Ceritasilat Novel Online

Cinta Bernoda Darah 11


Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



Demikianlah sedikit tentang keadaan negara Nan-cao dan Agama Beng-kauw yang selain berpengaruh besar di sana, juga agaknya yang membuat negara ini angkuh dan biarpun kecil merupakan negara yang kuat juga. Para penghuni istana, dari raja sampai para pengawal semua merupakan pemeluk dan penganut Agama Beng-kauw yang setia. Pada waktu itu, semua penghuni Kerajaan Nan-cao sibuk dengan persiapan mengadakan pesta besar-besaran untuk merayakan tujuh abad lahirnya Beng-kauw, juga untuk memperingati seribu hari wafatnya mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Semua orang bergembira, kota raja dihias indah dan di dekat istana dibangun ruangan besar untuk menyambut para tamu agung yang pasti akan memenuhi tempat itu.

   Seperti biasa di waktu menghadapi perayaan besar, para pimpinan Beng-kauw dan keluarga raja bekerja sama karena sebetulnya para pimpinan Beng-kauw adalah keluarga raja juga. Malah kedua orang saudara Liu yang berturut-turut menjadi ketua Beng-kauw adalah paman dari Raja Nan-cao. Akan tetapi, seperti telah terjadi belasan tahun sampai saat itu, keluarga bangsawan ini dalam kegembiraan persiapan pesta, merasa kecewa kalau teringat akan Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang belum pernah pulang ke Nan-cao. Bahkan semenjak wanita ini meninggalkan suaminya, Jenderal Kam, ia tak pernah muncul lagi, dan tak seorang pun tahu di mana adanya Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, tak tahu pula apakah ia masih hidup.

   Kita tinggalkan dulu Kerajaan Nan-cao yang sedang sibuk membuat persiapan untuk menyambut datangnya para tamu dari empat penjuru untuk menghadiri perayaan kerajaan dan Agama Beng-kauw. Perlu kita kembali dan ikuti pengalaman Lin Lin agar jalan cerita menjadi lancar.

   Dengan hati ngeri, Lin Lin merasa betapa tubuhnya terjeblos dan melayang ke bawah, ke dalam gedung perpustakaan yang amat gelap itu. Cepat ia mengerahkan gin-kangnya, akan tetapi karena ia tidak tahu betapa tingginya tempat itu, tetap saja ia berada dalam ancaman bahaya terbanting keras. Akan tetapi tiba-tiba ada tenaga yang mendorongnya dari bawah, mengurangi kecepatan tubuhnya yang meluncur ke bawah bahkan kemudian tenaga yang sama pula mendorongnya sedemikian rupa sehingga ia tahu-tahu telah berdiri di atas lantai yang halus licin. Lin Lin membuka matanya yang tadi ia tutup saking ngeri. Kiranya ia berada di ruangan yang amat lebar dan di balik tikungan ada sinar penerangan menyorot sehingga ruangan itu menjadi remang-remang. Di depannya berdiri seseorang, entah laki-laki entah wanita karena hanya tampak bayangannya yang hitam. Bayangan itu mengeluarkan seruan kaget dan heran, kemudian melangkah maju, berbisik dengan suara menggetar,

   "Aaahhhhh.. kaukah ini..? Kau datang menyusulku..? Dan tikus-tikus itu berani mengganggumu..? Jangan takut, Kanda akan melindungimu.. ah, betapa rinduku kepadamu.."

   Saking bingung dan herannya Lin Lin sampai tak dapat berkutik ketika tiba-tiba bayangan itu merangkul dan memeluknya. Baru setelah bayangan itu menciumnya, yang membuat ia merasa seakan-akan lantai yang diinjaknya amblong ke bawah dan membuat matanya melihat ribuan bintang berjoget di depannya, ia meronta dan tangannya melayang ke depan.

   "Plak-plak"

   Kedua telapak tangan Lin Lin bertemu dengan pipi yang keras.

   "Kurang ajar kau.. monyet celeng keparat kau. Kubunuh kau, binatang kurang ajar. Berani kau me.. me.."

   Seperti hiu betina mencium darah, Lin Lin menerjang maju, memukul mencakar menendang. Semua pukulan dan tendangannya tepat mengenai sasaran seperti tamparannya tadi. Bayangan itu sama sekali tidak mengelak, akan tetapi sedikit pun tidak tampak bahwa pukulan dan tendangan itu terasa olehnya. Hanya terdengar ia menggumam.

   "Ah, celaka.. aku sudah gila.. maaf Nona.."

   Lin Lin penasaran setengah mati. Pukulan dan tendangannya tadi bukan main-main akan tetapi mengapa yang dipukul dan ditendang tidak apa-apa, sebaliknya malah telapak tangannya panas-panas dan gares (tulang kering) kakinya linu dan seperti mau patah-patah? Ia marah sekali, kini mengerahkan tenaga sakti Khong-in-ban-kin dan menyerang lagi. Kalau tadi ia tidak mengeluarkan tenaga ini adalah karena ia masih belum begitu marah, hanya terlalu kaget saja. Sekarang kemarahannya memuncak. Biarpun, andaikata, orang ini telah menolongnya tidak terbanting jatuh, akan tetapi dosanya terlalu besar. Dosa tak berampun. Memeluk dan menciumnya, kemudian menerima pukulan tendangan dan tamparan tanpa merasakan sakit sedikit pun juga.

   "Uhhh, apa ini? Dari mana kau dapatkan ini?"

   Bayangan itu agaknya terkejut menghadapi jurus lihai dan tenaga sakti itu, cepat ia mengelak dan sekali melompat ia telah lenyap di tikungan depan. Lin Lin mengejar, matanya silau karena kini ia berada di sebuah ruangan yang terang sekali, diterangi lampu besar yang tergantung di setiap ujung dan di tengah-tengah ruangan. Dinding tertutup lemari yang penuh dengan buku. Dan di tengah-tengah ruangan, di bawah lampu berdirilah seorang laki-laki tampan berjubah hitam dengan gambar suling di depan dada.

   Sejenak kedua orang itu berdiri terpaku, saling pandang. Wajah laki-laki itu penuh ketegangan, matanya tak berkedip menatap wajah Lin Lin. Sukar menduga apa yang berada di balik sinar mata itu. Ada kagum, ada gembira, tapi juga kecewa, duka, dan terharu. Di lain pihak, Lin Lin merasa seakan-akan sudah terlalu sering ia melihat wajah seperti ini. Di alam mimpi. Ya, di dalam mimpi yang menjadi rahasia hatinya. Wajah ini. Ia tahu bahwa orang ini tentulah Suling Emas, dan tahu pula bahwa selama hidupnya, baru kali ini ia bertemu muka. Akan tetapi wajah ini.. dan tadi ia diciumnya. Mendadak wajahnya menjadi merah dan terasa panas, matanya mengembang air mata, jantungnya berdenyar-denyar seakan-akan hendak meledak, dadanya bergelora dan.. kedua kakinya gemetar.

   "Kau..? Kau tentu Suling Emas"

   Biarpun kau Suling Emas, suling bambu maupun suling bobrok, aku tidak takut. Kau harus mampus"

   Lin Lin sudah mencelat ke depan, menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat dari jurus Ilmu Silat Khong-in-liu-san.

   "Eh, eh, nanti dulu.. salah faham.. salah duga, maafkan. Kita bicara."

   "Bicara apa?"

   Lin Lin makin "menyala"

   Karena pukulan-pukulannya bertubi-tubi itu hanya mengenai angin belaka, agaknya amat mudah Suling Emas mengelak,

   "Kau.. kau kurang ajar.."

   Suling Emas kembali mengelak.

   "Aku salah mengenal orang.. tentu saja kau jauh lebih muda. Kau masih kanak-kanak, tapi. tapi.. wah hebat. Dari mana kau mendapatkan jurus-jurus sehebat ini?"

   Makin cepat Lin Lin menyerang, makin cepat pula Suling Emas mengelak, sambil memuji-muji jurus yang dimainkan Lin Lin. Dara ini sendiri merasa terheran-heran akan perasaan hatinya. Ia merasa bangga sekali akan pujian-pujian itu, akan tetapi di samping kebanggaan ini, ia juga gemas dan mendongkol. Jurus-jurusnya dipuji lihai, akan tetapi tidak sekalipun mengenai sasaran.

