Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Bongkok 15


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



"Aku bukan orang sombong. Kalau engkau berpakaian dengan sopan, tentu aku akan suka bicara dengan nona. Engkau berpakaianlah lebih dulu!"

   "Hi-hi-hik!"

   Gadis itu tertawa, suara ketawanya merdu, tidak dibuat-buat dan bebas lepas.

   "Kiranya engkau seorang yang sopan santun, ya? Bersusila tinggi, ya? Apa sih salahnya bertelanjang bulat? Bukankah ketika engkau dan aku terlahir, kita juga bertelanjang bulat? Bukankah manusia baru kelihatan keasliannya dan keindahan tubuhnya kalau bertelanjang bulat? Baiklah, aku akan berpakaian dulu. Awas, jangan mengintai kau, seperti kebanyakan laki-laki, mulutnya bersopan-sopan, akan tetapi matanya mencuri-curi, hi-hi-hi!"

   Sie Liong merasa mendongkol juga. Gadis ini aneh sekali, akan tetapi ejekannya tadi memang mengena! Dia mendengar suara berkeresekan, dan biarpun matanya tidak melihat, namun pendengarannya yang tajam terlatih dapat membuat dia tahu bahwa gadis itu memang benar kini sedang mengenakan pakaian.

   "Nah, aku sudah selesai berpakaian. Kaulihat, apakah aku lebih baik kalau berpakaian dari pada kalau bertelanjang? Lihat baik-baik!"

   Karena dari pendengarannya tadi dia sudah yakin bahga gadis itu kini sudah berpakaian, Sie Liong lalu membalikkan tubuhnya. Gadis itu memang cantik menarik bukan main. Sayang pandang matanya dan senyumnya, walaupun manis dan amat memikat, mengandung kegenitan dan kecabulan! GadiS itu tersenyum.

   "Engkau orang aneh, tubuhmu juga aneh, akan tetapi wajahmu tampan dan engkau nampak begitu kuat! Hemm, aku ingin sekali bicara denganmu!"

   Berkata demikian, gadis itu lalu melangkah dari batu ke batu untuk menuju ke tepi di mana Sie Liong berdiri. Gadis itu melangkah dengan agak sukar dan hal ini saja membuktikan bahwa ia tidak pandai silat, atau andaikata bisapun kepandaiannya tentu masih rendah sekali. Ketika dari batu terakhir ia melompat ke tanah yang jaraknya hanya satu meter dan agaknya lebih tinggi dari batu itu, ia meloncat dengan kaku dan tak dapat dicegah lagi, kakinya terpeleset dan iapun jatuh miring di atas tanah.

   "Aduhhhh.... aduh, kakiku.... sakit....!"

   Gadis itu mengeluh dan berusaha untuk bangkit duduk, akan tetapi tidak dapat dan ia mencoba untuk menyentuk kakinya di tumit, juga tidak dapat.

   Sie Liong mengerutkan alisnya. Sejak tadi dia waspada. Gadis ini demikian muda dan cantik, dan berada seorang diri saja di tempat yang sunyi dan liar ini. Padahal, para penduduk, biar pemburu yang gagah berani sekalipun, tidak berani mendaki Bukit Onta ini. Hal ini saja membuktikan bahwa gadis ini tentu memiliki sesuatu yang membuat ia berani berada seorang diri di tempat berbahaya ini. Dan tadi, dia menduga bahwa gadis itu agaknya hendak merayunya lewat tubuhnya yang menggairahkan, dan lewat kegenitannya yang mengajak mandi bersama. Ketika rayuan itu tidak mendapat tanggapon, gadis ini mungkin saja sengaja membuat dirinya jatuh agar dia mau menolongnya. Dalam keadaan seperti itu, tentu saja dia dapat lengah.

   "Aduh, tolong....! Apakah selain sombong, engkau juga begitu kejam sehingga tidak mau menolong seorang wanita yang terjatuh dan terkilir kakinya? Aduhh....!"

   Gadis itu kini menjulurkan lengan kirinya ke arah Sie Liong, minta bantuan agar pemuda itu suka menolongnya bangkit. Sie Liong tersenyum, lalu menghampiri dan menggunakan tangan kanan untuk memegang tangan kiri yang dijulurkan itu. Dia kelihatan sama sekali tidak menaruh curiga dan seperti orang yang benar hendak membantu gadis itu bangkit duduk. Lunak dan hangat terasa olehnya ketika tangannya bersentuhan dengan telapak tangan yang putih mulus itu. Gadis itu lalu bangkit duduk, bahkan sambil masih berpegang kepada tangan Sie Liong, ia berdiri, agak terhuyung dan di lain saat ia sudah merangkul leher Sie Liong dan merapatkan pipinya di dada Pendekar Bongkok!

   Sie Liong mencium bau yang harum keluar dari rambut dan leher gadis itu. Jantungnya berdebar dan tubuhnya tergetar karena betapapun juga, darah mudanya bergolak ketika tubuh yang hangat itu merapat pada tubuhnya. Akan tetapi, dia segera teringat bahwa hal itu tidak selayaknya, maka diapun melangkah mundur merenggangkan diri sambil melepaskan tangan gadis itu, juga melepaskan lengan yang merangkul lehernya. Dan pada saat itu, tiba-tiba sekali, dari jarak yang amat dekat, gadis itu menggerakkan tangannya, dengan jari-jari terbuka, tangan itu menotok ke arah perut Sie Liong! Dahsyat bukan main serangan ini dan jari-jari tangan itu sudah terisi tenaga dalam yang amat jahat, karena telapak tangan itu berubah menghitam. Gadis itu telah mempergunakan pukulan maut!

   "Huhh....!"

   Sie Liong dapat mengelak sambil menangkis dari samping.

   "Hyaatt....!"

   Pek Lan, gadis cantik itu, menyusulkan cengkeraman ke arah leher, namun kembali Sie Liong dapat mengelak dengan melangkah mundur dan menangkis lengan yang bergerak ke arah lehernya. Pek Lan merasa penasaran sekali, kakinya bergerak menendang ke arah bawah pusar lawan!

   "Hemm, keji sekali....!"

   Pendekar Bongkok berseru dan tubuhnya melayang ke belakang. Tendangan itupun luput! Sie Liong berdiri dan bertolak pinggang, tersenyum pahit, lalu berkata dengan nada suara mengejek.

   "Bagus sekali, kiranya selain kejam dan melakukan kejahatan aneh menculiki gadis-gadis, engkau juga masih pandai melakukan perbuatan curang!"

   Pek Lan memandang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa Pendekar Bongkok sedemiktan lihainya. Bukan hanya tidak dapat dirayunya, juga tidak mudah ditipu dengan pura-pura jatuh tadi. Dan dia hanya seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok dan nampaknya lemah!

   "Bagaimana.... kau bisa tahu?"

   Tanyanya, menahan rasa penasaran dan kemarahan saking herannya.

   
"Engkau seorang gadis muda berada seorang diri di tempat seperti ini membuktikan bahwa engkau tentulah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian. Pakaianmu demikian mewah, hal ini membuktikan bahwa engkau tentu bukan pendatang dari luar hutan, melainkan mempunyai tempat tinggal di dalam hutan. Dan siluman merah yang bertemu dengan aku semalam seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi. Ketika engkau gagal menggunakan siasat menjatuhkan kelemahanku sebagai pria, engkau lalu berpura-pura jatuh. Aku sudah curiga dan siap siaga, maka beberapa seranganmu yang masih mentah itu tentu saja dapat kuhindarkan."

   "Jahanam sombong, sekarang juga engkau akan mampus di tanganku!"

   Berteriak demikian, Pek Lan lalu menerjang dengan gerakan cepat, kedua tangannya melakukan serangan bertubi-tubi. Melihat betapa kedua telapak tangan gadis itu berubah menghitam, maklumlah Sie Liong bahwa dia menghadapi seorang gadis golongan sesat yang menguasai ilmu sesat pula.

