Ceritasilat Novel Online

Cinta Bernoda Darah 22


Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



Bok Liong bukanlah orang yang sudi menerima penghinaan begitu saja tanpa membalas. Melihat pedangnya, secepat kilat ia menyambarnya dan mengerahkan sisa tenaganya, menggunakan pedangnya menerjang orang berkumis itu. Si kumis kaget sekali, cepat mengelak, namun pedang Bok Liong masih saja mencium pundaknya. Orang Khitan itu terhuyung ke belakang dan Bok Liong cepat menambah serangannya dengan sebuah tusukan kilat. Dada orang Khitan berkumis itu pasti akan tertembus pedang Goat-kong-kiam kalau saja pada saat itu Hek-giam-lo tidak cepat menggerakkan tangan kanannya sambil membalikkan tubuh. Tangan itu masih terpisah satu meter dari Bok Liong, akan tetapi pukulan jarak jauh ini cukup membuat Bok Liong terpental sehingga tusukannya meleset dan si kumis selamat. Kalau saja Bok Liong tidak dalam keadaan selemah itu, kiranya belum tentu pukulan jarak jauh ini akan dapat menggagalkan tusukannya tadi.

   Bok Liong benar-benar nekat dan keras hati. Ia terlempar ke kiri dan jatuh, akan tetapi cepat ia meloncat bangun dan kali ini dengan pedangnya ia menyerang Hek-giam-lo. Ia memang terluka dan lemah, namun jurus serangannya adaiah jurus serangan ilmu silat tinggi, dan pedangnya adalah pedang pusaka, maka serangan itu tak boleh dipandang ringan. Kalau lawan biasa saja tentu sukar terlepas daripada bahaya serangan ini. Akan tetapi sayang bahwa kali ini yang diserangnya adalah Hek-giam-lo. Sambil mendengus panjang, iblis ini menggerakkan senjatanya yang aneh diputar menyilaukan mata. Terdengar suara nyaring entah bagaimana, tahu-tahu tubuh Bok Liong terlempar ke dalam sungai.
(Lanjut ke Jilid 21)
Cinta Bernoda Darah (Seri ke 03 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21
"Byurrrrr"

   Air muncrat tinggi-tinggi dan pemuda itu gelagapan, dengan susah payah berusaha berenang ke tepi. Orang-orang Khitan tertawa bergelak ketika mereka berada di atas perahu dan perahu itu meluncur menurutkan aliran air sungai, meninggalkan Bok Liong yang masih gelagapan dan berenang ke pinggir.

   "Lin-moi.., Jangan khawatir, aku akan menyusulmu.."

   Suara Bok Liong ini terdengar oleh Lin Lin yang berada di atas perahu, dan makin gemaslah hati Lin Lin kepada Suling Emas mengapa sampai begitu lama belum juga datang menolongnya sehingga Bok Liong harus mengalami derita yang demikian hebatnya. Tak tega lagi hatinya, maka ia lari memasuki pondok perahu, membanting diri di atas pembaringan yang disediakan untuknya, lalu menangis.

   Tiba-tiba ia melihat benda bersinar dan ia segera meraih tongkat itu. Benda bersinar itu adalah ya-beng-cu yang selama ini memang menjadi benda permainannya. Sebetulnya, sebentar saja ia sudah bosan dengan tongkat itu, akan tetapi karena tongkat ini yang agaknya akan membawa ia bertemu kembali dengan Suling Emas, maka ia selalu main-main dengan tongkat itu. Ia merasa yakin bahwa Suling Emas pasti akan mengejar Hek-giam-lo untuk merampas kembali tongkat ini. Ia meraba-raba tongkat itu. Baru sekarang ia memperhatikan tubuh tongkat, yang ternyata diukir-ukir indah. Tongkat itu sebesar lengannya, makin ke bawah makin kecil dan pada kepalanya terdapat mutiara-mutiara ya-beng-cu itu. Ketika Lin Lin menekan sana-sini, tanpa sengaja ia menekan bagian bawah dan tiba-tiba terdengar bunyi "klikkk"

   Dan bagian tengah tongkat itu bergerak memanjang. Lin Lin merasa heran sekali.

   Ketika diperiksanya bagian ini, ternyata bagian tengah tongkat itu bersambung, akan tetapi sambungannya diatur demikian rupa sehingga takkan dapat diketahui begitu saja. Agaknya tersentuh kunci pembuka sambungan itu maka otomatis sambungannya menjadi memanjang. Lin Lin menarik kedua ujung tongkat dan benar saja, tongkat itu kini menjadi dua potong. Bagian atas sebagai tutupnya dan bagian bawah sebagai wadah yang ternyata berlubang sebelah dalamnya. Dengan amat hati-hati Lin Lin memeriksa, mengetuk-ngetukkan kedua potongan tongkat yang berlubang itu dan keluarlah gulungan-gulungan kertas tipis dari dalamnya.

   Dengan hati berdebar-debar Lin Lin memeriksa. Kiranya kertas-kertas bergulung itu ada tiga belas lembar banyaknya, lebarnya sekaki persegi dan penuh dengan tulisan kecil-kecil yang indah. Lin Lin cepat membacanya dan alangkah girang dan tegang hatinya ketika membaca pelajaran ilmu silat aneh yang didahului dengan latihan samadhi yang aneh pula, karena di situ diterangkan bahwa untuk latihan ini orang harus bertelanjang bulat. Memang semua aliran menganjurkan bahwa di waktu samadhi, orang harus mengenakan pakaian yang longgar, jangan ada yang menekan agar kedudukan tubuh menjadi enak dan jalan darah tidak terganggu, dan memang harus diakui bahwa yang terbaik adalah bertelanjang bulat. Akan tetapi pelajaran ini mengharuskan orang bertelanjang bulat dalam latihan ini, sungguh merupakan hal yang aneh dan luar biasa.

   Akan tetapi, karena hatinya amat ingin dapat membebaskan diri dari tangan Hek-giam-lo. Lin Lin berpengharapan bahwa ilmu ini merupakan ilmu mujijat yang akan dapat menolong dirinya. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu membuka semua pakaiannya, lalu berjungkir balik dan bersamadhi dalam keadaan aneh ini, kepala di bawah kaki di atas seperti yang dianjurkan di dalam gulungan kertas pertama. Beberapa menit kemudian ia merasa kepalanya pening, akan tetapi ia memaksa diri, mendesak hawa sin-kang ke bagian menurut petunjuk dan.. sepuluh menit kemudian kakinya yang berada di atas itu terbanting ke bawah karena gadis ini sudah menjadi pingsan. Kebetulan sekali tubuhnya yang tak berpakaian lagi itu menimpa tongkat dan gulungan kertas sehingga tidak tampak dari luar.

   Kalau saja keadaannya tidak seaneh itu, agaknya Lin Lin akan menimbulkan kecurigaan Hek-giam-lo. Dua kali anak buah Hek-giam-lo mengetuk pintu pondok untuk mempersilakan dia keluar makan, dan dua kali itu tidak ada jawaban dari dalam pondok. Akhirnya Hek-giam-lo sendiri mendekati pintu pondok. Dengan perlahan didorongnya pintu dan ia menjenguk ke dalam. Dari dalam kedoknya iblis ini mendengus, lalu menutupkan kembali pintu pondok dari luar, kemudian memesan kepada semua anak buahnya agar jangan mengganggu tuan puteri yang sedang tidur nyenyak. Betapapun juga, gadis itu akan diperisteri oleh kakaknya, Raja Khitan, maka Hek-giam-lo tidak suka mengganggunya. Apalagi gadis yang ia anggap liar dan gila itu kini tidur dalam keadaan telanjang bulat, tentu saja tidak boleh dilihat anak buahnya.

