Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 29


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 29



Bahkan dengan sikap tenang sekali muncullah tiga orang kakek yang rambutnya panjang riap-riapan dan bertangan kosong, keluar dari balik pintu dan menyambut mereka dengan senyum mengejek. Kwi Hong cepat menyelinap dekat dan mendekam di atas wuwungan, sambil bersembunyi mengintip ke bawah. Dia masih tetap tidak mengerti mengapa Thian-liong-pang bermusuhan dengan orang-orang itu. Dari percakapan mereka agaknya mereka itu tidaklah bermusuhan pribadi, melainkan karena urusan pemerintah dan agaknya jelas bahwa Thian-liong-pang berada di pihak yang membantu pemerintah sedangkan dua orang Mongol dan sasterawan itu adalah penen-tang-penentang pemerintah. Akan tetapi Kwi Hong tidak tahu persoalannya dan memang sejak kecil pamannya selalu berpesan agar dia tidak mencampuri urusan pemerintah.

   "Urusan yang menyangkut pemerintah adalah urusan yang ruwet,"

   Demikian antara lain pamannya berpesan.

   "karena itu jangan sekali-kali engkau melibatkan diri dengan urusan pemerintah. Banyak terjadi pertentangan dan permusuhan karena pro atau anti suatu pemerintahan yang hanya terseret oleh rasa pertentangan golongan ataupun terdorong oleh ambisi pribadi untuk mencari kedudukan saja. Di dalam perebutan kedudukan itu terdapat lika-liku yang amat ruwet."

   Tidaklah mengherankan kalau Pendekar Super Sakti memesan muridnya atau keponakannya ini agar jangan melibatkan diri dengan urusan negara karena pertama-tama, Kwi Hong sendiri adalah puteri seorang pembesar Mancu. Apalagi kajau diingat isterinya sendiri, Nirahai, adalah puteri Kaisar! Bahkan adik angkatnya, wanita yang dicintanya sampai saat itu, Lulu juga seorang wanita Mancu. Bagaimana dia dapat menentang pemerintah Mancu? Kwi Hong mengintai dengan hati tegang ketika melihat betapa tiga orang pendatang itu kini telah menyerang tiga orang kakek Thian-liong-pang yang bertangan kosong.

   Gerakan Sepasang Biruang dari Utara itu amat ganas dan kuat. Sepasang tombak pendek di tangan mereka mengeluarkan angin mendesing dan setiap serangan mereka dahsyat sekali. Adapun permainan sepasang pit di tangan sasterawan itu halus gerakannya namun juga amat cepat dan berbahaya, jelas dapat dikenal dasar ilmu silat Hoa-san-pai yang dimainkan oleh sasterawan setengah tua itu. Namun diam-diam Kwi Hong terkejut juga melihat gerakan tiga orang kakek rambut panjang dari Thian-liong-pang. Mereka itu hebat sekali! Biarpun mereka bertangan kosong, namun gerakan mereka demikian cepat dan ringan sehingga semua gerakan lawan dapat mereka elakkan dengan mudah, bahkan mereka membalas serangan lawan dengan totokan Coat-meh-hoat dari Partai Bu-tong-pai yang amat lihai dan berbahaya!

   Baru berlangsung tiga puluh jurus saja Kwi Hong sudah dapat melihat jelas bahwa tiga orang penyerbu itu sama sekali bukanlah tandingan tiga orang kekek Thian-liong-pang yang lihai itu. Baru tiga orang saja sudah sedemikian hebat, apalagi kalau belasan orang Thian-liong-pang keluar semua! Dan pemimpin mereka tentu lihai bukan main! Kwi Hong tidak tahu siapa yang be-nar dan siapa salah dalam pertentangan di bawah itu dan tadinya diapun tidak mau peduli, tidak tahu harus membantu yang mana. Akan tetapi ketika melihat kenyataan bahwa tiga orang penyerbu itu sama saja dengan mengantar nyawa secara sia-sia, dia menjadi penasaran juga, apalagi mengingat akan penuturan pelayan restoran bahwa pihak Thian-liong-pang telah membunuh banyak orang. Tangan kanannya meraba genteng, memecah tiga potong yang digenggamnya dan dia berseru ke bawah,

   "Sia-sia membuang nyawa dengan nekat bukanlah perbuatan gagah, melainkan perbuatan goblok! Selagi masih ada kesempatan, menyelamatkan diri tidak mau pergi, lebih tolol lagi!"

   Tiba-tiba tiga sinar hitam kecil menyambar ke arah tiga orang kakek Thian-liong-pang yang sudah mendesak lawan. Mereka terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi hanya seorang saja yang berhasil meloncat ke belakang, bergulingan sampai jauh lalu meloncat bangun lagi, sedangkan dua orang kakek lainnya sudah roboh karena tertotok sambitan potongan genteng kecil itu. Mendengar suara itu dan melihat betapa tiga orang lawan mereka yang lihai diserang secara gelap, tiga orang penyerbu itu cepat melompat ke atas genteng di depan sambil berseru,

   "Terima kasih atas pertolongan Lihiap!"

   Mereka maklum bahwa ucapan itu memang tepat dan kalau sampai semua orang Thian-liong-pang turun ta-ngan, tentu mereka akan tewas secara sia-sia. Maka begitu sampai di atas genteng, ketiganya lalu pergi lari secepatnya menghilang di dalam kegelapan malam.

   "Manusia sombong yang lancang tangan!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan halus dan pintu-pintu di rumah penginapan itu terbuka disusul munculnya banyak orang yang dipimpin oleh seorang dara yang cantik jelita. Keadaan menjadi lebih terang karena di antara mereka ada yang membawa lampu. Kwi Hong adalah seorang gadis yang berwatak keras dan tidak mengenal takut. Di dasar hatinya dia sudah mempunyai rasa tidak senang kepada Thian-liong-pang yang menurut penuturan para pamannya di Pulau Es, merupakan perkumpulan besar yang bersikap memusuhi Pulau Es, kini, melihat munculnya dara yang amat cantik dan yang memakinya, dia menjadi marah dan balas memaki,

   "Kaliankah orang-orang Thian-liong-pang yang sombong? Kabarnya Thian-liong-pang adalah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang pandai, kiranya tiga orang kalian tadi sama sekali tidak ada gunanya!"

   "Bocah sombong!"

   Dua orang kakek meloncat ke atas dan gerakan mereka yang amat ringan itu menandakan bahwa mereka berdua memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada tingkat tiga orang yang tadi melawan tiga penyerbu dan yang dipukul mundur oleh potongan genteng yang disambitkan Kwi Hong.

   Dengan gerakan jungkir balik, keduanya sudah menerjang ke arah tubuh Kwi Hong dari dua jurusan, melakukan serangan yang amat dahsyat dan biarpun mereka menyerang dengan kedua tangan kosong, namun pukulan mereka mendatangkan angin keras dan merupakan pukulan yang mengandung tenaga sin-kang kuat! Namun Kwi Hong adalah seorang dara yang semenjak kecilnya berlatih sin kang di Pulau Es, di bawah pengawasan pamannya sendiri, tentu saja dia memiliki sin kang yang jarang tandingannya. Melihat datangnya pukulan dari belakang dan depan itu, cepat ia merobah kedudukan kakinya, tubuhnya dimiringkan sehingga kini pukulan itu tidak datang dari belakang, melainkan dari kanan-kiri. Tanpa menggeser kakinya, dia mengembangkan kedua lengan, memapaki pukulan itu dengan dorongan telapak tangannya sambil membentak.

   "Pergilah kalian!"

   Dua orang kakek itu yang tentu saja memandang rendah, melihat betapa gadis itu menangkis pukulan mereka dengan telapak tangan terbuka, mereka melanjutkan pukulan dengan pengerahan sin-kang agar gadis yang berani menghina Thian liong pang ini dapat dirobohkan sekali serang.

   "Desss! Desss!"

