahnya. Akan tetapi di dusun di mana rombongan Puteri Syanti Dewi bermalam, terjadi hal yang sama sekali tidak diduga-duga oleh Hek-tiauw Lo-mo, bahkan oleh rombongan itu sendiri. Siang tadi dusun itu kedatangan rombongan yang terdiri dari orang-orang aneh dan rombongan ini tentu akan mendatangkan geger kalau saja ada yang mengenalnya karena rombongan ini dipimpin oleh Raja Tambolon! Seperti diketahui, Raja Tambolon yang dibantu oleh Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Sastrawan Maut Yu Ci Pok, membawa anak buahnya yang terdiri dari orang-orang liar di daerah utara, ikut memperebutkan anak naga di Telaga Sungari, akan tetapi rombongan Raja Tambolon ini pun tidak memperoleh hasil.

   Ketika melihat bahwa anak naga itu terjatuh ke tangan Ceng Ceng dan Topeng Setan, Raja Tambolon yang sudah mengenal dua orang itu dan tahu bahwa nona Lu Ceng adalah bengcu dari kaum sesat di sebelah selatan kota raja, lalu melakukan pengejaran ke tempat itu. Dia dan para pembantunya menyamar sebagai serombongan pelancong dan karena mereka royal mengeluarkan uang, mereka tidak menarik perhatian dan kecurigaan orang lain. Di tengah perjalanan, rombongan ini bertemu dengan lima orang wanita yang sudah mengenal Yu Ci Pok, maka mereka dihadapkan kepada Tambolon dan diperkenalkan oleh Si Sastrawan Maut itu. Lima orang wanita ini bukanlah sembarangan wanita, karena mereka itu adalah Loan-ngo Mo-li (Lima Iblis Betina Sungai Loan) yang namanya sudah terkenal sekali di sepanjang Sungai Loan-ho.

   Mendengar bahwa Loan-ngo Mo-li hendak berkunjung ke Tiat-ciang-pang untuk mengambil-alih kekuasaan karena mendengar bahwa perkumpulan itu dan semua perkumpulan kaum sesat kini dipimpin oleh seorang wanita yang kabarnya menyamar sebagai Song Lan Ci, orang pertama dari Loan-ngo Mo-li, lima orang wanita yang pekerjaannya adalah cabang atas Sungai Loan-ho yang membawahi semua kaum bajak, Tambolon menjadi girang dan segera mengajak lima orang wanita lihai itu untuk bekerja sama. Sungguhpun pihaknya sendiri sudah amat kuat, dengan bantuan dua orang pengawalnya yang setia dan terutama sekali bantuan nenek gurunya yang pikun, Durganini, namun dalam keadaan seperti itu, di mana banyak tokoh pandai bermunculan, Tambolon merasa lebih kuat kedudukannya kalau mempunyai banyak pembantu orang lihai.

   Dia menawarkan bantuannya untuk merampas kedudukan bengcu bagi Loan-ngo Mo-li, akan tetapi dia pun minta bantuan lima orang wanita itu untuk menghadapi musuh-musuhnya dalam memperebutkan anak naga. Demikianlah, rombongan yang kini bertambah dengan lima orang wanita itu memasuki dusun, beberapa jam lebih dulu daripada kedatangan rombongan Puteri Syanti Dewi. Secara kebetulan sekali, satu-satunya rumah penginapan yang diminta atau diperintahkan agar dikosongkan oleh kepala dusun karena rumah penginapan itu harus diberikan kepada rombongan Puteri Bhutan, tadinya disewa oleh rombongan Tambolon ini! Tentu saja raja liar Rambolon menjadi marah, akan tetapi begitu mendengar penjelasan bahwa rumah penginapan itu akan dipergunakan untuk tempat bermalam rombongan dari kota raja yang mengawal Puteri Bhutan,

   Dia cepat memberi isyarat kepada para pembantunya agar mengalah dan mereka segera pergi meninggalkan rumah penginapan itu, mengalah bermalam di dalam sebuah kuil di luar dusun! Akan tetapi Tambolon segera mengatur siasat untuk menangkap Puteri Bhutan, puteri dari musuh besarnya karena dengan adanya puteri itu di tangannya, dia tentu akan dapat memaksakan tuntutannya kepada Raja Bhutan! Apalagi karena memang puteri itu dahulunya telah dihadang dan hendak dirampasnya namun usahanya gagal karena Sang Puteri dapat melarikan diri. Tambolon tidak akan dapat menjadi raja dari para suku bangsa liar kalau saja dia tidak pandai dan cerdik. Dia bukanlah orang kasar yang hanya mengandalkan kekuatan badan dan ilmu kepandaian silatnya saja, akan tetapi seorang ahli siasat yang dapat bersikap cerdik dan hati-hati.

   Dia maklum bahwa biarpun kekuatan rombongannya sudah lebih dari cukup untuk menyergap dan merampas Syanti Dewi dengan kekerasan, namun dia tidak mau melakukan hal itu, mengingat bahwa dusun ini tidak begitu jauh dari kota raja dan kalau dia menimbulkan keributan sampai ketahuan dan terdengar oleh kota raja, tentu pemerintah akan mengirim pasukan besar dan orang-orang pandai untuk menangkap atau membunuhnya. Dia maklum akan kelemahannya sendiri kalau harus menghadapi bala tentara pemerintah dan orang-orang pandai yang dia tahu banyak membantu pemerintah. Oleh karena itu, dia lalu minta bantuan gurunya, nenek ahli sihir yang seperti iblis itu untuk menawan Syanti Dewi secara halus.

   Nenek itu terkekeh girang. Durganini sudah terlalu tua dan sudah pikun, biarpun dia lihai sekali, baik ilmu silat maupun tenaga saktinya, terutama sekali ilmu sihirnya, akan tetapi karena sudah terlalu pikun, Tambolon tidak berani melepaskan gurunya ini untuk bekerja sendiri saja, karena kepikunannya akan dapat menggagalkan semua urusan. Oleh karena itu, dia minta bantuan kepada sekutunya yang baru, yaitu Loan-ngo Mo-li yang dipimpin oleh Song Lan Ci. Lima orang wanita jagoan dari Sungai Loan-ho ini berusia rata-rata empat puluh tahun, wajah mereka membayangkan kekejaman dan kekasaran sungguhpun mereka itu, terutama Song Lan Ci, dapat dikatakan agak cantik juga dan mereka semua masih gadis, dalam arti kata belum ada yang menikah.

   Lima orang wanita itu tentu saja menyanggupi dan pergilah mereka mengantar Durganini yang harus digandeng itu menuju ke rumah penginapan yang telah mereka tinggalkan tadi. Sementara itu, Puteri Syanti Dewi yang sudah di atas pembaringan di dalam kamar rumah penginapan itu merasa gelisah hatinya. Biarpun ada dua puluh empat orang pengawal anak buah dan kepercayaan ayah angkatnya, Jenderal Kao Liang, pada saat itu menjaga dan mengawalnya, namun hatinya merasa tidak enak. Dia mengingat akan semua pengalamannya sejak meninggalkan Bhutan dan merasa betapa lebih senang dan merasa lebih aman ketika dia melakukan perjalanan bersama adik angkatnya, Lu Ceng atau Candra Dewi. Entah bagaimana, dia tidak merasa senang untuk kembali ke Bhutan.

