Sepasang Pedang Iblis 27
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 27
Setelah berkata demikian Nirahai mengibaskan lengannya dan memasuki pondok. Pintu pondok segera ditutup lagi.
"Ibu, mengapa Ibu melakukan semua ini?"
Di dalam pondok itu, Milana berbisik kepada Ibunya. Nirahai melepas kerudung dan menghapus keringat dari muka dan lehernya. Puterinya memandang wajah ibunya yang cantik itu berselimut awan kesengsaraan batin.
"Untuk memancing datangnya Majikan Pulau Es dan Pulau Neraka."
Jawabnya pendek lalu mengenakan kerudung kepalanya lagi. Milana menghela napas. Hening sejenak dan dara itu berbisik.
"Ibu.... begitu.... begitu bencikah Ibu kepada Ayah....?"
Mata di balik kerudung itu memancarkan api.
"Benci? Tidak ada orang yang lebih kubenci di dunia ini!"
Milana merasa jantungnya tertusuk dan ia menunduk. Kembali keadaan hening dan tiba-tiba Milana mengangkat mukanya ketika mendengar isak tertahan. Ibunya telah terisak menangis! Milana terharu, menggerakkan tangan menyentuh tangan ibunya dan berbisik lagi
"Ibu.... sangat cintakah kepada Ayah....?"
Nirahai memejamkan matanya dan mengangguk. Milana mengerti, keduanya diam dan mencurahkan perhatian keluar pondok. Dari celah-celah dinding pondok mereka dapat melihat seorang hwesio tinggi kurus dari rombongan Siauw-lim-pai melangkah maju dan berkata nyaring sambil memandang pondok di atas.
"Thian-liong-pangcu! Pinceng menerima tugas dari Ketua kami untuk menyampaikan penyesalan Siauw-lim-pai akan sepak terjang Thian-liong-pang selama ini yang melakukan penculikan-penculikan terhadap tokoh-tokoh kang-ouw. Siauw-lim-pai tidak mau ikut-ikut dalam soal pemilihan Bengcu, dan tidak akan mengakui Bengcu manapun juga karena Siauw-lim-pai tidak mau mengikatkan diri, juga tidak ingin menanam permusuhan. Hanya menjadi kewajiban Siauw-lim-pai untuk menegur perkumpulan yang bertindak sewenang-wenang, dan kalau teguran Siauw-lim-pai ini tidak menyenangkan hati Pangcu, pinceng sebagai wakil Siauw-lim-pai siap mempertanggungjawabkannya!"
Setelah hwesio tinggi kurus itu mundur, majulah seorang tosu berambut putih dari rombongan Hoa-san, dan dia pun berteriak nyaring.
"Pinto mewakili Hoa-san-pai, juga memprotes penculikan atas diri sute kami Bhong Tek-cu yang dilakukan oleh Thian-liong-pang, dan pinto mewakili Hoa-san-pai untuk minta Thian-liong-pangcu mempertangungjawabkan perbuatan itu sekarang ini! Tentang pemilihan Bengcu, Hoa-san-pai tidak akan mencampurinya!"
Setelah melihat majunya wakil-wakil partai besar seperti Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, besarlah hati para tokoh kang-ouw, dan berturut-turut majulah Ang-lo-jin Ketua Bu-tong-pai yang berkata,
"Saya sebagai ketua Bu-tong-pai merasa terhina atas perlakuan Thian-liong-pang yang lalu, maka saya minta pertanggungan jawab Thian-liong-pangcu di tempat terbuka ini!"
Dan dengan alasan yang sama pula majulah wakil-wakil dari Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai. Melihat perkembangan ini, Tang Wi Siang merasa gelisah juga dan beberapa kali dia memandang ke atas seolah-olah mengharapkan ketuanya turun tangan. Tak lama kemudian terdengar suara Ketua Thian-liong-pang.
"Wi Siang, sebutkan wakil-wakil dari mana saja yang minta pertanggungan jawabku?"
Dengan suara gemetar karena tidak mengira akan demikian banyaknya partai yang menentang ketuanya, Tang Wi Siang menjawab,
"Dari Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, Bu-tong-pai, Lam-hai-pang, Sin-to-pang dan Pek-eng-pai, semua enam partai!"
Tiba-tiba pintu pondok terbuka dan muncullah Ketua Thian-liong-pang.
"Hanya enam partai saja? Ataukah masih ada lagi? Harap Cu-wi yang ingin mencoba kepandaianku, tidak malu-malu, nyatakan saja terus terang!"
Setelah tidak ada yang menjawab, Nirahai berkata,
"Para wakil dari enam partai yang minta pertanggungan jawab, persilakan maju!"
Dari Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai masing-masing maju seorang hwesio dan seorang tosu, dari Bu-tong-pai majulah Ang Siok Bi dan seorang suhengnya, murid dari ayahnya, sedangkan dari Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai, masing-masing maju tiga orang wakil yang merupakan murid-murid kepala. Ang-lojin tidak maju sendiri karena dia merasa malu hati dan tidak enak kalau sebagai ketua dia harus maju sendiri. Dengan demikian, wakil dari enam partai itu berjumlah tiga belas orang, murid-murid kepala dari partai-partai yang tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
"Bagus! Kulihat Cu-wi yang mewakili partai yang minta pertanggungan jawabku, ada tiga belas orang telah berkumpul. Dan untuk membuktikan bahwa aku sebagai calon Bengcu mempunyai tanggung jawab dan kepandaian untuk memimpin Cu-wi sekalian, aku akan menghadapi Cu-wi sekaligus. Bersiaplah, aku akan mengalahkan Cu-wi!"
Setelah berkata demikian tampak tubuh wanita berkerudung itu melayang dari atas pondok yang tinggi itu bagaikan seekor burung garuda, langsung meluncur ke arah tiga belas orang itu. Mereka ini sudah siap dan tampak sinar senjata berkilauan ketika mereka mencabut senjata mereka.
Namun Nirahai tidak menghunus pedangnya yang masih tergantung di punggungnya, tubuhnya terus meluncur dan bagaikan seekor burung walet menyambar ke arah mereka. Tiga belas orang itu menggerakkan senjata masing-masing menyambut bayangan tubuh yang menyambar-nyambar itu, demikian cepat gerakan wanita ini sehingga sukar diikuti pandangan mata. Tampak bayangan tubuhnya berkelebat di antara sinar senjata itu dan terdengarlah bunyi berkerontangan, senjata-senjata terpental dan ketiga belas orang mengeluarkan teriakan kaget disusul robohnya tubuh mereka seorang demi seorang, cepat sekali sampai ketiga belas orang itu semua terpelanting roboh! Dan tubuh wanita berkerudung itu berdiri di tengah tengah, antara mereka yang roboh ke kanan-kiri, ada yang terlentang, ada yang menelungkup, ada yang miring.
Tiga belas orang itu terkejut bukan main, demikian pula mereka yang menyaksikan kehebatan wanita berkerudung itu, hampir mereka tak dapat percaya betapa dengan tangan kosong, wanita berkerudung itu benar-benar telah mengalahkan mereka dan hebatnya mereka tidak terluka hebat, hanya roboh oleh dorongan-dorongan tenaga sin-kang yang amat kuat dan didahului kecepatan yang tidak tampak oleh mata mereka! Ang Siok Bi yang tadinya merasa penasaran karena ayahnya pernah diculik kini bangkit bersama yang lain-lain, memandang wanita berkerudung itu dengan muka pucat dan diam-diam mereka semua mengakui bahwa kalau wanita itu menghendaki, kalau wanita itu menggunakan senjata atau melakukan pukulan yang berat, tentu mereka roboh untuk tidak bangkit kembali!
"Nah, Cu-wi sudah menyaksikan bahwa aku telah berani mempertanggungjawabkan semua perbuatanku dan sepak terjang Thian-liong-pang. Ketahuilah bahwa semua tokoh yang pernah menjadi tamu kami, tidak ada yang diganggu, mengapa Cu-wi merasa penasaran? Sekarang, menggunakan kesempatan ini, aku mengajak siapa saja di antara Cu-wi yang masih penasaran untuk menguji kepandaian, terutama sekali kutujukan kepada Majikan Pulau Neraka dan Majikan Pulau Es!"