   Seorang gadis yang menjadi calon permaisuri mana boleh dilihat oleh anak buahnya dalam keadaan tak berpakaian? Sama sekali Hek-giam-lo tidak curiga, apalagi memang hawa pada siang hari itu amat panas. Lin Lin siuman kembali dan cepat-cepat ia berpakaian. Ia maklum bahwa ilmu yang tertulis di dalam gulungan kertas itu merupakan ilmu mujijat yang luar biasa. Ia dapat menduga bahwa mempelajari ilmu ini tidak boleh secara serampangan belaka, maka ia mengambil keputusan untuk membacanya dengan teliti dan tidak akan melatihnya sebelum ia mengerti benar inti sarinya. Tentu saja Lin Lin tidak tahu kerena kertas-kertas itu dahulu ditulis oleh pendiri Beng-kauw, yaitu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Telah diceritakan di bagian depan yang menyinggung sedikit akan keadaan ketua Beng-kauw pertama itu dengan puterinya, yaitu mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian.

   Lu Sian mencuri Sam-po-cin-keng (Kitab Tiga Pusaka) yang menjadi pegangan ketua Beng-kauw itu, dan karenanya semua ilmu kesaktian Pat-jiu Sin-ong boleh dibilang telah diwarisi atau dicuri oleh anak perempuannya sendiri yang murtad (baca cerita Suling Emas). Karena inilah maka diam-diam Pat-jiu Sin-ong lalu menciptakan ilmu pukulan mujijat yang seluruhnya berjumlah tiga belas macam dan secara rahasia ia tulis dan ia sembunyikan di dalam tongkatnya. Tiga belas macam ilmu gaib ini ia ciptakan dengan susah payah selama tiga belas tahun dan merupakan ilmu yang berat dan dalam. Inilah sebabnya mengapa begitu melatih samadhi menurut petunjuk ilmu ini seketika Lin Lin menjadi pingsan. Baiknya Lin Lin dapat mengenal ilmu sejati, dan dengan tekun mempelajarinya secara diam-diam. Setelah hafal betul dan tahu bagaimana harus bersikap dalam latihan samadhi yang aneh itu, kini ia hanya berlatih samadhi di waktu malam dan sengaja ia menggelapkan kamar dan menutupi mutiara ya-beng-cu agar tidak mengeluarkan sinar.

   Baru berlatih tiga malam saja, ia sudah mendapatkan perubahan hebat dalam dirinya. Hawa sakti yang amat aneh dan amat kuat bergolak di dalam dadanya dan berkali-kali ia mau muntah karena tidak dapat menahannya. Akan tetapi berkat petunjuk dari ilmu rahasia itu yang tekun dibacanya, ia dapat mengatur dan menyalurkan hawa sakti itu sehingga berkumpul di pusar. Kemudian ia mulai mempelajari jurus-jurus rahasia yang tiga belas buah banyaknya. Tidaklah mudah untuk mempelajari ilmu yang diciptakan selama tiga belas tahun ini apalagi ilmu tingkat tinggi. Baiknya Lin Lin pernah menerima petunjuk dan gemblengan kakek Kim-lun Seng-jin sehingga sedikit banyak ia telah memiliki dasar untuk ilmu silat tingkat tinggi. Biarpun dengan susah payah dan sukar sekali, namun kecerdikannya membuat ia lambat-laun dapat pula memetik buahnya.

   Semenjak mendapatkan kertas gulungan pelajaran rahasia yang kalau sudah baca ia simpan kembali ke dalam tongkat, Lin Lin bersikap tenang dan tidak lagi memaki-maki atau nekat mencari jalan pembebasan. Ia maklum bahwa untuk dapat bebas, ia harus dapat mengalahkan Hek-giam-lo dan untuk mencapai hal ini adalah tidak mudah. Tak mungkin ia dapat mengalahkan orang sakti itu walaupun ia sudah mempelajari ilmu mujijat yang baru dilatihnya beberapa hari lamanya dan masih mentah. Ia ingin memperdalam ilmu ini, kalau perlu ia akan ikut terus sampai ke Khitan dan akan mencari jalan keluar agar supaya kehendak Kaisar Khitan atau pamannya itu ditangguhkan. Setelah ilmu itu ia fahami benar-benar, nah, baru ia akan melarikan diri menggunakan ilmu baru ini untuk menghadapi dan menghalau penghalang.

   Suling Emas terus melarikan diri, dikejar oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang mabuk dendam itu. Pendekar sakti ini menjadi serba bingung. Lari terus dari orang-orang yang berkepandaian tinggi ini merupakan hal yang amat sukar, bahkan tidak mungkin karena mereka itu rata-rata memiliki gin-kang dan ilmu lari cepat yang mencapai tingkat tinggi. Berhenti dan melawan, boleh jadi ia akan dapat mengatasi mereka dengan mengandalkan ilmu-ilmunya, terutama ilmu kesaktian yang ia terima dari Bu Kek Siansu. Akan tetapi kalau ia ingin memperoleh kemenangan dalam pertempuran sehingga ia dapat lolos, jalan satu-satunya hanya merobohkan mereka dan justeru hal ini yang tidak ia kehendaki.

   Mereka itu adalah orang-orang yang dibikin sakit hati oleh mendiang ibunya, yang kini menuntut keadilan dan menuntut balas kepadanya. Kalau ia merobohkan mereka, melukai apalagi membunuh, hal itu benar-benar tidak patut dan berarti ia menambah dosa-dosa yang agaknya sudah ditumpuk oleh ibunya. Berpikir demikian, makin sedih hatinya dan hampir saja ia menyerah, hampir timbul pikiran untuk menebus dosa-dosa ibunya dengan menyerahkan nyawa di tangan mereka. Akhirnya Suling Emas terpaksa berhenti di sebuah lapangan rumput di lereng bukit. Lari terus tiada gunanya lagi, juga hal ini akan membuat ia makin jauh dari kedua orang adiknya yang sudah melarikan diri ke jurusan timur karena ia sendiri lari ke arah barat. Dengan mengangkat sulingnya tinggi-tinggi ia berseru.

   "Tahan, aku hendak bicara"

   Dalam waktu beberapa menit saja mereka sudah tiba di depannya. Sebagian daripada mereka terengah-engah karena untuk beberapa lama melakukan pengejaran dengan pengerahan gin-kang sepenuhnya.

   "Kau mau bicara apa lagi, Suling Emas?"

   Bentak Cheng San Hwesio tokoh Siauw-lim-pai sambil melintangkan tongkat hwesio di depan dadanya.

   "Kau yang terkenal sebagai seorang pendekar muda yang sakti, ternyata hanyalah seorang pengecut yang berlari-lari menyelamatkan diri. Hemmm.."

   "Buah takkan jatuh jauh dari pohonnya, anak tidak akan jauh bedanya dari ibu kandungnya. Ibunya pengecut, melakukan kejahatan lalu bersembunyi puluhan tahun, mana anaknya tidak pengecut pula?"

   Kata Kok Seng Cu, tokoh Hoa-san-pal sambil menudingkan pedangnya ke arah Suling Emas. Yang lain-lain ikut pula bicara sehingga ramailah di situ, hiruk-pikuk. Suling Emas melihat betapa gadis baju hijau yang berada di barisan terdepan, yang tidak terengah-engah tanda bahwa gin-kangnya mencapai tingkat tinggi, tidak berkata apa-apa, malah menundukkan muka dan kadang-kadang saja mengerling ke arahnya dengan sikap bingung dan ragu-ragu.

   "Cu-wi Locianpwe harap jangan terburu nafsu, sesungguhnya aku sama sekali tidak tahu akan urusan Cu-wi dengan mendiang ibuku. Akan tetapi percayalah, andaikata benar ibu telah melakukan kesalahan-kesalahan, aku sebagai puteranya takkan mengingkarinya dan sanggup untuk mempertanggung-jawabkannya. Akan tetapi, ada dua hal yang harus dipecahkan lebih dulu."

   "Apakah dua hal itu? Hayo bicara yang betul, jangan plintat-plintut"

   Bentak Hek Bin Hosiang, si hwesio muka hitam tokoh Go-bi-pai yang sudah gatal-gatal tangannya hendak mengemplang kepala putera musuh besarnya ini dengan senjatanya. Ia memang jujur dan galak.

