Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Bongkok 14


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Kalau memang engkau seorang manusia dan seorang pendekar, harap suka maafkan kami yang sedang panik oleh adanya siluman yang mengacau dusun kami. Akan tetapi, bagaimana kami akan dapat percaya bahwa taihiap bukan siluman? Hanya kalau taihiap sudi membantu kami menangkap siluman atau setidaknya menyelamatkan dua orang gadis kami yang diculik olehnya, kami percaya bahwa taihiap seorang pendekar, bukan siluman!"

   "Semua sudah ada enam orang gadis yang diculik!"

   Teriak seseorang yang juga merasa kehilangan seorang anak gadisnya yang lebih dulu diculik siluman. Biarpun kemarahannya mereda, namun hati Sie Liong masih mendongkol.

   "Hemm, kalian tidak berhak untuk menekan aku agar suka menolong kalian. Kalau memang ada kejahatan terjadi di sini, tanpa dimintapun aku akan turun tangan menentang kejahatan! Sepatutnya kalian menerima aku sebagai seorang tamu atau sahabat dan kita dapat berunding tentang kejahatan yang terjadi, bukan membabi-buta mengeroyok seorang pendatang yang sama sekali tidak berdosa!"

   Mendengar ini, Gumo Cali merasa menyesal sekali, akan tetapi juga girang dan menemukan harapan baru. Maka, demi kedua orang anaknya, tanpa ragu-ragu lagi diapun berlutut menghadap ke arah pemuda berpunuk itu.

   "Taihiap, maafkan kami. Aku Gumo Cali sebagai kepala dusun mewakili seluruh penghuni mohon maaf kepadamu."

   Lenyaplah sama sekali kemarahan dari hati Sie Liong. Memang dia bukan seorang pemarah. Dia melayang turun bagaikan seekor naga, dipandang oleh semua orang yang menjadi kagum sekali. Dia turun ke depan kepala dusun itu dan sedikitpun kakinya tidak mengeluarkan suara ketika tiba di atas tanah, dan dengan ramah Sie Liong lalu mengangkat bangun kepala dusun itu.

   "Namaku Sie Liong dan aku seorang perantau yang kebetulan lewat di sini. Tadi aku sudah merasa heran sekali ketika memasuki dusun ini yang cukup besar, akan tetapi mengapa begini sepi. Tidak tahunya ada penjahat yang membikin kacau di dusun ini?"

   "Bukan penjahat, taihiap, melainkan.... siluman.... siluman merah!"

   Kata kepala dusun itu dan ketika dia bicara, dia memandang ke kanan kiri kelihatan takut sekali.

   "Eh? Siluman?"

   Sie Liong mengerutkan alisnya.

   "Dan tentang gadis-gadis tadi? Apakah siluman itu menculik gadis?"

   "Taihiap, marilah bicara di dalam. Dan kami perlu mengganti pakaian taihiap yang robek-robek itu."

   Gumo Cali mempersilakan Sie Liong masuk ke dalam rumahnya. Sie Liong mengangguk dan kepala dusun menyuruh semua orang bubaran dan pulang ke rumah masing-masing. Ketika tiba di ruangan depan, Sie Liong merasa heran melihat sebuah peti mati yang depannya masih dipasangi lilin dan alat sembahyang.

   "Siapa yang mati?"

   Tanyanya, tidak lupa untuk memberi hormat ke arah peti mati sebagaimana patutnya.

   "Itu adalah Bong Sian-jin yang tewas semalam...."

   Kata Gumo Cali dengan suara berbisik, kelihatan ketakutan. Mendengar nama "Sian-jin", Sie Liong menjadi agak terkejut juga.

   "Siapakah dia dan mengapa tewas di sini? Apakah keluargamu?"

   "Bukan, dia adalah dukun yang kami undang untuk mengusir siluman dan melindungi dua orang gadis kami, akan tetapi, dia malah terbunuh oleh siluman dan dua orang gadis kami tetap saja diculik...."

   Tuan rumah lalu mengajak Sie Liong duduk di ruangan dalam. Setelah berganti pakaian, bukan pemberian tuan tumah, melainkan pakaiannya sendiri yang diambilnya dari buntalan yang dibawa dan diikat di pungungungnya, Sie Liong lalu mendengarkan keterangan Gumo Cali tentang segala hal yang telah terjadi semalam. Isteri tuan rumah ikut mendengarkan sambil menangis. Setelah selesai menceritakan hilangnya dua orang puteri mereka dan tewasnya Bong Sian-jin, suami isteri itu lalu berlutut di depan Sie Liong.

   "Taihiap, kasihanilah kami, kasihanilah dua orang puteri kami. Mereka itu masih kanak-kanak, baru berusia empat belas dan enam belas tahun, dapatkanlah kembali mereka, taihiap...."

   Suami isteri itu tidak malu-malu menangngis di depan Sie Liong. Pemuda ini mengangkat bangun mereka.

   "Harap paman dan bibi suka bersikap tenang. Aku yakin bahwa kejahatan ini bukan perbuatan siluman, melainkan manusia biasa yang menyamar sebagai siluman. Aku mendengar tadi bahwa penjahat itu telah menculik banyak gadis, bukan puteri-puteri paman saja. Benarkah?"

   "Memang demikianlah. Sudah kurang lebih dua tiga pekan ini.... siluman.... eh, penjahat itu menculik gadis-gadis cantik. Kabarnya malah dari dusun lain juga ada yang hilang, dan dari dusun sini saja ada enam orang gadis yang sudah diculik."

   "Dan semua juga terjadi seperti yang terjadi di sini semalam? Sebelum menculik pada malam hari, pada siang harinya dia memberi tanda dengan olesan darah kepada daun pintu rumah yang ada gadis calon korban?"

   Gumo Cali mengangguk.

   "Begitulah. Karena siangnya sudah diberi tanda, malamnya kami selalu mengadakan persiapan dan penjagaan. Bahkan beberapa orang jagoan dari para pasukan pengawal barang yang membantu kami, jatuh menjadi korban, terluka dan ada pula yang tewas. Iblis itu amat jahat dan lihai, bukan tandingan manusia. Karena itulah kami mengundang Bong Sian-jin untuk melawannya dengan ilmu sihir. Akan tetapi, ternyata Bong Sian-jin malah tewas dan kedua orang anak kami diculiknya."

   "Hemm, kurasa dia itu bukan iblis bukan siluman, melainkan seorang manusia jahat yang sombong. Aku akan melakukan penyelidikan dan mudah-mudahan saja kesombongannya terulang kembali dan dia akan memberi tanda kepada sebuah rumah yang akan didatanginya, sehingga aku akan siap menghadapinya."

   Sie Liong lalu melakukan penyelidikan ke dalam kamar dua orang gadis puteri kepala dusun. Melihat ember air kembang dan pakaian dua orang gadis itu, dia mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa curiga kepada dukun Bong.

   Apalagi ketika mendengar dari Gumo Cali bahwa dukun Bong hendak "membersihkan"

   Hawa siluman dengan memandikan dua orang gadis itu, dalam kamar tanpa disaksikan siapapun, kecurigaannya bertambah. Dia menduga bahwa dukun Bong tentulah seorang dukun cabul yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencabuli dua orang gadis remaja yang cantik. Akan tetapi karena dukun itu sudah berada dalam peti mati tanpa nyawa lagi, diapun tidak dapat menyelidikinya, hanya menduga-duga bagaimana macamnya penjahat tukang menculik gadis yang membunuh dukun cabul itu. Menurut keterangan kepala dusun, dukun itu dibunuh dengan pedang kayunya sendiri. Kalau penjahat itu mampu menusuk leher dukun Bong dengan pedang kayu sehingga tembus, dapat diketahui bahwa tentu penjahat itu memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat.