Tantangan ini tidak ada yang berani menjawab, dan mereka semua saling pandang, mencari ke kanan-kiri mengharapkan munculnya dua jago yang selama ini namanya menggemparkan dunia kang-ouw,
Yaitu Ketua Pulau Neraka yang tak pernah ada yang melihatnya, dan Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Namun, tidak tampak mata hidung kedua orang tokoh itu, bahkan tidak tampak seorang pun tokoh dari kedua pulau itu. Keadaan menjadi sunyi, semua orang masih seperti terpesona, menyaksikan kelihaian Ketua Thian-liong-pang, sedangkan tiga belas orang yang kalah tadi mengambil senjata masing-masing dan kembali ke kelompok mereka, tidak ada yang berani melawan lagi karena masing-masing maklum bahwa mereka bukanlah tandingan wanita berkerudung yang hebat bukan main itu. Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari rombongan orang yang tak dikenal Nirahai yaitu rombongan dari lima belas orang yang tadi dicurigainya.
"Ha-ha-ha! Pulau Es sudah terbasmi, sedangkan Pulau Neraka pun penghuninya sudah melarikan diri semua, bukankah Ketua Thian-liong-pang sama dengan menan-tang angin kosong?"
Lima belas orang itu adalah mata-mata yang dikirim oleh Bhong Ji Kun. Mereka terdiri dari panglima-panglima yang berkepandaian tinggi, dan yang setelah tiba di situ sekarang berkumpul menjadi sekelompok. Hati mereka besar dan mereka berani bicara karena mengandalkan pasukan yang berada di sekeliling tempat itu. Pula, mereka sengaja mengeluarkan kata-kata menghina kedua pulau itu untuk memancing keluarnya toKoh-tokoh mereka seperti yang dikehendaki oleh Koksu. Nirahai memutar tubuhnya menghadapi rombongan itu, kemudian sekali kakinya tampak bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan mereka, mata di balik kerudung itu menyambar-nyam-bar tajam,
"Kalian siapakah? Dari golongan dan partai apa?"
Tanyanya tiba-tiba, suaranya dingin. Seorang di antara mereka yang tinggi besar dan brewok, agaknya merasa tidak senang menyaksikan sikap Ketua Thian-liong-pang itu, maka dia menjawab sambil mengangkat dada, suaranya tegas dan nyaring,
"Kami adalah orang-orang kang-ouw perantau yang tertarik mendengar pertemuan ini dan ingin melihat-lihat. Apakah hal ini dilarang?"
"Hemmm! Memang undangan kami ditujukan kepada semua orang kang-ouw, tentu saja tidak ada yang melarang orang menonton. Akan tetapi kalian telah berani menghina Pulau Neraka dan Pulau Es, agaknya kalian memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka! Aku akan suka sekali mencoba dan melayani kepandaian kalian yang telah berani bicara besar di sini."
Lima belas orang itu adalah panglima-panglima yang biasanya membagi perintah dan dihormati serta ditaati anak buah mereka. Kini menghadapi sikap Ketua Thian-liong-pang, mereka menjadi marah sekali. Tidak biasa mereka diperlakukan seperti itu oleh siapapun juga!
"Heiii! Thian-liong-pangcu! Kalau kami menghina Pulau Es dan Pulau Neraka, apa hubungannya itu dengan Thian-liong-pang? Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang berani melawan pemerintah, maka dihancurkan dan dibasmi! Kami rasa Thian-liong-pang tidaklah seperti iblis-iblis Pulau Neraka dan.... augghhhh....!"
Tiga orang di antara rombongan itu yang berdiri paling depan, roboh dan tewas seketika, terkena sambaran sinar hitam yang tiba-tiba saja melayang ke arah si pembicara dan dua orang temannya.
"Thian-liong-pangcu! Engkau berani membunuh orang-orang pemerintah?"
Tiba-tiba terdengar bentakan dan Thian Tok Lama telah berada di situ! Nirahai cepat membalikkan tubuh dan
"srattt!"
Dia telah mencabut pedangnya, akan tetapi dia tidak memandang Thian Tok Lama, melainkan memandang ke atas tanah yang bergoyang-goyang aneh! Dia tahu bahwa yang menyambar dan menewaskan tiga orang tadi adalah gumpalan-gumpalan tanah yang disambitkan dengan tenaga dahsyat sekali! Tanpa menoleh ke arah Thian Tok Lama, dia berkata,
"Thian Tok Lama, kiranya mereka ini adalah mata-mata pemerintah yang sengaja kau kirim untuk melakukan penyelidikan?"
Suaranya dingin sekali akan tetapi matanya masih ditujukan ke atas tanah yang bergoyang-goyang aneh. Thian Tok Lama terkejut bukan main. Benar-benar seorang yang aneh sekali Ketua Thian-liong-pang ini, selain kepandaiannya tinggi, ternyata begitu bertemu telah mengenalnya!
"Benar!"
Jawabnya.
"Akan tetapi mereka dan kami bertugas untuk menyelidiki orang-orang Pulau Es dan Pulau Neraka, kalau mereka datang ke sini. Kiranya tiga orang penyelidik kami malah kau bunuh!"
Tiba-tiba terdengar ledakan keras. Tanah yang bergoyang tadi pecah seperti meletus dan tampak debu dan uap mengepul tinggi. Tanah itu terbuka dan tampak.... sebuah peti mati yang perlahan-lahan terbuka dan dari dalam peti mati itu bangkit sesosok mayat yang seperti baru saja hidup kembali. Tubuh seorang kakek tua renta, berkepala botak, bertubuh kurus dan dalam keadaan.... telanjang bulat! Mukanya pucat, persis muka mayat yang tidak mempunyai darah sama sekali. Jangankan para tokoh yang berada di situ, sedangkan Nirahai sendiri, bahkan Thian Tok Lama, berdiri terpukau di tempatnya, memandang dengan mata terbelalak.
"Mayat hidup"
Itu batuk-batuk lalu bangkit berdiri, telanjang seperti bayi, lalu meloncat keluar dari dalam peti mati.
"Uhk-uhk-uhk.... anak-anak kecil berani menghina Pulau Neraka. Akulah orang Pulau Neraka dan yang membunuh, heh-heh.... malah semua yang berani menghina akan kubunuh."
Tiba-tiba saja, mayat hidup yang kelihatan lemah, kurus kering itu "terbang"
Ke arah rombongan panglima yang tinggal sepuluh orang lagi. Kelihatannya seperti terbang karena gerakannya luar biasa sekali cepatnya, seolah-olah kedua kakinya tidak menginjak tanah. Melihat gin-kang sehebat itu, Nirahai sendiri sampai terbelalak, dan Thian Tok Lama berkemak-kemik membaca doa dalam bahasa Tibet karena dia menyangka bahwa mayat hidup itu benar-benar siluman yang muncul dari bawah tanah! Bukan main cepatnya kejadian itu, sekali sambar, mayat hidup itu telah merangkul empat orang panglima.
Tangannya bergerak, mulutnya menyeringai dan.... dijambaknya rambut kepala mereka itu seorang demi seorang, diputarnya dan ditarik sehingga.... kepala itu coplok, lehernya putus, darah menyembur keluar. Tiga orang lainnya hanya melongo dan pucat, seolah-olah tak mampu bergerak dalam rangkulan mayat hidup itu, sehingga seorang demi seorang putuslah lehernya. Mayat mereka dilempar-lemparkan oleh Si Mayat Hidup yang sudah bergerak maju lagi ke arah sisa para panglima. Enam orang panglima sudah mendapatkan kembali kesadarannya, maklum akan datangnya bahaya mengancam, maka mereka itu sudah menghunus pedang atau golok masing-masing. Melihat Si Mayat Hidup menerjang maju, mereka membacok dan menusuk. Si Mayat Hidup sama sekali tidak mempedulikan dan enam batang senjata datang menghantamnya seperti hujan.
