Ceritasilat Novel Online

Cinta Bernoda Darah 26


Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 26



"Di mana makamnya..?"

   Tanya Lin Lin, suaranya agak gemetar. Setelah tiba di tempat pekuburan itu, hatinya gentar juga. Harus diakui bahwa sesungguhnya ia tidaklah begitu senang untuk bersumpah menjadi murid Pat-jiu Sin-ong yang sudah mati. Ia mempelajari ilmu ciptaan Pat-jiu Sin-ong bukan disengaja, secara kebetulan dan ia sama sekali tidak tahu sebelumnya bahwa ilmu itu ciptaan pendiri Beng-kauw. Kalau dulu ia menurut kepada Suling Emas dan sanggup untuk bersumpah menjadi murid, hal itu hanyalah karena ia begitu amat inginnya melakukan perjalanan bersama Suling Emas. Dan harus ia akui bahwa selama beberapa pekan ini, melakukan perjalanan di samping Suling Emas, siang malam selalu berada di dekatnya, mendatangkan rasa gembira luar biasa dan mempertebal keyakinannya bahwa Suling Emas juga mencintanya, sebesar ia mencinta pendekar sakti itu.

   "Di sana makamnya, di bagian yang agak tinggi. Kau lihat, masih baru"

   Jawab Suling Emas sambil menudingkan telunjuknya.

   Mereka berjalan menghampiri makam Pat-jiu Sin-ong yang besar dan mewah. Bagi Lin Lin tempat ini menyeramkan sekali, akan tetapi yang lebih menggelisahkan hatinya adalah bahwa ia harus bersumpah menjadi murid penghuni makam. Amat heran hati Lin Lin melihat betapa Suling Emas serta-merta menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat di depan makam. Mengapa Suling Emas begini menghormat ketua Beng-kauw yang sudah meninggal, pikirnya. Padahal seingatnya, Suling Emas duduk sejajar dengan ketua Beng-kauw yang masih hidup.

   "Lin-moi, lekas kau berlutut dan mengucapkan sumpahmu, biar aku menjadi saksi."

   Terdengar Suling Emas berkata. Akan tetapi Lin Lin tetap berdiri tegak, tidak mau berlutut dan tidak mengeluarkan kata-kata.

   "Lin-moi, mau tunggu apa lagi?"

   Lin Lin tetap diam saja.

   "Lin-moi, mengapa kau ragu-ragu? Bukankah sudah jelas kuterangkan kepadamu?"

   "Ah, aku.. aku tidak bisa. Hal ini seakan-akan suatu paksaan. Suling Emas, bagaimana kau bisa tahu apakah benar-benar Pat-jiu Sin-ong menghendaki aku menjadi muridnya? Kalau beliau tidak menghendaki, bukankah berarti kita membikin rohnya menjadi penasaran?"

   Suling Emas tertegun, memandang kepada Lin Lin, lalu menoleh ke arah makam. Pada saat itu ia melihat berkelebatnya bayangan orang. Ketika ia memandang jauh, hatinya berdebar karena ia mengenal laki-laki tua memakai caping lebar itu. Kauw Bian Cinjin. Celaka, pikirnya. Kalau Kauw Bian Cinjin melihat mereka di situ tentu akan bertanya dan kalau kakek itu mengetahui duduk perkara sebenarnya, sudah pasti kakek itu takkan membiarkan Lin Lin hidup.

   "Lin-moi, lekas berlutut. Lekas bersumpah sebelum terlambat"

   Desaknya sambil memegang tangan gadis itu.

   "Tidak, aku tidak bisa lakukan itu.. masih ada jalan lain.."

   Suling Emas hendak membantah, akan tetapi terlambat. Kauw Bian Cinjin yang bergerak cepat sekali sudah tiba di situ dan kakek ini biarpun terheran melihat Suling Emas dan Lin Lin berada di makam Pat-jiu Sin-ong, namun agaknya tidak mempedulikan ini. Malah ia segera berseru.

   "Kim-siauw-eng"

   Apakah kau tidak melihat Hwee-ji?"

   Pertanyaan ini yang sama sekali tidak tersangka-sangka, tentu saja membuat Suling Emas tercengang.

   "Bukankah dia sudah pulang bersama Bu Sin?"

   Tentu saja ia menjadi tercengang dan heran karena ia sendiri yang menolong kedua orang muda itu dari ancaman Siang-mou Sin-ni, kemudian ia menyuruh mereka kembali ke Nan-cao sedangkan ia sendiri pergi mencari Lin Lin dan Sian Eng. Kauw Bian Cinjin kelihatannya tergesa-gesa sehingga tidak sempat untuk banyak bercerita.

   "Dia sudah pulang. Kam Bu Sin sicu (tuan muda gagah) pulang lebih dulu ke Cin-ling-san menemui bibi gurunya. Akan tetapi malam tadi, entah bagaimana dan mengapa, kelihatan di sini putera pangeran yang jahat itu, Suma Boan, berkeliaran dan keadaannya seperti orang gila. Hwee-ji mengejarnya, akan tetapi sampai sekarang keduanya tidak tampak bayangannya, kami menjadi khawatir sekali."

   "Ahhh.."

   Suling Emas terkejut.

   "Biarlah aku mencari mereka"

   Sambil berkata demikian, ia menyambar tangan Lin Lin dan berkata.

   "Hayo kita pergi dulu dari sini mengejar mereka"

   Lin Lin tidak diberi kesempatan bicara. Pula, gadis ini diam-diam merasa girang dan lega bahwa ada urusan lain yang membuat penyumpahannya sebagai murid Pat-jiu Sin-ong tertunda. Ia tadi sudah bingung den khawatir kalau-kalau Suling Emas menjadi kecewa dan marah oleh penolakannya. Kini Suling Emas mengajaknya pergi, tanpa banyak cakap lagi ia lalu ikut berlari sambil mengangguk dan tersenyum kepada Kauw Bian Cinjin yang memandangnya dengan kening berkerut. Mau apa gadis liar ini di sini? Demikian pikir Kauw Bian Cinjin. Akan tetapi karena ia tahu bahwa gadis itu adalah adik angkat Suling Emas, ia pun tidak mau memikirkannya lagi.

   "Kim-siauw-eng, kau mencari ke timur aku ke utara"

   Teriaknya. Suaranya terbawa angin dan karena kakek ini mengerahkan khi-kang, dapat juga suara ini mengejar dan sampai ke telinga Suling Emas.

   "Baik"

   Jawab Suling Emas sambil mengerahkan khi-kang pula karena keduanya sudah terpisah amat jauh, tidak tampak lagi, namun dengan kesaktian mereka, kedua orang ini masih dapat saling menyampaikan pesan. Apakah sebenarnya yang terjadi? Bagaimana Suma Boan, putera pangeran itu, secara mendadak berada di Nan-cao, berkeliaran seperti orang gila kata Kauw Bian Cinjin, sehingga kini dikejar-kejar oleh Liu Hwee?