   Dari dalam kamar, dia membuka jendela dan melompat ke luar, terus melompat ke atas. Gumo Cali memandang dengan penuh kagum dan dia makin girang, makin besar harapannya bahwa pemuda bongkok inilah yang agaknya akan mampu menolong dua orang anaknya. Sie Liong melakukan penyelidikan ke atas genteng. Ada beberapa buah genteng pecah terinjak. Agaknya ketika penjahat itu memanggul dua orang gadis, maka berat tubuhnya bertambah dan karenanya maka genteng itu pecah terinjak. Dan dari pecahan genteng-genteng itu dia dapat menduga bahwa si penjahat tentu lari menuju ke selatan. Dari atas genteng itu, dia memandang ke selatan dan nampaklah sebuah bukit kehitaman menjulang tinggi, sebagian tersinar cahaya matahari, namun tetap nampak menghitam tanda bahwa di situ terdapat hutan yang lebat.

   "Bukit di selatan itu, bukit apakah?"

   Tanyanya sambil lalu setelah dia melompat turun kembali.

   "Bukit yang mana? Ada banyak bukit di selatan...."

   "Yang nampak hitam, penuh hutan."

   "Ah, itu bukit Onta namanya. Di bagian tengah ada...."

   Kepala dusun tidak melanjutkan kata-katanya dan memandang ke arah punuk di punggung Sie Liong.

   "Ada punuknya maksudmu? Hemm, bukit Onta...."

   "Ada apakah di sana, taihiap?"

   Gumo Cali tidak berani menyebut onta, takut menyinggung hati pendekar bongkok itu yang tadi dimaki siluman onta oleh seorang penduduk dusun.

   "Tidak ada apa-apa. Kita tunggu saja sampai ada tanda dari penjahat itu. Sekarang aku akan mencari kamar di rumah penginapan."

   "Taihiap, bermalamlah saja di sini. Kamar anak-anak.... bekas kamar merekapun kosong, boleh untuk sementara taihiap tempati...."

   Sie Liong maklum bahwa tuan rumah masih panik dan ketakutan, dan dia hendak ditahan untuk meredakan rasa takut mereka. Dia merasa tidak leluasa kalau bermalam di situ, maka dia menggeleng kepala.

   "Tidak, sebaiknya kehadiranku tidak terlalu monyolok. Biar aku di rumah penginapan saja,"

   "Tunggulah, taihiap. Biar aku menyuruh seseorang untuk memesan kamar terbaik untuk taihiap, sementara itu, mari terimalah hidangan yang kami berikan untuk taihiap, sebagai sarapan pagi."

   Sie Liong merana tidak enak untuk menolak. Mereka lalu bersama-sama makan pagi, dan setelah selesai makan pagi, Sie Liong diantar oleh kepala dusun sendiri pergi ke rumah penginapan di mana telah disediakan kamar terbaik untuknya. Belum juga tengah hari, kepala dusun sudah torgopoh-gopoh datang dan mengetuk daun pintu kamarnya. Sie Liong sedang beristirahat dan dibukanya daun pintu. Dia heran melihat kepala dusun nampak gugup dan mukanya pucat.

   "Taihiap.... taihiap.... dia.... dia datang...."

   "Datang? Ke mana maksudmu, paman?"

   "Dia.... memberi tanda darah pada pintu rumah Gulamar, saudagar kaya yang memiliki seorang gadis yang cantik. Sebentar malam...."

   "Bagus dan tenanglah, paman. Penjahat itu memang sombong bukan main. Mari kautunjukkan kepadaku di mana rumah yang mendapat tanda ancaman itu."

   Keluarga Gulamar menyambut kedatangan kepala dusun itu dengan hati cemas dan putus asa. Tidak ada jagoan yang berani menjaga keselamatan puterinya, biar dia berani membayar berapa banyakpun dan biar dia sudah mendengar akan pendekar muda yang bongkok, yang katanya amat lihai dan sanggup melawan siluman merah, namun dia masih ragu-ragu dan bahkan sudah mempersiapkan rombongan onta dan kuda untuk melarikan anaknya mengungsi ke tempat lain. Ketika mendengar keterangan bahwa hartawan itu hendak membawa puterinya pergi mengungsi, Sie Liong menyatakan ketidak-setujuannya.

   "Cara itu tidak menjamin keselamatan bahkan berbahaya sekali, paman,"

   Katanya.

   "Penjahat itu akan lebih mudah menculik puterimu dalam perjalanan mengungsi itu."

   "Tapi dia.... dia siluman, hanya keluar di waktu malam.... kami akan melarikan puteri kami siang ini juga."

   Sie Liong menggeleng kepalanya.

   "Bukan, dia bukan siluman, melainkan manusia biasa yang amat jahat. Kalau malam ini dia datang untuk menculik puterimu, aku yang akan menghadapinya."

   Gulamar nampak ragu-ragu dan bingung. Dia memandang kepada kepala dusun Gumo Cali.

   "Bagaimana baiknya.... kami khawatir sekali, kalau tidak dilarikan, nanti anakku...."

   "Tenangkan hatimu, saudagar Gulamar. Taihiap ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia sudah berjanji sanggup menalukkan siluman itu. Sebaiknya kalau engkau menurut nasihatnya. Taihiap, bagaimana sebaiknya diatur untuk menghadapi penjahat siluman itu kalau malam nanti dia datang?"

   Sie Liong lalu mengadakan perun-dingan dengan tuan rumah, disaksikan oleh kepala dusun.

   "Sembunyikan gadis itu di dalam kamar lain yang dekat dengan kamarnya sendiri agar aku dapat selalu mengamatinya, dan aku sendiri akan tinggal di dalam kamar puterimu menanti munculnya penjahat itu."

   "Taihiap, apakah engkau membutuhkan bantuan?"

   Sie Liong mengangguk.

   "Mereka yang pagi tadi mengepungku, mereka adalah penduduk yang marah kepada siluman dan mereka penuh keberanian walaupun mungkin tidak memiliki kepandaian. Biarlah mereka itu yang membantuku, mengadakan pengepungan pada rumah ini, akan tetapi bersembunyi dan jangan ada yang keluar sebelum penjahat itu datang dan aku berusaha menangkapnya. Kalau sudah terdengar ribut-ribut atau melihat aku berkelahi melawan penjahat itu, baru mereka boleh keluar dan masing-masing membawa obor untuk menerangi tempat ini."

   Kepala dusun Gumo Cali menyanggupi dan diapun segera pergi melakukan persiapan dan memberitahu kepada penduduk bahwa malam itu, Pendekar Bongkok akan menangkap siluman merah, dan diharap agar penduduk suka membantunya.

   Para penduduk yang berhati tabah dan sudah lama merasa penasaran dan marah kepada siluman merah yang mengganggu keamanan di dusun mereka, segera menyambut ajakan ini dengan penuh semangat. Mereka tadi sudah melihat sendiri kelihaian Pendekar Bongkok yang kebal dan dapat "terbang"

   Ke atas genteng. Malam yang menyeramkan. Sejak matahari tenggelam, tidak ada penduduk berani keluar dari rumah mereka, apalagi yang wanita. Semua penduduk sudah mendengar bahwa malam itu siluman merah akan muncul, akan menculik gadis cantik puteri saudagar Gulamar! Mereka yang siap membantu Pendekar Bongkok, sejak sore sudah siap di tempat persembunyian mereka mengepung rumah saudagar itu, siap dengan obor yang tinggal dinyalakan dan segala macam senjata yang mereka miliki.

   Malam itu sungguh menakutkan. Padahal, malam itu juga malam yang biasa saja seperti pada malam-malam yang lain. Kalau pikiran mulai berceloteh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin menimpa diri, maka rasa takutpun timbul dan kalau orang sudah ketakutan, maka malam yang gelap dapat nampak menyeramkan. Orang takut akan setan karena dia pernah mendencar tentang setan. Pikirannya sudah kemasukan bayangan setan yang didengarnya dari orang lain, dan pikiran itulah yang mengada-ada, mereka-reka, membayangkan hal-hal mengerikan. Andaikata dia tidak pernah mendengar tentang setan, tidak mungkin dia dapat merasa takut. Seorang anak kecil yang belum pernah mendengar tentang setan, dia tidak akan takut berada di tempat yang bagaimanapun juga, karena pikirannya tidak pernah dapat membayangkan hal yang belum diketahuinya.