"Tak-tok.... bak-buk....!"
Senjata-senjata itu mengenai tubuh, akan tetapi semua terpental seperti mengenai tubuh dari karet yang ulat, kenyal dan keras! Dan kembali empat orang telah dirangkul.
"dicopot"
Kepala mereka dari badan dan mayat mereka dilemparkan. Darah membanjir ke mana-mana, dan tubuh serta muka kakek itu telah berlumuran darah segar! Melihat ini, dua orang panglima sisa yang sepuluh orang tadi, membuang senjata mereka dan hendak lari.
"Heh-heh, anak-anak nakal, hendak lari ke mana? Ke sinilah bersama Kakek!"
Mayat hidup itu berkata, dan tangan kanannya menggapai ke arah dua orang panglima yang sedang lari dan.... sungguh aneh, kedua orang itu biarpun kelihatan masih menggerakkan kedua kaki untuk lari, namun mereka bukan-nya maju ke depan melainkan.... mundur ke belakang seolah-olah ada tenaga ajaib yang menarik dan membetotnya ke arah mayat hidup itu! Akan tetapi, sebelum dua orang itu sampai terpegang, Thian Tok Lama sudah meloncat ke depan dan sudah memasang kuda-kuda setengah berjongkok, perutnya berbunyi dan tangan kanannya berubah biru. Kemudian, dengan pengerahan tenaga sin-kang, dia memukul ke arah punggung mayat hidup itu.
"Dessss!"
Mayat hidup itu terlempar sampai tiga meter, akan tetapi tidak roboh dan membalikkan tubuh, mulutnya menyeringai sedangkan Thian Tok Lama terkejut bukan main. Dia seolah-olah memukul benda kering yang hanya terlempar, akan tetapi tenaganya tidak dapat menembus tubuh itu!
"Heh-heh-heh!"
Mayat hidup itu melihat awan hitam yang keluar dari tangan Thian Tok Lama yang memukul tadi.
"Itukah Hek-in-hwi-hong-ciang? Eh, Gundul, kepandaianmu lumayan juga!"
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tubuh Nirahai telah berhadapan dengan mayat hidup itu. Ia membentak sambil menodongkan pedangnya.
"Orang tua, benarkah engkau dari Pulau Neraka? Apakah engkau Ketua Pulau Neraka?"
Bertanya demikian, Nirahai mengkirik ngeri, bukan karena gentar menyaksikan kelihaian mayat hidup itu, melainkan dia merasa jijik berhadapan dengan seorang laki-laki yang telanjang bulat, biarpun laki-laki itu seorang kakek. Mayat hidup itu menyeringai lebar, menggaruk-garuk punggungnya seolah-olah pukulan dahsyat tadi hanya menimbulkan rasa gatal.
"Banyak orang pandai sekarang! Aku bukan ketua apa-apa, akan tetapi akulah orang yang paling tua di Pulau Neraka. Aku adalah Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)!"
"Cui-beng Koai-ong, aku Thian-liong-pangcu menantangmu untuk mengadu kepandaian. Jagalah seranganku!"
Nirahai yang merasa penasaran sudah menggerakkan pedangnya, menusuk ke arah dada mayat hidup itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika melihat bahwa mayat hidup yang kini dia percaya adalah seorang kakek yang masih hidup itu sama sekali tidak mengelak.
"Crokkk!"
Pedang yang mengenai dada itu menempel dan tidak dapat menancap, dan tangan kakek itu sudah meraih hendak menangkap pergelangan tangan Nirahai. Gerakannya cepat dan aneh sekali.
"Aihhhh!"
Nirahai menarik pedangnya dan cepat meloncat ke samping, kemudian mengirim serangan lagi, memilih bagian yang lemah, yaitu leher kakek itu. Kembali Si Kakek Aneh tidak menangkis, membiarkan pedang membacok lehernya sambil tangannya mencengkeram ke arah lambung Nirahai!
"Plakk!"
Pedang itu kembali tidak dapat menembus kulit leher dan hampir saja lambung Nirahai kena dicengkeram kalau saja dia tidak cepat mengelak dengan gerakan yang amat cepat.
"Hayaaaa....! Kau pun hebat, Ketua Thian-liong-pang!"
Kakek itu terkekeh memuji. Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan pasukan yang dipimpin oleh Bhong Ji Kun telah datang menyerbu!
Dari teropongnya Bhong Ji Kun menyaksikan betapa orang-orangnya tewas secara mengerikan. Maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat, dia lalu mengerahkan pasukannya menyerbu, sedangkan dia sendiri bersama Maharya lari mendahului untuk membantu Thian Tok Lama yang sudah ia suruh turun terlebih dahulu tadi. Melihat ini, para tokoh kang-ouw yang tidak ingin terlibat dalam pertentangan dengan pemerintah, lalu mengundurkan diri dan pergi dari tempat itu. Adapun para anak buah Thian-liong-pang yang mengira bahwa pasukan-pasukan itu hendak menyerbu mereka, sudah menyambut dan terjadilah perang tanding di mana banyak sekali pasukan roboh dan tewas menghadapi tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang amat lihai itu.
"Dia telah membunuh orang-orang kita!"
Thian Tok Lama menuding ke arah kakek telanjang yang masih bertanding melawan Nirahai. Untung bahwa Ketua Thian-liong-pang ini memiliki kegesitan yang luar biasa sehingga cengkeraman-cengkeraman dan pukulan-pukulan Cui-beng Koai-ong selalu mengenai angin kosong belaka, akan tetapi semua bacokan Nirahai tiada gunanya, tidak dapat melukai tubuh kurus kering yang kebal itu. Nirahai menjadi makin penasaran dan tidak mau mengalah begitu saja. Kini pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung, sebagian melindungi tubuhnya, sebagian lagi melakukan serangan-serangan kilat yang semua ditujukan ke arah sepasang mata kakek telanjang.
"Heeehhh, kau lihai....!"
Cui-beng Koai-ong berseru dan kini dialah yang harus menangkis sinar pedang yang bergulung-gulung itu dengan kedua tangannya. Betapapun kebal tubuhnya, tak mungkin dia melatih mata menjadi kebal! Maka tentu saja dia tidak ingin matanya dicokel keluar oleh ujung pedang lawan.
Begitu kakek ini mengeluarkan seruan memuji yang menyembunyikan kemarahannya, tubuhnya bergerak cepat dan angin berdesir-desir menyam-bar keluar dari kedua tangannya. Nirahai diam-diam terkejut dan harus mengakui bahwa selama hidupnya, baru sekali ini dia berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu kesaktian seperti kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan mengandalkan gin-kangnya untuk selalu menghindarkan diri, mengerahkan sin-kangnya untuk mela-wan sambaran angin pukulan dahsyat itu. Ketika Bhong Ji Kun dan Maharya mendengar bahwa kakek telanjang itu adalah seorang dari Pulau Neraka yang telah membunuh para panglima, mereka lalu menerjang maju, mengeroyok Cui-beng Koai-ong!
Bhong Ji Kun menggunakan pecutnya yang menyambar-nyambar ganas, berusaha menangkap tubuh dan terutama kedua tangan kaki kakek telanjang dengan ujung pecut. Maharya sudah mengeluarkan senjata bulan sabitnya dan menyerang hebat, meniru taktik Nirahai menyerang ke arah kedua mata, sedangkan Thian Tok Lama tetap mempergunakan Ilmu Pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang biarpun tidak dapat melukai lawan, namun sedikitnya pukulan ini dapat membuat lawan terlempar. Dan setelah dia mengerahkan pukulan-pukulannya ke arah pusar, Cui-beng Koai-ong ternyata tidak berani sembarangan menerima pukulan ampuh itu. Dikeroyok empat orang yang demikian saktinya, betapapun lihai, Cui-beng Koai-ong kewalahan juga, akan tetapi dia tertawa-tawa,
"Heh-heh-heh, banyak orang hebat!"