   Kedua pukulan mereka bertemu dengan telapak tangan yang halus lunak, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika tenaga sin kang mereka hanyut dan lenyap, sedangkan dari telapak tangan yang halus lunak itu keluar hawa dingin yang demikian hebat dan cepatnya menyerang mereka melalui lengan mereka sehingga mereka merasa lengan itu lumpuh dan hawa yang dingin luar biasa membuat mereka menggigil, terus hawa dingin itu merayap menuju ke dada.

   Mereka berusaha mempertahankan diri, namun dorongan hawa dingin yang luar biasa itu membuat tubuh mereka terpelanting dan terguling ke bawah. Mereka berteriak kaget, berusaha mengerahkan gin kang, akan tetapi karena rasa dingin tadi membuat tubuh mereka seperti kaku, mereka masih terbanting ke atas tanah sehingga seorang di antara mereka pingsan dan yang seorang lagi bangun duduk merintih rintih sambil memegangi pinggulnya yang terbanting keras! Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan tampaklah sinar hitam meluncur ke atas dengan cepat sekali. Sinar itu ternyata adalah sehelai tali yang meluncur keras seperti seekor ular panjang yang hidup, ujungnya bergerak-gerak dan menotok ke arah kedua mata Kwi Hong!

   Karena cuaca di atas tidaklah begitu terang, Kwi Hong tak dapat melihat ujung tali hitam dan hanya menangkap suara dan anginnya, maka dia terkejut bukan main, cepat ia menggerakkan kedua tangannya ke depan muka, selain untuk menjaga mata juga untuk menangkap benda panjang yang menyambarnya itu. Kiranya dara jelita yang memegangi tali hitam dari bawah itu lihai bukan main. Dialah yang mengeluarkan suara melengking tadi dan menggunakan tali hitam untuk menyerang Kwi Hong yang berada di atas genteng. Begitu melihat gadis perkasa di atas itu hendak menangkap ujung senjatanya yang aneh, dara ini cepat menggerakkan pergelangan tangannya dan tiba-tiba ujung tali di atas itu tidak jadi melanjutkan serangan ke arah mata, melainkan meluncur ke bawah dan tahu tahu telah membelit kaki kiri Kwi Hong dan dara itu mengerahkan tenaga, menarik tali secara tiba-tiba ke bawah!

   "Aihhh!"

   Kwi Hong terkejut bukan main. Tali itu demikian lemas sehingga ia tidak merasa ketika kakinya dibelit, tahu tahu hanya merasa betapa kakinya ditarik dengan kuat sekali dari atas wuwungan genteng! Karena tarikan itu tiba-tiba dan juga tenaga tarikan berdasarkan sin kang sedangkan tali itu pun amat kuatnya, Kwi Hong tak dapat mempertahankan kakinya lagi yang terpeleset dan tubuhnya terpelanting, jatuh ke bawah!

   "Haiiiitttt!"

   Dengan kekuatan yang luar biasa ditambah kegesitannya, Kwi Hong telah dapat menggerakkan tubuh, tangannya menyambar wuwungan sehingga tubuhnya tertahan dan kini terjadilah tarik menarik! Dara di sebelah bawah meggunakan kedua tangan yang memegang tali untuk menarik, sedangkan Kwi Hong dengan berpegang pada wuwungan genteng, mempertahankan kakinya yang terbelit tali dan ditarik ke bawah. Dia maklum bahwa kalau sampai dia jatuh ke bawah, tentu dia akan disambut oleh pengeroyokan orang-orang Thian liong pang. Dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi dalam keadaan kakinya terbelit tali dan jatuh ke bawah, tentu saja keadaannya amat berbahaya.

   Maka dia mempertahankan diri mati matian sambil mengerahkan tenaga pada tangan yang berpegang pada wuwungan. Tarik menarik terjadi. Betapapun juga, Kwi Hong tentu saja kalah posisi, dan tiba-tiba wuwungan genteng itu tidak kuat bertahan lagi. Terdengar suara keras dan wuwungan itu ambrol, genteng gentengnya runtuh ke bawah disusul tubuh Kwi Hong yang melayang turun pula. Akan tetapi untung bagi Kwi Hong karena runtuhnya wuwungan itu membuat orang-orang Thian liong pang yang berada di bawah menjadi kaget dan takut tertimpa maka mereka meloncat dan menyingkir. Dengan berjungkir balik, Kwi Hong berhasil membuka lipatan ujung tali pada kakinya dan ketika ia melayang turun dan disambut oleh orang Thian liong pang yang memukulnya, ia cepat menangkis.

   "Plak! Plak!"

   Kembali Kwi Hong terkejut. Tangkisannya membuat kedua orang itu terpental, akan tetapi kedua tangannya juga tergetar hebat, tanda bahwa dua orang yang menyerangnya itu memiliki sin-kang yang amat kuat.

   "Tar tar tar tar!"

   Ujung tali panjang itu meledak ledak di atas kepalanya dan secara berturut-turut, ketika ia mengelak ke sana sini, ujung tali itu telah menotok ke arah ubun-ubun, kedua pelipis, jalan darah di tengkuk dan tenggorokan!

   Tempat tempat berbahaya yang ditotok, dan semua merupakan serangan maut berbahaya! Kwi Hong terbelalak dan secepat kilat dia meloncat ke atas, berjungkir balik dan mengelak serta menangkis totokan ujung tali secara bertubi tubi itu. Sementara itu, para anggauta Thian liong pang sudah siap dan mencabut senjata masing-masing. Juga tampak belasan orang yang berpakaian pasukan pemerintah muncul dari pintu samping. Celaka, pikir Kwi Hong. Kiranya Thian liong pang benar-benar bekerja sama dengan pemerintah dan biarpun dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi kalau sampai dia bentrok dengan pasukan pemerintah dan dicap pemberontak, bukankah berarti dia akan menyeret nama baik kehormatan pamannya? Dia melepaskan lagi gagang Li mo-kiam yang sudah dirabanya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas.

   Empat orang anggauta Thian liong pang berseru dan melompat pula. Akan tetapi, tubuh Kwi Hong yang masih di atas itu, dapat membuat gerakan salto, membalik dan kedua kakinya menendang roboh dua orang pengejar terdekat yang juga masih berada di udara! Semua orang melongo dan kagum. Gerakan itu tiada ubahnya gerakan seekor burung garuda yang dapat menyerang! Dan memang sesungguhnya Kwi Hong mendapatkan gerakan ini karena meniru gerakan garuda tunggangannya di Pulau Es dahulu! Kini semua orang hanya berdiri melongo memandang bayangan Kwi Hong yang mencelat dan lenyap ditelan kegelapan malam. Milana, dara jelita yang mengunakan tali panjang tadi, menjadi penasaran sekali. Apalagi ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara ringkik disusul derap kaki kuda di sebelah belakang rumah pe-nginapan, mukanya menjadi merah.

   "Si keparat itu mencuri kuda kita! Hayo kejar!"

   Anak buah Thian liong pang cepat berlari larian dan di dalam malam gelap itu mulailah mereka melakukan pengejaran. Dan memang benar sekali dugaan Milana, Kwi Hong telah meloncat ke belakang penginapan dan melihat banyak kuda di kandang, timbul kenakalannya.

   Dia mencuri seekor kuda terbaik dan melarikan diri naik kuda curian itu! Gadis yang nakal itu tidak ingat bahwa dengan melarikan diri berkuda, maka dia memberi kesempatan kepada orang-orang Thian liong pang untuk mengejarnya, karena selain kuda mengeluarkan bunyi derap kaki yang cukup keras, juga di waktu terang tanah, para pengejarnya dapat mencari jejak kaki kudanya. Milana merasa penasaran sekali. Gadis cantik yang sombong itu benar benar telah menghina dan mempermainkan Thian liong pang! Harus dia akui bahwa gadis itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi belum tentu dia kalah kalau diberi kesempatan untuk bertanding secara benar benar. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah mengira bahwa gadis cantik itu adalah murid Pendekar Siluman, tidak pernah mengira bahwa dia tadi bertanding melawan Giam Kwi Hong yang pernah dijumpainya sepuluh tahun yang lalu!

