Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Bongkok 6


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Bagaimana kalau aku minum arak? Itu tidak membunuh...."

   "Sute, mengapa dianjurkan agar minuman arak dijauhi? Karena dari minum arak orang menjadi mabok dan dalam mabok dapat melakukan hal-hal yang tidak baik. Bermabok-mabokan memberi jalan kepada nafsu untuk makin merajalela menguasai batin. Juga, bermabok-mabokan merusak kesehatan. Kalau hal seperti ini tetap dilaksanakan, bukankah itu merupakan kebodohan besar merusak diri sendiri? Ingat, sute. Tubuh kita merupakan Kuil Suci yang dihuni oleh jiwa. Sudah sepatutnya kalau kita merawat Kuil Suci ini sebaik-baiknya, tidak dikotori dan tidak dirusak, kita pelihara sebaiknya luar dalam."

   "Suheng, keteranganmu sudah cukup jelas. Sekarang, kebetulan kita saling bertemu, aku minta sedikit petunjuk tentang ilmu silat kepadamu. Nah, bersiaplah, suheng!"

   Koay Tojin meloncat berdiri dan menudingkan tongkat bututnya ke langit. Melihat ini, Pek-sim Sian-su tertawa.

   "Ha-ha, sejak dulu engkau masih saja keranjingan ilmu silat, sute. Orang-orang tua bangka seperti kita ini, perlu apa mementingkan ilmu kekerasan seperti itu? Akan tetapi, pinto mendangar bahwa engkau telah memperoleh ilmu yang amat hebat, maka pintopun ingin pula manyaksikan kehebatan ilmumu itu, sute. Nah, perlihatkan kepada pinto!"

   Pek-sin Sian-su juga bangkit berdiri dan dengan tenang dia menghampiri kakek sinting itu, berdiri tegak dengan tongkat butut di tangannya. Kedua orang kakek itu sungguh amat berbeda. Pek-sim Sian-su demikian anggun dan rapi bersih, penuh wibawa akan tetapi juga penuh kelembutan dan keramahan, sinar mata dan senyumnya penuh kasih sayang. Sebaliknya, Koay Tojin berpakaian ti-dak karuan, butut dan kotor, berdirinya juga sembarangan saja, dan hanya ada satu persamaan antara mereka, yaitu bahwa keduanya memiliki sinar mata mencorong dan keduanya sama-sama memegang sebatang tongkat butut.

   Melihat betapa supek dan susiok mereka itu saling berhadapan dengan tongkat di tangan, Himalaya Sam Lojin mengamati dengan wajah berseri gemblra. Sungguh beruntung, pikir mereka. Kesempatan seperti ini sungguh langka. Sementara itu Sie Liong yang sama sekali belum mengenal dasar ilmu silat tinggi, hanya nonton dengan hati ingin tahu, akan tetapi tentu saja dia tidak begitu mengerti, karena ketika tadi terjadi perkelahian tingkat tinggi antara para pendeta Lama dan San Lojin diapun tidak mampu mengikutinya dengan baik. Dia hanya merasa heran mengapa hatinya tertarik kepada si jembel yang berotak miring ini, akan tetapi diapun kagum dan tunduk kepada kakek berpakaian kuning yang berwibawa. Heran dia mengapa kakek itu mau saja melayani jembel tua yang disebut sute-nya.

   "Suheng, coba kausambut jurus tongkatku ini!"

   Tiba-tiba Koay Tojin berseru dan tongkatnya bergerak. Anehnya, gerakan itu lambat saja, seperti main-main akan tetapi ujung tongkat itu mengeluarkan angin menderu dan ujungnya menusuk secara beruntun ke arah tulang-tulang iga Pek-sim Sian-su, sedangkan tangan kirinya dipentang dengan jari-jari tangan terbuka, siap menyambut ke mana lawan akan mengelak! Semua gerakan ini dilakukan lambat sehingga Sie Liong saja dapat mengikuti dengan pandang matanya.

   "Bagus sekali!"

   Seru Pek-sim Sian-su memuji, bukan sekadar menyenangkan hati sutenya, melainkan memuji karena kagum. Dia melihat betapa dahsyatnya serangan sutenya itu yang memang amat sukar untuk dilawan, sukar dielakkan maupun ditangkis.

   Dia maklum bahwa kalau ditangkis, maka tenaga tangkisan itu justeru akan memperkuat getaran tongkat sutenya untuk melakukan tusukan berikutnya karena serangan itu merupakan serangkaian tusukan ke arah tulang iga. Dia lalu mengangkat tongkatnya, menggerakkan tongkat bututnya dengan lambat pula, dan menyambut tongkat sutenya. Dua batang tongkat butut bertemu, akan tetapi Pek-sim Sian-su tidak menangkis, melainkan menggunakan sin-kang membuat tongkatnya menempel pada tongkat sutenya dan dengan demikian, tongkatnya terus mengikuti gerakan tongkat sutenya dan setiap tusukan dapat didorongnya kembali sehingga ujung tongkat sutenya itu hanya mampu mencium kain kuning yang melibat dada saja. Karena serangan pertama gagal, Koay Tojin melangkah mundur.

   "Hemm, sungguh hebat. Bukankah itu sebuah jurus dari ilmu tongkatmu yang baru, yang dinamakan Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Memukul Setan)?"

   Tanya sang suheng.

   "Heh-heh-heh, matamu yang sudah tua memang masih tajam sekali, suheng. Memang benar, dan jurus tadi kunamakan Jurus Menghitung Tulang Iga. Sayang engkau tidak membiarkan aku menghitung tulang igamu, suheng."

   "Dan membiarkan tulang-tulang igaku yang sudah tua itu remuk? Aih, aku berkewajiban menjaga tubuh tua ini, sute."

   "Sekarang lihatlah ini, jurus yang kunamakan Menyapu Ribuan Setan!"

   Katanya dan Koay Tojin sudah menyerang lagi, kini tongkatnya itu membuat gerakan berputar lebar dan seakan ada ratusan batang tongkat menyambar ke arah tubuh Pek-sim Sian-su,

   Dari kanan, kiri, depan, belakang, atas dan bawah! Sungguh hebat tongkat itu, atau orang yang menggerakkan tongkat itu. Bagaimana mungkin tongkat yang hanya sebatang itu mampu menghujankan serangan seperti itu, dari segala jurusan, dalam waktu yang berturut-turut. Dan angin pukulan yang keluar dari tongkat itu! Untung Sie Liong masih duduk bersila, demikian pula Sam Lojin sehingga angin pukulan yang menyambar ke atas itu tidak mengenai mereka. Daun-daun pohon yang berdekatan sudah rontok semua, bahkan ada ranting yang kurang kuat patah-patah terkena sambaran angin pukulan tongkat butut itu! Melihat keadaan ini, berdebar rasa jantung Sie Liong. Barulah dia melihat sendiri betapa hebatnya kakek jembel gila itu.

   "Siancai....! Sungguh dahsyat....!"

   Kata Pek-sim Sian-su dan kakek inipun menggerakkan tongkat bututnya dan ke manapun bayangan tongkat Koay Tojin menyambar, selalu tongkat itu bertemu dengan tongkat lain yang menangkisnya, seolah-olah tubuh Pek-sim Sian-su sudah dilindungi benteng yang kokoh kuat. Berulang kali tongkat mereka saling bertemu, mengeluarkan suara tak-tuk-tak-tuk yang menggetarkan jantung, seperti dua buah benda yang amat kuat dan berat saling bertemu. Akhirnya, kembali Koay Tojin melangkah mundur menghentikan serangannya.

   "Engkau memang hebat, suheng. Masih saja engkau memiliki ilmu Benteng Tongkat Baja yang amat kokoh kuat. Akan tetapi balaslah menyerang, suheng. Kenapa engkau hanya menangkis saja dan tidak membalas?"

   "Siancai...., sute yang baik. Bagaimana pinto mampu menyarang kalau untuk melindungi diri saja sudah repot sekali? Hampir saja pinto tidak kuat bertahan terhadap seranganmu yang mengerikan tadi."