   Akan tetapi, sekali dia sudah mendengar cerita tentang setan, maka pikirannya mereka-reka, membayangkan dan diapun menjadi takut. Pikiran merupakan sebuah gudang dimana kita menyimpan hal-hal yang kita ketahui melalui pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain, melalui bacaan, penuturan dan sebagainya. Tentu saja kita tidak mungkin dapat menemukan sesuatu yang berada di luar gudang, yang kita temukan hanyalah barang-barang timbunan dalam gudang itu. Pikiran hanya merupakan alat pelengkap hidup, bagaikan amat perekam. Kita hanya mampu memutar kembali sagala yang pernah kita rekam melalui alat itu, tidak mungkin kita dapat menemukan hal-hal yang tidak pernah direkam.

   Oleh karena itu, betapapun cerdik pandainya pikiran, betapapun lincah dan liciknya, gerakannya hanyalah berputar-putar di dalam lingkaran gudang itu saja. Sia-sialah mengharapkan untuk menemukan sesuatu melalui pikiran, sesuatu yang baru, yang belum terekam, belum pernah tertimbun di dalam gudang ingatan. Malam itu amat sunyi, namun, sesuai dengan perintah kepala dusun Gumo Cali, semua penghuni rumah yang berdekatan di sekitar rumah saudagar Gulamar memasang lampu penerangan di luar rumah mereka sehingga daerah sekitar itu tidaklah begitu gelap. Gadis yang diincar oleh siluman itu berada di dalam kamar ibunya, dijaga oleh ayah ibunya. Mereka bertiga sejak sore tadi sudah dicekam ketakutan hebat, terutama gadis itu sendiri yang wajahnya menjadi pucat, matanya yang indah itu seperti mata kelinci melihat harimau, dan setiap suara sedikit saja cukup untuk membuat ia melonjak kaget.

   Mereka bertiga berdekapan di atas pembaringan ketika malam semakin larut, tak mungkin dapat memejamkan mata, makin lama semakin gelisah walaupun mereka semua yakin bahwa Pendekar Bongkok berada seorang diri di dalam kamar sebelah dan baliwa di sekeliling rumah tidak kurang dari seratus orang laki-laki penduduk dusun Ngomaima yang siap untuk membantu Pendekar Bongkok menangkap siluman yang hendak menculik puteri saudagar itu. Sie Liong sendiri tenang-tenang saja berada di dalam kamar gadis itu. Sebuah kamar yang cukup besar, dengan perabot-perabot kamar yang indah, kamar yang bersih dan berbau harum. Dia tidak mau duduk atau rebah di atas tempat tidur gadis itu, dan karena lantai kamar itu ditilami permadani tebal yang bersih dan lunak, diapun duduk bersila di atas lantai, memusatkan perhatian sehingga pendengarannya dapat mengetahui keadaan di luar kamar sekalipun.

   Dalam persiapannya menghadapi siluman yang diduganya tentu hanya seorang penjahat yang sombong dan lihai itu, dia tidak bersenjata. Akan tetapi, melihat sebuah payung di dalam kamar itu, tergantung di sudut, dia tahu bahwa kalau perlu, payung itu dapat menjadi sebuah senjata yang amat baik baginya. Menjelang tengah malam suasana semakin sunyi. Yang terdengar dari dalam kamar itu hanyalah suara jengkerik dan belalang dan serangga malam lainnya yang mengeluarkan bunyi beraneka ragam, halus dan amat merdu, bunyi kehidupan malam yang penuh rahasia karena gelap. Tiba-tiba ada suara tak wajar tertangkap oleh pendengaran Sie Liong. Suara jejak kaki di atas genteng. Dia datang, pikirnya dan tak dapat dihindarkan lagi, jantung dalam dadanya berdetak lebih kencang daripada biasanya.

   Tanpa mengeluarkan suara, Sie Liong bangkit dan menghampiri sudut kamar, menyambar payung yang gagangnya panjang melengkung itu, lalu menanti, menempelkan tubuhnya di sudut dinding, matanya menatap ke arah jendela, pintu, dan langit-langit berganti-ganti karena dia tahu bahwa dari tiga jurusan itulah si penjahat dapat memasuki kamar. Dengan pendengarannya Sie Liong mencoba untuk mengikuti gerakan penjahat yang berada di atas rumah itu. Tidak mudah baginya karena penjahat itu memiliki gerakan yang ringan sekali. Kedua kakinya hampir tidak menimbulkan suara, seperti kaki kucing saja. Namun dia tahu bahwa penjahat itu kini telah turun dan mendekati kamar itu. Dia harus menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang berdetak kencang karena tegang.

   "Krekk....!"

   Terdengar sedikit suara dan daun jendela itupun terbuka, palangnya patah karena dorongan yang amat kuat dari luar. Dan begitu daun jendela terbuka, nampak bayangan merah berkelebat dari luar. Demikian ringan dan cepat gerakan bayangan itu sehingga Sie Liong diam-diam merasa terkejut dan kagum. Kiranya memang bukan lawan biasa, pikirnya dan diapun waspada. Orang yang mampu bergerak seperti ini tidak boleh dipandang ringan, pikirnya.

   Dengan penuh perhatian Sie Liong yang berdiri di sudut kamar mengamati sosok tubuh itu. Tubuh yang ramping kecil sehingga nampak kurus, dengan pakaian serba merah dan dari samping nampak wajahnya juga tertutup topeng merah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Bukan siluman, melainkan manusia bertopeng seperti yang sudah diduganya. Akan tetapi, manusia yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat. Si topeng merah itu menghampiri pembaringan, menyingkap kelambu dan melepaskan kembali ketika melihat bahwa pembaringan itu kosong. Dikepalnya tangan itu sebagai tanda bahwa ia marah, dan pada saat itu, Sie Liong membentak.

   "Penjahat sombong dan keji! Menyerahlah engkau!"

   Sambil membentak demikian, Sie Liong sudah menerjang maju dan tangan kirinya mencengkeram ke arah lengan orang untuk menangkapnya. Bukan sembarang cengkeraman belaka karena ini merupakan satu jurus dari Pek-in Sin-ciang, dan biarpun pada saat itu tangannya belum mengeluarkan uap putih, namun sudah mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat dan cengkeraman itu cepat sekali, sukar untuk dihindarkan lawan. Akan tetapi, si topeng merah itu ternyata cekatan sekali. Melihat lengannya akan dicengkeram, dia membuat gerakan memutar lengan itu dan sekaligus dihantamkan ke atas untuk menangkis dan dengan kuatnya lengannya yang kecil menangkis dengan pengerahan tenaga sin-kang.

   "Dukk!"

   Dua lengan bertemu dan si topeng merah itu mendengus marah.

   "Ihhh!"

   Dan kini tangan kirinya bergerak mengadakan serangan tusukan dengan dua jari tangan ke arah mata Sie Liong. Demikian cepatnya gerakan itu dan tangan kirinya itu seperti sebatang pedang menusuk saja! Sie Liong maklum bahwa lawannya memang tangguh, maka diapun cepat mengerahkan tenaga, melepaskan payungnya aan menangkis tangan kiri lawan yang menusuk itu dari samping.

   "Plakkk!"

   "Ehhh....!"

   Kini si topeng merah itu agak terhuyung dan agaknya baru dia menyadari bahwa orang bongkok ini amat lihai, maka tanpa banyak cakap lagi tubuhnya lalu meluncur keluar kamar melalui jendela dengan kecepatan luar biasa.

   "Penjahat keji, hendak lari ke mana kau?"