   Karena mengira bahwa gadis tadi adalah seorang tokoh kang-ouw yang tentu memusuhi Thian liong pang, Milana menjadi penasaran dan belum puas hatinya kalau dia belum dapat menguji kepandaian gadis cantik tadi. Maka dia memimpin anak buahnya melakukan pengejaran dengan berkuda pula. Kwi Hong tidak kalah penasaran dibandingkan dengan Milana. Sambil memacu kudanya keluar dari dusun menuju ke selatan, tiada hentinya Kwi Hong mengomel seorang diri panjang pendek. Sungguh menggemaskan hati! Mengapa hampir saja dia celaka di tangan seorang dara remaja? Menurut penglihatannya, biarpun tidak begitu jelas, hanya melihat dari atas dan wajah gadis di bawah itu hanya ditimpa sedikit cahaya lampu, namun dia tahu bahwa dara yang cantik jelita itu usianya tentu jauh lebih muda daripada dia. Seorang dara remaja belasan tahun!

   Dan dia hampir celaka di tangannya! Demikian rendahkan kepandaiannya? Bukankah dia murid bahkan keponakan Pendekar Super Sakti, jagoan nomor satu di dunia yang tiada bandingannya? Pamannya sudah terkenal di seluruh jagat karena kesaktiannya, mengapa dia sebagai keponakan dan murid yang telah digembleng sejak kecil, melawan seorang bocah dari Thian liong pang saja hampir keok? Hemm, kalau saja tidak muncul pasukan pemerintah, tentu dia akan mengajak dara remaja dan semua anak buahnya berduel sampai mereka dapat membuka mata dan melihat siapa dia! Pedangnya tentu akan membasmi mereka semua! Kwi Hong merasa penasaran sekali. Akan tetapi, diam diam dia merasa ragu apakah dia benar benar akan menang melawan gadis kecil bersama belasan orang pembantunya yang rata rata memiliki kepandaian tinggi.

   "Hemm, kalau dikeroyok, tentu saja berat!"

   Kwi Hong berjebi.

   "Kalau main keroyokan, mereka pengecut! Kalau maju satu demi satu, aku dan pedangku sanggup mengalahkan mereka semua!"

   Kwi Hong melarikan kudanya sampai pagi, tak pernah berhenti. Dia melakukan perjalanan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi bintang bintang di langit dan menjelang pagi barulah muncul bulan sepotong. Setelah matahari mulai muncul dari balik daun daun pohon di hutan sebelah depan, Kwi Hong baru merasa aman karena tidak terdengar sejak lewat tengah malam tadi suara derap kaki kuda yang mengejarnya. Dia memasuki hutan sambil menjalankan kudanya perlahan lahan. Biarpun dia tidak tidur semalam suntuk, namun tubuhnya terasa segar tertimpa sinar matahari pagi dan memasuki hutan yang yang kelihatan segar kehijauan itu. Kicau burung dan kokok ayam hutan menyambut munculnya matahari. Pohon pohon dengan daun kehijauan dihias embun mengintan berkilauan di ujungnya. Rumput rumput hijau segar membasah dan kadang-kadang tampak berkelebatnya seekor kelinci atau kijang yang melarikan diri bersembunyi di dalam semak semak. Kwi Hong tersenyum gembira.

   Betapa indahnya pemandangan di dalam hutan di waktu pagi, setelah berbulan-bulan dia harus hidup di tepi laut yang kering dan tandus. Betapa senangnya hidup bebas seperti itu, seperti burung-burung yang berkicauan dan saling berkejaran. Tiba-tiba alisnya berkerut ketika ia melihat seekor burung jantan mengejar ngejar seekor burung betina, bercanda, berkejaran, bercuit cuit amat gembira. Teringatlah ia kepada Bun Beng dan wajahnya yang berseri gembira tadi menjadi muram. Ia menghela napas panjang. Kwi Hong tentu akan menjadi murung hatinya, berlarut larut termenung kalau saja matanya tidak tertarik oleh serombongan orang yang datang dari kiri memasuki hutan itu pula. Seketika ia lupa akan kekesalan hatinya teringat Bun Beng tadi dan kini dia menghentikan kudanya, menanti orang-orang dan memandang penuh perhatian.

   Rombongan orang berjalan kaki itu jumlahnya ada lima belas orang dan setelah mereka datang dekat, Kwi Hong terbelalak keheranan karena muka orang-orang itu berwarna-warni. Orang-orang Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Dia sudah tahu akan keanehan para penghuni Pulau Neraka, yaitu warna muka mereka yang seperti dicat itu. Sebagian besar adalah orang-orang yang mukanya berwarna kuning tua, dipimpin oleh dua orang yang bermuka merah muda. Ah, ternyata bukanlah orang-orang tingkat rendah, pikir Kwi Hong yang sudah mengerti bahwa makin muda warna muka seorang Pulau Neraka, makin tinggilah tingkatnya. Akan tetapi yang membuat dia terbelalak keheranan bukanlah kenyataan bahwa rombongan itu adalah orang-orang Pulau Neraka melainkan benda yang mereka bawa dan kawal. Benda itu adalah sebuah peti mati!

   Peti mati berukuran kecil, agaknya untuk seorang kanak-kanak tanggung, dipanggul oleh dua orang dan dipayungi segala! Yang lain-lain mengiringkan dari belakang. Begitu mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang Pulau Neraka, hati Kwi Hong sudah merasa tidak senang. Dia maklum bahwa Ketua Pulau Neraka adalah Lulu, adik angkat pamannya akan tetapi bukankah kakek mayat hidup yang ia temui di tepi pantai itu mengatakan bahwa Lulu hanyalah seorang ketua boneka saja? Dan dia pernah diculik ke Pulau Neraka, dan sikap Bibi Lulu terhadap paman amat tidak baik, apalagi bocah bernama Keng In putera Bibi Lulu itu! Dia merasa benci dan begitu melihat orang-orang yang mukanya beraneka warna itu, ingin sudah hatinya untuk menentang dan menyerang mereka. Akan tetapi, melihat peti mati itu, keheranannya lebih besar daripada ketidaksenangannya maka dia lalu berkata nyaring.

   "Heiii! Bukankah kalian ini orang-orang Pulau Neraka? Siapakah yang mati dan hendak kalian bawa ke mana peti mati itu?"

   Seorang wanita setengah tua yang bermuka galak dan seorang laki laki tinggi besar, keduanya bermuka kuning tua, meloncat maju dan memandang Kwi Hong dengan mata bersinar marah. Tentu saja mereka marah menyaksikan sikap seorang gadis yang sama sekali tidak menghormat padahal gadis itu sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan orang-orang Pulau Neraka. Sikap seperti itu sama dengan memandang rendah dan menghina. Selain itu, juga mereka sedang melakukan sebuah tugas yang amat penting dan rahasia, kini tanpa disengaja berjumpa dengan gadis itu, tentu saja mereka menjadi khawatir dan tidak senang. Wanita setengah tua bermuka kuning tua itu menjawab,

   "Bocah sombong, sudah pasti peti mati ini bukan untukmu karena engkau akan dikubur tanpa peti mati!"

   "Heiii, apa engkau gila? Aku belum mati, siapa bilang mau dikubur?"

   Kwi Hong membentak marah.

   "Setelah bertemu dengan kami, mengenal kami dan bersikap sesombong ini, apakah bukan berarti engkau menjadi calon mayat?"

   "Keparat! Engkaulah yang patut mampus!"

   Kwi Hong balas memaki, matanya yang indah itu melotot. Kedua orang bermuka kuning tua itu segera menerjang maju dan karena mereka memandang rendah kepada Kwi Hong, mereka menyerang sembarangan saja. Yang wanita menampar ke arah pundak Kwi Hong untuk membuat dara itu turun dari kuda, sedangkan yang pria menampar ke arah kepala kuda yang kalau terkena tentu akan pecah!