   Dia merasa kehilangan karena di dalam perantauannya selama ini dia bertemu dengan banyak orang jahat dan musuh, akan tetapi juga dengan banyak sekali orang-orang yang amat baik kepadanya, yang tak mungkin dapat dia lupakan selama hidupnya, Lu Ceng adik angkatnya, Jenderal Kao Liang ayah angkatnya, Gak Bun Beng yang pernah menjatuhkan hatinya, yang sampai saat itu pun dianggap sebagai seorang manusia yang paling mulia baginya, Suma Kian Bu yang ternyata mencintanya dan pemuda yang remaja ini amat baik kepadanya. Kemudian Suma Kian Lee yang halus dan sopan gerak-geriknya. Puteri Milana yang demikian gagah perkasa dan bernasib menyedihkan. Kemudian Ang Tek Hoat, pemuda yang takkan dapat dia lupakan, pemuda yang aneh, pemuda yang telah mengorbankan diri sendiri untuk menolongnya,

   Pemuda yang oleh semua orang dianggap jahat dan menjadi pengkhianat, menjadi pemberontak ternyata malah berjasa membunuh pangeran pemimpin pemberontak. Pemuda yang menurut cerita Puteri Milana ibu pemuda itu, ternyata masih terhitung keluarga Pulau Es! Dia membayangkan sinar mata sayu dan penuh derita hidup membayang dari mata pemuda itu dan teringat akan ini, Syanti Dewi menarik napas panjang. Betapa banyaknya kedukaan di dunia ini bagi manusia. Gak Bun Beng pendekar sakti itu pun merana karena cinta kasihnya dengan Puteri Milana gagal. Demikian pula puteri itu merana. Dan Kian Bu patah hati karena dia tidak dapat membalas cintanya. Dia suka kepada pemuda ini seperti suka kepada seorang saudara, kepada seorang adik karena pemuda perkasa itu masih amat muda. Renungan-renungan ini membuat Puteri Syanti Dewi merasa gelisah.

   Bagaimana mungkin dia dapat melupakan semua orang itu dan kembali ke Bhutan di mana penghidupan akan menjadi lain sama sekali dan dia harus mengubur semua wajah yang dikenalnya itu dan mulai hidup baru di Bhutan? Kepada pria mana lagi dia akan dijodohkan oleh ayahnya demi negara? Dia merasa ngeri memikirkan hal ini. Setelah merasakan keindahan alam luas, kenikmatan kebebasan, kini dia menghadapi istana Bhutan seperti menghadapi sebuah penjara! Dia akan kehilangan kebebasannya sebagai manusia, sebagai seorang wanita biasa dan akan berada di dalam kurungan emas berupa istana megah itu sebagai seorang puteri, sebagai alat untuk negara! Syanti Dewi makin gelisah dan akhirnya dia turun dari pembaringan, membuka pintu samping dan berkata kepada pengawal yang berjaga di luar pintu bahwa dia ingin berjalan-jalan ke dalam taman bunga kecil di samping rumah penginapan itu.

   Pengawal itu mengangguk dan menjaga serta mengawasi dari jauh. Taman itu menembus ke samping rumah dan depan rumah penginapan itu telah terjaga oleh lima orang temannya. Puteri itu selalu dalam pengawasan dan tidak akan ada sesuatu dapat menimpanya.Angin malam semilir lembut mengusap wajah Syanti Dewi, mengusir kegelisahannya yang tadi terselimut oleh kenangan yang mendatangkan rasa gelisah di hati. Kewaspadaan membuat dara ini dapat melihat dan mendengar dengan jelas keadaan di sekelilingnya dan telinganya menangkap suara tidak wajar yang arahnya datang dari depan. Dia lalu melangkah perlahan menuju ke depan sehingga akhirnya dia dapat menyelinap di belakang serumpun pohon kembang dan mengintai keluar.

   Dia terheran-heran melihat lima orang pengawalnya itu semua berlutut di depan seorang nenek tua renta berpakaian hitam yang datang bersama lima orang wanita setengah tua yang sikapnya galak. Lebih lagi heran dan kagetnya ketika dia melihat berturut-turut semua pengawalnya yang keseluruhannya berjumlah dua losin orang itu berdatangan dan terdengar nenek itu berkata, suaranya agak pelo karena mulutnya sudah tidak bergigi lagi, nadanya tinggi dan mendesis setengah berbisik, akan tetapi terdengar jelas memasuki telinga bahkan sampai menyusup ke dalam jantung.

   "Aku adalah permaisuri, kalian para pengawal tidak cepat berlutut memberi hormat? Aku adalah Thaihouw yang sengaja datang untuk memeriksa apakah kalian benar-benar baik dalam pengawal-anmu terhadap Puteri Bhutan."

   Nenek berkulit hitam berpakaian hitam itu berkata.

   Syanti Dewi sendiri belum pernah bertemu atau melihat permaisuri Kaisar, karena ketika dia dihadapkan Kaisar, dia sama sekali sebagai seorang puteri bangsawan yang tahu akan tata susila tidak berani mengangkat muka dan meliarkan pandang mata, maka sekarang pun dia tidak akan mengenal permaisuri. Akan tetapi, betapapun juga, sampai mati dia tidak akan mau percaya bahwa nenek tua renta yang berwajah bengis menyeramkan, yang berpakaian hitam berkulit hitam dan lebih menyerupai iblis betina daripada manusia ini adalah permaisuri Kaisar dengan lima orang pengawalnya! Akan tetapi, yang membuat dia terheran-heran adalah ketika dia melihat Can Siok, komandan pasukan pengawalnya yang baru datang berlari keluar, menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu dan berseru hormat,

   "Thaihouw....!"

   Juga semua pengawal kini telah berlutut di depan nenek itu! Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang puteri Bhutan. Kerajaan Bhutan adalah sebuah kerajaan di antara Pegunungan Himalaya dan di sana banyak terdapat pertapa-pertapa dan ahli-ahli ilmu kebatinan termasuk ahli-ahli sihir. Maka puteri ini tidak asing dengan segala peristiwa yang tidak wajar dan berbau ilmu sihir. Begitu dia menyaksikan keadaan di depan rumah penginapan itu, di mana dua losin orang pengawalnya berlutut di depan seorang nenek hitam dan menganggap nenek itu permaisuri, dia sudah dapat menduga bahwa tentu ada permainan sihir di sini.

   "Heh-heh-heh, bagus sekali para pengawal yang setia!"

   Nenek hitam itu ter-dengar berkata, suaranya berbisik mendesis seperti suara ular.

   "Sekarang lekas kau ambil Puteri Bhutan itu, Kaisar menghendaki agar dia ikut dengan aku sekarang juga."

   Begitu mendengar kata-kata ini, Syanti Dewi terkejut sekali dan maklumlah dia bahwa nenek iblis itu sengaja datang hendak menangkapnya secara halus, menggunakan ilmu sihir. Maka dia cepat pergi meninggalkan tempat persembunyiannya itu, menyelinap di antara pohon-pohon dan kembang di dalam taman, lalu dengan jantung berdebar dia menggunakan kepandaiannya untuk meloncati pagar taman yang tidak begitu tinggi, kemudian dia lari menyelinap di antara rumah-rumah penghuni dusun itu.

   Karena tidak mengenal jalan, dia tidak berani lari di tempat terbuka, dan dia hanya bersembunyi di balik-balik rumah, dan berpindah ke tempat lain kalau mendengar suara orang-orang mencarinya di tempat yang berdekatan. Di sudut dusun itu, Syanti Dewi melihat sebuah rumah rusak yang kosong, maka dimasukinya rumah kosong ini dan dia bersembunyi di situ, mengintai dari balik pintu rumah yang terbuka karena daun pintunya tinggal sebelah. Jantung-nya berdebar dan kakinya menggigil. Dia tidak lagi berani keluar dari rumah rusak itu karena takut terlihat orang dan tertangkap. Pagi cepat datang dan sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan malam. Syanti Dewi masih berdiri mengintai di balik daun pintu yang tinggal sebelah. Dusun itu masih sunyi dan Syanti Dewi ingin minta tolong penduduk dusun kalau dia melihat mereka keluar. Di antara orang banyak, tentu nenek iblis itu tidak berani berlagak, pikirnya.