   Sie Liong membentak dan sengaja dia mengeluarkan suara nyaring agar terdengar oleh semua orang yang mengepung rumah itu sambil bersembunyi.

   Teriakannya ini nyaring sekali dan maksudnya berhasil, karena terdengar oleh semua pengepung yang langsung menyalakan obor dan mengangkat obor itu tinggi-tinggi dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang senjata mereka. Sie Liong melihat bayangan merah berkelebat ke atas genteng. Maka diapun cepat mengejar sambil memegang payungnya. Ketika tiba di atas wuwungan yang agak lebar den datar, lebarnya tidak kurang dari setengah meter, si bayangan merah itu yang tahu bahwa ia dikejar, lalu membalik dan pedangnya suaah menyambut Sie Liong dengan tusukan kilat. Sie Liong melihat sinar pedang meluncur cepat, maka diapun segera menangkis dengan payungnya. Sepasang mata di balik topeng itu berkilat seperti mentertawakan karena jangankan hanya payung, biar senjata terbuat dari baja yang kuatpun akan patah bertemu dengan pedangnya. Maka diapun sudah siap untuk melanjutkan serangan kalau payung itu terbabat patah.

   "Trangg!"

   Bunga api berpijar dan si bayangan merah itu mengeluarkan seruang kaget. Payung itu tidak patah, bahkan ia merasa telapak tangannya panas.

   "Hei, setan bongkok! Siapakah engkau dan mengapa mencampuri urusanku?"

   Bentaknya. Sie Liong tertegun. Kiranya siluman ini seorang wanita yang suaranya nyaring merdu! Pantas saja mata yang berada di balik topeng itu demikian jeli, dan tubuh itu demikian langsing dan padat, juga nampak kurus. Kiranya wanita! Mengapa ada wanita menculiki gadis-gadis cantik? Sungguh aneh sekali!

   "Kiranya siluman merah adalah seorang wanita! Sungguh engkau jahat sekali! Untuk apa engkau menculiki gadis-gadis itu? Hayo kembalikan atau aku tidak akan mengampunimu!"

   "Setan bongkok sombong! Engkau sudah bosan hidup!"

   Bentak siluman itu dan kini ia menyerang dengan tangan kirinya. Semacam uap hitam menyambar ke arah Sie Liong dan uap hitam ini mengandung tenaga dorongan yang amat kuat. Sie Liong menyambut dengan dorongan tangan kiri pula, sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang. Uap putih keluar dari telapak tangan kirinya bertemu dengan uap hitam dan kembali wanita bertopeng itu mengeluh dan terdorong dua langkah ke belakang.

   "Mampuslah!"

   Tangan kirinya bargerak dan sinar-sinar hitam lembut menyambar ke arah tubuh Sie Liong, mengarah leher, dada dan pusar!

   Itulah jarum-jarum hitam beracun yang menyambar dari jarak dekat! Sie Liong menggerakkan payungnya yang terbuka dan sekali diputar, payung itu menangkis semua jarum yang bertebaran jatuh menimpa genteng, mengeluarkan suara nyaring lembut yang hanya dapat terdengar oleh Sie Liong. Akan tetapi ketika dia memandang dari balik payungnya, bayangan merah itu telah meloncat turun. Ributlah para penduduk menyambutnya dengan pengeroyokan, akan tetapi mereka segera cerai berai ketika dua orang di antara mereka roboh mandi darah terbabat pedang dan beberapa kali loncatan saja, si bayangan merah telah lenyap dari situ. Ketika semua orang memandang, ternyata Pendekar Bongkok yang tadi berada di atas genteng rumah juga sudah lenyap.

   Ke mana perginya Sie Liong? Dia tadi melihat berkelebatnya bayangan merah itu ke arah selatan, maka diam-diam diapun lalu meloncat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, malam gelap menjadi penghalang dan wanita berpakaian merah itu lenyap ditelan kegelapan malam dan arah yang diambilnya adalah selatan, ke arah bukit yang menjulang tinggi itu, Bukit Onta! Karena tidak mungkin mengejar seorang lawan yang demikian lihai dan berbahaynya di malam gelap, Sie Liong lalu berlari kembali ke dalam dusun Ngomaima, kembali ke rumah saudagar Gulamar di mana penduduk masih berkumpul dan mereka itu ramai membicarakan apa yang mereka lihat di atas rumah tadi, perkelahian antara Pendekar Bongkok dan Siluman Merah. Ketika melihat munculnya pemuda bongkok itu, para penduduk yang dipimpin oleh kepala dusun Gumo Cali menyambutnya dengan sorak sorai penuh kegembiraan.

   "Hidup Sie Taihiap....!"

   Bahkan ada yang berteriak,

   "Hidup Pendekar Bongkok!"

   Namun sebutan bongkok itu kini nadanya bukan menghina atau mengejek, melainkan memuji. Sie Liong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil menangkap penjahat itu, maka dia mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata,

   "Harap saudara sekalian pulang ke rumah masing-masing. Ketahuilah bahwa siluman merah itu bukan setan, melainkan seorang manusia yang amat lihai dan ia seorang penjahat wanita. Sayang bahwa aku tidak berhasil menangkapnya dan selama belum tertangkap, bahaya masih selalu ada. Maka harap saudara sekalian suka bekerja sama dan bersatu seperti sekarang ini. Kalau saudara sedusun bersatu melawannya, tentu ia tidak akan dapat mengacau lagi."

   Orang-orang bubaran. Walaupun pendekar itu tidak berhasil menangkap siluman merah, akan tetapi jelas bahwa siluman itu takut kepadanya. Buktinya siluman itu melarikan diri dan sekali ini ia tidak berhasil menculik gadis puteri saudagar Gulamar. Ada sebuah hal yang sukar dapat mereka percaya. Kalau berita bahwa siluman itu adalah seorang manusia lihai dan jahat, dapat mereka terima. Akan tetapi seorang wanita? Sukar membayangkan seorang wanita selihai itu dan pula apa urusannya wanita menculik gadis-gadis cantik? Tentu saja Gulamar, isterinya dan puterinya merasa berterimakasih sekali kepada Pendekar Bongkok Sie Liong. Walaupun siluman itu tidak tertangkap, namun gadis itu capat diselamatkan. Namun, Sie Liong sama sekali tidak merasa puas. Dia bahkan semakin penasaran. Dia harus dapat membongkar rahasia wanita bertopeng merah itu.

   Mengapa menculiki gadis-gadis cantik, dan ke mana ia membawa gadis-gadis itu? Ia harus dapat menemukan sarangnya, menolong para gadis yang sudah diculik, karena kalau penjahat aneh itu belum dapat dikalahkan, tentu dusun itu masih selalu terancam bahaya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah keluar dari dusun dan melakukan perjalanan seorang diri menuju ke selatan. Bukit Onta nampak masih menghitam karena sinar matahari pagi itu masih lemah. Dia tahu bahwa ia mencari-cari dalam gelap, hanya menduga bahwa bukit itulah yang sepatutnya menjadi sarang penjahat yang menyamar siluman. Bukit Onta itu tidak begitu jauh dari dusun Ngomaima, merupakan bukit yang penuh dengan hutan lebat dan menurut keterangan yang diperolehnya, jarang ada pemburu berani memasuki hutan itu yang menurut kabar tahyul merupakan sarang iblis! Cocok dengan penjahat yang menyamar sebagai siluman.