   Diam-diam dia menyayangkan sekali bahwa seorang gadis muda yang begini cantik ternyata menjadi seorang wanita sesat yang genit, cabul dan juga amat jahat. Maka, diapun cepat mengerahkan sin-kangnya dan sambil mengelak atau kadang-kadang menangkis, diapun membalas dengan tamparan-tamparan tangan yang amat mantap dan dahsyat. Setelah mereka saling serang selama belasan jurus, terkejutlah Pek Lan. Bukan saja semua serangannya yang dahsyat itu tak pernah berhasil, bahkan kalau pemuda bongkok itu menangkis, dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya serasa retak dan tubuhnya tergetar hebat! Dan kalau pemuda itu membalas, angin pukulannya menyambar seperti angin badai yang membuat ia semakin gentar saja. Tidak berani ia menangkis, tidak berani mengadu tenaga karena ia tahu bahwa tenaga sin-kangnya kalah kuat.

   Juga penggunaan hawa beracun agaknya tidak ada gunanya karena kedua tangan pemuda itu dilindungi semacam uap putih yang membuat uap hitam dari telapak tangannya membuyar bahkan membalik! Ia tidak tahu bahwa pemuda lawannya itu memiliki ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang jauh lebih tinggi tingkatnya daripada ilmunya yang disebut Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam). Teringatlah Pek Lan akan ilmu sihir yang diajarkan oleh Thai-yang Suhu kepadanya, maka diam-diam, sambil sibuk mengelak berloncatan untuk menghindarkan hujan tamparan dari Sie Liong, ia berkemak-kemik membaca mantera, pandang matanya bagaikan dua ujung pedang yang disatukan seperti menembus dahi Pendekar Bongkok di antara alisnya, kemudian tiba-tiba ia membentak nyaring.

   "Pendekar Bongkok, menyerah dan berlututlah engkau!"

   Sie Liong terkejut sekali, ketika merasa betapa ada tenaga luar biasa yang seolah-olah memaksanya untuk menyerah dan berlutut.

   Akan tetapi dia adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah menerima banyak petunjuk dari Pek-sim Sian-su, bagaimana menghadapi ilmu-ilmu sihir dari kaum sesat. Diapun cepat menahan napas mengerahkan khi-kang dan pengaruh yang memaksanya itu buyar. Akan tetapi dia menahan senyum dan pura-pura menjatuhkan diri berlutut seolah-olah dia terpengaruh oleh sihir yang dilakukan gadis itu! Melihat lawannya benar-benar berlutut, Pek Lan girang bukan main akan hasil ilmu sihirnya itu. Ia tahu bahwa lawannya ini amat berbahaya, dan tidak mudah ditundukkan dengan pengaruh ke-cantikan wajah dan keindahan tubuhnya, maka baginya tidak ada gunanya, bahkan membahayakan saja. Maka iapun lalu menubruk ke depan dan kedua tangannya, dengan jari-jari membentuk cakar harimau, menyambar ke arah ubun-ubun kepala Pendekar Bongkok.

   "Haiiiittt....!"

   Pendekar Bongkok tiba-tiba membentak, kedua tangannya mendorong ke depan dan bagaikan sebuah layang-layang yang putus talinya, tubuh Pek Lan melayang ke belakang lalu terbanting jatuh! Untung bahwa Pendekar Bongkok tidak bermaksud membunuhnya, maka Pek Lan tidak tewas, bahkan tidak terluka parah, hanya terbanting keras, membuat pinggulnya yang montok itu terasa nyeri bukan main. Ia meloncat bangun, menggosok-gosok pinggul yang tadi terbanting sambil meringis kesakitan. Akan tetapi, kemarahannya memuncak dan tanpa banyak cakap lagi, iapun sudah mencabut pedangnya dan sambil mengeluarkan lengkingan panjang,

   Ia menyerang Pendekar Bongkok dengan pedangnya. Kalau saja Sie Liong menghendaki, pukulan dahsyat Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung) tadi sudah cukup untuk membunuh Pek Lan. Akan tetapi, dia tidak bermaksud membunuh orang. Bagaimanapun juga, siluman merah itu belum diketahui apa sebenarnya yang menjadi latar belakang perbuatannya menculik gadis-gadis itu. Kini, melihat betapa wanita itu menjadi semakin nekat dan menyerangnya dengan pedang, dengan permainan pedang yang cukup berbahaya, dia-pun mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya, mengelak sambil berloncatan dan berkali-kali tubuhnya berkelebatan di sekeliling lawannya, membuat gadis itu menjadi bingung dan pening. Ia merasa seolah melawan bayangan saja, demikian cepatnya gerakan Pendekar Bongkok.

   "Hentikan seranganmu, atau terpaksa aku akan merobohkanmu. Kembalikan semua gadis yang telah kauculik, dan aku akan memaafkanmu!"

   Pendekar Bongkok berseru beberapa kali, namun sebagai jawabannya, Pek Lan menyerang semakin ganas saja. Sie Liong menjadi marah. Gadis ini terlalu ganas dan berhati kejam, kalau tidak diberi hajaran keras tentu tidak akan mau tunduk. Ketika pedang itu untuk ke sekian kalinya meluncur ke arah dadanya, Pendekar Bongkok mengelak dengan miringkan tubuh dan menarik tubuh atas ke belakang, lalu tangannya dengan cepat sekali menotok ke atas pundak kanan Pek Lan.

   "Tukkk!"

   Pek Lan merasa lengannya lumpuh dan pedang itu terlepas dari pegangannya, akan tetapi dengan gerakan memutar, ia menubruk ke arah Pendekar Bongkok dan tanpa malu-malu lagi tangannya yang membentuk cakar itu mencengkeram ke arah bawah pusar pemuda bongkok itu!

   "Ihh....!"

   Sie Liong meloncat ke belakang dan mukanya berubah merah. Wanita ini sungguh tidak tahu malu sama sekali! Dia melompat ke belakang bukan karena takut melainkan karena malu. Namun baru dia tahu bahwa serangan mencengkeram ke arah bawah pusarnya tadi hanya merupakan gertakan saja karena kini Pek Lan sudah menyambar kembali pedangnya yang tadi terlepas. Serangan itu dipergunakan hanya untuk dapat merampas kembali pedang yang sudah lepas dari tangan. Wanita itu kini maklum benar bahwa Pendekar Bongkok sungguh amat lihai.

   Namun, ia masih merasa penasaran, apalagi mengingat bahwa ada teman-temannya yang tentu akan membantunya. Benar saja, ketika ia menerjang lagi, tiba-tiba bermunculan tiga orang Tibet Sam Sinto yang sejak tadi hanya mengintai sambil menonton saja dan baru mereka muncul dan membantu Pek Lan setelah menerima perintah dari Thai-yang Suhu. Tokoh Pek-lian-kauw ini tidak segera memberi perintah membantu Pek Lan karena dia ingin memperhatikan gerakan ilmu silat Pendekar Bongkok dan untuk mengujinya sampai di mana kelihaian pemuda bongkok itu. Diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian Pendekar Bongkok yang membuat Pek Lan tidak berdaya. Setelah gadis itu terdesak hebat dan terancam bahaya, barulah dia memberi isarat kepada Tibet Sam Sinto untuk maju membantu.

   Melihat munculnya tiga orang laki-laki tinggi besar yang masing-masing memegang sebatang golok melengkung dan gerakan mereka aneh, Sie Liong dapat menduga bahwa mereka tentulah jagoan-jagoan dari Tibet. Hal ini dapat diketahuinya dari gaya gerakan tubuh mereka. Dia sudah banyak mendengar dari para gurunya, yaitu Himalaya Saw Lojin dan juga Pek-sim Sian-su tentang ilmu silat Tibet yang bercampur dengan gaya silat gulat, semacam ilmu silat yang mengandalkan cengkeraman, tangkapan, dan bantingan. Akan tetapi, perhatian Sie Liong bukan sepenuhnya kepada tiga orang ini. Dia menduga bahwa tentu masih ada musuh lain yang bersembunyi seperti tiga orang tinggi besar tadi yang bersembunyi di balik semak-semak. Dia tadi tidak mendengar kedatangan mereka, hal itu hanya berarti bahwa sejak tadi mereka memang berada di situ, bersembunyi.

