Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 19


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



"Nona yang perkasa! Bun Beng, mundur!"

   Tiba-tiba Kwi-bun Lo-mo berteriak keras dan terdengarlah ledakan disusul membubungnya asap hitam yang tebal, menggelapkan keadaan di situ. Ternyata kakek Pulau Neraka ini telah melempar sebuah senjata rahasia khas Pulau Neraka, senjata peledak yang mengeluarkan asap hitam beracun. Kwi Hong dan Bun Beng melompat mundur, melihat betapa di tempat berdirinya dua orang lawan itu kini tertutup oleh asap hitam. Ketika asap membuyar tertiup angin dan mereka memandang, ternyata Tan-siucai dan Maharya telah lenyap dari tempat itu, tanpa meninggalkan bekas. Kwi-bun Lo-mo mengerutkan alisnya, mengomel.

   "Sialan! Mereka benar-benar amat lihai dapat menyelamatkan diri dari asap beracun. Dukun India itu benar-benar merupakan lawan yang lebih tangguh daripada dukun penunggang gajah. Hayaa....!"

   Kwi Hong melangkah maju dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu.

   "Tua bangka lancang! Kenapa kau melenyapkan mereka?"

   Tanpa menanti jawaban, dengan pedang buntungnya ia menyerang Kwi-bun Lo-mo. Serangannya hebat sekali dan pedang buntungnya itu masih amat berbahaya, membabat ke arah perut kakek itu yang tentu akan tersayat robek kalau sampai terkena.

   "Aihhh....!"

   Kwi-bun Lo-mo meloncat ke belakang dengan mata terbelalak dan balas menyerang sambil memaki,

   "Gadis liar, siluman galak!"

   Kwi Hong miringkan tubuh dan membabat ke arah lengan yang memukulnya, akan tetapi kakek itu dapat menarik kembali lengannya.

   "Tahan....!"

   Bun Beng berseru.

   "Nona Kwi Hong, dia bermaksud membantumu!"

   "Membantu apa? Dia.... ah, mukanya berwarna, dia tentu iblis dari Pulau Neraka!"

   "Hemm, memang aku dari Pulau Ne-raka, habis kau mau apa?"

   Kakek itu menantang dengan marah.

   "Aku mau membasmi orang-orang Pulau Neraka, dan engkau lebih dulu!"

   Kembali Kwi Hong menyerang.

   "Iblis betina tak tahu diri!"

   Kwi-bun Lo-mo mengelak lagi dan diam-diam terkejut karena biarpun pedangnya sudah buntung, nona ini merupakan lawan yang amat tangguh, gerakannya cepat, ilmu pedangnya aneh dan tenaga sin-kangnya amat kuat, dapat diduga dari suara bercuitan ketika pedang buntung menyambar. Terpaksa dia mencelat lagi ke kanan untuk menghindar.

   "Tahan! Locianpwe, dia itu adalah murid Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es!"

   Bun Beng berseru.

   "Apa....?"

   Muka kakek itu berubah, matanya terbelalak.

   "Be.... betulkah....?"

   "Aku mengenalnya, masa membohong?"

   Kwi Hong makin marah dan menuding dengan pedang buntungnya.

   "Kakek sialan! Apa kau pura-pura tidak mengenal aku yang pernah kalian culik ke Pulau Neraka?"

   Kakek itu menggeleng kepala.

   "Aku mendengar akan peristiwa itu, akan tetapi aku sedang merantau keluar pulau, tidak tahu.... maaf.... aku tidak berani mengganggu murid Pendekar Siluman tanpa seijin To-cu kami...."

   "Tidak peduli, kau harus mampus!"

   Kwi Hong menyerang lagi. Kwi-bun Lo-mo meloncat jauh ke belakang, kemudian melarikan diri! Kakek ini pernah merasai kelihaian Pendekar Siluman ketika ia bertanding melawan Nayakavhira, maka kini mendengar bahwa gadis ini murid pendekar sakti itu, dia menyangka bahwa tentu Pendekar Siluman berada pula di situ, pula tanpa seijin To-cu, Majikannya, mana dia berani mengganggu murid Majikan Pulau Es? Kwi Hong hendak mengejar, akan tetapi Bun Beng meloncat menghadang dan berkata,

   "Sudahlah, Nona, perlu apa dikejar orang yang tidak mau melawan? Dahulu pun, Pamanmu tidak mengejarnya."

   Kwi Hong berhenti, karena maklum bahwa dia pun tak dapat menyusul kakek yang lari seperti terbang cepatnya itu, apalagi kalau ia ingat bahwa kakek itu memiliki senjata rahasia peledak yang mengandung asap beracun berbahaya.

   "Hemm, aku mengenalmu sekarang,"

   Katanya sambil memandang wajah pemuda itu.

   "Engkau Gak Bun Beng...."

   Bun Beng menjura sambil tersenyum.

   "Kuharap selama ini Nona dalam keadaan baik dan kulihat bahwa Nona telah mewarisi ilmu kepandaian hebat dari Pamanmu. Selamat!"

   "Engkau mengejek?"

   Kwi Hong membentak marah. Bun Beng melongo dan memandang dengan mata terbelalak. Kenapa Nona ini marah-marah? Dia menggelengkan kepala tanpa dapat menjawab.

   "Engkau mengejek, ya? Karena aku tidak mampu merampas kembali pedang itu, karena pedangku patah, karena aku tidak mampu membunuh kakek Pulau Neraka!"

   Pandang mata itu seperti me-ngeluarkan api yang menyerang Bun Beng, dia mundur ketika dara itu melangkah maju dengan muka merah saking jengkel oleh kegagalannya.

   "Hayo katakan engkau mengejekku, biar aku mempunyai alasan untuk menyerangmu!"

   "Tidak! Tidak....! Wah, siapa mengejek, Nona? Sama sekali aku tidak mengejek. Bukan salahmu kalau pedang Nona patah, dan kalau tidak dibantu gurunya, kakek India itu, tentu Si Siucai gila sudah mampus olehmu dan pedangnya terampas."

   Mendengar kata-kata ini, agak berkurang kemarahan Kwi Hong. Ia membanting kaki dan memandang pedangnya yang buntung, lalu membantingnya ke atas tanah sambil mengomel.

   "Sialan! Tentu Paman akan marah kepadaku karena pedang ini!"

   Melihat wajah cantik jelita yang menjadi merah, mata yang membayangkan penyesalan dan kedukaan besar, hati Bun Beng tergerak. Teringatlah ia akan sepasang pedang yang ditinggalkannya di guha rahasia di tempat para pemuja Sun-go-kong, maka serta merta ia berkata,

   "Harap Nona jangan berduka, aku mempunyai sepasang pedang pusaka yang hebat, bahkan yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw."

   "Sepasang pedang yang.... Pedang Iblis?"

   Kwi Hong memotong, matanya terbelalak, kedukaannya lenyap seketika. Bun Beng mengangguk.

   "Agaknya be-nar Sepasang Pedang Iblis yang kudapatkan secara kebetulan sekali. Kini kusimpan di dalam guha rahasia. Kalau Nona suka, akan kuberikan sebatang kepada Nona, yang pendek. Pedang itu mengelu-arkan sinar kilat yang mendirikan bulu roma sehingga aku tidak berani mencabut seluruhnya, agaknya tidak kalah ampuh oleh pedang yang dicuri Tan-siucai tadi."

   "Benarkah itu? Paman juga mencari-cari pedang itu! Benarkah akan kauberikan kepadaku?"

   Sikap Kwi Hong berubah sama sekali, agaknya dia tidak ingat lagi akan kemarahan dan kedukaan hatinya, wajahnya berseri dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya, amat indahnya seperti sepasang bintang pagi dalam pandangan Bun Beng.

   "Benar, Nona. Pedang itu sepasang, boleh untukmu sebatang dan untukku sebatang."

   Tiba-tiba wajah yang cerah itu kembali agak muram oleh berkerutnya sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu.

   "Bun Beng, bagaimana engkau bisa mendapatkan Siang-mo-kiam? Seluruh dunia kang-ouw mencari dan memperebutkannya. Bagaimana tiba-tiba kau bisa mengatakan kepadaku bahwa engkau menemukan pedang-pedang itu?"

   Dalam pertanyaan ini terkandung keraguan dan
(Lanjut ke Jilid 18)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18
ketidakpercayaan.