   "Huh, kalau pedangku berada di tangan, jangan harap kau bisa enak-enakan menyelamatkan diri, sayang terampas pengawal curang"

   Katanya sambil menyerang lagi.

   "Inikah pedangmu?"

   Suling Emas tiba-tiba mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya, dipegang dengan terbalik sehingga gagangnya disodorkan kepada Lin Lin. Dara ini memandang dan terkejut bukan kepalang. Memang pedang itu adalah pedangnya yang tadi terampas pengawal kurus.

   "Eh, betul bagaimana bisa berada padamu?"

   Suling Emas berkilat pandang matanya.

   "Bukan soal, coba pergunakan pedangmu"

   Kata-kata ini merupakan perintah sehingga kalau menuruti wataknya, Lin Lin tentu tak sudi menurut. Akan tetapi ia sudah terlalu mendongkol dan ingin ia memperlihatkan kelihaiannya. Cepat tangannya merenggut, karena ia mengira bahwa Suling Emas akan mempermainkannya dan pura-pura saja mengembalikan pedang. Hampir ia terjengkang ke belakang, karena kiranya pedang itu sama sekaii tidak dipertahankan oleh Suling Emas sehingga ketika ia mencabut sekuat tenaga, ia terdorong oleh tenaga tarikannya sendiri.

   "Lihat pedang"

   Teriaknya, lebih mendongkol dan marah lagi karena hampir terjengkang. Sinar kuning berkelebat dan bergulung-gulung merupakan gelombang lingkaran yang menerjang diri Suling Emas.

   "Bagus"

   Suling Emas berkelebat lenyap dan berubah menjadi bayangan yang selalu luput daripada bacokan maupun tusukan pedang.

   "Wah, jadi kau yang mencuri Pedang Besi Kuning? Hemmm, tentu dengan Kim-lun Seng-jin. Heiiiii, ilmu pedang ini, apakah kau bukan murid Kim-lun Seng-jin?"

   Makin marahlah Lin Lin, karena biarpun ia sudah berpedang, mana mungkin ia dapat merobohkan bayangan? Manusia ini tulenkah atau setan?

   "Aku bukan murid Si Gundul Pacul. Hayo kau keluarkan kepandaianmu, hayo kau pergunakan pedangmu, kita bertanding selaksa jurus sampai salah seorang menggeletak mandi darahnya sendiri"

   Tantangnya.

   Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas menarik napas panjang dan seketika wajahnya berubah, muram dan tak acuh. Tadi ia bersikap gembira dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri. Agaknya sekarang ia teringat akan keadaannya yang "tidak wajar"

   Itu, dan kembalilah ia pada sikapnya seperti yang sudah-sudah, murung dan dingin. Ia membalikkan tubuh, menghampiri meja dan duduk menghadapi kitab yang sudah sejak tadi terbuka di atas meja itu. Sama sekali ia tidak mau mempedulikan lagi kepada Lin Lin.

   "Heeiiiii, hayo bangkit. Kita bertanding"

   Lin Lin membentak. Akan tetapi Suling Emas seakan-akan tidak mendengar bentakannya dan terus saja membaca kitab. Bibirnya komat-kamit dan tampaknya asyik benar.

   "Tak sempat dan tiada nafsu bertanding.."

   Tiba-tiba Suling Emas berkata lirih dan mulutnya komat-kamit lagi membaca kitabnya.

   "Monyet, celeng, kadal, bunglon, tikus.."

   Lin Lin menyebut semua binatang yang dianggapnya paling menjijikkan, dilontarkannya semua nama binatang itu kepada Suling Emas untuk memancing perhatian dan kemarahannya.

   "Kau bunuh Ayahku, hayo kita bikin perhitungan sampai lunas"

   Tanpa menoleh Suling Emas berkata lagi,

   "Sialan, semua orang bilang aku membunuh Ayahnya. Kalau benar begitu, tentu Ayahmu patut dibunuh."

   "Apa kau bilang? Berani kau memaki Ayahku? Hayo bangun, lawan aku"

   Lin Lin mengayun-ayun pedangnya di belakang leher Suling Emas. Akan tetapi yang diancam tak bergerak dan Lin Lin bukanlah seorang yang sudi menyerang orang yang tak melawan.

   "Kau bocah kecil, banyak bertingkah, pergilah jangan ganggu orang baca"

   Biarpun kata-katanya mulai ketus, tapi Suling Emas tetap duduk menghadapi kitab dan sama sekali tidak mau menoleh.

   "Iblis, setan, siluman.."

   Lin Lin memaki-maki, kini menyebut nama semua golongan setan dan jin.

   "Hadapi aku, Aku mau bicara denganmu"

   Akan tetapi Suling Emas tetap diam saja, melirik pun tidak, Lin Lin makin marah dan jengkel mencak-mencak dan membanting-banting kaki dengan pengerahan tenaga Khong-in-ban"-kin sehingga lantai menjadi bolong-bolong dihantam kakinya yang kecil seperti digali dengan linggis saja. Kemudian ia melompat ke depan Suling Emas di seberang meja. Namun laki-laki itu tetap duduk menunduk, membenamkan matanya pada kitab. Lin Lin menggebrak meja, namun sia-sia.

   "Betul kata Enci Sian Eng, kau seperti patung, kau aneh dan tidak pedulian. Akan tetapi aku tidak mau kau perlakukan seperti Enci Sian Eng. Kau harus bangkit dan melawanku"

   Sambil berkata demikian, Lin Lin melompat naik ke atas meja itu dan membanting-banting kaki sehingga meja itu berloncatan. Tentu saja kitab di depan Suling Emas juga ikut berloncatan sehingga tak mungkin lagi membaca. Akan tetapi, bukan ini yang menyebabkan Suling Emas kini bangkit dan memandang heran, melainkan kata-kata Lin Lin.

   "Apa kau bilang? Enci Sian Eng? Kau adiknya? Jadi kau.. kau ini.. ah, ingat aku sekarang. Kau yang berada di pintu gerbang, kau bersama murid Gan-lopek. Ah, kau Lin Lin"

   Lin Lin merenggut dan melompat turun dari meja, pedangnya masih dipegang erat-erat.

   "Enaknya menyebut nama orang. Lan Lan Lin Lin, memangnya aku ini apamu? Huh, laki-laki kurang ajar, penghina kaum wanita. Memangnya aku ini apamu.. berani.. berani mencium.."

   Muka Lin Lin menjadi merah sekali dan ia tidak berani mengangkat muka.

   "Hemmm, maafkan, aku tidak sengaja. Tapi.. ah, hal itu tidak apa, tak usah kau sebut-sebut lagi. Percayalah, aku menyesal sekali.."

   Tiba-tiba Lin Lin mengangkat muka, mereka berpandangan dan.. Lin Lin menangis. Aneh memang. Tak biasa gadis ini menangis. Dia bukan tergolong cengeng, tapi kali ini mengapa air matanya terus saja membanjir tak dapat dibendung?

   "Lin.. eh, Nona Lin Lin, tentu kau sudah mendengar dari encimu bahwa aku bukanlah pembunuh Ayahmu. Mengapa kau datang ke sini? Memasuki istana bukanlah hal mudah dan bagaimana kau bisa tahu bahwa aku berada di gedung perpustakaan?"

   "Aku.. aku tahu kau bukan pembunuh Ayah. Aku mendengar percakapan Suma Boan bahwa biasanya kau di sini. Aku.. aku mencarimu hanya untuk bertanya di mana adanya Kakak Kam Bu Song. Kau tentu tahu karena kau bisa bilang kepada Enci Sian Eng bahwa Kakak Bu Song sudah meninggal dunia. Bagaimana matinya dan di mana kuburnya? Akan tetapi.. sekarang aku tidak perlu tanya-tanya lagi dan persoalan sekarang hanya bahwa kau harus melawan aku sampai mati untuk menebus dosamu."

   "Dosa..?"

   "Tadi itu.."