Maharya menyaksikan kehebatan kakek telanjang itu, menjadi penasaran dan ia membentak,
"Manusia telanjang tak tahu malu! Lihat aku siapa!"
"Heh-heh, kau orang berkulit hitam berhidung seperti kakatua, heh-heh!"
Cui-beng Koai-ong dengan berani memandang muka dan menentang mata Maharya.
"Engkau merasa kakimu lumpuh, re-bahlah!"
"Heh-heh-heh, otakmu miring, ya?"
Maharya kaget setengah mati ketika merasa betapa ilmu sihirnya sama sekali tidak mempan terhadap mayat hidup itu dan merasa betapa getaran ilmu sihirnya membalik, seolah-olah terbentur pada benteng yang aneh dan kuat! Cui-beng Koai-ong terdesak hebat, dan anehnya, kalau Ketua Thian-liong-pang bekerja sama dengan pimpinan pemerintah menghadapi kakek ini, adalah orang-orang Thian-liong-pang sendiri bertempur melawan pasukan yang dipimpin oleh para panglima! Betapapun lihai orang-orang Thian-liong-pang, dikeroyok ratusan orang pasukan itu, mereka mandi keringat dan terdesak. Tiba-tiba dari atas gubuk melayang turun Milana yang terus mengamuk. Hebat tentu saja gerakan dara ini dan sebentar saja belasan orang anak buah pasukan berikut dua orang panglima roboh oleh sambaran pedangnya. Pertandingan makin hebat dan kacau balau.
"Aku ikut....! Ha-ha-ha, Twa-suheng, aku ikut, jangan borong sendiri ahhh!"
Tiba-tiba muncul seorang kakek berkaki telanjang yang mukanya lucu, berwarna kuning. Dia ini bukan lain adalah Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Nereka yang suka merantau. Begitu masuk, dia lalu secara ngawur menerjang, membantu twa-suhengnya dan disambut oleh Thian Tok Lama. Pendeta Lama ini maklum bahwa orang yang menjadi sute dari mayat hidup tentu lihai sekali, maka datang-datang, dia memapakinya dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam!
"Wah berbahaya...."
Kwi-bun Lo-mo tertawa, cepat mengelak dan menggunakan ilmu memindahkan tenaga, sambil mengelak dia menghantam dari samping, seolah-olah memindah-kan atau memutar tenaga lawan untuk menghantam pemiliknya sendiri, ditambah tenaganya sendiri.
"Omitohud....!"
Thian Tok Lama sempat menarik kembali tangannya dan mencelat mundur, kalau tidak tentu lengan-nya akan patah oleh tenaga dahsyat, campuran dari tenaganya sendiri yang meliuk ditambah tenaga lawan baru ini. Kwi-bun Lo-mo tertawa-tawa, akan tetapi dia segera menjadi sibuk sekali setelah Thian Tok Lama menjalankan pukulan. Memang tingkatnya masih kalah oleh pendeta Lama itu, hanya karena kakek ini memang mempunysi banyak ilmu aneh, maka dia masih mampu mempertahankan dirinya.
"Wah-wah-wah, ada pesta besar! Sam-te engkau tidak akan menang melawan Si Gundul itu. Berikan kepadaku!"
Tiba-tiba muncul seorang kakek lagi yang mukanya pucat seperti muka Si Mayat Hidup, akan tetapi begitu dia datang dan menangkis pukulan Thian Tok Lama, pendeta Lama ini terjengkang dan terhuyung-huyung ke belakang. Melihat ini, Maharya cepat menubruk maju dan menghadapi kakek yang baru tiba ini. Kakek ini bentuk tubuh dan mukanya serupa benar dengan Kwi-bun Lo-mo, akan tetapi mukanya selalu tertawa, matanya lebar sekali dan rambutnya riap-riapan.
"Tua bangka gila, engkau siapa?"
Maharya membentak sambil melintangkan senjatanya bulan sabit.
"Ha-ha-ha! Aku siapa dan engkau siapa? Tak tahulah aku perbedaannya, kecuali bahwa engkau jangkung dan aku pendek, bahwa namamu Maharya dan aku disebut Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah), tidak seperti kau yang tinggi. Ha-ha-ha!"
Kakek itu tertawa-tawa. Dia adalah orang aneh dari Pulau Neraka yang baru sekarang ini muncul, seperti halnya Cui-beng Koai-ong. Dia adalah sute dari Si Mayat Hidup, dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Ilmu kepandaian Bu-tek Siauw-jin ini luar biasa sekali, bahkan twa-suhengnya sendiri segan menghadapi sutenya ini yang biarpun tingkatnya masih kalah sedikit, namun ditutup oleh aneka macam kepandaian ilmu aneh-aneh yang dimilikinya.
Sifatnya seperti Ngo Bouw Ek Si Muka Kuning, akan tetapi dia jauh lebih lihai! Kini pasukan pemerintah mulai mengeroyok orang aneh ini, membantu pimpinan mereka yang benar-benar baru sekali ini menghadapi lawan berat. Biarpun pasukan itu seperti sekumpulan nyamuk melawan api menghadapi orang-orang aneh Pulau Neraka, namun jumlah mereka yang banyak membuat Cui-beng Koai-ong dan kedua orang sutenya kewalahan juga, apalagi lawan-lawan mereka juga bukanlah orang-orang sembarangan. Cui-beng Koai-ong dikeroyok dua oleh Nirahai dan Bhong Ji Kun, keadaan mereka seimbang, Ngo Bouw Ek kewalahan melawan Thian Tok Lama yang lebih lihai, sedangkan Bu-tek Siauw-jin mendapat lawan yang tangguh dari Maharya. Kalau mereka masih diganggu oleh ratusan orang pasukan, tentu saja mereka menjadi repot juga!
"Aihhh, Sucouw mengapa nekat membentur kekuatan yang jauh lebih besar? Sucouw nakal sekali, tidak menurut omongan teecu!"
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan muncullah seorang pemuda tampan. Melihat munculnya seorang pemuda tampan yang dengan tenang berjalan menuju ke medan pertandingan antara orang-orang sakti itu, beberapa orang perajurit segera mengepungnya. Akan tetapi pemuda ini melangkah terus seolah-olah tidak melihat atau tidak mempedulikan mereka, matanya tetap memandang ke arah Cui-beng Koai-ong yang sedang repot dikeroyok dua oleh Ketua Thian-liong-pang dan Bhong Ji Kun. Menyaksikan sikap yang angkuh ini, para perajurit menjadi marah dan berbareng mereka menerjang maju. Enam orang banyaknya yang mengepung pemuda itu menggerakkan senjata, menyerangnya dari enam penjuru.
"Singggg.... sratttt!"
Tampak sinar kilat berkelebat menyilaukan mata dan.... enam orang itu dengan pinggang hampir putus terbabat pedang yang menjadi sinar kilat tadi. Kini tampak pemuda itu dengan mata masih memandang Cui-beng Koai-ong, memasukkan kembali pedangnya yang bersinar kilat, melanjutkan langkah seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Para perajurit lainnya memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan akan tetapi juga gentar! Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring Thian Tok Lama dan sekali ini dia berhasil memukul lawannya. Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Neraka yang bermuka kuning, yang semenjak tadi memang sudah terdesak biarpun dia masih tertawa-tawa, sekali ini tidak dapat mengelak atau manangkis, bahkan tidak sempat menggunakan ilmu memindahkan tenaga, dadanya terpukul Hek-in-hwi-hong-ciang sehingga tubuhnya terpental, bergulingan dan dari mulutnya terpancar darah segar.
"Eh, Sam-te, kau terluka?"
Bu-tek Siauw-jin yang melihat ini meloncat dekat, menghampiri dan tidak mempedulikan lagi Maharya yang mengejarnya.
"Heh-heh-heh, ji-suheng, aku.... aku pamit.... mendahuluimu...."
Kwi-bun Lomo terengah-engah, akan tetapi masih tersenyum lebar.