   "Aku mendapatkannya secara kebetulan saja, Nona. Terjadinya ketika aku terjatuh ke dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho."

   Dengan singkat Bun Beng menceritakan semua pengalamannya, akan tetapi sengaja dia tidak menyebutkan tempat ia menyimpan sepasang pedang itu, juga tidak tentang kitab Sam-po-cin-keng. Kwi Hong mendengarkan dengan alis berkerut.

   "Jadi ketika kita saling bertemu itu engkau telah menemukan Siang-mo-kiam?"

   "Benar, aku tidak sempat bercerita, pula pada waktu itu memang aku hendak merahasiakannya dari siapapun juga."

   "Hemm, kalau begitu, mengapa sekarang mendadak engkau ingin memberikan sebatang kepadaku? Apa sebabnya?"

   Sambil berkata demikian, Kwi Hong memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Bun Beng kagum bukan main. Mata itu...., bukan kepalang indahnya! Sejenak ia menentang pandang mata itu penuh kagum, akan tetapi sinar mata itu seperti sepasang pedang iblis sendiri yang menusuk, menembus mata sampai ke jantung! Terpaksa ia menundukkan pandang matanya.

   "Mengapa....? Aihh, tak terpikir olehku.... hemm, agaknya karena melihat pedangmu patah, Nona. Karena melihat engkau berduka tadi...."

   "Heh, omong kosong! Mengapa mendadak engkau menaruh perhatian seperti itu kepadaku? Apa hubungannya kedukaanku denganmu? Engkau merasa kasihan? Alasan yang dangkal dan kosong!"

   Kembali di dalam suaranya terkandung kecurigaan dan ketidakpercayaan. Cepat Bun Beng membantah.

   "Tidak! Tidak hanya itu, Nona. Sesungguhnya.... pertama karena Nona telah menyelamatkan nyawaku tadi. Kalau tidak Nona keburu turun tangan, bukankah aku akan mati terjatuh dari atas kalau tali layangan itu diputus oleh kakek tadi? Untuk membalas budi Nona yang telah menyelamatkan nyawaku, apa artinya pemberian sebatang pedang? Pula, kedua memang aku merasa amat kagum kepada Paman Nona, dan satu-satunya orang di dunia ini yang aku ingin agar pedang yang diperebutkan itu dimilikinya, adalah Paman Nona, Pendekar Super Sakti. Maka, kebetulan sekali aku bertemu dengan Nona, bahkan Nona telah menolongku sehingga ada alasan bagiku untuk menyerahkan pedang."

   Kwi Hong mengangguk-angguk, wajahnya kembali cerah dan ia mulai percaya kepada Bun Beng. Pemuda ini girang sekali menyaksikan perubahan wajah itu, memandang penuh kagum wajah cantik jelita yang matanya menunduk itu. Tiba-tiba wajah itu diangkat, pandang mata mereka saling bertaut dan dengan jantung berdebar Bun Beng melihat betapa alis yang bagus itu kembali dikerutkan, lalu terdengar suara gadis itu membentak marah.

   "Aku tidak percaya kepadamu!"

   Mula-mula Bun Beng tertegun, kemudian ia menarik napas panjang, wajahnya membayangkan kekesalan dan kedukaan hati.

   "Hemm, agaknya Nona curiga kepadaku?"

   "Siapa tahu kalau-kalau engkau ini amat licik dan curang dan sengaja hendak menipuku?"

   Bun Beng merasa jantungnya perih seperti ditusuk pedang. Ia mengangguk dan menjawab,

   "Aku mengerti, Nona. Tentu Nona curiga kepadaku mengingat bahwa aku adalah anak seorang tokoh hitam yang amat licik dan curang? Sudah banyak aku mendengar makian itu."

   "Tidak peduli! Aku tidak mengatakan begitu dan tidak berpikir begitu. Hanya siapa mau percaya kepada seorang yang telah gulang-gulung bergaul dengan seorang iblis Pulau Neraka? Engkau datang bersama dia, tentu sahabat baiknya, atau siapa tahu engkau sudah menjadi anggauta Pulau Neraka. Mereka adalah iblis-iblis kejam, tentu engkau juga bukan orang baik-baik. Bagaimana aku dapat percaya?"

   Lega hati Bun Beng. Nona ini satu-satunya orang yang tidak menyinggung ayahnya. Alasan yang diucapkan untuk kecurigaannya memang tepat. Maka ia cepat-cepat menuturkan pengalamannya semenjak ia ditawan oleh Thian-liong-pang sampai berhasil lolos, dikeroyok ikan, diterkam rajawali yang kemudian bertempur melawan garuda dan akhirnya terlepas.

   "Ketika melayang jatuh itulah aku tersangkut pada tali layang-layang yang dikemudikan oleh kakek Pulau Neraka itu. Baru pertama itulah aku berkenalan dengan dia dan kami sama-sama turun setelah terhindar dari angin taufan dan terancam maut oleh kakek India yang akan memutus tali. Untung Nona muncul dan menyerangnya."

   Penuturan Bun Beng yang amat luar biasa seperti terjadi dalam dongeng itu membuat Kwi Hong melongo.

   "Wah-wah.... hebat sekali pengalamanmu!"

   Ia duduk di atas rumput.

   "Engkau menjadi tawanan Thian-liong-pang? Buka main! Dan berhasil lolos? Eh, ceritakanlah, Bun Beng. Bagaimana kau bisa lolos dari Thian-liong-pang yang terkenal sekali amat kuat itu? Aku mendengar banyak orang pandai dan sakti di sana, bahkan tidak kalah saktinya oleh orang-orang Pulau Neraka!"

   Melihat wajah itu betul-betul sudah percaya kepadanya, sudah cerah dan bekas-bekas kecurigaan dan ketidakpercayaan tidak tampak lagi, Bun Beng duduk pula di atas rumput. Mereka duduk berhadapan, bercakap-cakap dan merasa seperti telah menjadi sahabat lama. Dengan terus terang Bun Beng menceritakan pengalamannya ketika berusaha menolong Ketua Bu-tong-pai dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw itu diadu oleh Ketua Thian-liong-pang untuk dicuri jurus simpanan mereka yang terpaksa digunakan dalam pertandingan itu. Kemudian betapa dia diaku sebagai cucu keponakan Si Muka Singa dan akan dijadikan anggauta. Akan tetapi ia menolak dan akhirnya di jebloskan dalam penjara di bawah tanah.

   "Sama sekali aku tidak tahu bahwa dinding itu menembus ke sungai yang besar di mana banyak terdapat ikan raksasa yang hampir saja membunuhku. Kalau tahu begitu, agaknya belum tentu aku berani membobol dinding itu. Heran, sungai apakah itu?"

   Kwi Hong yang tertarik sekali berkata.

   "Apakah kau tidak tahu? Kini kita berada di lembah Sungai Huang-ho, dan sarang Thian-liong-pang berada di kota Cie-bun, di sebelah utara kota Cin-an. Sudah lama aku mendengar akan perbuatan Thian-liong-pang menculik orang-orang kang-ouw. Sayang Paman melarang aku bentrok dengan orang Thian-liong-pang, kalau tidak aku akan menyerbu ke sana. Hemm.... kalau Paman mendengar bahwa orang-orang kang-ouw itu diculik untuk dicuri ilmu mereka tentu Paman akan tertarik sekali. Eh, Bun Beng, di manakah adanya guha rahasia di mana engkau menyembunyikan Siang-mo-kiam?"

   "Aku tidak tahu namanya, hanya aku tahu jalan ke sana kalau sudah melihat bentuk gunungnya. Kalau tidak salah, dekat dengan laut karang ketika aku dibawa terbang burung rajawali yang kemudian bertanding dengan burung garuda yang kunaiki itu, dan aku terlepas ke bawah, aku jatuh ke dalam laut."

   Kwi Hong memutar otaknya.

   "Hemm, tentu di Laut Utara. Mari kita cari ke sana. Sayang burung kami telah dibunuh oleh siucai sinting dan gurunya, kalau tidak, tentu dengan mudah kita bisa mencari sambil menunggang pek-eng."

   "Apakah tidak ada garuda putih lagi di Pulau Es? Aku tadi melihat burung garuda putih menyerang rajawali yang mencengkeramku."