   "Tar! Tar!"

   Melihat kedua orang itu menyerang, Kwi Hong tidak mengelak maupun menangkis, melainkan mengelebatkan perut kudanya, mendahului mereka dengan serangan pecut. Biarpun dia tidak biasa mainkan pecut, namun berkat tenaga sin kangnya yang hebat, ujung pecut itu dua kali menyambar dan mengarah muka mereka yang berwarna kuning tua!

   "Plak! Plak! Aiiihhh....!"

   Dua orang itu cepat menangkis dan hendak mencengkeram ujung pecut, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika lengan mereka terasa nyeri dan pecah kulitnya, mengeluarkan darah begitu bertemu dengan ujung pecut yang bergerak dengan kekuatan luar biasa itu!

   "Dari mana datangnya bocah sombong berani main gila dengan penghuni Pulau Neraka?"

   Orang tinggi besar bermuka merah muda membentak keras dan bersama temannya yang bermuka merah muda pula, yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi gendut pendek, segera menerjang maju. Biarpun jarak di antara mereka dengan Kwi Hong masih ada dua meter lebih, namun mereka telah melancarkan pukulan jarak jauh. Si Tinggi Besar menghantam ke arah Kwi Hong sedangkan Si Gendut Pendek menghantam ke arah kuda yang ditungangi gadis itu.

   "Wuuuuutttt! Siuuut!"

   Kwi Hong terkejut. Bukan main hebatnya angin pukulan kedua orang itu, maha dahsyat dan mengandung bau amis seperti ular berbisa. Maklumlah dia bahwa kedua orang Pulau Neraka yang sudah agak tinggi tingkatnya melihat warna mukanya itu memiliki pukulan beracun, maka dia tidak berani berlaku lambat. Sekali enjot, tubuhnya mencelat ke atas, akan tetapi terdengar kudanya meringkik kesakitan dan roboh berkelojotan sekarat.

   "Berani kau membunuh kudaku?"

   Kwi Hong membentak, tubuhnya menukik dan meluncur ke bawah, cambuknya digerakkan bertubi tubi ke arah kepala dan tubuh Si Gundul Pendek yang sibuk mengelak sambil bergulingan.

   "Tar tar tar tar!"

   Biarpun Si Gundul Pendek itu mengelak dan bergulingan ke sana sini, namun tetap saja beberapa kali dia kena dihajar ujung cambuk sampai kepala gundulnya lecet dan bajunya robek robek. Namun temannya sudah menerjang Kwi Hong dari belakang dengan pukulan beracun yang dahsyat, membuat gadis itu terpaksa mencelat ke belakang meninggalkan Si Gundul dan siap menghadapi pengeroyokan mereka. Karena dia maklum bahwa lima belas orang itu amat lihai, maka tangan kanannya bergerak dan berbareng dengan bunyi mendesing nyaring tampaklah sinar kilat berkelebat membuat lima belas orang itu terkejut dan otomatis melangkah mundur sambil memandang ke arah pedang di tangan Kwi Hong dengan mata terbelalak.

   "Pe.... dang.... Iblis....!"

   Si Tinggi Besar bermuka merah muda berseru kaget.

   "Hemmm, kalian mengenal pedangku? Majulah, pedangku sudah haus darah!"

   Kwi Hong menantang.

   "Melihat pedang itu, kita tidak boleh membunuhnya. Tangkap hidup-hidup, pergunakan asap berwarna. Cepat, ketua kita telah menanti, jangan sampai dia marah!"

   Mendengar ini, jantung Kwi Hong berdebar.

   Dia tidak takut akan ancaman mereka untuk menangkapnya hidup-hidup dengan menggunakan asap berwarna yang ia duga tentulah asap beracun. Akan tetapi mendengar bahwa Ketua mereka telah menanti, dan agaknya berada di dekat tempat itu, dia menjadi bingung. Kalau sampai adik angkat pamannya tahu bahwa dia mengamuk, lalu maju sendiri bagaimana? Selain agaknya tak mungkin dia dapat menangkan Bibi Lulu itu, juga wanita aneh itu telah menolong dia dan penghuni Pulau Es ketika diserang pasukan pemerintah. Apalagi kalau dia teringat akan pesan pamannya, kemarahannya terhadap orang-orang ini menjadi menurun dan ia membanting kakinya sambil berseru,

   "Sudahlah, aku mau pergi saja!"

   Kwi Hong meloncat, akan tetapi dari depan menghadang enam orang anggauta Pulau Neraka dengan senjata mereka melintang. Kwi Hong marah, Pedang Li mo kiam dipercepat berubah menjadi segulung sinar kilat. Enam orang itu terkejut, menggerakkan senjata masing-masing melindungi tubuh dan terdengarlah suara nyaring berulang ulang disusul teriakan teriakan kaget kerena semua senjata enam orang itu patah patah dan tubuh gadis itu mencelat ke depan terus lari dengan cepat sekali!

   Karena takut kalau kalau rombongan orang Pulau Neraka itu melakukan pengejaran, bukan takut kepada mereka melainkan takut kalau sampai bertemu dengan Lulu, Kwi Hong berlari cepat ke selatan di mana terdapat sebuah anak bukit. Ke sanalah dia melarikan diri dengan bibir cemberut karena pertemuannya dengan rombongan Pulau Neraka itu membuat dia kehilangan kudanya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan menumpahkan kemarahannya den kejengkelannya? Betapapun juga, dia tidak mungkin dapat nekat mengamuk dan dapat menghadapi Bibi Lulu apabila wanita itu muncul. Hal ini tentu akan membuat pamannya marah sekali, sungguhpun dia sama sekali tidak akan takut apabila dia harus menghadapi Bibi Lulu sekalipun. Apalagi kalau dia teringat akan Keng In, ia bahkan ingin sekali bertemu dengan pemuda itu dan menantangnya untuk bertanding, tidak hanya mengadu kepandaian, akan tetapi juga mengadu pedang mereka.

   Bukankah Pedang Lam mo-kiam berada di tangan pemuda brengsek itu? Pedang itu adalah pedang Bun Beng, dan kalau dia dapat bertemu dengan Keng In ber-dua saja, dia pasti akan merampaskan Pedang Lam mo kiam dan ia berikan kepada Bun Beng! Ketika ia tiba di anak bukit itu, kembali ia terkejut karena ternyata bahwa bukit itu merupakan sebuah tanah pekuburan yang luas sekali! Di sana tampak batu batu bong-pai (nisan), ada yang masih baru akan tetapi sebagian besar adalah bong-pai yang tua dan tulisannya sudah hampir tak dapat dibaca, tanda bahwa tanah kuburan itu adalah tempat yang sudah kuno sekali. Ia teringat akan rombongan orang Pulau Neraka yang membawa peti. Celaka pikirnya, aku telah salah lari. Mereka itu menuju ke tempat ini untuk mengubur peti mati itu.

   Berpikir demikian, Kwi Hong berlari terus, dengan maksud hendak melewati bukit tanah kuburan itu dan untuk berlari terus ke selatan karena dia hendak mencari musuh musuh pamannya, musuh-musuh Pulau Es, di kota raja. Tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri dan kedua kakinya otomatis berhenti, bahkan kini kedua kaki itu agak menggigil! Kwi Hong takut? Tidak mengherankan kalau dara perkasa ini ketakutan. Siapa orangnya yang tidak akan menjadi seram dan takut kalau tiba-tiba mendengar suara orang tertawa cekikikan dan terkekeh kekeh di tengah tanah kuburan, sedangkan orangnya tidak tampak. Suara ketawa itu pun tidak seperti biasa, lebih pantas kalau iblis atau mayat yang tertawa! Kwi Hong seorang gadis pemberani, akan tetapi baru dua kali ini dia benar benar menggigil ketakutan dan bulu tengkuknya menegang.