   "Eh..? Oh, itu..? Dengar, Lin.. eh, Nona Cilik. Kau masih kanak-kanak, dan aku sudah tua. Ciuman tadi tidak kusengaja, dan aku sudah amat menyesal. Maafkanlah dan anggap saja ciuman itu dari seorang paman atau kakak terhadap adiknya. Bagaimana?"

   Seperti seorang anak kecil manja Lin Lin membanting kaki dan menggeleng-geleng kepalanya dengan keras.

   "Tidak bisa. Mana ada aturan begitu? Masa seorang paman atau kakak mencium.. di sini..?"

   Ia menuding bibirnya. Suling Emas menjadi merah mukanya dan ia kewalahan betul menghadapi dara yang keras hati, keras kepala dan keras kemauan, pendeknya keras segala-galanya dan serba nekat ini,

   "Habis, bagaimana? Tak mungkin kutarik kembali..?"

   "Tarik kembali hidungmu"

   Lin Lin memaki-maki. Suling Emas memandang dengan mata terbelalak dan otomatis ia meraba-raba hidungnya yang disinggung-singgung oleh dara nakal itu.

   "Satu-satunya cara menebus dosa hanya mencabut pedang dan mari lawan aku sampai mampus seorang diantara kita. Penghinaan yang memalukan ini harus ditebus dengan nyawa"

   Suling Emas merasa bohwat (kehabisan akal) benar-benar.

   "Masa begitu saja dianggap penghinaan yang memalukan? Mana bisa menghina karena tidak sengaja? Dan bagaimana bisa disebut memalukan, kan tidak ada yang lihat? Nona Cilik, sekali lagi aku minta maaf dan untuk menebus dosa, aku sanggup melakukan apa saja asal jangan.. bertanding sampai mati."

   Lin Lin menahan senyumnya. Gembira benar dia, serasa kepalanya menjadi melar (membesar) saking bangga dan besar hati. Kulit hidungnya yang tipis otomatis mekar.

   Bukankah ucapan Suling Emas itu otomatis mengakui kelihaian dan kehebatannya? Bukankah itu berarti Suling Emas, pendekar besar yang ditakuti semua orang, yang dicap seorang pendekar aneh dan tiada taranya di kolong langit, yang dipuji-puji setinggi langit oleh Lie Bok Liong, Kim-lun Seng-jin, dan Sian Eng, juga yang amat ditakuti oleh Suma Boan dan kaki tangannya termasuk It-gan Kai-ong. Sekarang memperlihatkan enggan dan takut bertanding mati-matian melawannya? Kalau tidak takut, sedikitnya tentu kagum menyaksikan ilmu kepandaiannya. Tentu saja ia sama sekali tidak sadar bahwa satu-satunya yang membuat laki-laki luar biasa itu "ngeri"

   Terhadapnya adalah wataknya yang liar dan sukar dilawan itu.

   "Suling Emas, apakah kau seorang laki-laki sejati?"

   Pertanyaan yang diajukan dengan sinar mata menusuk-nusuk langsung ke jantung ini membuat pendekar aneh itu terbelalak dan alisnya yang hitam tebal itu bergerak-gerak. Baru sekarang selama hidupnya ia merasa bingung dan tak dapat menebak apa gerangan maksud di balik kata-kata pertanyaan besar itu. Akan tetapi, melihat wajah dan sikap dara remaja itu terang tidak bermaksud menghina.

   "Apa maksudmu?"

   Ia toh bertanya karena benar-benar tidak mengerti.

   "Apakah kau tergolong laki-laki yang suka menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"

   Sepasang mata Suling Emas berkilat seperti mengeluarkan cahaya berapi sehingga Lin Lin menjadi terkejut sekali dan agak takut juga. Seperti mata harimau marah, pikirnya.

   "Nona kecil, apakah kau main-main ataukah hendak menghina aku? Awas kau.."

   "Siapa main-main? Awas.. awas.. tentu saja aku awas, kalau tidak mana aku bisa melihat? Main ancam, apa dikira aku takut? Hayo, mau apa?"

   "Kalau kau tidak main-main, apa maksudnya pertanyaanmu yang bukan-bukan itu? Tentu saja aku laki-laki sejati. Suling Emas lebih menghargai nama baik daripada selembar nyawanya"

   "Dan sekali keluarkan sepatah kata, empat ekor kuda takkan mampu menarik kembali?"

   "Jangankan empat ekor kuda, nyawa terancam maut sekalipun takkan dapat menarik kembali kata-kata yang sudah kukeluarkan dari mulutku"

   Panas perut Suling Emas dan ia terheran-heran karena belum pernah ia bisa di "bakar"

   Orang selama ini.

   "Bagus, kalau begitu nyata kau seorang Eng-hiong (Pendekar) sejati, seorang satria tulen tidak campuran. Aku percaya omonganmu. Nah, dengarkan sekarang penebusan dosamu. Aku pun tidak suka bertanding sampai mati denganmu, karena aku juga maklum bahwa kau lihai sekali. Akan tetapi karena kau yang menolak bertanding sampai mati dan kau pula yang berjanji akan melakukan apa saja asal jangan bertanding, aku mengajukan tiga buah permintaan kepadamu."

   Hemmm, celaka sekali ini aku, pikir Suling Emas dan ia sudah menyesal mengapa tadi ia memberi janji segala macam. Jangan-jangan gadis liar ini akan menyeretnya untuk melakukan hal yang bukan-bukan. Diam-diam ia gemas sekali dan ingin rasanya ia menangkap bocah ini, menelungkupkannya di atas pangkuan dan menghajar pantatnya sampai matang biru. Akan tetapi Lin Lin yang cerdik pura-pura tidak melihat mata yang melotot kepadanya itu, melainkan ia cepat-cepat menyambung kata-katanya.

   "Pertama, kau tidak boleh bercerita kepada siapapun juga di dunia ini, kepada isterimu pun tidak.."

   "Aku tidak punya isteri"

   "Masa..?"

   Lin Lin duduk menunjang dagu dengan kedua tangan dan memandang tajam. Mereka sudah sejak tadi duduk berhadapan lagi, terhalang meja.

   "Kenapa sih? Usiamu sudah lebih daripada cukup. Kurasa tiga puluh tahun sudah ada.."

   Suling Emas menarik napas panjang, sejenak memandang wajah Lin Lin, kemudian menunduk dan menggerakkan kedua pundaknya yang bidang.

   "Aku takkan punya isteri.. siapa akan sudi padaku..?"

   Tiba-tiba pandang mata Suling Emas merenung dan tampak sedih sekali.

   "Akan tetapi kelak kau tentu akan mengubah pendirian ini dan kelak kau tentu akan punya seorang isteri yang cantik jelita dan baik.."

   Suling Emas menggebrak meja dan.. keempat kaki meja itu amblas sampai belasan sentimeter ke dalam lantai yang keras. Tiba-tiba meja menjadi pendek.

   "Apa-apaan semua ini? Melantur-lantur urusan isteri dan pernikahan segala macam?"

   Lin Lin sadar, menurunkan kedua tangannya, keningnya berkerut-kerut, mengingat-ingat,

   "Ah, oh.. sampai di mana aku tadi? Oya, permintaan pertama, kepada siapapun juga di dunia ini, juga tidak kepada.. calon isterimu, kau tidak boleh bercerita tentang yang tadi itu. Sanggupkah?"

   Lega bukan main hati Suling Emas. Kiranya hanya macam begini saja permintaan dara gila ini. Saking gembiranya dan lega hatinya mendengar bahwa permintaan yang belum apa-apa sudah ia janji menyanggupi itu ternyata bukan permintaan yang bukan-bukan, timbul kegembiraannya untuk menggoda. Ia pura-pura tidak mengerti dan bertanya,

   "Tentu saja aku sanggup kalau hanya untuk tutup mulut, tapi harus dijelaskan, tidak boleh bercerita tentang apa?"

   "Tentang tadi itu, lho."

   "Tentang tadi? Ada apa sih tadi? Tentang kau datang ke istana dan bertempur melawan para penjaga?"

   "Bukan.. bukan"

   Kalau tentang itu saja boleh kau ceritakan kepada setiap orang yang kau jumpai. Bukan itu, tapi tentang.. eh, tentang antara kita tadi itu."