   Akan tetapi tiba-tiba dia menahan napas melihat munculnya seorang wanita, yaitu seorang di antara lima wanita pengawal nenek itu malam tadi, dan wanita ini datang menuju ke rumah rusak itu diikuti oleh lima orang pengawalnya sendiri yang kini agaknya sudah menjadi kaki tangan mereka! Syanti Dewi maklum bahwa para perajurit pengawalnya itu berada di bawah pengaruh sihir nenek itu, maka dari mereka jelas dia tidak dapat mengharapkan perlindungan lagi. Mereka datang makin dekat, hanya tinggal belasan meter saja dari rumah rusak itu. Untuk melarikan diri tidak mungkin karena sekali keluar dari rumah itu tentu akan terlihat oleh mereka dan lari pun tentu percuma, akan dapat dikejar. Maka Syanti Dewi hanya bersembunyi dan mengintai dengan menahan napas, diam-diam berdoa agar mereka itu tidak akan memasuki rumah rusak.

   "Haaaaa, kau hendak lari ke mana....?"

   Suara lirih dan parau di belakangnya ini membuat Sang Puteri terkejut setengah mati. Dia menengok dan melihat seorang kakek tua berkepala botak, tersenyum dan matanya memandang seperti mata seorang anak nakal yang suka menggoda, kedua lengan dibentangkan dengan sikap hendak menangkap Syanti Dewi! Syanti Dewi terkejut dan menjadi bingung, akan tetapi tiba-tiba kakek itu yang melihat kebingungannya, menurunkan kedua lengannya dan bertanya halus,

   "Eh, Nona. Mengapa pagi-pagi sekali engkau berada di sini seorang diri dan kelihatan ketakutan? Apakah kau hendak minggat dari rumahmu bersama seorang pacar?"

   Syanti Dewi maklum bahwa ternyata kakek ini tidak ada hubungannya dengan para pengejarnya, dan sepanjang perantauannya dia telah agak mengenal orang-orang pandai, maka dia pun menduga bahwa kakek ini tentu bukan orang sembarangan, maka cepat dia menjura dan berkata,

   "Kakek yang baik, aku mohon padamu, tolonglah aku.... aku sedang dikejar dan hendak ditangkap oleh mereka itu...."

   Dia menuding ke arah luar rumah rusak itu. Akan tetapi terlambat sudah. Wanita yang bukan lain adalah seorang di antara Loan-ngo Mo-li itu telah mendengar suara Si Kakek dan dengan langkah lebar diikuti oleh lima orang perajurit pengawal dia telah menghampiri rumah rusak itu dan tiba-tiba saja dia muncul di depan Syanti Dewi dan kakek itu. Wanita yang memakai anting-anting emas besar di kedua telinganya dan lima orang perajurit pengawal itu kelihatan girang sekali melihat Syanti Dewi. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu tertawa dan mengandung getaran kuat sekali,

   "Ha-ha-ha, kalian bengong memandang kami kakek dan nenek mau apa sih? Berani kalian mengganggu Nenek Durganini yang sedang indehoi dengan kekasihnya? Heh-heh!"

   Betapa anehnya! Wanita Loan-ngo Mo-li yang bertampang kejam itu dan lima orang perajurit pengawal yang telah terpengaruh sihir dari nenek hitam guru Tambolon itu kini memandang bengong, dan wanita itu lalu menjura kepada Syanti Dewi sambil berkata,

   "Harap Locianpwe maafkan, saya kira tadi puteri yang sedang kita cari-cari...."

   Syanti Dewi tentu saja juga bengong dan bingung, akan tetapi lengannya sudah digandeng oleh kakek itu pergi meninggalkan rumah rusak, jalan bergandengan tangan diikuti pandang mata wanita itu yang masih terkejut dan heran. Akan tetapi, bukan main kaget dan heran hatinya ketika melihat mengapa "nenek hitam"

   Itu tadi dari belakang kelihatan ramping dan muda, tidak terbongkok-bongkok melainkan jalan berlenggang dengan bukit pinggul seorang dara muda yang bulat dan penuh! Dia menggoyang dan mengguncang kepalanya, memejamkan mata sebentar kemudian membuka mata memandang lagi. Kiranya "nenek"

   Itu adalah puteri yang dicari-carinya.

   "Kejar....! Tangkap mereka!"

   Dia berteriak dan lima orang perajurit pengawal yang kini berubah menjadi seperti manusia-manusia robot yang tidak mempunyai pendirian sendiri karena telah dipengaruhi sihir Nenek Durganini itu cepat mengejar Syanti Dewi dan kakek tua, tombak mereka ditodongkan ke depan siap untuk menyerang. Mendengar teriakan ini yang disusul derap kaki mengejar mereka, Syanti Dewi menjadi khawatir sekali.

   "Kek, mereka mengejar....!"

   Bisiknya. Kakek itu terkekeh, kemudian secara tiba-tiba dia berhenti dan membalikkan tubuhnya, telunjuk kirinya menuding ke arah lima orang perajurit pengawal itu sambil mulutnya berkata,

   "Heeeiii! Kalian mengapa main-main dengan ular? Lihat, kalian bisa digigit sendiri oleh ular di tangan kalian!"

   Syanti Dewi tentu saja menjadi heran sekali, mengira bahwa kakek yang aneh ini mungkln sudah miring otaknya. Dikejar musuh yang mengancam bukannya lari atau melawan malah berolok-olok seperti itu.

   Akan tetapi Syanti Dewi terbelalak kaget bukan main ketika dia melihat betapa lima orang perajurit pengawal yang kini telah menjadi hamba atau kaki tangan nenek hitam mengerikan itu memekik ketakutan dan tombak di tangan mereka itu telah berubah menjadi ular-ular besar yang kini membalikkan kepala mendesis-desis hendak menyerang mereka sendiri. Syanti Dewi mengejap-ngejapkan matanya karena tidak percaya, akan tetapi benar saja, tombak-tombak di tangan lima orang itu telah berubah menjadi ular-ular yang menyerang mereka sendiri. Lima orang itu terbelalak dengan muka pucat, kemudian tentu saja mereka lalu membuang "ular-ular"

   Itu dan lari ketakutan! Mereka adalah perajurit-perajurit pengawal pilihan, anak buah Jenderal Kao dan merupakan perajurit yang pantang mundur menghadapi musuh yang bagaimana kuat pun. Akan tetapi melihat tombak sendiri berubah menjadi ular-ular besar panjang yang menyerang mereka sendiri, hal ini terlalu hebat bagi mereka dan mendatangkan rasa takut yang hebat.

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Kakek itu tertawa dan Syanti Dewi terpukau di tempatnya melihat betapa "ular-ular"

   Itu setelah dibuang ke atas tanah dan ditinggalkan para perajurit, telah kembali kepada bentuk semula, yaitu lima batang tombak. Bukan main kagum dan girang rasa hatinya karena kini dia maklum bahwa dia telah ditolong oleh seorang kakek ahli sihir pula. Sungguh mengherankan sekali, pikirnya. Dia akan diculik oleh seorang nenek ahli sihir dan ditolong oleh seorang kakek ahli sihir!

   "Kakek yang baik, aku akan kau bawa ke mana?"

   Tanya Syanti Dewi setelah melihat betapa para pengejar itu tidak tampak lagi di belakang mereka dan kakek itu telah membawanya keluar dari dusun itu.