   "Benarkah? Tentu burung garuda liar. Kami tidak mempunyai garuda lagi. Aku baru saja keluar dari Pulau Es, baru mendapat ijin dari Paman setelah berulang-ulang aku minta supaya diijinkan merantau. Aku ingin ke kota raja mencari dan menengok kuburan Ibuku. Akan tetapi sekarang bertemu denganmu, sebaiknya kita mencari Siang-mo-kiam, baru akan pergi ke kota raja. Marilah kita berangkat sebelum gelap, Bun Beng."

   "Baiklah, Nona."

   Mereka bangkit dan Kwi Hong berkata mencela.

   "Jangan sebut Nona, kenapa kau begini merendah? Menjemukann benar!"

   "Habis, aku harus menyebut apa?"

   "Apa kau tidak tahu namaku? Kalau kau mau bersahabat denganku, jangan merendah seolah-olah engkau ini orang bawahanku di Pulau Es. Sebut saja namaku!"

   "Baiklah.... Kwi Hong."

   Hati Bun Beng girang sekali. Dara ini cantik menarik dan membuat hatinya berdebar aneh, membuat ia ingin selalu berdekatan dan bercakap-cakap dengannya. Pula, gadis inilah satu-satunya orang yang tidak menyebut-nyebut tentang kejahatan ayahnya. Dan yang lebih dari semua itu, gadis ini adalah murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, orang yang dikagumi dan dipuja di dalam hati.

   "Tempat itu dahulu kutemukan setelah aku terjatuh ke dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho, sebuah gunung yang aneh dan terletak dekat laut. Tentu tidak jauh dari muara sungai. Sebaiknya kita mencari jejak mulai dari pulau di tengah muara sungai dari mana aku terlempar dan jatuh ke dalam pusaran maut."

   "Baik, memang mestinya begitu. Kalau tidak dapat menemukan tempat itu melalui darat, kita harus mengikuti jejakmu dahulu melalui pusaran maut."

   Bun Beng terbelalak.

   "Apa....? Wah, itu berbahaya sekali, Kwi Hong!"

   Gadis itu memandangnya dan menggeleng kepala.

   "Engkau pun tidak mati, bukan? Nah, kalau di waktu masih kecil dahulu saja bisa sampai di tempat itu melalui pusaran maut dengan selamat, mengapa sekarang tidak?"

   "Ah, dahulu lain lagi. Aku terlempar ke sana bukan atas kehendakku, dan aku setengah pingsan ketika terbawa pusaran, agaknya memang Tuhan tidak menghendaki aku mati di waktu itu. Kalau sekarang aku harus terjun ke sana, hiiiiiih.... ngeri sekali, aku tidak berani."

   Kwi Hong cemberut.

   "Kalau kau tidak berani, aku berani! Pedang Siang-mo-kiam itu terlalu penting untuk dibiarkan di tempat itu. Terlalu berharga untuk dicari dengan taruhan nyawa. Kalau bisa kudapatkan dan kuperlihatkan kepada Paman, tentu dia akan girang sekali karena Paman pernah bilang bahwa kalau sepasang pedang iblis itu sampai muncul di dunia dalam tangan orang-orang sesat, sukar untuk ditundukkan dan di dunia pasti akan kacau balau dan kejahatan merajalela. Nah, kau tahu betapa besarnya arti kedua pedang itu, dan betapa pentingnya untuk didapatkan kembali."

   Mereka mulai melakukan perjalanan dan Kwi Hong yang menjadi penunjuk jalan sampai mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho. Akan tetapi malam sudah ti-ba ketika mereka sampai di tepi sungai.

   "Kita bermalam di tepi sungai ini, besok baru kita melanjutkan,"

   Kata gadis itu.

   Bun Beng lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun. Tepi sungai itu sunyi senyap, akan tetapi menyenangkan sekali bagi Bun Beng. Tempatnya bersih, tanahnya tertutup rumput hijau seperti permadani, pohon-pohon dan bunga-bunga mendatangkan bau yang sedap dan segar, dan bulan hampir bulat muncul tak lama kemudian, membuat tempat itu menjadi indah, romantis, dan menyenangkan. Tentu saja ia tidak sadar bahwa yang membuat keadaan menjadi demikian indah adalah hadirnya Kwi Hong karena kalau tidak ada gadis itu di sana, belum tentu tempat sunyi ini akan tampak seindah malam itu! Mereka duduk menghadapi api unggun. Enak dan nyaman, hangat. Bun Beng duduk melamun, merasa betapa selama hidupnya, baru sekarang inilah ia mengalami kebahagiaan, merasa betapa senangnya hidup!

   "Eh, Bun Beng, kenapa melamun saja kau?"

   Bun Beng terkejut dan sadar dari lamunanpya yang mengangkatnya ke angkasa. Ia memandang dan tidak dapat menjawab karena sepasang mata yang terkena sinar api unggun itu kelihatan begitu indah dan tajam berkilau.

   "Apa perutmu tidak lapar?"

   Gadis itu bertanya ketika melihat pemuda itu hanya melongo. Mendengar ini, kontan perut Bun Beng berbunyi, seolah-olah menjawab pertanyaan itu. Dengan gugup ia menekan perut dengan tangannya sambil memaki dalam hati kepada perutnya yang tak tahu malu. Memang ia merasa lapar sekali. Apalagi hawa begitu nyaman, pemandangan begitu indah, membuat perut yang kosong terasa sekali.

   "Heiii! Bagaimana?"

   Gadis itu kembali bertanya, menahan geli hatinya karena telinganya yang berpendengaran tajam dapat menangkap perut yang berkokok tadi.

   "He? Apa?"

   Bun Beng bertanya gugup, masih merasa malu oleh perutnya.

   "Lapar tidak?"

   "Lapar sekali, Kwi Hong tapi.... makan apa....?"

   "Betapa bodohnya! Ikan berkeliaran di dalam sungai masih bertanya makan apa?"

   Bun Beng teringat dan meloncat bangun.

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tepat sekali! Mengapa aku begitu bodoh dan pelupa? Ikan-ikan yang mengeroyokku siang tadi! Aku harus membalas dendam, setidaknya kutangkap seekor, kupanggang sampai matang dan kita ganyang dagingnya!"

   Setelah berkata demikian, ia lari ke pinggir sungai dan langsung meloncat ke sungai.

   "Byurrrr!"

   Air muncrat tinggi dan Kwi Hong terbelalak, kemudian tertawa terpingkal-pingkal dan menggeleng-geleng kepala.

   "Sungguh orang aneh,"

   Gumamnya sambil berdiri di pinggir sungai menonton Bun Beng yang menyelam hendak menangkap ikan begitu saja dengan kedua tangan, lengkap dengan pakaiannya, bahkan sepatunya tidak dicopot! Akan tetapi ia kagum ketika tak lama kemudian Bun Beng sudah muncul lagi, memondong seekor ikan yang besarnya sebantal dan melemparkan ikan itu ke darat! Ikan itu menggelepar-gelepar di darat dan Bun Beng sudah berenang ke pinggir lalu mendarat pula, tersenyum lebar, pakaiannya basah kuyup, air menetes-netes dari seluruh pakaiannya, rambutnya pun basah kuyup dan kuncirnya melibat leher.

   "Aihh, ikan besar ini mana bisa kita menghabiskannya? Dan bagaimana pula membersihkan isi perutnya, kau lah yang melakukannya itu, nanti aku yang memanggangnya."

   "Jangan khawatir, Kwi Hong. Kalau tidak ada pisau, batu karang pun cukup tajam dan runcing."

   Dengan gembira Bun Beng lalu mencari batu karang yang keras, menghampiri ikan. Sekali pukul dengan batu pecahlah kepala ikan itu dan ia segera membelah perut ikan dengan batu yang tajam, membuang isi perutnya ke sungai dan membersihkan kulit ikan yang tak bersisik itu dengan gosokan batu karang. Kwi Hong sudah menyediakan sebuah ranting, menusuk ikan besar itu dari mulut sampai menembus ekor, kemudian memanggangnya di atas api unggun sambil menanti Bun Beng mencuci tangannya ke air sungai. Setelah pemuda itu duduk dekat api, dia mencela.