   Dia telah terjebak! Semua siasat yang dilakukan wanita cantik itu merupakan siasat mereka. Mungkin sejak dia mendaki Bukit Onta, gerak-geriknya tentu telah diikuti pihak musuh. Ketika mendengar bunyi berkeresek di atas pohon besar, tiba-tiba Sie Liong mengeluarkan lengkingan panjang dan sebelum Pek Lan dan Tibet Sam Sinto sempat menyerangnya, tubuhnya sudah melayang naik ke arah pohon di mana dia tadi mendengar daun berkeresekan. Melihat bayangan manusia di dalam pohon itu, Sie Liong meloncat sambil menyerang dengan dorongan telapak tangannya. Orang itu ternyata seorang kakek tinggi besar pula yang berkepala gundul dan berpakaian pendeta. Melihat Sie Liong meloncat ke atas pohon dan menyerangnya, kakek itu yang bukan lain adalah Thai-yang Suhu, menjadi terkejut dan cepat menangkis.

   "Dukk!"

   Keduanya terdorong keras dan terpaksa keduanya melompat turun dari atas dahan pohon. Ketika tubuhnya terdorong dan terpaksa meloncat turun, tangannya menyambar sebatang ranting sebesar lengannya dan ranting itu patah dan terbawa turun.

   Lega rasa hati Sie Liong setelah dia memperoleh senjata itu, sebatang ranting yang panjangnya satu setengah meter, cukup kuat dan lentur. Di lain pihak, Thai-yang Suhu terkejut setengah mati. Tadi ketika dia menangkis, ia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Biarpun pemuda bongkok itu terpaksa meloncat turun, dia sendiripun harus meloncat turun karena tubuhnya terpental dan seluruh lengannya yang menangkis tadi terasa dingin sekali! Dia tidak tahu bahwa pemuda itu tadi mengerahkan ilmu Swat-liong-ciang (Ikmu Silat Naga Salju) yang membuat kedua lengannya dipenuhi sin-kang yang dingin sekali. Kini Sie Liong berdiri di tengah, dikepung oleh lima orang itu. Melihat keadaan kakek pendeta itu, Sie Liong segera mengenal gambar teratai putih,

   Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang tokoh Pek-lian-kauw, dan mengertilah dia kini mengapa gadis cantik itu menculiki gadis-gadis dusun yang cantik. Dia sudah sering mendengar tentang sepak terjang aliran agama sesat Pek-lian-kauw yang bersembunyi di balik kedok perjuangan membela rakyat! Sebuah perkumpulan di mana orang-orangnya mempelajari ilmu silat dan ilmu sihir, dan di mana seringkali terjadi kecabulan karena orang-orang Pek-lian-kauw merupakan hamba nafsu, terutama sekali nufsu berahi. Dia sering kali mendengar bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak murid atau anak buah wanita-wanita muda yang cantik. Tentu perawan-perawan dusun itu akan dijadikan anak buah, bukan saja membantu kekuatan Pek-lian-kauw, akan tetapi mereka dijadikan tenaga hiburan bagi para pimpinan Pek-lian-kauw!

   "Hemm, kiranya Pek-lian-kauw yang berdiri di belakang penculikan para gadis itu!"

   Kata Sie Liong sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, tongkat ranting pohon itu berada di tangannya dan berdiri di depannya, dengan daun-daun yang masih memenuhi ranting kecil yang mencuat ke kanan kiri. Thai-yang Suhu yang kini tidak berani memandang rendah lawannya, segera melangkah maju, sepasang pedang sudah dicabutnya dari balik jubah. Dia menudingkan pedang kiri ke arah muka Sie Liong dan terdengar suaranya yang berwibawa.

   "Orang muda, siapakah engkau se-sungguhnya? Selamanya belum pernah kami mendengar tentang seorang yang disebut Pendekar Bongkok, dan mengapa pula memusuhi kami dan menghalangi pekerjaan kami! Bicaralah, orang muda. Pinceng adalah Thai-yang Suhu, mereka ini adalah Tibet Sam Sinto, dan nona itu adalah nona Pek Lan, murid terkasih dari Hek-in Kui-bo. Nah, engkau lihat, engkau berhadapan dengan lima orang yang memiliki nama besar di dunia kang-ouw, oleh karena itu, sungguh tidak bijaksana bagimu kalau engkau memusuhi kami. Bukankah lebih baik kalau kita bekerja sama?"

   Mendengar ucapan itu, Sie Liong mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mencorong penuh kemarahan. Tokoh sesat ini menawarkan kerja sama dengan dia, berarti mengajak dia menjadi seorang penjahat!

   "Thai-yang Suhu, engkau seorang yang berpakaian pendeta, akan tetapi ternyata kependetaanmu itu hanya kedok saja, seperti srigala berkedok domba. Aku bernama Sie Liong, tentang nama julukan itu, terserah yang menyebutku. Memang aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, akan tetapi aku adalah musuh besar dari semua perbuatan jahat! Kalian telah menculik sembilan orang gadis-gadis dusun. Nah, kalau kalian tidak menghendaki pertentangan dengan aku, kalau menghendaki kerjasama, bebaskanlah sembilan orang gadis itu, dan akupun tidak akan mengganggu kalian lagi, kecuali kalau lain kali aku melihat kalian melakukan kejahatan lagi!"

   "Bocah bongkok keparat sombong! Toasuhu, kenapa banyak bicara dengan bocah sombong ini? Biar kami habiskan dia!"

   Bentak seorang di antara Tibet Sam Sinto dan mereka bertiga sudah marah sekali, sudah siap dengan golok mereka. Akan tetapi Thai-yang Suhu memberi isarat agar para pembantunya itu jangan bergerak dulu. Lalu dia merogoh sesuatu dari dalam saku jubahnya, melontarkan benda sebesar kepalan tangan ke atas, ke arah Pendekar Bongkok sambil membentak lebih dulu dengan suara parau.

   "Orang she Sie, lihat apakah engkau mampu menandingi seekor naga berapi!"

   Sungguh hebat! Benda yang dilontarkan tadi seketika berubah menjadi asap hitam dan dari dalam asap hitam itu muncullah seekor naga menyemburkan api, bahkan tubuhnya juga bernyala. Naga itu terbang ke atas lalu dari atas menyambar turun ke arah tubuh Sie Liong! Namun, Pendekar Bongkok ini yang tadinya juga terkejut, cepat menahan napas den mengerahkan tenaga khi-kang, lalu mengangkat tangan kirinya ke atas.

   "Kekuasaan iblis takkan pernah mampu mengalahkan kekuasaan Tuhan lewat manusia!"

   Dan tangan kirinya itupun dengan pengerahan sin-kang Pek-in Sin-ciang yang membuat tangan kiri mengeluarkan uap putih, mendorong ke arah naga api. Terdengar suara keras dan naga itupun lenyap, dan nampak benda sekepal tadi runtuh ke depan kaki Thai-yang Suhu. Ternyata benda itu adalah sebuah tengkorak manusia yang amat kecil, seperti tengkorak bayi saja! Thai-yang Suhu terbelalak, menyambar benda itu dan mengantunginya lagi, akan tetapi pada saat dia mengambil benda itu, tengkorak kecil itu hancur berkeping-keping.