   "Ke tempat yang aman, di hutan depan itu. Di sana menanti seorang muridku, mari kau kuperkenalkan dengan dia,"

   Kata Si Kakek yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su itu. Kakek ini pernah mengacau di dalam pesta yang diadakan Tambolon ketika Tambolon memaksa Siang Hwa untuk menikah dengan dia. Seperti telah diceritakan secara singkat, tokoh perantauan yang aneh ini adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi dan mahir pula dengan ilmu sihir dan dia adalah bekas suami dari Nenek Durganini.

   Seperti telah kita ketahui, See-thian Hoat-su ini bersama Panglima Jayin perwira pengawal Bhutan itu bersama empat orang anak buahnya, Kian Bu, Siang Hwa dan Siang In melarikan diri dikejar oleh Pasukan Tambolon dan dikeroyok di atas rakit sampai rakit itu terbawa hanyut oleh sungai yang mengamuk dalam badai. Jenazah Siang Hwa yang menjadi korban hujan anak panah tidak dapat diselamatkan dan dibawa hanyut oleh air, akan tetapi kakek ini berhasil menyelamatkan Siang In ke darat. Karena kasihan melihat dara yang yatim piatu dan kini bahkan kehilangan enclnya itu, juga karena melihat Siang In memiliki tulang yang kuat dan darah yang bersih serta memiliki bakat, kakek itu lalu mengangkat Siang In menjadi muridnya.

   Biarpun sudah bercerai dari isterinya, yaitu Nenek Durganini, namun sesungguhnya Kakek See-thian Hoat-su masih mencinta isterinya atau bekas isterinya itu. Maka ketika dia mendengar bahwa isterinya datang dari barat untuk membantu dan dapat dikatakan diperalat oleh muridnya yang jahat, yaitu Tambolon, See-thian Hoat-su menjadi tak senang hati dan dia pun lalu membayangi bekas isterinya itu untuk mencegah isterinya terseret dalam kejahatan. Inilah sebabnya mengapa kakek itu muncul di dalam perayaan pesta pernikahan Tambolon dan mengacau sehingga pernikahan paksaan itu gagal. Kini, mendengar bahwa Tambolon dan bekas isterinya itu pergi ke kota raja, diam-diam dia pun mengajak murid barunya, Teng Siang In untuk membayangi.

   Melihat betapa isterinya menggunakan ilmu sihir menculik Syanti Dewi, dia segera turun tangan menolong gadis itu dan hal ini dilakukannya bukan sekali-kali karena dia suka mencampuri urusan orang lain melainkan semata-mata karena dia hendak mencegah isterinya terseret oleh muridnya melakukan perbuatan jahat. Demikian pula halnya ketika dia mengacau di dalam pesta Tambolon. Hanya karena mengingat kepada isterinya sajalah maka kakek ini mau campur tangan karena biasanya dia sudah tidak sudi lagi mencampuri urusan dunia yang hanya mendatangkan pertentangan dan permusuhan. See-thian Hoat-su yang melarikan Syanti Dewi itu telah tiba di dalam hutan kecil itu dan langsung dia menghampiri sebuah kuil rusak yang kosong dan sisa dindingnya sudah penuh dengan lumut hijau.

   "Siang In...., muridku yang baik, kau lekas keluarlah....!"

   Kakek itu berteriak dengan suara gembira. Terdengar suara orang menjawab dari dalam kuil tua dan Syanti Dewi ingin sekali melihat macam apa orangnya yang menjadi murid kakek aneh ini. Kemudian dari dalam kuil itu tampak sesosok bayangan orang melangkah keluar dan Syan-ti Dewi terbelalak melihat bahwa orang ini bukan lain adalah nenek hitam berpakaian hitam yang telah menyihir para pengawalnya malam tadi! See-thian Hoat-su juga terkejut sekali, akan tetapi kakek ini terkekeh dan berkata,

   "Isteriku yang baik, engkau sudah menyusulku ke sini? Mana muridku?"
(Lanjut ke Jilid 48)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 48
"Siapa isterimu? Siapa muridmu?"

   "Engkau isteriku.... yang baik, yang tercinta, yang...."

   "Cukup! Kita sudah bercerai dan aku sudah nenek-nenek, engkau sudah kakek-kakek, tidak ada gunanya merayuku lagi."

   "Ahhhh, galak amat....! Durganini, di mana muridku?"

   Kakek itu bertanya dengan alis berkerut, agak khawatir juga sungguhpun dia tahu bahwa isterinya ini tidak akan mengganggu orang begitu saja.

   "Muridmu siapa?"

   "Ah, jangan main-main. Tentu saja Teng Sian In...."

   "Dia? Huh, engkau lancang mulut, enak saja mengaku murid. Dia muridku, tahu?"

   "Hah....?"

   Kakek itu melongo dan cepat dia menguasai keheranannya, ingat bahwa sekali dia terheran, akan mudah untuk jatuh di bawah pengaruh sihir isterinya yang dalam hal ini lebih kuat daripada dia itu.

   "Apa maksudmu?"

   "Maksudku? Kau lihat dan dengar sendiri! Siang In....! Muridku yang baik, kau keluarlah!"

   "Baik, Subo!"

   Terdengar jawaban nyaring dan tak lama kemudian muncullah seorang dara remaja cantik manis yang memandang kepada kakek itu dengan senyum lebar dan kemudian memandang kepada Syanti Dewi dengan sinar mata penuh keheranan.

   "Eh, Enci ini siapakah? Begini cantik jelita seperti bidadari....!"

   Begitu melihat Siang In, Syanti Dewi sudah merasa senang sekali. Akan tetapi hatinya terlampau gelisah melihat nenek itu sehingga dia diam saja memperhatikan kedua orang tua itu. Tak disangkanya bahwa kakek yang menolongnya ini malah suami dari nenek itu, atau setidaknya bekas suami! Sementara itu, See-thian Hoat-su yang tadinya menyangka bahwa tentu muridnya telah terjatuh ke dalam kekuasaan sihir isterinya, begitu melihat muridnya, menjadi makin terheran-heran karena ternyata benar olehnya bahwa muridnya itu sama sekali tidak di bawah pengaruh sihir!

   "Siang In, apa maksudmu? Mengapa engkau mengangkat guru kepadanya?"

   "Kepada siapa, Suhu? Maksudmu kepada Subo ini?" "Ya. Kenapa? Bukankah engkau sudah menjadi muridku?"

   Kakek itu menuntut.

   "Karena aku menjadi murid Suhu, maka aku adalah muridnya juga, bukan? Engkau adalah suhuku (Bapak Guru) dan dia adalah suboku (Ibu Guru). Aku sudah mendengar bahwa Suhu telah meninggalkan Subo. Jahat sekali itu!"

   "Ihh, anak kecil kau tahu apa? Hayo kau ikut aku pergi."

   "Tidak, Suhu. Aku mau ikut pergi dengan Suhu kalau bersama subo. Kalau tidak, biar aku ikut Subo saja, sama-sama perempuan."

   "Wah, apa-apaan ini?"

   Kakek itu menggaruk kepalanya.

   "Celaka sial dangkalan! Kenapa aku mengambil murid seorang perempuan? Sekarang aku dikeroyok!"

   "Bagaimana, Suhu? Kalau Suhu mau berbaik kembali dengan Subo, aku mau ikut Suhu, kalau tidak, biar aku ikut dengan Subo."

   Kakek itu membanting-banting kakinya.

   "Cari penyakit! Dahulu, hanya dengan seorang perempuan di sampingku, hidup sudah banyak repot, sekarang malah ada dua ekor! Cari penyakit!"