   Suling Emas menarik muka bodoh, longang-longong seakan-akan ia benar-benar tidak mengerti.
(Lanjut ke Jilid 11)

   Cinta Bernoda Darah (Seri ke 03 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11
"Eh, tentang pertandingan kita tadi? Baik, aku akan tutup mul.."

   "Kau buka sehari semalam juga peduli amat kalau tentang itu. Wah, tidak nyana bahwa Suling Emas yang namanya lebih tinggi dari puncak Thai-san, kiranya hanya seorang laki-laki yang amat bodoh. Itu lho, tentang kekurangajaranmu tadi, kau peluk aku dan kau.. kau.."

   Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Melihat betapa wajah itu di bawah sinar lampu yang terang menjadi amat merah, Suling Emas merasa kasihan juga. Ia mengangguk-angguk.

   "Baik-baik, aku mengerti sudah. Aku sanggup untuk tutup mulut tentang hal itu."

   Lin Lin menarik napas panjang. Ia merasa lega dan hal itu akan merupakan rahasia antara mereka berdua saja.

   "Dan kau akan membantu usaha kami mencari Kakak Kam Bu Song dan pembunuh ayah bunda kami."

   "Sanggup"

   Tanpa banyak pikir lagi Suling Emas menjawab sambil mengangguk.

   "Dan kau akan membawa aku bersamamu dalam usaha mencari Kakak Kam Bu Song dan musuh besarku. Sanggup?"

   "Wah.. ini.. ini.."

   Suling Emas meragu. Lin Lin tersenyum mengejek dan menudingkan telunjuk kanannya ke arah hidung Suling Emas.

   "Nah-nah, janjinya menyanggupi segala macam permintaan, baru begitu saja sudah menolak.."

   "Menolak sih tidak, tapi.. mencari orang yang tidak tentu tempatnya, membutuhkan waktu yang tidak dapat diduga berapa lamanya. Pula, besok aku akan pergi ke Nan-cao mengunjungi perayaan Agama Beng-kauw.."

   Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu,

   "Ah, di sana berkumpul semua tokoh kang-ouw, kurasa akan dapat bertemu dengan pembunuh ayah bundamu di sana."

   "Nah, kalau begitu bawalah aku ke sana."

   "Tapi.. pembunuh ayah bundamu tentulah seorang yang amat lihai lagi jahat"

   "Takut apa? Kau kira aku takut? Lagi pula, aku tidak minta perlindunganmu. Aku hanya minta kau mengajak aku dalam usaha mencarinya. Nah, bagaimana jawabnya?"

   Suling Emas mengerutkan kening, berpikir-pikir, lalu mengangguk-angguk.

   "Perlu juga seorang bocah seperti kau ini menghadapi banyak pengalaman. Di Nan-cao kau akan melihat dan mendengar banyak. Baiklah, aku sanggup. Besok aku akan menjemputmu di kelenteng itu."

   Bukan main girangnya hati Lin Lin. Ia dapat membayangkan sudah betapa encinya akan membuka matanya yang jeli itu lebar-lebar memandangnya kalau mendengar akan janji-janji Suling Emas kepadanya.

   "Sebuah permintaan lagi, kau harus memperkenalkan nama aselimu kepadaku dan aku pasti akan merahasiakannya kalau memang kau kehendaki itu."

   Suling Emas tampak terkejut sekali, akan tetapi ia segera mengangkat telunjuknya ke atas dan berkata ketus,

   "Anak nakal, sekali ini aku takkan menyanggupi apa-apa lagi. Kau minta aku memegang teguh kata-kata yang sudah keluar, akan tetapi kau sendiri mengapa hendak melanggar omongan sendiri?"

   "Aku? Melanggar omonganku sendiri? Mana bisa..?"

   "Kau tadi bilang hendak mengajukan tiga macam permintaan. Pertama, aku tidak boleh bercerita kepada orang lain bahwa aku sudah memeluk dan menciummu. Ke dua, aku akan membantumu mencari kakakmu dan musuh besarmu. Ke tiga, aku akan membawamu serta ke Nan-cao. Nah, sudah cukup tiga, bukan? Tak boleh diberi embel-embel lagi"

   Lin Lin menyesal bukan main.

   "Wah, aku salah. Kalau begitu boleh ditukar. Permintaan pertama itu kutukar dengan permintaan ini dan.."

   "Cukup. Aku tidak mau bicara lagi. Sekarang kau kembali ke kuil dan besok aku akan menjemputmu, kita bersama berangkat ke Nan-cao"

   Setelah berkata demikian, kedua tangannya bergerak dan.. tiba-tiba semua lampu penerangan di dalam ruangan itu padam.

   "Ikuti aku keluar.."

   Bayangan hitam itu berkata perlahan. Lin Lin terpaksa mengikuti dan ternyata mereka keluar dari pintu samping yang ditutup kembali oleh Suling Emas dari luar. Orang aneh itu sekali bergerak sudah melompat tinggi dan ternyata ia menyambar benderanya di atas genteng, lalu melayang turun lagi. Gerakannya demikian ringan dan cepat laksana seekor burung garuda terbang melayang saja, membuat Lin Lin kagum bukan main. Suling Emas bergerak lagi dan Lin Lin mengikuti terus.

   Dapat dibayangkan betapa heran dan kagumnya hati Lin Lin ketika Suling Emas membawanya keluar dari lingkungan istana itu dengan enak saja, berjalan melalui jalan di antara gedung-gedung besar, kemudian menerobos keluar dari pintu gerbang. Para penjaga yang berada di situ, terang melihat mereka berdua, akan tetapi jangankan mengganggu, berkata sepatah pun tidak seakan-akan Suling Emas dan Lin Lin merupakan dua sosok bayangan yang tidak tampak oleh mereka. Setibanya di luar, Suling Emas berkata,

   "Nah, selamat malam. Besok kujemput di kuil,"

   Begitu habis kata-katanya orangnya pun lenyap. Bukan main, pikir Lin Lin. Lebih hebat lagi, ia sudah berhasil "menundukkan"

   Orang luar biasa macam itu. Mulai besok, dia akan melakukan perjalanan jauh bersama Suling Emas. Lin Lin berjingkrak-jingkrak dan berlari-lari cepat sekali. Ingin ia lekas-lekas sampai di kuil untuk menceritakan hal yang amat membanggakan hatinya itu kepada encinya. Betapa akan terlongong heran enci Sian Erg, bisik debar jantung Lin Lin. Akan tetapi alangkah heran dan kemudian bingung hatinya ketika ia tiba di kuli, Sian Eng ternyata tidak berada di situ. Para hwesio yang ditanyainya menerangkan bahwa encinya itu pergi meninggalkan kuil tidak lama setelah Lin Lin pergi petang tadi.

   "Pinceng semua tidak tahu ke mana perginya, dia tidak meninggalkan pesan dan pinceng tidak berani bertanya."

   Memang para hwesio di kuil itu amat menghormati Sian Eng dan hal ini adalah karena yang membawa datang gadis itu adalah Suling Emas.

   Tergesa-gesa Lin Lin memasuki kamar di sebelah belakang kuil itu. Kamar itu kosong dan hatinya tidak enak sekali rasanya ketika melihat bahwa bukan hanya Sian Eng yang lenyap dari kamar itu, melainkan bungkusan pakaian encinya, juga pedangnya, turut lenyap. Hal ini hanya berarti bahwa encinya memang sengaja pergi dari situ. Bukan pergi dekat-dekatan saja, melainkan pergi melakukan perjalan jauh, karena kalau tidak demikian, apa perlunya membawa-bawa bekal pakaian. Akan tetapi, kalau benar demikian, mana bisa jadi? Masa encinya pergi jauh tanpa memberi tahu kepadanya? Hanya satu hal yang melegakan hatinya. Agaknya encinya itu tidak diculik orang atau dibawa pergi orang dengan kekerasan, karena kalau demikian hainya, tentu encinya tidak membawa serta pakaiannya.