   Ternyata benda yang tadi berubah menjadi naga itu tidak kuat menahan pukulan jarak jauh Pendekar Bongkok dan sudah retak-retak maka ketika dipungut oleh pemiliknya, hancur berantakan. Thai-yang Suhu mengeluarkan teriakan marah dan diapun menggerakkan sepasang pedangnya, menyerang ke arah Pendekar Bongkok. Pada saat itu, Pek Lan juga menggerakkan pedangnya, berbareng dengan Tibet Sam Sinto yang sudah pula menggerakkan golok mereka. Sie Liong mengeluarkan teriakan melengking dan menggerakkan ranting di tangannya. Sekali memutar ranting itu, nampak banyak sekali sinar hijau beterbangan menyerang ke arah lima orang pengeroyoknya! Lima orang itu yang sudah siap menyerang, bahkan sudah menggerakkan senjata, terkejut ketika tiba-tiba melihat sinar-sinar hijau menyambar ke arah mereka.

   Cepat mereka menggerakkan senjata yang diputar di depan tubuh untuk menangkis karena mereka mengira bahwa Pendekar Bongkok mempergunakan senjata rahasia. Ketika sinar-sinar hijau itu runtuh, ternyata "senjata rahasia"

   Itu adalah daun-daun yang tadi menempel pada ranting. Kini di tangan Pendekar Bongkok hanya tinggal sebatang tongkat. Melihat betapa pemuda bongkok itu dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia yang mereka rasakan amat kuat dan berbahaya, lima orang itu terkejut dan makin maklum bahwa Pendekar Bongkok ini, biar masih muda dan cacat tubuhnya, ternyata benar-benar memiliki kesaktian. Maka, tanpa banyak cakap lagi merekapun segera mengepung dan mengeroyok!

   Menghadapi pengeroyokan lima orang yang semua memiliki kepandaian tinggi, Sie Liong lalu memutar tongkatnya dan dia sudah memainkan Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi). Ilmu ini adalah ilmu tongkat yang dipelajari dari Pek-sim Sian-su. Suatu ilmu yang dahsyat bukan main. Ketika senjata yang hanya merupakan sebatang ranting yang menjadi tongkat itu diputar oleh Sie Liong, maka anginpun menyambar-nyambar dahsyat bagaikan badai, dan nampak gulungan sinar hijau yang amat panjang. Dari gulungan sinar hijau itu mencuat ujung-ujung tongkat yang bagaikan kilat cepatnya menyambar-nyambar ke arah lima orang pengeroyoknya. Sekarang tahulah Thai-yang Suhu mengapa Pek Lan kewalahan menghadapi pemuda bongkok ini. Kiranya Pendekar Bongkok ini memang memiliki kepandaian yang amat hebat!

   Biarpun dia sendiri maju dibantu Pek Lan dan tiga orang Tibet Sam Sinto, tetap saja mereka berlima sama sekali tidak mampu mendesak, bahkan mereka yang kewalahan menghadapi tongkat sederhana yang dimainkan secara luar biasa itu. Tongkat di tangan Pendekar Bongkok itu selain luar biasa cepatnya, juga mengandung tenaga kasar dan halus secara bergantian, dan setiap gerakan ujung tongkat itu mengeluarkan suara bersiutan di antara angin yang kuat sekali. Thai-yang suhu adalah seorang to-koh Pek-lian-kauw yang kedudukannya sudah tinggi. Dia memiliki ilmu pedang yang amat lihai di samping ilmu sihirnya, dan selama ini, belum pernah ada yang mampu menandingi ilmu sepasang pedangnya. Kini, karena mengeroyok, tentu saja dia tidak dapat memainkan sepasang pedangnya dengan leluasa. Maka, diapun membentak agar para pembantunya minggir.

   "Minggir semua, biar pinceng sendiri menghadapi Pendekar Bongkok!"

   Bentaknya. Mendengar ini, Pek Lan den Tibet Sam Sinto berloncatan keluar dari gelanggang pertempuran sehingga pendeta gundul tinggi besar itu kini berhadapan sendirian saja dengan Sie Liong. Sie Liong juga menghentikan gerakan tongkatnya dan berdiri menghadapi pendeta itu sambil memandang tajam.

   "Thai-yang Suhu, sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Yang kutentang adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Oleh karena itu, kalau kalian membebaskan gadis-gadis yang telah kalian tawan dan mereka dalam keadaan selamat dan tidak terganggu, maka akupun akan menyuruh mereka pulang ke rumah masing-masing dan tidak akan memusuhi kalian, asal saja kalian tidak mengulang perbuatan jahat itu."

   "Pendekar Bongkok, kaukira pinceng takut padamu? Pinceng sengaja menyuruh kawan-kawan pinceng minggir agar pinceng dapat menghadapimu dengan leluasa. Akan tetapi, katakanlah dulu siapa guru-gurumu agar pinceng tahu siapa yang pinceng lawan!"

   "Hemm, Thai-yang Suhu, ketahuilah bahwa guru-guruku adalah Hinalaya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su,"

   Jawab Sie Liong sejujurnya.

   "Wah! Kiranya murid para tosu pelarian dari Himalaya!"

   Seorang di antara Tibet Sam Sinto berseru. Sebagai tokoh-tokoh Tibet, tentu saja mereka mendengar akan hal itu. Juga Thai-yang Suhu sudah pernah mendengar nama-nama yang disebutkan Pendekar Bongkok. Nama Himalaya Sam Lojin tidak mengejutkan hatinya karena kepandaian tiga orang kakek dari Himalaya itu tidak lebih dari tingkatnya sendiri. Akan tetapi disebutnya Pek-sim Sian-su membuat dia terkejut. Pantas saja pemuda bongkok ini tidak saja lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga mampu menangkis ilmu sihirnya, bahkan telah menghancurkan jimatnya, yaitu tengkorak kecil tadi. Betapapun juga, Thai-yang Suhu yang terlalu mengandalkan kepandaian dan kekuatan sendiri, tidak merasa jerih.

   "Bagus, sekarang bersiaplah engkau untuk mampus!"

   Berkata demikian, tokoh Pek-lian-kauw itu menodongkan pedang di tangan kirinya ke arah Sie Liong. Pendekar Bongkok bersikap waspada karena dia sudah mendengar akan kecurangan para tokoh Pek-lian-kauw. Begitu dari gagang pedang itu menyambar sinar-sinar hitam yang lembut, dia sudah cepat memutar tongkatnya dan semua jarum hitam yang meluncur keluar dari gagang pedang itu runtuh.

   "Pendeta palsu yang licik dan curang!"

   Bentak Sie Liong dan diapun membalas dengan serangan tongkatnya yang menyambar dengan dahsyatnya dari kanan ke kiri, mengarah pinggang lawan. Thai-yang Suhu meloncat ke belakang, pedang kanan menyambar dari atas ke arah kepala Sie Liong sedangkan pedang kiri menangkis ujung tongkat.

   Sie Liong mengelak dan memutar tongkat, membalas dengan serangan yang tak kalah dahsyatnya. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian. Sepasang pedang yang dimainkan oleh Thai-yang Suhu berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Akan tetapi dua gulungan sinar itu seringkali goyah dan patah oleh sinar tongkat yang kehijauan, yang bergulung panjang seperti seekor naga hijau yang bermain di angkasa. Ilmu tongkat Thian-te sin-tung yang dimainkan Pendekar Bongkok merupakan ilmu tingkat tinggi dan tak dapat dilawan oleh ilmu pedang pasangan yang dimainkan pendeta Pek-lian-kauw itu. Pula, pendeta itu kalah cepat gerakannya dibandingkan Sie Liong, bahkan dalam hal tenaga sin-kang, pendeta itu juga kalah kuat. Kelebihan Thai-yang Suhu hanyalah dalam pengalaman bertanding saja, dan di samping itu,

   Sie Liong bersikap hati-hati sekali, karena dia tahu bahwa lengah sedikit saja dia dapat celaka di tangan lawan yang licik dan curang ini. Kehati-hatian inilah yang membuat Sie Liong tidak berani terlalu mendesak dan hal ini membuat lawannya mampu mengadakan perlawanan yang cukup seru dan perkelahian itu nampaknya seru dan ramai. Betapapun juga, Pek Lan dan Tibet Sam Sinto yang sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, mampu mengikuti jalannya pertandingan dan mereka tahu bahwa kalau tidak dibantu, akan sukar sekali bagi Thai-yang Suhu untuk dapat mengalahkan Pendekar Bongkok. Oleh karena itu Pek Lan memberi isyarat kepada tiga orang jagoan Tibet itu dan mereka berempat lalu berloncatan memasuki gelangang perkelahian dan mengeroyok lagi.