   "See-thian Hoat-su, banyak lagak engkau!"

   Durganini menudingkan tongkatnya.

   "Kalau begitu, pergilah tinggalkan kami, jangan sampai bangkit marahku dan kukutuk engkau menjadi monyet nanti!"

   "Sudahlah!"

   Kakek itu menghela napas panjang.

   "Dasar nasibku, tua-tua cari perkara. Aku mau menurut, kita bersama lagi, akan tetapi hanya dengan satu syarat yaitu kalian harus meninggalkan Tambolon dan ikut dengan aku ke tempat sunyi. Jangan membikin dunia yang sudah kacau menjadi makin kacau lagi. Bagaimana?"

   "Setuju!"

   Siang In bersorak.

   "Selamanya aku memang hidup di tempat sunyi, dahulu dengan enciku, sekarang dengan Suhu dan Subo, tentu lebih ramai."

   "Bagaimana, Durganini?"

   Kakek itu menuntut. Aneh! Nenek itu menundukkan muka seperti seorang gadis diajak kawin, kemalu-maluan dan hanya terkekeh dan mengangguk-angguk! Kakek itu tertawa bergelak lalu menggandeng tangan Durganini di sebelah kanan dan tangan muridnya di sebelah kiri.

   "Kalau begitu, hayo kita pergi, tunggu apa lagi?"

   "Eh, nanti dulu.... Enci, mari kau ikut bersama kami saja....!"

   Siang In berseru sambil menoleh kepada Syanti Dewi. Akan tetapi Syanti Dewi yang merasa ngeri menyaksikan adegan aneh itu dan seolah-olah menghadapi orang-orang gila, tentu saja tidak mau dan menggeleng kepala. Dan tiba-tiba dia melihat asap hitam mengepul yang menelan tiga orang itu lenyap dari pandangan matanya. Dia tertegun dan kagum bukan main. Kiranya banyak benar orang-orang pandai di dunia ini. Akan tetapi setelah kakek itu pergi, dia teringat akan keadaan dirinya dan timbullah kekhawatirannya. Biarpun nenek itu sudah tidak ada lagi, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana jadinya dengan dua losin orang pengawal itu, apakah masih di bawah pengaruh sihir nenek itu sehingga bahkan berbalik hendak menangkapnya. Teringat ini, dia mengambil keputusan untuk pergi sendiri saja melanjutkan perjalanannya ke barat.

   Dengan hati lega Ceng Ceng dan Topeng Setan tiba di sarang perkumpulan di mana Ceng Ceng menjadi ketuanya itu. Mereka sudah melihat beberapa orang anak buah menyambut kedatangan mereka dengan muka gelisah. Karena Topeng Setan masih menderita luka parah dan tubuh membutuhkan perawatan baik, maka dia tidak begitu memperhatikan keadaan di situ, dan Ceng Ceng yang merasa lega hatinya bahwa akhirnya mereka tiba di tempat persembuyian ini, segera bersama Topeng Setan memasuki rumah besar yang selama dia berada di situ menjadi tempat tinggalnya. Heran juga dia melihat rumah itu demikian sunyi, padahal hari sudah agak siang. Tidak nampak ada pelayan dan penjaga menyambutnya.

   Mereka terus saja memasuki ruangan dalam dan tiba-tiba keduanya tertegun ketika melihat munculnya belasan orang yang warna mukanya aneh-aneh, mengurung ruangan itu sehingga mereka berdua terkurung di tengah-tengah oleh orang-orang yang bersenjata itu! Kaget sekali hati Ceng Ceng karena dia mengenal orang-orang ini sebagai anak buah Hek-tiauw Lo-mo, yaitu orang-orang Pulau Neraka yang memiliki kepandaian tinggi. Topeng Setan juga terkejut sekali dan tiba-tiba muncullah dari balik pintu dalam dua orang yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka berada di tempat itu. Mereka adalah Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui! Melihat wanita yang bersama dengan Kian Bu di Telaga Sungari dan yang telah memperebutkan ular naga dengan dia, Ceng Ceng menjadi marah, memandang dengan mata terbelalak dan dia menudingkan telunjuknya sambil membentak,

   "Kalian iblis laki perempuan berada di sini mau apa?"

   "Ha-ha-ha-ha, selamat bertemu, Nona Ceng! Selamat datang di tempat perkumpulan kami."

   "Apa maksudmu, Hek-tiauw Lo-mo?"

   Ceng Ceng membentak.

   "Aku adalah Bengcu di tempat ini!"

   Ceng Ceng memberi isyarat dengan tepuk tangannya untuk memanggil anak buahnya, akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani muncul.

   "Ha-ha-ha-ha! Tempat ini telah menjadi tempatku, Nona yang baik. Akan tetapi mengingat persahabatan antara kita, aku mau mengembalikannya kepadamu dan mengampunimu kalau engkau suka menyerahkan anak ular naga itu kepadaku."

   "Jangan mimpi! Mustika itu telah berada di dalam perutku...."

   "Tidak.... tidak...., kami tidak berhasil mendapatkan anak naga itu...."

   Topeng Setan cepat berseru dengan wajah membayangkan kekhawatiran, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo tertawa lagi.

   "Kau hendak membohongiku? Ha-ha, kulihat cahaya racun sudah lenyap dari wajahnya, hal ini berarti darahnya sudah bersih. Akan tetapi.... darah dan dagingnya masih sepenuhnya mengandung khasiat mustika itu sebelum lewat empat puluh hari, dan kau datang menyerahkan diri padaku, ha-ha-ha....!"

   "Hek-tiauw Lo-mo, kau tidak bisa berbuat sekeji itu!"

   Tiba-tiba Topeng Setan membentak marah dan tangan kanannya dikepal keras-keras.

   "Engkau tidak boleh mengganggu dia!"

   "Ha-ha-ha, siapa yang tidak memperbolehkan? Engkau dengan lenganmu yang sudah buntung sebelah? Ha-ha-ha! Mari, Nona manis, kau ikutlah dengan aku, ha-ha!"

   Hek-tiauw Lo-mo yang kegirangan melihat munculnya orang yang ditunggu-tunggu itu menggapai kepada Ceng Ceng. Nona ini tenang-tenang saja dan dia masih belum mengenal bahaya. Dengan sabar dia berkata,

   "Hek-tiauw Lo-mo, apakah kau benar-benar tidak mempunyai perikemanusiaan lagi? Puterimu demikian cantik dan berbudi, akan tetapi apakah engkau begitu kejam untuk mengganggu kami? Kau lihat, dia terluka parah dan perlu beristirahat, perlu dirawat luka-lukanya. Dan percuma saja engkau mengganggu kami karena anak ular itu sudah kuhabiskan semua. Biar engkau akan membunuh aku pun engkau tidak akan bisa mendapatkan anak ular naga itu."

   "Aihh, Ceng Ceng.... kau.... kau tidak tahu...."

   Topeng Setan mengeluh.

   "Dia memang bukan manusia, dia lebih jahat daripada iblis, lebih keji daripada seekor binatang yang paling buas. Dia menghendaki daging dan darahmu...."

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Wajah Ceng Ceng menjadi pucat sekali dan sambil berteriak marah dia lalu menerjang ke depan, menghantam ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi dengan amat mudahnya Ketua Pulau Neraka itu mengelak dan tiba-tiba Ceng Ceng merasa betapa punggungnya sakit sekali dan dia roboh pingsan. Ternyata bahwa ketika dia menyerang Hek-tiauw Lo-mo yang tentu saja menganggap ringan ilmu silatnya, dari belakang Hong Kui telah menotoknya.

   "Kalian tidak boleh mengganggunya!"

