Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 55


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 55



"Ah, Panglima Thio Luk Cong yang dulu menjadi komandan di Ang-kiok-teng? Aku sudah mengenalnya pula!"

   Ceng Ceng berseru dan mereka berdua lalu disambut, dibawa menghadap kepada komandan benteng itu dan Jenderal Thio yang tahu bahwa gadis ini dan pembantunya telah membantu Jenderal Kao ketika membasmi pemberontak, segera menyambut dan menjamu mereka. Dengan gembira mereka makan minum dan Ceng Ceng menceritakan pengalaman-pengalamannya dahulu ketika dia menolong Jenderal Kao dan terjerumus ke dalam sumur maut sehingga disangka mati. Dia dengan terus terang menceritakan betapa dia ditolong oleh seekor ular besar dan oleh Ban-tok Mo-li diangkat menjadi murid, dan betapa akhirnya dia berhasil keluar dari neraka di bawah tanah itu. Jenderal Thio dan beberapa orang perwira tinggi yang menemani mereka makan minum mendengarkan dengan penuh kagum.

   "Sungguh aneh sekali ceritamu itu, Lihiap (Pendekar Wanita)!"

   Seorang perwira muda berseru kagum.

   "Dan di sini juga baru-baru ini terjadi hal yang lebih aneh lagi.... eh...."

   Tiba-tiba dia menoleh kepada Jenderal Thio dengan gugup karena merasa bahwa dia telah kelepasan bicara. Jenderal Thio tertawa sambil mengangguk-angguk.

   "Ciong-ciangkun, kita berhadapan dengan sahabat-sahabat baik, tidak ada halangannya menceritakan ke-anehan itu kepada mereka ini."

   Perwira itu lalu bercerita dengan hati gembira.

   Dia masih muda dan tentu saja dia amat kagum akan kecantikan dan kegagahan Ceng Ceng dan sebagai seorang pemuda yang normal, tentu saja ingin dia beraksi dan ingin menarik perhatian. Dan ceritanya memang aneh sekali. Kurang lebih seminggu yang lalu, terjadi hal yang amat mengherankan dan juga menakutkan hati para perajurit dan para perwira di benteng itu. Di benteng itu terdapat sebuah menara yang amat tinggi, akan tetapi menara ini sudah tua dan tidak dipergunakan lagi setelah menara-menara baru yang lebih baik dan berada di pojok-pojok benteng dibangun, dan tidak ada yang berani naik ke menara tua itu karena anak tangganya sudah banyak yang runtuh dan sudah tua, berbahaya sekali naik ke sana, bahkan tidak mungkin sampai di puncaknya karena anak tangga ke puncak itupun sudah runtuh semua.

   Akan tetapi pada suatu malam terdengar suara orang meniup suling di puncak menara itu dan kadang-kadang terdengar suara laki-laki bernyanyi dengan nada sedih! Biarpun para perajurit adalah orang-orang yang tidak mengenal takut dan sudah biasa menghadapi maut di medan perang, akan tetapi menghadapi keanehan ini mereka merasa ngeri dan takut! Apalagi karena menara ini terkenal sebagai tempat angker yang ada setannya karena dahulu pernah ada seorang perajurit yang tewas ketika sedang berjaga di puncak menara, tewas tanpa diketahui sebabnya. Kadang-kadang di tengah malam tampak ada bayangan berkelebat ke atas puncak atau turun dari puncak, bayangan yang demikian cepat gerakannya, sehingga tidak mungkin kalau bayangan manusia. Semua perajurit di benteng itu mengira bahwa itu tentulah bayangan hantu, bayangan roh penasaran dari perajurit yang mati berjaga itu.

   "Keanehan itu terjadi setiap malam sampai tiga hari yang lalu,"

   Demikian perwira muda itu melanjutkan ceritanya, tersenyum gembira penuh lagak ketika dia melihat betapa Ceng Ceng amat tertarik dan tanpa berkedip memandang kepadanya! Tentu saja Ceng Ceng tertarik sekali oleh cerita itu karena dia menyangka tentu bayangan itu adalah pemuda yang dicarinya.

   "Apakah sekarang dia masih berada di atas menara?"

   Otomatis dia bertanya. Perwira muda itu menggeleng kepala.

   "Sayang, hal itu berakhir tiga hari yang lalu. Pada tiga hari yang lalu, di benteng ini muncul seorang kakek yang luar biasa anehnya, punggungnya bongkok sekali...."

   "Ahhh....!"

   Ceng Ceng dan Topeng Setan berbareng mengeluarkan seruan kaget ini karena mereka sudah menduga siapa adanya kakek bongkok itu.

   "Dia datang dan bertanya kepada kami apakah kami melihat muridnya, seorang pemuda tinggi besar yang tampan.... dia datang di waktu lewat senja dan pada saat itu terdengar suara melengking dari atas menara, suara orang meniup suling dengan nada yang merawankan hati. Kami semua ketakutan, akan tetapi kami hendak mempermainkan kakek bongkok itu. Kami mengatakan bahwa murid yang dicarinya itu berada di atas menara!"

   "Hemmm...."

   Topeng Setan menggeram.

   "Kami tadinya hanya ingin main-main saja, akan tetapi siapa kira. Kakek yang kelihatannya bongkok dan lemah itu tiba-tiba menggerakkan lengan bajunya yang lebar dan.... dia terbang ke atas!"

   "Terbang....?"

   Ceng Ceng juga tertarik sekali dan tak disadarinya dia bertanya.

   "Ya, terbang! Dia terbang ke atas puncak menara yang amat tinggi itu! Tentu saja kami semua menjadi bengong dan ketakutan. Kiranya kakek itu pun adalah seorang hantu yang mencari kawannya! Suara suling itu berhenti dan tidak lama kemudian tampak dua sosok bayangan berkelebat, melayang turun dari puncak menara itu dan lenyap entah ke mana. Nah, sejak saat itu, tiga hari yang lalu, hantu-hantu itu tidak pernah muncul lagi."

   Perwira itu bergidik, merasa ngeri sendiri menceritakan peristiwa itu. Keadaan menjadi sunyi senyap. Jenderal Thio yang sudah berpengalaman luas lalu berkata,

   "Tentu saja cerita itu mungkin berlebihan, Nona. Menurut pendapatku, yang berada di menara itu adalah seorang kang-ouw yang aneh dan berilmu tinggi, dan bukan tidak mungkin bahwa kakek yang datang itu adalah gurunya."

   Ceng Ceng mengangguk-angguk.

   "Mungkin sekali.... bahkan, kuyakin begitulah!"

   Topeng Setan menoleh kepadanya dan Ceng Ceng juga memandangnya.

   "Bagaimana pendapatmu, Paman?"

   Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya kepada orang bertopeng itu.

   "Huh? Oh, mungkin sekali begitulah,"

   Akhirnya dia berkata seperti orang baru sadar dari lamunannya. Setelah mendengar cerita itu, Ceng Ceng melamun.

   Agaknya tidak keliru lagi, tentu pemuda laknat itulah pemuda yang bersuling, bernyanyi dan menulis sajak-sajak cinta gagal itu! Siapa lagi kalau bukan dia? Akan tetapi sekarang pemuda itu telah berkumpul dengan gurunya, Si Dewa Bongkok yang lihai dan tentu diajak pulang ke Istana Gurun Pasir. Jadi tepat dugaan Topeng Setan bahwa mencari pemuda itu harus di tempat tinggal gurunya. Akan tetapi, pemuda itu sendiri sudah begitu lihai. Apalagi kini ditambah gurunya dan mungkin tokoh-tokoh lain di Istana Gurun Pasir. Ceng Ceng melirik ke arah "pembantunya"

   Yang duduk melamun sambil memegang cawan arak karena mereka semua sudah selesai makan. Jagonya inilah yang diharapkannya, karena kalau dia seorang diri yang harus membalas dendam, baru menghadapi pemuda laknat itu saja tidak mungkin dia menang.