   "Pertama, Cu-wi begini banyak, yang masing-masing hendak membalas dendam yang ditimpakan kepadaku. Ada yang hendak menawan, ada yang hendak membunuh. Mana mungkin hal ini dapat dilakukan? Kedua, biarpun Cu-wi semua mempunyai cerita masing-masing yang menuduhkan kejahatan-kejahatan kepada mendiang ibuku, bagaimana aku dapat merasa yakin bahwa semua tuduhan itu benar belaka? Bagaimana kalau tuduhan itu hanya fitnah dan tidak benar adanya?"

   "Fitnah? Jelas Tok-siauw-kwi adalah iblis betina yang jahat, musuh semua orang gagah di dunia kang-ouw. Kau putera tunggalnya, kau harus menebus dosanya setelah ia mampus, dan kita semua akan saling memperebutkan engkau, baik mati maupun hidup"

   Bentak Hek Bin Hosiang sambil menghantam dengan toya baja di tangannya. Hantaman toya baja ini luar biasa kerasnya karena selain toya baja itu sendiri beratnya lebih dari seratus kati, juga tenaga hwesio muka hitam tokoh Go-bi-pai ini melebihi gajah. Terdengar angin bersiutan ketika toya itu lenyap bentuknya berubah menjadi sinar hitam menyambar kepala Suling Emas.

   "Syuuuuur"

   Pita rambut yang panjang berwarna hitam itu berkibaran ketika toya baja menyambar lewat di atas kepala Suling Emas yang sudah merendahkan tubuh mengelak. Namun toya itu membuat gerakan membelok dan meliuk panjang, lalu datang lagi menyambar dengan lebih kuat lagi. Kini yang diterjang adalah punggung Suling Emas. Pendekar sakti ini cepat menotolkan ujung kaki ke tanah dan tubuhnya mencelat mumbul ke atas membiarkan toya itu menyambar lewat di bawah kakinya. Sebelum tubuhnya turun, Suling Emas sudah menggerakkan sulingnya ke belakang dan kipasnya ia kebutkan ke kiri karena pada saat itu ia telah diserang dari dua fihak oleh lawan yang lain.

   Terdengar bunyi nyaring ketika pedang di tangan Kok Seng Cu tokoh Hoa-san-pai itu tertangkis suling. Kok Seng Cu melompat ke belakang dengan kaget dan kagum. Ia seorang tokoh Hoa-san-pai tingkat dua, lwee-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi, akan tetapi benturan pedangnya dengan suling itu membuat telapak tangannya panas. Lebih kaget lagi adalah Cheng San Hwesio tokoh Siauw-lim-pai, karena tongkat hwesionya yang ia pukulkan ke arah kepala, tiba-tiba menyeleweng ketika dikebut oleh kipas di tangan Suling Emas. Tentu saja hwesio tua ini menjadi penasaran dan juga kaget sekali. Tenaga pukulannya dengan tongkat itu mendekati tiga ratus kati, bagaimana dapat dikebut begitu saja oleh sebuah kipas dan menjadi meleset? Suling Emas menarik napas panjang mengumpulkan sin-kang dan menggetarkan sulingnya sambil mengebut-ngebutkan kipasnya karena pada saat itu, hujan senjata menyerangnya dari segenap penjuru.

   Terdengar bunyi nyaring dan semua senjata itu dapat ia pentalkan mundur oleh getaran sulingnya, sedangkan yang lain dapat dikebut menceng oleh kipasnya. Ia kembali mengeluh dalam hatinya. Sedih ia melihat sikap orang-orang kang-ouw ini yang amat membencinya, yang ingin melihat ia roboh, melihat ia mati, memperlakukannya seolah-olah ia seorang penjahat besar yang keji dan patut dibasmi. Mengingat akan hal ini, melihat sinar kebencian berpancaran dari mata mereka, Suling Emas tak dapat menahan kesedihannya, tak dapat lagi ia mengangkat senjata melawan mereka dan setelah memutar sulingnya dengan gerakan memanjang sehingga sinar senjata ampuh ini berubah menjadi pelangi memanjang yang membuat para pengeroyoknya berlompatan mundur, Suling Emas lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri lagi.

   "Pengecut, jangan lari"

   Begitu sajakah nama besar Suling Emas? Kini merasa takut dan lari terbirit-birit?"

   Seru Kok Seng Cu tokoh Hoa-san-pai sambil mengejar, nada suaranya penuh ejekan.

   "Ho-ho-ho, Putera tunggal Tok-siauw-kui yang jahat dan keji mana bisa menjadi orang gagah? Tentu licik, curang dan pengecut"

   It-gan Kai-ong tertawa sambil mengejar paling depan.

   "It-gan Kai-ong. Kalau kau menghendaki bertempur, hayo kita mencari tempat. Jangan kira aku takut padamu, memang aku masih ada perhitungan denganmu yang belum diselesaikan."

   "Ha-ha-ho-ho, Kau menantang sambil berlari. Bilang saja kau takut"

   Memang Suling Emas terus melarikan diri, dikejar oleh banyak orang. Ejekan It-gan Kai-ong memanaskan perutnya, akan tetapi ia cukup maklum bahwa ejekan yang dikeluarkan oleh pengemis tua mata satu itu sekali-kali bukanlah merupakan tantangan si pengemis sakti, melainkan merupakan akal bulus untuk mencegahnya melarikan diri dan memaksanya menghadapi pengeroyokan begitu banyak tokoh kang-ouw.

   "Gembel busuk, aku sama sekali tidak takut menghadapi pengeroyokan, aku hanya tidak mau melayani mereka"

   "Ha-ha-ho-ho, akal bulus"

   It-gan Kai-ong tertawa, akan tetapi biarpun hatinya mendongkol, Suling Emas melanjutkan larinya.

   Para pengejarnya juga mengerahkan gin-kang dan mulai menghujankan senjata rahasia lagi, didahului oleh It-gan Kai-ong. Suling Emas berhasil menyelamatkan diri dengan memutar suling di belakang tubuhnya dan berloncatan ke depan secara berbelok-belok ke kanan kiri. Mendadak pendekar sakti itu berseru kaget dan terpaksa menghentikan larinya. Daerah ini belum dikenalnya dan ia sama sekali tidak mengira bahwa tadi ia melarikan diri ke jurusan yang buntu. Kini di depannya terbentang jurang yang amat dalam dan luas, lebarnya lebih dari seratus meter dan dalamnya tak dapat diukur lagi. Ia telah masuk perangkap, di depannya menghalang jurang yang tak mungkin dapat dilampaui, di belakangnya mengejar puluhan orang yang merupakan lawan-lawan berat dan terutama sekali, merupakan lawan yang tak ingin ia hadapi bukan karena takut melainkan karena enggan.

   "Ha-ha-ha, sekarang tamatlah riwayatmu, Suling Emas"

   It-gan Kai-ong melompat maju dan menerjang dengan pukulan dahsyat. Karena diantara para tokoh kang-ouw itu boleh dibilang It-gan Kai-ong merupakan orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi, maka gembel iblis ini dapat menyerang lebih dulu daripada orang lain.

   Serangan dahsyat sekali kedua tangannya melontarkan pukulan dengan hawa pukulan jarak jauh sedangkan tangan kanannya menghantamkan tongkatnya ke arah kepala. Sukar untuk dikatakan mana yang lebih berbahaya, karena sesungguhnya pukulan tangan kiri itu, biarpun jaraknya jauh dan tidak akan langsung mengenai kulit lawan, namun bahayanya tidak kalah oleh kemplangan tongkat pada kepala. Namun Suling Emas cepat menangkis tongkat dengan sulingnya dan mengebut hawa pukulan beracun tangan kiri lawan itu dengan kipasnya, malah kakinya digeser ke depan, kemudian kipas yang tadinya menghembus hawa pukulan lawan terus menyelonong ke depan dan digetarkan sedemikian rupa sehingga kedua ujungnya berturut-turut menotok jalan darah kin-teng-hiat di pundak kiri dan tiong-cu-hiat di leher. It-gan Kai-ong terkejut sekali.