   Topeng Setan membentak dan tubuhnya mencelat ke depan dengan kecepatan kilat dan tangannya yang tinggal sebelah itu berkelebat. Bukan main cepatnya gerakan tangannya dan tenaga yang terkandung di dalam tangan ini juga amat besar, mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. Hong Kui terkejut dan membalik sambil menangkis.

   "Bresss....!"

   Tubuh wanita cantik ini terlempar ke belakang menabrak tembok dan kalau saja dia tidak memiliki kepandaian tinggi, tentu tulang-tulangnya akan remuk. Akan tetapi dia sudah mengerahkan sin-kangnya dan ketika tubuhnya menabrak dinding, dia sudah membulatkan tubuh dan menggelinding di atas lantai. Wanita ini selamat, akan tetapi dia kaget dan marah bukan main, mukanya merah, matanya melotot dan jantungnya masih berdebar tegang karena hampir saja dia celaka dalam sekali gebrakan saja! Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah menerjang maju, mengerahkan tenaganya dan menggunakan Ilmu Pukulan Hek-coa-tok-ciang yang ampuh. Pada saat itu, Topeng Setan baru saja menderita kehilangan lengan kiri.

   Ketika hal itu terjadi, dia sedang bergulat dengan maut dalam air, maka dia telah kehilangan banyak darah dan tubuhnya masih lemah. Apalagi karena baru saja kehilangan lengan kiri, gerakannya menjadi kaku dan canggung. Oleh karena itu, biarpun dia masih mampu menangkis beberapa pukulan Hek-tiauw Lo-mo dan mengelak cepat ketika Mauw Siauw Mo-li juga menerjangnya dengan penuh kemarahan, akan tetapi karena sebagian perhatiannya juga tercurah kepada Ceng Ceng dengan penuh kegelisahan melihat dara ini rebah terlentang dalam keadaan pingsan, maka lewat belasan jurus saja dia sudah roboh oleh hantaman tangan kanan Hek-tiauw Lo-mo yang mengenai punggungnya. Sekali dia roboh terhuyung, Mauw Siauw Mo-li juga menotok pundak kanannya. Seketika Topeng Setan merasa betapa lengan kanannya setengah lumpuh dan dia roboh terguling.

   "Ceng Ceng....!"

   Biarpun dia sudah roboh, Topeng Setan berusaha untuk bangkit sambil memandang ke arah Ceng Ceng dengan penuh kekhawatiran. Dia maklum manusia macam apa adanya Hek-tiauw Lo-mo dan membayangkan betapa dara itu akan diganyang dagingnya dan diminum darahnya oleh Hek-tiauw Lo-mo yang sangat menginginkan khasiat dari anak ular naga,

   Dia merasa ngeri dan khawatir sekali. Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui yang merasa marah bukan main karena tadi dibuat terlempar menubruk tembok oleh Topeng Setan, menghampiri orang aneh itu. Dia memang sudah merasa amat kagum dan heran ketika menyaksikan sepak terjang Topeng Setan ketika terjadi perebutan anak ular naga, kagum betapa laki-laki ini dalam keadaan terluka hebat, buntung lengan kirinya, masih mampu merampas anak ular naga itu, bahkan mampu membawa Ceng Ceng lari sehingga tidak dapat ditangkap oleh sekian banyaknya orang lihai di Telaga Sungari. Kini, dia merasakan sendiri keampuhan tangan yang tinggal sebelah itu, maka timbul keinginannya untuk melihat bagaimana macam orangnya yang bersembunyi di balik kedok buruk itu.

   "Suheng jangan bunuh dia dulu. Aku ingin melihat wajahnya!"

   Dia berteriak ketika melihat Hek-tiauw Lo-mo hendak turun tangan membunuh Topeng Setan.

   "Hemm, sesukamu. Aku pun ingin melihat siapa dia!"

   Hek-tiauw Lo-mo berkata sambil terkekeh girang karena dia telah berhasil menangkap Ceng Ceng dan merobohkan Topeng Setan yang amat lihai itu. Lauw Hong Kui membungkuk, tangan kanannya meraih ke arah wajah Topeng Setan yang sama sekali tidak berdaya lagi itu, jari-jari tangan yang panjang dan halus itu sudah menyentuh topeng.

   "Tahan....! Enci Hong Kui, jangan kau buka topeng itu....!"

   Tiba-tiba Kian Bu yang baru muncul keluar berseru keras mencegah perbuatan Hong Kui itu. Mendengar suara Kian Bu, Hong Kui terkejut karena kekasihnya itu nada suaranya bersungguh-sungguh seperti orang marah. Tentu saja dia tidak ingin membuat kekasihnya marah kepadanya. Kalau hanya karena muka Topeng Setan dia harus menghadapi kemarahan kekasihnya yang mungkin akan mogok melayani nafsunya, dia akan rugi sekali! Kian Bu terkejut bukan main ketika melihat Ceng Ceng menggeletak di atas lantai. Kalau saja dia tidak terlambat muncul, tentu dia akan mencegah Ketua Pulau Neraka dan sumoinya itu menyerang Ceng Ceng dan pembantunya yang setia itu. Kini dengan langkah lebar dia menghampiri, alisnya berkerut dan dia menghadapi Hek-tiauw Lo-mo sambil berkata,

   "Lo-mo, aku melarang engkau mengganggu mereka! Ketahuilah, nona ini adalah keponakanku sendiri, dan Topeng Setan adalah pembantunya yang setia. Mereka berdua telah membuat jasa besar dalam membantu pemerintah. Aku terpaksa akan menentangmu kalau engkau mengganggu mereka. Enci Hong Kui, jangan engkau ikut-ikut suhengmu!"

   "Ha-ha-ha, Sumoi, matamu buta! Engkau memilih kekasih yang menentang kita. Orang muda, engkau sombong sekali. Kau kira mudah saja menentang Hek-tiauw Lo-mo?"

   Kakek itu sudah mengepal kedua tangannya dan terdengar suara berkerotokan. Ini merupakan tanda bahwa dia sudah marah sekali dan ingin menurunkan tangan maut kepada Kian Bu. Sebaliknya, pemuda dari Pulau Es itu pun memandang tajam, berdiri tegak dan siap untuk melakukan perlawanan terhadap musuh yang dia tahu amat lihai itu.

   "Tahan....! Jangan berkelahi....!"

   Mauw Siauw Mo-li berseru dan meloncat di tengah-tengah melerai mereka.

   "Suheng! Kian Bu! Jangan kalian berkelahi sendiri. Segala urusan dapat dirundingkan baik-baik, mengapa harus menggunakan kekerasan saling merusak? Kalian berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, kalau sudah saling gempur tentu ada seorang di antara kalian yang celaka."

   Hek-tiauw Lo-mo bukan seorang bodoh. Ucapan sumoinya ini menyadarkannya bahwa memang amat merugikan kalau dia bermusuhan dengan kekasih su-moinya ini. Dia tahu betapa lihainya putera Majikan Pulau Es ini dan dalam keadaan seperti sekarang ini, sebaiknya kalau dia tidak bermusuhan dengan pemuda yang telah dapat ditarik oleh sumoinya itu. Dan tentang Ceng Ceng yang telah ditawannya, juga Topeng Setan, dapat saja dia kuasai dengan jalan halus.

   "Ha-ha-ha, ucapan sumoi memang tepat juga. Orang muda, engkau mencinta dia, dan aku adalah suhengnya, sungguh tidak enak kalau antara kita bentrok sendiri. Aku akan menjadi malu hati terhadap sumoiku yang tinggal seorang ini!"

   Kian Bu menahan senyum dan melirik ke arah Ceng Ceng yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan dan Topeng Setan yang juga rebah tak berdaya karena tertotok.