   Jagoannya ini makin lihai saja. Entah bagaimana agaknya tiap hari tambah maju saja ilmu kepandaian orang ini. Dapatkah Si Buruk Rupa ini menandingi Dewa Bongkok dan muridnya? Dapatkah Si Buruk Rupa ini diandalkannya? Si Buruk Rupa.... ah, buruk? Belum tentu! Pamannya ini belum tentu buruk, kalau bentuk tubuhnya sih gagah perkasa melebihi semua pria yang pernah dilihatnya! Ah, apa pula yang dipikirkannya ini? Ceng Ceng diam-diam memaki dirinya sendiri. Paman Topeng Setan ini sudah seperti ayahnya sendiri, gurunya sendiri, pelindungnya yang amat setia. Betapapun juga, mungkin karena pengaruh arak wangi yang amat lezat suguhan Jenderal Thio, Ceng Ceng melirik ke arah Topeng Setan, memandang dengan tajam ke arah topeng itu, menerka-nerka bagaimana bentuk wajah di balik topeng itu.

   Bagaimana sih rupa di balik topeng itu? Tiba-tiba pandang matanya seperti terasa oleh Topeng Setan. Dia menoleh dan balas memandang. Dua pasang mata bertemu dan Ceng Ceng tersipu-sipu melengos ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mencorong itu. Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan mereka meninggalkan benteng itu. Mereka berdua menolak ketika Jenderal Thio menawarkan dua ekor kuda untuk mereka, akan tetapi karena didesak-desak, akhirnya mereka menerima bekal buntalan yang terisi kain, roti kering, dan beberapa potong uang emas dan perak. Bekal seperti ini ada perlunya juga. Maka mereka tidak malu-malu kucing lagi untuk menerimanya, karena diberikan dengan hati yang tulus ikhlas.

   Ketika mereka tiba di dusun dekat Lembah Bunga Hitam, di mana orang-orang golongan beracun yang dipimpin Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek dulu tinggal, Ceng Ceng berhenti. Hatinya terharu mengingat tempat ini. Setelah dia keluar dari sebuah sumur, yang merupakan terowongan tembusan sumur maut, dia tiba di tempat ini dan melihat seorang pemuda tinggi besar, tampan dan gagah di dalam kerangkeng! Dia menuju ke sumur itu dan duduk termangu-mangu di situ, tidak mempedulikan Topeng Setan yang memandangnya dengan sedih. Masih terbayang oleh Ceng Ceng betapa dia menolong pemuda itu, melarikan kerangkengnya dan bersembunyi di dalam gua. Dia berusaha membebaskan pemuda itu dari dalam kerangkeng dan teringat dia betapa pemuda itu berkeras melarangnya! Betapa anehnya. Pemuda itu melarangnya membuka kerangkeng! Akan tetapi dia memaksa dan akhirnya kerangkeng terbuka dan....

   "Ahhh....!"

   Topeng Setan terkejut mendengar jerit tertahan ini. Dia cepat melompat mendekat dan Ceng Ceng baru sadar betapa dalam melamun tadi dia sampai mengeluarkan jeritan.

   "Kenapa, Ceng Ceng?"

   "Tidak apa-apa, Paman, aku hanya melamun dan teringat peristiwa dahulu. Di sinilah tempatnya, Paman. Di sinilah aku menolong pemuda laknat itu. Dia berada di sana itu, di dalam kerangkeng dan dijaga oleh beberapa orang anak buah Lembah Bunga Hitam. Aku keluar dari sumur ini di mana aku bersembunyi, dan aku melawan mereka, lalu aku membawa lari kerangkeng itu di mana pemuda laknat itu masih terkurung."

   Topeng Setan mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Tempat itu sekarang sunyi, tidak ada seorang pun manusianya dan pohon-pohon di situ tumbuhnya tidak sehat seperti dimakan penyakit atau daun-daunnya dimakan ulat. Padahal itu adalah akibat dari perang racun antara golongan Lembah Bunga Hitam dan golongan Pulau Neraka yang masing-masing mempergunakan racun-racun jahat.

   "Ceng Ceng, apakah sebelumnya engkau sudah mengenal pemuda itu?"

   "Sama sekali belum. Selama hidupku, baru satu kali itu aku melihat dia, di dalam kerangkeng itu."

   "Hemm.... kalau begitu.... kalau begitu mengapa engkau menolongnya? Apakah kau tahu mengapa dia di dalam kerangkeng?"

   Ceng Ceng mengerutkan alisnya, menyesal mengapa dia dahulu menolong pemuda itu!

   "Aku tidak tahu, akan tetapi melihat dia dikerangkeng seperti binatang itu, aku.... aku merasa kasihan. Maka aku lalu menolongnya. Aku dikejar dan aku melarikan kerangkeng itu ke sana, jauh ke sana di mana aku membawa kerangkeng itu bersembunyi di dalam guha."

   Topeng Setan menggeleng kepala.

   "Sunggguh aneh. Engkau baru saja mengenalnya, engkau tidak tahu pula mengapa dia dikerangkeng, dan kau sudah berani melarikannya dan menentang orang Lembah Bunga Hitam. Apakah yang mendorongmu senekat itu sehingga kau berani menentang bahaya untuk menolong orang yang tidak kau kenal?"

   Ceng Ceng termangu, lalu mengangguk-angguk. Terhadap Paman Topeng Setan ini, dia tidak akan menyimpan rahasia apa-apa lagi. Semua peristiwa itu pun sudah dituturkannya. Orang ini seperti ayahnya sendiri dan dia akan menceritakan apa pun, yang paling rahasia sekalipun.

   "Pertanyaanmu aneh, akan tetapi patut dipikirkan, Paman. Sudah kukatakan tadi bahwa mula-mula aku merasa kasihan kepadanya, kemudian, melihat wajahnya yang tampan dan gagah aku.... eh, terus terang saja, aku menjadi tertarik kepadanya. Dia sebetulnya gagah sekali, Paman. Belum pernah aku melihat pria segagah dia, gagah dan tampan...."

   "Tampan mana dibandingkan dengan.... Suma Kian Lee atau Pangeran Yung Hwa misalnya?"

   Tiba-tiba Topeng Setan bertanya.

   "Hemmm.... Paman Kian Lee dan Pangeran Yung Hwa juga tampan sekali, akan tetapi sesungguhnya, menurut pendapat hatiku, tidak ada yang dapat melawan daya tarik pemuda itu, dia gagah dan tampan, aku tertarik sekali, akan tetapi siapa nyana, di balik ketampanan dan kegagahannya itu ternyata bersembunyi moral yang bejat!"

   Hening sejenak dan Topeng Setan me-nundukkan mukanya, agaknya berpikir-pikir. Ceng Ceng terbenam ke dalam lamunannya sendiri. Sesaat kemudian, Topeng Setan bertanya,

   "Lalu bagaimana, Ceng Ceng?"

   "Setelah bersembunyi di dalam guha, aku lalu berusaha membuka kerangkengnya untuk membebaskannya, akan tetapi dia menolak dengan keras...."

   "Ehhh?"

   Topeng Setan terkejut.

   "Dia menolak? Mengapa? Dia akan kau bebaskan dan dia menolak? Mengapa?"

   "Dia menolak dengan keras ketika hendak kubuka kerangkeng itu. Pemuda itu mukanya merah padam dan beringas menakutkan, matanya merah dan agaknya dia berada dalam keadaan keracunan."

   "Hemmm.... lalu bagaimana?"

   "Aku paksa membuka kerangkengnya. Dia terbebas dan.... dan.... dia menubrukku, dia memeluk dan menciumiku...."

   "Hemmm, bedebah....!"

   "Akan tetapi dia mengeluh dan meloncat bangun, dia memandangku dengan mata merah, seperti orang berjuang keras dengan dirinya sendiri, meragu dan seperti hendak menyerang diri sendiri. Akhirnya dia meloncat keluar dari dalam guha! Aku masih rebah dengan jantung berdebar dan tubuh lemas. Pemuda itu kuat bukan main sehingga ketika ditubruknya tadi aku sama sekali tidak mampu melawan...."