"Wuuuttt!"
Senjata bulan sabit di tangan Maharya menyambar dan cepat sekali Bu-tek Siauw-jin menggulingkan diri mengelak lalu melanjutkan pembicaraannya dengan Kwi-bun Lo-mo yang sudah menggeletak dengan napas empas-empis.
"Wah, kau licik, mau pergi dulu, membiarkan aku Si Tua Bangka melanjutkan hukuman di dunia, ya?"
"Heh-heh, Ji-suheng. Kau.... kau pesan apa....?"
"Pesan tempat! Kau pesankan untukku satu tempat yang baik, ya?"
Kembali Bu-tek Siauw-jin mengelak dan balas dengan sodokan tangan ke arah perut Maharya yang membuat Maharya cepat meloncat ke belakang.
"Di dalam neraka, mana ada tempat yang baik? Heh-heh.... akan kupesankan untukmu, Ji-suheng.... dekat aku...., heh-heh...."
Dan terputuslah kata-kata kakek muka kuning yang jenaka itu, berbareng dengan nyawanya yang melayang.
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aihhhh.... Sam-sute, jangan lupa lho....!"
Pada saat itu, Maharya sudah menerjang lagi, marah bukan main melihat betapa lawannya melayaninya sambil omong-omong seenaknya dengan orang lain yang mau mati!
"Siuuuutttt.... wessss....!"
Senjatanya menyambar dan tiba-tiba tubuh pendek itu lenyap dan ketika ia berdongak, dari atas menyambar sebuah benda hitam yang segera meledak ketika menyentuh tanah di dekat Maharya! Maharya sudah cepat meloncat, akan tetapi betisnya masih terkena api yang panas sekali, membuat dia makin marah. Akan tetapi, sambil tertawa-tawa Bu-tek Siauw-jin sudah menaburi jenazah Kwi-bun Lo-mo dengan obat bubuk putih, kemudian meledakkan senjata rahasia dan.... jenazah itu terbakar, menyala-nyala tinggi sehingga terciumlah bau sangit yang memenuhi tempat pertandingan itu.
"Sucouw, mari kita pergi saja!"
Pemuda tampan itu kini sudah berada dekat suhunya yang masih dikeroyok dua.
"Aihhhh! Orang baru enak-enak bercanda, kau ganggu saja!"
Kakek telanjang itu mengomel. Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In, putera Majikan Pulau Neraka yang menjadi muridnya, telah menyambar tangannya kemudian mengajak suhunya melompat jauh. Nirahai dan Bhong Ji Kun hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu melemparkan sesuatu ke atas tanah dan.... asap hitam membubung tinggi, membentuk tirai yang ge-lap dan mengeluarkan bau yang memuakkan, terpaksa Nirahai dan Bhong Ji Kun mundur lagi.
"Wah-wah, keringat kalian bau sekali! Aku tidak tahan lagi....!"
Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berkata dan dia pun meloncat meninggalkan Maharya dan Thian Tok Lama yang sudah mulai mengeroyoknya. Dia ini pun melemparkan benda hitam yang mengeluarkan asap hitam tebal dan sebentar saja menghilang. Di sepanjang jalan ke arah perginya tiga orang manusia aneh dari Pulau Neraka itu, para perajurit yang mencoba menghalang roboh terpelanting ke kanan-kiri dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Nirahai tertegun, dan diam-diam dia harus mengakui bahwa tokoh-tokoh Pulau Neraka merupakan lawan berat. Dia kini baru sadar bahwa anak buahnya masih bertanding melawan para perajurit pemerintah, bahkan kini Thian Tok Lama, Maharya dan Bhong Ji Kun sudah mengurungnya dengan sikap mengancam.
"Bhong-koksu, hentikan pertempuran ini!"
Katanya kepada Bhong Ji Kun.
(Lanjut ke Jilid 26)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 26
"Hemm, Thian-liong-pang sudah berani memberontak, akan kami hancurkan!"
Jawab Bhong Ji Kun sambil menyerang, diikuti oleh Maharya dan Thian Tok Lama.
"Bhong Ji Kun, aku mau bicara, mari ikut ke atas!"
Tubuh Nirahai melayang ke atas gubuknya. Bhong Ji Kun merasa heran dan meloncat pula mengejar.
"Kalian jangan ikut!"
Nirahai membentak ke bawah ketika melihat Maharya dan Thian Tok Lama hendak meloncat naik pula.
"Apakah kalian tidak percaya kepadaku!"
Bhong Ji Kun berkata ke bawah,
"Jangan naik, biarkan aku bicara dengan Thian-liong-pangcu!"
Ia lalu mengikuti masuk ke dalam gubuk itu. Nirahai menghadapi Bhong-koksu, sambil menarik kerudungnya terbuka.
"Bhong-koksu lihat siapa aku!"
Bukan main kagetnya Bhong Ji Kun ketika ia melihat wajah yang cantik jelita dan agung berwibawa itu. Cepat ia menjura sambil berkata,
"Kiranya Paduka Puteri Nirahai yang menjadi Ketua Thian-liong-pang."
Nirahai memasangkan kerudungnya kembali.
"Jangan beritahukan kepada orang lain. Tahukah engkau bahwa aku tidak ingin memusuhi pasukan ayahku sendiri? Aku sedang hendak menguasai dunia kang-ouw agar tidak terjadi lagi pemberontakan! Kau sudah menyaksikan sendiri kelihaian orang-orang Pulau Neraka, dan tanpa kerja sama mana mungkin kau akan menumpas atau menguasai mereka? Lekas perintahkan pasukanmu mundur!"
Maharya dan Thian Tok Lama yang menanti di bawah, sudah siap untuk meloncat naik dan membantu kalau koksu terancam bahaya. Akan tetapi, alangkah heran hati mereka ketika melihat koksu muncul lagi, lalu berseru dari atas,
"Semua pasukan! Hentikan pertempuran dan mundur!"
Juga Nirahai muncul dan melengking nyaring.
"Wi Siang, hentikan pertempuran!"
Teriakan-teriakan ini amat nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang bertanding, dan seketika mereka masing-masing kedua pihak mundur dan menghentikan pertandingan. Milana yang maklum bahwa ibunya tentu tidak meng-hendaki pertempuran melawan pasukan Kaisar, kakeknya sendiri, segera memimpin orang-orangnye mundur dan mengelilingi gubuk. Adapun Bhong Ji Kun lalu melompat turun memerintahkan sisa panglima untuk menarik semua pasukan dan dia sendiri memandang ke atas, kepada wanita berkerudung, menjura dan berkata,
"Thian-liong-pangcu! Thian-liong-pang bukan musuh kami, bukan pula pemberontak, maka kami mohon diri!"
Nirahai mengangkat tangan melambai dan pergilah pasukan itu membawa yang terluka dan meninggalkan yang tewas. Nirahai lalu mengajak anak buahnya pergi pula dari tempat itu.
"Kiang-lopek, ke sinilah, kuobati lukamu!"
Kata Nirahai setelah melompat turun dan melihat betapa lengan kiri Kiang Bok Sam, seorang tokoh Thian-liong-pang yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, telah buntung. Raksasa ini dalam pertempuran tadi, menghadapi pula Wan Keng In dan lengan kirinya kena disambar Lam-mo-kiam sehingga buntung. Namun dia masih terus mengamuk melawan pasukan pemerintah!
"Hemm, engkau seorang yang gagah dan setia, Kiang-lopek."
Nirahai memuji sambil menaruh bubuk obat dan membalut lengan yang buntung itu.
"Jangan khawatir, buntungnya lengan kirimu tidak akan mengurangi kegagahanmu. Aku sendiri akan menurunkan ilmu kepadamu."