   "Biarlah sekarang yang terakhir, suheng. Sambutlah jurus Tongkat Menghancurkan Kepala Setan ini!"

   Dan dia pun sudah memegang tongkat itu dengan kedua tangannya dan langsung menghantamkan ke arah kepala suhengnya dari atas.

   Kelihatannya saja jurus ini amat sederhana bahkan kasar seperti gerakan liar orang yang berkelahi tanpa menggunakan ilmu silat. Akan tetapi sesungguhnya pukulan ini berbahaya sekali karena mempunyai banyak macam perubahan yang tidak tersangka-sangka andaikata yang dipukul mengelak. Menghadapi pukulan dari atas seperti itu, memang mudah saja mengelak. Akan tetapi anehnya Pek-sim Sian-su justeru tidak mengelak melainkan mengangkat kedua tangan yang memegangi kedua ujung tongkat untuk menangkis! Dia mengenal ilmu yang aneh ini dan tahu bahwa di balik kesederhanaannya tersembunyi perubahan yang amat berbahaya. Maka dia tidak mau mengelak malah menangkis agar jurus itu dengan tenaga sepenuhnya menimpa tangkisannya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga saktinya.

   Sie Liong sudah merasa ngeri, mengira bahwa tentu pertemuan antara dua tongkat itu akan hebat dan dahsyat sekali dan tentu ada di antara dua orang kakek itu yang akan terluka. Dan tongkat butut yang dipukulkan oleh Koay Tojin itu menyambar turun, amat kuatnya menimpa tongkat yang dilintangkan di atas kepala Pek-sim Sian-su. Kedua orang kakek itu memegangi tongkat dengan kedua tangan. Dua batang tongkat butut itu bertemu, keras sekali akan tetapi sungguh luar biasa. Tidak ada suara terdangar! Seolah-olah dua batang tongkat itu hanyalah benda-benda yang lunak. Akan tetapi, Koay Tojin melompat ke belakang dan tongkat bututnya telah patah menjadi dua potong! Sambil terkekeh dia melemparkan tongkat itu. Dua potong tongkat itu meluncur dan menancap pada batang sebuah pohon, tingginya dua meter lebih dan menancap rapi berjajar atas dan bawah dalam jarak sekepalan tangan.

   "Heh-heh, engkau hebat, suheng. Biar kubantu engkau mengobati bocah bongkok ini!"

   Tiba-tiba dia sudah menangkap Sie Liong dengan mencengkeram punggung bajunya dan tiba-tiba Sie Liong merasa tubuhnya melayang ke atas dibawa oleh kakek itu melompat ke arah pohon itu. Dia tidak sempat meronta karena tubuhnya sudah melayang ke atas dan dia merasa betapa kedua kakinya dijepitkan di antara dua potongan tongkat tadi sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala ke bawah, bergantung pada kedua kakinya yang terjepit.

   Ternyata dua potong tongkat yang dilemparkan tadi dan menancap di batang pohon, jaraknya demikian tepat sehingga dapat menjepit kedua pergelangan kaki Sie Liong. Ketika Sie Liong yang tergantung dengan kepala di bawah itu hendak meronta karena takut jatuh, kakek jembel itu sambil terkekeh menepuk punggung Sie Liong tiga kali, cukup keras sehingga mengeluarkan bunyi berdebuk. Dan seketika Sie Liong muntahkan darah dari mulutnya yang langsung keluar dari dalam dada dan perutnya. Darah itu banyak dan agak menghitam! Koay Tojin lalu meloncat turun. Cara dia turun dari pohon itu aneh karena dia hinggap di atas tanah bukan dengan kedua kakinya, melainkan dengan kepalanya dan kini dia melompat-lompat dengan kepala di bawah, mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk dan tubuhnya sudah berloncatan secara aneh itu cepat sekali, sebentar saja lenyap dari situ.

   "Siancai.... siancai.... siancai....!"

   Pek-sim Sian-su memuji dengan kedua tangan dirangkap di depan dada.

   "Sute Koay Tojin sungguh telah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya. Hebat."

   Hek Bin Tosu, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin membantah.

   "Akan tetapi masih kalah oleh supek. Buktinya tongkatnya patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan tongkat supek!"

   "Hemmm, begitukah pendapatmu? Lihat tongkatku ini...."

   Kata Pek-sim Sian-su lirih. Tiga orang kakek itu melihat dan.... begitu tongkat di tangan itu digerakkan perlahan, maka runtuhlah tongkat itu dalam keadaan hancur berkeping-keping! Himalaya Sam Lojin terkejut. Kiranya tenaga Koay Tojin sedemikian hebatnya sehingga portemuan antara dua tongkat itu membuat tongkat di tangan Pek-sim Sian-su hancur, hanya berkat ilmu yang tinggi dari Pek-sim Sian-su, maka tongkat itu masih dapat dipegangnya dalam keadaan yang utuh.

   "Siancai.... Bukan main hebatnya susiok...."

   Kata Pek-in Tosu sambil menarik napas panjang.

   "Dan berbahaya sekali....!"

   Pek-sim Sian-su dapat membaca isi hati murid keponakan ini.

   "Engkau benar, memang berbahaya sekali kalau sampai ilmu-ilmunya itu diwariskan kepada seorang manusia yang menjadi budak nafsu. Orang seperti dia itu, yang tidak waras dan memang sinting, dapat saja melakukan hal yang aneh-aneh, dan mungkin juga lengah sehingga keliru menerima murid. Bagaimanapun juga, segala sesuatu memang sudah digariskan oleh Kekuasaan Tertinggi, dan manusia hanya dapat memilih akan berpihak yang baik ataukah yang buruk, yang benar ataukah yang salah."

   "Supek, kalau sampai susiok memiliki murid yang murtad dan sesat, tentu akan lebih berbahaya dari pada Tibet Ngo-houw tadi! Dan kita sudah semakin tua. Siapakah yang akan menahan kejahatannya kelak?"

   Kata Swat Hwa Cinjin. Pek-sim Sian-su tersenyum.

   "Di atas Puncak Himalaya masih ada awan dan di atas awan masih ada langit! Betapapun kuat dan tingginya kejahatan masih ada kekuasaan lain yang lebih kuat dan lebih tinggi untuk mengatasinya! Hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Pula, bukankah kita masih hidup sekarang? Dan kalau sute dapat mempunyai murid, kitapun bisa saja memilih seorang murid yang baik, agar kelak dia dapat menahan kejahatan yana datang dari manapun juga."

   Pada saat itu, terdengar suara memelas,

   "Locianpwe.... harap suka tolong saya...."

   Pek-in Tosu bangkit dan hendak menghampiri pohon itu untuk menurunkan Sie Liong, akan tetapi Pek-sim Sian-su mencegahnya.

   "Jangan diturunkan dulu! Biarkan racun itu habis seperti yang dikehendaki oleh sute tadi!"

   Sie Liong maraca tersikea sekali. Dia tergantung dengan kedua kaki terjepit tongkat, kepalanya di bawah dan dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut seperti kebanjiran darah dan mulai merasa pening, juga isi perutnya seperti masuk ke dalam rongga dadanya, kedua kaki terasa kesemutan dan seperti tidak ada rasanya lagi, mukanya terasa panas. Mendengar ucapan kakek berpakaian kuning tadi, diapun merasa mendongkol.

   "Locianpwe, kenapa begitu kejam membiarkan aku tersiksa begini?"

   Kini Pek-sim Sian-su mendekati pohon itu, berkata dengan lembut,

   "Sie Liong, ketahuilah bahwa sute Koay Tojin tadi telah membantuku mengobatimu. Dengan caranya sendiri yang aneh dia telah membantu dan mengeluarkan racun dari tubuhmu. Bukan untuk menyiksamu kalau dia menggantungmu seperti ini. Sesungguhnya tergantung dengan kepala di bawah ini merupakan suatu cara latihan yang amat hebat hasilnya, ditambah dengan tepukannya pada punggungmu tadi telah membuat engkau langsung memuntahkan darah beracun dari tubuhmu. Sebagai kelanjutannya, engkau harus bertahan selama satu jam tergantung di situ, dan semua racun akan keluar dari tubuhmu sehingga untuk menyembuhkanmu kembali hanya merupakan hal mudah, hanya memulihkan tenagamu saja."