   Maka, begitu melihat bukit itu dan mendengar keterangan tentang tempat itu, dia sudah menduga bahwa di situlah tempat siluman itu bersembunyi di waktu siang dan bergerak memasuki dusun di waktu malam. Dugaan Sie Liong memang tepat sekali. Tidak begitu jauh di lerang bukit itu, dalam sebuah hutan, terdapat bangunan kayu yang masih nampak baru, cukup besar dan bangunan itu tersembunyi di antara pohon-pohon raksasa sehingga tidak akan nampak dari luar hutan. Bangunan itu belum lama didirikan orang-orang secara diam-diam, baru kurang lebih sebulan. Dan semenjak tiga pekan, kadang-kadang terdengar suara isak tangis tertahan disusul hardikan yang menghentikan isak tangis wanita itu dari dalam rumah. Kiranya hampir setiap malam, siluman merah atau wanita yang memakai pakaian dan topeng merah membawa seorang gadis culikan ke rumah itu dan kini,

   Di rumah itu telah terkumpul sembilan orang gadis-gadis muda dan cantik, di antara mereka terdapat pula dua orang kakak beradik puteri dari Gumo Cali, kepala dusun Ngomaima. Mereka dikumpulkan dalam sebuah ruangan besar di tengah bangunan itu. Karena mereka selalu dihardik dan diancam kalau menangis maka mereka yang dilanda duka dan ketakutan, hanya terisak kecil saja. Yang lain sudah pasrah, agak besar pula hati mereka melihat banyaknya teman senasib, dan selama mereka ditawan itu, mereka tidak pernah menerima perlakuan buruk, tidak pernah diganggu dan diberi hidangan yang cukup baik. Hanya mereka tidak pernah tahu mengapa mereka diculik dan ditawan di dalam hutan itu. Pada malam hari tadi, ketika siluman merah gagal menculik puteri saudagar Gulamar karena adanya Pendekar Bongkok,

   Ia langsung saja berlari karena tidak ingin dikejar pendekar yang lihai itu dan biarpun hatinya merasa penasaran sekali karena ia belum merasa kalah dan belum benar-benar mengadu ilmu dengan pemuda bongkok, namun ia tidak berani mengambil resiko melawan pendekar Bongkok yang selain amat lihai, juga dibantu oleh ratusan orang penduduk Ngomaima itu. Malam itu, ketika ia kembali ke rumah dalam hutan di lereng Bukit Onta dengan tangan kosong, ia disambut teguran tak puas di dalam ruangan di rumah itu. Mereka semua ada lima orang yang duduk mengelilingi sebuah meja. Seorang kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya gundul dan wajahnya nampak masih muda, pada jubahnya di bagian dada terdapat sebuah lukisan teratai putih pada dasar hitam. Biarpun dia mengenakan jubah pendeta dan kepalanya dicukur licin, namun sikapnya berbeda dengan para hwesio (pendeta Budha).

   Para hwesio bersikap alim dan tenang, sebaliknya kakek ini memiliki sinar mata yang tajam dan liar, wajahnya penuh dengan kelicikan dan mulutnya membayangkan kerakusan dan kekejaman. Namun harus diakui bahwa dia memiliki wajah yang nampak muda dan tampan, tubuhnya tinggi besar dan sikapnya berwibawa. Di sampingnya duduk pula tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, semua memakai pakaian ringkas dan di punggung mereka terselip siang-to (sepasang golok) yang mengkilap tajam, sikap mereka juga angkuh dan jagoan. Orang ke lima adalah siluman merah sendiri dan kini ia sudah menanggalkan topengnya. Kalau Sie Liong meli atnya, dan juga para penduduk dusun Ngomaima melihatnya, mereka semua tentu akan terkejut dan terheran-heran. Kiranya yang mereka namakan siluman merah itu adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dan manis sekali!

   Usianya tidak akan lebih dari dua puluh tahun, wajahnya bulat telur dan manis sekali, kulit muka dan lehernya putih mulus. Wanita cantik manis yang amat lihai ini bukan lain adalah Pek Lan! Seperti kita ketahui, Pek Lan telah berhasil membalas dendamnya terhadap para selir dari Hartawan Coa di kota Ye-ceng dan membawa pula banyak harta milik hartawan Coa. Dengan hati amat puas ia meninggalkan kota Ye-ceng dan bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal gurunya, yaitu Hek-in Kui-bo yang kini tinggal di tepi telaga Gose sebagai seorang yang kaya raya. Akan tetapi setibanya di rumah subonya (ibu gurunya), ternyata Hek-in Kui-bo sedang kedatangan seorang tamu yang oleh subonya diperkenalkan kepadanya sebagai Thai-yang Suhu, seorang tokoh Pek-lian-kauw (Perkumpulan Agama Teratai Putih).

   "Pek Lan, Thai-yang Suhu ini adalah seorang sahabat baikku dan dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan juga ilmu sihir yang hebat. Thai-yang Suhu, inilah muridku yang kuceritakan kepadamu tadi, namanya Pek Lan."

   Sepasang mata pria berjubah pendeta dan berkepala gundul yang ditutup sebuah topi hwesio itu menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan dengan penuh perhatian, lalu dia mengangguk-angguk.

   "Kui-bo, muridmu ini sungguh hebat, cantik manis dan juga lincah. Tidak tahu entah sampai di mana engkau menggemblengnya."

   "Hemm, ia sudah hampir mewarisi seluruh kepandaianku. Engkau cobalah ia, Thai-yang. Pek Lan, jangan sungkan-sungkan, perlihatkan kepandaianmu kepada pamanmu Thai-yang Suhu!"

   Wajah dan sikap pria berjubah pendeta itu sudah menarik perhatian Pek Lan, maka mendengar kata-kata subonya, iapun lalu meloncat ke tengah ruangan dan memberi hormat ke arah Thai-yang Suhu.

   "Paman, silakan!"

   Thai-yang Suhu tertawa bergelak dan ternyata giginya masih berderet rapi.

   "Bagus, engkau seorang keponakanku yang mengagumkan."

   Katanya sambil bangkit pula berdiri, lalu menghampiri Pek Lan.

   "Pek Lan, aku ingin menguji kepandaianmu, ingin pinceng (aku) melihat apakah benar engkau cukup berharga untuk mewakili subo-mu membantu pekerjaan kami yang besar. Awas serangan!"

   Pendeta Pek-lian-kauw itu sudah menyerang, pukulannya mengandung tenaga sin-kang besar dan juga gerakannya cepat sekali.

   
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Namun, tidak terlalu cepat bagi Pek Lan yang dengan mudah sudah mengelak ke samping sehingga pukulan itu mengenai tempat kosong. Thai-yang Suhu menyusulkan serangan yang lebih hebat, dengan tamparan tangan kiri ke arah pelipis kanan gadis itu. Tamparannya mendatangkan angin pukulan yang dahsyat dan serangan ini diikuti pula oleh cengkeraman tangan kanan ke arah dada Pek Lan. Sungguh merupakan serangan yang berbahaya. Namun, dengan tenang saja Pek Lan meloncat ke belakang, kemudian iapun membalas dengan serangan bertubi. Ia mengerahkan tenaga sin-kang yang dipelajarinya dari Hek-in Kui-bo dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam!

   "Bagus, ia sudah pandai Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam), ha-ha!"

   Kata Thai-yang Suhu, akan tetapi biarpun mulutnya tertawa, dia sibuk sekali menghadapi rangkaian serangan yang hebat dari gadis itu sehingga dia harus melindungi dirinya dengan elakan dan tangkisan karena biarpun yang menyerangnya hanya seorang wanita muda, namun serangan dahsyat itu dapat membahayakan dirinya. Gadis itupun tidak mau memberi hati dan ia menyerang semakin gencar sehingga pendeta itu harus mengakui akan kelihaian Pek Lan. Dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja pendeta itu lenyap dari pandang mata Pek Lan, berubah menjadi asap hitam! Selagi ia kebingungan, pinggulnya ada yang mencolek dari belakang.

   "Pek Lan, pinceng di sini!"

   Pek Lan terkejut dan juga mendongkol atas kegenitan sahabat subonya itu, ia membalik dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat. Hampir saja Thai-yang Suhu terkena tendangan itu. Untung dia cepat menarik tangannya dan mengelak dan sebelum Pek Lan melanjutkan serangannya, kembali dia berubah menjadi asap hitam dan lenyap.

   "Wah, kalau paman menggunakan ilmu siluman begini, aku mengaku kalah!"