   "Hem, dia lari katamu? Dia tidak mengganggumu lagi?"

   "Itulah yang tadinya kusangka. Hatiku sudah lega. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia muncul di depan guha, lalu dia menubrukku, aku meronta dan berusaha melawan sekuat tenaga, akan tetapi sia-sia, dia amat kuat dan dia.... dia menggagahi aku, dia.... dia memperkosaku.... Paman, ahhh, Paman...."

   "Anjing keparat! Jahanam busuk! Kau layak mampus!"

   Tiba-tiba Topeng Setan menampar kepalanya sendiri.

   "Plakkk....!"

   Dan dia roboh terpelanting.

   "Paman....!"

   Ceng Ceng terkejut dan menubruk.

   "Eh, Paman, mengapa....? Mengapa Paman menampar kepala sendiri?"

   Topeng Setan menyeringai kesakitan. Kalau saja dia tidak mempunyai tenaga mujijat dari Sin-liong-hok-te, sebelum ilmu mujijat ini dikuasainya, tentu dia sudah mampus sekarang terkena tangannya yang tadi memukul untuk membunuh! Dia sadar dan berkata,

   "Tidak apa-apa. Saking marahku tadi aku sampai lupa diri! Aku bersumpah, kau akan bertemu dengan dia, kau akan berkesempatan untuk melakukan hukuman sendiri kepadanya, Ceng Ceng. Terlampau enak baginya kalau dia mampus sebelum menerima siksaan dan hukumanmu. Aku akan menyerahkan dia ke depan kakimu!"

   "Tapi.... tapi.... bukankah itu sukar sekali, Paman? Dia telah dibawa pulang oleh Si Dewa Bongkok, apakah Paman mampu melawan mereka?"

   "Akan kuusahakan sampai titik darah terakhir agar engkau dapat menghukum si laknat itu, Ceng Ceng!"

   "Paman.... Paman.... engkaulah orang termulia di dunia ini!"

   Ceng Ceng men-jatuhkan dirinya merangkul kaki Topeng Setan dan berlutut. Dada yang bidang itu naik turun bergelombang ketika dia menunduk dan memandang kepala dara yang berlutut di depan kakinya itu. Kemudian dengan halus dia membangunkan Ceng Ceng.

   "Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan ke Istana Gurun Pasir, Ceng Ceng."

   "Nanti dulu, Paman. Aku.... aku ingin sekali.... menengok tempat itu. Sekali lagi...."

   "Tempat apa? Di mana?"

   "Guha itu...."

   "Ya Tuhan!"

   Topeng Setan berteriak dan memegangi kepalanya.

   "Kau.... kau malah ingin melihat tempat itu, tempat di mana perbuatan terkutuk, di mana kelaknatan itu terjadi?"

   "Aku ingin melihatnya sekali saja, Paman."

   Ceng Ceng mengangguk dan menunduk, malu kepada diri sendiri mengapa dia tidak menjauhi tempat itu dengan jijik, sebaliknya malah hendak menengoknya, seolah-olah tempat itu merupakan tempat kenangan yang indah! Topeng Setan menghela napas dan menurut saja, mengikuti gadis itu menuju ke guha jauh di depan. Ketika tiba di depan guha, Ceng Ceng memandang ke sekeliling, memejamkan matanya dan terbayanglah peristiwa itu. Dia menggigit bibir dan membuka kembali matanya, lalu dia melangkah perlahan-lahan memasuki guha besar itu. Tiba-tiba, dia berhenti, mukanya berubah pucat dan matanya terbelalak memandang ke depan.

   "Ada apa, Ceng Ceng?"

   Topeng Setan yang juga berhenti itu bertanya, suara orang ini agak gemetar, agaknya Topeng Setan yang sakti itu pun merasa serem memasuki guha ini!

   "Sssttt.... Paman.... ada asap.... tentu ada orangnya, jangan-jangan dia.... harap Paman waspada dan suka membantuku!"

   Ceng Ceng berindap masuk ketika melihat ada asap mengepul dari dalam guha itu. Tidak salah lagi, pikirnya. Dengan hati berdebar penuh ketegangan Ceng Ceng berindap-indap memasuki bagian yang paling dalam dari guha itu dan.... ternyata tempat itu kosong tidak ada orangnya. Hanya kelihatan ada bekas api unggun yang masih berasap dan ada beberapa potong pakaian wanita yang agaknya habis dicuci dan dibentangkan di situ. Tiba-tiba Topeng Setan berbisik,

   "Ssssttt.... mari keluar, ada suara orang di luar!"

   Mendengar ini, Ceng Ceng cepat membalik dan mengikuti temannya itu keluar guha dan mereka cepat bersembunyi di balik sebuah batu besar di depan guha itu. Kini Ceng Ceng juga mendengar suara itu, suara seorang wanita,

   "Aihh, kelinci gemuk, kau berani datang mengantar nyawa, ya?"

   Tentu saja Ceng Ceng terkejut sekali dan sudah siap menghadapi lawan sambil melirik Topeng Setan yang kelihatan tenang-tenang saja itu. Suara wanita itu disusul suara senandung merdu dan kini suara itu makin dekat. Tak lama kemudian, Ceng Ceng yang mengintai dengan hati tegang itu melihat seorang dara muda muncul dan sepasang mata Ceng Ceng terbelalak, mulutnya tersenyum ketika dia mengenal bahwa dara itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo! Dara cilik itu berjalan sendirian sambil bersenandung, wajahnya yang cantik itu kemerah-merahan dan berseri-seri, kedua tangannya memondong seekor kelinci putih gemuk yang agaknya dia tangkap di jalan tak jauh dari tempat itu.

   "Aihhh, kiranya engkau, bocah nakal!"

   Ceng Ceng yang entah mengapa dia sendiri tidak tahu menjadi lega hatinya karena tidak bertemu dengan si pemuda laknat, kini keluar dan menegur, diikuti oleh Topeng Setan dari belakang. Hwee Li terkejut bukan main sampai melemparkan kelinci ke bawah dan cepat dia menengok, sepasang matanya yang lebar jeli itu terbelalak.

   "Eh, kiranya Subo!"

   Teriaknya dan dia lari menghampiri Ceng Ceng dan memegang tangan gadis itu dengan sikap manja.

   "Subo, sudah terlalu lama aku menanti, mengapa Subo tidak lekas-lekas mengajarkan ilmu tentang racun kepadaku?"

   Ceng Ceng memang merasa suka kepada dara remaja ini, bukan hanya karena dia pernah ditolong dan dibebaskan, juga karena melihat dara ini cantik manis sekali dan berwatak polos dan periang serta jenaka, jauh berbeda dengan ayahnya yang kejam dan jahat. Maka dirangkulnya gadis cilik itu.

   "Kelak kalau aku sudah ada waktu, Hwee Li. Bagaimana engkau bisa berada di sini? Dengan siapa? Dan apakah kau tinggal di dalam guha itu?"

   Dara remaja itu cemberut, kelihatannya dia jengkel sekali.

   "Ayah selalu meninggalkan aku, Subo. Aku mencari jejaknya sampai ke sini, akan tetapi dia hilang lagi. Siapa tidak menjadi gemas mempunyai ayah seperti dia yang tidak mempedulikan anaknya? Semua ini gara-gara Bibi Lauw Hong Kui yang selalu menyeret Ayah ke dalam petualangan-petualangan itu. Subo, kau ajak aku, ya.... eh, siapa dia ini? Tentu jahat sekali, Subo."

   Hwee Li memandang kepada Topeng Setan dan kelihatan takut.

   "Dia ini Paman Topeng Setan, tidak perlu kau takut dan jangan mengatakan jahat karena dia adalah seorang pendekar besar,"

   Jawab Ceng Ceng. Akan tetapi Hwee Li masih memandang dengan penuh keraguan.

   "Seorang pendekar biasanya berwajah gagah, tidak seperti ini. Akan tetapi karena dia memakai topeng, aku percaya bahwa di balik topeng itu tentu tersembunyi wajah yang gagah. Paman, boleh aku membuka topengmu?"