   Mendengar ini, Sie Liong merasa girang sekali.

   "Ah, kalau begitu, maafkan saya, locianpwe, dan Terimakasih. Jangankan satu jam, biar sepuluh jam saya akan pertahankan sekuat saya."

   Pek-sim Sian-su mengangguk-angguk dan diapun duduk kembali bersila di depan tiga orang murid keponakannya.

   "Supek tadi menyebut tentang betapa baiknya kalau kita mempunyai seorang murid, apakah supek maksudkan dia itu?"

   Pek-in Tosu menuding ke arah tubuh anak kecil bongkok yang sedang tergantung dengan kepala di bawah itu. Pek-sim Sian-su tersenyum dan diam-diam dia memuji ketajaman pandangan murid keponakan yang telah memperoleh kemajuan pesat ini.

   "Benar, dialah calon yang kulihat cocok sekali untuk menjadi tumpuan harapan kita,"

   Jawabnya.

   "Akan tetapi...., dia cacat! Apa yang dapat diharapkan dari seorang yang cacat, apalagi cacatnya bongkok seperti dia?"

   Hek Bin Tosu mencela dengan alis berkerut.

   "Hemm, agaknya engkau belum memeriksa anak itu dengan seksama,"

   Kata Pek-sim Sian-su.

   "Sute tadi sekali melihat saja sudah tahu akan keistimewaan anak itu sehingga dia mau turun tangan mengobatinya."

   "Supek benar, sute. Dia memang seorang anak yang berbakat tinggi, dan baik sekali. Cacatnya itu tidak akan menjadi penghalang besar, karena itu hanya merusak bentuknya saja, tidak mempengaruhi dalamnya,"

   Kata Pek In Tosu. Mereka lalu bercakap-cakap tentang sepak terjang lima orang pendeta Lama dari Tibet yang mengadakan pengacauan di Kun-lun-san, memburu para pertapa yang pindah dari Himalaya puluhan tahun yang lalu.

   "Supek, kalau dugaan teecu bertiga benar, memang tentu ada hal-hal aneh terjadi di Tibet. Rasanya tidak masuk di akal kalau Dalai Lama sendiri yang mengutus mereka untuk melakukan pembunuhan dan perburuan itu, apalagi mengutus mereka untuk menangkap atau membunuh teecu bertiga. Bagaimanapun juga tentu Dalai Lama tahu bahwa mendiang suhu dahulu adalah pembela dan pelindungnya, menyelamatkan banyak penduduk dusun asalnya yang diamuk oleh para Lama yang akan menculiknya."

   Kata Pek In Tosu.

   "Memang agaknya bukan Dalai Lama yang mengutus mereka. Pinto lebih condong menduga bahwa mereka itu tentu merupakan hubungan dekat sekali dengan para Lama yang tewas di tangan mendiang gurumu dan mereka memang sengaja menuntut balas. Bukankah ketika terjadi keributan dan pertentangan tiga puluh tahun yang lalu di Tibet itu, lima orang Lama ini belum muncul? Keributan dahulu itu memang dipimpin oleh Dalai Lama yang dahulu, yang marah oleh perlawanan mendiang suhu kalian sehingga menjatuhkan korban di antara para pendeta Lama yang dahulu menganggap para pertapa, terutama para tosu di Himalaya memberontak. Akan tetapi, Dalai Lama yang sekarang ini, yang bahkan menjadi penyebab perkelahian antara suhu kalian dan para Lama, tidak mempunyai permusuhan apapun dengan kita."

   "Memang mencurigakan sekali dan teecu kira hal ini patut untuk diselidiki, supek,"

   Kata Hek Bin Tosu yang masih penuh semangat. Supeknya tersenyum.

   "Hek Bin Tosu, lupakah engkau berapa sudah usiamu? Orang-orang setua kita ini, tidak memiliki tenaga dan keuletan lagi untuk melakukan pekerjaan besar itu. Memasuki Tibet untuk melakukan penyelidikan bukanlah pekerjaan yang ringan. Apa lagi kita sudah mereka kenal, bahkan mereka musuhi. Tidak, sebaiknya kalau kita menyerahkan tugas itu kepada muridku itu."

   Dia menunjuk kepada tubuh anak bongkok yang tergantung di pohon.

   "Baiklah, supek. Kalau begitu, biarlah kelak teecu bertiga juga akan mewariskan ilmu-ilmu kami yang terbaik untuk sute kami itu,"

   Kata Swat Hwa Cinjin. Hanya sampai di situ Sie Liong mampu menangkap percakapan mereka karena selanjutnya dia tidak mendengar apa-apa lagi, sudah pingsan dengan tubuh masih tergantung seperti kelelawar. Gadis cilik itu membalapkan kudanya naik ke bukit itu.

   Seorang gadis mungil, berusia antara sebelas dan dua belas tahun dengan wajah yang manis dan sepasang mata yang jeli dan indah. Anak perempuan itu mengenakan pakaian cukup indah dan cara dia menunggang kuda membuktikan bahwa ia sudah biasa dengan permainan ini. Kudanya juga seekor kuda yang baik sekali, dengan tubuh panjang dan leher panjang. Anak perempuan itu seperti berlumba saja ketika melarikan kudanya semakin cepat, padahal jalan itu tidak rata dan mendaki. Namun, agaknya ia memang sudah biasa dengan daerah ini, dan kudanyapun bukan baru sekali itu saja membalap ke arah puncak bukit di mana terdapat banyak rumput hijau segar yang gemuk dan yang akan dinikmatinya sebagai hadiah kalau mereka sudah tiba di puncak. Akhirnya tibalah mereka di puncak bukit yang merupakan tanah datar dengan padang rumput yang luas.

   Gadis cilik itu meloncat turun, ia dan kudanya bermandi keringat, dan keduanya nampak gembira. Apalagi setelah anak perempuan itu melepaskan kendali kuda dan membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang tebal, keduanya sungguh meniknati keindahan alam, hawa udara yang berbau harum itu, bau tanah dan tumbuh-tumbuhan yang segar. Kicau burung menambah semarak suasana. Beberapa lamanya anak perempuan itu rebah telentang di atas rumput, melepaskan lelah dan memejamkan mata. Alangkah nikmatnya telentang di atas rumput seperti itu! Lebih nikmat daripada rebah di atas kasur yang paling lunak dengan tilam sutera yang paling halus. Akan tetapi seekor semut yang agaknya tertindih olehnya, menegigit tengkuknya. Ia bangkit dan menepuk semut itu, membuangnya sambil bersungut-sungut.

   "Semut jahil kau!"

   Katanya dan kini ia menoleh kepada kudanya. Ketika ia melihat betapa kuda itu makan rumput dengan lahapnya, nampak enak sekali dengan mata yang lebar itu berkedap-kedip melirik ke arahnya,

   Ia menelan ludah dan perutnya tiba-tiba saja merasa lapar sekali. Anak perempuan itu adalah Yauw Bi Sian. Seperti telah kita ketahui, Bi Sian tinggal bersama ayahnya, Yaw Sun Kok, di kota Sung-jan, di ujung barat Propinsi Sin-kiang. Di tempat tinggalnya banyak terdapat penduduk aseli Suku Bangsa Kirgiz, Uigur, dan Kazak yang ahli menunggang kuda. Oleh karena keadaan lingkungan ini, sejak kecilpun Bi Sian pandai menunggang kuda. Apalagi ia memang menerima latihan ilmu silat dari ayahnya, maka menunggang kuda merupakan satu di antara kepandaian yang cocok untuknya. Ayahnya yang amat sayang kepadanya bahkan membelikan seekor kuda yang baik untuknya dan sudah biasa Bi Sian membalapkan kudanya pergi seorang diri ke lembah-lembah dan padang padang rumput.
(Lanjut ke Jilid 06)

   Kisah Pendekar Bongkok (Serial 06 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06
Kepergian Sie Liong membuat anak perempuan ini berduka dan berhari-hari ia menangis dan mendesak ayah ibunya agar mencari Sie Liong sampai dapat dan mengajaknya pulang. Ia merasa kehilangan sekali karena ia tumbuh besar di samping pawan kecilnya itu yang merupakan paman, juga kakak, juga sahabat baiknya. Semua hiburan ayah ibunya tidak dapat mengobati kesedihannya ketika ayahnya gagal menemukan kembali Sie Liong. Akan tetapi, lambat laun ia manpu juga melupakan Sie Liong dan pada hari itu, setengah tahun setelah Sie Liong pergi, ia membalapkan kuda seorang diri menaiki bukit itu. Matahari sudah condong ke barat dan Bi Sian yang merasa perutnya tiba-tiba menjadi lapar sekali melihat kudanya makan rumput, bangkit dan menghampiri kudanya. Dirangkulnya leher kudanya. Kuda itu dengan manja mengangkat kepala dan mengusapkan pipinya ke kepala gadis cilik itu.