Maka pergilah rombongan Thian-liong-pang itu, dan setelah tiba di pusat mereka, benar saja Nirahai mengajarkan ilmu silat tinggi yang membuat Kiang Bok Sam menjadi seorang yang lebih lihai daripada sebelum lengannya buntung, bahkan ilmu tongkat dengan satu tangan yang diajarkan Nirahai membuat dia lebih lihai daripada Sai-cu Lo-mo sendiri! Mungkin hanya Tang Wi Siang saja yang masih dapat menandinginya, dan tentu saja dia masih kalah tingkat kalau dibandingkan dengan Milana. Padang tandus yang gersang itu kini berubah sunyi mengerikan. Di sekeliling pondok yang tinggi itu berserakan mayat-mayat manusia, dan tanah yang kering itu kini basah, bukan oleh air, melainkan oleh darah manusia!
Menjelang senja, seorang penunggang kuda menjalankan kudanya perlahan me-masuki padang tandus itu. Orang ini adalah Gak Bun Beng. Dia terpaksa berdiam di dalam hutan dan bersamadhi, mengobati luka di dalam dadanya akibat pukulan maut terakhir dari Thai Li Lama. Setelah merasa bahwa bahaya telah lewat dan dadanya tidak begitu sesak lagi, Bun Beng bangkit. Hari telah menjadi sore dan tiba-tiba dia melihat beberapa ekor kuda tanpa penunggang berlari ke dalam hutan seperti ketakutan. Cepat ia menyambar kendali seekor yang terseret, dan dengan ringan dia meloncat ke atas punggung kuda itu. Kuda itu meringkik dan berjingkrak ketakutan, akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang menungganginya tidak mengganggunya, dia menjadi jinak, keempat kakinya menggigil dan tubuhnya lemas.
"Hemm, agaknya terjadi sesuatu yang hebat di tempat pertemuan di bawah sana. Kuda yang patut dikasihani, engkau tentu telah menyaksikan hal-hal yang menakutkan. Tenanglah, dan bahwa aku turun ke sana."
Dia lalu menunggang kuda itu menuruni lereng gunung, perlahan-lahan karena kudanya sudah lelah sekali. Beberapa ekor kuda itu adalah kuda tunggangan para panglima yang roboh tewas dan binatang-binatang itu melarikan diri, naik ke gunung dengan ketakutan. Dapat dibayangkan betapa ngeri dan kaget hati Bun Beng ketika kudanya membawanya ke tempat bekas terjadinya pertandingan itu. Di sana-sini berserakan mayat-mayat manusia yang berpakaian seperti orang-orang kang-ouw. Itulah mayat-mayat para mata-mata, yaitu para panglima yang berpakaian sebagai orang kang-ouw, ada yang putus kepalanya, ada yang mati dalam keadaan tidak terluka sama sekali.
Dan banyak lagi orang-orang berpakaian biasa yang tewas dekat tihang gubuk, akan tetapi lebih banyak lagi mayat-mayat berpakaian tentara. Tempat itu menjadi tempat pesta burung-burung gagak yang memekik dan terbang pergi ketika Bun Beng lewat di atas kudanya, akan tetapi mereka turun kembali setelah Bun Beng lewat, melanjutkan pesta mereka mematuki daging segar dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu yang masih ada darah segarnya! Bung Beng menghentikan kudanya, memandang ke sekeliling dan menarik napas panjang. Betapa mengerikan akibat perbuatan manusia, pikirnya. Setelah memandang mayat-mayat itu, dia terharu, dan lenyaplah semua rasa benci. Mayat-mayat itu sekarang sama saja, tidak terpisah-pisah oleh golongan-golongan lagi, kesemuanya mendatangkan rasa iba dan haru di hatinya.
Mayat-mayat manusia yang mati secara sia-sia setelah menjadi mayat pun masih tersia-sia. Haruskah manusia saling bunuh seperti ini? Kembali dia menarik napas panjang, lalu turun dari atas punggung kuda. Ia memungut sebatang golok besar, kemudian digalinya lubang-lubang di tempat itu dan dikuburnya mayat-mayat itu. Lima buah mayat selubang, tanpa membedakan pakaian mereka. Ketika ia melihat setumpuk mayat yang telah menjadi arang, sebuah mayat yang agaknya terbakar, tanpa mengetahui bahwa itu adalah mayat Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, kakek jenaka dari Pulau Neraka yang pernah mengajarnya mengendalikan layang-layang raksasa sehingga tanpa disengaja menurunkan ilmu memindahkan tenaga kepadanya, Bun Beng menggeleng-geleng kepala dan tak dapat mengerti mengapa ada yang mati terbakar!
Dia lalu mengubur pula arang bekas mayat itu. Sampai jauh malam barulah selesai dia menguburkan semua mayat itu, kemudian menunggangi pula kudanya dan meninggalkan tempat mengerikan itu dengan hati berat dan perasaan muak terhadap ulah para manusia yang haus darah. Dia mengerti bahwa mereka yang menjadi korban itu hanyalah manusia-manusia yang diperalat, yang bertempur karena perintah tanpa ada permusuhan pribadi, tanpa alasan, hanya menurutkan perintah semata. Dan yang memerintahkan tentulah orang-orang yang dibencinya itu, Koksu dan kaki tangannya dan.... agaknya Ketua Thian-liong-pang juga! Diam-diam dia merasa penasaran dan kecewa sekali, apalagi kalau dia teringat kepada Milana. Mengapa gadis seperti itu, puteri Pendekar Super Sakti, terlahir di tengah-tengah lingkungan yang penuh kekejaman itu? Dia menghela napas dan menepuk-nepuk punggung kudanya.
"Kuda, engkau hanya binatang, akan tetapi pernahkah terjadi di dunia ini binatang berperang saling bunuh-membunuh seperti yang dilakukan manusia, mahluk yang merasa diri paling suci itu?"
Kuda itu tentu saja tidak bisa menjawab, akan tetapi tepukan-tepukan penuh perasaan pada punggungnya membuat dia menggerak-gerakkan ekornya sambil berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. Kwi Hong dan Phoa Ciok Lin yang hidup bersama sisa anak buah Pulau Es di tepi pantai utara, menanti kedatangan Pendekar Super Sakti sampai beberapa lamanya, namun yang dinanti-nanti tak kunjung datang.
Mereka menjadi prihatin sekali dan untung bagi mereka bahwa pantai yang bertebing tinggi dan di bawahnya terdapat guha itu merupakan tempat persembunyian yang baik. Pula di atas tebing terdapat hutan-hutan yang menjamin mereka dengan sayur-sayuran dan buah-buahan, juga mereka dapat pergi ke dusun-dusun jauh ke daratan untuk mendapatkan segala keperluan hidup mereka sehari-hari. Untuk keperluan daging mereka tidak kekurangan karena selain mereka bisa mencari ikan laut, juga di hutan terdapat binatang-binatang hutan yang dapat mereka buru. Phoa Ciok Lin hanya menyuruh mereka yang dapat dipercaya untuk naik ke daratan mencari kebutuhan mereka dengan pesan keras agar jangan sampai ada orang tahu tentang keadaan mereka dan jangan sekali-kali menimbulkan keributan.
Yang paling menderita batinnya adalah Kwi Hong. Dara ini sudah tidak betah lagi tinggal di tempat itu, dan ingin sekali dia pergi merantau, akan tetapi selalu Phoa Ciok Lin mencegahnya dan mengatakan bahwa pamannya tentu akan marah kalau dalam keadaan seperti itu pamannya datang sedangkan Kwi Hong tidak berada di situ. Untuk melewatkan waktu dan menghibur diri, Kwi Hong menyibukkan diri dengan mencari ikan atau berburu binatang di dalam hutan-hutan. Pada suatu hari, ketika dia mencari ikan ke pantai yang agak jauh dari tempat sembunyi mereka, di pantai dangkal, tiba-tiba ia melihat sebuah benda terapung di laut, terbawa ombak dan minggir. Setelah dekat, tampak olehnya bahwa benda itu adalah sebuah peti persegi panjang, diikat dengan tali.