   Seperti telah dituturkan di bagian depan, ketika Sian Eng dan Bu Sin menjadi tawanan Hek-giam-lo di dalam terowongan rahasia, Bu Sin diculik oleh Siang-mou Sin-ni sehingga akhirnya tertolong oleh Liu Hwee dan kemudian ditolong pula oleh Suling Emas. Adapun Sian Eng yang berada dalam keadaan tertotok, ditolong dan dibawa pergi oleh Suma Boan. Cinta memang dapat meracuni hati siapa saja tanpa pandang bulu. Dan kalau cinta sudah berkuasa, banyak terjadi hal-hal aneh dan kadang-kadang pandangan seorang korban cinta jauh berlawanan dengan pandangan umum. Agaknya seluruh orang di dunia ini yang merasa suka kepada Sian Eng, akan kecewa dan tidak setuju kalau gadis cantik gagah ini jatuh cinta kepada seorang pemuda bangsawan yang berwatak buruk macam Suma Boan.

   Akan tetapi apa hendak dikata. Sejak pertemuan pertama Sian Eng memang sudah jatuh hati kepada putera pangeran ini"

   Apa pun yang akan dikatakan orang lain, tak mungkin masuk di hati seorang yang sudah jatuh cinta. Demikianlah, ketika dirinya dipondong pergi oleh Suma Boan, diam-diam Sian Eng merasa terharu dan girang sekali, sungguhpun ada perasaan kecewa dan khawatir di hatinya kalau ia teringat akan kakaknya, Bu Sin. Suma Boan berlari cepat dan karena ia berada dalam keadaan tertotok, Sian Eng tidak bisa apa-apa. Baru beberapa hari kemudian Suma Boan menurunkannya dari pondongan dan membebaskan totokannya. Sian Eng segera menegur.

   "Suma-koko, kenapa baru sekarang kau bebaskan aku? Kalau tadi-tadi, kan kita berdua bisa menolong Bu Sin koko? Ah, bagaimana nasibnya sekarang?"

   Suma Boan merangkul pundaknya.

   "Jangan bodoh, Eng-moi. Kau tahu sendiri, tempat itu adalah tempat Hek-giam-lo yang lihai. Bagaimana aku bisa sekaligus menolong dua orang? Dan saking takutku kalau-kalau Hek-giam-lo akan mengejar, aku terus saja membawamu lari dan baru sekarang berani berhenti di sini. Ah, Moi-moi, baru sekarang kita dapat bertemu dan berkumpul. Alangkah gelisah hatiku ketika kita berpisah di Nan-cao. Eng-moi, mengapa kau bisa berada di terowongan tempat sembunyi Hek-giam-lo itu bersama kakakmu?"

   Dengan halus Sian Eng melepaskan pundaknya dari rangkulan. Biarpun di hutan itu sunyi tidak ada orang lain, namun ia tidak mau pemuda yang dicintanya itu bersikap terlalu mesra kepada dirinya. Mereka belum berjodoh, belum pula bertunangan"

   Akan tetapi ia mengajak pemuda itu duduk mengaso dan berceritalah ia tentang usaha mereka mencari Lin Lin sehingga mereka berdua terpisah dari Suling Emas dan kena tangkap Hek-giam-lo.

   "Kau agaknya sudah tahu bahwa kakakku yang hilang, Kam Bu Song, adalah Suling Emas. Kenapa dahulu-dahulu tidak lekas beri tahu padaku?"

   Tegur Sian Eng. Suma Boan tersenyum dan memegang tangan gadis itu.

   "Aku belum yakin, hanya baru menduga. Kakakmu itu saling mencinta dengan adikku, akan tetapi perjodohan mereka gagal karena ayah tidak setuju. Tidak apa, sekarang ada gantinya engkau. Ayah pasti setuju mempunyai mantu seperti kau."

   Sambil berkata demikian Suma Boan mencoba untuk merangkul lagi.

   "Ihhh, jangan begitu.."

   Sian Eng melepaskan diri.

   "Soal perjodohan, bagaimana aku dapat memberi keputusan? Ada kakak-kakakku, dan terutama sekali ada bibi guruku di Cin-ling-san."

   "Aku akan pergi ke sana, akan kulamar kau dari tangan bibimu. Eng-moi, sekarang aku ada urusan penting sekali. Maukah kau membantuku?"

   "Lihat-lihat urusannya"

   "Begini, adikku yang manis. Kita melihat sendiri betapa Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang semenjak belasan tahun lenyap tak tentu rimbanya, kiranya muncul pada ulang tahun Beng-kauw dan tewas pula di situ. Akan tetapi ia telah memperlihatkan ilmu yang amat luar biasa. Agaknya ia mempunyai tempat persembunyian di Nan-cao. Ketahuilah, sewaktu hidupnya, di waktu muda dahulu, Tok-siauw-kui telah mencuri banyak sekali kitab-kitab rahasia ilmu kesaktian yang jarang bandingnya di dunia ini. Sekarang ia telah mati, akan tetapi aku percaya bahwa kitab-kitab itu masih ada, ia sembunyikan di tempat di mana ia tadinya sembunyi sebelum ia muncul dan tewas di tangan ayahnya sendiri. Hiiihhh, mengerikan sekali. Pat-jiu Sin-ong dan Tok-siauw-kui, ayah dan anak itu benar-benar bukan manusia, melainkan iblis-iblis yang luar biasa."

   Sian Eng mengerutkan keningnya, lalu menggunakan tangan kanannya menutup bibir pemuda itu.

   "Hushhh, jangan kau bicara begitu, Suma-koko. Betapapun juga, dia adalah kakek dan ibu kandung dari kakakku Kam Bu Song."

   Suma Boan mencekal tangan itu dan menciumi jari-jari yang mungil sampai Sian Eng menariknya kembali.

   "Gila"

   Cela gadis itu dengan muka menjadi merah.

   "Kau ceritakan semua itu kepadaku, dengan maksud apakah?"

   "Begini, kekasihku. Aku ingin sekali mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui itu dan kuharap kau suka membantuku.."

   "Ihhh"

   Sian Eng mengkirik karena merasa seram.

   "Kau sudah begini lihai, kau menjadi murid It-gan Kai-ong yang sakti, masa masih mau mencari kitab pusaka lagi, untuk apa?"

   "Ah, siapa bilang aku lihai? Hanya kau yang mencintaku, Eng-moi. Akan tetapi, apakah kau tidak suka melihat aku menjadi lebih lihai lagi? Begitu lihai, sehingga kalau kelak kau menjadi isteriku, aku mampu melindungimu daripada segala macam bahaya, dan kelak kalau kita mempunyai anak, aku mampu menurunkan kepandaian kepada anak kita sehingga dia menjadi seorang pendekar nomor satu di dunia?"

   Sian Eng adalah seorang gadis gunung yang sederhana pikirannya. Ucapan manis dan muluk-muluk ini sudah membuat semangatnya terbang melayang dengan nikmat sekali. Akan tetapi ia memandang Suma Boan dengan bingung.

   "Bagaimana kau bisa menemukan tempatnya? Andaikata bisa.. hiiihh, mengerikan sekali"

   Gadis ini teringat akan cerita kakaknya, Bu Sin dan ia merasa takut.

   "Apa yang mengerikan? Kau akan kuajak ke Nan-cao dan di sana, mengingat bahwa kau adalah adik tiri Suling Emas, tentu kau akan leluasa bergerak di antara orang-orang Beng-kauw. Nah, kau menjadi semacam penyelidik dan aku akan bersembunyi di luar kota raja. Setelah kau mendapat keterangan, kausampaikan kepadaku dan kita mencari kitab-kitab itu bersama. Bukankah ini bagus? He, kau mau bilang apa?"