   Sekali ini, Thai-yang Suhu diam saja karena diapun mengerti bahwa kalau dia nekat melawan sendiri, jelas bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan Pendekar Bongkok. Di lain pihak, Sie Liong sama sekali tidak merasa gentar menghadapi pengeroyokan lima orang itu. Bahkan dia dapat mainkan tongkatnya lebih leluasa lagi. Dia tahu bahwa di antara para pengeroyoknya, yang amat lihai adalah Thai-yang Suhu dan Pek Lan. Akan tetapi karena di situ terdapat tiga orang Tibet Sam Sinto, maka permainan kedua orang lawan lihai ini bahkan menjadi terhalang dan mereka berdua itu tidak dapat menyerang sepenuhnya, terhalang oleh gerakan tiga orang jagoan Tibet itu. Hal ini membuat Sie Liong semakin hebat gerakannya dan diapun tidak takut lagi bahwa dua orang lawan yang curang itu akan dapat mempergunakan senjata rahasia,

   Mengingat bahwa di situ terdapat pula Tibet Sam Sinto yang ikut mengeroyok sehingga kalau ada yang mempergunakan senjata rahasia, hal itu dapat membahayakan kawan sendiri. Hal ini, sama sekali tak disangkanya, memang benar telah terjadi. Ketika itu, dia merasakan betapa yang sungguh berbahaya di antara serangan lima orang itu adalah serangan Pek Lan, wanita cantik yang pernah dilawannya sebagai siluman merah itu. Pedang wanita itu menyambar-nyambar ganas, dibantu pula oleh dorongan tangan kirinya yang melakukan pukulan atau tamparan Hek-in Tok-ciang, dan dari telapak tangan kirinya itu keluar uap hitam. Karena itu, dia berpikir untuk lebih dulu melumpuhkan perlawanan wanita ini. Dia memutar tongkatnya secara aneh dan segera mengerahkan daya serangan tongkatnya kepada Pek Lan.

   "Trang....! Trangggg....!"

   Bunga api berpijar ketika dua kali pedang di tangan Pek Lan bertemu dengan ujung tongkat yang mendesaknya.

   "Ihhh....!"

   Pek Lan mengeluarkan seruan kaget dan marah karena tenaga yang keluar dari tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga ia terdorong ke belakang dan tangan yang memegang pedang tergetar hebat, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan. Untung bahwa Thai-yang Suhu segera menghujani Pendekar Bongkok dengan serangan sehingga dalam keadaan terhuyung itu Pek Lan tidak didesak terus. Hal ini membuat Pek Lan marah sekali dan tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika tangan kirinya bergerak, belasan jarum-jarum hitam beracun telah menyambar ke arah tubuh Pendekar Bongkok! Jarum-jarum itu dilepas dari jarak dekat, juga disambitkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya karena Pek Lan sedang marah, maka tentu saja amat berbahaya bagi Pendekar Bongkok!

   Akan tetapi, dia memang selalu waspada dan melihat sinar lembut yang banyak itu, diapun maklum bahwa Pek Lan mempergunakan senjata rahasia. Maka dia cepat memutar tongkatnya sehingga tongkat itu membentuk bayangan seperti payung yang melindungi tubuhnya. Ketika jarum-jarum itu bertemu dengan sinar tongkat, runtuhlah jarum-jarum itu, akan tetapi ada beberapa batang yang terpental ke kanan kiri. Terdengar teriakan-terjakan mengaduh dan dua orang di antara tiga Tibet Sam Sinto roboh! Tentu saja hal ini amat mengejutkan para pengeroyok. Kiranya, di antara jarum hitam beracun yang terpental, ada beberapa batang yang mengenai dua orang itu! Racun yang dikandung jarum-jarum itu memang jahat sekali. Dua orang itu sudah berkelojotan sekarat!

   Tentu saja Pek Lan tidak mungkin dapat melakukan pemeriksaan untuk memberi pengobatannya, bahkan iapun sama sekali tidak memusingkan keadaan dua orang rekan ini karena hal itu bahkan membuat ia menjadi semakin marah kepada Pendekar Bongkok dan kini ia menyerang lagi mati-matian dengan pedangnya. Namun, mengeroyok lima saja tidak dapat mendesak Pendekar Bongkok apa lagi kini berkurang dua. Tongkat di tangan Pendekar Bongkok menjadi semakin dahsyat gerakannya dan ketika seorang di antara Tibet Sam Sinto yang masih hidup dan merasa berduka dan marah karena kematian dua orang saudaranya itu menyerangkan golok di tangannya dengan sekuat tenaga, Pendekar Bongkok sengaja memapaki golok itu dengan tongkatnya sambil mengerahkan tenaganya.

   "Trakkk....!"

   Golok itu patah dan terlepas, dan sebuah tendangan kaki Pendekar Bongkok masih sempat dielakkan oleh orang itu, namun sambaran ujung tongkat tidak dapat dia hindarkan.

   "Bukkk!"

   Orang itu terjungkal dan pingsan karena punggungnya terkena gebukan tongkat dari samping.

   Kini Pek Lan dan Thai-yang Suhu terkejut bukan main, juga mulai merasa jerih. Pada saat itu terdengarlah sorak sorai gemuruh. Ketika tiga orang yang sedang berkelahi itu mendengar suara ini, mereka semua berloncatan ke belakang dan memandang ke arah bawah. Dan nampaklah puluhan orang, bahkan ada kurang lebih seratus orang penduduk yang memegang segala macam senjata, berlarian mendaki Bukit Onta dengan sikap mengancam! Melihat ini, tentu saja Pendekar Bongkok menjadi girang. Dia telah berhasil membangkitkan semangat para penduduk itu yang kini agaknya berbondong-bondong naik ke bukit itu untuk mencari siluman! Sebaliknya, Thai-yang Suhu dan Pek Lan makin gelisah.

   "Pek Lan, mari kita pergi!"

   Kata Thai-yang Suhu. Tanpa diperintah dua kali, Pek Lan meloncat bersama Thai-yang Suhu.

   "Hemm, kalian hendak lari ke mana?"

   Pendekar Bangkok membentak dan diapun meloncat untuk melakukan pengejaran.

   Akan tetapi, tiba-tiba Thai-yang Suhu melontarkan sesuatu ke atas tanah dan terdengar ledakan keras disusul mengepulnya asap hitam yang tebal. Khawatir kalau-kalau asap itu beracun, tentu saja Sie Liong menjauhkan diri, bermaksud mengejar dengan mengambil jalan memutar. Akan tetapi setelah dia tiba di belakang asap hitam, dua orang itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Dia lalu kembali ke tempat tadi, melihat betapa orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto sudah siuman dan kini bangkit sambil mengeluh. Melihat Pendekar Bangkok datang kembali, dia terkejut, meloncat akan tetapi roboh lagi sambil mengerang kesakitan. Wajahnya nampak ketakutan dan orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri, berlutut menghadap Pendekar Bongkok.

   "Taihiap (pendekar besar), ampunilah aku...."

   Wajahnya nampak ketakutan dan orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar Bangkok. Pendekar Bongkok adalah orang yang berhati lembut. Dia tidak pernah membenci orang, betapapun jahatnya orang itu. Yang ditentangnya adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Dia tahu, dari gemblengan yang didapatnya dari Pek-sim Sian-su, bahwa orang yang melakukan perbuatan jahat adalah orang yang sedang sakit batinnya. Yang mendorongnya melakukan perbuatan jahat adalah batinnya yang sakit itu. Kalau batinnya sembuh tentu dia tidak akan melakukan perbuatan jahat. Maka, melihat betapa seorang di antara Tibet Sam Sinto itu minta ampun, dia mengangguk.