   Pertama adalah ketika ia menemukan sebuah peti di tepi laut yang ketika dibukanya ternyata berisi mayat hidup! Ke dua adalah sekarang ini. Tempat itu demikian sunyi, tidak terdengar suara seorang pun manusia. Dan tiba-tiba ada suara ketawa dan agaknya suara ketawa itu terdengar dari mana mana, mengelilinginya! Ah, mana ada setan! Gadis ini berpikir sambil menekan rasa takutnya. Dahulu pun, mayat hidup itu ternyata adalah seorang kakek yang sakti, bahkan tokoh pertama dari Pulau Neraka, bukan setan. Sekarang pun pasti bukan setan, apalagi di waktu pagi ini, mana ada iblis berani muncul melawan cahaya matahari? Tentu seorang yang lihai sehingga suara ketawanya yang mengandung tenaga khi-kang itu terdengar bergema ke sekelilingnya. Kwi Hong menjadi tabah dan kini dia menahan napas mengerahkan sin-kangnya, menggunakan tenaga pendengarannya untuk mencari darimana datangnya sumber suara ketawa itu.

   Benar saja dugaannya. Suara ketawa yang mengurungnya itu adalah gema suara yang mengandung khi kang amat kuat, sedangkan sumbernya dari.... sebuah kuburan kuno! Kembali ia terbelalak dan bulu tengkuk yang sudah rebah kembali itu kini mulai bangkit lagi! Suara keta-wa dari kuburan kuno? Apalagi kalau bukan suara setan atau mayat hidup? Hampir saja Kwi Hong meloncat jauh dan melarikan diri secepatnya kalau saja dia tidak merasa malu. Biarpun tidak ada orang lain yang melihatnya, bagaimana kalau ternyata yang tertawa itu manusia dan melihat dia lari tunggang-langgang macam itu betapa akan memalukan sekali! Tidak, daripada menanggung malu lebih baik menghadapi kenyataan, biarpun dia harus berhadapan dengan iblis di siang hari sekalipun!

   "Heh heh heh heh, hayo.... biar kecil, hatinya besar, hi hi hik!"

   Nah, benar manusia, pikir Kwi Hong yang masih bingung karena suara itu benar benar keluar dari sebuah kuburan yang sudah ditumbuhi banyak rumput dan tidak tampak ada manusia di dekat kuburan itu.

   "Krik krik krik!"

   "Krek krek krek!"

   Eh, ada suara dua ekor jangkerik! Makin tertarik hati Kwi Hong, apalagi ketika kembali terdengar orang tak tampak itu bicara sendiri.

   "Eh, maju, jangan mepet di pinggir, sekali dorong kau akan jatuh! Ha, biarpun kecil mrica tua, makin kecil makin tua dan makin pedas! Ha ha ha!"

   Dengan berindap indap Kwi Hong maju menghampiri dan hampir saja dia tertawa terkekeh kekeh saking lega dan geli rasa hatinya ketika melihat bahwa yang disangkanya mayat hidup atau iblis itu kiranya adalah seorang kakek yang sudah tua sekali duduk seorang diri di atas tanah depan bong pai tua sambil mengadu jangkerik di atas telapak tangan kirinya! Kakek itu sudah amat tua, sukar ditaksir berapa usianya. Rambutnya yang riap riapan, kumisnya, jenggotnya, semua sudah putih dan tidak terpelihara sehingga kelihatan mawut tidak karuan. Pakaiannya pun longgar tidak karuan bentuknya, sederhana sekali. Kakinya memakai alas kaki yang diberi tali temali melibat libat kakinya ke atas, lucu dan kacau.

   Yang paling menarik hati Kwi Hong adalah bentuk tubuh kakek itu. Amat kecil! Kecil dan pendek, seperti tubuh seorang kanak-kanak saja! Biarpun kakek itu duduk mendeprok di atas tanah, dia berani bertaruh bahwa kakek itu tentu kalah tinggi olehnya. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak mempedulikan keadaan Kwi Hong sama sekali. Perhatiannya tercurah kepada dua ekor jangkerik di atas telapak tangannya, pandang matanya bersinar sinar, wajahnya berseri dan kedua matanya yang amat lebar itu terbelalak. Kwi Hong melangkah maju perlahan-lahan sampai dekat sekali. Ia melihat bahwa di atas telapak tangan kiri kakek itu terdapat dua ekor jangkerik yang saling berhadapan, dipermainkan oleh kakek itu dengan sebatang kili kili rumput sehingga kedua ekor binatang itu mengerik keras.

   Yang bunyi keriknya kecil adalah seekor jangkerik coklat yang tubuhnya kecil, sedangkan yang ke dua adalah seekor jangkerik hitam yang tubuhnya lebih besar dan bunyi keriknya pun lebih besar. Kwi Hong duduk perlahan lahan di sebelah kiri kakek itu, mendeprok di atas tanah sambil menonton. Dia pun tertarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat jangkerik diadu. Tentu saja pernah dia melihat jangkerik akan tetapi tidak tahu bahwa jangkerik dapat diadu seperti ayam jago saja. Dia menjadi kagum menyaksikan sikap dua ekor jangkerik itu. Setelah mengerik dan sayapnya menggembung, sungutnya bergerak-gerak, mulutnya dibuka lebar siap menyerang lawan, binatang binatang kecil itu kelihatan gagah sekali. Terutama sekali pasangan kuda kuda kakinya, kokoh kuat mengagumkan!

   "Hayo, Si Kecil Merah, biarpun kecil jangan mau kalah! Serang....!"

   Kakek itu tiba-tiba melepaskan kili kilinya yang dipegang dengan tangan kanan, diangkatnya kili kili ke atas sehingga kini kedua ekor jangkerik itu tidak terhalang kili-kili dan mereka saling terkam! Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak kagum. Baru pertama kali ini dia melihat dua ekor jangkerik itu benar benar saling terkam, melompat dengan garang dan saling gigit, kemudian saling dorong, menggunakan kaki belakang yang besar dan kuat itu untuk mempertahankan diri. Namun, tentu saja jangkerik hitam yang lebih besar itu lebih kuat. Jangkerik kemerahan atau coklat lebih kecil terdorong terus sampai ke pinggir telapak tangan, kemudian dilontarkan oleh jangkerik hitam sehingga terlempar jatuh ke atas tanah. Si Hitam mengerik bangga dan berputar putaran di atas telapak tangan kakek itu seolah-olah seorang jagoan yang menantang tanding di atas panggung luitai (panggung adu silat)!

   "Wah, Si Hitam itu hebat!"

   Kwi Hong berkata lirih memuji.

   "Puhh! Hebat apanya?"

   Kakek itu mendengus dan mendelik kepada Kwi Hong.

   "Kalau bukan kau datang mengagetkan Si Kecil Merah takkan kalah!"

   Melihat sikap kakek itu marah marah tidak karuan kepadanya, menyalahkan dia karena jangkerik kecil itu kalah. Kwi Hong menjadi mendongkol hatinya.

   "Apa? Aku yang salah? Wah, kakek sinting, memang jangkerik yang kecil begitu mana bisa menang?"

   "Siapa bilang tidak bisa menang? Kau kira yang kecil itu harus kalah? Phuah, gadis besar yang sombong!"

   "Plak! Plok!"

   Hampir saja Kwi Hong menjerit saking marahnya. Dia tidak melihat kakek itu menggerakkan tangan, akan tetapi tahu tahu pinggulnya yang berdaging menonjol kena ditampar dua kali oleh kakek itu sampai terasa panas kulitnya dan debu mengepul dari celananya yang tentu saja kotor karena dia duduk di atas tanah kering. Kwi Hong meloncat bangun, siap untuk membalas akan tetapi karena mendapat kenyataan bahwa kakek itu lihai bukan main, dapat menampar belakang tubuhnya tanpa dia melihatnya, Kwi Hong meraba gagang pedang.