   "Aku.. aku sudah tahu tempat sembunyi Tok-siauw-kui.."

   "Apa..?"

   Saking kaget, bernafsu dan girang, Suma Boan menarik tangan Sian Eng sehingga gadis ini tersentak berdiri dan merasa lengannya sakit.

   "Auuuhhhhh.."

   Keluhnya. Suma Boan sadar dan cepat ia merangkul, mencium, Siang Eng meronta, melepaskan diri dan bersungut-sungut.

   "Jangan sekali-kali kau berani lagi berbuat seperti ini sebelum kita menjadi suami isteri. Kalau kau berani ulangi, aku akan membencimu"

   Matanya berapi-api dan sikapnya menantang. Suma Boan adalah searang pemuda yang bangor, yang sudah banyak pengalamannya, maka tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kaki gadis itu.

   "Maaf Eng-moi, maafkan aku yang tak kuasa mengendalikan diri saking besarnya cintaku. Mari kita duduk dan ceritakanlah tentang tempat sembunyi Tok-siauw-kui.."

   Melihat pemuda bangsawan yang dikasihinya itu berlutut memeluk kakinya dan memohon dengan suara yang minta dikasihani, luluhlah hati gadis Sian Eng yang masih hijau. Cinta itu buta kata orang. Bukan cinta yang buta, melainkan orang yang sedang dimabuk cinta seperti buta. Buta dalam arti kata lengah kehilangan kewaspadaan, pertimbangannya menjadi miring, karena orang yang jatuh cinta selalu melihat kebaikan memancar keluar dari orang yang dicinta, tiada tampak cacad celanya sehingga ada perumpamaan kasar yang berbunyi bahwa tahi pun, kalau tahi kekasih, harum baunya. Demikian pula Sian Eng yang sudah tercengkeram asmara, segala gerak-gerik pemuda bangsawan ini seialu menarik, selalu menimbulkan kasihan. Melihat Suma Boan berlutut di depannya, ia lalu menyentuh pundak pemuda itu dan berkata halus.

   "Sudahlah, Koko. Aku tidak marah lagi, asal kau jangan sekasar tadi."

   Girang hati Suma Boan. Gadis ini merupakan korban yang mudah dan lunak baginya. Ia lalu menarik tangan Sian Eng dan diajak duduk di bawah pohon besar, diminta menceritakan tentang tempat sembunyi Tok-siauw-kui.

   "Aku sendiri belum melihat tempat itu, hanya mendengar dari kakakku Bu Sin."

   Ia lalu menceritakan apa yang pernah ia dengar dari Bu Sin ketika bersama Liu Hwee melarikan diri dari tahanan It-gan Kai-ong melalui lorong rahasia dan bertemu dengan Tok-siauw-kui.

   "Bagus"

   Suma Boan berseru girang.

   "Kiranya Tok-siauw-kui selama belasan tahun menghilang bersembunyi di negaranya sendiri, di dalam lorong di bawah tanah? Tentu kitab-kitabnya berada di sana pula karena ketika ia keluar dan tewas, ia tidak membawa kitab-kitab itu. Di manakah jalan keluar lorong itu menurut cerita kakakmu?"

   "Dia bilang jalan keluar itu merupakan sebuah gua kecil yang tertutup alang-alang dan tidak tampak dari luar, di sebuah hutan yang berada dekat dengan tanah kuburan para pimpinan Beng-kauw. Entah apa namanya hutan kecil itu, akan tetapi Sin-ko melihat ada serumpun bambu kuning tumbuh di atas gua."

   Suma Boan mengerutkan keningnya, memutar otaknya,

   "Tok-siauw-kui muncul dari dalam gedung sembahyang, tentu lorong rahasia itu ada tembusannya ke ruangan itu. Kalau kita bisa menyelidik ke sana, kau sebagai adik Suling Emas, tentu mudah menyelidik tanpa dicurigai."

   Sian Eng tidak setuju.

   "Berbahaya sekali. Tempat itu merupakan tempat keramat bagi Beng-kauw, tentu terjaga kuat dan merupakan tempat terlarang bagi orang luar. Lebih aman kalau kita mencoba mencari hutan kecil dan berusaha mendapatkan gua yang atasnya ada serumpun bambu kuning itu."

   Suma Boan menarik tangan Sian Eng dan mereka berdiri. Wajah pemuda bangsawan ini berseri-seri. Ia gembira sekali karena kalau ia sampai bisa menemukan kitab-kitab itu, ia akan menjadi seorang jagoan yang hebat.

   "Mari kekasihku, mari kita mencari tempat itu. Aku akan berterima kasih selama hidupku kepadamu kalau kita bisa mendapatkan tempat itu. Mari"

   Berlari-larilah mereka menuju ke tanah pekuburan keluarga Beng-kauw. Tentu saja Suma Boan yang cerdik sengaja mengambil jalan memutar agar jangan sampai ketahuan oleh orang-orang Beng-kauw, karena ia maklum bahwa sekali mereka itu curiga, biarpun di situ ada Sian Eng, mereka tetap akan mencurigainya dan kalau sampai terjadi bentrok dengan mereka, biarpun ia tidak takut, namun usahanya ini tentu akan gagal. Ia sengaja memilih waktu malam untuk menyelundup masuk dan mencari hutan itu yang akhinya dapat mereka temukan. Sebuah hutan kecil di sebelah utara tanah pekuburan pimpinan Beng-kauw.

   "Agaknya itulah tempatnya"

   Akhirnya Sian Eng berseru girang ketika mereka berdiri di depan serumpun alang-alang dan di atas segunduk gunung-gunungan kecil terdapat pohon-pohon bambu kuning yang indah.

   Waktu itu menjelang pagi dan dengan hati-hati mereka menyingkap alang-alang itu dan.. betapa girang hati Suma Boan ketika melihat bahwa di balik alang-alang tebal itu betul saja terdapat sebuah gua yang setinggi dua meter lebih, gelap dan menyeramkan seperti mulut seekor naga terbuka lebar. Suma Boan seorang yang cerdik dan licik. Betapapun besar nafsunya untuk mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui, namun ia tidak mau menghadapi resiko terlalu besar untuk memasuki gua terowongan yang menyeramkan dan belum diketahui benar keamanannya itu. Ia maklum bahwa
(Lanjut ke Jilid 25)
Cinta Bernoda Darah (Seri ke 03 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 25
gua itu merupakan tempat keramat bagi orang-orang Beng-kauw, siapa tahu di sebelah dalamnya terdapat tokoh-tokoh Beng-kauw yang lihai.

   "Eng-moi, kekasihku, kau tentu suka membantu aku, bukan? Sebetulnya memang aku yang seharusnya memasuki gua ini dan mencari kitab-kitab itu. Akan tetapi kau tahu sendiri, kalau ada yang melihatku, tentu terjadi pertempuran mati-matian dan tidak ada harapan bagiku untuk keluar hidup-hidup. Oleh karena itu, demi cinta kasihmu kepadaku, aku minta dengan sangat sukalah kiranya kau yang mencari ke dalam dan aku menjaga di luar. Andaikata ada tokoh Beng-kauw melihatmu, bisa saja kau menggunakan alasan untuk mencari kakakmu Suling Emas, atau dengan dalih bahwa kakakmu Bu Sin pernah memasuki lorong rahasia ini dan karena kau ingin sekali menyaksikan sendiri, maka kau memasukinya."