   Lin Lin semalam tak dapat tidur. Baru saja bertemu dengan encinya, sekarang ia ditinggal pergi lagi dengan aneh. Sekali lagi ia berpisah dari Bu Sin dan Sian Eng, tanpa mengetahui di mana adanya mereka berdua. Diam-diam Lin Lin mendongkol sekali. Mengapa Sian Eng meninggalkannya begitu saja? Ada rahasia apakah di balik perbuatan yang amat ganjil ini? Hatinya baru tenteram dan kebingungannya berkurang banyak kalau ia teringat akan Suling Emas. Orang itu hebat, kepandaiannya seperti setan. Sekarang ia sudah dapat "bersahabat"

   Dengan Suling Emas, tentang lenyapnya Sian Eng, apa sih sukarnya bagi Suling Emas? Besok aku akan minta dia mencari Slan Eng lebih dulu, pikirnya. Akan tetapi segera ia teringat betapa aneh dan sukar watak Suling Emas. Belum tentu ia mau menuruti permintaannya, buktinya, ditanya nama sesungguhnya saja tidak mau memberi tahu. Lin Lin bersungut-sungut dan duduk termenung di dalam kamarnya tak dapat tidur.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali seorang hwesio pelayan memberi tahu bahwa ada seorang tamu mencarinya. Lin Lin meloncat dari pembaringan, langsung keluar dari dalam kamar. Dengan rambut kusut dan wajah gelisah ia berlari keluar untuk menyambut Suling Emas dan cepat bercerita tentang lenyapnya Sian Eng. Akan tetapi wajahnya berubah ketika ia melihat bahwa laki-laki yang duduk di ruangan depan itu sama sekali bukan Suling Emas yang diharap-harap kedatangannya, melainkan Lie Bok Liong. Akan tetapi, hanya sebentar saja rasa kecewa ini menekan hatinya, karena ia segera meraih harapan bahwa sahabat ini berhasil mendapat tahu tentang di mana adanya Bu Sin kakaknya.

   "Liong-twako, bagaimana dengan Sin-ko? Sudah tahukah kau di mana adanya Sin-ko?"

   Sejenak Bok Liong menatap wajah dengan rambut kusut itu dengan hati berguncang. Selama dua hari berpisah dari Lin Lin, makin terasalah ia betapa ia tak mungkin dapat terpisah dari gadis ini. Yang dua hari itu ia merasakan siksaan batin yang kosong dan sunyi, akibat daripada kebahagiaan yang selama ini ia rasai di dekat Lin Lin telah direnggutkan dari padanya. Betapa rindunya kepada dara itu, akan tetapi ia menguatkan hati dan dengan tekun ia mencari keterangan tentang diri kakak nona itu sampai keluar kota raja.

   Harus diakui bahwa pemuda ini mempunyai hubungan yang amat luas dan di sekitar kota raja, boleh dibilang di setiap dusun dan kota ia tentu mengenal seorang tokoh. Inilah sebabnya mengapa dalam waktu dua hari saja ia telah berhasil dalam penyelidikannya dan dengan hati girang pagi-pagi itu ia menuju ke kuil. Selama dua hari ini ia tidak pernah beristirahat dan dalam hal wajah dan rambut kusut agaknya ia tidak usah kalah oleh Lin Lin"

   Mendengar pertanyaan membanjir keluar dari mulut dara pujaan hatinya itu, ia tersenyum girang. Namun hanya sebentar saja ia tersenyum karena ia segera teringat bahwa biarpun ia sudah berhasil mendapatkan berita tentang Bu Sin, namun bukanlah berita baik yang dapat disampaikan kepada Lin Lin dengan senyum gembira"

   "Lin-moi, aku sudah berhasil mendengar berita tentang kakakmu itu, akan tetapi sebelumnya kuharap kau akan tenang dan percayalah kepadaku bahwa aku selalu akan membantumu mencari dan menyusul kakakmu, biarpun untuk itu aku harus menyeberangi samudera api.."

   "Aku tahu kau akan membantuku, tapi bukan itu yang ingin kudengar. Lekas katakan, bagaimana dengan Sin-ko?"

   Lin Lin memotong, habis sabar.

   "Menurut kabar yang kudapat, agaknya kakakmu itu terjatuh ke dalam tangan Siang-mou Sin-ni, Si Iblis Betina yang amat lihai. Tapi percayalah, kakakmu tidak dibunuh. Aku sudah cukup mengenal watak iblis betina itu. Dia sedang meyakinkan sebuah ilmu hitam yang amat ganas dan syaratnya adalah menghisap darah jejaka hidup-hidup. Banyak sudah yang menjadi korbannya dan aku yakin bahwa kakakmu tidak menjadi korbannya karena biasanya ia meninggalkan mayat laki-laki yang dihisapnya sampai mati. Kakakmu lenyap dan jejaknya menyatakan bahwa dia dijadikan tawanan Siang-mou Sin-ni. Menurut keterangan yang kukumpulkan, aku tahu bahwa iblis itu pergi ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Agama Beng-kauw. Maka, tenanglah dan mari kau ikut denganku ke Nan-cao, kita kejar siluman itu dan dengan tenaga kita berdua, kiraku kita akan dapat merampas kembali kakakmu."

   Mendengar cerita Bok Liong, Lin Lin terkejut sekali. Akan tetapi otaknya bekerja dan ia segera menjawab,

   "Liong-twako, kau benar-benar baik sekali. Terima kasih atas pertolonganmu. Karena sudah jelas bahwa Sin-ko ditawan Siang-mou Sin-ni dan dibawa ke Nan-cao, biarlah aku sendiri yang akan mengejar iblis itu dan merampas Sin-ko."

   "Wah, kau tidak tahu"

   Siang-mou Sin-ni adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai, seorang di antara Enam Iblis yang kepandaiannya luar biasa sekali, tidak di sebelah bawah tingkat It-gan Kai-ong"

   "Apakah lebih sakti daripada Suling Emas?"

   Tanya Lin Lin dengan sikap dingin, seakan-akan ucapan Bok Liong tadi "bukan apa-apa"

   Baginya.

   "Kalau dengan dia.. ah.. sukar dikatakan.."

   "Nah, menghadapi Suling Emas saja aku tidak takut. Apalagi segala macam manusia iblis seperti Siang-mou Sin-ni? Liong-twako, harap kau jangan banyak membantah. Bukankah kau sudah bilang bahwa kau suka sekali membantu dan menolongku?"

   "Tentu saja. Karena itulah aku akan mengantarmu mengejarnya."

   "Tidak, Twako. Kau tidak tahu. Kita membagi tugas sekarang. Ketahuilah bahwa Enci Sian Eng juga lenyap. Baru malam tadi ia lenyap."

   "Apa..?"

   Bok Liong berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak, lalu menggaruk-garuk belakang telinga yang tidak gatal. Benar-benar tiga saudara ini orang-orang yang aneh sekali, selalu lenyap seperti barang kecil berharga saja. Apakah mereka itu tidak mampu menjaga diri sendiri sehingga mudah hilang?

   "Karena itulah, Twako. Aku minta bantuanmu sekarang, kuminta sungguh-sungguh agar supaya kau suka mencari jejak Enci Sian Eng. Kalau kau sudah dapat menemukannya dan dia dalam keadaan selamat, barulah kau boleh menyusulku. Aku akan mengejar jejak Sin-ko yang diculik iblis betina itu."

   Sebenarnya Bok Liong kecewa sekali, akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menolak, apalagi dara pujaan hatinya itu mengajukan permintaan dengan suara penuh permohonan dan sinar mata mengharap.

   "Baiklah, aku akan cepat mencari dan menemukannya, kemudian aku akan menyusulmu ke Nan-cao. Kuharap saja kau tidak akan berjumpa dengan Siang-mou Sin-ni sebelum aku berada di dekatmu untuk membantu."

   Bok Liong berpamit dan keluar dari situ, akan tetapi sampai di pintu ia menengok dan suaranya menggetar ketika ia berkata,

   "Lin-moi, kau melakukan perjalanan seorang diri mengejar orang sejahat iblis, kau berhati-hatilah, jaga dirimu baik-baik."

   Lin Lin tersenyum. Ia menganggap pemuda ini baik sekali kepadanya, seperti kakak sendiri. Tentu saja ia tidak dapat menduga bahwa suara tadi keluar dari lubuk hati dan mengandung rasa kasih yang besar dan mendalam.