   "Prokkk!"

   Kakek itu meremas ujung batu bong pai dan Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak. Batu yang amat keras itu diremas seperti orang meremas kerupuk saja, hancur seperti tepung. Dia sendiri, dengan pengerahan sin kangnya, mungkin dapat mematahkan ujung batu bongpai itu, akan tetapi meremasnya hancur, tanpa sedikit pun kelihatan mengerahkan tenaga, benar benar hebat! Maklumlah dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti, akan tetapi juga amat sinting perangainya! Tanpa mempedulikan Kwi Hong yang meloncat bangun, kakek yang bersungut-sungut itu telah menaruh jangkerik hitam yang menang ke dalam lubang yang dibuatnya di atas tanah, kemudian me-nyambar jangkerik hitam kemerahan yang kalah tadi.

   "Kau harus menang! Si Kecil harus menang! Jangan biarkan Si Besar sombong dan mengira bahwa Si Besar yang kuat!"

   Dia bersungut sungut, mengomel marah marah tidak karuan.

   "Kau harus dijantur biar besar hatimu!"

   Kakek itu mencabut sehelai rambut yang panjang, akan tetapi begitu dipandangnya, rambut putih itu dibuangnya.

   "Ah, rambut putih tidak baik untuk menjantur jangkerik, hatinya menjadi tidak berani bertempur. Heh, gadis besar! Rambutmu banyak, berikan sehelai kepadaku!"

   Biarpun Kwi Hong merasa mendongkol bukan main, namun dia mulai tertarik untuk menyaksikan bagaimana caranya kakek itu dapat memaksa jangkerik kecil maju dan mengalahkan jangkerik besar. Biarpun bibirnya sendiri tak kalah runcingnya dengan bibir Si Kakek karena dia pun cemberut, dicabutnya juga sehelai rambut dan ditiupnya rambut itu ke arah kakek yang menerimanya sambil menjepit rambut dengan kedua jari tangan.

   Diam diam Kwi Hong kagum dan kaget. Sudah begitu tua, akan tetapi pandang matanya masih luar biasa tajamnya, sehingga dapat menangkap dengan jepitan jari tangan sehelai rambut yang melayang. Kini kakek itu tidak bersungut sungut lagi, malah wajahnya berseru penuh harapan ketika dia menggunakan rambut untuk menjantur jangkerik kecil merah itu pada selakang kakinya. Kwi Hong memandang dengan heran dan ngeri. Jangkerik itu dijantur diputar putar seperti gasing kemudian dibiarkan berputar kembali pada rambut dan dimanterai oleh kakek aneh. Entah diberi mantera atau diapakan, buktinya kakek itu mulutnya berkemak kemik dekat dengan tubuh jangkerik yang berputaran. Setelah gerakan berputar itu terhenti, berhenti pula mulut yang berkemak kemik, akan tetapi tiba-tiba kakek itu meludah kecil tiga kali.

   "Cuh! Cuh! Cuh!"

   Ludah ludah kecil menyerempet ke arah tubuh jangkerik merah.

   "Awas kau kalau kalah lagi!"

   Kakek itu berkata.

   "Harus kuberi tambahan semangat!"

   Ia lalu bangkit berdiri, menjengking dan menaruh jangkerik yang masih tergantung di bawah rambut itu depan pantatnya,

   "Busssshh!"

   Kakek itu melepas kentut yang tepat menghembus ke arah jangkerik merah.

   "Ihhh....!"

   Kwi Hong mendengus dan melangkah mundur menjauhi kakek jorok (kotor) itu sambil memijit hidung. Kentut yang tidak berbunyi biasanya amat jahat baunya!

   Akan tetapi karena dia tertarik sekali, ingin melihat apakah "gemblengan"

   Yang diberikan kakek itu pada jangkerik merah benar benar manjur, Kwi Hong tidak pergi dan masih berdiri menonton. Kembali kakek itu membalikkan telapak tangan kiri, dipergunakan sebagai panggung pertandingan antara kedua ekor jangkerik itu. Jangkerik merah sudah dilepas dari rambut yang menjanturnya, ditaruh di atas telapak tangan kiri kakek itu. Jangkerik itu diam saja, agaknya nanar dan melihat bintang menari nari! Sepatutnya begitulah setelah mengalami gemblengan hebat tadi, kalau tidak nanar oleh janturan tentu mabok oleh bau kentut. Akan tetapi agaknya hal ini membuat si Jangkerik timbul kemarahannya, buktinya ketika kakek itu memainkan kili kili di depan mulutnya, jangkrik ini membuka mulut lebar lebar dan menyerang kili kili, sayapnya berkembang dan mengerik sumbang!

   "Ha ha ha heh heh, bagus! Sekarang kau harus menang!"

   Kakek itu berkata lalu mengambil jangkerik hitam dan menaruh di atas telapak tangannya pula. Dengan kili kilinya, kakek itu terus mengili jangkerik merah yang makin ganas dan bergerak maju menghampiri jangkerik hitam yang sama sekali tidak dikili, dibiarkan saja oleh kakek itu.

   "Wah, kau licik! Kenapa jangkerik hitamnya tidak dikili?"

   Kwi Hong tidak dapat menahan kemendongkolan hatinya. Dia tahu bahwa karena tubuhnya kecil pendek, kakek itu berpihak kepada jangkerik kecil dan berlaku curang.

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Eh, kalau kau berpihak kepada Si Hitam, boleh kau kili dia!"

   Kakek itu membentak marah. Akan tetapi karena Kwi Hong belum pernah mengadu jangkerik, gadis ini berjebi dan tidak menjawab, hanya memandang saja. Biarpun tidak diganggu kili kili, mendengar lawan mengerik, Si Hitam itu cepat membalik dan juga mengerik, menantang dengan keriknya yang nyaring sehingga mengalahkan bunyi kerik Si Kecil yang sumbang. Hampir Kwi Hong bersorak bangga, akan tetapi dia menahan diri, takut kalau kalau kakek sinting itu marah lagi.

   Setelah kedua jangkerik itu berhadapan dan siap, kakek aneh itu kembali melepaskan kili kilinya dari mulut Si Kecil, mencabutnya ke atas sehingga kembali dua ekor jangkerik itu saling terkam dan saling gigit. Si Kecil itu kini benar benar lebih nekat cara berkelahinya, dan agaknya gemblengan kakek tadi ada gunanya pula karena dia lebih berani, tidak mudah menyerah seperti dalam pertandingan pertama. Akan tetapi, betapapun nekatnya, karena memang kalah kuat, dia didorong terus ke pinggir dan akhirnya terjengkang ke bawah. Kalah lagi. Kwi Hong cepat melangkah mundur dan tepat seperti dugaannya, kakek itu marah marah lagi. Batu bong-pai kuno itu mengalami nasib sial! Digempur berapa kali sampai pecah pecah dan remuk remuk, debu beterbangan ke atas.

   "Sialan! Pengecut! Penakut! Kau membikin malu saja! Tidak bisa, kau tidak boleh kalah, harus menang. Harus kataku, tahu? Kalau perlu aku akan menggemblengmu selama hidupku sampai kau menang!"