   Dengan bujukan-bujukan yang manis dan alasan-alasan yang masuk akal, terutama dengan janji bahwa setelah mereka menemukan kitab itu, Suma Boan akan membawa Sian Eng pulang ke Cin-ling-san menemui Kui Lan Nikouw untuk memibicarakan urusan perjodohan mereka, akhirnya Sian Eng tak dapat membantah lagi.

   "Baiklah, Suma-koko, akan tetapi apapun yang akan terjadi dengan diriku di dalam terowongan ini, kau jangan meninggalkan tempat ini, dan andaikata aku berhasil kelak mendapatkan kitab-kitab itu, kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk mempelajari ilmunya."

   Suma Boan merangkul pundak Sian Eng sambil tersenyum lebar.

   "Tentu saja, manisku, masa kau tidak percaya kepadaku?"

   Girang hati Sian Eng dan ia pun tersenyum, lalu mencabut pedangnya dan memasuki gua itu dengan hati-hati sekali.

   Setelah melihat gadis itu menghilang di dalam kegelapan gua itu Suma Boan lalu menutup dan merapikan kembali rumpun alang-alang dari sebelah dalam sehingga tidak akan tampak dari luar dan dia sendiri duduk menanti di mulut gua dengan hati berdebar-debar. Sian Eng terus melangkah ke depan dengan hati-hati sekali karena di dalam terowongan gua itu amat gelap. Kakinya melangkah dengan pasangan kuda-kuda untuk menjaga segala kemungkinan, pedangnya siap di depan dada. Ia merasa agak lega bahwa lantai yang diinjaknya kering dan tidak licin, juga rata seakan-akan diratakan oleh manusia. Ia maju terus menyusuri terowongan yang agaknya tidak ada ujungnya itu. Beberapa kali terowongan itu berbelok dan setelah ia berjalan selama satu jam, keadaan di depannya mulai terang.

   Tak lama kemudian Sian Eng dapat melihat keadaan sekelilingnya. Di kanan kiri terlihat dinding batu karang yang agak basah. Jalan terowongan yang dilaluinya selebar tiga meter, tingginya dua meter. Sekali lagi ia membelok ke kanan dan tibalah ia di sebuah ruangan selebar empat meter persegi yang cuacanya terang sekali, karena berbeda dengan terowongan tadi, ruangan ini atasnya terbuka merupakan sumur yang amat dalam dan cahaya matahari masuk melalui celah-celah di atas. Kiranya sumur yang dalamnya lebih dari lima puluh meter ini atasnya tertutup batu-batu besar dan celah-celah di antara batu-batu besar inilah yang diterobosi sinar matahari sehingga tidak hanya ruangan bawah tanah itu yang terang melainkan sebagian lorong juga mendapatkan cahaya. Tiba-tiba terdengar suara bercicit dan sesosok bayangan hitam kecil menyambar dari depan ke arah kepala Sian Eng. Gadis ini kaget sekali, mengira bahwa bayangan itu adalah senjata rahasia karena anginnya halus dan cepat.

   Ia miringkan tubuhnya dan melompat ke tengah ruangan. Akan tetapi segera ternyata olehnya bahwa sebetulnya tak perlu ia mengelak, karena benda itu ternyata adalah seekor kelelawar yang tentu saja silau matanya ketika melalui ruangan terang itu dan hampir menabrak kepalanya. Betapapun juga, karena tubuhnya sudah meloncat, Sian Eng turun ke tengah ruangan untuk dapat bersikap lebih hati-hati dan dapat memandang keadaan sekelilingnya dengan jelas. Dengan ringan kedua kakinya turun ke atas lantai. Akan tetapi begitu kedua kakinya menginjak lantai tepat di tengah-tengah ruangan itu, terdengar suara hiruk-pikuk di depan dan belakangnya. Sian Eng kaget sekali dan cepat ia memandang. Kiranya pada saat itu, jalan terowongan di depan dan belakang, mulai tertutup oleh batu besar yang bergerak keluar dari dalam dinding.

   "Celaka.."

   Sian Eng berseru dan cepat ia melompat ke belakang untuk menerobos keluar kembali dari ruangan itu.

   Akan tetapi terlambat. Batu itu sudah hampir tertutup seluruh jalan terowongan. Gadis ini segera memegang batu yang berbentuk seperti roda dan bergeser maju terus itu, mengerahkan sin-kang untuk menahan atau mendorong kembali batu itu agar ia dapat menerobos keluar. Akan tetapi kagetlah Sian Eng ketika mendapat kenyataan bahwa batu itu luar biasa beratnya, tak kuasa ia menahan sehingga batu itu terus bergerak sampai terowongan itu tertutup seluruhnya. Sian Eng membalikkan tubuh dan meloncat ke sebelah seberang, juga dengan maksud menahan batu yang di sebelah sana masih belum menutup lorong itu seluruhnya. Akan tetapi kembali ia terlambat dan tidak kuasa mendorong kembali balu penutup yang dapat bergerak secara aneh itu. Sian Eng kembali meloncat ke tengah ruangan. Ia telah terkurung kini. Kanan kirinya hanya dinding kasar batu karang yang agak basah, bawahnya lantai batu karang pula,

   Di depan dan belakang kini tertutup batu besar yang menutup lorong dan demikian beratnya sehingga ia tidak mampu menggerakkannya. Di atasnya, lima puluh meter tingginya, tertutup batu-batu besar pula dan hanya celah-celahnya yang cukup lebar saja dapat diterobos sinar matahari. Sian Eng bukan seorang gadis penakut, akan tetapi pada saat itu ia merasa ngeri juga. Kembali ia mendekati batu-batu yang menutup lorong itu, bergantian ia memeriksa dengan teliti kalau-kalau ada cara untuk membuka sedikit sehingga terdapat lubang untuk diterobosnya. Akan tetapi, memang betul di antara dua batu penutup dan dinding karang terdapat celah-celah yang cukup lebar-lebar untuk dimasuki dua buah lengannya, karena di antara dinding dan batu itu terdapat bagian-bagian yang tidak rata, akan tetapi tak mungkin dipergunakan untuk meloloskan diri karena terlampau kecil.

   Sian Eng cepat mencabut pedangnya dan membacok bagian yang ada celahnya dengan maksud berusaha memperlebar celah itu. Akan tetapi pedangnya membalik dan tidak akan sekeping pun batu dapat dipecahkan pedangnya. Ketika ia memeriksa, ternyata batu hitam yang luar biasa kerasnya, seperti baja. Setengah hari lebih Sian Eng berusaha mengorek dan membacoki batu. Namun sia-sia. Akhirnya ia menjadi lelah dan menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan yang mulai gelap, telapak tangannya berdarah dan perih, bahkan pedangnya menjadi rusak-rusak ujungnya. Sian Eng menangis. Kemudian ia berteriak-teriak, menjerit-jerit memanggil nama Suma Boan yang ia tahu menanti di luar gua.

   "Suma-koko, Suma-koko"

   Ke sinilah dan tolong aku.."