   "Hayo kita pulang, hari telah sore,"

   Bisik Bi Sian dan iapun memasangkan kembali kendali kudanya. Pada saat itu, muncul lima orang laki-laki kasar. Mereka itu berusia rata-rata tiga puluh tahun dan mereka menghampiri Bi Sian sambil tersenyum menyeringai. Karena tidak mengenal mereka, Bi Sian mengerutkan alisnya dan tidak memperdulikan mereka. Akan tetapi ketika melihat gadis cilik itu hendak meloncat naik ke punggung kuda, tiba-tiba seorang di antara mereka melangkah maju dan merampas kendali kuda dari tangan Bi Sian.

   "Perlahan dulu, nona. Kuda ini berikan kepada kami!"

   Katanya. Bi Sian terkejut dan marah. Ia sama sekali tidak merasa takut, sama sekali tidak ingat bahwa ia berada di tempat yang sunyi sekali dan lima orang itu jelas bukan orang baik-baik. Telunjuknya menuding ke arah muka orang yang merampas kudanya.

   "Siapa kalian? Berani kalian mengambil kudaku?"

   Bentaknya.

   "Ha-ha-ha, bukan hanya kudamu, nona, akan tetapi segala-galanya yang ada padamu. Hayo lepaskan semua pakaianmu, kami juga minta semua pakaianmu itu."

   Bi Sian terbelalak, bukan karena takut melainkan karena marahnya. Saking marahnya, ia tidak mengeluarkan kata-kata lagi melainkan ia sudah meloncat ke depan dan memukul ke arah perut orang yang bicara itu, seorang laki-laki brewokan yang agaknya menjadi pemimpin mereka. Serangannya cepat sekali datangnya. Maklum, biarpun usianya baru hampir dua belas tahun, akan tetapi sejak kecil Bi Sian sudah menerima gemblengan ayahnya yang pandai sehingga dalam usia sekecil itu ia sudah memiliki ilmu silat yang lumayan, terutama gerakannya cepat sekali walaupun dalam hal tenaga, ia masih belum kuat benar. Si brewok itu sambil tertawa-tawa mencoba untuk menangkap, akan tetapi dia kalah cepat.

   "Bukkk!"

   Perutnya kena dihantam tangan yang kecil itu dan diapun terjengkang. Biarpun tidak terlalu nyeri, akan tetapi dia terkejut dan juga merasa malu. Kawan-kawannya segera menubruk dan tentu saja Bi Sian tidak mampu melawan lagi ketika mereka itu meringkusnya.

   "Lepaskan ia!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun lebih, muncul di tempat itu. Bi Sian segera mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan, pemuda yang pernah berkelahi dengan ia dan Sie Liong. Pemuda yang oleh ayahnya dicalonkan menjadi suaminya! Lima orang itu membalik dan memandang kepada Lu Ki Cong tanpa melepaskan kedua lengan Bi Sian yang mereka telikung ke belakang.

   "Hemm, bocah lancang, siapa kau?"

   Bentak si brewok sambil menghampiri Ki Cong dengan sikap mengancam. Akan tetapi pemuda remaja itu tidak menjadi gentar. Diapun melangkah maju, membusungkan dada dan menjawab dengan lantang,

   "Namaku Lu Ki Cong, putera dari Lu-ciangkun komandan keamanan di Sung-jan!"

   "Ahhh....!"

   Si brewok terkejut dan melangkah mundur mendekati teman-temannya yang juga terkejut dan memandang ketakutan.

   "Maaf.... maafkan kami.... kongcu...."

   Si brewok berkata dengan suara gemetar. Lu Ki Cong melanpkah maju lagi.

   "Kalian tidak tahu siapa gadis ini? Ia adalah puteri Yauw Taihiap, seorang pendekar besar di Sung-jan, dan ia tunanganku, mengerti?"

   "Maaf.... maaf...."

   Kini lima orang itu melepaskan Bi Sian dan mereka menggigil ketakutan.

   "Kalian patut dihajar!"

   Ki Cong lalu melangkah maju dan tangan kakinya bergerak, menampar dan menendang. Lima orang itu jatuh bangun lalu mereka melarikan diri tunggang langgang, meninggalkan kuda tunggangan Bi Sian. Sejenak dua orang muda remaja itu saling pandang dan dalam pandang mata Bi Sian ada sinar kagum. Tak disangkanya pemuda yang nakal itu memiliki ke-beranian dan kegagahan!

   "Terimakasih...."

   Katanya lirih, agak malu-malu mengingat bahwa tadi pemuda itu memperkenalkan ia sebagai tunangannya kepada para penjahat. Ki Cong tersenyum bangga, lalu mendekati gadis cilik itu.

   "Sian-moi, perlu apa berterimakasih? Sudah semestinya kalau aku membela dan melindungimu, kalau perlu dengan jiwa ragaku, bukankah engkau ini tunanganku dan calon isteriku?"

   Berkata demikian, Ki Cong mendekat dan tangannya lalu memegang lengan Bi Sian dengan mesranya. Merasa betapa lengannya diraba dengan mesra, meremang rasanya bulu tengkuk Bi Sian dan iapun menarik tangannya dengan renggutan, dan iapun melangkah mundur, alisnya berkerut.

   "Aku tidak minta pertolonganmu, dan aku bukan tunanganmu!"

   Bentaknya marah.

   "Aihh, jangan bersikap seperti itu kepadaku, calon suamimu, Sian-moi. Ingat, antara orang tua kita sudah setuju akan perjodohan kita...."

   "Aku tidak perduli! Aku tidak sudi!"

   Kembali Bi Sian membentak.

   "Sian-moi, jangan begitu. Mengapa engkau membenci aku? Apakah aku tidak menang segala-galanya dibandingkan anak bongkok itu?"

   Tiba-tiba sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar kemarahan yang seperti bernyala.

   "Jangan menghina paman Sie Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik dari padamu!"

   Karena pertolongannya tadi agaknya tidak mendatangkan perasaan berterimakasih dan bersukur dari gadis cilik itu, Ki Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar,

   "Sian-moi, engkau sungguh tidak tahu budi! Kalau tidak ada aku, apa yang terjadi padamu? Bukan saja kuda dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga engkau telah diperkosa! Dan engkau sedikitpun tidak berterimakasih kepadaku!"

   "Hemm, sudah kukatakan aku tidak minta pertolonganmu dan tadi aku sudah bilang Terimakasih. Mau apa lagi?"

   "Setidaknya engkau harus memberi ciuman Terimakasih!"

   Kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan gadis cilik itu dan hendak merangkul dan mencium. Akan tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.

   "Plakkk!"

   Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pipi pemuda remaja itu kena ditampar sampai merah. Ki Cong menjadi marah.

   "Kau memang tidak tahu Terimakasih!"