   Hampir saja totokan pada pundak itu mengenai sasaran. Ia cepat miringkan tubuh dan totokan ke dua ke arah lehernya itu ia papaki dengan air ludah. Sudah terkenal di dunia persilatan bahwa It-gan Kai-ong memiliki ilmu kepandaian meludah yang amat mengerikan. Tubuh yang terkena air ludah yang keluar dari mulutnya akan bolong-bolong dan sekali saja terkena air ludahnya, lawan yang kurang kuat akan tewas. Tentu saja penggunaan air ludah ini cukup kuat untuk menangkis kipas yang menotok leher. Di lain fihak, Suling Emas tidak sudi membiarkan kipasnya terkena ludah kakek menjijikkan itu, maka terpaksa ia menarik sedikit kipasnya dan mengerahkan tenaganya mengebut. Air ludah itu terkena kebutan kipas membalik dan menyambar muka It-gan Kai-ong sendiri. Akan tetapi kakek ini membuka mulutnya dan menerima kembali air ludahnya dengan mulut.

   "Kawan-kawan, hayo tangkap putera iblis keji Tok-siauw-kui ini sebelum ia sempat melarikan diri"

   Teriak It-gan Kai-ong yang diam-diam merasa gentar juga menghadapi pendekar yang lihai itu.

   Memang para tokoh kang-ouw itu sudah tiba pula di situ dan sudah siap menerjang, maka tanpa menanti komando ke dua lagi mereka beramai-ramai terjun ke gelanggang pertempuran dan sibuklah Suling Emas menggerakkan sepasang senjatanya untuk menangkis ke sana ke mari. Tentu saja ia banyak melihat lowongan-lowongan yang kalau mau dapat dimasukinya dan merobohkan beberapa orang pengeroyok. Akan tetapi justeru hal ini yang tidak ia kehendaki, maka ia menjadi terdesak hebat dan tidak melihat jalan keluar lagi. Jalan keluar ke arah kebebasan hanya melalui jalan darah, yaitu dengan merobohkan beberapa orang pengeroyok. Bingunglah hati Suling Emas. Tanpa merobohkan beberapa orang di antara mereka tak mungkin ia bisa lolos kali ini. Hanya kepada It-gan Kai-ong seorang ia mau balas menyerang karena ia maklum akan kejahatan kakek itu, sedangkan yang lain adalah tokoh-tokoh yang ia dengar namanya sebagai tokoh-tokoh terhormat yang bernama baik.

   Akan tetapi balasan serangannya kepada It-gan Kai-ong tidak ada artinya lagi karena ia hanya dapat mempergunakan sepersepuluh bagian saja daripada perhatiannya yang harus ia pergunakan untuk menangkis dan menghindar daripada serbuan lawan. Dalam kesibukannya mempertahankan dirinya ini, teringatlah Suling Emas akan segala pengalamannya. Mulai menyesallah hatinya mengapa semenjak dahulu ia membenci ayah kandungnya yang ia sangka menyia-nyiakan ibunya dan kawin lagi. Mengapa selama itu, sampai ayahnya mati, tak pernah ia pulang, tak pernah ia berbakti kepada ayahnya yang ternyata adalah seorang satria sejati. Sedangkan ibunya.. ah, kini ia harus menebus dosa-dosa ibunya dan dosanya sendiri yang tidak berbakti kepada ayah kandung. Hatinya menjadi sedih, perlawanannya mengendur karena semangatnya menurun.

   Kesedihan hatinya mendorongnya untuk meloncat saja ke dalam jurang di belakangnya, meninggalkan para pengeroyoknya, meninggaikan dunia ini, meninggalkan mereka yang dicintanya. Siapakah orang yang dicintanya di dunia ini? Ada memang, akan tetapi hanya lamunan kosong belaka. Orang yang dicintanya sudah menjadi isteri orang lain. Akan tetapi jiwa satria di dalam dirinya melarangnya membunuh diri begitu saja. Seorang gagah tidak boleh mati secara konyol, sedikitnya jauh lebih baik mati di ujung senjata lawan daripada mati menceburkan diri ke dalam jurang begitu saja. Oleh karena ini, semangatnya timbul kembali dan Suling Emas tiba-tiba ingat akan ilmu yang ia dapat dari Bu Kek Siansu. Ilmunya yang sakti, Hong-in-bun-hoat jika ia pergunakan, maka akan berubah menjadi ilmu pedang yang dimainkan dengan senjata sulingnya, dan ia tidak mau menggunakan ilmu ini karena akibatnya tentu akan merobohkan para pengeroyoknya.

   Ia teringat akan Ilmu Kim-kong-sin-im (Suara Sakti Sinar Emas) yang lebih menyerupai ilmu musik. Karena sudah tidak ada jalan lain, Suling Emas meloncat jauh ke kiri lalu menyimpan kipasnya dan menempelkan suling pada bibirnya. Terdengarlah suara yang aneh, mengalun tinggi. Para pengeroyoknya sejenak terhenyak kaget dan kesempatan ini dipergunakan oleh Suling Emas untuk duduk bersila, mengerahkan seluruh sin-kangnya dan menutup sulingnya, menyanyikan lagu yang indah dan aneh. Karena menghadapi orang-orang kang-ouw yang memiliki nama besar sebagai orang-orang gagah perkasa, secara otomatis Suling Emas yang menjadi ahli dalam soal kesusastraan dan nyanyian kuno, segera mainkan lagu MENGABDI TANAH AIR yang bersifat menggugah semangat kebangsaan dan kepatriotan.

   Memang nyanyian itu hanyalah sebuah lagu akan tetapi jangan dikira bahwa suara suling yang nyaring merdu itu adalah suara biasa saja. Suara itu mengandung suara sakti yang disalurkan dengan sin-kang sepenuhnya. Mula-mula para pengeroyok itu berdiri melongo dan sejenak menahan gerakan, akan tetapi beberapa detik kemudian, beberapa orang di antara mereka yang kurang kuat sin-kangnya, terguling dengan tubuh lemas dan gemetaran. Suara itu mempunyai pengaruh yang luar biasa besarnya, membuat mereka merasa terharu, malu kepada diri sendiri, dan menghapus semangat mereka untuk bertanding melawan bangsa sendiri, malah sekaligus melumpuhkan kaki tangan mereka. Akan tetapi orang-orang seperti It-gan Kai-ong, Hek Bin Hosiang, Cheng San Hwesio dan lain-lain yang cukup kuat sin-kangnya, tentu saja tidak gampang menjadi roboh.

   Betapapun juga, mereka terpengaruh dan terpaksa mereka harus mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh suara aneh yang mendebarkan jantung mereka itu. Ada sembilan orang tokoh kang-ouw yang tidak roboh oleh suara suling itu. Yang lain, ada yang roboh terguling dengan lemas, ada yang terpaksa harus bersila dan mengumpulkan tenaga untuk melawan arus hawa sakti yang mempengaruhi mereka, akan tetapi tak seorang pun yang terluka di sebelah dalam oleh suara ini karena memang Suling Emas tidak bermaksud melukai mereka. Hebat memang ilmu ini, dan kiranya di dalam dunia pada masa itu, jarang ada yang memiliki ilmu sehebat ini. Dahulu ketika masih hidup, Pat-jiu Sin-ong sendiri belum tentu dapat mengeluarkan suara yang merobohkan puluhan orang sekaligus, dan membuat seorang tokoh seperti It-gan Kai-ong sampai harus mengerahkan tenaga dan tidak bergerak selama sepuluh menit.

   Inilah kehebatan Kim-kong-sin-im yang didapatkan Suling Emas dari kakek dewa Bu Kek Siansu. Padahal ilmu ini belum lama ia dapat dan belum matang betul ia latih. Setelah berdiam diri tak bergerak selama sepuluh menit, mengumpulkan sin-kang untuk melawan pengaruh suara suling yang merampas semangat dan melumpuhkan urat syaraf, perlahan-lahan It-gan Kai-ong dan delapan orang tokoh lain mulai menggerakkan kaki. Selangkah demi selangkah mereka maju, senjata siap di tangan, makin mendekati Suling Emas yang masih terus meniup suling, mencurahkan perhatiannya kepada permainan sulingnya sehingga boleh dibilang ia tidak mengetahui bahwa ada sembilan orang yang tidak terpengaruh oleh Kim-kong-sin-im dan yang kini makin mendekatinya dengan ancaman maut.