   Teriak Pek Lan yang tidak ingin lagi tangan paman yang nakal itu mencolak-colek tubuhnya. Asap hitam menghilang dan Thai-yang Suhu kelihatan kembali.

   "Ha-ha-ha engkau sungguh hebat, Pek Lan, mampu mendesak pinceng. Akan tetapi, lihat baik-baik, pinceng telah menjadi raksasa, apakah engkau masih berani melawan?"

   Pek Lan memandang dan ia terbelalak karena melihat pendeta itu kini benar saja telah berubah menjadi tinggi sekali, sehingga ia sendiri hanya setinggi lututnya! Tentu saja ia menjadi gentar dan ia memberi hormat sambil berkata,

   "Aku tidak berani...."

   That Yang Suhu tertawa dan dia kembali menjadi normal. Terdengar Hek-in Kui-bo terkekeh.

   "Thai-yang, engkau seperti anak kecil saja, menakut-nakuti muridku. Nah, Pek Lan, kau lihat, dia pandai sekali ilmu sihir! Dia datang untuk mohon bantuanku, akan tetapi karena aku sudah tua, aku wakilkan padamu."

   Pek Lan mangerutkan alisnya, menyesal mengapa subonya menyanggupi untuk membantu pendeta ini, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menyuruh ia mewakilinya. Kalau subonya yang memerintahkan, tentu saja ia tidak dapat menolak lagi.

   "Bantuan yang bagaimana, Subo? Apakah yang harus kulakukan?"

   "Ha-ha-ha, tidak berat dan tidak sukar, Pek Lan, apa lagi untukmu yang memiliki tenaga hebat, kecepatan kilat dan kepandaian setinggi langit! Bahkan pinceng lihat hanya engkaulah yang akan mampu melaksanakan tugas ini sebaiknya. Tugas yang mudah sekali. Kami dari Pek-lian-kauw membutuhkan penambahan pelayan, yaitu gadis-gadis remaja dari dusun-dusun sebanyak lima belas orang. Kita akan memilih dari dusun-dusun dimana ada gadis remaja yang bersih dan cantik, dan engkau bertugas untuk menculik mereka itu seorang demi seorang."

   Pek Lan mengerutkan alisnya. Memang bukan tugas yang sukar, akan tetapi hatinya merasa tidak puas mengapa ia yang ditunjuk untuk membantu pendeta ini.

   "Akan tetapi, mengapa mesti aku....?"

   Bantahnya.

   "Pek Lan, aku pernah berhutang budi kepada Thai-yang Suhu ini, dan sekarang ada kesempatan bagiku untuk membalasnya. Aku sudah menyanggupinya dan aku sudah menunjuk engkau untuk mewakili aku. Apakah engkau akan mengatakan bahwa engkau tidak sanggup mewakiliku?"

   Guru itu mendesak sedemikian rupa, sehingga tidak ada kesempatan bagi Pek Lan untuk mengelak lagi. Akan tetapi, ia teringat akan ilmu aneh dari pendeta itu tadi. Menghadapi ilmu aneh seperti itu, apa artinya ilmu silatnya? Tiba-tiba ia mendapatkan akal.

   "Paman Thai-yang Suhu, aku sanggup untuk membantumu sampai berhasil baik, akan tetapi untuk itu ada syaratnya yang kuharap paman akan dapat memenuhinya."

   "Ha-ha-ha, anak manis, apakah syaratmu itu? Hadiah apa yang kau minta?"

   "Aku mau mewakill subo membantu paman sampai berhasil mengumpulkan lima belas orang gadis dusun yang dibutuhkan Pek-lian-kauw, akan tetapi dengan imbalan bahwa paman akan mengajarkan ilmu sihir yang aneh kepadaku."

   Mendengar permintaan ini, sepasang mata Thai-yang Suhu terbelalak, akan tetapi sepasang mata itu lalu menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan, dan diapun tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, Kui-bo. Muridmu ini memang cerdik dan menyenangkan sekali. Permintaanmu itu memang sudah pantas! Dan pinceng bukanlah seorang yang pelit, apalagi terhadap seorang gadis cantik manis yang cerdik seperti engkau, masih keponakanku sendiri pula dan yang akan membantu pinceng. Ha-ha-ha, memang hidup ini harus meminta dan memberi, pinceng akan mengajarkan beberapa macam ilmu sihir kepadamu, Pek Lan, asalkan engkau suka mentaati segala perintahku, memenuhi segala permintaanku. Bagaimana, sanggupkah engkau?"

   Pek Lan yang merasa girang sekali mendengar bahwa ia akan menerima pelajaran ilmu sihir, tanpa ragu lagi menjawab,
(Lanjut ke Jilid 14)
Kisah Pendekar Bongkok (Serial 06 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14
"Tentu saja aku sanggup, Paman Thai-yang Suhu!"

   "Ho-ho-ho, sekali ini engkau terjebak oleh pamanmu yang selain lihai juga amat cerdik, Pek Lan! Engkau berjanji akan memenuhi semua permintaannya! Engkau lupa bahwa engkau seorang wanita muda yang amat cantik jelita dan menarik, sedangkan Thai-yang Suhu ini adalah seorang laki-laki yang hatinya masih muda dan dulu dia amat tampan, digilai banyak wanita. Ha-ha-hi-hik!"

   Mendengar ucapan subonya, Pek Lan memandang kepada pria gundul yang memang tampan itu, dan wajahnya berubah kemerahan. Tentu saja ia mengerti apa maksud subonya, akan tetapi kalau benar tokoh Pek-lian-kauw itu menghendaki apa yang dimaksudkan subonya, iapun tidak berkeberatan!

   Kalau burung berkelompok karena persamaan bulunya, manusia berkelompok karena persamaan selera dan cara hidupnya. Kalau sekelompok orang sama-sama menjadi hamba nafsu, tentu mereka dapat menjadi akrab dan bersahabat. Kegemaran mereka sejalan dan sama, yaitu pemuasan nafsu dan pengejar kesenangan. Celakah orang yang hidup sebagai hamba nafsunya sendiri, tanpa menyadari bahwa nafsu yang menyuguhkan segala macam kesenangan itu sesungguhnya merupakan musuh yang paling jahat, yang akan dapat menyeret para hambanya ke dalam lembah duka dan kesengsaraan. Kenyataan ini bukan berarti bahwa nafsu adalah sesuatu yang amat buruk dan harus dilenyapkan dari diri kita. Sama sekali tidak! Nafsu sudah ada semenjak kita lahir.

   Nafsu, karena itu, juga merupakan anugerah Tuhan. Tuhan telah mengikutkan nafsu kepada kita sejak lahir, seperti juga mengikutkan hati, perasaan, pikiran dan semua anggauta badan kita. Seperti juga yang lain itu, nafsu hanya merupakan pelengkap, merupakan alat, bahkan alat hidup yang penting sekali. Tanpa adanya nafsu, kita tidak mungkin dapat hidup. Nafsulah yang membuat kita bergairah, untuk bekerja, untuk makan, untuk minum, bahkan dalam setiap panca indera kita, nafsu mendatangkan kenikmatan dalam mendengar, melihat, mencium dan sebagainya. Nafsu pula yang mendorong manusia untuk saling menghubungi lawan jenisnya sehingga manusia dapat berkembang biak. Sesungguhnyalah, nafsu merupakan alat yang teramat penting dan baik, nafsu merupakan hamba yang amat setia dan berguna.