   "Oya, Twako, kau lupa. Kalau kau bertemu dengan Enci Sian Eng, kau harus ajak dia sekalian menyusulku. Sekali lagi terima kasih, Liong-twako. Kau seorang yang amat baik dan aku takkan melupakan budimu."

   Tentu saja hati Bok Liong menjadi girang bukan main. Dara pujaannya itu takkan melupakan budinya. Bukankah ini merupakan sebuah janji tersembunyi, Sama sekali pemuda yang jujur ini tidak tahu bahwa di dalam hati Lin Lin, gadis ini mengharapkan terangkapnya hati encinya dengan pemuda yang amat baik dan gagah ini. Baru saja Bok Liong pergi, terdengar suara,

   "Dia telah bersikap baik sekali, tapi yang dibaiki tidak tahu diri"

   Lin Lin cepat menengok dan.. Suling Emas telah berdiri di situ. Seketika kegelisahan yang membayangi wajah cantik itu lenyap terganti cahaya berseri pada matanya dan warna merah pada kedua pipinya.

   "Apa kau bilang? Liong-twako memang baik sekali orangnya dan siapa bilang aku tidak tahu diri?"

   Suling Emas menarik napas panjang, menyembunyikan gelora dadanya yang aneh sekali baginya. Mengapa melihat wajah gadis cilik ini di waktu pagi, mengingatkan ia akan setangkai bunga mawar dalam hutan yang masih basah oleh embun pagi dan yang selalu mendatangkan rasa aman tenteram di hatinya? Lalu katanya acuh tak acuh agar gelora hatinya terselimut,

   "Dia cinta padamu dan menghendaki kau pergi bersamanya. Ah, kau suka menyiksa hati orang.."

   Sepasang pipi itu menjadi makin merah dan jantung Lin Lin berdebar. Seperti dibuka kedua matanya oleh ucapan Suling Emas ini. Lie Bok Liong mencintanya? Ucapan tentang cinta ini membuat ia memandang Suling Emas lebih teliti lagi, karena perasaan wanitanya membuka rahasia hatinya sendiri. Bok Liong boleh seribu kali mencintanya, akan tetapi ia hanya dapat mencinta seorang saja, yaitu.. Suling Emas. Lin Lin terkejut dan sekuat tenaga batinnya menolak perasaan ini, membantah, namun ia hanya berhasil melawannya pada lahirnya belaka, adapun hatinya makin erat terpikat dan terikat, makin hebat terlihat jaring cinta kasih.

   "Siapa peduli tentang.. cin.. cinta? Bagaimana kau menuduh secara buta tuli bahwa aku menyiksa hati orang? Hanya Liong-twako yang kupercaya penuh untuk mencari Enci Sian Eng yang lenyap.."

   "Lenyap..?"

   Suling Emas memandang tajam.

   "Hemmm, kau tidak tahu. Enci Eng pergi tanpa pamit, entah ke mana. Pakaian dan pedangnya dibawa, tentu pergi jauh. Aku minta tolong kepada Liong-twako untuk pergi mencarinya karena aku sendiri hendak pergi mengejar jejak Bu Sin koko yang diculik oleh Siang-mou Sin-ni."

   "Apa..?"

   Kali ini Suling Emas mengerutkan keningnya.

   "Dari mana kau tahu?"

   "Liong-twako memang baik dan hebat"

   Lin Lin sengaja memuji-muji di depan Suling Emas.

   "Dalam dua hari saja ia berhasil mendapat keterangan bahwa Sin-ko telah dibawa pergi oleh seorang iblis betina berjuluk Siang-mou Sin-ni dan dibawa ke Nan-cao. Karena itu, kebetulan sekali bahwa kita pun akan pergi ke Nan-cao sehingga kita dapat mengejar iblis itu dan sekalian mencari tahu tentang Kakak Bu Song dan musuh besarku."

   Wajah Suling Emas kelihatan serius sekali,

   "Non.."

   "Wah, kau canggung benar. Repot aku kau sebut nona-nona segala macam. Sebut saja namaku, kau kan sudah tahu namaku? Aku sendiri karena tidak tahu siapa namamu, akan menyebut kau Suling Emas begitu saja, atau.. Si Suling saja karena kau memang tinggi janggung seperti suling."

   Kembali sepasang mata itu berkilat dan untuk beberapa detik wajah yang serius itu berseri. Akan tetapi hanya sebentar dan kembali wajahnya muram.

   "Lin Lin, kali ini kau jangan main-main. Kau tidak tahu, tidak mengenal Siang-mou Sin-ni. Dia benar-benar iblis yang jahat, malah dia seorang di antara Thian-te Liok-koai. Kakakmu terjatuh di dalam tangannya, berbahaya sekali.."

   "Maka kita harus lekas mengejarnya. Hayo kita berangkat.. eh, nanti dulu, aku belum berganti pakaian dan cuci muka.. bersisir.."

   "Apa kau kira kita akan pergi ke pesta? Begitu saja sudah cukup ambil bekalmu dan kita berangkat"

   "Tapi.. tapi.."

   Lin Lin tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Suling Emas sudah memutar tubuh dan keluar dari kuil itu. Terpaksa ia tergesa-gesa memasuki kamarnya, menyambar buntalan pakaian yang sudah ia persiapkan, membawa pedangnya dan berjalan cepat keluar. Ia berpamit kepada pimpinan kuil sambil menghaturkan terima kasih, kemudian ia berlari keluar. Kiranya Suling Emas tidak menantinya dan sudah berjalan pergi beberapa ratus meter jauhnya.

   "Heeeiiiii, tunggu.."

   Teriaknya sambil berlari mengejar. Suling Emas berjalan terus tanpa menengok. Dari belakang tampaknya orang aneh itu hanya berjalan biasa, kedua kakinya bergerak melangkah lambat-lambat. Akan tetapi anehnya, betapapun cepatnya kedua kaki kecil Lin Lin bergerak lari sipat kuping, tetap saja jarak antara mereka tiada perubahan, kira-kira tiga ratus meter jauhnya.

   "Hemmm, kini kau akan menguji ilmu lari cepat?"

   Lin Lin mengomel gemas, lalu ia mengerahkan seluruh tenaga gin-kang dan menggunakan tenaga kesaktiannya, yaitu Khong-in-ban-kin yang dapat membuat ia bergerak laksana burung walet terbang cepatnya. Diam-diam Suling Emas terkejut dan juga kagum. Kemudian ia pun mempercepat gerakannya. Lin Lin terus mengejar, penasaran bukan main ketika dari belakang Suling Emas tetap saja kelihatannya seperti orang berjalan biasa. Lebih dua jam mereka berkejaran ini sampai lewat puluhan li jauhnya. Setelah Lin Lin bermandi keringat dan napasnya mulai memburu barulah ia dapat menyusul. Suling Emas berhenti dan memandangnya, pandang mata yang jelas membayangkan kekaguman.

   "Huh.. huh.. Kau kira aku tidak mampu mengejarmu? Huh.. huh.. semua orang boleh menganggapmu hebat.. tapi.. huh.. huh.. bagiku biasa saja.."

   Dia antara napasnya yang senin-kemis itu Lin Lin mengejek dan menyombong. Suling Emas memandang tajam. Dia ini sama sekali tidak nampak lelah. Wajahnya biasa saja tidak tampak setetes pun peluh dan napasnya juga panjang-panjang biasa,

   "Lin Lin, ilmu yang kau warisi dari Kim-lun Seng-jin ini hebat. Sayang sekali.."

   "Sayang? Apanya yang sayang?"

   "Sayang kau tidak menghargainya sehingga kau menjadi tolol dan sombong"

   Lin Lin menggigit bibirnya, kedua tangannya dikepal dan sudah gatal-gatal tangannya untuk menerjang dan menyerang untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Sepasang matanya bersinar-sinar seakan hendak menelan orang di depannya itu hidup-hidup. Akan tetapi ia menahan perasaannya karena ingin sekali ia mendengar arti pernyataan yang tak dimengertinya itu.

   "Kalau benar aku tolol dan sombong, mengapa sayang? Apa pedulimu dan apa hubungannya dengan ilmu yang kupelajari dari Kim-lun Seng-jin?"