   Makin dekat dengan Suling Emas, pengaruh Kim-kong-sin-im makin kuat sehingga sembilan orang tokoh itu menjadi tertahan-tahan langkahnya, bahkan tiga orang di antara mereka terpaksa berhenti melangkah setelah berada dekat, tinggal enam langkah lagi dari tempat Suling Emas duduk. Pengaruh Kim-kong-sin-im demikian hebatnya sehingga tiga orang ini merasa tubuh mereka bergoyang dan kedua kaki demikian lemas dan berat tak dapat digerakkan lagi. Terpaksa mereka tinggal berdiri dan mengerahkan sin-kang agar tidak terguling roboh. Enam orang lain, didahului oleh It-gan Kai-ong, masih dapat melangkah maju sungguhpun hanya dengan lambat dan sukar.

   Akan tetapi, jangankan sampai ada enam orang, baru It-gan Kai-ong seorang saja kalau pada saat itu dapat menyerang Suling Emas, tentu akan berhasil menewaskan pendekar ini karena pada saat itu Suling Emas seakan-akan berada dalam keadaan terbuka, tak terjaga sama sekali.Enam orang itu tidak melangkah lagi kini, hanya dapat menggeser kaki maju, sedikit demi sedikit It-gan Kai-ong dengan mata bersinar-sinar maju paling dulu, tongkatnya sudah ia angkat ke atas, siap untuk menghantam kepala musuh lamanya itu. Hatinya sudah merasa girang sekali karena ia akan merasa aman kalau musuh yang paling berat ini tewas. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi, mengikuti suara suling dan suara ini amatlah lembut akan tetapi kedengaran bersemangat sekali.

   "Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (Bekerja untuk rakyat dan negara, itulah paling mulia)"

   It-gan Kai-ong yang sudah mengangkat tongkatnya, terkejut sekali. Apalagi setelah tiba-tiba terdengar suara yang-kim yang nyaring mengiring lagu yang dimainkan oleh Suling Emas, terjadilah hal yang luar biasa.

   Enam orang itu serta-merta menjatuhkan diri dan duduk bersila, meramkan mata dan mengendalikan semangat mereka yang terbawa melayang-layang oleh lagu yang diciptakan oleh suara suling dan yang-kim. Tak mampu lagi mereka bergerak, apalagi menyerang, lenyap sama sekali nafsu bertempur. Juga semua orang yang tadinya berada di bawah pengaruh suara suling, kini dapat menarik napas lega karena gabungan suara suling dan yang-kim ini, biarpun membuat mereka terpesona dan tak dapat bergerak, namun amat enak dan menyenangkan hati dan pikiran, membuat mereka merasa seperti melayang-layang di angkasa dan menciptakan pandangan tentang pahlawan-pahlawan pembela tanah air. Mereka seakan-akan mimpi tentang dongeng akan pahlawan-pahlawan yang paling mereka kagumi.

   Perlahan-lahan gabungan suara musik itu lenyap. Keadaan menjadi sunyi kembali sungguhpun gema suara ajaib tadi masih terngiang di dalam telinga. Semua orang membuka mata dan meloncat berdiri, seakan-akan baru bangun daripada tidur nyenyak. Kiranya di dekat Suling Emas yang masih duduk bersila di atas tanah, terdapat seorang kakek tua renta yang juga duduk bersila. Seorang kakek yang berpakaian sederhana, berambut panjang sudah putih semua, juga kumis dan jenggotnya sudah putih. Akan tetapi di balik kesederhanaannya ini terpancar cahaya keagungan yang amat berwibawa. Pada punggungnya tersembul keluar sebuah alat musik yang-kim. Wajahnya yang cerah itu membayangkan keramahan, kesabaran dan pengertian yang mendalam dan luas, yang memaksa orang memperoleh kesan baik dan menghormatnya. Akan tetapi begitu It-gan Kai-ong mengenal kakek itu, ia berjingkrak marah dan berkata kasar,

   "Bu Kek Siansu, Kau berat sebelah. Percuma saja kau disebut-sebut manusia dewa yang selalu melepas budi kebaikan kepada siapapun juga tanpa memilih bulu dan dianggap tokoh yang tak sudi lagi terikat oleh segala urusan duniawi. Akan tetapi apa buktinya sekarang? Kau membantu Suling Emas menghadapi kami semua dengan ilmu sihirmu"

   Semua tokoh yang hadir di situ terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Bu Kek Siansu. Nama ini menjadi pujaan semua tokoh kang-ouw, bahkan setiap tahun sekali semua tokoh kang-ouw mengharapkan bertemu dengan kakek manusia dewa ini karena konon kabarnya setiap tahun apabila bertemu dengan orang, kakek ini berkenan memberikan satu dua macam ilmu kesaktian yang jarang tandingannya di dunia ini. Sekarang secara tiba-tiba kakek itu muncul dan mendengar tuduhan It-gan Kai-ong, semua orang kini memandang kakek itu untuk mendengar jawabannya. Kakek itu tersenyum ramah, menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri dengan gerakan perlahan. Suling Emas juga bangkit berdiri dan tanpa mengeluarkan kata-kata ia berdiri di sebelah kiri kakek itu sambil menundukkan muka dan dengan sikap menghormat.

   "It-gan Kai-ong, bersabarlah dan hembuskan semua hawa nafsu yang meracuni hatimu,"

   Kata Bu Kek Siansu, suaranya tetap sabar dan tenang serta ramah.

   "Aku tidak pilih kasih, tidak pula melepas budi kepada siapapun juga dan tidak mengikat diri dengan dunia. Aku tidak membantu Suling Emas, melainkan mencegah pembunuhan orang yang tidak berdosa. It-gan Kai-ong, andaikata kau orangnya yang kena fitnah seperti Suling Emas dan akan dibunuh kemudian kebetulan aku lewat dan melihatnya, sudah tentu aku pun akan berusaha mencegah pembunuhan itu."

   "Uuhhh, pemutaran lidah. Tua bangka yang pura-pura suci"

   It-gan Kai-ong memaki-maki, akan tetapi yang dimaki malah tersenyum-senyum sehingga akhirnya kakek pengemis itu menjadi jengah sendiri dan menghentikan makiannya, menoleh kepada orang banyak dan berkata.

   "Kawan-kawan sekalian mendengar omongannya yang busuk itu. Sudah terang Suling Emas putera tunggal Tok-siauw-kui yang telah berbuat banyak kejahatan, sudah jelas Suling Emas yang harus menebus dosa ibu kandungnya, kakek sinting ini bilang Suling Emas kena fitnah dan tidak berdosa. He, Bu Kek Siansu, tua bangka keparat, apakah kau berani bilang bahwa ibu Suling Emas, si wanita jalang Tok-siauw-kui itu pun tidak berdosa?"

   "It-gan Kai-ong, tutup mulutmu yang busuk dan kalau memang kau mencari lawan, boleh lawan aku sampai seribu jurus. Kau mengandalkan kesabaran Siansu lalu melontarkan makian dan hinaan, hemmm, sungguh tak tahu malu"

   Suling Emas tiba-tiba berseru marah kepadanya.