   Akan tetapi, daya-daya rendah kebendaan, yaitu ikatan kita dengan segala macam benda ciptaan manusia sendiri, daya rendah tumbuh-tumbuhan dan hewam yang memasuki tubuh kita melalui makanan, daya rendah jasmani yang menimbulkan ikatan antar manusia dalam hubungannya, semua itu saling berlomba melalui nafsu untuk menjadi majikan atas diri manusia. Dan nafsu yang dapat menjadi hamba paling baik itu, sekali dibiarkan menjadi majikan, akan memperbudak kita. Jiwa yang merupakan unsur paling murni di dalam diri, tertutup dan tidak berdaya sehingga diri sepenuhnya dikuasai oleh nafsu. Setiap pikiran, kata-kata dan perbuatan kita bergelimang nafsu! Dan betapapun manusia berusaha untuk membersihkan diri dari nafsu, untuk membebaskan diri dari cengkeraman nafsu yang memperbudak kita, semua usaha itu akan sia-sia dan gagal.

   Karena usaha itu adalah hasil dari pikiran yang sudah bergelimang nafsu pula. Tidak mungkin pikiran yang bergelimang nafsu ini membersihkan pikiran sendiri dari nafsu. Usaha itu masih berputar di dalam lingkaran yang dikuasai nafsu. Hanya kekuasaan yang berada di luar lingkaran itu sajalah yang akan mampu membebaskan kita. Dan kekuasaan itu adalah kekuasaan mutlak, yaitu kekuasaan Tuhan! Karena nafsu merupakan ciptaan Tuhan, maka kekuasaan-Nya sajalah yang akan mampu mengatur, akan mampu membersihkan jiwa dari gelimangan nafsu, dan akan mampu membuat nafsu menduduki tempat yang semestinya, yaitu sebagai alat hidup manusia, bagaikan kuda penarik yang jinak dan penurut, bukan liar dan binal! Dan kekuasaan Tuhan pasti akan bekerja selama kita tidak mengagungkan diri sendiri yang sesungguhnya rendah, menyombongkan kekuatan sendiri yang sesungguhnya lemah.

   Kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau kita mawas diri, melihat kenyataan betapa kecil kita ini di hadapan kekuasaan Tuhan, kalau kita rendah hati lahir batin dan menyerah kepada Tuhan dengan ikhlas, tawakal dan sabar. Demikianlah, semenjak saat itu, Pek Lan membantu Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw itu dan dengan ilmunya yang tinggi, Pek Lan membantu pendeta palsu itu menculiki gadis-gadis cantik dari dusun-dusun. Di samping itu, Pek Lan menerima pula petunjuk dan pelajaran dari Thai-yang Suhu yang memenuhi janjinya, mengajarkan ilmu sihir kepada wanita cantik itu. Sebaliknya, Pek Lan juga tidak melanggar janjinya dan dengan penuh kemesraan dan kepasrahan iapun menyerahkan dirinya melayani semua gairah nafsu tokoh Pek-lian-kauw itu. Bahkan iapun merasa puas dan senang karena ternyata pria yang sudah berusia enam puluh tahun itu perkasa, bahkan tidak kalah oleh yang muda-muda.

   "Sungguh aku merasa heran sekali, Pek Lan. Engkau gagal karena dihalangi oleh seorang pemuda yang bertubuh cacat, yang bongkok? Sungguh penasaran dan memalukan sekali!"

   Demikian berkali-kali Thai-yang Suhu menegur pembantunya, juga kekasihnya itu. Pek Lan mengerutkan alisnya dan mulutnya yang berbibir merah basah tanpa gincu itu cemberut.

   "Hemm, mencela memang mudah! Aku bukan mengatakan bahwa aku kalah oleh setan bongkok itu, akan tetapi aku hanya mengatakan bahwa dia memang lihai sekali. Aku terpaksa melarikan diri bukan karena takut melawannya. Kami belum berkelahi sungguh-sungguh. Akan tetapi, bagaimana aku akan bertindak nekat kalau ratusan orang penduduk berada di belakangnya?"

   Thai-yang Suhu mengerutkan alisnya pula.

   "Hemm, tentu si bongkok itu pula yang mengerahkan penduduk. Dan selama dia berada di sana dan menghasut penduduk untuk melawan kita, maka tentu akan sukar bagi kita untuk memenuhi jumlah gadis yang kita butuhkan. Sudah ada sembilan orang dan tinggal enam lagi saja, eh, tiba-tiba muncul setan bongkok itu. Kita harus melenyapkan perintang itu."

   "Benar sekali, kalau si bongkok itu kita bunuh, tentu hati para penduduk menjadi gentar lagi dan mereka tidak akan berani lagi menentang kita,"

   Kata seorang di antara Tibet Sam Sinto (Tiga Golok Sakti Tibet) itu. Dua orang saudaranya mengangguk-angguk. Pek Lan yang merasa panas hatinya karena ditegur Thai-yang Suhu tadi, mendengar ucapan Tibet Sam Sinto segera bangkit dan bertolak pinggang, lalu berkata dengan suara lantang,

   "Sam Sinto, biar kalian bertiga yang menghadapi penduduk yang banyak akan tetapi lemah itu, dan biar aku yang akan menan-dingi si bongkok sampai dia mampus di tanganku!"

   Tibet Sam Sinto tidak berani memandang rendah kepada wanita muda yang cantik manis itu karena mereka maklum betapa lihainya Pek Lan, mereka hanya mengangguk dan seorang di antara mere-ka berkata singkat,

   "Jangan khawatir, nona. Kami akan membasmi penduduk yang berani menentang kita!"

   "Hemm, kalian tidak boleh menuruti hati marah saja. Semua harus diatur dengan cermat agar jangan sampai gagal. Aku tidak biasa bekerja secara serampangan saja, harus menggunakan siasat yang matang,"

   Kata Thai-yang Suhu. Pada saat itu, seorang anak buah mereka muncul. Anak buah ini tadi telah menerima tugas untuk menyelidiki keadaan dalam dusun Ngomaima, terutama sekali menyelidiki tentang si bongkok.

   "Bagaimana hasil penyelidikanmu?"

   Tanya Thai-yang Suhu. Anak buah ini juga seorang anggauta Pek-lian-kauw yang terkenal cerdik dan juga memiliki gin-kang yang membuat dia mampu berlari cepat dan bergerak dengan gesit. Setelah memberi hormat, anak buah itu lalu bercerita.

   "TIdak ada yang mengetahui siapa nama si bongkok itu, Lo suhu. Orang menyebut dia Pendekar Bongkok, dan tak seorangpun mau mengaku ketika saya mencoba bertanya siapa namanya dan bagaimana riwayatnya. Yang jelas, dia bukan penduduk daerah ini, melainkan datang dari timur."

   "Di mana dia sekarang dan bagaimana keadaan para penduduk dusun Ngomaima?"

   Tanya pula Thai-yang Suhu tak sabar.

   "Dia masih bermalam di rumah penginapan, akan tetapi penduduk kini melakukan penjagaan ketat dan puluhan orang melakukan penjagaan secara bergiliran."

   "Hemm, aku tidak takut! Mari kita sekarang juga mencari si bongkok itu di rumah penginapan!"

   Kata Pek Lan gemas.

   "Tidak,"

   Bantah Thai-yang Suhu.

   "Sudah kukatakan, semua harus menggunakan rencana siasat. Jangan sampai kita memperlihatkan kelemahan seolah-olah takut kepada si bongkok dan para penduduk. Pek Lan, besok siang kita usahakan untuk memberi tanda merah lagi pada pintu rumah Gulamar, dan malam harinya, engkau culik puterinya!"

   "Tapi, kalau mereka tahu, tentu mereka mengatur jebakan,"

   Bantah Pek Lan.

   "Ha-ha-ha, justeru itu yang kuhendaki. Biarlah mereka mengatur jebakan untukmu, akan tetapi mereka tidak tahu bahwa di belakangmu ada kami! Tibet Sam Sinto yang akan menghadapi orang-orang dusun bodoh itu, dan engkau menculik gadis itu. Kalau si bongkok muncul, kita hadapi berdua, dan jangan khawatir, aku melindungimu, Pek Lan."

   Wanita muda itu mengangguk-angguk dan hatinyapun merasa tenang.