   "Siapa namamu?"

   "Namaku Coa Kiu, taihiap. Mereka ini adalah kakakku dan adikku, dan ijinkanlah aku membawa mayat mereka agar dapat kukuburkan dengan pantas."

   "Nanti dulu, aku ingin bertanya. Di mana adanya gadis-gadis yang diculik itu dan mengapa mereka diculik?"

   "Itu adalah kehendak Thai-yang Suhu yang sedang mengumpulkan lima belas orang gadis untuk dijadikan pelayan di Pek-lian-kauw. Kami hanya membantunya. Gadis-gadis itu dalam keadaan selamat, berada di rumah itu. Mereka tidak diganggu karena memang hendak diangkut dan diserahkan kepada ketua Pek-lian-kauw."

   Pendekar Bongkok mengangguk, hatinya merasa lega. Orang ini jelas tidak berani berbohong.

   "Satu pertanyaan lagi. Engkau memakai julukan Tibet Sam Sinto, tentu merupakan tokoh Tibet. Aku ingin sekali tahu tentang mereka yang disebut Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu lima orang pendeta Lama dari Tibet. Di manakah mereka se-karang dan apa kedudukan mereka?"

   Mendengar disebutnya Lima Harimau Tibet, Coa Kiu terkejut dan kelihatan ketakutan.

   "Tidak, taihiap.... aku tidak mempunyai hubungan dengan mereka. Sama sekali tidak mempunyai hubungan....!"

   Pendekar Bongkok mengerutkan alisnya. Sikap itu sungguh menarik sekali.

   "Aku tidak menuduhmu memiliki hubungan, hanya ingin mendapat keterangan darimu tentang diri mereka."

   Barulah Coa Kiu kelihatan lega.

   "Mereka adalah tokoh-tokoh paling ditakuti di Tibet, dan kini mereka menjadi pendukung-pendukung utama dari Kim Sim Lama, pendeta tingkat tinggi yang memberontak karena hendak merampas kedudukan Dalai Lama."

   "Pemberontak? Ah, di mana kini mereka itu?"

   "Di sekitar telaga Yam-so di sebelah selatan Lasha. Lima Harimau Tibet menjadi pendukung dan bahkan lima orang tokoh itulah yang sebenarnya menjadi pelopor karena tanpa adanya mereka, tentu Kim Sim Lama tidak mampu berbuat sesuatu."

   Pendekar Bongkok mengangguk-angguk. Pada saat itu, para penduduk dusun sudah semakin dekat dan Coa Kiu nampak gelisah. Maka dia lalu menyuruh orang itu membawa jenazah dua orang saudaranya dan melarikan diri ke jurusan lain. Coa Kiu mengucapkan Terimakasih dan memanggul jenazah kakaknya dan adiknya, pergi dari situ sambil terhuyung. Pendekar Bongkok tidak menanti datangnya orang-orang dusun, melainkan cepat dia lari ke arah rumah yang menjadi tempat tinggal Thai-yang Suhu dan teman-temannya. Sembilan orang gadis yang berada dalam ruangan di rumah itu, terkejut ketika daun pintu dirobohkan orang dari luar. Mereka bergerombol saling peluk dengan ketakutan, semua mata memandang ke arah pemuda bongkok yang berdiri di ambang pintu.

   "Ampunkan kami.... jangan.... jangan ganggu kami....!"

   Kata seorang di antara mereka. Melihat betapa semua gadis yang berada di ruangan itu masih amat muda dan cantik-cantik, kini wajah yang manis-manis itu nampak pucat, mata mereka terbelalak seperti sekelompok kelinci yang ketakutan melihat seekor harimau, Pendekar Bongkok tersenyum pahit, teringat akan bongkoknya dan dia maklum bahwa tentu mereka mengira bahwa dia seorang jahat!

   "Tenanglah, nona-nona. Aku tidak berniat jahat. Aku datang untuk membebaskan kalian. Para penjahat itu telah kuusir pergi dan keluarga kalian kini sedang menuju ke sini."

   Namun, para gadis remaja itu masih belum percaya dan mereka masih memandang kepada pemuda berpunuk itu dengan curiga. Pada saat itu, orang-orang dusun sudah tiba di situ. Mereka menyerbu ke dalam rumah dan dipimpin oleh Gumo Cali, mereka tiba di ruangan yang daun pintunya audah dijebol Sie Liong dan mereka melihat Sie Liong masih berdiri di ambang pintu dan para gadis itu memandang ketakutan.

   "Ayah....!"

   Teriakan ini bukan hanya keluar dari mulut dua orang gadis puteri Gumo Cali, akan tetapi juga dari para gadis lain. Ternyata para ayah gadis-gadis yang diculik itu ikut pula dalam rombongan para penyerbu. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan para gadis itu dihujani pertanyaan oleh ayah mereka. Diam-diam Pendekar Bongkok merasa lega dan gembira mendengar keterangan mereka bahwa benar seperti yang diceritakan Coa Kiu, mereka itu sama sekali tidak diganggu, bah-kan diperlakukan dengan baik.

   "Semua ini karena jasa Pendekar Bongkok! Taihiap, terimalah Terimakasih kami!"

   Gumo Cali menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar Bongkok, diturut oleh semua orang.

   Para gadis yang tadinya merasa ketakutan itu kini baru sadar bahwa pemuda bongkok itu memang benar menjadi penolong mereka. Maka merekapun ikut berlutut di samping ayah masing-masing. Seorang diantara para gadis itu, menjatuhkan diri berlutut paling dekat di depan Pendekar Bongkok dan ia menangis sesenggukan. Tadipun Sie Liong melihat bahwa berbeda dengan para gadis lain, tidak ada seorangpun yang memeluk gadis ini. Tadinya dia mengira bahwa tentu ayah gadis yang satu ini tidak ikut. Ia seorang gadis yang bertubuh sedang, berkulit agak gelap namun wajahnya manis sekali, dengan mata yang lebar dan bening. Pakaiannya sederhana, bahkan ia tidak memakai perhiasan seperti para gadis lainnya. Usianya kurang lebih delapan belas tahun dan tubuhnya sudah mulai padat ramping, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar.

   "Nona, engkau kenapakah?"

   Tanya Sie Liong, dan kepada semua orang dia berkata,

   "Harap kalian suka berdiri, tidak perlu memberi hormat berlebihan seperti itu!"

   Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Gumo Cali bangkit dan yang lain ikut berdiri. Gadis itu masih tetap berlutut di depan Sie Liong. Dia segera meayentuh pundaknya dengan lembut.

   "Nona, bangkitlah, tidak perlu berlutut dan mengapa engkau menangis? Bukankah seharuanya engkau bergembira karena sudah terbebas dari cengkeraman penjahat?"

   Lalu dia merasa curiga kalau-kalau gadis ini mengalami nasib yang buruk di tangan para penjahat.

   "Nona, apakah para penjahat itu mengganggumu?"

   Gadis itu menggeleng kepalanya, akan tetapi masih terisak. Akhirnya, dengan suara bercampur tangis, ia berkata,

   "Aku.... aku tidak mau pulang.... ke rumah mereka...."

   "Kenapa, nona? Di mana rumahmu?"

   Tanya Sie Liong. Seorang di antara para penduduk dusun itu, seorang laki-laki setengah tua, lalu mendekat dan berkata,

   "Ling Ling, kenapa engkau tidak mau pulang?"

   Gadis itu tidak menjawab, hanya menggeleng kepala sambil menangis.

   "Siapakah nona ini, paman, dan di mana rumahnya?"