   "Ho-ho-ha-ha. Kawan-kawan lihatlah baik-baik, tadi dia tunggang-langgang melarikan diri, sekarang setelah ada pembelanya menjadi galak dan sombong. Suling Emas, kau boleh menunggu giliran, sekarang kami berurusan dengan kakek tua bangka mau mampus ini. He, Bu Kek Siansu, kau jawablah"

   Sukarlah mencari orang yang sudah sedemikian teguh jiwanya seperti Bu Kek Siansu. Dimaki dan dihina seperti ini, sama sekali tidak marah, bahkan sedikit pun ia tidak berpura-pura sabar. Di bagian depan dari cerita ini sudah dituturkan betapa ia dicurangi oleh Hek-giam-lo, It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, yang tidak saja berusaha membunuhnya, akan tetapi juga merampas kitab dan yang-kim, namun sama sekali kakek dewa ini tidak menaruh dendam atau marah. Kini pun, dimaki oleh gembel iblis itu, ia hanya tersenyum, wajahnya tetap cerah, pandang matanya tetap penuh kasih.

   "It-gan Kai-ong, aku tidak mau bilang bahwa selama hidupnya, Tok-siauw-kui Liu Lu Sian tak pernah berbuat dosa. Akan tetapi, agaknya lebih baik sering kali kena fitnah daripada sungguh-sungguh berdosa. Tentu saja aku tidak tahu akan semua urusannya, akan tetapi ada beberapa urusan yang kuketahui benar. Sebagian besar daripada kalian yang kini menumpahkan dendam kepada Suling Emas, ternyata telah melontarkan fitnah yang tidak disengaja karena mungkin tidak tahu, akan tetapi aku banyak mengetahui urusannya dan sama sekali tidak boleh terlalu disalahkan kepada Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, apalagi pada puteranya ini."

   Ucapan kakek ini bukan hal aneh karena memang semua orang sudah mendengar belaka akan sepak terjang yang aneh dan luar biasa dari kakek Bu Kek Siansu. Kalau kakek ini mengetahui akan semua urusan di dunia kang-ouw, hal itu tidaklah mengherankan. Semenjak puluhan tahun yang lalu, nama Bu Kek Siansu terkenal mengatasi semua nama-nama besar seperti nama Pat-jiu Sin-ong tokoh Beng-kauw, atau pun Kim-mo Taisu si manusia emas yang menggemparkan kolong langit (baca ceritaSuling Emas). Kali ini, orang tidak menjadi heran kalau kakek sakti itu tahu pula akan urusan Tok-siauw-kui, akan tetapi pernyataan Bu Kek Siansu bahwa Tok-siauw-kui tidak berdosa, benar-benar mendatangkan rasa penasaran di hati banyak tokoh yang mendendam kepada wanita itu dan yang kini hendak menumpahkan dendamnya kepada putera Tok-siauw-kui. Karena merasa penasaran, Cheng San Hwesio segera melangkah maju, menjura kepada Bu Kek Siansu dan berkata lantang.

   "Omitohud. Benar-benar pinceng yang sudah tua dan tak lama lagi berada di dunia, mendapat berkah besar dengan perjumpaan ini. Telah puluhan tahun mendengar nama besar yang mulia dari Bu Kek Siansu dan pinceng hendak menggunakan kesempatan baik ini untuk mohon petunjuk. Siansu yang dimuliakan, dua puluh tahun lebih yang lalu, seorang janda muda telah membunuh tiga orang suhengku dari Siauw-lim-pai, kemudian menculik seorang suteku yang kemudian lenyap tak tentu rimbanya. Janda muda yang cantik dan berwatak iblis itu bukan lain adalah Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, puteri dari ketua Beng-kauw. Mohon petunjuk Siansu, apakah dalam urusannya dengan fihak Siauw-lim-pai ini Tok-siauw-kui Liu Lu Sian tidak bersalah?"

   Si kakek tua renta mengangguk-angguk,

   "Saudara-saudara sekalian. Kebetulan sekali Tok-siauw-kui pernah menceritakan semua dosa-dosanya kepadaku dan minta petunjuk pula, oleh karena itu aku banyak tahu akan urusannya."

   Ia menarik napas panjang dan mengingat-ingat wanita yang menjadi biang keladi semua keributan ini (baca cerita Suling Emas).

   "Dan urusannya dengan Siauw-lim-pai juga telah kuketahui. Hwesio yang baik, kalian dari Siauw-lim-pai memang selamanya jujur, keras dan berdisiplin. Kematian tiga orang suhengmu dalam pertandingan melawan Tok-siauw-kui adalah karena tiga orang suhengmu kalah pandai. Adapun yang menjadi sebabnya adalah sutemu yang sama sekali bukan diculik oleh Tok-siauw-kui, melainkan karena tergila-gila dan memang mengadakan perhubungan gelap dengan Liu Lu Sian sehingga hal itu membuat tiga orang suhengmu marah-marah dan hendak membunuh sutemu. Tok-siauw-kui membela kekasihnya dan tiga orang suhengmu tewas dalam pertempuran. Nah, Cheng San Hwesio, biarpun dalam hal ini Tok-siauw-kui boleh jadi mempunyai kesalahan karena berjina dengan sutemu, namun fihak Siauw-lim-pai juga mempunyai kesalahan, yaitu apa yang dilakukan oleh sutemu. Kiranya tidak patut kalau hendak menimpakan kesalahan ini kepada putera Tok-siauw-kui yang tidak tahu apa-apa dalam urusan itu. Apalagi kalau diingat bahwa kalian dari Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang menjadi murid Buddha. Ke manakah pelajaran welas asih dan cinta kasih yang menjadi pokok pelajaran agamamu? Cheng San Hwesio, harap kau jangan lupa bahwa BALAS DENDAM adalah buah daripada BENCI yang menjadi senjata setan untuk menyeret manusia ke lembah kesesatan. Sebaliknya RELA MAAF adalah buah daripada CINTA KASIH yang akan menjadi obor bagi manusia menuju jalan kebajikan."

   "Omitohud.. kata-kata mutiara Siansu bagaikan air sungai gunung yang dingin menyegarkan orang kehausan. Terima kasih, Siansu. Suling Emas, urusan ibu kandungmu sudah selesai oleh kematian Tok-siauw-kui, mulai sekarang Siauw-lim-pai takkan mempersoalkannya lagi. Pinceng sudah bicara"

   Hwesio ini memberi hormat kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu.

   "Omitohud.. Bu Kek Siansu telah memuaskan hati Cheng San Hwesio. Siansu yang bijaksana, pinceng harap kau akan dapat memberi penerangan pula kepada pinceng. Dua puluh tahun lebih yang lalu, Tok-siauw-kui mencuri kitab pusaka dari Go-bi-pai. Sekarang Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan kitab itu masih lenyap dari Go-bi-pai. Kalau sekarang pinceng menuntut kepada putera tunggalnya agar kitab itu dikembalikan, bukankah hal ini sudah adil dan patut?"

   "Hwesio yang baik dari Go-bi-pai, sudah sewajarnya yang kehilangan mencari yang mencuri dan mengembalikan. Akan tetapi Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan sudah sewajibnya kalau kitab itu ditinggalkan kepada Suling Emas, ia harus mengembalikannya kepadamu. Kim-siauw-eng apakah kau mendapat peninggalkan sesuatu dari ibumu termasuk kitab Go-bi-pai itu?"

   "Teecu tidak menerima peninggalan sesuatu dan tak pernah mendengar tentang kitab pusaka Go-bi-pai."

   "Kalau begitu, sudah menjadi kewajiban Suling Emas untuk membantu pihak Go-bi-pai mencari kembali kitab itu agar dikembalikan kepada Go-bi-pai yang berhak memilikinya, di samping berbakti kepada ibu kandung. Sanggupkah kau, Kim-siauw-eng?"

   "Teecu sanggup. Hek Bin Hosiang, apakah nama kitab itu?"

   "Kitab yang dicurinya adalah kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Tiga Belas Bintang) yang mengandung pelajaran I-kin-swe-jwe (Mengganti Otot Mencuci Sumsum)"

   "Harap Lo-suhu sudi memberi waktu, saya akan berusaha mencarinya dan mengembalikannya ke Go-bi-pai."

   "Bagus. Kalau Suling Emas sudah sanggup mencari dan mengembalikan, pinceng cukup puas dan hal itu pasti akan terlaksana. Kiranya ketua kami juga akan menghabiskan perkara ini, apalagi setelah Bu Kek Siansu yang mulia menjadi penengah. Maaf, pinceng tak dapat lebih lama tinggal di sini."