   "Lo-mo, aku pun tidak hendak memusuhimu, akan tetapi kalau kau mengganggu mereka, terpaksa aku harus turun tangan."

   Hek-tiauw Lo-mo menarik napas panjang.

   "Aih, kau tentu mengerti betapa aku amat membutuhkan khasiat naga itu untuk menyempurnakan ilmuku yang masih setengah matang kulatih. Dan aku harus merampas kembali kitabku dari tangan Topeng Setan ini. Akan tetapi biarlah hal itu kita lakukan dengan halus dan membujuknya untuk mengembalikan kitab. Adapun tentang nona ini dengan khasiat anak naga, biar sementara waktu kita tidak usah bicarakan dulu. Akan te-tapi aku pun tidak akan membebaskan mereka sebelum kitab itu dikembalikan kepadaku. Sumoi, kau yang bertanggung jawab kalau sampai nona ini melarikan diri. Nah, kau boleh membawa dia ke kamar dan menjaganya. Topeng Setan akan kumasukkan tahanan dan dijaga keras."

   Tanpa menanti jawaban, Hek-tiauw Lo-mo menyambar tubuh Topeng Setan dan membawanya ke dalam tahanan di mana dia memerintah-kan anak buah Pulau Neraka untuk menjaganya. Lengan yang tinggal sebelah itu dipasangi belenggu baja yang arnat kuat, demikian pula kedua pergelangan kakinya. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar, Hek-tiauw Lo-mo yang sudah berjanji itu tidak memperbolehkan anak buahnya membuka topeng buruk itu. Sementara itu, Lauw Hong Kui mem-bujuk kekasihnya untuk bersabar dan dia memondong tubuh Ceng Ceng yang masih pingsan ke dalam sebuah kamar dan menjaganya. Dapat dibayangkan betapa bingung rasa hati Kian Bu.

   Dia ingin sekali menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan, akan tetapi dia maklum bahwa dalam keadaan tidak berdaya seperti itu, dia tidak mungkin seorang diri saja membebaskan mereka karena dia harus menghadapi Hek-tiauw Lo-mo yang lihai dan banyak anak buahnya. Selain itu, juga dia merasa sungkan untuk bermusuhan dengan kekasihnya yang dia tahu terpaksa tentu akan berpihak kepada suhengnya. Maka dia mengandalkan cinta kasih wanita itu kepadanya untuk dapat membujuk agar Hek-tiauw Lo-mo tidak mengganggu kedua orang tawanan itu sebelum dia mampu menyelamatkan mereka. Suma Kian Bu termenung di dalam kamarnya. Hatinya gelisah sekali dan pikirannya ruwet. Batinnya sadar bahwa dia telah tersesat, telah menuruti nafsu berahi dan membiarkan dirinya tenggelam ke dalam kenikmatan duniawi yang sebetulnya mengandung racun-racun berbahaya.

   Akan tetapi, setiap kali dia membayangkan kesenangan dan kenikmatan yang dialaminya bersama Hong Kui, dia menjadi lumpuh dan tidak mampu meninggalkan wanita itu. Dia merasakan dirinya seperti seekor semut yang terjatuh ke dalam secawan madu. Manisnya madu itu memabokkan, akan tetapi telah menggulung dan membuat dia melekat tak mampu melepaskan diri, bergulung dalam kemanisan dan kenikmatan biarpun dia maklum bahwa keselamatannya terancam. Hendak melepaskan diri, sayang akan kenikmatannya, hendak melanjutkan menikmati kesenangan, sadar bahwa dia tersesat! Tiba-tiba dia mendengar suara sesuatu di jendela kamarnya. Daun jendela itu diketuk orang dari luar! Dia terheran-heran mengapa dia tidak dapat mendengar ada orang mendekati jendelanya dan tahu-tahu jendela itu diketuk dari luar!

   Dengan sikap waspada dan siap-siap Kian Bu mendekati jendelanya dan membuka palangnya lalu mendorong jendela terbuka. Betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat seorang pemuda sudah berdiri di luar jendela dan pemuda itu tentu saja dikenalnya baik karena dia bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Dengan pandang mata tajam penuh selidik Tek Hoat memberi tanda dengan telunjuk di depan bibir agar Kian Bu tidak membuat gaduh, kemudian dengan gerakan ringan sekali dia meloncat memasuki kamar Kian Bu. Wajah pemuda ini masih pucat, agaknya luka-luka yang dideritanya ketika dia dikeroyok oleh Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo yang berhasil dia robohkan dan tewaskan itu masih belum memulihkan semua kesehatan tubuhnya.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat yang terluka hebat sekali telah diangkut ke kota raja oleh Puteri Milana dan di sana mengalami perawatan dan pengobatan. Akan tetapi, ketika Tek Hoat mendengar bahwa musuh besarnya, Gak Bun Beng, masih hidup, semangatnya timbul dan biarpun kesehatannya masih belum pulih, badannya masih lemah, dia nekat meninggalkan istana Puteri Milana untuk pergi mencari musuh besarnya itu. Juga dia pergi dengan jantung seperti ditusuk rasanya karena dia melihat bahwa Syanti Dewi, Puteri Bhutan yang telah merampas hatinya dan telah membuat dia tergila-gila itu, ternyata mencinta Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti. Dia maklum bahwa dirinya memang tidak berharga sama sekali bagi puteri itu dan dia sudah merasa berbahagia bahwa dia telah berhasil menyelamatkan puteri yang dicintanya dengan diam-diam itu dari bahaya.

   Karena kesehatannya belum pulih, Tek Hoat tidak pergi jauh meninggalkan kota raja dan kemudian dia teringat akan dusun Nam-lim di mana dia membantu Ceng Ceng yang menjadi bengcu kaum sesat di sana. Mengingat bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan meninggalkan tempat itu, Tek Hoat lalu pergi ke sana dengan niat untuk mencari saputangannya yang membuat dia teringat akan sumpahnya kepada Ceng Ceng, dan juga untuk beristirahat dan memulihkan tenaganya. Akan tetapi, ketika pagi hari itu dia tiba di sebuah hutan tidak jauh dari Nam-lim, dia mendengar jerit seorang wanita. Biarpun dia merasa enggan untuk mencampuri urusan orang lain, apalagi karena tubuhnya masih lemah, namun bangkit juga rasa penasaran di dalam hatinya dan dia cepat mengejar ke arah datangnya suara itu. Jerit tertahan yang hanya satu kali seperti jerit wanita yang mengalami kekagetan.

   Dengan bersembunyi di balik sebatang pohon besar, Tek Hoat memandang ke depan kuil rusak di mana terdapat belasan orang yang dikenalnya sebagai raja liar Tambolon dan dua orang pengawalnya yang terkenal itu bersama anak buahnya. Dan hampir Tek Hoat mengeluarkan teriakan kaget dan marah ketika dia melihat seorang dara berdiri di tengah-tengah pengurungan mereka, dan dara yang matanya terbelalak lebar dan mukanya pucat karena kaget itu bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi! Tek Hoat menggosok-gosok kedua matanya. Tak salah lagi. Puteri itu adalah Puteri Bhutan yang selama ini tak pernah dilupakannya sedetikpun juga! Akan tetapi bagaimana puteri ini bisa berada di dalam hutan, seorang diri di depan kuil tua dan kini dikurung oleh Tambolon dan orang-orangnya?