   Lalu dia menangkap kedua pergelangan tangan Bi Sian. Gadia cilik itu meronta-ronta, akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong sudah berhasil merangkulnya, mendekap dan mencari muka anak perempuan itu dengan hidungnya. Akan tetapi Bi Sian meronta dan membuang muka ke kanan kiri sehingga ciuman yang dipaksakan oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran. Tiba-tiba nampak ada tongkat bergerak ke arah kepala Ki Cong dan memukul kepala penuda remaja itu.

   "Tokk!"

   Seketika kepala itu menjendol sebesar telur ayam dan Ki Cong berteriak mengaduh sambil meraba kepalanya yang rasanya berdenyut-denyut. Dia melepaskan rangkulannya pada Bi Sian dan membalik. Ketika dia melihat seorang kakek jembel yang tua berdiri sambil memegang sebatang tongkat butut, dia marah sekali.

   "Kau.... kau berani memukul aku?"

   Bentaknya sambil melangkah maju mendekati kakek tua renta itu dengan sikap mengancam. Kakek yang rambutnya putih riap-riapan dan pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia kebetulan saja lewat di bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian mengemplang kepala Ki Cong dengan tong-katnya. Kini dia tertawa terkekeh-kekeh.

   "Aku! Memukulmu? Heh-heh-heh, yang memukul adalah tongkat ini, bukan aku!"

   "Jembel tua busuk! Mana bisa tongkat memukul sendiri kalau tidak kau pukulkan?"

   "Siapa bilang tidak bisa?"

   Koay Tojin mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata,

   "Tongkat, orang menghinamu, dikatakannya engkau tidak bisa memukul sendiri. Tunjukkan bahwa engkau bisa memukul anjing dan orang kurang ajar, coba hajar pantatnya beberapa kali!"

   Sungguh aneh sekali. Tongkat itu melayang terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang di udara lalu menukik turun dan menghantam pantat Ki Cong.

   "Plakk!"

   Ki Cong berteriak kesakitan dan mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia dan kembali tongkat itu menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan setengah mati dan sambil berteriak-teriak diapun lari tunggang langgang ke bawah bukit setelah tongkat itu menghajar pantatnya beberapa kali. Melihat ini, Bi Sian tertawa senang sekali. Iapun terheran-heran melihat betapa ada tongkat dapat memukuli orang kurang ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ke tangan si kakek jembel. Bi Sian mendekati.

   "Kakek yang aneh, sungguh hebat sekali tongkatmu itu! Apakah itu tongkat pusaka, tongkat wasiat?"

   "Heh? Pusaka? Wasiat? Ini tongkat butut, heh-heh-heh!"

   Bi Sian makin mendekat, sedikitpun tidak merasa takut atau jijik kepada kakek jembel yang terkekeh-kekeh dan menyeringai seperti orang gila itu.

   "Kakek yang baik, maukah engkau memberikan tongkat itu kepadaku?"

   "Tongkat ini? Tongkat butut ini? Heh-heh, boleh saja...."

   Bi Sian gembira bukan main dan menerima tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia meneliti tongkat itu, akan tetapi hanya sebatang tongkat biasa saja, sebuah potongan ranting pohon yang sudah kering dan kotor. Ia mencoba untuk menggerak-gerakkan tongkat itu, akan tetapi biasa saja, tidak ada keanehannya.

   "Kakek yang baik, maukah engkau mengajarkan aku caranya membuat tongkat ini terbang dan memukuli orang kurang ajar? Aku ingin sekali belajar ilmu itu."

   Kakek itu tertawa bergelak.

   "Belajar ilmu memukul orang dengan tongkat? Untuk apa?"

   "Wah, banyak sekali kegunaannya, kek. Pertama, untuk melindungi diriku sendiri. Ke dua, dapat kupergunakan untuk melindungi paman kecilku yang bongkok."

   "Paman kecil bongkok?"

   "Ya, pamanku Sie Liong itu kecil-kecil sudah bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si kurang ajar Ki Cong tadi juga menghinanya!"

   "Sie Liong.... anak.... bongkok?"

   Koay Tojin berkata lambat dan seperti mengingat-ingat.

   "Benar, kek! Apakah engkau pernah melihatnya? Dia melarikan diri dari rumah ayah, sudah berbulan-bulan, entah berada di mana, aku rindu sekali padanya. Kek, bolehkah aku belajar ilmu itu?"

   Koay Tojin mengelus jenggotnya lalu tiba-tiba menjumput seekor kutu busuk di lipatan bajunya dan memasukkan kutu itu ke bibirnya.

   "Engkau benar mau menjadi muridku? Bukan hanya memainkan tongkat itu, bahkan menpelajari ilmu-ilmu yang akan membuat engkau menjadi orang paling lihai di dunia ini?"

   "Mau, kek! Aku mau sekali!"

   Kata Bi Sian girang karena ia mendapatkan perasaan bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Ayahnya pernah bercerita bahwa di dunia ini terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi sehingga kepandaiannya seperti dewa saja. Untuk beberapa detik Koay Tojin seperti kehilangan kesintingannya dan sepasang matanya yang mencorong itu menelusuri seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik. Kemudian, sikapnya yang sinting kembali lagi.

   "Kau mau? Benar-benarkah? Tidak mudah, nona cilik! Pertama, engkau harus ikut ke manapun aku pergi, dan aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai apapun, dan kau harus bersedia hidup seperti anak jembel seperti aku!"

   "Apa sukarnya? Aku bersedia!"

   Jawab Bi Sian dengan penuh semangat. Ia teringat kepada paman kecilnya yang tentu hidup sebagai jembel pula. Dan tidak mungkin akan mati kelaparan kalau menjadi murid seorang yang demikian sakti seperti pengemis tua ini.

   "Dan untuk waktu yang tidak sedikit! Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku, atau sampai aku mati!"

   "Aku setuju!"

   "Dan mentaati semua perintahku!"

   "Setuju!"

   "Ha-ha-ha-ha...."

   Kakek itu tertawa bergelak, berdiri sambil memegangi perut yang terguncang, kepalanya menengadah dan mulutiya ternganga. Melihat ini, Bi Sian ikut tertawa, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek itu yang tadinya menengadah kini membungkuk, dan menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis.

   "Hu-hu huuhhh...."

   Tentu saja Bi Sian tidak mau ikut nenangis, melainkan ikut duduk di atas rumput, sejenak memandang kakek yang menangis tersedu-sedu itu dengan bengong. Karena kakek itu tidak juga berhenti menangis, ia menjadi tidak sabar dan mengguncang lengan kakek itu dengan tangannya. Kakek ini tentu gila, ia mulai curiga, akan tetapi tidak merasa takut, melainkan geli.

   "Kek, kek, kenapa menangis?"

   Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya, memandang kepada Bi Sian dengan muka yang basah air mata, matanya kemerahan, kemudian dia mewek lagi dan menangis terisak-isak. Tangis, seperti juga tawa, memang mempunyai daya tular yang ampuh. Biarpun tadinya Bi Sian tidak mau ikut menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu tidak dibuat-buat, melainkan menangis sungguh-sungguh tanpa disadarinya lagi air matanya mulai keluar dari kedua matanya, menetes-netes menuruni kedua pipi. Bi Sian terkejut sendiri ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air mata dari kedua pipinya dan memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan bertanya.

   "Hei, kakek, kenapa kau menangis? Kenapa? Aku jadi ikut menangis, maka aku ingin tahu apa yang kita tangiskan seperti ini. Orang tertawa atau menangis harus ada sebabnya, kalau tanpa sebab kita bisa dianggap orang gila!"

   Tiba-tiba saja kakek itu berhenti menangis dan kini dia tertawa. Melihat anak perempuan itu memandangnya dengan mata terbelalak, diapun berkata sambil mencela.

   "Kenapa kita tidak boleh tertawa dan menangis tanpa sebab? Kita tertawa atau menangis menggunakan mulut kita sendiri, tidak meminjam mulut orang lain, apa perduli pendapat orang lain?"

   "Tapi kau tertawa dan menangis tanpa memberitahu sebabnya, sungguh membikin aku menjadi bingung, kek. Biasanya orang yang menangis dan tertawa tanpa sebab hanya orang-orang yang miring otaknya, dan aku yakin engkau bukan orang sinting."