   Hwesio ini pun menjura kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bu Kek Siansu gembira sekali.

   "Nah, nah, bukankah segala hal dapat diselesaikan? Bukankah kita dapat mengatasi segala macam kesulitan kalau kita mau dengan landasan cinta kasih?"

   "Maaf.. aku.."

   Suling Emas mengerutkan kening dan sinar matanya agak gugup ketika ia melihat gadis baju hijau melangkah maju dan mengeluarkan kata-kata terputus-putus itu. Muka gadis itu sebentar pucat sebentar merah.

   "Ya, apa yang hendak kau bicarakan, Nona Muda?"

   Bu Kek Siansu menenangkannya dengan kata-kata halus.

   "Maaf, Siansu.."

   Gadis itu memberi hormat.

   "Teecu sudah lama mendengar nama Siansu yang dipuja sebagai dewa, bahkan di waktu ayah masih hidup, ayah sering kali mendongeng tentang Siansu yang amat dikagumi ayah. Akan tetapi ayah.. ah, ayah meninggalkan teecu dalam keadaan menyedihkan. Ayahku telah dibunuh oleh Tok-siauw-kui setelah iblis wanita itu berhasil membujuk ayah dan mengelabuhi ayah sehingga ayah menurunkan gin-kang keluarga kami kepada Tok-siauw-kui. Wanita iblis yang palsu dan jahat itu sebagai tanda terima kasih malah membunuh ayah. Siansu, setelah Tok-siauw-kui meninggal, kepada siapa lagi kalau bukan kepada puteranya teecu membalas? Kalau teecu tidak membalas dendam ayah ini, bukankah teecu akan menjadi seorang anak yang puthauw (tidak berbakti)?"

   Di dalam suara gadis ini terkandung isak.

   "Nona, siapakah ayahmu?"

   "Ayah adalah Hui-kiam-eng Tan Hui.."

   Mendengar nama ini, semua orang menengok dan ada yang berseru perlahan. Nama besar Hui-kiam-eng Tan Hui sudah amat terkenal dan mereka tadinya tidak menyangka bahwa gadis baju hijau yang cantik dan gagah ini adalah puteri pendekar itu. Maklumlah, mereka semua adalah orang-orang yang tadinya menjadi tamu di Nan-cao. Ketika mereka keluar dari Nan-cao, di jalan mereka terbujuk oleh ucapan It-gan Kai-ong yang mengajak musuh-musuh Tok-siauw-kui membalas dendam mereka kepada putera tunggalnya. Semua tokoh kang-ouw mengenal belaka siapa adanya Hui-kiam-eng Tan Hui jago pedang yang memiliki ilmu gin-kang luar biasa sekali sehingga kalau ia main pedang, seakan-akan jago ini terbang bersama pedangnya sehingga ia dijuluki Pendekar Pedang Terbang (baca ceritaSuling Emas).

   "Ahhhhh.. dia itu ayahmu? Nona, kebetulan sekali aku sendiri tahu akan hal ayahmu dan Tok-siauw-kui, karena diantara semua yang diceritakanya, soal ayahmu ia ceritakan dengan jelas. Ketahuilah bahwa semenjak meninggalkan suaminya di kaki Gunung Cin-ling-san, laki-laki pertama yang merebut hati Tok-siauw-kui adalah ayahmu yang pada waktu itu menjadi duda pula. Mereka itu saling mencinta, dan demikian besar cinta ayahmu sehingga ayahmu mengajarkan gin-kangnya kepada Tok-siauw-kui. Hal itu terjadi dua puluh tahun lebih yang lalu, agaknya kau masih kecil.."

   "Teecu baru berusia lima tahun ketika ayah meninggal. Teecu lalu dipelihara oleh paman teecu berikut warisan kitab-kitab pelajaran dari ayah.."

   Kembali suara ini tercampur isak.

   "Begitulah. Ayahmu jatuh cinta bersama Tok-siauw-kui dan agaknya mereka akan menjadi suami isteri kalau saja ayahmu tidak mendengar akan latar belakang riwayat hidup Tok-siauw-kui. Ayahmu menjadi kecewa, lalu mendekati gadis lain yang dicalonkan menjadi isterinya. Tok-siauw-kui menjadi cemburu, marah, terjadi percekcokan sehingga mereka bertempur yang mengakibatkan tewasnya ayahmu. Nah, bukankah kematian ayahmu itu bukan semata-mata akibat kejahatan Tok-siaw-kui, akan tetapi banyak tali temalinya dan sebagian besar sebabnya adalah karena ayahmu sendiri?"

   Wajah Bu-eng-sin-kiam Tan Lian menjadi pucat.

   "..tapi..betulkah itu, Siansu..?"

   "Begitulah kiranya. Kau dapat bertanya-tanya kepada pamanmu atau mereka yang mengetahuinya. Begitulah hidup di dunia ini, Nona. Kejadian yang sudah SEMESTINYA terjadi, akan terjadilah. Tiada kekuasaan lain di dunia ini mampu mengubahnya. Setiap kejadian di dunia ini sudah sewajarnya, tidak mempunyai silat menyenangkan atau menyusahkan, wajar dan sudah semestinya. Kalau toh mengakibatkan senang dan susah, bukan kejadian itu yang mengakibatkan, melainkan si orang itu sendiri yang menghadapi kejadian. Kalau dibuat susah, akan susahlah ia, kalau dibuat senang, akan senanglah ia. Ayahmu sudah mati, juga Tok-siauw-kui sudah mati. Kau yang masih hidup, mengapa harus melibatkan diri dengan urusan mereka yang sudah mati?"

   Wajah yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah. Beberapa kali ia mengerling ke arah Suling Emas, kemudian dengan isak tertahan ia melompat dari situ dan sekali berkelebat lenyaplah nona itu. Semua orang menjadi kagum dan terbuktilah kehebatan gin-kang yang disohorkan orang dari keluarga Hui-kiam-eng Tan Hui.

   "Wah-wah, tua bangka ini menggunakan sihirnya untuk melemahkan semangat orang"

   It-gan Kai-ong membanting-banting tongkatnya ke atas tanah.

   "Kawan-kawan semua, kita pergi saja jangan sampai dia sempat mengelabui kita dengan omongan-omongan busuk dan ilmu sihir. Kita laki-laki sejati, bukan banci, sekali mempunyai cita-cita membalas dendam dan berbakti kepada yang sudah mati, hanya maut yang dapat menghentikan cita-cita itu. Mari kita pergi, lain kali masih banyak waktu untuk menghukum putera tunggal Tok-siauw-kui"

   Memang para tokoh kang-ouw itu merasa jerih dan juga sungkan untuk bermusuhan dengan Bu Kek Siansu, maka mendengar ucapan It-gan Kai-ong ini, berturut-turut mereka meninggalkan tempat itu. Setelah semua orang pergi, Suling Emas menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu. Kakek ini mengerutkan keningnya, berkata halus,

   "Kim-siauw-eng, ke mana perginya keteguhan hatimu? Mengapa saat ini kau terserang kelemahan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan kegagahanmu? Laki-laki sama sekali pantang untuk turun semangat dan membiarkan hatinya digerogoti perasaan duka. Apakah yang mengganggu pikiranmu, orang muda?"

   "Locianpwe, teecu berterima kasih bahwa Locianpwe telah menyelamatkan teecu daripada bahaya maut. Akan tetapi kesedihan hati teecu lebih besar daripada rasa syukur telah bebas dari kematian. Mendengar semua orang membenci teecu karena mendiang ibu, tidaklah mengguncangkan perasaan teecu. Akan tetapi mendengar kenyataan bahwa ibu kandung teecu dahulunya begitu keji dan jahat hal inilah yang menghancurkan hati teecu. Mohon petunjuk Locianpwe."