   Ia menjerit-jerit terus sampai ruangan itu menjadi gelap pekat karena matahari sudah lenyap dari angkasa, dan ia berhenti setelah suaranya menjadi serak dan habis. Dengan lelah dan lemah lahir batin, Sian Eng kini duduk bersandar dinding. Mulailah ia menenteramkan hatinya dan memperhatikan sekeliling yang kini menjadi gelap sekali itu. Dan setelah ia dapat menenangkan hatinya, baru ia tahu bahwa kini banyak sekali kelelawar berseliweran di dalam ruangan itu. Mula-mula ia merasa heran, dari mana datangnya begitu banyak kelelawar? Kemudian ia teringat bahwa di antara batu-batu penutup lorong itu terdapat lubang-lubahg yang cukup lebar untuk diterobosi kelelawar-kelelawar itu. Pada saat itu, alangkah inginnya dia menjadi seekor kelelawar.

   Semalam suntuk, selama ruangan di bawah tanah itu gelap pekat menghitam membuat Sian Eng merasa seperti menjadi buta, merupakan saat-saat yang amat menyiksa bagi gadis ini. Bukan hanya tersiksa oleh keadaan dan tersiksa oleh para kelelawar yang makin memenuhi ruangan itu dan menyambarinya dari segenap penjuru, juga tersiksa oleh rasa serem dan ngeri, juga takut karena ia tak dapat memikirkan jalan keluar sama sekali. Andaikata Suma Boan datang pula menyusulnya, bagaimana pemuda itu dapat membebaskannya dari kurungan batu-batu yang kokoh kuat ini? Sian Eng tak dapat menangis lagi, air matanya sudah kering. Akhirnya, menjelang pagi ia masih berjalan mengelilingi ruangan itu, meraba-raba sepanjang dinding bagaikan orang yang tidak waras otaknya.

   "Aku harus hidup"

   Aku harus hidup"

   Terdengar ia berteriak-teriak dan menjerit-jerit, kemudian ketika ada angin menyambar, ia cepat menggerakkan tangannya untuk menangkap kelelawar itu, namun sia-sia. Binatang kecil ini amat gesit dan berbeda dengan dia yang buta di dalam gelap, binatang ini memiliki sesuatu sebagai pengganti mata, sesuatu yang merupakan indera rahasia, yang membuat ia mempunyai perasaan amat peka sehingga sambaran tangan Sian Eng itu dapat dielakkannya. Malah kemudian tiba-tiba gadis ini merasa tengkuknya disambar seekor kelelawar dan terasa kulit tengkuknya sakit sekali.

   "Kurang ajar"

   Bentaknya, cepat ia mencengkeram ke belakang tengkuknya, namun binatang itu setelah menggigit sudah terbang pergi lagi. Sian Eng meraba bekas gigitan, berdarah sedikit.

   Akan tetapi agaknya bau darah ini membuat binatang-binatang kecil itu menjadi ganas dan liar, karena secara tiba-tiba binatang-binatang itu menyerang Sian Eng dari segala jurusan. Sian Eng menggerak-gerakkan kedua tangannya, menampar ke sana-sini, mencengkeram ke sana-sini. Ia berhasil meruntuhkan beberapa ekor kelelawar, akan tetapi gigitan-gigitan itu mengenai banyak bagian tubuhnya, leher, lengan, pipi, kaki. Hebatnya, bekas-bekas gigitan itu terasa gatal dan panas dan akhirnya gadis ini terguling roboh ketika racun-racun dari luka gigitan membuatnya pening. Ketika ia roboh, binatang-binatang kecil itu masih menyerbu dan menggigitinya, mengisap darah. Suma Boan yang menunggu di luar gua tanpa mengetahui keadaan gadis itu, menjadi amat gelisah karena sudah tiga hari tiga malam ia menanti, belum juga Sian Eng muncul keluar.

   Pemuda ini tetap bersembunyi di mulut gua, di belakang rumpun alang-alang karena ia khawatir kalau-kalau terlihat oleh orang-orang Beng-kauw. Hanya di waktu malam ia meninggalkan tempat sembunyinya untuk mencari makanan. Betapapun juga ia percaya penuh akan kesetiaan Sian Eng dan dengan sabar ia menanti. Akan tetapi setelah lewat dua pekan masih juga belum ada bayangan gadis itu, Suma Boan habis sabar dan merasa gelisah sekali. Tentu saja ia tidak mengkhawatirkan keadaan Sian Eng, karena pada hakekatnya pemuda bangsawan ini berhati palsu, sama sekali ia tidak mencinta Sian Eng dengan hati murni, melainkan hanya suka karena kecantikannya. Baginya, keselamatan Sian Eng sama sekali tidaklah penting, yang penting adalah kitab-kitab itu. Ia gelisah karena memikirkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui. Apakah Sian Eng tertangkap? Ataukah gadis itu tidak mau memberikan kitab-kitab kepadanya? Hanya itulah yang ia pikirkan.

   Karena khawatir kalau-kalau usahanya mendapatkan kitab-kitab itu gagal, maka pada hari ke enam belas, pagi-pagi setelah matahari mulai bersinar, Suma Boan memasuki gua itu untuk menyusul Sian Eng. Dengan pedang di tangan ia melangkah maju dengan hati-hati sekali. Seperti juga halnya Sian Eng, ia sampai di lorong yang membawanya ke ruangan yang kini tertutup batu. Akan tetapi bedanya, ketika Sian Eng memasuki lorong ini, ada cahaya terang sinar matahari dari ruangan, kalau sekarang, karena yang menyorot dari celah-celah batu penutup, maka keadaan hanya remang-remang saja. Betapa kaget dan bingungnya hati Suma Boan ketika ia tiba di depan batu besar yang menutup lorang. Jalan itu menjadi buntu"

   Dicobanya untuk mendorong batu itu, namun sia-sia belaka. Ia merayap pada batu itu untuk mengintai dari lubang atau celah-celah antara batu dan dinding karang, akan tetapi hanya melihat lantai batu yang amat terang karena pada saat itu cahaya matahari sudah memasuki sumur itu.

   "Eng-moi"

   Ia memanggil. Sunyi tiada jawaban, hanya gema suaranya yang terdengar menggereng seperti suara dari alam lain.

   "Sian Eng, Di mana kau?"

   
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kembali ia berseru keras. Tetap sunyi.

   Ah, tentu Sian Eng tidak berada di balik batu ini, pikirnya. Kalau dia sendiri tidak mampu mendorong batu ini, apalagi Sian Eng? Tentu, seperti juga dia sendiri gadis itu tidak dapat menembus jalan buntu ini dan menggunakan jalan lain. Tentu ada jalan simpangan di lorong bawah tanah ini, pikirnya. Suma Boan lalu memutar tubuh dan dengan hati-hati, meraba-raba dinding batu ia kembali dan mencari jalan simpangan. Siapa tahu ada jalan simpangan dan Sian Eng tentu mengambil jalan simpangan itu. Usahanya berhasil. Memang betul terdapat jalan simpangan ini. Tangannya meraba lubang di sebelah kiri dinding dan ternyata di situ terdapat lorong kecil yang hanya dapat ia masuki dengan perlahan karena lebarnya hanya setengah meter saja. Lorong kecil ini seakan-akan tidak ada ujungnya. Suma Boan maju terus sambil memanggil-manggil nama Sian Eng.