   Dengan sikap lincah Hwee Li menghampiri Topeng Setan dan hendak membuka topeng itu. Tentu saja Topeng Setan melangkah mundur dan melindungi topengnya.

   "Hwee Li, jangan kurang ajar kau! Mundur!"

   Ceng Ceng membentak dan Hwee Li segera mundur dengan cemberut.

   "Boleh jadi dia pendekar besar, akan tetapi dia tidak adil dan penakut!"

   Dara remaja ini memandang kepada Topeng Setan dengan sikap menantang.

   "Hemm, Nona cilik, mengapa kau mengatakan aku tidak adil dan penakut?"

   Topeng Setan bertanya.

   "Engkau tidak adil karena kau bisa melihat dan mengenal wajahku dan wajah semua orang, akan tetapi sebaliknya aku tidak bisa melihat wajahmu. Apakah itu adil namanya? Dan biarpun Subo mengatakan kau seorang pendekar besar, mana bisa disebut gagah dan tidak penakut kalau kau selalu bersembunyi di belakang topeng?"

   Menghadapi dara cilik yang lincah dan pandai bicara ini, Topeng Setan kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ceng Ceng yang melihat ini segera maju menolong pendekar itu.

   "Hwee Li, diam kau, jangan cerewet. Aku tidak akan mengajakmu kalau kau cerewet!"

   Wajah dara cilik itu menjadi girang sekali. Dia cepat memegang lengan Ceng Ceng dan berkata,

   "Subo mau mengajakku? Ah, terima kasih, dan aku tidak akan berani nakal dan banyak cerewet lagi!"

   Ceng Ceng baru teringat bahwa dia sudah kelepasan bicara. Mengajak bocah ini hanya akan menghambat perjalanan saja. Akan tetapi dia sudah terlanjur bicara, maka dia lalu membelokkan persoalan dengan bertanya,

   "Jadi engkau sendirian di sini? Pakaian siapa di dalam guha itu?"

   Nona cilik itu tertawa, nampak deretan giginya yang putih seperti mutiara.

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Pakaianku, Subo. Tadi kucuci, sudah kotor sih! Lalu aku merasa lapar dan.... eh, mana kelinciku yang gemuk tadi?"

   Dia teringat kelincinya dan mencari-cari. Tentu saja binatang itu sudah sejak tadi melarikan diri tidak dapat ditemukan lagi.

   "Wah, celaka, rugi besar aku...."

   Dara remaja itu membanting kakinya jengkel.

   "Kau lapar, Nona? Kami membawa bekal roti kering dan daging dendeng kering...."

   Kata Topeng Setan menawarkan.

   "Benarkah? Wah, ternyata kau baik sekali, Paman,"

   Katanya melihat Topeng Setan pergi menghampiri belakang batu besar di mana tadi dia menaruh buntalannya, dan segera kembali membawa roti kering dan dendeng. Setelah makan roti kering dan minum air, Hwee Li lalu berkata,

   "Subo, sekarang Subo hendak mengajak aku ke mana?"

   Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Dia tadi sudah terlanjur berkata hendak mengajak bocah ini!

   "Kami berdua mempunyai urusan yang amat penting dan juga amat berbahaya, Hwee Li. Oleh karena itu, kau menanti saja di guha ini untuk beberapa lamanya. Setelah urusan kami selesai, aku pasti akan menjemputmu di sini."

   "Ah, aku sudah bosan di sini sendirian saja, Subo. Ajaklah aku seperti yang sudah Subo katakan tadi!"
Ceng Ceng merangkul pundak "muridnya"

   Itu.

   "Sungguh menyesal sekali, muridku yang baik! Kami menghadapi urusan yang sangat penting dan kami tergesa-gesa, kalau engkau kuajak sekarang, tentu akan memperlambat perjalanan...."

   "Wah, Subo tidak perlu memikirkan hal itu. Aku tidak akan ketinggalan biar Subo dan Paman ini menggunakan ilmu lari cepat seperti terbang sekalipun. Pendek-nya, asal Subo memperbolehkan aku ikut, Subo tidak perlu menggandeng atau menggendongku, dan aku pasti akan dapat mengikuti Subo, bahkan bisa pula mendahului kalau perlu!"

   Topeng Setan terkejut mendengar kata-kata yang sombong dan sikap yang jumawa itu.

   "Eh, Nona cilik, jangan main-main. Benarkah engkau akan dapat mengikuti kecepatan lari kami?"

   "Mengapa tidak? Eh, apa Paman pandai terbang?"

   "Terbang?"

   "Ya, terbang di angkasa."

   "Tentu saja tidak bisa!"

   "Nah, kalau begitu apa sukarnya mengikuti Paman dan Subo? Aku akan mengkuti kalian sambil terbang!"

   "Hwee Li, jangan main-main kau!"

   Ceng Ceng menegur.

   "Masa kau bisa terbang?"

   Anak perempuan yang manis itu tertawa. Ceng Ceng tidak mungkin bisa marah. Bocah ini sungguh sama sekali tidak pantas menjadi puteri Hek-tiauw Lo-mo yang menyeramkan itu. Begini manis dan wajar.

   "Subo, tentu saja aku tidak bisa terbang karena aku tidak mempunyai sayap. Akan tetapi burungku bisa dan ke mana-mana aku naik burungku itu."

   "Eh, mana burung itu?"

   "Dia galak sekali, kalau kupanggil sekarang mungkin akan menyerang Subo dan Paman ini. Nanti kalau Subo berdua sudah pergi, dia kupanggil dan aku akan mengikuti Subo. Bolehkah?"

   Ceng Ceng kini tidak dapat menolak lagi.

   "Sesukamulah. Akan tetapi engkau tidak boleh nakal dan harus menurut semua omonganku."

   "Baik, Subo. Baik, ah, Subo manis sekali!"

   Mau tidak mau Ceng Ceng tersenyum. Bocah ini memang menyenangkan dan andaikata dia masih memiliki ilmu-ilmunya yang beracun dari Ban-tok Mo-li pun dia tidak akan mau menurunkannya kepada bocah manis ini, karena ilmu itu terlalu keji.

   "Nah, kami akan melanjutkan perjalanan. Kalau burungmu tidak dapat membayangi kami, sebaiknya kau kembali saja ke sini dan dalam perjalanan pulang aku tentu akan menjemputmu di sini."

   Gadis cilik itu hanya mengangguk dan memandang ketika subonya dan Topeng Setan melanjutkan perjalanan menuju ke utara.

   Setelah mereka itu pergi jauh, barulah dia bersuit menyaring dan berkali-kali. Tak lama kemudian terdengar jawaban dari atas dan seekor burung rajawali hitam yang amat besar menyambar turun. Hwee Li tadi tidak membohong ketika mengatakan bahwa burungnya ini galak dan suka menyerang orang asing. Burung itu adalah hek-tiauw (rajawali hitam) dari Pulau Neraka yang oleh ayahnya ditinggalkan kepadanya untuk melindungi puterinya itu dan untuk mengantarnya kembali ke Pulau Neraka kalau dikehendaki oleh Hwee Li. Akan tetapi ternyata bocah ini tidak suka pulang ke Pulau Neraka, lebih senang berkeliaran ke mana-mana dan mengejar-ngejar ayahnya. Setelah mengambil pakaiannya dari dalam guha, Hwee Li meloncat ke atas punggung rajawali hitam.

   "Terbanglah, hek-tiauw dan ke sana....!"

   Dia menepuk leher burung itu yang segera meloncat dan membentangkan sayapnya, terbang cepat ke atas menuju ke utara, yaitu arah yang ditunjuk oleh nona cilik itu. Ceng Ceng yang berlari cepat bersama Topeng Setan mengharap agar "muridnya"

   Itu tidak benar-benar mengejarnya.

   "Heran sekali, engkau mempunyai murid seperti dia, puteri Ketua Pulau Neraka pula. Akan tetapi memang tidak bisa dielakkan lagi karena seperti telah kau ceritakan dahulu, dia telah menolong membebaskanmu, Ceng Ceng. Kulihat dia seorang bocah yang cerdik dan luar biasa sekali."