   "Seorang anak-anak yang goblok tidak akan tahu akan harganya sebuah mustika dan akan menganggapnya batu biasa saja dan dipakai main-main. Kau pun tidak dapat menghargai ilmu warisan dari Kim-lun Seng-jin sehingga kau main-main dengan ilmu itu, maka kau tolol. Orang yang menganggap diri sendiri sudah hebat tiada bandingnya, dia adalah seorang sombong dan kau juga selalu mau menang sendiri, tidak menghargai orang lain maka kau sombong juga. Sayang ilmu yang hebat itu jatuh ke tangan orang tolol dan sombong, kalau tidak, dengan melatihnya secara tekun dan mendalam, agaknya takkan mudah lagi kau mengalami penghinaan dari orang lain."

   "Siapa berani menghina aku kecuali kau? Putera Mahkota sendiri menganggap aku sederajat dan setingkat dengannya, mengajak aku bercakap-cakap seperti sahabat. Tapi kau.. huh, kaulah yang sombong"

   "Putera Mahkota? Betulkah kau bertemu dengan Putera Mahkota? Yang mana, jangan-jangan hanya dengan seorang bangsawan muda macam Suma Boan."

   "Huh, apa aku tidak bisa membedakan mana Pangeran Mahkota dan Pangeran Brengsek biasa? Aku memasuki taman bunganya ketika mencari gedung perpustakaan, dan aku bercakap-cakap dengannya. Dia suka sekali akan ikan emas, mempunyai sebuah pagoda yang penuh dengan tempat-tempat ikan dari kaca, bagus bukan main"

   Sepasang mata Suling Emas terbelalak. Makin heranlah ia menghadapi dara remaja ini,

   "Kau benar-benar telah bertemu dengan Pangeran? Tahukah kau bahwa beliau itu adalah adik Sri Baginda dan merupakan calon pengganti Sri Baginda?"

   "Tentu saja aku tahu, aku sudah mengobrol dengan dia seperti sahabat, tapi kusangka dia itu tadinya putera Kaisar."

   Suling Emas menggaruk-garuk hidungnya yang tidak gatal. Benar-benar hampir tak mungkin dapat dipercaya seorang gadis liar seperti ini bercakap-cakap seperti sahabat dengan pangeran mahkota. Akan tetapi ia, biarpun belum lama bertemu dengan Lin Lin, sudah dapat merasa yakin bahwa bocah seperti ini tidak bicara bohong, dan percaya pula bahwa di depan pangeran mahkota, malah di depan kaisar sendiri agaknya tidak mau bersikap merendah dan menganggap mereka itu orang-orang biasa seperti dia.

   "Kau benar-benar seorang gadis hebat"

   Inilah suara hatinya, akan tetapi tanpa disadari keluar pula dari mulutnya. Berkembang lubang hidung Lin Lin mendengar ini dan sekaligus kemengkalan hatinya karena dimaki tolol dan sombong tadi lenyap seperti embun terusir sinar matahari. Ia tersenyum manis sekali dan berkata dengan mata tajam mengerling.

   "Kau pun seorang laki-laki yang hebat"

   Terkejutlah Suling Emas, seakan-akan ditampar mukanya. Pipinya menjadi merah dan ia cepat memalingkan muka, menghindarkan diri dari sambaran kerling setajam gunting dan senyum semanis madu. Tapi jantungnya berdenyut aneh dan dengan batinnya yang sudah terlatih, matang dan teguh itu ia cepat dapat mengusir perasaan yang tidak semestinya itu.

   "Marilah kita lanjutkan perjalanan. Perjalanan ini masih jauh, di samping itu, kita harus berusaha menyusul Siang-mou Sin-ni, kalau saja belum terlambat.."

   Ucapan ini sekaligus menyadarkan Lin Lin yang tadinya terayun kebungahan hati yang ditimbulkan oleh pujian Suling Emas yang mengatakan dia gadis hebat.

   "Apa.. apakah kau anggap Bu Sin koko berada dalam bahaya?"

   "Hemmm, sukar dikatakan. Akan tetapi yang jelas, Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita yang kejam seperti iblis."

   "Akan kubunuh dia. Kalau Sin-ko dia ganggu, akan kubunuh dia"

   Lin Lin berteriak marah dengan semangat menggelora. Biarpun diam-diam Suling Emas menganggap pernyataan ini amat menggelikan mengingat lihainya Siang-mou Sin-ni dan "mentah"nya Lin Lin, namun ia maklum bahwa pernyataan ini terdorong oleh keberanian yang luar biasa. Ia percaya bahwa Lin Lin pasti akan membuktikan ancamannya, biarpun untuk itu harus berkorban nyawa. Ia sudah menyaksikan ketabahan hati Sian Eng ketika dikubur hidup-hidup oleh Hek-giam-lo, akan tetapi agaknya adiknya ini lebih tabah dan berani lagi, mendekati nekat.

   "Kita lihat saja nanti, mudah-mudahan kakakmu masih selamat. Mari"

   Tanpa mengenal kasihan Suling Emas mengajak Lin Lin berlari lagi cepat-cepat, agaknya ia tidak peduli bahwa gadis itu sudah kelihatan amat telah.

   
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lin Lin juga tidak sudi menyerah mentah-mentah, malu untuk mengaku bahwa ia lelah dan kehabisan napas tadi. Kini, setelah lelahnya berkurang karena sudah mengaso, ia mengerahkan Khong-in-ban-kin lagi dan berlari secepat terbang. Ia sama sekall tidak sadar bahwa perbuatan Suling Emas ini sama sekali bukan karena kejam, melainkan karena disengaja, yaitu bahwa orang sakti itu hendak memaksa ia melatih Khong-in-ban-kin tanpa sengaja. Dengan berlari-lari seperti itu, perjalanan dilakukan cepat sekali. Lin Lin ingin sekali mengajak teman seperjalanan ini bercakap-cakap, ingin ia tahu lebih banyak tentang diri Suling Emas, akan tetapi ia tidak diberi kesempatan dan ia pun seorang gadis yang berhati keras. Malu dan pantang mundur, dengan nekat ia berlari terus mengimbangi kecepatan Suling Emas.

   Pada malam hari itu setelah Lin Lin pergi meninggalkannya seorang diri di dalam kuil, Sian Eng duduk termenung. Adiknya telah membayangkan tuduhan bahwa dia cinta kepada Suling Emas. Alangkah jauh menyimpang tuduhan itu. Memang ia merasa amat kagum terhadap pendekar sakti yang aneh itu, akan tetapi pribadi Suling Emas sama sekali tidak menarik cinta kasihnya, melainkan menimbulkan rasa seram, enggan, dan segan. Berpikir tentang cinta kasih dan pria mana yang menarik hatinya, Sian Eng termenung dan terkenang kepada.. Suma Boan. Jantungnya berdebar, mukanya terasa panas dan ia menjatuhkan diri di atas pembaringan sambil menangis. Memang aneh dan tak masuk di akal agaknya kalau asmara sudah main-main dengan hati manusia muda.

   Dewi Asmara yang ganas dan kadang-kadang kejam itu menyebar anak panah berbisa secara membabi-buta agaknya sehingga banyak peristiwa terjadi dan cerita terlahir sebagai akibat daripada bisa anak panah asmara yang menjadi sumber segala kebahagiaan atau sebaliknya sumber kesengsaraan bagi orang-orang muda. Sian Eng adalah seorang gadis puteri seorang jenderal. Sedikit banyak hatinya terpengaruh oleh perbedaan antara orang biasa dan bangsawan, dan biarpun tidak berterang, ia menganggap diri sendiri sebagai seorang yang berdarah bangsawan. Atau, mungkin juga di dalam hatinya terdapat cita-cita untuk mengangkat kembali derajat keluarganya yang sudah runtuh ketika ayahnya meninggalkan kedudukan sebagai seorang bangsawan tinggi. Atau juga memang karena kejahilan asmara sehingga begitu bertemu dengan putera Pangeran Suma itu, seketika ia merasa tertarik sekali.