   Akhirnya lorong ini menembus pada sebuah ruangan lebar dan Suma Boan berdiri terpaku saking kaget dan serem. Lorong itu diterangi sinar kehijauan yang entah datang dari mana. Dapat dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika dari tempat gelap tiba-tiba ia dapat melihat, akan tetapi ia dihadapkan penglihatan yang luar biasa seremnya. Ruangan itu lebarnya kurang lebih dua tombak, panjangnya tiga tombak. Di tiap ujung berdiri sebuah rangka manusia yang lengkap dengan rahang terbuka seakan-akan hendak berkata-kata atau hendak menggigit. Anehnya, empat buah rangka itu semua memegang senjata, sebuah memegang sepasang pedang, sebuah memegang golok, sebuah memegang joan-pian (semacam cambuk baja), dan yang sebuah lagi memegang tombak. Suma Boan bukanlah seorang penakut. Dia murid seorang sakti yang menjadi seorang di antara Enam Iblis.

   Gurunya It-gan Kai-ong, agaknya lebih menakutkan daripada empat buah rangka manusia yang memegang senjata ini. Apa yang perlu ditakutkan dari empat buah rangka yang sudah mati dan tak dapat bergerak lagi? Pula, melihat keadaan ruangan yang aneh dan menyeramkan ini, agaknya di situlah disimpannya kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui. Oleh karena itu, dengan tabah hati Suma Boan melangkah memasuki ruangan itu dengan pedang di tangan. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia tiba di tengah ruangan, tiba-tiba terdengar suara berkerotokan dan empat buah rangka manusia itu bergerak-gerak menyerangnya dari empat penjuru"

   Suma Boan kaget, akan tetapi ia tidak merasa takut, cepat ia memutar pedang menangkis. Ia memandang rendah. Apalagi hanya empat buah rangka mati yang entah bagaimana sekarang dapat bergerak menyerangnya, sedangkan manusia-manusia hidup saja kalau hanya baru empat orang mengeroyoknya, ia tidak akan takut.

   Dipikirnya bahwa sekali memutar pedang menangkis, tentu ia akan dapat membabat putus senjata-senjata dan tulang-tulang lengan mereka. Terkejutlah Suma Boan ketika melihat betapa gerakan serangan mereka itu hebat dan aneh sekali, senjata mereka tidak bergerak biasa, melainkan dengan gerakan tergetar, ada yang menyerong dan ada yang berbentuk lingkaran yang sukar sekali diduga ke mana titik yang akan diserang. Inilah gerakan-gerakan dari jurus ilmu silat yang amat tinggi dan aneh. Ia berusaha menyelamatkan diri dan berhasil menangkis sepasang pedang dan golok sekaligus, akan tetapi ia tak dapat mencegah serampangan gagang tombak pada kakinya dan cambukan pada punggungnya.

   Suma Boan merasa punggung dan kakinya sakit sekali dan tak dapat tertahankan lagi ia terguling roboh di atas lantai. Kiranya empat buah rangka itu hanya satu kali saja menyerang karena kini secara otomatis mereka bergerak mundur dan berdiri mati di tempat masing-masing, yaitu di sudut-sudut ruangan itu. Kemudian terdengar bunyi mendesis-desis dan muncullah tiga ekor ular dari sebelah depan, tiga ekor ular kelaparan yang langsung merayap menghampiri Suma Boan. Sebagai seorang tokoh yang sudah banyak pengalaman, sekali melihat saja tahulah Suma Boan bahwa ular-ular itu adalah ular-ular kepala putih yang amat berbisa, yang gigitannya sekali saja dapat mendatangkan maut. Dan ia dapat memperhitungkan pula bahwa rangka-rangka itu digerakkan oleh alat rahasia yang agaknya akan menggerakkan rangka-rangka itu kalau ia menginjak lantai ruangan,

   Maka jalan satu-satunya untuk dapat keluar dari ruangan ini hanya dengan jalan merangkak perlahan-lahan. Akan tetapi kalau hal ini ia lakukan, ia akan terlambat karena ular-ular itu akan menyerangnya. Punggungnya masih terasa sakit yang membuat gerakannya kurang cepat dan kalau ia menggunakan pedangnya melawan ular-ular itu, keselamatannya belum tentu terjamin. Pemuda bangsawan yang cerdik ini tanpa ragu-ragu lagi lalu menggunakan pedangnya, merobek dan memotong sebagian daging betis kirinya. Karena pedangnya amat tajam dan gerakan tangannya amat kuat, hampir tidak terasa nyeri ketika ia memotong betisnya. Gumpalan daging betisnya ia lemparkan ke tengah-tengah ular dan seketika ular-ular itu saling terjang untuk memperebutkan daging berdarah yang segar itu.

   Suma Boan mempergunakan kesempatan ini untuk merangkak, pergi dan begitu ia tiba di lorong, lalu ia menggerakkan kedua kakinya berdiri dan lari dari tempat itu. Baru sekarang terasa betapa perih dan sakitnya kaki yang dipotong daging betisnya. Ia berhenti di tempat gelap, merobek celananya dan membalut luka di betisnya setelah ia beri obat bubuk yang memang tersedia di saku bajunya. Kemudian ia berjalan lagi sambil berteriak-teriak memanggil Sian Eng. Mulai gelisah hati Suma Boan. Apakah yang terjadi dengan gadis itu? Terus melalui terowongan besar tentu tak mungkin karena terhalang batu besar. Memasuki lorong kecil ini pun takkan mungkin karena tentu akan bertemu ruangan rahasia yang amat berbahaya itu. Lalu ke mana perginya Sian Eng? Jangan-jangan gadis itu telah tertawan oleh orang-orang Beng-kauw, pikirnya.

   Kalau tewas tentu ia dapat melihat mayatnya. Tak mungkin tiga ekor ular tadi menghabiskan seluruh badan mayat seseorang apalagi tiga ekor ular tadi kelihatan kelaparan, tanda bahwa berbulan-bulan tidak mendapat mangsa. Dengan tubuh sakit-sakit dan hati kecewa sekali Suma Boan keluar dari terowongan itu. Tiba-tiba ia merasa kepalanya pening dan napasnya sesak. Cepat ia berhenti di tempat gelap dan mengumpulkan napas, mengerahkan sin-kangnya. Sebagai murid orang sakti, tahulah ia bahwa ia telah kena hisap hawa beracun yang kini mulai mempengaruhinya. Kaget bukan main hati Suma Boan. Ia terhuyung-huyung dan pandang matanya kabur. Hatinya lega ketika ia melihat sinar terang dari luar gua. Ia telah tiba di mulut gua dan tiba-tiba tampak olehnya bayangan seorang wanita berkelebat di depan gua itu.

   "Moi-moi.."

   Kekasihku, akhirnya kita bertemu juga.."

   Teriaknya girang sambil mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar keluar. Pandang matanya agak berkunang dan kabur, akan tetapi ia masih dapat melihat bahwa yang berdiri di luar alang-alang itu adalah seorang gadis muda. Siapa lagi kalau bukan Sian Eng?

   "Kekasihku.."