   "Kau ini aneh sekali, mengapa menangkap ikan begitu saja dengan memakai pakaian lengkap? Lihat, pakaian dan sepatumu basah kuyup, tentu dingin sekali. Sebaiknya kau buka dan peras pakaianmu, panggang dekat api biar kering."

   Muka Bun Beng tiba-tiba berubah merah. Bagaimana dia bisa menanggalkan pakaian di depan gadis itu?

   "Biarlah, diperas begini pun bisa, dan kalau aku duduk dekat api, sebentar juga kering."

   Ia memeras rambut dan pakaiannya, melepas sepatunya dan menggeser duduknya dekat api. Beberapa kali Kwi Hong melirik kepadanya dengan pandang mata penuh rasa heran. Pemuda ini aneh sekali. Kadang-kadang pendiam dan canggung, akan tetapi gerak-geriknya amat menarik hatinya. Bau sedap daging ikan dipanggang menusuk hidung, langsung merangsang selera mulut dan menambah lapar perut. Setelah matang, kedua orang itu lalu menyerbu daging ikan yang terasa sedap dan gurih sekali. Hanya separuh termakan oleh mereka. Terpaksa sisanya mereka buang lagi ke sungai.

   "Sayang air sungai begitu kotor, bagaimana bisa minum?"

   Kwi Hong bertanya sambil mencuci tangannya yang penuh minyak ikan, juga mengusap bibirnya dengan air sungai, kemudian menggosoknya dengan saputangan.

   "Aku akan mencari buah!"

   Berkata demikian, Bun Beng meloncat dan lari pergi, mencari-cari pohon yang ada buahnya. Sampai jauh ia meninggalkan tepi sungai itu dan untung bahwa bulan bersinar terang sehingga akhirnya setelah payah mencari-cari, ia datang lagi membawa beberapa butir buah yang sudah masak. Kemudian, keduanya duduk menghadapi api unggun yang menjadi makin besar setelah ditambah daun kering dan kayu oleh Kwi Hong. Hawa yang hangat, perut yang kenyang, membuat gadis itu merasa mengantuk dan ia menguap di belakang telapak tangannya.

   "Ahhh, aku ingin tidur. Kau berjagalah dulu, Bun Beng sambil mengeringkan pakaianmu. Nanti aku giliran menjaga dan kau tidur. Di tempat seperti ini, apalagi baru saja kita bertemu dengan siucai sinting dan gurunya, tidak boleh kita berdua tidur semua tanpa ada yang menjaga."

   "Baik, kau tidurlah, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan aku akan menjagamu."

   Kwi Hong mundur agak menjauhi api unggun, kemudian merebahkan dirinya, miring menghadapkan mukanya ke api unggun dan memejamkan kedua mata-nya. Bun Beng kini berani menatap wajah itu sepuas hatinya. Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, menyaksikan wajah yang kemerahan, dengan rambut yang agak mawut dan sebagian terurai menutup pipi dan dahi, melihat bulu mata yang menjadi panjang dan tebal membentuk bayang-bayang di pipi,

   Hidung yang mancung dan cupingnya bergerak sedikit ketika bernapas dalam-dalam, bibir yang merah dan mengkilap terkena minyak daging ikan, ia merasa terharu sekali. Ia membandingkan wajah ini dengan wajah Ang Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang pernah menarik hatinya. Keduanya sama cantik dan memiliki daya tarik masing-masing. Akan tetapi, melihat Kwi Hong tertidur tak jauh di depannya, ia harus mengaku bahwa Kwi Hong lebih cantik jelita. Teringat-lah ia betapa dalam keadaan menghadapi maut, hanya tiga wajah orang yang terbayang olehnya. Wajah Kwi Hong, wajah Siok Bi dan wajah Milana! Akan tetapi, ketika itu ia membayangkan wajah Kwi Hong dan Milana di waktu mereka masih kecil. Betapa jauh perbedaannya setelah ia bertemu dengan Kwi Hong sekarang, demikian cantik dan menarik!

   Tiba-tiba Bun Beng mengutuk diri sendiri di dalam batinnya. Mengapa ia membayangkan wajah wanita-wanita cantik? Celaka, inikah yang membuat ayahnya dahulu memperkosa ibunya? Ia bergidik ketika merasa betapa ada hasrat di hatinya untuk memeluk tubuh wanita yang berbaring di depannya itu, ingin mencium pipi itu, bibir itu! Keparat! Ingin ia menghantam kepalanya sendiri, menghancurkan kepala yang berisi pikiran busuk itu. Apakah ia mewarisi watak ayahnya? Tidak! Ayahnya telah disebut datuk kaum sesat, tentu merupakan seorang yang sesat kelakuannya. Buktinya sampai memperkosa ibunya! Dia tidak akan melakukan hal seperti itu! Biarpun dia tertarik akan wanita-wanita cantik, dia akan memerangi perasaannya sendiri dan mencegah agar jangan sampai ia melakukan perbuatan terkutuk!

   Ia harus memilih seorang di antara mereka, bukan untuk diperkosa, bukan untuk dipermainkan, melainkan untuk dijadikan isteri! Kwi Hong ini! Ah, betapa akan bahagia hatinya kalau ia dapat memperisteri Kwi Hong. Kwi Hong mengeluh perlahan dan menghela napas panjang, agaknya mimpi. Keluhan lirih dan helaan napas itu membuat dara itu tampak makin menarik sehingga Bun Beng terpaksa membuang muka, tidak kuat memandang lebih jauh karena jantungnya sudah berdenyut keras. Memang tidak terlalu dapat disalahkan kalau Bun Beng diamuk nafsu berahi dan cinta. Usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh dua tahun lebih. Dalam usia sebanyak itu, tentu saja timbul perasaan ini dan masih mengagumkan bahwa dia dapat menahan diri kalau diingat bahwa sejak kecil dia tidak pernah menerima pendidikan tentang susila, tidak pernah menerima pendidikan ayah bunda sendiri.

   Untung bahwa ia digembleng oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-pai sehingga batinnya cukup kuat, biarpun darahnya, darah ayahnya yang panas membuat ia condong untuk melakukan perbuatan menyeleweng. Namun, justeru nama buruk ayahnya membuat ia berkeras hati untuk menebus semua kesalahan ayahnya dengan perbuatan baik, bukan menambah kotor nama ayahnya dengan perbuatan seperti yang pernah dilakukan ayahnya. Betapa bahagianya kalau ia dapat menjadi suami Kwi Hong, pikirnya lagi setelah hatinya tenang dan dia berani lagi memandang wajah Kwi Hong. Gadis itu kini telah rebah terlentang sehingga nampak tonjolan dadanya yang turun naik kalau bernapas lembut.

   Bibir itu setengah terbuka, seperti tersenyum menantang! Betapa cantik jelitanya, betapa gagah perkasanya. Tadi telah dia saksikan sendiri betapa lihai gadis ini. Dia sendiri meragukan apakah dia akan mampu melawan Kwi Hong. Betapa tidak gagah perkasa dan lihai kalau diingat bahwa dara ini adalah keponakan dan murid Pendekar Super Sakti! Tiba-tiba Bun Beng tertegun dan mengerutkan alisnya. Keponakan Pendekar Siluman! Aihhh, dia telah melamun terlalu jauh. Bagaimana mungkin dia dapat menjadi suami keponakan Majikan Pulau Es? Mentertawakan! Dia, seorang anak yatim-piatu, bahkan disebut anak haram, putera mendiang datuk kaum sesat yang disebut Setan Botak, mana mungkin berjodoh dengan keponakan Majikan Pulau Es yang berkedudukan tinggi?

   "Aihhhh, pikiran yang bukan-bukan,"

   Ia menarik napas panjang, berusaha mengusir keinginan hati yang tak mungkin terpenuhi itu. Ia memaksa diri untuk mengalihkan keinginan hatinya. Bagaimana kalau Milana? Lebih tak masuk di akal! Tanpa disengaja, ia telah menyaksikan peristiwa hebat yang mungkin menjadi rahasia Pendekar Siluman, Milana adalah puteri Pendekar Siluman itu! Puterinya dari seorang ibu yang amat cantik dan amat sakti! Lebih tidak mungkin lagi. Baik Kwi Hong, apalagi Milana, tidak mungkin menjadi jodohnya. Kedudukan mereka terlalu tinggi baginya, seperti merindukan bintang-bintang di langit saja! Tinggal seorang lagi, Ang Siok Bi! Dia itulah yang tidak begitu tinggi kedudukannya, akan tetapi hal ini kalau dibandingkan dengan Kwi Hong atau Milana, kalau dibandingkan dengan dia, bahkan Siok Bi masih terlalu tinggi untuknya. Puteri Ketua Bu-tong-pai! Aihh, dia mimpi di siang hari! Tidak ada harapan seujung rambut pun!