Sebagian tali terlepas dan terseret peti yang terbawa ombak. Kwi Hong cepat lari menghampiri ketika peti terbawa sampai ke tepi dan diam-diam merasa heran mengapa peti yang kelihatan berat itu sampai dapat terbawa ombak kecil ke pantai, seolah-olah ada yang menggerakkannya. Dia menangkap ujung tali yang terlepas, lalu menarik peti ke darat. Memang cukup berat dan diam-diam ia menduga-duga benda apakah gerangan yang berada di dalam peti. Agaknya angkutan sebuah perahu yang terguling atau terjatuh ke laut, kemudian oleh ombak terdorong sampai ke tepi, pikirnya sambil menarik terus peti itu ke atas pasir sehingga ombak air laut tidak dapat mencapainya. Dengan hati berdebar, dia membuka tali yang mengikat peti itu, kemudian dibukanya penutup itu. Dengan pengerahan tenaga, dapat dia memaksa penutup yang tertutup rapat itu.
"Braaaakkkk....!"
Tutup peti terbuka dan Kwi Hong cepat menjenguk peti dengan hati yang tidak sabar lagi.
"Haiiiihhhh....!"
Dara itu menjerit dan hampir dia pingsan saking kagetnya, otomatis kedua tangannya meraba sepasang pipinya yang menjadi pucat, matanya terbelalak memandang ke dalam peti. Biarpun Kwi Hong seorang dara perkasa yang tidak takut menghadapi setan sekalipun, namun sekali ini dia benar-benar terkejut dan ngeri karena tidak menyangka-nyangka bahwa peti itu terisi sebuah.... mayat! Hati siapa takkan terkejut membuka peti yang dikira berisi barang berharga, ternyata terisi mayat seorang kakek tua yang pakaiannya masih baru akan tetapi potongannya tidak karuan itu?
"Iihhh.... hiiihhhh....!"
Kwi Hong menjerit lagi dan matanya terbelalak makin lebar, kemudian dia menggosok-gosok kedua mata dengan tangan seolah-olah tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Mayat itu dapat bergerak! Mula-mula pelupuk mata yang tadinya terpejam itu bergerak-gerak, lalu mata itu terbuka, kemudian mulut yang tak bergigi itu menyeringai dan tertawa.
"Heh-heh-heh-heh-heh!"
Kakek yang kurus kering itu melompat keluar dari dalam petinya! Setelah kini merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah mahluk hidup, bukan mayat yang hidup kembali, hati Kwi Hong menjadi tenang dan keberaniannya timbul kembali. Ia segera memandang penuh perhatian dan mendapat kenyataan bahwa biarpun kelihatannya seperti mayat, namun sesungguhnya yang berdiri di depannya, bertubuh tinggi kurus kering ini adalah seorang kakek yang sangat tua, begitu tuanya sampai tidak berdaging lagi, mukanya pucat tak berdarah seperti mayat dan matanya mengerikan karena batas antara manik mata hitam dan putihnya sudah kabur membuat mata itu seperti berwarna putih semua.
Kakek tua renta yang seperti mayat hidup ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong, tokoh utama dan pertama dari Pulau Neraka yang selama ini menyembunyikan diri saja! Barulah sesudah tanpa disengaja dia bertemu dengan Wan Keng In dalam persembunyiannya di Pulau Neraka dan dia mengambil pemuda itu sebagai muridnya, kakek ini mulai mau berkenalan lagi dengan dunia ramai, bahkan dengan dunia kang-ouw. Akan tetapi karena sudah puluhan tahun dia mengasingkan diri, mempelajari ilmu yang aneh-aneh, melakukan tapa dan pantangan yang tidak lumrah, bahkan tempat pertapaan yang paling digemarinya adalah di dalam peti-peti mati bekas mayat yang sudah tua sekali sehingga dia seolah-olah dalam puluhan tahun ini tidur bersama kerangka-kerangka manusia, maka sekali keluar di dunia ramai dia membuat geger dengan kelakuannya yang tidak lumrah manusia!
Dia ternyata amat sayang kepada Wan Keng In sehingga hanya pemuda yang menjadi muridnya itu saja yang dapat menguasainya dengan bujukan-bujukan bahkan kadang-kadang dengan teguran-teguran seperti kalau orang menghadapi anak kecil. Ketika mendengar dari muridnya akan pertemuan orang-orang pandai dari dunia persilatan yang diadakan oleh Thian-liong-pang, kakek ini menyatakan ingin menghadirinya. Keng In sudah melarang gurunya karena maklum bahwa gurunya tentu akan membikin kacau, sedangkan dia sendiri masih prihatin memikirkan Pulau Neraka yang dibumihanguskan oleh pasukan-pasukan pemerintah. Akan tetapi kakek itu nekat dan muncul secara tak terduga-duga karena sebelumnya dia sudah bersembunyi di dalam peti mati di bawah tanah dan begitu dia muncul, benar saja menimbulkan geger!
Anehnya, kakek ini seperti memiliki getaran yang ajaib sehingga secara luar biasa muncul pula dua orang sutenya di tempat pertemuan orang kang-ouw itu yang mengakibatkan tewasnya Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Keng In membawa pergi gurunya dan setengah memaksa gurunya untuk mengenakan pakaian yang telah dibelinya. Kakek itu menurut, tetapi beberapa hari kemudian ia lenyap kembali tanpa pamit! Demikianlah, secara tak terduga-duga, kakek ajaib itu berada dalam peti yang didaratkan Kwi Hong. Kiranya kakek ini timbul rindunya untuk mengunjungi Pulau Neraka, agaknya dia lupa akan penuturan muridnya bahwa Pulau Neraka telah dibumihanguskan oleh pasukan pemerintah. Akan tetapi, sebelum tiba di Pulau Neraka kakek itu ketiduran di dalam petinya sehingga peti yang merupakan perahu, dan tempat tidur itu, terbawa ombak sampai minggir dan secara kebetulan saja dia bertemu dengan Kwi Hong.
"Heh-heh-ha-ha-ha, bocah kurang ajar! Orang sedang enak-enak tidur diganggu! Kau agaknya minta dihajar!"
Cui-beng Koai-ong yang sudah berdiri di depan Kwi Hong menegur dan biarpun dari kerongkongannya terdengar suara kekeh seperti orang tertawa, akan tetapi mulutnya yang tak bergigi lagi itu cemberut, dan kedua kakinya bergantian dibanting-banting ke atas pasir seperti seorang anak kecil kalau marah dan kecewa. Kwi Hong adalah seorang dara yang berhati keras, akan tetapi menyaksikan keadaan kakek yang seperti anak-anak ini, yang amat aneh dan yang dapat ia duga tentu bukan orang sembarangan, segera menjura dengan sikap hormat dan berkata,
"Mohon maaf sebanyaknya, Locianpwe. Karena tidak tahu maka saya berani meng-ganggu, tidak mengira bahwa Locianpwe yang berada dalam peti itu...."
"Hayo berlutut dan mengaku kakekmu sebagai Sucouw (Kakek Guru Besar), baru aku mau mengampunimu!"
Dahulu ketika pertama kali berjumpa dengan Wan Keng In, kakek itu juga berkata demikian dan Keng In menuruti kemauannya, maka pemuda itu lalu diambil murid dan diajari ilmu-ilmu yang amat luar biasa. Akan tetapi Kwi Hong adalah seorang gadis yang keras hati. Sebagai keponakan dan juga murid Pendekar Siluman yang terkenal tentu saja dia tidak sudi mengaku kakek itu sebagai sucouw, karena hal itu sama saja mengakui kakek ini sebagai kakek guru dari pamannya! Kalau dia melakukan ini, berarti sebuah penghinaan telah dilontarkan kepada nama besar Pendekar Super Sakti.
"Locianpwe,"
Jawabnya dengan suara dingin.
"saya telah melakukan kesalahan yang tidak saya sengaja dan untuk itu telah mohon maaf kepadamu. Harap Locianpwe tidak menuntut yang terlalu berat. Locianpwe bukan sucouw saya, tidak mugkin saya mau mengakui Locianpwe sebagai Sucouw. Sudahlah, saya mempunyai banyak pekerjaan!"