   Tanya Sie Liong. Orang itu lalu memberi keterangan bahwa gadis itu bernama Sam Ling, biasa dipanggil Ling Ling. Ia seorang gadis yatim piatu. Ketika ia berusia sepuluh tahun, ayah dan ibunya meninggal dunia karena wabah, dan ia lalu dipungut anak oleh keluarga di dusunnya. Dijadikan anak angkat dan bekerja seperti pelayan.

   "Sepanjang pengetahuan kami, keluarga yang memungutnya itu bersikap baik kepadanya. Mereka tidak mempunyai anak, maka mau mengambil Ling Ling menjadi anak mereka. Ling Ling, katakanlah, kenapa engkau tidak mau pulang! Ayah dan ibu angkatmu tentu mengharapkan kedatanganmu!"

   Kata orang itu. Gadis itu mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang kepada orang itu dan menggeleng kepala keras-keras sambil berkata,

   "Tidak...., tidak.... aku tidak mau pulang ke sana.... Lebih baik aku mati saja dari pada harus kembali lagi ke sana....!"

   Dan iapun menangis lagi. Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia menduga bahwa tentu ada alasan kuat sekali mengapa gadis ini tidak mau pulang ke rumah ayah dan ibu angkatnya.

   "Marilah, nona. Kita bicara di luar,"

   Katanya, lalu dia berkata kepada semua orang.

   "Kalau kalian setuju, rumah ini sebaiknya dibakar saja agar jangan menjadi sarang penjahat lainnya! Dan semua orang boleh pulang, akan tetapi kerukunan seperti sekarang ini harus dipelihara terus. Kalau kalian dapat bersatu seperti ini, tidak akan ada penjahat yang berani mengganggu kalian."

   Berkata demikian, Sie Liong lalu mengajak gadis bernama Sam Ling atau Ling Ling itu untuk keluar. Dia mengajak gadis itu agak menjauhi rumah, lalu duduk di atas batu besar.

   "Nah, Ling Ling, duduklah kau dan ceritakan mengapa engkau memilih mati daripada pulang ke rumah orang tua angkatmu."

   Setelah mereka berada di tempat sepi, berdua saja, tiba-tiba gadis itu kembali mpnjatuhkan diri berlutut.

   "Taihiap, engkau telah menyelamatkan aku dan teman-teman, harap taihiap jangan kepalang tanggung untuk menolong aku. Berjanjilah bahwa taihiap akan suka menolongku, dan aku akan menceritakan keadaanku."

   "Baiklah, dan duduklah agar engkau dapat bicara dengan enak. Ceritakan apa yang terjadi. Tentu saja aku suka membantumu kalau memang engkau perlu dibantu."

   "Sejak berusia sepuluh tahun, ayah ibuku meninggal dunia karena penyakit."

   Ling Ling mulai bercerita sambil duduk di atas batu, di depan Sie Liong. Suaranya lirih dan memelas, dan matanya yang lebar itu kini agak kemerahan dan masih basah walaupun ia sudah tidak menangis lagi.

   "Aku diangkat anak oleh ayah ibu angkatku yang sekarang karena mereka tidak mempunyai anak. Kini mereka berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dahulu memang sikap mereka itu baik sekali walaupun aku tidak menguntungkan mereka karena aku seorang anak perempuan. Akupun bekerja keras di rumah mereka, seperti seorang budak untuk membalas budi kebaikan ha-ti mereka. Akan tetapi akhir-akhir ini...."

   Ling Ling menutupi mukanya, merasa sedih dan berat hatinya untuk menceritakan peristiwa yang membuatnya merasa sengsara itu. Sie Liong membiarkan gadis itu dan setelah kelihatan ajak tenang, dia berkata,

   "Bagaimana lanjutannya? Aku baru akan dapat menolongau kalau aku mengetahui persoalannya."

   Gadis itu menatap wajah Sie Liong dengan sepasang mata yang penuh permohonan, sepasang mata yang tentu akan nampak indah kalau tidak tertutup awan kedukaan.
(Lanjut ke Jilid 15)
Kisah Pendekar Bongkok (Serial 06 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15
"Taihiap, aku akan kelihatan sebagai orang yang tidak mengenal budi kalau sekarang aku seolah menceritakan keburukan orang tua angkatku. Akan tetapi, kepadamu aku harus berterus terang dan harap taihiap mengerti bahwa bukan maksudku untuk memburukkan mereka. Aku masih berterimakasih kepada mereka. Begini taihiap. Akhir-akhir ini, semenjak beberapa bulan yang lalu ini, ayah angkatku berusaha untuk.... untuk menodaiku...."

   Sie Liong mengerutkan alisnya dan mengamati wajah itu dengan sinar mata tajam menyelidik. Dia sudah menduga, akan tetapi ingin mendapat keyakinan.

   "Apa maksudmu dengan menodai itu?"

   "Dia.... dia mula-mula merayuku.... agar aku suka melayaninya, suka tidur dengan dia. Aku menolak dan beberapa kali dia nyaris berhasil memperkosa aku....! Karena aku selalu menghindar dan menolak, dia kini seperti benci kepadaku. Dan ibu angkatku agaknya melihat pula gejala itu dan iapun menjadi cemburu dan membenci aku...."

   "Hemmm....!"

   Sie Liong mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi rambut. Mengertilah dia kini mengapa gadis ini tidak ada yang menjemput, dan mengapa pula Ling Ling tidak mau pulang ke rumah orang tua angkatnya.

   "Ling Ling, engkau tadi menceritakan bahwa tadinya, sebelum timbul perubahan sikap ayah angkatmu itu, mereka amat baik kepadamu. Bagaimana kalau sekarang engkau kuantar ke sana, ayah angkatmu itu kuancam agar dia tidak lagi melakukan hal yang tidak pantas itu, dan aku membujuk ibu angkatmu agar ia mau mengerti bahwa engkau tidak bersalah dalam peristiwa itu? Kalau mereka mau mendengarnya dan mentaati permintaanku, maukah engkau kembali kepada mereka?"

   Ling Ling mengerutkan alisnya dan ia menatap wajah pemuda itu sampai beberapa lamanya. Sinar matanya penuh kegelisahan dan keraguan, kemudian iapun menggeleng kepalanya.

   "Tidak mungkin, taihiap. Ayah angkatku itu akan tetap membenciku selama aku tidak mau memenuhi permintaannya. Aku melihat nafsu yang amat mengerikan dari pandang matanya. Dan ibu angkatku.... ia amat membenciku karena cemburu. Tidak, aku tidak akan kembali lagi ke sana. Bahkan, terus terang saja, taihiap. Ketika wanita cantik yang menyamar siluman merah itu menculikku, membawaku ke sini, melihat betapa gerombolan itu tidak menggangguku, memperlakukan dengan baik, aku merasa gembira untuk menjadi pelayan. Asalkan aku tidak harus kembali ke rumah orang tua angkatku."

   "Tapi.... kalau engkau tidak mau kembali ke sana, lalu ke mana engkau hendak pergi? Apakah engkau mempunyai keluarga lain, sanak keluarga dari orang tua kandungmu sendiri?"

   Diam-diam Sie Liong merasa kasihan sekali dan dia dapat menerima alasan gadis itu.

   Tentu saja dia tidak mungkin dapat menanggung dan memastikan bahwa ayah angkat Ling Ling kelak tidak akan mengulang perbuatannya terhadap gadis yang seperti setangkai bunga baru mulai mekar ini. Mungkin karena segan dan takut kepadanya, ayah angkat itu mau berjanji, bahkan mau bersumpah. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat berada di dusun itu terus! Dan gadis ini makin hari menjadi semakin cantik manis dan semakin menarik. Kalau nafsu sudah menguasai hati ayah angkat itu, siapa berani tanggung dia tidak akan menjadi buta akan kebenaran? Dan dia dapat menduga bahwa seorang gadis yang demikian kukuh mempertahankan kehormatannya seperti Ling Ling ini, kalau sampai diperkosa ayah angkatnya, tentu akan membunuh diri! Gadis itu menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak mempunyai siapapun juga di dunia ini, sebatangkara...."