   "Dasar manusia tak tahu diri engkau!"

   Bun Beng berbisik dan menjambak kuncirnya, merasa terpukul dan rendah. Ia merenung memandang api unggun, diam-diam mengeluh dan menyalahkan ayah bundanya yang telah tiada.

   "Sudahlah, aku manusia yang tiada harganya. Akan tetapi akan kubuktikan kepada mereka semua, kepada dunia kang-ouw bahwa biarpun ayahku seorang manusia sejahat-jahat dan serendah-rendahnya, aku tidaklah serendah itu. Aku akan membuktikan bahwa aku mampu melakukan hal-hal yang layak dilakukan seorang pendekar besar!"

   Pikiran ini sedikitnya menghibur hatinya yang perih. Terhiburlah dia bahwa kini dia akan menyerahkan sebuah di antara Siang-mo-kiam kepada murid dan keponakan Majikan Pulau Es. Sepasang pedang itu diperebutkan oleh orang sedunia kang-ouw, bahkan Pendekar Siluman sendiri mencari-cari tanpa hasil. Kini dia yang berhasil menemukannya dan menyerahkan sebuah di antaranya kepada murid dan keponakan Majikan Pulau Es, bukankah hal ini sudah merupakan jasa yang besar? Dan dia akan melangkah lebih jauh lagi. Dia akan melakukan hal-hal yang besar, biarpun saat itu dia belum tahu apa gerangan hal-hal yang besar itu.

   Bun Beng menambahkan kayu kering sehingga api unggun membesar. Pakaiannya sudah kering dan ia merasa tubuhnya hangat. Malam telah amat larut, akan tetapi dia tidak mau membangunkan Kwi Hong. Biarlah dia yang berjaga sampai pagi. Tidak tega dia mengganggu gadis itu yang tidur dengan nyenyaknya. Ia bersandar pada batang pohon, kadang-kadang menambah kayu pada api unggun, menjaga agar api itu tidak padam. Pada keesokan harinya ketika terdengar kokok ayam hutan dan kegelapan malam mulai terusir oleh sinar matahari pagi yang kemerahan, Kwi Hong bangun dari tidurnya. Ia mengusap kedua matanya dan begitu membuka mata melihat bahwa malam telah berganti pagi, melihat pula Bun Beng masih duduk bersandar pohon dekat api unggun, ia meloncat bangun dan membentak.

   "Bun Beng, kau terlalu sekali!"

   Bun Beng tersenyum, dia tidak merasa aneh lagi menyaksikan sikap gadis yang begitu mudah berubah seperti angin ini, tiba-tiba saja marah, kemudian marahnya berganti sikap ramah. Benar-benar seorang gadis yang penuh semangat berapi-api,

   "Maaf, Kwi Hong, apakah salahku?"

   "Masih bertanya apa salahnya lagi! Enak-enak duduk semalam suntuk, membiarkan orang tertidur sampai pagi. Mengapa tidak kau bangunkan aku agar aku berganti melakukan penjagaan?"

   "Aah, tidak mengapa, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan kau.... tidurmu enak benar, tidak tega aku membangunkanmu."

   Gadis itu memandang aneh.

   "Mengapa kau menyiksa diri untukku? Kau tidak tidur sama sekali?"

   Ucapan "karena aku cinta padamu"

   Sudah berada di ujung lidah Bun Beng, namun cepat ditelannya kembali.

   "Aku duduk beristirahat sama dengan tidur. Urusan kecil ini masa mesti dibesar-besarkan?"

   "Biarpun urusan kecil, akan tetapi aku tidak mau dikatakan tidak adil. Lain kali aku tidak mau begini, engkau harus tidur lebih dulu. Kau membikin aku merasa tidak enak saja!"

   Dengan uring-uringan Kwi Hong lalu pergi mencari sumber air untuk mencuci muka. Setelah ia kembali, ia melihat Bun Beng sudah mencuci muka di air Sungai Huang-ho.

   "Mari kita melanjutkan perjalanan,"

   Kata Kwi Hong dan berangkatlah mereka menuju ke jurusan timur, ke arah muara Sungai Huang-ho. Tak lama kemudian Bun Beng mengenal daerah di mana dahulu dia dan suhunya, mendiang Siauw Lam Hwesio, berperahu menuju ke muara sungai. Peristiwa beberapa tahun yang lalu seperti terjadi kemarin saja dan teringat akan nasib gurunya, mukanya menjadi berduka dan ia menarik napas panjang.

   "Mengapa kau berduka?"

   Tiba-tiba Kwi Hong bertanya tidak galak lagi seperti tadi, melainkan halus dan menaruh khawatir.

   "Aku teringat kepada mendiang Guruku, Siauw Lam Hwesio. Dia tewas secara menyedihkan sekali."

   Dia lalu mence-ritakan tentang kematian gurunya di tangan koksu negara dan kaki tangannya. Kemudian menutup ceritanya,

   "Aku harus membalas kematian Suhu. Kelak aku harus mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan tiga orang pembantunya yang ikut membunuh Suhu, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong!"

   Kwi Hong mendengarkan penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang.

   "Wah, musuh-musuhmu bukanlah orang sembarangan. Kedua orang pendeta Lama itu menurut Paman memiliki ilmu kepandaian tinggi apalagi Im-kan Seng-jin! Lawan-lawan yang amat berat dan sakti."

   "Aku tidak takut dan aku harus mencari mereka."

   "Aku pun tidak takut, hanya bilang bahwa mereka lihai. Kelak aku akan membantumu, Bun Beng."

   Bun Beng menoleh dan mereka berpandangan. Melihat sinar mata penuh rasa syukur dan berterima kasih dari pemuda itu, Si Dara membuang muka dengan perasaan jengah.

   "Biarpun mereka bukan musuhmu, aku pun akan menentang mereka dan Thian-liong-pang, dan Pulau Neraka!"

   Katanya menambahkan, seolah-olah hendak mengalihkan perhatian Bun Beng bahwa dia menentang mereka bukan semata-mata untuk membantu Si Pemuda. Mereka berjalan terus, berjalan cepat karena mereka kini mempergunakan ilmu lari cepat setelah Bun Beng mengatakan bahwa pulau di muara sungai itu tidak jauh lagi.

   "Nah, itu dia pulaunya, dan di sanalah pusaran maut itu!"

   Bun Beng berteriak menuding dan mereka berlari cepat menghampiri pantai dari mana tampak pulau kecil di tengah muara yang dahulu menjadi medan pertempuran. Dari pantai itu tampak pula pusaran air dan Bun Beng masih bergidik ngeri melihat air berputar-putar itu, teringat akan pengalamannya beberapa tahun yang lalu.

   "Lihat, Kwi Hong. Ketika terjadi pertandingan di pulau itu, aku terlempar dari atas tebing itu, tepat jatuh di pusaran maut."

   Kwi Hong mengerutkan alisnya.

   "Hemmm...., dan setelah kau keluar dari lorong air kau mendarat di lambung gunung katamu dahulu? Gunung yang dekat dengan muara ini hanya sebelah sana itu. Kita harus menyeberang!"

   Tempat itu sunyi sekali, akan tetapi dari jauh tampak layar-layar perahu nelayan pencari ikan. Bun Beng yang lebih senang kalau mencari pedang-pedang itu tidak melalui pusaran air, cepat berlari ke bawah dan akhirnya dapat memanggil seorang tukang perahu. Dengan biaya ringan mereka dapat diseberangkan oleh nelayan itu dan melanjutkan perjalanan mendaki gunung karang yang sukar dilalui. Namun berkat kepandaian mereka, mereka dapat juga mendaki dan setelah tiba di sebuah puncak batu karang yang tinggi, Bun Beng meloncat naik dan memandang ke sekeliling, mencari-cari. Akhirnya ia berseru giiang.