   "Memang, akan tetapi sekarang aku tidak bisa mengajak dia, tentu hanya akan menimbulkan kelambatan dan kerepotan saja. Mudah-mudahan dia tidak benar-benar mempunyai burung dan dapat menyusul seperti yang dibualkan."

   Hening sejenak, kemudian tiba-tiba Topeng Setan tertawa.

   "Kau terlalu memandang rendah muridmu itu. Lihat!"

   Dia menuding ke atas. Ceng Ceng mengangkat mukanya memandang dan benar saja, di atas mereka kelihatan seekor burung rajawali hitam besar sedang terbang lewat dengan cepat sekali.

   "Subo....! Hiiiii!!"

   Hwee Li bersorak dan melambaikan tangannya. Burung itu terbang berputar-putar dan terus mengikuti ke arah perginya Topeng Setan dan Ceng Ceng.

   "Luar biasa puteri Hek-tiauw Lo-mo itu!"

   Ceng Ceng berkata.

   "Mudah-mudahan saja dia tidak akan membikin keributan."

   Namun ternyata Hwee Li tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan keributan dalam perjalanan itu. Kalau malam tiba dan melihat subonya dan Topeng Setan beristirahat, dia pun menyuruh burungnya turun agak jauh dari situ, lalu membebaskan burungnya dan dia sendiri lalu menghampiri subonya, membantu subonya membuat api unggun, mencari binatang hutan untuk dipanggang dan dimakan bersama. Keesokan harinya, setelah subonya dan Topeng Setan berang-kat, dia memanggil hek-tiauwnya dan kembali naik ke atas punggung burung yang segera menerbangkannya mengikuti gurunya. Akhirnya, pada suatu siang, tibalah Ceng Ceng dan Topeng Setan di depan sebuah istana setelah melalui perjalanan melintasi gurun pasir selama setengah hari lamanya. Sungguh aneh sekali, di tengah gurun seperti ini, di tengah lautan pasir, terdapat sebuah bangunan besar yang begitu megah, kelihatan sunyi sekali dan karenanya kelihatan "angker"

   Dan keramat.

   "Hati-hati, Paman...."

   Ceng Ceng berbisik sambil melambaikan tangan ke atas. Hwee Li menyuruh burungnya menukik turun, kemudian setelah dekat Ceng Ceng berkata kepada muridnya sambil mengisyaratkan dengan tangannya,

   "Kau pergi agak jauh, jangan ikut turun di sini! Tunggu sampai kami keluar!"

   "Baik, Subo....!"

   Hwee Li menjawab dengan suara agak mengkal karena dari atas, istana itu kelihatan aneh dan indah, dan sebetulnya dia ingin sekali turun masuk. Akan tetapi karena dilarang subonya, maka dia lalu menyuruh burungnya terbang tinggi di atas dan berputaran di sekeliling istana itu.

   "Mari kita masuk, Paman...."

   Ceng Ceng berkata kepada Topeng Setan setelah melihat burung dan muridnya itu melayang tinggi dan jauh. Topeng Setan mengangguk dan mengikuti gadis itu yang melangkah masuk dengan hati-hati sekali. Istana itu kuno sekali, akan tetapi buatannya kokoh kuat dan amat indah, terbuat dari batu-batu berwarna sehingga kelihatan aneh dan mencolok di tengah gurun pasir yang tandus. Akan tetapi anehnya pula, di belakang dan samping kiri istana itu terdapat tanaman-tanaman berupa pohon-pohon dan bunga-bunga, cukup segar dan indah!

   Mereka berdua memasuki gang-gang dan lorong-lorong di dalam istana itu. Berliku-liku jalannya lorong-lorong itu, diapit-apit tembok tinggi yang penuh ukir-ukiran, berupa lukisan-lukisan dan huruf-huruf yang tidak dimengerti artinya oleh Ceng Ceng. Istana ini ternyata luar biasa luasnya, akan tetapi sungguh mengherankan hati Ceng Ceng mengapa dia tidak bertemu dengan seorang pun di dalamnya. Padahal istana itu mempunyai banyak sekali kamar-kamar, ruangan-ruangan dan halaman-halaman di mana terdapat tanaman-tanaman aneh, pohon-pohon yang tua sekali akan tetapi kate, tingginya hanya dua tiga kaki, diatur seperti sebuah taman yang indah dan di tengahnya terdapat kolam ikan emas dengan air memancar dari tengah-tengahnya! Dan melihat betapa bersihnya tempat itu, terawat baik, mustahil kalau tidak ada penghuninya.

   "Heran sekali, mengapa kosong, Paman? Apakah penghuninya sedang pergi?"

   Ceng Ceng berbisik.

   "Hemm.... mungkin begitu...."

   Jawab Topeng Setan, suaranya juga lirih setengah berbisik. Ceng Ceng bergidik. Topeng Setan biasanya begitu tabah menghadapi apa pun, akan tetapi sekarang mendengar suaranya seperti seorang yang merasa ngeri dan jerih! Apalagi dia. Dia sudah merasa serem dan longak-longok memandang ke sana-sini.

   "Sregggg....! Sregggg....!"

   Ceng Ceng terperanjat sampai terloncat ketika kesunyian melengang itu tiba-tiba dipecahkan suara yang amat nyaring ini, suara orang menyapu lantai dengan sapu lidi. Suara itu terdengar dari halaman yang baru saja mereka lewati, halaman di depan gedung perpustakaan, seperti yang tertulis di depan pintunya tadi. Mendengar suara ini, giranglah hati Ceng Ceng. Tentu itu seorang perawat atau pelayan rumah besar ini dan dapat ditanyai tentang Kok Cu si pemuda laknat. Maka otomatis kakinya bergerak, berlari cepat menuju ke halaman depan gedung perpustakaan itu. Akan tetapi begitu dia tiba di tempat itu, suara sapuan itu berhenti dan di situ kosong tidak nampak seorang pun manusia.

   Hanya dia melihat onggokan daun dan debu di sudut, bekas sapuan, padahal tadi ketika dia lewat di sini, daun-daun itu masih berserakan, Ceng Ceng berdiri termangu-mangu dan memandang ke kanan kiri. Tampak jelas bekas goresan sapu lidi di halaman yang cukup luas itu. Sungguh aneh bukan main! Halaman seluas itu, bagaimana mungkin disapu dalam waktu secepat itu? Dia baru saja mendengar suara menyapu dan terus lari menghampiri, akan tetapi tempat itu telah selesai disapu orang dan si penyapu ajaib itu telah lenyap. Bulu tengkuknya meremang. Hanya iblis saja yang mampu bekerja secepat ini, atau kalau manusia, tentu memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya. Keadaan yang sunyi itu, peristiwa yang amat aneh itu, menambah keseraman tempat yang demikian luas dan kosong. Ceng Ceng terlongong dan memandang ke arah bekas tempat yang disapu.

   Corat-coretan bekas sapuan itu aneh, tidak seperti biasa, melainkan malang melintang akan tetapi sangat teratur, setiap goresan bekas sapu lidi demikian panjang dan rata, lalu ujung-ujung goresan itu makin menipis dan lenyap akan tetapi semua tempat bersih seolah-olah semua kotaran itu terdorong oleh tenaga mujijat, bukan oleh lidi-lidi yang dijadikan satu menjadi sebatang sapu. Melihat jarak goresan-goresan itu, awal dan akhir gerakannya, Ceng Ceng terkejut karena gerakan-gerakan itu bukanlah gerakan orang menyapu biasa sambil membongkok sedikit, melainkan gerakan orang bermain silat yang aneh! Agaknya orang atau setan yang menyapu halaman ini tadi menyapu sambil bersilat! Dan semua "serangan"

   Ditujukan ke sudut halaman sehingga semua kotoran berkumpul dan menumpuk secara tepat di tempat itu. Bukan main!

   "Sreggg! Sreggg!"