   "Ha-ha-ha-ha, kau kira orang sinting itu jelek? Di dunia ini, mana ada orang yang tidak sinting? Aku tertawa karena hatiku gembira mendapatkan seorang murid yang baik seperti engkau. Dan aku menangis karena aku harus mewariskan ilmu-ilmu kepadamu. Hu-hu-huuhhh...."

   Kembali dia menangis. Bi Sian mengerutkan alisnya.

   "Sudahlah, kek. Jangan menangis. Kalau memang engkau tidak rela mewariskan ilmu-ilmu kepadaku, sudah saja jangan menjadi guruku."

   "Apa?"

   Seketika tangis itu terhenti dan dia memandang dengan mata terbelalak.

   "Bukan takut kehilangan ilmu karena biar kuwariskan kepada seratus orangpun tidak akan habis, hanya ingat akan mewariskan itu aku jadi ingat bahwa berarti aku akan mati! Dan aku takut.... aku takut mati...."

   "Hemm, engkau takut mati, kek?"

   Kakek itu berhenti lagi setelah tangisnya disambung dengan wajah ketakutan, dan dia memandang wajah Bi Sian.

   "Apa kau tidak takut mati?"

   Anak perempuan itu menggeleng kepala, pandang matanya jujur terbuka tidak pura-pura.

   "Kenapa aku harus takut, kek? Orang takut itu kan ada yang ditakutinya. Kalau kematian, kita kan tidak tahu apa itu kematian, bagaimana itu yang namanya mati. Kenapa takut kepada sesuatu yang tidak kita mengerti? Aku tidak takut mati, kek!"

   Kakek itu terbelalak, memandang kepada anak perempuan itu dengan penuh heran dan kagum. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di depan Bi sian.

   "Kau pantas menjadi guruku! Ajarilah aku bagaimana agar aku tidak takut mati! Aku mau menjadi muridmu...."

   Bi Sian melongo. Berabe, pikirnya. Kakek jembel yang memiliki ilmu kesaktian ini agaknya memang benar-benar sinting!

   "Wah, jangan gitu, kek. Bukankah aku yang menjadi muridmu dan sepatutnya aku yang berlutut? Bangkitlah dan biarkan aku yang berlutut memberi hormat kepadamu."

   "Tidak! Tidak!"

   Koay Tojin bersikeras.

   "Sebelum engkau mengajari aku bagaimana caranya agar tidak takut mati, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut terus di depanmu sampai dunia kiamat!"

   Bi Sian seorang anak berusia sebelas tahun lebih, bagaimana mungkin dapat memikirkan hal yang rumit dan penuh rahasia seperti kematian? Ia seorang anak yang masih belum dewasa, masih bocah. Akan tetapi justeru kepolosannya itulah yang membuat ia berpemandangan polos dan sederhana, tidak seperti orang dewasa yang suka mengerahkan pikirannya sehingga muluk-muluk dan berbelit-belit. Bi Sian hanya berpikir sebentar, mengapa ia tidak pernah takut akan kematian.

   "Gampang saja, kek. Jangan pikirkan tentang mati karena kita tidak mengerti. Jangan pikirkan dan kau tidak akan pusing, tidak akan takut!"

   Jawaban itu memang sederhana dan sama sekali tanpa perhitungan, akan tetapi dasar kakek itu sinting, dia menerimanya dan "mengolahnya"

   Di dalam benaknya.

   "Jangan pikirkan.... jadi pikiran yang mendatangkan rasa takut? Kalau aku tidur, pikiran tidak bekerja, apakah aku pernah takut? Tidak! Orang pingsanpun tidak pernah takut, apalagi orang mati, sudah tidak bisa takut lagi! Jangan pikirkan....!"

   "Ha-ha-ha, benar sekali! Tepat sekali! Itulah ilmunya!"

   Dan diapun bangkit, menyambar tubuh Bi Sian dan melempar-lemparkan tubuh itu ke atas. Ketika tubuh turun, ditangkap dan dilemparkan lagi, makin lama semakin tinggi. Mula-mula Bi Sian agak merasa ngeri juga, akan tetapi betapa setiap kali meluncur turun tubuhnya disambut dengan cekatan dan lunak, iapun tidak lagi merasa ngeri, bahkan menikmati permainan aneh ini. Kalau tubuhnya dilempar ke atas, ia merasa seperti menjadi seekor burung yang terbang tinggi, maka mulailah ia mengatur keseimbangan tubuhnya agar kalau dilempar ke atas, kepalanya berada di atas dan ketika meluncur turun, ia dapat membalikkan tubuh sehingga terjun dengan kepala dan tangan di bawah.

   "Lebih tinggi, kek! Lebih tinggi lagi!"

   Berkali-kali ia berteriak dengan gembira dan kakek itu agaknya juga memperoleh kegembiraan luar biasa melihat muridnya itu sama sekali tidak takut, bahkan menantangnya untuk melemparkannya lebih tinggi!

   Benar-benar muridnya itu tidak berbohong dan tidak takut mati! Maka diapun melemparkan tubuh anak perempuan itu makin lama semakin tinggi. Bi Sian memang cerdik sekali dan juga memiliki keberanian luar biasa. Makin tinggi lemparan itu, membuka kesempatan lebih banyak baginya untuk berjungkir balik dan membuat bermacam gerakan di udara sehingga ia semakin trampil dan cekatan. Akan tetapi, betatapun saktinya, Koay Tojin adalah seorang kakek tua renta yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, maka permainan yang membutuhkan pengerahan tenaga itu membuat dia merasa lelah. Tiba-tiba dia melemparkan tubuh murid itu jauh ke kiri, ke arah sebatang pohon besar dan dia sendiri lalu meloncat ke bawah pohon itu, siap menerima tubuh muridnya kalau meluncur ke bawah.

   "Heiii....!"

   Bi Sian berteriak kaget akan tetapi tubuhnya sudah masuk ke dalam pohon itu, disambut daun-daun dan ranting-ranting pohon mengeluarkan bunyi berkeresakan keras. Bi Sian dengan ngawur mengulur kedua tangannya dan berhasil menangkap sebatang batang pohon dan memeluknya erat-erat. Pohon itu besar dan tinggi sekali sehingga kalau sampai ia terjatuh ke bawah, tubuhnya tentu akan remuk! Koay Tojin yang sudah tiba di bawah pohon, menanti dan siap menyambut tubuh muridnya, akan tetapi tubuh itu tak kunjung jatuh! Dia merasa heran dan berteriak ke atas, tanpa dapat melihat Bi Sian karena daun pohon itu memang lebat.

   "Heiiiiii! Guruku.... eh, muridku yang tak takut mati! Di mana kau, he?"

   "Kakek nakal! Kenapa kau melempar aku ke pohon ini?"

   Mendengar suara anak perempuan itu, Koay Tojin tertawa bergelak saking lega dan gembira hatinya.

   "Ha-ha-ha, bukankah engkau tadi belajar terbang seperti burung? Kalau menjadi burung harus sekali waktu hinggap di dalam pohon!"

   Kakek itu meloncat ke atas dan di lain saat dia sudah duduk di atas sebuah cabang pohon, membantu Bi Sian terlepas dari batang yang dipeluknya dengan erat dan mendudukkan pula murid itu ke atas dahan pohon yang kokoh kuat.

   "Suhu nakal."

   "Suhu....? Siapa suhu (guru)?"

   Bi Sian memandang wajah kakek itu.

   "Hemm, sudah lupa lagikah suhu bahwa aku telah menjadi muridmu? Kalau tidak disebut suhu, apakah harus selalu disebut Pak Tua atau Kakek?"

   "O ya benar! Engkau muridku, aku suhumu. Kenapa kau bilang aku nakal?"

   "Lihat saja muka dan kulit tanganku ini. Balur-balur dan luka berdarah terkait ranting dan daun pohon."

   Koay Tojin memeriksa kulit muka, leher dan tangan yang baret-baret itu.