Setelah berkata demikian, Kwi Hong membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan kakek yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya itu.
"Heeiiiihh! Berhenti! Jangan harap kau bisa pergi sebelum berlutut dan mengakui aku sebagai Sucouw!"
Kwi Hong terkejut bukan main. Dia sedang melangkah cepat, akan tetapi baru lima enam langkah, setelah meninggalkan kakek itu kurang lebih empat meter jauhnya, tiba-tiba tubuhnya ter-henti dan kakinya tak dapat digerakkan ke depan, seolah-olah ada tenaga mujijat menahannya dari depan, atau lebih tepat lagi, tenaga mujijat itu menyedot dan menahannya dari belakang! Dia menjadi penasaran, dikerahkannya sin-kangnya dan dia memaksa diri melangkah ke depan. Kakinya dapat dige-rakkan, namun langkahnya tetap di tempat, sama sekali tidak dapat maju sejengkal pun!
"Heh-heh-heh, anak nakal! Mana bisa kau pergi begitu saja sebelum memehuhi permintaanku? Hayo kembali ke sini!"
Makin kagetlah Kwi Hong ketika tubuhnya tertarik ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat, yang membuat dia ketika bertahan, hampir terjengkang.
Cepat ia membalikkan tubuhnya dan melihat betapa kakek itu hanya melambaikan tangan kiri, dari mana menyambar tenaga yang dahsyat, yang menariknya, maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan orang yang memillki ilmu kepandaian luar biasa dan yang tidak berniat baik terhadap dirinya. Dia merasa menyesal sekali mengapa dia meninggalkan Li-mo-kiam, karena untuk menghadapi lawan yang begini pandai, dia harus melawan dengan mati-matian, dan kalau pedang pusaka itu berada di tangannya, tentu dia akan dapat melawan lebih baik. Betapapun juga, melihat betapa kakek itu menyeringai mengerikan dan tubuhnya seperti terbetot ke depan, Kwi Hong membentak marah,
"Kiranya engkau iblis yang jahat!"
Dia lalu meloncat ke depan dan memukul dengan tenaga Swat-im Sin-ciang, yaitu tenaga inti es yang merupakan pukulan paling ampuh dari gadis perkasa ini.
"Cieeettt.... bukkk....!"
Tubuh kakek itu terpental bergulingan dan dia bangkit lagi sambil menggigil.
"Ihhh, dingin....! Eh, apakah kau dari Pulau Es?"
Tanyanya. Kwi Hong terbelalak. Pukulannya yang mengenai dada tadi hebat sekali, dia telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Namun kakek itu hanya terpental, dan cepat dapat bangkit lagi sambil sedikit menggigil kedinginan, bahkan dari suaranya dapat ia ketahui bahwa kakek itu sama sekali tidak terluka! Mendengar pertanyaan itu, Kwi Hong menjawab cepat untuk membikin kakek yang lihai luar biasa itu menjadi takut.
"Benar! Aku adalah keponakan dan murid dari Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Harap Locianpwe jangan mengganggu aku dan suka pergi, agar jangan membikin marah Pamanku!"
Kakek itu tertawa lebar dan Kwi Hong merasa makin ngeri. Kakek itu tertawa seperti mayat tertawa. Hanya mulutnya saja yang terbuka dan menyeringai dan dari kerongkongannya keluar suara terkekeh, akan tetapi biji matanya yang putih, wajahnya, sama sekali tidak ikut tertawa!
"Heh-heh-hah-hah-hah! Jadi engkau murid Pendekar Siluman? Kebetulan sekali. Sudah lama aku rindu untuk mengadu ilmu dengan Pendekar Siluman, sekarang bertemu dengan muridnya, dapat kuukur sampai di mana kehebatannya!"
Setelah berkata demikian, kakek itu menyerang!
Serangannya amat luar biasa, tubuhnya mengkerut pendek, kemudian tiba-tiba mencelat ke arah Kwi Hong, kaki tangannya bergerak kacau akan tetapi tahu-tahu kedua tangan yang jari-jarinya kurus seperti kerangka itu mengirim lima kali totokan secara bertubi-tubi. Gerakan ini mengingatkan Kwi Hong akan gerakan binatang kuda laut yang meloncat, atau semacam ulat yang kalau hendak meloncat selalu menekuk dan mengerutkan tubuhnya, baru tiba-tiba mencelat ke depan. Cepat ia meng-gerakkan tubuhnya mengelak, lima kali berturut-turut akan tetapi yang terakhir betapapun cepat gerakannya, tetap saja pundaknya tertotok dan tubuhnya menjadi lemas lumpuh.
"Heh-heh-heh! Tidak seberapa!"
Kakek yang mengerikan itu terkekeh, tangannya bergerak lagi ke arah pundak dan totokannya buyar. Lalu Kwi Hong meloncat bangun lagi! Ngeri hati dara ini, karena maklum bahwa kakek itu sengaja mempermainkannya, setelah berhasil menotoknya lalu membebaskan totokan itu agar dia dapat melawan lagi. Perasaan ngeri ini sama sekali bukan berarti dia takut, malah sebaliknya.
Dia menjadi penasaran dan biarpun maklum bahwa kakek itu sakti sekali, namun dia mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Maka ia cepat membalas dengan serangan cepat, mengunakan ilmu silat yang ia pelajari dara pamannya, semacam ilmu silat yang memiliki dasar ilmu Soan-hong-lui-kun. Akan tetapi tentu saja tidak seperti Soan-hong-lui-kun yang aseli karena ilmu mujijat itu hanya dapat dilatih secara sempurna oleh seorang yang kakinya tinggal sebuah. Pendekar Super Sakti telah mencipta sebuah ilmu silat yang dasarnya memakai ilmu itu, akan tetapi gerakan kakinya tentu saja disesuaikan dengan orang yang berkaki dua. Namun ilmu ini cukup hebat, tubuh Kwi Hong mencelat ke sana ke mari dan pukulan kedua tangannya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang panas, sedangkan kadang-kadang dirobah dengan Swat-im Sin-ciang yang dingin.
"Hebat.... hebat.... eh, ilmu apa ini?"
Kakek itu terkekeh-kekeh, mengelak ke sana ke mari dan kadang-kadang memberi komentar ketika menangkis pukulan-pukulan itu,
"Eh, panas.... Hwi-yang Sin-ciang, ya? Aduhhh, dinginnya, inilah Swat-im Sin-ciang! Ha-ha, akan tetapi bukan apa-apa bagiku!"
"Plak! Plak!"
Ketika Kwi Hong memukul dengan kedua tangannya berturut-turut selagi tubuhnya mencelat ke atas, menukik dan mengirim pukulan Yang-kang dan Im-kang dengan kedua tangan mengarah ubun-ubun kepala kakek itu, Cui-beng Koai-ong menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangannya dan.... Kwi Hong merasa betapa kedua telapak tangannya melekat kepada kedua tangan kakek itu, tak dapat terlepas lagi seperti tersedot oleh hawa yang mujijat. Tubuhnya masih berada di udara, kedua kaki ke atas dan kedua tangannya tersangga oleh kedua tangan Si Kakek sehingga kelihatannya dua orang itu sedang main akrobat!
"Heh-heh-heh!"
Kakek itu tertawa dan sekali dia dorongkan kedua tangannya, tubuh Kwi Hong terlempar jauh ke atas dan ke belakang. Untung bahwa dara ini memiliki gin-kang yang sudah cukup tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan jatuh ke atas tanah dengan kedua kaki yang ditekuk lututnya terlebih dulu, tidak sampai terbanting. Kwi Hong melongo dan dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka. Lebih baik lari mengambil pedang Li-mo-kiam lebih dulu, atau minta bantuan bibinya, Phoa Ciok Lin. Kalau dia meng-gunakan pedang itu dan dibantu bibinya, tentu akan dapat merobohkan kakek sakti ini. Maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari!
Pendekar Super Sakti Eps 37 Kisah Pendekar Bongkok Eps 26 Pendekar Super Sakti Eps 2