   Kalau Thai-yang Suhu membantunya menghadapi si bongkok, ia hampir yakin bahwa mereka tentu akan mampu merobohkan Pendekar Bongkok itu. Malam itu, Pek Lan berusaha keras untuk menyenangkan hati Thai-yang Suhu, sebagian untuk menebus kekurangannya karena kegagalan menculik puteri Gulamar, ke dua karena pendeta Pek-lian-kauw itu besok akan mem-bantunya. Untuk memberi tanda darah kepada pintu keluarga hartawan itu, diserahkan kepada anak buah yang cekatan dan pandai menyamar. Sie Liong berjalan dengan tenang mendaki bukit Onta yang penuh dengan hutan itu. Biarpun belum yakin karena belum mendapatkan bukti, namun dia menduga keras bahwa tentu siluman yang suka menculik gadis itu bersembunyi di tempat yang ditakuti orang ini. Sebuah tempat persembunyian yang baik.

   Akan tetapi, siluman itu seorang wanita, dan mengapa ada wanita menculiki gadis-gadis cantik? Tentu wanita siluman itu tidak sendiri dan mungkin terdapat banyak kawannya yang tentu saja berbahaya. Maka, biarpun dia melangkah tenang, dia tak pernah lengah sedetikpun. Mata dan telinganya menyelidiki keadaan di sekelilingnya. Sikapnya yang amat hati-hati itu tidak menolongnya. Semenjak dia mendaki Bukit Onta, setiap gerakannya sudah diikuti oleh banyak pasang mata. Dia tidak tahu bahwa pendakiannya tadi kelihatan oleh anak buah Thai-yang Suhu yang segera melapor kepada perdeta Pek-lian-kauw itu. Mendengar bahwa Pendekar Bongkok sudah datang berkunjung dan mendaki bukit, tentu saja hal ini tidak pernah disangka oleh Thai-yang Suhu yang cepat mempersiapkan diri.

   Dia berunding dengan Pek Lan dan Tibet Sam Sinto, mengatur siasat. Thai-yang Suhu, biarpun nampaknya seperti seorang pendeta, namun dia adalah pendeta dari aliran kebatinan yang sesat, oleh karena itu, dia tidak segan atau malu selalu bersikap curang. Kalau dia gagah, tentu dijumpainya Pendekar Bongkok agar mereka dapat bertanding secara gagah pula. Tidak, dia tidak ingin mengalami kerugian dan segalanya diperhitungkan demi keuntungan pihaknya. Dia belum mengenal siapa Pendekar Bongkok, dari aliran mana dan bagaimana tingkat ilmu kepandaiannya. Kalau memang Pendekar Bongkok pandai, mengapa tidak diusahakan dulu agar suka membantu dan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Kalau semua usaha itu gagal, baru terpaksa dibunuh!

   Sie Liong menurutkan jalan setapak yang ditemukannya dalam hutan itu. Ketika membelok di bagian tengah hutan, pada jalan menurun, tiba-tiba saja dia dihadapkan dengan sebuah telaga kecil yang amat indah dan amat jernih airnya. Ada air terjun tak jauh dari situ, dan airnya membuat sungai kecil memasuki telaga. Dari tempat dia berdiri, dia melihat pemandangan yang amat indah. Tak disangkanya bahwa di bukit yang sunyi dan penuh hutan, yang ditakuti orang itu, terdapat tempat yang demikian indahnya. Dia lalu menuruni jalan setapak itu, menghampiri telaga. Terpesona dia berdiri di tepi telaga. Air telaga demikian jernih, bagaikan kaca yang berada di depan kakinya demikian jernihnya sehingga dia dapat melihat batu-batu di dasarnya, juga melihat beberapa ekor ikan hilir mudik.

   Di sebelah sana, di mana permukaan air digelapi bayang-bayang pohon, air itu seperti menelan semua pemandangan di atasnya. Pohon, daun-daun, awan dan sinar matahari, semua tenggelam dan nampak sedemiktan jelasnya sehingga setiap helai daun pohon itupun nampak. Tidak ada angin menggerakkan daun pohon, agaknya angin sudah ditangkis oleh pohon-pohon besar di sekeliling telaga itu. Suara air membuat dia menoleh ke kiri dan untuk kedua kalinya dia terpesona! Kalau tadi dia terpesona oleh keindahan telaga itu, kini dia terpesona oleh suatu keindahan yang lain lagi, keindahan wajah dan tubuh seorang wanita! Wanita itu masih muda, tidak lebih dari dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya cantik manis dengan bentuk bulat telur, dan gadis itu bertelanjang bulat sama sekali,

   Tidak ada sehelai benangpun menutupi tubuhnya yang masak dan padat. Kulitnya demikian putih mulus dan karena dia tidak berdiri terlalu jauh, dan kebetulan sinar matahari menimpa tubuh telanjang itu, Sie Liong dapat melihat bulu-bulu halus lembut pada lengan dan kaki gadis itu, yang membuat ia menjadi semakin menarik. Gadis itu duduk di atas batu dan dia melihatnya dari samping. Dengan kedua kakinya, gadis itu menendang-nendang air dan itulah bunyi air yang tadi menarik perhatiannya. Agaknya gadis itu tidak melihatnya, dan sedang asyik sendiri. Dari keadaan terpesona, Sie Liong kini menjadi tersipu, merasa betapa dia telah bersikap tidak sepatutnya, melihat seorang gadis bertelanjang bulat seperti itu. Wajahnya berubah merah dan diapun cepat membuang muka, bahkan lalu berdiri membelakangi gadis itu, kemudian melangkah pergi.

   "Heiii....!"

   Tiba-tiba Sie Liong mendengar suara gadis itu, disusul suara tubuh jatuh ke air. Karena ingin tahu apa yang terjadi, Sie Liong menahan kakinya dan membalik, memamdang. Gadis itu agaknya tadi melihat dia dan terkejut lalu terjun ke air di dekat batu yang tadi didudukinya. Kini gadis itu berdiri sepinggang dalam air, dan nampak dadanya yang berbentuk indah.

   "Heii, siapakah engkau? Apakah engkau hendak mandi? Marilah, kita boleh mandi bersama. Di sini tidak ada orang lain!"

   Kedua pipi Sie Liong menjadi semakin merah dan dia mengerutkan alisnya, lalu cepat membalikkan tubuh lagi, tidak mau memandang dada indah dan wajah manis itu terlalu lama, bahkan dia lalu pergi tanpa banyak bicara lagi. Gadis itu sungguh tidak tahu malu, pikirnya. Tidak bersusila, sudah tidak malu dilihat pria dalam keadaan bertelanjang, bahkan mengajak mandi bersama! Seperti bukan seorang wanita biasa! Pantasnya wanita itu siluman! Siluman Merah! Sie Liong merasa betapa jantungnya berdebar dan dia memperlambat langkahnya. Kini terdengar gadis itu kembali bicara, dan nada suaranya amat menyesal penuh teguran.

   "Engkau ini orang macam apakah? Disapa baik-baik tidak mau menjawab! Selama hidupku belum pernah aku bertemu seorang manusia sesombong engkau! Aku ingin sekali bicara denganmu, dan siapa tahu, aku dapat memberi keterangan padamu! Bukankah engkau mencari seseorang di sini?"

   Mendengar ucapan ini, kembali untuk ke dua kalinya Sie Liong menahan langkahnya, akan tetapi dia tidak mau menoleh atau membalikkan tubuhnya. Mungkin saja gadis ini siluman merah yang juga seorang wanita, pikirnya, walaupun dugaan ini dia bantah sendiri. Tak mungkin! Siluman merah itu orang berilmu tinggi, dan yang di belakangnya ini hanya seorang gadis muda yang cantik manis, sukar dipercaya kalau memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan andaikata bukan siluman aerah, siapa tahu gadis ini dapat memberi keterangan di mana tempat persembunyian siluman merah.

   

Mutiara Hitam Eps 23 Istana Pulau Es Eps 11 Mutiara Hitam Eps 21

Cari Blog Ini