   "Tutup mulutmu yang kotor"

   Tiba-tiba bayangan itu membentak dan sebuah tamparan keras menyambar muka Suma Boan. Biarpun kepalanya pening, namun Suma Boan belum kehilangan kelihaiannya. Ia cepat mengelak dan bahkan berusaha mencengkeram lengan tangan gadis itu yang juga dapat menghindarkan diri.

   "Moi-moi.. kau hendak mengkhianatiku? Serahkan kitab-kitab itu, di mana kau sembunyikan?"

   Bentak Suma Boan sambil menubruk lagi hendak memeluk gadis itu.

   Dengan teriakan tertahan, gadis itu mengelak dan menerjang Suma Boan dengan obor di tangannya. Kiranya cahaya terang yang kelihatan dari dalam gua oleh Suma Boan tadi adalah sebuah obor yang dipegang oleh gadis itu, dan ternyata bahwa keadaan waktu itu telah mulai gelap"

   Suma Boan menjadi marah sekali dan cepat ia menggerakkan tangan melakukan pukulan jarak jauh dan.. padamlah obor itu. Keadaan sudah menjelang malam, namun masih belum gelap benar, cuaca remang-remang. Tampak bayangan lain berkelebat datang,

   "Ada apakah, Hwee-ji (Anak Hwee)?"

   Terdengar bayangan yang datang ini bertanya.

   "Susiok (Paman Guru), dia ini Suma Boan si jahat itu. Dia baru keluar dari gua rahasia, Mari tangkap. Dia kelihatan seperti gila"

   Jawab Liu Hwee, gadis itu. Sementara itu, ketika Suma Boan mendengar percakapan pendek ini, sadarlah ia bahwa ia telah keliru sangka.

   Gadis itu sama sekali bukanlah Sian Eng seperti yang dikiranya, melainkan Liu Hwee, puteri ketua Beng-kauw, dan yang baru datang adalah Kauw Bian Cinjin, orang ke dua dari Beng-kauw. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu lari tunggang langgang secepat kedua kakinya bergerak. Liu Hwee juga melompat mengejar dan terjadilah kejar-mengejar di malam buta. Kauw Bian Cinjin juga ikut mengejar, akan tetapi hanya sebentar ia kembali lagi. Ia pikir bahwa seorang lawan macam Suma Boan, cukup ditandingi oleh Liu Hwee. Ia khawatir kalau-kalau kedatangan Suma Boan itu hanya pancingan belaka agar ia ikut pula mengejar, sedangkan siapa tahu kalau-kalau guru pemuda itu, It-gan Kai-ong yang akan datang beraksi. Karena itu, Kauw Bian Cinjin tidak melanjutkan pengejarannya, melainkan melakukan perondaan di sekitar tanah kuburan Beng-kauw yang berada di atas lorong-lorong rahasia.

   Demikian, seperti kita ketahui di bagian depan cerita ini, Kauw Bian Cinjin bertemu dengan Suling Emas dan Lin Lin yang berada di depan kuburan mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Kemudian Kauw Bian Cinjin minta bantuan Suling Emas untuk mencari-cari Liu Hwee yang belum juga tampak kembali. Suling Emas mengejar ke timur sedangkan Kauw Bian Cinjin mengejar ke utara. Suling Emas dan Lin Lin mengejar ke timur dengan cepat. Tanpa disadari sendiri oleh gadis itu, kini ia dapat mengimbangi kecepatan Suling Emas, kemajuan yang luar biasa semenjak ia mempelajari ilmu peninggalan Pat-jiu Sin-ong, terutama sekali petunjuk-petunjuk cara bersamadhi dan mengatur napas. Gadis ini tidak menyadari hal itu, akan tetapi Suling Emas dapat menduganya karena dahulu tidaklah sehebat ini gerakan Lin Lin. Diam-diam pendekar ini menjadi amat khawatir. Ilmu ciptaan Pat-jiu Sin-ong ini hebat sekali.

   Baru satu jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Keluarkan Kilat) yang pernah dipergunakan Lin Lin ketika ia mencobanya itu saja sudah luar biasa sekali saktinya, kalau sudah terlatih matang, agaknya gadis ini akan menjadi salah satu orang sakti di dunia persilatan. Ia hanya khawatir kalau-kalau kepandaian sakti itu pada diri seorang gadis seperti Lin Lin akan menimbulkan keributan kelak. Ia tahu bahwa sesungguhnya kepandaian sebagian anugerah Thian (Tuhan) setelah jatuh pada diri manusia, menimbulkan dua macam hal bertentangan, yaitu baik dan buruk, tergantung daripada si manusia itu sendiri. Dan manusia macam Lin Lin adalah manusia yang amat aneh, sukar sekali dimengerti. Sampai sepekan mereka mengejar, belum juga mereka mendapatkan jejak Suma Boan maupun Liu Hwee. Pada hari ke tujuh mereka sudah tiba di tapal batas wilayah Kerajaan Wu-yue dan berhentilah Suling Emas.

   "Tiada guna,"

   Katanya ketika mereka mengaso pada tengah hari yang panas itu di bawah pohon dalam hutan.

   "Tidak ada jejak mereka ke sini, agaknya bukan ke timur mereka menuju. Pula Kauw Bian Cinjin sudah melakukan pengejaran, tentu akan dapat menyusul dan menyelamatkan puteri Beng-kauw. Andaikata tidak dapat menyusulnya, Suma Boan akan bisa berbuat apakah? Kepandaiannya tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kesombongannya."

   "Apakah kepandaian Liu Hwee itu hebat?"

   Lin Lin bertanya sambil memandang wajah tampan di sebelah kanannya. Kembali rasa cemburu menggerogoti hatinya karena ia menyaksikan sendiri betapa akrab hubungan antara Suling Emas dan Liu Hwee.

   "Puteri tunggal ketua Beng-kauw tentu saja mempunyai kepandaian tinggi. Selain berilmu tinggi, juga pandangannya luas dan ia selalu hati-hati dan waspada."

   Suling Emas memuji-muji sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Seketika bibir Lin Lin cemberut.

   "Sekali waktu aku ingin menandinginya, coba-coba siapa yang lebih lihai antara dia dan aku"

   Suling Emas yang tadinya duduk seperti melamun menjadi kaget, dan cepat menoleh memandang wajah gadis itu yang masih cemberut. Mulut dan mata gadis itu jelas membayangkan apa yang sedang bergejolak di dalam dada Lin Lin. Suling Emas tidak jadi menjawab, hatinya berdebar dan ia menarik napas panjang. Melihat wajah yang begitu mirip dengan wajah kekasihnya, Suma Ceng, hampir saja pertahanan hatinya bobol. Bagaimana ia tidak dapat mencintai gadis yang wajahnya begini mirip Suma Ceng, yang wataknya begini aneh dan lincah jenaka, yang sudah pasti sekali akan mendatangkan cahaya bahagia di ruang dadanya yang gelap muram?