   Ceng Ceng terloncat kaget dan kini lebih cepat dari tadi, dia meloncat dan berlarian ke arah suara orang menyapu di bagian depan, di halaman depan ruangan samadhi. Akan tetapi setibanya di tempat itu, dia hanya melihat berkelebatnya bayangan orang yang cepat sekali meninggalkan lapangan yang sudah disapu itu! Dia hendak mengejar, akan tetapi kembali sudah terdengar suara orang menyapu, kini di sebelah kiri. Dia lari mengejar ke tempat itu, hanya untuk mendapatkan halaman lain yang sudah bersih dan hanya tinggal ada bekas-bekasnya saja seperti tadi. Sampai lima enam kali dia dipermainkan suara orang menyapu ini sehingga dia merasa
(Lanjut ke Jilid 54)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 54
mendongkol bukan main.

   Agaknya orang itu bukannya menyapu, melainkan sengaja mempermainkan aku, demikian bisik hatinya yang panas. Dan dibandingkan dengan orang itu, kepandaiannya sendiri agaknya tidak ada artinya. Akan tetapi dia tidak takut. Kalau dia bertemu dengan pemuda laknat musuh besarnya itu di sini, dia sudah siap untuk menghadapinya dan menyerangnya mati-matian. Dia kini telah memiliki tenaga mujijat, khasiat anak naga itu. Di dalam perjalanan, dia sudah memperoleh petunjuk-petunjuk dari Topeng Setan sehingga kini sedikit demi sedikit Ceng Ceng sudah mampu memanfaatkan tenaga mujijatnya itu, sungguhpun belum seluruhnya dan belum sempurna. Menurut keterangan Topeng Setan, kalau dia sudah mampu menguasai seauruh tenaga mujijat itu, maka di dunia ini jarang ada yang akan mampu menandingi kekuatan sin-kangnya.

   "Paman...."

   Dan Ceng Ceng terkejut sekali, baru teringat sekarang bahwa sejak tadi dia meninggalkan Topeng Setan dan sejak tadi kawannya itu tidak ada lagi di belakangnya!

   "Ahh, di mana dia....?"

   Ceng Ceng memandang ke kanan kiri. Dia sampai lupa kepada Topeng Setan karena dia digoda oleh tukang sapu yang dikejarnya ke sana ke mari. Dia lalu mencari ke mana-mana, akan tetapi istana itu luas bukan main, banyak sekali lorongnya sehingga dia sudah lupa lagi di mana tempat dia meninggalkan kawannya itu tadi. Dia seolah-olah telah "dipancing"

   Untuk meninggalkan Topeng Setan. Celaka, pikirnya, tentu pihak musuh sengaja menggunakan siasat memecah-belah mereka berdua sehingga tidak dapat saling menjaga dan saling menolong!

   "Paman....!"

   Dia mulai berteriak memanggil sambil berlari ke sana-sini, hatinya penuh ketegangan. Dia memasuki setiap lorong, membuka setiap kamar yang amat banyak jumlahnya. Akan tetapi semua kamar kosong. Kosong dan sunyi melengang. Dia merasa panik dan serem, bulu tengkuknya meremang. Hari sudah mulai gelap agaknya, ataukah karena istana itu amat tinggi maka matahari yang sudah mulai condong ke barat itu terhalang sinarnya? Dia sendirian saja di istana yang angker ini, dan menghadapi tempok-tembok yang kokoh kuat dan tinggi itu, dia merasa dirinya amat kecil. Dia terus lari mencari-cari dan kini hatinya penuh rasa takut dan juga kagum. Kiranya di sebelah dalam istana ini luasnya bukan main, seperti sebuah kota saja.

   Ada tamannya, ada anak sungai dengan jembatan yang artistik, bangunan-bangunan kecil yang aneh bentuknya namun indah. Ceng Ceng mulai terengah-engah. Lalu dia mengambil keputusan untuk keluar saja dari istana yang menyeramkan ini. Di luar sana setidaknya ada muridnya, Hwee Li dan burung rajawali hitam itu. Dan di luar dia akan menanti Topeng Setan, atau mungkin sekali Topeng Setan sudah keluar lebih dulu karena melihat istana itu kosong dan menanti dia di luar. Mulailah Ceng Ceng berlarian mencari jalan keluar. Akan tetapi celaka! Lorong mana pun yang diambilnya, tidak membawanya ke luar! Jalan-jalan di situ amat aneh, berputar-putar dan dia tidak dapat keluar, bahkan memasuki bagian-bagian yang tadi belum pernah dilalui. Dia tersesat di dalam istana luas kosong itu!

   "Paman Topeng Setan....!"

   Dia berteriak-teriak karena hari makin gelap, suasananya makin menyeramkan. Akan tetapi, teriakannya itu kini bergema dan yang terdengar kembali hanya gema suara terakhir,

   "....setaaaann....!"

   Sehingga makin meremang bulu tengkuknya. Tengkuknya terasa dingin, seolah-olah setiap saat tengkuknya akan diraba dan dicekik tangan setan yang dingin! Ceng Ceng makin panik dan baru sekali ini dia merasa takut, takut karena jalan pikirannya yang mencipta yang bukan-bukan. Ceng Ceng adalah seorang gadis yang dalam beberapa tahun telah digembleng oleh pengalaman-pengalaman aneh mengerikan, bahkan beberapa kali dia menghadapi bahaya maut. Namun baru satu kali ini dia merasakan ketakutan yang lain lagi sifatnya, rasa takut yang timbul karena menghadapi hal yang membingungkan dan tidak dimengertinya.

   Lebih baik dia menghadapi seratus orang lawan yang mengeroyoknya dan dapat dilihatnya. Sekarang ini, dia tidak dapat keluar, seorang diri dan tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Padahal malam agaknya mulai tiba dan cuaca menjadi makin gelap. Ceng Ceng hampir saja menangis. Cuaca menjadi demikian gelapnya sehingga dia tidak berani lagi berlari-larian, hanya berjalan dengan mata terbelalak seperti mata seekor kelinci yang terkurung oleh jebakan. Tiba-tiba dia menahan napas. Tampak olehnya bayangan orang di seberang jembatan di depan sana, bayangan hitam yang memegang sebatang lilin bernyala. Cahaya lilin itu terlalu kecil sehingga dia tidak dapat melihat wajah pemegangnya. Rasa ngeri dan takutnya lenyap. Pasti bukan setan yang memegang lilin bernyala itu.

   Bayangan itu menggunakan api lilin, menyalakan lampu-lampu minyak yang berdiri di setiap sudut. Gerakannya ketika membuka penutup lampu, menyulut dan menutupnya kembali amat cepatnya dan api lilin itu bergerak-gerak. Ceng Ceng cepat menggerakkan kakinya mengejar. Akan tetapi orang itu makin cepat pula gerakannya, meloncat ke sana-sini, sulut sana-sini, lari ke depan, sulut lagi sana-sini, terus dikejar oleh Ceng Ceng dan akhirnya, setelah menyalakan lampu terakhir, orang itu meniup padam lilinnya dan lenyap! Ceng Ceng terpaksa berhenti, memandang ke sana ke mari. Sunyi melengang dan cahaya lampu-lampu minyak di sekitar tempat itu yang telah disulut oleh orang aneh tadi menciptakan suasana yang makin menyeramkan. Akan tetapi sedikitnya ancaman kegelapan sudah tidak ada lagi dan Ceng Ceng berbesar hati.

   Andaikata muncul apa pun musuh atau siluman, dia masih dapat menjaga diri di bawah sinar-sinar lampu yang muram akan tetapi cukup terang itu. Selagi dia termangu-mangu, tidak tahu betul apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh di sebelah kanan, suara orang bertempur! Ceng Ceng cepat berlari ke arah suara itu, dan akhirnya dia tiba di bawah sebuah bangunan tingkat dua. Dia melihat ke atas dan ternyata ada dua orang bertempur saling serang dengan serunya di atas genteng bangunan tingkat dua itu. Yang seorang adalah kakek-kakek yang bertongkat, melawan seorang laki-laki bermantel lebar yang menutupi hampir sekujur badannya yang tinggi besar. Agaknya laki-laki tinggi besar itu maklum akan kedatangan Ceng Ceng. Dia menoleh dan.... hampir saja Ceng Ceng menjerit. Itulah dia! Laki-laki berjubah lebar itu! Si pemuda laknat, tak salah lagi!