   "Aku sudah heran tadi mengapa kau hanya menghadapi orang-orang yang mengancam nyawamu dengan Kim-kong-sin-im saja, padahal kalau kau melawan mereka dengan Hong-in-bun-hwat dan dengan ilmu silatmu yang lain, kau takkan terancam bahaya maut. Kiranya kau merasa betapa ibumu berdosa dan kau sengaja hendak mengorbankan diri menebus dosanya. Orang muda, ibumu memang memiliki watak yang keras. Akan tetapi ia hanya seorang manusia biasa saja, seperti manusia-manusia lain ia pun mempunyai kelemahan. Manusia adalah mahluk yang lemah dan karenanya mudah lupa akan kemanusiaan. Tidak ada manusia baik atau jahat di dunia ini, semua sama saja karenanya dengan dasar pikiran ini orang budiman mengasihi semua manusia tanpa pandang perbedaan. Yang suka disebut orang jahat adalah orang yang sedang lupa, dilupakan oleh nafsu ingin senang sendiri, ingin menang sendiri, ingin enak sendiri, tanpa mempedulikan keadaan orang lain, maka perbuatannya yang ditunggangi nafsu-nafsu demikian itu merugikan orang lain. Orang yang dirugikan tentu akan menganggapnya jahat. Sebaliknya, orang yang sedang sadar, bebas nafsu, tentu akan timbul prikemanusiaannya dan melakukan perbuatan yang menguntungkan atau menyenangkan orang lain. Orang yang diuntungkan atau disenangkan demikian itu tentu akan menganggapnya baik. Jadi pada umumnya, manusia menilai BAIK atau JAHAT itu didasarkan pada akibat MENGUNTUNGKAN atau MERUGIKAN dirinya yang sebetulnya juga menjadi rangkaian daripada nafsunya sendiri."

   
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Teecu dapat memahami filsafat yang Locianpwe ajarkan. Mungkin mendiang ibu melakukan semua itu karena lemah dan lupa, ingin mengumbar nafsu sehingga akibatnya merugikan bayak orang dan menimbulkan benci. Sekarang mereka hendak menuntut kepada teecu, bagaimana teecu harus berbuat? Locianpwe, biarpun ibu dikatakan orang jahat, namun ia adalah ibu kandung teecu dan teecu belum pernah melakukan sesuatu kebaktian bagi ibu, belum dapat membalas kesengsaraan ibu ketika ibu mengandung dan melahirkan serta memelihara teecu. Apakah yang teecu harus lakukan?"

   Kakek itu lalu bersila di depan Suling Emas, menurunkan yang-kim dan mulai mainkan yang-kimnya. Suling Emas cepat-cepat mengambil sulingnya dan tak lama kemudian di tempat yang sunyi itu kembali terdengar paduan suara yang-kim dan suling, melagukan nyanyian yang amat merdu, akan tetapi yang mengandung pengaruh luar biasa sekali sehingga keadaan di lembah itu amat aneh. Kadang-kadang paduan suara itu terdengar seperti badai mengamuk sehingga keadaan sekelilingnya menjadi makin sunyi karena binatang-binatang hutan tidak ada yang berani muncul maupun bersuara. Di lain saat terdengarlah paduan suara yang lembut merayu seperti bisikan-bisikan angin lalu, seperti kicau burung dan gemerciknya air anak sungai yang bening, sehingga burung-burung di hutan itu mulai ikut berkicau, binatang-binatang mulai keluar dari tempat sembunyi mereka dan suasana menjadi tenteram dan penuh damai. Lebih dua jam mereka berlatih. Akhirnya paduan suara itu menghilang dan dengan senyum puas kakek Bu Kek Siansu meninggalkan Suling Emas yang masih berlutut di atas tanah.

   "Tugasmu amat banyak, Suling Emas. Berbahagialah manusia yang masih mempunyai tugas-tugas dalam hidupnya, karena tidak ada yang lebih mulia dalam hidup ini selain menunaikan tugas-tugas hidup, mempergunakan tenaga dan pikirannya yang amat dibutuhkan orang lain."

   "Locianpwe, setelah semua tugas teecu selesai, teecu ingin sekali ikut Locianpwe menuntut ilmu bertapa dan menjauhkan diri daripada urusan dunia."

   "Lamunan semua orang muda yang sedang diamuk duka nestapa. Tunggu saja kalau kau sudah bertemu dengan jodohmu, ha-ha, mungkin kupaksa ikut pun kau akan menolak. Selamat tinggal"

   Maka pergilah kakek itu.

   Sepergi kakek sakti Bu Kek Siansu Suling Emas duduk terus bersila sambil termenung. Tunggu kalau dia bertemu jodohnya? Apa arti ucapan kakek sakti itu? Ia maklum bahwa Bu Kek Siansu adalah seorang sakti yang sukar dicari bandingnya pada masa itu, dan bahwa kakek itu selain memiliki kesaktian, juga memiliki ilmu kebatinan yang dalam. Akan tetapi, dalam hal jodoh, tiada manusia di dunia ini lebih berkuasa daripada Dewa jodoh yang sudah diberi tugas oleh Thian untuk mengurus soal-soal perjodohan manusia di permukaan bumi. Dan oleh Dewa jodoh, pertaliannya dengan satu-satunya wanita yang pernah ia cinta, pertalian kasih sayang yang mendalam, agaknya telah diputuskan. Ataukah ini yang dibilang bahwa wanita itu bukan jodohnya? Akan tetapi dia satu-satunya gadis yang pernah ia cinta, ia sayang, seperti hatinya"

   "Ceng Ceng.. kekasihku.."

   Terdengar ia berbisik, merupakan keluhan yang langsung keluar dari hatinya yang terluka. Terbayanglah wajah seorang wanita yang ayu, yang lemah lembut dan yang sikapnya agung. Wajah jelita gadis pujaan hatinya. Suma Ceng. Terbayanglah dengan amat jelasnya di dalam ingatan, sepuluh tahun yang lalu. Ia masih menjadi seorang pengawal muda yang dipercaya oleh Pangeran Suma Kong di kota raja, bahkan diberi tempat tinggal di sebuah bangunan samping gedung pangeran itu. Masih jelas terbayang pertemuan pertama kali dengan Suma Ceng, puteri pangeran itu. Bulan bersinar indah dan penuh pada malam itu. Ia duduk di dalam taman bunga Pangeran Suma yang luas, duduk di depan pondok taman sambil meniup suling, permainan yang digemarinya semenjak ia kecil. Kemudian, bagaikan Sang Dewi Malem atau Dewi Purnama sendiri turun ke dunia, puteri jelita itu muncul, tertarik oleh suara sulingnya.

   "Ceng Ceng.."

   Kembali Suling Emas menarik napas panjang dalam lamunannya. Teringat dan terbayanglah semua itu. Betapa mesra pertemuan itu, betapa sinar mata mereka yang bicara dalam seribu bahasa, mewakili bibir yang tak pandai berkata-kata.

   Kemudian betapa mimpi muluk itu menjadi hancur berantakan oleh kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Ia hanya seorang pelajar yang tak pernah lulus ujian, Suma Ceng puteri seorang pangeran, bahkan pangeran yang menjadi majikannya. Namun betapa cinta kasih membikin ia buta akan kenyataan ini, membuat Suma Ceng juga buta bahkan ia tak mungkin berjodoh dengan seorang pegawai biasa. Mereka bagaikan mabuk asmara, asyik dan masyuk, dibuai gelora cinta kasih yang mendalam. Hubungan dilanjutkan, hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap yang menjadi saksi akan pertalian cinta kasih di antara mereka yang makin mendalam. Akhirnya, semua mimpi muluk berakhir. Dalam lamunannya, Suling Emas mengeluh. Pertemuannya dengan kekasihnya ketahuan. Ia seorang pemuda lemah ketika itu. Ia dihajar, dihukum, hampir dibunuh, akhirnya ia tertolong oleh Kim-mo Taisu yang kemudian menjadi gurunya (baca cerita Suling Emas yang amat menarik).

   

Bu Kek Siansu Eps 21 Bu Kek Siansu Eps 3 Bu Kek Siansu Eps 3

Cari Blog Ini