   "Ah, tidak apa-ana. Engkau harus biasa hidup di atas pohon, karena seringkali kalau berada di hutan, aku tidur di atas pohon. Lebih enak dan aman tidur di atas pohon, selagi pulas tidak dihampiri dan dicium harimau."

   Mau tidak mau Bi Sian bergidik ngeri.

   "Dicium harimau? Apakah suhu pernah dicium harimau?"

   "Wah, sudah sering!"

   "Bagaimana rasanya, suhu?"

   "Wah, geli! Kumisnya yang kaku itu menggelitik muka dan leher dan ketika aku terbangun.... wah, di depan mukaku nampak moncong dengan gigi yang runcing dan mata yang menyala, dan napasnya yang berbau amis!"

   "Kenapa dia tidak langsung menerkam, pakai cium-cium segala, suhu?"

   "Ha-ha-ha, mana harimau mau langsung makan mangsanya sebelum mencium sepuas hatinya? Dia mencium untuk menikmati bau harum dan sedap calon mangsanya. Untung bauku agak tidak enak, apak, sehingga ketika mencium-cium dan hidungnya menyedot bauku yang apak, harimau itu agak ragu-ragu, mungkin takut kalau dagingku beracun, ha-ha-ha! Keraguan itu membuka kesempatan bagiku untuk menghajarnya sampai dia lari terpincang-pincang dan berkaing-kaing!"

   Kakek itu tertawa gembira sambil menepuk-nepuk lututnya. Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu.

   "Wah, aku lupa! Muridku, engkau harus mulai berlatih mengumpulkan hawa sakti, membangkitkan tenaga sakti di dalam tubuhmu!"

   Tentu saja Bi Sian menjadi bingung.

   "Apa maksudmu, suhu? Aku tidak mengerti!"

   Koay Tojin lalu memegang kedua pundak muridnya itu, mengangkatnya dan menjungkirbalikkan tubuh anak itu sehingga kedua kaki Bi Sian kini tergantung ke dahan pohon, bergantung pada belakang lutut yang ditekuk dan kepalanya berada di bawah.

   "Pertahankan keadaan begini sekuatmu, kedua tangan biarkan tergantung saja dan tarikan napas sepanjang mungkin. Kalau matamu berkunang, pejamkan mata."

   "Bagaimana kalau kakiku tidak kuat dan kaitannya pada dahan terlepas, suhu?"

   "Bodoh! Jangan boleh terlepas! Kalau terlepas kan ada aku di sini! Nah, sambil bergantung begini kita bercakap-cakap!"

   Dan dia sendiripun lalu menggantungkan kedua kakinya seperti halnya Bi Sian pada dahan yang lebih tinggi sehingga kepalanya berhadapan presis dengan kepala muridnya itu, dalam jarak dua meter. Bi Sian merasa lucu sekali berhadapan muka dengan kakek itu dalam keadaan terbalik.

   "Nah, sekarang katakan siapa namamu!"

   "Namaku Yaw Bi Sian, suhu."

   "Bagus, nama yang bagus. Bi Sian, gurumu ini dipanggil Koay Tojin, datang dari Himalaya akan tetapi sekarang menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal tertentu."

   "Sekarang aku telah menjadi muridmu, suhu. Seorang murid harus berlutut dan memberi hormat kepada suhunya."

   "Benar, hayo lekas berlutut di depanku!"

   "Bagaimana mungkin kalau kita bergantung seperti ini?"

   "Ah, benar. Aku lupa, mari kita turun dulu!"

   Dan sebelum Bi Sian tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah meluncur turun ditarik oleh kakek itu dan tahu-tahu mereka telah berada di atas rumput lagi. Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Koay Tojin, memberi hormat sampai delapan kali. Koay Tojin girang bukan main dan tertawa bergelak sambil bertolak pinggang.

   "Bagus, sekarang engkau telah menjadi muridku, Bi Sian. Bangkitlah!"

   Akan tetapi Bi Sian tidak mau bangkit.

   "Tidak, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut sampai dunia kiamat kalau suhu tidak meluluskan tuntutanku!"

   Kakek itu memandang bengong, lalu terkekeh.

   "Heh-heh-heh, engkau ini presis seperti aku tadi, mau berlutut sampai kiamat! Mengapa engkau meniru-niru aku, heh?"

   "Engkau lupa bahwa engkau ini guruku. Siapa lagi yang ditiru murid kalau bukan gurunya?"

   "Wah, wah, repot dah! Baiklah, katakan apa permintaanmu itu?"

   
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ada tiga permintaanku yang harus suhu penuhi, baru aku mau bangkit. Kalau tidak, aku akan berlutut...."

   "....sampai dunia kiamat!"

   Koay Tojin menyambut sambil terkekeh dan Bi Sian tersenyum juga. Betapa lucunya keadaan itu, pikir Bi Sian. Apakah kegilaan suhunya sudah menular padanya?

   "Katakan apa tuntutanmu!"

   "Pertama, sebelum aku pergi dengan suhu, aku harus pamit dulu kepada ayah ibuku."

   "Hemm, setuju! Akan tetapi sebentar saja, dari luar jendela. Pokoknya mereka itu tahu bahwa engkau pergi dengan aku."

   "Ke dua, aku akan menjadi murid suhu paling lama tujuh tahun saja. Setelah tujuh tahun aku akan pulang ke rumah orang tuaku."

   "Setuju! Tujuh tahun itu lama, mungkin sebelum tujuh tahun aku sudah mati....! Eh, apa yang kukatakan ini? Mati.... hih, aku takut.... ah, tidak, tidak. Aku tidak takut. Mati itu apa? Jangan dipikirkan, ha-ha-ha!"

   "Dan ke tiga...."

   "Banyak amat!"

   "Cuma tiga, suhu. Yang ke tiga dan terakhir, aku mau berkelana dengan suhu, hidup kekurangan. Akan tetapi aku tidak sudi kalau disuruh mengemis!"

   "Waah, heh-heh-heh, akupun memang gelandangan dan jembel, akan tetapi tak pernah mengemis. Kalau ada orang memberi, aku terima, akan tetapi aku tidak pernah minta. Apapun yang kita butuhkan, aku mampu adakan, untuk apa mengemis?"

   "Benarkah? Suhu dapat mengadakan apa yang kita butuhkan?"

   "Tentu saja?"

   "Hem, mana mungkin? Seperti sekarang ini. aku butuh sekali minum karena haus, dapatkah suhu mengadakan semangkuk air jernih?"

   "Heh-heh, apa sukarnya? Semangkuk air jernih? Lihat ini, terimalah!"

   Bi Sian terbelalak ketika tiba-tiba gurunya itu sudah mengulurkan tangan kirinya yang memegang sebuah mangkuk yang penuh dengan air jernih! Ia menerimanya dan dengan sikap masih kurang percaya dan ragu-ragu ia mendekatkan mangkuk itu ke bibirnya, lalu minum air itu dengan segarnya.

   "Suhu, dari mana suhu memperoleh semangkuk air dingin ini?"

   Tanyanya, kini keraguannya lenyap karena air itu terasa segar dan memang benar air jernih aseli! Sambil terkekeh kakek itu menerima mangkuk kosong yang dikembalikan Bi Sian dan bagaikan main sulap saja, tiba-tiba saja mangkok di tangannya itupun dia lontarkan ke udara dan lenyap!

   "Kuambil dari udara.... heh-heh-heh!"

   Bi Sian terbelalak.

   "Wah, enak kalau begitu!"

   Teriaknya.

   "Kalau kita perlu makan, minum, rumah, pakaian, emas permata, kita tinggal ambil dari udara! Suhu, ajari aku melakukan hal itu, kita akan menjadi kaya raya!"

   "Hushhh! Kau sudah gila? Tidak boleh begitu!"

   "Mengapa tidak boleh?"

   "Tak perlu kuberitahukan, kelak engkau akan mengerti sendiri. Nah, sekarang kuturuti permintaanmu tadi, mari kita kunjungi rumah keluarga orang tuamu agar engkau berpamit dari mereka."

   "Itu kudaku di sana, suhu. Kita menunggang kuda!"