   "Keparat....!"

   Mulutnya mendesis dan Ceng Ceng hendak meloncat ke atas. Akan tetapi pemuda itu yang menoleh dan melihat Ceng Ceng, nampak terkejut lalu meloncat jauh ke depan melarikan diri, dikejar oleh musuhnya, kakek bertongkat. Melihat ini, Ceng Ceng terus melayang ke atas genteng dan mengejar pula ke arah kedua orang itu tadi berkejaran.

   Akan tetapi, gerakan mereka cepat bukan main dan di atas genteng-genteng istana, cuaca tidaklah seterang di bagian bawah yang sudah diterangi banyak lampu. Ceng Ceng terpaksa berhenti ketika dia kehilangan dua bayangan yang dikejarnya itu. Dia mengerahkan seluruh ketajaman telinga untuk mendengarkan. Benar, di kejauhan dia mendengar lagi suara orang bertempur. Cepat dia meloncat dan dari atas dia melihat ada satu orang dikeroyok tiga orang. Yang dikeroyok adalah seorang yang berjubah lebar tadi, si pemuda laknat, musuh besarnya. Karena Ceng Ceng tidak mempedulikan lain-lainnya, hanya mencurahkan seluruh perhatian terhadap si pemuda laknat, maka dia tidak peduli siapa yang mengeroyok itu dan dia langsung meloncat dari atas dengan maksud menyerang musuh besarnya sambil memaki,

   "Hendak lari ke mana kau?"

   Orang berselubung mantel atau jubah lebar itu menengok dan sekali ini Ceng Ceng dapat mengenal betul wajah yang gagah perkasa itu, wajah yang dahulu di dalam guha kelihatan kemerahan dan beringas, akan tetapi sekarang kelihatan terkejut. Orang itu mengeluarkan suara aneh di lehernya lalu meloncat dan melarikan diri lagi, dikejar oleh tiga orang musuhnya yang juga amat lihai dan memiliki gerakan-gerakan cepat bukan main sehingga kembali Ceng Ceng tertinggal jauh ketika mencoba mengejarnya dan sebentar saja sudah kehilangan bayangan mereka.

   Ceng Ceng makin mendongkol. Terpaksa dia berdiri diam di sebuah taman, sambil mendengarkan lagi. Jantungnya berdebar tegang. Sekarang dia tidak akan keliru lagi. Tentu dialah orangnya! Selain wajahnya yang tak mungkin dia lupakan selama hidupnya itu, juga buktinya begitu melihat dia muncul, orang bermantel lebar itu melarikan diri. Padahal melihat kelihaiannya menghadapi lawan-lawannya, tidak mungkin laki-laki itu takut kepadanya. Tentu dia lari karena dia pun ingat kepadaku, pikir Ceng Ceng. Jantungnya berdebar aneh. Ingat padaku? Dia masih ingat padaku? Ingat secara bagaimana? Kalau dia sendiri tentu saja selama hidupnya akan teringat kepada pemuda itu, ingat dengan hati penuh kebencian.

   Akan tetapi bagaimana perasaan pemuda itu begitu melihat dan mengenalnya? Ingin sekali dia mengetahui perasaan pemuda itu. Kembali terdengar suara orang bertempur. Ceng Ceng menahan kakinya yang sudah hendak berlari lagi. Tidak, dia harus cerdik sekarang. Dia tidak boleh lari tergesa-gesa, karena hal ini akan membuat kehadirannya ketahuan dan si laknat itu tentu akan lari lagi. Maka kini Ceng Ceng menghampiri tempat arah datangnya suara pertempuran dengan jalan kaki, berindap-indap dan hati-hati agar jangan sampai diketahui oleh mereka yang sedang bertanding, terutama tentu saja oleh pemuda musuhnya itu. Akan tetapi setelah tiba di tempat itu dan melihat mereka tidak melarikan diri, hatinya kecewa karena yang bertanding sekali ini bukanlah si pemuda laknat yang memakai mantel lebar tadi,

   Melainkan seorang kakek yang memegang sebatang sapu lidi bergagang panjang, dikeroyok oleh dua orang kakek yang bersenjata kebutan dan yang seorang bersenjata tasbeh. Dua orang kakek pengeroyok itu lihai sekali, akan tetapi kakek pembawa sapu lidi itu tidak kalah lihainya. Terutama sekali gin-kangnya, amat luar biasa sekali gerakannya, cepat seperti beterbangan sehingga pandang mata Ceng Ceng menjadi kabur melihat kakek itu berkelebatan dan sapu lidi di tangannya digerakkan menjadi gulungan sinar yang amat lebar mengelilingi dan menyelimuti dirinya. Biarpun dua orang pengeroyoknya itu pun amat lihai sehingga gerakan senjata mereka mendatangkan angin yang bersiutan, akan tetapi kakek tukang sapu ini mampu melindungi dirinya, bahkan masih sempat pula menyumpah-nyumpah dengan suaranya yang agak parau.

   "Kurang ajar sekali! Kalian ini setan-setan dari mana malam-malam begini berani mengacau di rumah orang?"

   "Heh, pelayan rendah! Kedudukanmu hanya tukang sapu, jangan banyak bicara kau! Hayo antarkan kami ke gedung pusaka milik Si Bongkok kepada kami!"

   Teriak lawannya yang bersenjata kebutan.

   "Hemm, kiranya kalian ini maling-maling tak tahu malu? Benar-benar gagah perkasa, berani datang merampok selagi tuanku pergi. Kalau beliau berada di sini tak mungkin kalian berani datang. Dasar pengecut!"

   "Pelayan hina bermulut lancang!"

   Bentak lawan yang memegang tasbeh dan mereka sudah bertanding lagi makin seru. Ceng Ceng yang sedang menonton pertempuran hebat itu dengan hati kecewa karena dia tidak melihat si pemuda laknat yang dikejarnya, tiba-tiba mendengar ada suara pertempuran yang lebih ramai di balik tembok kiri.

   Cepat dia lalu menyelinap dan menghampiri. Ketika dia sudah tiba di balik tembok itu, dia melihat si pemuda laknat yang memakai jubah mantel lebar itu dikeroyok oleh lima orang yang lihai. Agaknya si pemuda itu hanya menggunakan ujung mantelnya yang lebar untuk menghadapi pengeroyokan lima orang lawannya yang bersenjata pedang. Akan tetapi kedatangan Ceng Ceng yang sudah menyelinap hati-hati itu agaknya diketahuinya pula dan dia sudah meloncat lagi, menghilang ke dalam sebuah lorong yang agak gelap. Lima orang lawannya agaknya telah mengenal kelihaian pemuda itu maka melihat pemuda itu memasuki lorong gelap, mereka tidak berani mengejar, takut terjebak melainkan mengambil jalan atas dengan berloncatan ke atas genteng.

   Akan tetapi Ceng Ceng tidak mempedulikan apa-apa lagi dan dia sudah mengejar secepatnya ke dalam lorong gelap itu. Sekali ini dia tidak akan melepaskan musuh besarnya itu, tekadnya sambil mempercepat larinya. Akan tetapi tiba-tiba dia berteriak kaget dan terguling di dalam lorong gelap karena ada sesuatu yang membelit kedua kakinya. Cepat dia merenggut benda itu dan ternyata benda itu adalah sehelai jubah lebar seperti yang dipakai oleh pemuda musuhnya tadi! Tentu saja tergulingnya ini memperlambat pengejarannya dan ketika ia meloncat bangun kembali, bayangan pemuda itu telah lenyap. Ceng Ceng mendongkol dan sambil melempar mantel itu dia menyumpah-nyumpah dan melanjutkan pengejarannya sampai keluar dari lorong gelap. Setibanya di luar lorong itu, di dalam halaman yang luas dan cukup terang,

   Ceng Ceng termangu-mangu, tidak tahu harus mengejar ke mana karena sudah tidak nampak lagi bayangan orang yang dicarinya sedangkan di situ terdapat banyak sekali jalan simpangan. Selagi dia kebingungan, kembali terdengar suara orang bertanding di sebelah kiri. Cepat dia menuju ke tempat itu, berindap-indap dan setelah melewati jembatan kecil, dia melihat seorang kakek yang bersenjata cambuk sedang berhadapan dengan Topeng Setan! Ceng Ceng memandang heran. Agaknya istana yang sunyi itu hanya dihuni oleh tukang sapu yang lihai dan murid Si Dewa Bongkok, yaitu si pemuda laknat yang memakai mantel lebar, dan malam ini istana didatangi oleh banyak sekali orang lihai yang maksudnya tentu akan merampok pusaka-pusaka Istana Gurun Pasir ini. Dan Topeng Setan agaknya membantu pihak tuan rumah menghadapi rombongan perampok!