   Kembali dia menaruh jangkerik hitam di dalam lubang dan mulailah ia melakukan "penggemblengan"

   Ke dua terhadap jangkerik kecil merah. Cara menggemblengnya makin gila, membuat Kwi Hong mendekap mulutnya menahan ketawa. Benar benar kakek sinting, pikirnya, akan tetapi karena Kwi Hong juga mempunyai dasar watak gembira, binal dan nakal, dia ingin sekali menyaksikan jangkerik gemblengan kakek itu benar benar akan dapat menang satu kali saja. Kalau kalah terus, dia mempunyai alasan untuk mentertawakan kakek sinting yang tadi sudah berani menggaplok pinggulnya sampai dua kali. Kalau nanti kakek itu marah, dia akan melawan dengan pe-dangnya.
(Lanjut ke Jilid 28)

   Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28
Kakek itu benar benar seperti sinting saking penasaran melihat jagonya kalah terus. Tepat seperti dugaan Kwi Hong, karena merasa bahwa dia adalah seorang yang mempunyai perawakan tidak normal, terlalu kecil pendek bagi ukuran pria, maka tentu saja kakek itu selalu berpihak kepada apa saja yang ukurannya lebih kecil! Demikian pula dalam adu jangkerik ini. Dia akan penasaran terus kalau Si Kecil belum memang, karena dia melihat seolah-olah Si Kecil itu adalah dia sendiri. Kini dia membe-nam benamkan Si Kecil Merah itu ke dalam.... air kencingnya sendiri. Tanpa mempedulikan Kwi Hong kakek itu merosotkan celananya begitu saja sehingga Kwi Hong tersipu sipu membuang muka, lalu dia melepas air kencing ke arah jangkerik merah yang ia masukkan ke dalam sebuah lubang besar di atas tanah.

   Tentu saja payah jangkerik merah kecil itu berenang di lautan kencing, sedangkan Kwi Hong yang berdiri dalam jarak sepuluh langkah saja masih mencium bau sengak seperti cuka lama, apalagi jangkerik yang kini dibenamkan ke dalam air kencing! Akan tetapi kakek itu tidak peduli. Setelah mengikatkan kembali celananya dan membenam benamkan jangkerik jagoannya sampai setengah kelenger, barulah ia menghentikan gemblengannya, membiarkan jagonya siuman di bawah sinar matahari, kemudian mulailah dia mengadu lagi dua ekor jangkerik itu. Anehnya, ketika jangkerik itu digoda kili kili, dia mengamuk, menggigit asal kena saja, akan tetapi tidak lagi mau mengerik. Dia betul-betul sudah puyeng sekarang, sudah nekat dan menyerang ke depan dengan ngawur akan tetapi pantang mundur!

   "Bagus, kau kini tidak mengenal takut lagi!"

   Kwi Hong lupa akan bau air kencing yang biarpun sudah dihisap tanah masih meninggalkan bau lumayan, karena dia tertarik maka dia mendekat lagi, bahkan kini dia duduk di sebelah kiri kakek itu, menonton penuh perhatian. Dua ekor jangkerik sudah berkelahi lagi di atas telapak tangan kakek itu. Akan tetapi jangkerik kecil itu mundur terus!

   "Kalau sekali ini kalah, kugencet dengan batu kepalamu!"

   Kakek itu mengomel dan Kwi Hong menaruh kasihan kepada jangkerik kecil merah itu.

   "Kek, tahan pantatnya dengan kili-kili. Dia masih terus melawan, belum kalah, jangan keburu dia jatuh ke bawah!"

   Kwi Hong yang melihat Si Kecil itu benar benar nekat, saling gigit tak dilepaskan lagi, menjadi tegang hatinya dan ingin melihat Si Kecil yang diingkal ingkal (didesak desak) oleh Si Besar itu dapat menang. Kakek itu tidak menjawab, akan tetapi ternyata dia menurut petunjuk Kwi Hong menggunakan kili kili untuk menahan pantat jangkerik kecil merah yang terdorong terus ke belakang. Setelah kili kili itu menahannya, pertandingan menjadi makin seru dan mati matian, dan kedua jangkerik saling gigit sampai mulut Si Kecil mengeluarkan air menguning! Jangkerik hitam yang besar agaknya penasaran, makin dikerahkan tenaga kakinya yang besar, didorongnya kepala jangkerik kecil yang sudah luka luka itu sekuatnya sehingga tubuh jangkerik kecil itu tertekan,

   Terhimpit dan tertekuk ke belakang sehingga akhirnya jatuh terlentang dan si Besar Hitam masih menggigit dan nongkrong di atasnya. Kakek itu menjadi pucat wajahnya, matanya terbelalak dan perasaannya tertusuk. Akan tetapi tiba-tiba jangkerik kecil yang kehilangan akal itu membuat gerakan membalik sehingga gigitan terlepas, dan ketika jangkerik hitam besar mengejar, Si Kecil itu menggerakkan kedua kaki besar ke belakang, menyentik dengan tiba-tiba dan gerakannya amat cepat dan kuat. Akibatnya, tubuh jangkerik hitam besar itu terlempar ke atas dan jatuh. Sial baginya dia jatuh menimpa batu sehingga kepalanya pecah dan mati di saat itu juga! Lebih aneh lagi, kini jangkerik kecil merah yang masih berada di tangan kakek itu mulai mengerik dan bergerak-gerak ke sana ke mari, seolah-olah menantang lawan!

   "Hebat dia....!"

   Kwi Hong berseru, juga girang sekali. Akan tetapi dia segera menghentikan kata-katanya dan matanya terbelalak memandang ke belakang kakek tua itu. Dari jauh tampak olehnya rombongan orang Pulau Neraka yang menggotong peti mati, berjalan menuruni anak tangga batu menuju ke arah mereka! Kwi Hong merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka itu. Akan tetapi dia terheran heran ketika melihat mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan meletakkan peti mati itu di depan mereka, terus berlutut tanpa bergerak sedikit pun. Akan tetapi kakek tua yang kate kecil itu sama sekali tidak mempedulikan mereka. Dia sedang bergembira, girang bukan main.

   "Heh heh ha ha ha, kau boleh istirahat dan sembuhkan luka-lukamu, jagoan cilik!"

   Katanya sambil melepaskan jangkerik itu ke dalam semak semak. Kemudian dia menari-nari kegirangan, tertawa-tawa dan bergulingan ke sana sini, mendekati bangkai jangkerik hitam, mengejek dan menjulurkan lidah kepada bangkai kecil itu!

   "Heh heh, kau kira yang besar harus menang? Ha ha ha!"

   Ketika ia bergulingan itu, tanpa disengaja dia bergulingan ke dekat Kwi Hong. Tentu saja gadis ini tidak mau tubuhnya terlanggar, maka dia meloncat berdiri. Gerakan gadis ini disalahartikan oleh Si Kakek sinting, disangkanya gadis itu menentangnya, apalagi dia melihat bahwa gadis itu tidak ikut bergembira bersamanya. Marahlah dia dan tiba-tiba ia menelungkup, menekan tanah dengan kedua tangan dan bagaikan kilat cepatnya, kedua kakinya menyepak ke belakang persis gaya jangkerik kecil tadi, kedua ujung kaki menghantam dari bawah ke arah tubuh Kwi Hong! Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tidak keburu lagi maka cepat ia menangkis.

   "Desss!"

   Akibat benturan ini, tubuh Kwi Hong terlempar ke udara, jauh tinggi dan "temangsang"

   Di atas dahan dahan pohon yang tinggi dalam keadaan lemas! Kakek sinting itu berseru kaget.

   "Heiii....! Wah, mengapa kau mau saja kusepak?"

   Secepat burung terbang, tubuhnya melayang ke atas tanpa mengin-jak dahan pohon, tangannya yang berlengan pendek itu menyambar tubuh Kwi Hong dan membawa dara itu meloncat turun. Sekali ditepuk punggungnya, Kwi Hong dapat bergerak kembali dan ia terlongong memandang kakek yang ternyata memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu. Setelah memulihkan kesehatan Kwi Hong, kakek itu melanjutkan bersorak gembira,

   "Ha ha ha! Hooree! Aku menemukan jurus baru yang hebat! Khusus untuk si kecil mengalahkan si besar, ha-ha ha!"

   Tiba-tiba ia melihat rombongan orang Pulau Neraka yang berlutut di situ, lalu suara ketawanya berhenti, dia membentak marah.

   "Eiiittt! Siapa suruh kalian berlutut di situ? Hayo pergi semua, jangan ganggu aku yang sedang bergembira!"