   "Wah, aku tidak pernah menunggang kuda. Kalau engkau mengikuti aku berkelana, tidak boleh menunggang kuda."

   "Tapi sayang kalau kuda itu ditinggalkan begitu saja. Setidaknya dia harus kubawa pulang. Marilah, kita boncengan, suhu!"

   "Engkau naiklah, Bi Sian. Biar kakiku hanya dua buah, tiga dengan tongkatku, kiranya tidak akan kalah melawan kuda yang berkaki empat itu."

   "Mana mungkin, suhu?"

   "Sudahlah, jangan cerewet, Bi Sian. Mari kita pergi!"

   Mendongkol juga hati Bi Sian dimaki cerewet oleh gurunya. Boleh kaura-sakan nanti, pikirnya. Ingin berlumba dengan kudaku yang larinya seperti angin? Bagaimanapun juga, ia tidak percaya suhunya akan mampu menandingi kecepatan kudanya. Iapun lalu meloncat ke atas punggung kuda dan menoleh kepada gurunya yang masih duduk bersila di atas tanah.

   "Mari kita berangkat, dan cepat, suhu. Hari sudah mulai sore!"

   Berkata demikian, Bi Sian lalu mencambuk kudanya dan membalapkan kuda berlari menuruni bukit dengan cepat.

   Setelah beberapa lamanya ia berlari, ia menoleh untuk melihat gurunya yang ditinggalkan jauh. Tentu saja ia akan berhenti kalau melihat suhunya tertinggal jauh. Akan tetapt betapa kaget dan heran rasa hatinya melihat bahwa kakek itu tepat berada di belakang kudanya, seolah-olah sedang melenggang seenaknya saja! Ia merasa penasaran dan mencambuki kudanya, membalapkan kudanya makin cepat lagi. Setelah beberapa lamanya, kembali ia menoleh dan untuk ke dua kalinya ia terbelalak melihat suhunya tetap berada di belakang kudanya, bahkan memegang ujung ekor kuda itu sambil tersenyum-senyum kepadanya! Kini Bi Sian tidak ragu-ragu lagi. Suhunya memang seorang sakti seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya.

   Hatinya merasa kagum dan juga bangga, juga girang karena ia merasa yakin bahwa akan banyak ilmu yang hebat dapat diterimanya dari kakek aneh ini. Akan tetapi suhunya sudah begitu tua. Rasa iba menyelinap di dalam hati Bi Sian dan kini ia membiarkan kudanya berlari lambat agar gurunya yang sudah tua itu tidak terlalu mengerahkan tenaga. Tiba-tiba Bi Sian menghentikan kudanya. Mereka sudah tiba di kaki bukit dan ia melihat ada enam orang berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka itu adalah lima orang perampok tadi, dan di belakang mereka ia mengenal Lu Ki Cong! Tentu saja Bi Sian terheran-heran. Bagaimana lima orang perampok itu dapat berada di situ bersama Ki Cong dan agaknya di antara mereka tidak terdapat permusuhan? Bukankah tadi lima orang "perampok"

   Itu dimaki dan dihajar oleh Lu Ki Cong?

   "Heh-heh-heh, sahabatmu yang kurang ajar itu sudah menanti bersama lima orang anak buahnya."

   Bi Sian terkejut.

   "Anak buahnya? Tidak, suhu, mereka adalah lima orang perampok yang tadi malah dihajar oleh Ki Cong ketika mereka menggangguku!"

   "Heh-heh-heh, dan kukatakan bahwa mereka adalah anak buahnya!"

   "Kalian mau apa menghadang perjalananku?"

   Bentak Bi Sian kepada lima orang itu.

   "Minggir!"

   Akan tetapi, betapa heran rasa hati Bi Sian ketika ia melihat Lu Ki Cong menggerakkan tangannya dan berteriak kepada lima orang perampok itu.

   "Bunuh kakek gila itu dan tangkap gadis itu untukku!"

   Lima orang itu bergerak ke depan dan mengepung Bi Sian dan Koay Tojin. Marahlah Bi Sian karena gadis yang cerdik itu sudah dapat menduga apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia melompat turun dari atas kudanya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Lu Ki Cong sambil memaki.

   "Tikus busuk Lu Ki Cong! Sekarang aku mengerti akal busukmu. Kiranya lima orang ini adalah antek-antekmu yang sengaja kausuruh menggangguku tadi kemudian engkau muncul sebagai jagoan yang mengundurkan mereka untuk menarik hatiku! Engkau memang tikus busuk yang licik, curang, dan jahat sekali!"

   Lu Ki Cong tidak menjawab, akan tetapi lima orang tukanp pukulnya itu kini menghampiri Bi Sian dan Koay Tojin dengan sikap mengancam. Kaoy Tojin hanya tersenyum lebar dan berkata kepada Bi Sian,

   "Bi Sian, bukankah engkau ingin menghajar tikus-tikus itu? Nah, hajarlah mereka, jangan beri ampun seorangpun, terutama tikus cilik di belakang itu!"

   Tentu saja Bi Sian menjadi ragu-ragu. Ia sudah maklum bahwa tak mungkin ia mampu mengalahkan lima orang tukang pukul itu. Tadipun ia tidak berdaya, bahkan menghadapi Lu Ki Congpun ia kalah tenaga. Bagaimana kini ia harus menghajar enam orang itu?

   "Tapi, suhu, bagaimana aku mampu...."

   "Hushh! Bikin malu saja! Engkau kan muridku? Hayo hajar mereka dan kau gunakan tongkat bututku ini agar tanganmu tidak kotor!"

   Kakek itu menyerahkan tongkatnya. Besar hati Bi Sian. Ia percaya sepenuhnya akan kesaktian gurunya yang kadang-kadang seperti sinting itu memerintahkan ia menyerang, tentu gurunya sudah siap sedia membantunya. Dan tongkat itu agaknya tongkat wasiat, pikirnya. Buktinya, tadi tongkat itu dapat menghajar Ki Cong tanpa dipegang oleh suhunya. Kini tongkat itu berada di tangannya dan entah bagaimana, ia merasa hatinya besar dan penuh semangat ketika tongkat itu berada di tangannya.

   Tanpa memperdulikan bahaya yang mungkin mengancam dirinya lagi, Bi Sian menerjang ke depan menggerakkan tongkat butut di tangannya. Bagaimanapun juga, Bi Sian sejak kecil digembleng ilmu silat oleh ayahnya, maka ia memiliki gerakan yang gesit dan langkah yang teratur dan kuat. Menghadapi serangan anak perempuan yang memegang tongkat butut itu, lima orang tukang pukul itu tentu saja memandang rendah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa mempergunakan kekerasan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup hebat, dan tenaga yang kuat. Kalau tadi mereka "dihajar"

   Oleh Lu Ki Cong, hal itu memang disengaja dan sudah diatur sebelumnya, merupakan siasat Lu Ki Cong untuk menalukkan hati Bi Sian yang keras. Ki Cong yang mengatur semuanya dan mempergunakan mereka.

   Tadi, Lu Ki Cong lari turun dari bukit, menemui mereka dan minta kepada mereka untuk menghajar dan membunuh kakek jembel yang telah menghinanya, sekalian menangkapkan Bi Sian karena dia masih merasa penasaran bahwa gadis cilik itu tetap tidak mau tunduk kepadanya! Sambil tersenyum mengejek, menyeringai lebar, seorang di antara mereka yang brewok, maju dan mengulur tangannya hendak menangkis lalu menangkap dan merampas tongkat butut itu ketika Bi Sian memukulkan tongkat itu ke arah mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena tangannya itu tertahan di udara, tak dapat digerakkan seperti bertemu dengan benda yang tidak nampak, sementara itu, tongkat butut di tangan Bi Sian sudah menyambar ke arah mukanya. Saking herannya melihat tangannya tidak dapat bergerak terus, si brewok itu tak sempat lagi mengelak.

   

Istana Pulau Es Eps 34 Istana Pulau Es Eps 6 Istana Pulau Es Eps 35

Cari Blog Ini