   "Nah, di sana itu agaknya, di seberang jurang lebar itu. Benar, tak salah lagi, itu yang tampak seperti gerombolan tentulah hutan-hutan di mana mereka mencari akar dan daun obat! Dari sanalah aku diterbangkan rajawali. Nah, sungai berada di sana dan gunung yang puncaknya tinggi itulah tempat aku melayang.... ahhh, tidak salah lagi. Mari kita ke sana!"

   Akan tetapi, kegirangan Bun Beng yang mengenal tempat itu harus ditebus mahal sekali untuk menjadi kenyataan. Perjalanan amat sukar. Kadang-kadang mereka harus menuruni jurang yang amat dalam, melalui perjalanan yang curam dan kadang-kadang mereka harus mendaki batu karang yang runcing tajam mengakibatkan luka-luka pada telapak tangan.

   Sepatu mereka juga pecah-pecah. Malam itu terpaksa mereka harus bermalam di antara batu-batu karang gundul dan terpaksa melalui malam dingin seka1i tanpa api unggun karena di daerah di mana mereka bermalam itu tidak terdapat sepotong pun kayu. Juga perut mereka lapar bukan main, namun semangat mereka tetap tinggi. Kini Kwi Hong memaksa Bun Beng supaya tidur lebih dulu, akan tetapi betapa mendongkol dan menyesal hati Bun Beng ketika dia terbangun, ternyata hari telah menjadi pagi dan dara itu "membalas dendam"

   Tidak mau membangunkannya dan berjaga semalam suntuk. Ia mendongkol dan juga terharu sekali. Mereka baru saja melakukan perjalanan yang melelahkan namun gadis itu bersikeras berjaga semalam suntuk.

   "Aihh, Kwi Hong. Mengapa kau begini sungkan, sedangkan kita telah menjadi sahabat dan mengalami kesukaran bersama?"

   "Tidak akan puas hatiku kalau belum membalas. Aku paling tidak suka kalau merasa diri tidak adil. Setelah membalas, tentu saja hatiku lega dan lain kali kau harus tidak bersikap mengalah dan sungkan pula seperti yang kaulakukan malam kemarin."

   Mereka melanjutkan perjalanan. Makin dekat tempat itu, makin yakinlah hati Bun Beng bahwa dia tidak keliru. Lewat tengah hari, kedua orang muda ini mendaki tebing tinggi menuju ke daratan di atas di mana dahulu para pemuja Sun-go-kong menyerahkan keranjang-keranjang obat kepada burung-burung rajawali dari Pulau Neraka! Baru saja mereka meloncat ke puncak yang datar itu, tiba-tiba menyambar banyak senjata rahasia yang ternyata adalah batu-batu karang kecil dari depan. Dengan mudah keduanya mengelak dan Bun Beng berteriak.

   "Harap Cu-wi tidak menyerang! Aku Gak Bun Beng!"

   Dari balik semak-semak bermunculan delapan belas orang. Ketika mereka melihat Bun Beng, orang-orang itu berteriak sambil lari menghampiri dan semua menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu.

   "Ah, kiranya Gak-inkong yang datang! Kami bersyukur sekali, In-kong. Kami melihat betapa In-kong diterbangkan burung rajawali dan mengira Gak-inkong sudah tewas....!"

   Bun Beng tersenyum lebar.

   "Memang nyaris aku tewas, syukur Tuhan belum menghendaki demikian. Apakah Cu-wi baik-baik saja?"

   "Terima kasih, In-kong. Semenjak peristiwa dahulu itu, kami tidak lagi mengalami gangguan, agaknya Dewa Sun-go-kong melindungi kami."

   Mendengar ini, Bun Beng melirik kepada Kwi Hong dan gadis ini yang sudah mendengar tentang para pemuja Siluman Kera itu tersenyum. Gadis ini sebagai murid Pendekar Super Sakti, berhati polos dan jujur, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata,

   "Sun-go-kong hanyalah tokoh dalam dongeng See-yu, mengapa kalian me-nyembah dan memujanya? Betapa bodohnya kalian ini orang-orang tua memuja tokoh dongeng kanak-kanak!"

   Delapan belas orang yang kini sudah bangkit berdiri memandang kepada Kwi Hong dengan alis berkerut tanda tidak senang hati.

   "Hemm, Nona yang masih muda...., kalau saja engkau tidak datang bersama Gak-inkong dan menjadi sahabatnya, tentu kami tidak membiarkan kau berkata selancang itu. Semua dewa yang dipuja memang hanyalah tokoh dongeng. Yang penting bukanlah tokoh dongengnya, melainkan hati si pemujanya! Gak-inkong, apakah Nona ini sahabatmu? Kalau bukan, dia tidak kami perkenankan berada di sini!"

   Bun Beng diam-diam merasa menyesal mengapa Kwi Hong berlancang mulut, namun dia pun tidak dapat menyalahkan dara itu yang memang suka bicara terang-terangan menurutkan kata hatinya.

   "Dia sahabat baikku, harap Cu-wi suka memaafkannya."

   Wajah delapan belas orang itu menjadi cerah kembali dan mereka sudah memaafkan Kwi Hong. Bahkan seorang di antara mereka, yang termuda, maju dan berkata sambil tertawa,

   "Sahabat baik Gak-inkong? Ha-ha cocok sekali. Cantik jelita dan patut menjadi sisihan In-kong yang tampan...."

   "Plak! Aduh!"

   Orang itu terguling dan meraba pipinya yang sudah menjadi bengkak oleh tamparan Kwi Hong. Gerakan tangan dara itu cepat bukan main sehingga orang yang ditamparnya hampir tidak tahu bahwa dia ditampar, disangkanya ada halilintar menyambar pipinya! Teman-temannya menjadi marah dan mereka sudah mengepal tinju, siap mengeroyok Kwi Hong sungguhpun diam-diam mereka terheran-heran. Mereka telah mempelajari Ilmu Sin-kauw-kun-hoat yang diberikan oleh Dewa Sun-go-kong kepada mereka, dan ilmu silat ini mengutamakan kegesitan sehingga mereka semua adalah ahli-ahli mengelak pukulan. Mengapa teman mereka tadi begitu mudah kena ditampar oleh dara ini?

   "Tahan, Cu-wi sekalian! Nona ini adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es, harap Cu-wi tidak menimbulkan pertentangan!"

   "Murid Pendekar Siluman....?"

   Terdengar seruan-seruan mereka dan semua orang memandang dengan mata terbelalak. Sebagai pejuang, tentu saja mereka sudah mendengar nama Pendekar Siluman yang dulu pernah menggegerkan musuh di Se-cuan dan orang tertua dari mereka segera mengangkat tangan memberi hormat kepada Kwi Hong sambil berkata,

   "Mohon maaf, karena tidak mengenal kami bersikap kurang hormat kepada Lihiap."

   Kemudian ia menghadapi Bun Beng dan bertanya,

   "Setelah bertahun-tahun In-kong meninggalkan kami, sekarang In-kong datang dengan tiba-tiba, apakah yang dapat kami lakukan untuk membantu In-kong dan Lihiap ini?"

   Bun Beng tersenyum.

   "Terima kasih atas kebaikan Cu-wi sekalian. Aku datang hanya untuk menengok dan terutama sekali untuk mengambil sesuatu yang dahulu kusimpan di tempat ini. Harap Cu-wi tidak repot dan aku bersama Nona ini akan mencari dan mengambil sendiri benda yang kusimpan itu."

   Orang-orang itu saling pandang. Mereka tidak tahu benda apakah yang disimpan oleh Bun Beng di situ, akan tetapi orang tertua dari mereka menjawab,

   "Silakan In-kong."

   "Mari, Kwi Hong!"

   Kata Bun Beng dengan sikap gembira. Nona itu pun merasa gembira dan hatinya tegang, melompat dan mengikuti Bun Beng meninggalkan tebing itu, berlari-lari ke arah gunung di mana terdapat guha-guha batu yang sebagian besar tertutup alang-alang tinggi dan lebat. Dengan hati berdebar Bun Beng mengajak gadis itu pergi ke daerah guha ini yang jauh juga dari tebing sehingga sekumpulan orang pemuja Sun-go-kong itu tidak tampak lagi, kemudian dengan mudah ia mencari guha kecil yang ia tutup dengan tumpukan sehingga sama sekali tidak kelihatan dari luar. Tanpa berkata sesuatu ia membongkar batu-batu itu, dibantu oleh Kwi Hong yang juga menjadi tegang hatinya. Siapa yang tidak berdebar hatinya kalau mengingat bahwa Sepasang Pedang Iblis itu berada di belakang tumpukan batu?