   Seperti kita ketahui, Puteri Bhutan ini berada di depan kuil tua seorang diri setelah dia ditinggalkan See-thian Hoat-su yang mengajak pergi isterinya, Durganini dan muridnya, Teng Siang In di tempat itu, tiba-tiba datang Tambolon dan anak buahnya sehingga Syanti Dewi terkejut sekali dan mengeluarkan suara menjerit tadi yang terdengar oleh Tek Hoat. Setelah dia merasa yakin bahwa dara itu adalah Puteri Syanti Dewi, Tek Hoat merasa ada hawa panas naik dari pusarnya terus sampai membuat mukanya menjadi panas dan merah. Ada orang-orang berani mengganggu Syanti Dewi di depan hidungnya! Sekali meloncat, tubuhnya melayang dan tahu-tahu dia telah tiba di depan pengurungan itu, di dekat Syanti Dewi yang menjadi girang sekali melihat pemuda ini.

   "Tek Hoat....!"

   Dalam girangnya melihat betapa dalam keadaan terancam bahaya mengerikan itu tiba-tiba muncul pemuda yang pernah menolongnya dan yang tentu sekarang datang hendak menolongnya pula, Syanti Dewi segera menyambar lengan Tek Hoat. Merasa betapa lengannya disentuh oleh tangan dara itu, jantung Tek Hoat berdebar keras akan tetapi dengan halus dia melepaskan pegangan gadis itu sambil berbisik halus,

   "Harap paduka mundur dan berlindung di belakang saya...."

   Syanti Dewi menggigit bibirnya mendengar betapa pemuda itu menyebut pa-duka dan bersikap amat menghormatinya. Dia tidak berkata apa-apa lagi dan mundur di belakang pemuda itu, hatinya diliputi penuh kekhawatiran karena melihat sikap Tambolon dan anak buahnya yang mengancam. Memang Tambolon marah sekali ketika dia melihat munculnya Tek Hoat yang seperti setan tiba-tiba saja muncul di situ.

   "Ahh, bukankah engkau pemuda tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong?"

   Bentaknya.

   "Tidak perlu menggali urusan lama, yang penting adalah sekarang ini, Tambolon. Aku melarang engkau mengganggu puteri ini!"

   Tek Hoat berkata dengan suara nyaring dan yang nadanya penuh tantangan.

   "Pemuda sombong!"

   Tiba-tiba Yu Ci Pok, Si Siucai Maut itu membentak dan sudah menerjang ke depan dengan totokan jari-jari tangannya yang dilakukan se-cara beruntun ke arah tujuh jalan darah terpenting di tubuh bagian depan dari Tek Hoat.

   "Plak-plak-plak.... desss....!"

   Tubuh Siucai itu terlempar ke belakang bahkan sampai terbanting sehingga pinggulnya menimpa tanah dan debu mengebul dari tempat yang tertimpa pantatnya. Melihat betapa kawannya begitu mudah dirobohkan, Liauw Kui Si Petani Maut menjadi marah. Dia berseru keras dan pikulannya sudah menyambar-nyambar. Melihat serangan maut ini, Tek Hoat cepat mengelak dengan lincahnya dan balas menendang dari kiri yang juga dapat dielakkan oleh Si Petani Maut. Adapun Yu Ci Pok yang mukanya menjadi merah sekali karena terbanting tadi, kini juga sudah meloncat bangun, mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu sepasang poan-koan-pit dan bersama dengan Lauw Kui dia menyerang Tek Hoat Kalang kabut.

   "Hemm...., kalian hendak bertempur? Boleh, lihat pedang!"

   Tiba-tiba kelihatan sinar pedang bergulung-gulung mengerikan sekali. Itulah pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) yang amat ampuh, sebatang pedang yang dahulu menjadi milik iblis dari Pulau Neraka Cui-beng Koai-ong! Terdengar suara nyaring berkali-kali dan dua orang pembantu Tambolon itu melompat ke belakang dengan muka pucat karena senjata pikulan dan dua batang poan-koan-pit itu telah patah-patah terbabat sinar pedang Cui-beng-kiam.

   "Simpan pedangmu atau gadis ini akan kubunuh lebih dulu!"

   Tiba-tiba Tambolon berkata tenang. Tek Hoat terkejut, cepat dia memutar tubuhnya dan matanya terbelalak memandang Syanti Dewi yang sudah dipegang kedua lengannya ke belakang oleh Tambolon dan raja liar ini menempelkan pedangnya di leher Puteri Bhutan itu. Melihat ini lemaslah seluruh tubuh Tek Hoat.

   Tambolon memang seorang yang amat cerdik sekali. Dia telah melihat betapa lihainya pemuda ini ketika Tek Hoat dengan mudah membuat dua orang pengawalnya itu tidak berdaya hanya dalam waktu singkat saja. Dia tahu bahwa kalau dia sendiri maju dibantu dua orang pengawalnya dan para anak buahnya, belum tentu dia tidak akan dapat mengalahkan Tek Hoat, akan tetapi sebelum dia dapat merobohkan pemuda perkasa ini tentu pihaknya lebih dulu mengalami pukulan hebat, mungkin banyak pembantunya yang akan tewas. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi, apalagi dia memang mengharapkan bantuan pemuda ini. Maka dia telah mengambil cara yang dianggapnya paling mudah dan paling aman, yaitu mengancam Syanti Dewi. Muka Tek Hoat menjadi merah saking marahnya menyaksikan cara ini.

   "Tambolon, engkau sungguh manusia pengecut! Bebaskan Sang Puteri dan mari kita bertanding secara jantan!"

   Tambolon tersenyum mengejek.

   "Di antara kita tidak ada permusuhan, perlu apa saling hantam? Pula, aku ingin bicara denganmu, kau simpan pedangmu itu!"

   "Jangan mengira aku akan dapat kau gertak, hayo bebaskan atau aku akan mengamuk dan membunuh kalian semua!"

   "Ha-ha-ha, apakah kau kira aku anak kecil, Ang Tek Hoat? Bergeraklah dan pedangku akan memenggal leher yang halus ini!"

   Tambolon mengancam dan pedangnya yang menempel di kulit leher putih halus itu amat mengerikan. Memang Tambolon bukan melakukan perbuatan ini karena takut, melainkan dengan perhitungan yang sudah masak. Dia telah mendengar betapa pemuda ini, demi untuk menyelamatkan Syanti Dewi, telah berkhia-nat, membalik dan membunuh Pangeran Liong Khi Ong, Pak-thian Lo-mo, Lam-thian Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo. Hal ini membuat dia merasa yakin bahwa penodongannya terhadap Syanti Dewi sudah pasti akan berhasil baik dan membuat Tek Hoat tidak berani bergerak. Dan memang perhitungannya ini tepat sekali. Tek Hoat merasa seolah-olah dibelenggu kaki tangannya dan dia lalu menyimpan pedangnya.

   "Tambolon, kalau engkau mengganggu selembar rambutnya saja, aku bersumpah akan menyiksamu dan akhirnya membunuhmu sampai engkau menyesal telah dilahirkan di dunia ini."

   Ucapannya itu lirih akan tetapi mengandung ancaman yang mendirikan bulu roma. Tambolon sendiri yang mempunyai watak kejam, bergidik mendengar sumpah itu karena dia maklum bahwa orang macam pemuda ini tentu akan memenuhi ancamannya yang hebat itu. Pemuda seperti ini merupakan seorang musuh yang berbahaya dan mestinya, menurut watak dan kecerdikannya, dia harus membunuh pemuda ini sekarang juga. Akan tetapi dia ingin memanfaat-kan pemuda ini lebih dulu, karena dia mendengar pelaporan anak buahnya tadi bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan telah tiba di dusun Nam-lim dan celakanya telah terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo!

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 45 Pendekar Super Sakti Eps 43 Sepasang Pedang Iblis Eps 2

Cari Blog Ini