   Dia sendiri menjadi bingung. Pemuda laknat musuh besarnya tinggal di istana ini, dan dia harus memusuhinya. Akan tetapi, perampok-perampok ini, tidak mungkin dia harus bekerja sama dengan para perampok! Jelas bahwa Topeng Setan sendiri menentang para perampok dan dia tidak dapat menyalahkan Topeng Setan karena memang sudah sepatutnya bagi seorang gagah untuk mencegah perbuatan jahat seperti perampokan. Akan tetapi dia? Tak mungkin dia mau membantu musuh besarnya! Kakek itu amat lihai menggerakkan cambuknya, namun dia bukanlah lawan berat bagi Topeng Setan sehingga ketika ujung cambuknya kena dicengkeram, ujung cambuk itu patah. Pemiliknya mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang melarikan diri. Topeng Setan bergerak mengejarnya.

   "Paman....!"

   Ceng Ceng berteriak. Topeng Setan berhenti, membalikkan tubuhnya dan berkata,

   "Ceng Ceng, istana ini kemasukan maling-maling, aku harus membantu. Kau berdiamlah dulu di sini, aku hendak mengejar mereka."

   Setelah berkata demikian, Topeng Setan meloncat ke atas genteng dan lenyap, agaknya hendak membantu si tukang sapu. Ceng Ceng termenung, bingung. Lalu dia cemberut. Mengapa Topeng Setan lebih mementingkan urusan istana ini, urusan tempat tinggal musuh besarnya? Mengapa Topeng Setan tidak cepat-cepat membantunya menangkap si pemuda laknat?

   Dengan hati panas dia lalu mengejar pula. Terdengar pertempuran hebat di lapangan yang luas, yang terletak di belakang istana. Ceng Ceng lari menghampiri dengan penuh harapan. Kalau dia bertemu dengan musuhnya di situ, tidak peduli Topeng Setan membelanya menghadapi para perampok, dia tetap akan menyerang di pemuda laknat! Dengan hati panas Ceng Ceng sudah mencabut pedangnya dan dengan pedang di tangan dia menghampiri tempat pertempuran itu. Akan tetapi kembali hatinya kecewa sekali. Ada sebelas orang yang lihai-lihai mengeroyok dua orang, yaitu kakek tukang sapu dan Topeng Setan, sedangkan pemuda laknat itu tidak kelihatan di situ! Masih ada empat orang musuh yang berdiri di luar tempat pertempuran dan terdengar seorang diantara mereka berkata nyaring,

   "Mereka berdua telah dikurung, mari kita mencari sendiri gudang pusaka!"

   Empat orang anggauta gerombolan maling itu lalu meloncat, dengan gerakan luar biasa ringannya tubuh mereka melayang ke atas genteng. Terdengar kakek tukang sapu tertawa.

   "Ha-ha-ha, kalian berempat hanya mengantar nyawa!"

   Ceng Ceng tidak mengerti mengapa kakek tukang sapu itu mentertawakan empat orang itu, tentu saja dia tidak mengira bahwa tukang sapu itu merasa yakin bahwa murid majikannya yang tadi menghadapi para penyerbu dan yang sekarang tidak nampak, tentu telah berlaku cerdik dan menjaga keselamatan gudang perpustakaan sehingga empat orang itu tentu akan tewas di tangan murid majikannya. Kakek tukang sapu itu memang gagah berani.

   Biarpun dia yang telah dibantu oleh Topeng Setan itu berada dalam keadaan terdesak menghadapi keroyokan sebelas orang yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun dia masih mampu mentertawakan para lawannya, sedikit pun tidak mengenal takut. Tiba-tiba terdengar lengking aneh di atas, diikuti suara tertawa merdu nyaring, suara ketawa seorang gadis cilik yang menunggang seekor rajawali hitam. Kiranya rajawali hitam dari Pulau Neraka itu yang tadi mengeluarkan suara melengking dan kini atas dorongan dan bujukan Hwee Li, gadis itu, si rajawali hitam raksasa menyambar ke arah empat orang anggauta penyerbu yang tadi berlompatan di atas genteng! Empat orang itu kaget bukan main, cepat mereka menggerakkan pedang menyerang ke atas.

   Akan tetapi sepasang cakar rajawali hitam itu besar dan kuat sekali, melebihi baja kerasnya, sehingga dua orang berteriak kaget, pedang mereka terlepas dan tangan mereka berdarah kena dihantam cakar, orang ke tiga terpelanting kena disambar sayap dan orang ke empat berteriak-teriak menutupi mata kanannya yang disambar ujung sepatu Hwee Li yang tertawa-tawa! Empat orang itu cepat berloncatan turun lagi dan Hwee Li sambil tertawa menerbangkan rajawalinya ke atas, berputaran sambil menonton pertempuran hebat yang masih terjadi di halaman luas itu. Pada saat itu, terdengar suara lengking nyaring berkali-kali dan rajawali yang ditunggangi Hwee Li itu menggerakkan sayapnya dan terbang tinggi sekali seperti terkejut atau ketakutan. Ceng Ceng mengkhawatirkan keselamatan muridnya dan berseru,

   "Hwee Li, hati-hati kau....!"

   Akan tetapi tiba-tiba nampak di angkasa dua bayangan besar hitam, lalu terdengar kelepaknya sayap-sayap burung raksasa. Kiranya dua bayangan hitam besar setelah kini tiba dekat, adalah dua ekor rajawali putih yang besar-besar dan di atas rajawali putih yang betina duduk seorang kakek yang berkaki satu dan berambut putih panjang riap-riapan.

   "Hemm.... orang-orang yang tamak di mana-mana menimbulkan kekacauan saja!"

   Terdengar kakek berkaki buntung sebelah itu berkata dan tiba-tiba tubuhnya melayang turun dari atas punggung rajawali itu.

   "Pendekar Siluman....!"

   Beberapa orang di antara para penyerbu itu berseru kaget dan kini mereka semua menjadi panik karena melihat betapa pendekar tua berkaki buntung sebelah itu ketika tiba di bawah telah terpecah-pecah menjadi sepuluh orang kembar yang menggerakkan tongkat secara hebat, tubuh sepuluh orang Pendekar Super Sakti itu mencelat ke sana-sini dengan kecepatan seperti kilat karena dia menggunakan ilmunya yang mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun! Melihat ini, peninglah kepala semua orang itu dan pandang mata mereka menjadi kabur.

   "Lari....!"

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Teriak seorang berpakaian tosu yang memegang kebutan dan tanpa diperintah dua kali, lima belas orang itu segera meningalkan ternpat itu dengan kacau-batau dan ketakukan. Padahal mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Sejenak kakek tukang sapu itu berdiri terbelalak memandang kepada Pendekar Super Sakti Suma Han yang berdiri dengan tenang di depannya, kini sudah menjadi satu, tidak lagi terpecah menjadi sepuluh orang. Kemudian kakek itu membungkuk dengan penuh hormat kepada Suma Han dan berkata,

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 51 Sepasang Pedang Iblis Eps 45 Sepasang Pedang Iblis Eps 2

Cari Blog Ini