   Sepasang Pedang Iblis yang diperebutkan orang sedunia kang-ouw, bahkan yang di-cari-cari tanpa hasil oleh pamannya! Setelah tumpukan batu yang menutupi guha itu terbongkar semua, Bun Beng berseru girang melihat bungkusan kain yang kuning dan kotor. Ia mengenal itu, sehelai baju yang dipakai membungkus sepasang pedang. Baju itu sudah rusak dan kotor sekali, akan tetapi dengan penuh gairah Bun Beng menariknya dan dengan kedua tangan gemetar ia membuka bungkusan kain butut. Ternyata sepasang pedang itu masih utuh, sebatang agak pendek, sebatang lagi lebih panjang, akan tetapi bentuk gagang dan sarung pedangnya serupa. Ia menyerahkan yang pendek kepada Kwi Hong tanpa bicara. Bersama-sama mereka meneliti pedang itu dan membaca huruf-huruf kecil yang terukir di dekat gagang.

   "Yang pendek ini adalah Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)...."

   Kata Kwi Hong setelah membaca huruf-huruf di pedangnya.

   "Dan ini adalah Lam-mo-kiam (Pedang Iblis Jantan)...."

   Kata Bun Beng.

   "Tepat seperti yang diceritakan Paman, ini adalah sepasang...."

   "Sepasang Pedang Iblis! Ha-ha-ha, harus diberikan kepadaku!"

   Bun Beng dan Kwi Hong terkejut bukan main mendengar suara di belakang mereka itu. Mereka cepat membalikkan tubuh dan ternyata yang tertawa dan bicara tadi adalah kakek India bersorban bersama muridnya Si Siucai Sinting! Bun Beng maklum bahwa mereka menghadapi bahaya besar dan dalam beberapa detik saja otaknya bekerja cepat, lalu ia berbisik kepada Kwi Hong.

   "Kau bawa semua pedang ini, serahkan Pamanmu, biar aku menahan...."

   "Tidak...."

   Kwi Hong berbisik pula dan menolak pedang panjang yang diangsurkan kepadanya,

   "kita pergunakan pedang ini untuk melawan bersama. Pula, kalau kita masing-masing memegang satu, pedang itu berpencar dan kalau terampas orang tidak keduanya."

   "Ha-ha-ha-ha! Orang-orang muda, sudah lama aku mencari Sepasang Pedang Iblis, dan melihat gerak-gerikmu kemarin, aku sudah curiga maka diam-diam kami membayangi kalian. Siapa kira, benar saja kalian telah menemukan Sepasang Pedang Iblis, ha-ha-ha-ha!"

   "Maharya!"

   Tiba-tiba Kwi Hong membentak marah.

   "Seorang tua bangka macam engkau ini apakah tidak tahu peraturan dunia kang-ouw? Dalam berlomba mencari pusaka, siapa yang mendapatkannya berarti sudah berjodoh! Kami sudah mendapatkannya dan pusaka ini adalah milik kami!"

   "Ha-ha-ha, bocah perempuan sungguh tajam matamu, dapat mengenal aku! Akan tetapi engkau tidak tahu riwayat Sepasang Pedang Iblis. Sepasang pedang itu adalah hak milikku. Karena itu, sudah semestinya kalian berikan kepada Maharya!"

   Kakek India yang kini sudah pandai bicara bahasa daerah itu berkata dengan lidah kaku.

   "Sombong dan pembohong besar engkau! Sepasang Pedang Iblis ini adalah milik pribadi Pendekar Wanita Sakti Mutiara Hitam yang menjadi pujaan Pamanku, To-cu dari Pulau Es. Kemudian pusaka-pusaka ini diwariskan kepada kedua muridnya, kemudian ditemukan oleh Paman dan dikubur bersama jenazah kedua murid Mutiara Hitam. Setelah itu lenyap dan akhirnya kami yang menemukannya kembali. Bagaimana kau berani bilang menjadi milikmu? Tak tahu malu!"

   Sasterawan sinting itu meloncat ke depan.

   "Ah, dia ini keponakan Suma Han si jahanam keparat? Guru, kita tangkap dia dan siksa sampai mati, biar terasa oleh Suma Han siluman keparat itu!"

   Kwi Hong mendelik saking marahnya dan telunjuk kirinya menuding ke arah sasterawan itu.

   "Engkau Tan Ki orang gila! Paman sudah menceritakan kepadaku tentang engkau! Tunanganmu, Lu Soan Li tewas dalam perjuangan sebagai seorang wanita pendekar yang gagah perkasa, akan tetapi engkau ini manusia gila telah menyalahkan Paman, bahkan menjadi murid kakek iblis ini membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang Hok-mo-kiam. Sekarang harus kaukembalikan pedang pusaka itu atau kau akan mampus di tanganku!"

   "Ha-ha-ha! Bocah ini sombong sekali! Eh, bocah yang manis dan galak, engkau tidak tahu. Biarpun Sepasang Pedang Iblis itu dibuat atas perintah Mutiara Hitam, akan tetapi pembuatnya adalah Kakekku Mahendra, maka akulah yang berhak memilikinya. Lebih baik kalian berikan sepasang pedang itu dan aku akan dapat membujuk muridku untuk membebaskan kalian berdua."

   "Singggg!"

   "Sratttt!"

   Tampak dua sinar berkilat ketika Bun Beng dan Kwi Hong mencabut pedang masig-masing. Sinar ini amat terang sehingga mengejutkan Bun Beng dan Kwi Hong sendiri. Maharya terbelalak kagum dan tertawa lebar saking girangnya.

   Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sadhu! Sepasang Pedang Iblis yang mulia!"

   Ia berkata, kemudian menoleh kepada muridnya,

   "Pergunakan Hok-mo-kiam, mari kita rampas sepasang pedang ini!"

   Ia sendiri sudah memakai sarung tangan emas dan mengeluarkan senjata hidupnya, yaitu ular putih yang berbahaya.

   "Kwi Hong, kau hadapi Siucai gila itu dan coba rampas pedangnya, biar aku menghalau kakek iblis ini!"

   Kata Bun Beng dan tanpa menanti jawaban ia sudah menerjang maju, menyerang Maharya dengan Lam-mo-kiam yang mengeluarkan sinar seperti kilat menyambar. Maharya terkejut dan cepat meloncat ke belakang tidak berani sembarangan menangkis karena ia maklum bahwa pedang buatan kakeknya itu benar-benar merupakan sebatang pedang yang amat ampuh. Bun Beng tidak memberi hati, meloncat ke depan dan melakukan serangan bertubi-tubi.

   Dia harus dapat menahan kakek ini untuk memberi kesempatan kepada Kwi Hong menghadapi Tan-siucai yang lebih lemah dibandingkan dengan gurunya yang sakti ini. Sementara itu, Tan-siucai sudah mencabut Hok-mo-kiam dan tampak sinar kilat yang lebih terang daripada sinar Sepasang Pedang Iblis, akan tetapi tidak mendatangkan wibawa yang mendirikan bulu roma seperti sepasang pedang itu yang telah menghisap darah entah berapa ribu manusia. Kwi Hong cepat menerjang maju dengan Li-mo-kiam di tangan, melakukan tusukan dan girang sekali ketika merasa betapa pedang itu seolah-olah menambah tenaga pada ta-ngannya, begitu ringan dan seperti telah mendahului jurus yang ia mainkan untuk menyerang, seperti mempunyai nyawa dan terbang sendiri menuju ke arah lawan! Benar-benar sebatang pedang yang amat luar biasa!

   "Cringggg....!"

   Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika Li-mo-kiam bertemu dengan Hok-mo-kiam dan Kwi Hong terkejut karena merasa betapa pedangnya tergetar,

   Seolah-olah menggigil dan takut setelah bertemu dengan pedang lawan. Padahal dia merasa bahwa dia masih menang tenaga menghadapi Tan-siucai. Maka ia menjadi waspada dan teringat bahwa pamannya dan mendiang Kakek Nayakavhira memang sengaja menciptakan Hok-mo-kiam untuk menghadapi dan melawan Sepasang Pedang Iblis! Di lain pihak, Tan-siucai terkejut sekali. Pedangnya hampir terlepas dari tangannya ketika beradu dengan pedang lawan, lengannya tergetar dan ia maklum bahwa ia harus berhati-hati sekali menghadapi keponakan Pendekar Siluman yang memiliki sin-kang amat kuat itu. Setelah kini bertanding satu lawan satu dengan Kakek Maharya, Bun Beng harus mengaku dalam hati bahwa ting-kat kepandaiannya masih belum cukup untuk menandingi lawan yang sakti ini.

   Pantas saja kakek ini dahulu berani menghadapi Pendekar Siluman, kiranya memang memiliki gerakan aneh dan setiap gerakan tangannya mengandung hawa yang panas dan di balik hawa panas ini masih ada pengaruh mujijat yang membuat bulu tengkuk meremang seperti bukan manusia yang ia lawan, melainkan iblis sendiri. Bau harum aneh memuakkan yang keluar dari tubuh kakek tinggi kurus itu benar-benar membuat pikiran menjadi kacau. Untung bahwa sekali ini Bun Beng bersenjatakan Lam-mo-kiam yang juga memiliki wibawa amat mujijat seolah-olah dalam pedang itu ada penghuninya sehingga pengaruh pedang iblis ini sedikit banyak dapat mengimbangi pengaruh kakek India. Kalau dia tidak memegang senjata ampuh ini, agaknya dia tidak akan mampu melawan sampai lama menghadapi kakek yang selain mahir ilmu silat aneh juga mahir ilmu sihir itu.

   Bun Beng mainkan jurus-jurus ilmu pedang Siauw-lim-pai, mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan jurus-jurus pilihan yang jarang tandingnya, namun kakek itu selalu dapat mengelak dan menangkis dari samping dengan tangan kiri yang bersarung emas, sedangkan ular putih yang berbahaya itu menyambar-nyambar hendak menggigit, bahkan menyemburkan uap putih dengan suara mendesis-desis. Karena maklum bahwa semburan uap putih itu berbisa, Bun Beng kadang-kadang menahan napas dan mendorong dengan tangan kiri menggunakan hawa sin-kang untuk mengusir uap putih. Pertandingan berlangsung makin seru dan mati-matian. Bun Beng melihat mulut kakek itu berkemak-kemik, kemudian terdengar suara kakek itu tertawa bergelak.

   Ia terkejut bukan main, merasa betapa suara ketawa itu seolah-olah terdengar dari belakang punggungnya dan mendatangkan rasa dingin seperti es memasuki tulang punggung. Ia mengerahkan sin-kang untuk menahan perasaan itu, dan ketika ia memecah tenaganya, kakek itu mendesak dengan serangan kedua tangannya. Ia menjadi sibuk dan tiba-tiba ketika kakek itu kembali tertawa, ia terdorong oleh rasa yang amat kuat untuk ikut tertawa! Bun Beng yang cerdik masih ingat bahwa kakek ini mempergunakan sihir, maka ia melawan sekuat tenaga namun tetap saja mulutnya tersenyum! Mendadak sekali, suara ketawa kakek itu berubah menjadi tangis dan Bun Beng merasa jantungnya seperti disayat-sayat, perasaan terharu meliputi seluruh hatinya dan betapapun ia bertahan kuat-kuat, dua titik air mata jatuh ke atas pipinya. Ia makin kaget dan diam-diam berseru

   "celaka!"

   Maklum dia bahwa dia tidak akan menang menghadapi kakek ini dan biarpun dengan pedang Lam-mo-kiam ia akan dapat mempertahankan diri sampai lama, namun akhirnya ia akan kalah juga. Ia amat khawatir, bukan mengkhawatirkan dirinya melainkan mengkhawatirkan diri Kwi Hong.

   "Kwi Hong....!"

   Ia berteriak, terengah-engah dan cepat membabat ke arah ular yang sudah mengancam leher. Ular itu ditarik kembali dan kini tangan yang bersarung emas itu mencengkeram ke arah pusarnya.

   "Cringgg!"

   Pedangnya menangkis dan kakek Maharya berteriak kaget karena tangannya yang terlindung sarung tangan itu terasa panas.

   "Kwi Hong, larilah cepat! Beri tahu Pamanmu....!"

   Bun Beng berteriak dan memutar pedangnya melindungi tubuh secepatnya. Ia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menulikan telinga terhadap suara yang keluar dari mulut Maharya, akan tetapi tidak mungkin ia menutup matanya sehingga kadang-kadang sinar matanya bersilang dengan sinar mata Maharya yang seolah-olah mengeluarkan api bernyala-nyala! Kwi Hong mendengar teriakan Bun Beng, akan tetapi dia sama sekali tidak mau peduli. Mana mugkin dia melarikan diri? Dia sedang mendesak Tan-siucai yang biarpun memegang Hok-mo-kiam, namun tingkat ilmu silatnya masih kalah jauh olehnya. Kalau Sasterawan sinting itu tidak memegang Hok-mo-kiam, tentu sudah sejak tadi mampus di ujung Li-mo-kiam.

   Apalagi ketika gadis ini mengerling dengan sudut matanya dan melihat betapa Bun Beng terdesak hebat oleh Maharya, dia makin tidak mau melarikan diri. Dia harus merobohkan Tan-siucai agar dapat membantu Bun Beng mengeroyok kakek yang sakti itu. Dia harus merampas Hok-mo-kiam dan hal ini amat penting, tidak kalah pentingnya dengan mempertahankan Sepasang Pedang Iblis, bahkan lebih penting daripada keselamatan Bun Beng yang terancam oleh kakek iblis yang sakti. Maka ia terus mendesak Tan-siucai yang kini memutar pedang Hok-mo-kiam sehingga berubah menjadi gulungan sinar kilat yang menyelimuti tubuhnya, membuat Kwi Hong agak sukar untuk menembusnya. Tiba-tiba Tan-siucai tertawa aneh dan terdengar suaranya,

   "Ha-ha-hi-hi, Nona manis, engkau melawan siapa? Aku sudah lenyap, bayanganku tidak tampak olehmu, siapa yang kau lawan? Apakah kau gila?"

   Kwi Hong terkejut bukan main karena benar-benar bayangan lawannya itu lenyap dan tidak tampak olehnya.

   Yang tampak hanya gulungan sinar pedang Hok-mo-kiam yang terang seperti cahaya sinar matahari. Hampir saja sinar pedang mengenai lehernya kalau ia tidak cepat-cepat menjatuhkan diri karena dalam keadaan kaget dan bingung mencari musuhnya tadi ia bersikap lengah. Terdengar suara tertawa Tan-siucai dan sukar bagi Kwi Hong untuk menentukan dari mana datangnya suara tertawa ini karena bayangan orangnya tidak kelihatan. Ia teringat bahwa sebagai murid kakek sakti ahli sihir itu Tan-siucai pandai pula main sihir, maka ia mengerahkan sin-kang sekuatnya, sin-kang yang dilatihnya di Pulau Es sehingga ia dapat menggabungkan hawa Im dan Yang di tubuh, menguatkan hatinya dan kini tampaklah olehnya bahwa Tan-siucai masih berada di tempatnya yang tadi, memutar pedang dan mendesaknya.

   "Cring-trang-trang.... aihhh....!"

   Tan-siucai terkejut dan untung ia masih da-pat menangkis sambil terhuyung ke belakang. Ia maklum bahwa gadis itu dapat melihatnya, maka ia mengerahkan seluruh ilmu sihirnya sehingga kini bayangannya kadang-kadang lenyap, kadang-kadang tampak oleh Kwi Hong. Hal ini membuat Kwi Hong terdesak hebat dan timbul rasa gentar di hatinya. Yang dilawannya memiliki ilmu setan, bagaimana ia dapat melawan orang yang pandai menghilang? Sedikit saja ia mengurangi pengerahan sin-kangnya, bayangan lawan lenyap. Terpaksa ia membagi tenaganya, sebagian untuk melawan pengaruh sihir sehingga kadang-kadang ia dapat melihat bayangan lawan, kadang-kadang tidak.

   

Pendekar Super Sakti Eps 38 Pendekar Super Sakti Eps 1 Pendekar Super Sakti Eps 34

Cari Blog Ini