   Kwi Hong kembali terheran heran. Orang-orang Pulau Neraka yang tidak rendah tingkatnya itu, mengangguk angguk dan seperti anjing digebah mereka pergi mengundurkan diri, meninggalkan peti mati dan tampak mereka itu duduk jauh dari tempat itu, seperti sekumpulan pelayan menanti perintah majikan. Sedikit pun mereka tidak berani lagi memandang ke arah kakek sinting!

   "Heh heh heh, mereka itu menjemukan sekali. Ilmu yang baru ini mana boleh dilihat mereka? Tentu akan mereka curi kelak. Eh, gadis gede, engkau ikut berjasa dalam penemuan jurus istimewa ini, maka sudah sepantasnya kalau aku mengajarkan jurus ini kepadamu."

   Kwi Hong menggeleng kepala.

   "Aku tidak ingin mempelajari jurus yang tidak sopan itu!"

   "Wah, lagaknya! jurus tidak sopan, katamu? Hayo jelaskan, apanya yang tidak sopan!"

   "Aku adalah seorang manusia, seorang gadis pula, bukan seekor jangkerik atau seekor kuda! Kalau aku mempelajari jurus menyepak seperti jangkerik atau kuda itu, bukankah itu tidak sopan?"

   "Uwaaah, sombongnya! Mana ada jurus sopan atau tidak sopan? Hayo jawab, untuk apa engkau mempelajari jurus-jurus ilmu silat? Bukankah untuk merobohkan lawan, untuk membunuh lawan? Apakah ada cara membunuh yang sopan atau tidak? Kalau dilihat tujuannya, semua jurus yang pernah kau pelajari juga tidak sopan! Hayoh coba kau bantah!"

   Kakek itu bersikap seperti seorang anak kecil yang cerewet dan mengajak bertengkar.

   "Sudahlah, aku tak mau banyak bicara dengan tokoh Pulau Neraka!"

   "Aihhh! Siapa tokoh Pulau Neraka?"

   "Engkau, kakek sinting, apa kau kira aku tidak tahu bahwa engkau tokoh Pulau Neraka?"

   "Dari mana kau tahu?"

   "Dari mukamu yang tidak berwarna itu, seperti muka mayat!"

   Kwi Hong tidak mau bilang bahwa dia tahu karena melihat orang-orang Pulau Neraka tadi amat takut dan menghormat kakek ini karena hal itu menjadi terlalu mudah untuk menduga.

   "Ada apa dengan mukaku? Tidak berwarna? Hemm, kau mau warna apa? Hitam? Nah, lihatlah!"

   Kwi Hong hampir menjerit ketika melihat betapa muka kakek itu tiba-tiba saja berubah hitam seperti pantat kuali yang hangus! Hanya tinggal putih matanya dan dua giginya saja yang kelihatan.

   "Apa kau mau yang merah? Dan berbareng dengan ucapannya itu, muka kakek itu menjadi merah seperti dicat.

   "Atau biru? Hijau? Kuning?"

   Kini Kwi Hong melongo. Muka itu bisa berubah ubah seperti yang disebut kakek itu, seolah-olah ada yang mengecatnya berganti ganti, dan akhirnya berubah biasa lagi, muka yang pucat, muka seorang kakek yang berpenyakitan.

   "Jelas engkau seorang tokoh besar Pulau Neraka!"

   Kwi Hong berkata.

   "Kalau betul, mengapa? Apa bedanya kalau aku orang Pulau Neraka, atau Pulau Es, atau pulau kosong, atau dari puncak Gunung Bu tong san, atau dari padang pasir! Apa bedanya kalau aku terlahir sebagai bangsa ini dan bangsa itu? Tetap saja aku seorang manusia seperti juga engkau! jangan sombong kau, gadis gede...."

   "Jangan sebut sebut aku gede! Apa kau kira engkau ini masih bocah?"

   "Eh eh, yang gede bukan usianya, melainkan tubuhnya. Bukankah engkau gede sekali kalau dibandingkan dengan tubuhku?"

   "Bukan aku yang gede, melainkan engkau kate, terlalu kate, terlalu kecil! Aku biasa saja! Kau benar benar menjengkelkan orang, Kakek sinting. Siapa sih namamu?"

   "Heh heh heh, kejengkelan bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batinmu sendiri, digerakkan oleh pikiranmu, Nona. Siapa suruh engkau jengkel! Aku memang bukan orang yang besar, bukan orang ternama, aku hanyalah Bu-tek Siauw jin (Manusia Rendah Tanpa Tanding). Aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa aku adalah datuk Pulau Neraka.... heh heh heh... haa? Mengapa kau mencabut pedang? Waduhhh.... pedangmu itu....! Pedang iblis, seperti yang dipegang murid Suheng!"

   Kini Kwi Hong dapat menduga siapa adanya kakek ini. Kiranya sute dari kakek yang seperti mayat hidup, guru dari Keng In!

   "Bagus, ketahuilah, Kakek sinting. Aku adalah Giam Kwi Hong dari Pulau Es! Dan pedang ini memang benar Li-mo kiam (Pedang Iblis Betina), sedangkan Lam mo kiam yang dipegang oleh murid keponakanmu itu adalah barang rampasan, curian yang harus dikembalikan kepadaku. Sekarang setelah kita saling bertemu, dua wakil dari kedua pulau yang bertentangan, kita boleh mengadu nyawa!"

   "Mengadu nyawa? Heh heh heh, boleh! Boleh sekali! Akan tetapi kita harus bertaruh, tanpa pertaruhan aku tidak sudi susah susah keluarkan keringat!"

   Biarpun hatinya mendongkol sekali, Kwi Hong menjadi geli juga.

   "Bu tek Siauw jin, orang mengadu nyawa mana bisa bertaruh? Yang kalah akan mati, mana bisa memenuhi pembayaran?"

   "Siapa bilang mati? Kalau aku tidak menghendaki mati, mana bisa di antara kita ada yang mati? Begini, aku akan mainkan jurus baruku yang kau pandang rendah tadi untuk menghadapi pedangmu! Kalau pedangmu sampai terlepas, berarti kau kalah dan engkau harus menemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu!"

   Kwi Hong bergidik.

   "Gila! Itu sama saja dengan mati!"

   "Eiit, siapa bilang sama? Aku sudah berkali kali dikubur hidup-hidup, sampai sekarang kok tidak mati? Dikubur hidup-hidup menemaniku berarti mempelajari ilmuku dan menjadi muridku, mengerti tidak kau, perawan tolol?"

   Melihat kakek itu sudah naik pitam lagi, Kwi Hong menahan kegemasan hatinya dan berkata,

   "Kalau kau yang kalah?"

   "Kalau aku yang kalah tak usah bicara lagi karena aku tentu tidak dapat menjawabmu. Pedangmu Li mo kiam itu bukan sembarangan senjata, jauh lebih tua dan lebih ampuh daripada aku, kalau aku kalah tentu dia akan minum habis darahku. Nah, kau mulai."

   Kwi Hong menjadi serba susah.

   Biarpun dia tidak sudi menjadi murid seorang tokoh Pulau Neraka, akan tetapi untuk membunuh kakek sinting ini sebenarnya diapun tidak tega. Biarpun dari Pulau Neraka, akan tetapi kakek ini hanya sinting dan aneh, sama sekali tidak kelihatan jahat, bahkan kegalakannya terhadap orang-orang Pulau Neraka tadi, kegalakan dan kemarahannya terhadap dia, seperti main main atau pura pura saja. Selain itu, kakek ini jelas memiliki kepandaian yang luar biasa, dan dia bergidik kalau mengingat akan kepandaian kakek mayat hidup guru Keng In. Namun, demi menjaga nama dan kehormatan paman dan gurunya, dia harus menang. Apalagi dia memegang Li mokiam dan hanya dilawan dengan jurus baru yang diperoleh kakek itu dari adu jangkerik tadi.

   

Pendekar Super Sakti Eps 27 Kisah Pendekar Bongkok Eps 3 Pendekar Super Sakti Eps 42

Cari Blog Ini