   Jawabnya lirih dengan air mata kembali mengalir di pipi.

   "Kalau begitu, lalu ke mana engkau hendak pergi, Ling Ling? Kalau engkau tidak mempunyai keluarga lain, dan engkau tidak mau kembali ke rumah orang tua angkatmu, lalu bagaimana?"

   Mendengar pertanyaan ini, Ling Ling turun dari atas batu dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sie Liong sambil berkata dengan suara mengandung isak,

   "Aku ingin turut denganmu, taihiap...."

   "Ehhh?"

   Sie Liong terkejut dan heran bukan main. Tadinya timbul dugaan di hatinya bahwa tentu gadis manis ini telah mempunyai seorang kekasih dan ia akan pergi bersama kekasihnya itu. Sungguh seujung rambutpun dia tidak pernah menyangka akan mendengar jawaban seperti itu.

   "Apa maksudmu, Ling Ling? Bangkitlah, dan mari kita bicara dengan baik."

   "Tidak, aku tidak akan bangkit sebelum engkau sudi menerimaku. Taihiap, tolonglah aku. Aku.... aku ingin membalas budimu, aku ingin ikut denganmu, biar kau jadikan pelayan.... aku akan mencucikan pakaianmu, memasakkan makananmu, melayani keperluanmu...."

   Tiba-tiba Sie Liong tertawa dan dia memegang kedua pundak gadis itu dan mengangkatnya bangun, mendudukkannya di atas batu kembali. Ling Ling tidak mampu menolak karena ia bagaikan sebuah boneka saja di kedua tangan yang memiliki tenaga dahsyat itu. Iapun kini yang memandang bengong. Pendekar itu tertawa bergelak dan betapa gagah dan tampannya wajah itu sekarang nampak olehnya. Wajah yang tadinya selalu nampak dilanda duka itu, wajah yang menimbulkan perasaan iba kepada siapapun yang memandang, kini nampak cerah den berseri!

   "Aih, Ling Ling.... engkau ini sungguh lucu sekali!"

   Kata Sie Liong setelah dia menghentikan ketawanya.

   "Taihiap, apanya yang lucu?"

   Ling Ling bertanya khawatir.

   "Bagaimana mungkin engkau ikut denganku? Kau tahu siapa aku ini?" "Taihiap seorang pria yang sakti dan berbudi mulia, yang telah menyelamatkan aku dan banyak gadis di sini, yang pantas kupuja den kubalas budinya...."

   "Cukup semua itu. Aku hanyalah seorang laki-laki yang hidup sebatangkara, tidak mempunyai tempat tinggal, miskin dan papa. Dan engkau hendak ikut dengan aku. Bukankah itu sama sekali tidak mungkin, dan lucu sekali?"

   "Kenapa tidak mungkin dan kenapa lucu, taihiap? Aku ingin ikut denganmu ke manapun engkau pergi. Aku tidak perduli apakah engkau kaya atau miskin taihiap. Bahkan kebetulan sekali kalau engkaupun sebatangkara seperti aku, karena tidak akan ada keluargamu yang mungkin tidak suka kepadaku. Aku akan melayanimu, membantumu dalam segala hal, taihiap. Kasihanilah aku...."

   "Tapi, Ling Ling, engkau tidak mengerti! Kau tahu, aku seorang pengembara, hidupku penuh bahaya! Aku seorang yang selalu menentang kejahatan, se-hingga aku dimusuhi para penjahat yang kejam. Engkau akan ikut terancam bahaya kalau engkau bersamaku."

   "Aku tidak takut! Kalau aku berada di sampingmu, bahaya mautpun tidak akan membuat aku gentar, taihiap. Akupun siap mati kalau perlu!"

   Diam-diam Sie Liong menjadi kagum dan juga heran. Mengapa gadis ini mati-matian hendak ikut dengan dia?

   "Ling Ling, aku kadang-kadang tidur di hutan.... di atas rumput...."

   "Hemm, menyenangkan sekali, taihiap. Apalagi di waktu terang bulan, dengan api unggun menghangatkan badan. Rumput tentu lunak dan awat nyaman untuk tidur...."

   "Kadang-kadang harus di atas pohon besar...."

   "Ah, aku belum pernah tidur di atas pohon, taihiap. Aku ingin sekali merasakan. Tentu aman dari gangguan binatang buas...."

   "Ling Ling...."

   Sie Liong kewalahan.

   "Kadang-kadang aku tidur di dalam kuil tua yang kuno dan kotor, yang pantas menjadi tempat tinggal para iblis dan setan!"

   Wajah itu menjadi pucat seketika, matanya terbelalak den tubuhnya jelas nampak menggigil, pandang matanya ketakutan dan penuh kengerian. Bagi orang-orang dusun di daerah itu, iblis dan setan amat menakutkan karena mereka itu pada umumnya masih amat tebal rasa ketahyulan mereka. Melihat ini, Sie Liong menjadi tidak tega dan tanpa disadarinya dia menyambung.

   "Akan tetapi selama ini belum pernah aku bertemu setan dan iblis, semua itu hanya dongeng kosong belaka untuk menakut-nakuti anak-anak dan orang-orang penakut."

   Ling Ling menarik napas lega.

   "Aku juga.... ti.... tidak takut, taihiap."

   Akan tetapi, membayangkan betapa gadis ini ikut dengannya, Sie Liong menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya.

   "Ling Ling, maafkan aku. Bagaimanapun juga, rasanya tidak mungkin engkau ikut denganku. Ingatlah, aku seorang pria, dan engkau seorang wanita, seorang gadis muda yang cantik. Apa akan kata orang? Tentu mereka menyangka yang bukan-bukan terhadap kita."

   "Taihiap, apakah kita harus menggantungkan hidup kita kepada kata dan pendapat orang lain? Yang terpenting adalah kita sendiri, bukan? Kalau kita tidak melakukan sesuatu yang tidak benar, mengapa takut disangka orang! Taihiap, aku akan menjaga diri agar tidak sampai membikin kecewa dan malu kepadamu. Aku akan menjadi pelayan yang baik...."

   "Sekali lagi maaf, Ling Ling. Terpaksa aku menolak. Tidak mungkin aku dapat mengajakmu berkelana menempuh banyak bahaya."

   Tiba-tiba wajah gadis itu nampak layu dan muram. Ia menundukkan mukanya, sampai lama tidak bergerak. Tidak lagi ia menangis, akan tetapi ketika ia bicara, suaranya lirih dan mengandung rintihan.

   "Baiklah, taihiap. Maafkan gangguanku tadi. Aku akan pergi sekarang juga, selamat.... tinggal...."

   Dan gadis itupun membalikkan tubuhnya dan pergi dengan langkah satu-satu dengan tubuh lemas dan agak terhuyung.

   "Nanti dulu, Ling Ling! Engkau hendak pergi ke mana?"

   Tanya Sie Liong dengan hati penuh rasa iba. Gadis itu berhenti melangkah, menoleh dan wajahnya nampak demikian pucat, matanya tidak ada sinarnya lagi dan sebelum menjawab ia tersenyum, senyum yang menyayat perasaan Sie Liong karena senyum itu demikian pahitnya.

   "Ke mana saja kakiku membawaku, taihiap. Habis, ke mana lagi? Akupun tidak tahu...."

   Dan iapun melanjutkan langkahnya. Langkah satu-satu dan dari belakang Sie Liong melihat betapa kedua pundak itu menurun, lalu bergoyang-goyang, tanda bahwa gadis itu menangis lagi. Tiba-tiba gadis itu terhuyung, lalu jatuh berlutut dan menangis! Sie Liong marasa semakin iba dan sekali meloncat, dia telah berada di samping gadis yang berlutut sambil menangis itu.

   

Istana Pulau Es Eps 22 Mutiara Hitam Eps 18 Istana Pulau Es Eps 34

Cari Blog Ini