   Tentu saja ia tidak dapat melupakan kenyataan betapa Suma Boan pernah menawannya dan menurut penuturan Suling Emas, hampir membunuh Bu Sin. Akan tetapi hati kecilnya membisikkan alasan bahwa untuk perbuatan itu tentu Suma Boan mempunyai sebab-sebab yang kuat. Agaknya putera bangsawan itu pernah dibikin sakit hati oleh kakaknya, Bu Song, sehingga ketika bertemu dengan mereka timbul kemarahannya dan berusaha membalas dendam. Aku akan berikanya kepadanya, hal ini harus dibikin terang, pikirnya dalam hati. Akan tetapi bagaimana ia dapat berjumpa dengan Suma Boan? Tiba-tiba ia mendengar suara orang bercakap-cakap di ruangan tengah kuil itu. Lapat-lapat ia mendengar suara hwesio kepala yang menjawab dengan suara lemah ketakutan atas pertanyaan orang yang suaranya nyaring dan galak, Sian Eng tertarik, juga curiga. Cepat ia menyambar pedangnya dan keluar dari kamar. Dari balik pintu yang menembus ke ruangan itu, ia mendengarkan dan jantungnya berdebar ketika ia mengenal suara Suma Boan.

   "Pinceng tidak berani membohong, Kongcu. Sesungguhnya mereka telah pergi lagi, entah ke mana pinceng tidak berani bertanya dan tidak diberi tahu."

   "Bukankah Suling Emas sering kali datang ke kuil ini?"

   Terdengar pula Suma Boan bertanya.

   "Jarang sekali dia datang, sungguhpun pinceng mengenalnya baik, tapi dia tidak pernah bermalam di sini. Siapakah bisa mengetahui di mana adanya?"

   "Hemmm, aku percaya semua keterangan Losuhu. Akan tetapi ketahuilah dua orang yang kucari itu adalah orang-orang berbahaya yang belum lama ini mengacau rumahku, maka terpaksa aku akan melakukan penggeledahan, siapa tahu mereka itu sudah kembali lagi ke dalam kuil tanpa setahu Losuhu."

   "Silakan, silakan.."

   Mendengar ini Sian Eng terkejut dan tak terasa lagi ia bergerak. Suara kakinya cukup bagi pendengaran Suma Boan yang tajam. Pemuda bangsawan ini melompat, mendorong daun pintu dan.. ia berhadapan dengan Sian Eng. Dengan kedua alis terangkat Suma Boan berseru,

   "Eh, kau di sini pula..?"

   Lalu ia melanjutkan kata-katanya dengan nada girang.

   "Syukur kau telah bebas dari cengkeraman iblis Hek-giam-lo, Nona"

   Merah muka Sian Eng. Ia balas memandang, lalu menjawab marah.

   "Karena gara-gara kau menawanku, maka aku terjatuh ke tangan Hek-giam-lo. Baiknya ada dia yang menolongku dan membawaku ke kuil ini.."

   "Suling Emas? Kau ditolong olehnya.."

   "Siapa lagi kalau bukan dia yang menolongku? Suma-kongcu, kami dulu itu dengan maksud baik datang kepadamu untuk bertanya tentang kakakku yang hilang, mengapa kau lalu menawanku dan hampir membunuh kakakku Bu Sin? Mengapa kau membenci kakakku Kam Bu Song yang lenyap? Permusuhan apakah yang membuat kau membencinya?"

   Suma Boan tersenyum, lalu menoleh kepada hwesio kepala dan menjura.

   "Maaf, Losuhu, bahwa aku tadi menaruh curiga kepadamu. Kiranya semua ceritamu benar belaka dan kedua orang muda itu tidak berada di sini. Akan tetapi siapa kira, aku bertemu dengan Nona kenalanku ini. Harap kau orang tua suka memberi kesempatan kami bicara berdua saja."

   Hwesio tua itu mengangguk dan mengundurkan diri dengan sikap tenang dan sabar. Suma Boan lalu menghadapi Sian Eng. Pemuda yang sudah banyak pengalamannya dengan wanita ini sekali pandang saja dapat menjenguk isi hati Sian Eng, bahwa sedikitnya gadis ini tidak marah dan tidak benci kepadanya. Dan memang ia pernah amat tertarik hatinya oleh gadis ini, maka pertemuan yang tak sengaja dan tak tersangka-sangka ini tentu saja mendatangkan rasa girang di hatinya. Tadi ia menyelidik tentang pemuda dan pemudi yang mengacau rumahnya dan yang jejaknya menuju ke kuil ini. Ia telah menyiapkan orang-orangnya di sekeliling kuil, bahkan Tok-sim Lo-tong, seorang tokoh kang-ouw sahabat baik It-gan Kai-ong, sudah datang pula dan kini ikut menjaga di luar kuil untuk menghadapi dua orang muda yang amat lihai itu, juga kalau sekiranya perlu, menghadapi Suling Emas"

   Suma Boan maklum bahwa Suling Emas takkan mau mengganggunya, hal ini ada rahasianya, akan tetapi dia sendiri selalu berusaha untuk menangkap dan kalau mungkin membunuh orang yang amat dibencinya itu. Karena adanya Tok-sim Lo-tong inilah maka Suma Boan berbesar hati dan berani memasuki kuil di kota raja. Sahabat suhunya yang berjuluk Tok-sim Lo-tong (Anak Tua Berhati Racun) memiliki kepandaian yang amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri.

   "Nona Liu.."

   "Aku bukan she Liu, melainkan she Kam,"

   Bantah Sian Eng.

   "Lho, dahulu kau dan kakakmu mengaku sebagai adik-adik dari Liu Bu Song.."

   Mengertilah sekarang Sian Eng mengapa tadi pemuda bangsawan ini menyebutnya nona Liu. Ia tersenyum manis dan hati Suma Boan makin berdebar. Tak salah lagi, bocah ini bukan saja tidak membenciku, malah agaknya.. ah, manis sekali wajah itu.

   "Sesungguhnya dia kakakku, kakak sulung. Akan tetapi bukan aku yang berganti nama keturunan, melainkan dia. Sebetulnya dia bernama Kam Bu Song. Suma-kongcu, kau agaknya kenal baik dengan kakakku, bolehkah aku mendengar di mana adanya Kakak Bu Song sekarang ini dan apakah urusannya maka kau agaknya bermusuhan dengan dia?"

   "Apakah kau betul-betul hendak bertemu dengan dia, Nona? Sayang bahwa pertemuan pertama antara kita ternoda oleh permusuhan sehingga aku khawatir kalau-kalau kau takkan dapat percaya kepadaku lagi."

   Suma Brian menarik napas panjang penuh penyesalan.

   "Aku.. aku percaya kepadamu. Ayahmu seorang pangeran. Sebagai puteri seorang bekas jenderal besar, aku tahu bahwa kita menjaga nama baik leluhur kita yang sudah banyak membuat jasa kepada negara."

   "Ah, kiranya kau seorang gadis bangsawan, Nona? Ayahmu seorang jenderal? Mengapa.. mengapa Bu Song memakai she Liu dan tidak pernah bilang bahwa dia putera seorang jenderal besar? Ah, kalau saja ia dahulu mengaku secara terus terang, kiraku takkan timbul permusuhan ini.."

   "Apakah yang telah terjadi? Dan di mana dia sekarang?"

   "Nona, kurasa bukan di sini tempat kita bicara. Ceritanya panjang dan agaknya perlu kuperlihatkan bukti-buktinya kepadamu agar kau dapat percaya. Adapun untuk dapat bertemu dengan kakak sulungmu itu, kurasa membutuhkan perjalanan jauh yaitu ke negara Nan-cao. Maukah kau ikut denganku ke Nan-cao? Kutanggung kau akan dapat bertemu dengan kakakmu di sana karena dia pasti akan hadir pada pesta yang diadakan oleh Agama Beng-kauw."

   Sian Eng menjadi bingung. Ia tahu bahwa antara Lin Lin dan Suma Boan terdapat permusuhan seperti yang telah diceritakan oleh Lin Lin kepadanya. Dan agaknya Suma Boan sekarang ini pun datang untuk mencari Lin Lin dan Bok Liong. Kalau Lin Lin pulang dan bertemu dengan Suma Boan, agaknya tentu akan terjadi hal yang hebat, Lin Lin sukar diurus. Ia harus dapat mengambil keputusan tepat.

   

Bu Kek Siansu Eps 5 Suling Emas Eps 2 Suling Emas Eps 32

Cari Blog Ini