   Bagaimana takkan terobati luka-luka di hatinya, luka yang diakibatkan kegagalan cinta kasih, apabila ia menerime uluran hati gadis ini? Namun tidak. Tak mungkin ia menerima cinta kasih Lin Lin. Ia tahu betul bahwa gadis ini mencintanya, semenjak.. semenjak peristiwa di dalam gelap di malam hari dalam kamar perpustakaan istana dulu. Semenjak ia memeluk dan mencium gadis itu tanpa disengaja karena mengira Lin Lin adalah Suma Ceng kekasihnya. Akan tetapi betapa mungkin ia menerima uluran cinta kasih itu betapapun inginnya? Gadis ini adalah adik angkatnya. Hal pertama ini sungguhpun bukan merupakan penghalang besar, namun sudah merupakan penghalang. Ke dua, gadis ini masih amat muda kalau dibandingkan dengan dia. Usia Lin Lin baru delapan belas tahun, sedangkan dia sudah berusia tiga puluh tahun. Tidak, ia harus tahu diri.

   "He, mengapa kau diam saja? Bagaimana pendapatmu?"

   Tiba-tiba Lin Lin menepuk lengan Suling Emas yang menjadi kaget dan sadar daripada lamunannya.

   "Apa? Pendapat apa?"

   Tanyanya, tersenyum.

   "Aku bilang tadi, ingin kumenandingi Liu Hwee untuk menguji kepandaiannya"

   "Hemmm, ada-ada saja kau ini. Tidak ada alasan sedikit pun juga bagimu untuk mencari perkara dengan puteri Beng-kauwcu (ketua Beng-kauw)."

   "Siapa bilang tidak ada?"

   Sepasang mata yang jeli dan indah itu bersinar-sinar.

   "Banyak sekali alasannya"

   "Hemmm, apakah kesalahannya? Apa alasannya?"

   Suling Emas membantah, mengerutkan kening.

   "Banyak, terutama sekali karena aku tidak mau kalah olehnya"

   Suling Emas melongo. Dia seorang jagoan yang sudah banyak makan asam garam dunia kang-ouw, sudah banyak mengenal watak-watak orang aneh seperti iblis-iblis Thian-te Liok-koai. Akan tetapi sesungguhnya belum banyak pengalamannya dengan wanita, karena semenjak hatinya terluka oleh Suma Ceng yang dipaksa bercerai daripadanya dan menikah dengan orang lain, seakan-akan merupakan pantangan bagi Suling Emas untuk mendekati wanita. Karena itu, ia sama sekali tidak mengenal watak-watak wanita dan tidak dapat menyelami lubuk hati Lin Lin. Akan tetapi melihat pandang mata yang begitu menantang dari gadis ini, pandang mata yang mengandung sinar kemesraan seperti kalau sepasang mata Suma Ceng memandangnya, Suling Emas segera menundukkan muka.

   "Sudahlah,"

   Katanya kemudian setelah menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang berdebar tidak karuan.

   "Mari kita bicarakan urusan lain yang lebih penting. Lin-moi, kurasa di sini kita harus berpisah. Kulihat kau tidak rela menjadi murid Pat-jiu Sin-ong, hal ini pun tak dapat kupaksa. Akan tetapi pesanku, kau tidak boleh mempergunakan jurus-jurus ilmu yang kau dapatkan dari dalam tongkat Beng-kauw, karena kalau hal itu diketahui tokoh-tokoh Beng-kauw, kau pasti akan dimusuhi, dianggap sebagai pencuri ilmu peninggalan pendiri Beng-kauw."

   Akan tetapi Lin Lin sama sekali tidak memperhatikan atau pedulikan kalimat terakhir. Matanya terbelalak dan wajahnya berubah, karena kata-kata "berpisah"

   Itulah yang menggores hatinya.

   "Berpisah?"

   Ia tergagap.

   "Kenapa..?"

   Suling Emas tersenyum duka. Kembali sikap gadis yang sewajarnya ini jelas menunjukkan bahwa Lin Lin tidak ingin berpisah dari padanya. Sama dengan Suma Ceng. Hanya bedanya, kalau Suma Ceng bersikap lemah dan menerima keadaan, sebaliknya gadis ini bersikap keras, agaknya takkan mau berpisah kalau tidak ia sendiri yang menghendaki.

   "Tentu saja kita harus berpisah, karena jalan kita memang tidak sama. Kau kembalilah ke Cin-ling-san menyusul kakakmu Bu Sin. Biarkan aku sendiri mencari Sian Eng. Setelah dapat bertemu, tentu dia pun akan kusuruh menyusul ke Cin-ling-san."

   "Aku ikut, Aku juga hendak mencari Enci Sian Eng sampai dapat. Kita mencari bersama, bukankah lebih baik? Aku tidak akan menyusahkanmu, biar.. biarlah aku mencari makan minumku sendiri"

   Mau tak mau Suling Emas tertawa. Benar-benar gadis ini kadang-kadang mempunyai pendapat dan jalan pikiran seperti kanak-kanak.

   "Bukan begitu, Lin Lin. Banyak sekali urusan besar harus kuhadapi. Bahkan pertandingan puncak antara Thian-te Liok-koai di Thai-san sudah dekat waktunya, aku pun harus hadir di sana. Selain itu, kau melihat sendiri bahwa banyak orang kang-ouw memusuhi aku. Setiap langkahku terancam bahaya.."

   "Aku tidak takut. Kalau mereka mengganggumu, aku akan hajar mereka. Apa kau kira aku ini seorang manusia yang tiada gunanya? Aku akan membantumu, juga di Thai-san"

   "Wah, kau mau menandingi iblis-iblis seperti Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong?"

   "Aku tidak takut terhadap mereka. Aku akan memperdalam ilmu yang baru kudapatkan."

   "Hemmm, baru saja kupesan supaya kau tidak menggunakan ilmu peninggalan.."

   "Kan mereka bukan orang Beng-kauw? Takut apa menggunakan ilmu peninggalan Pat-jiu Sin-ong? Malah kalau aku dapat mengalahkan mereka dengan ilmu ini, bukankah berarti aku mengangkat nama Beng-kauw dan terutama nama pencipta ilmu ini? Roh Pat-jiu Sin-ong tentu akan tertawa melihat betapa ilmunya di tangan seorang gadis seperti aku dapat mengalahkan iblis-iblis jahat"

   Suling Emas merasa kalah berdebat.

   "Tak baik jadinya kalau ikut denganku, Lin Lin. Tidak bisa, kita harus berpisah. Atau.. kau boleh menanti di Nan-cao, mari kuantar sampai di Nan-cao. Kau tinggal dulu di sana, menanti sampai aku dapat menemukan Sian Eng, baru kau dan encimu pulang bersama."

   "Tidak, Sekali lagi ti."

   Tiba-tiba tangan Suling Emas bergerak dan tahu-tahu mulut Lin Lin sudah didekapnya dengan telapak tangannya. Lin Lin memandang dengan mata terbelalak kaget dan heran, akan tetapi baru ia mengerti ketika Suling Emas menaruh telunjuknya di depan mulut dan memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara. Kini baru Lin Lin melihat bahwa jauh dari depan tampak bayangan manusia berkelebat cepat sekali dan sebentar saja sudah lewat. Sukar dilihat siapa orang itu, hanya jelas tampak pakaiannya, pakaian wanita, juga bentuk tubuhnya ramping. Akan tetapi mukanya tidak tampak karena ketika lari menghadapkan muka ke sebelah sana. Yang mengagumkan adalah kecepatan larinya, seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak tanah.

   "Seperti Enci Sian Eng.."

   Bisik Lin Lin terheran-heran. Memang bentuk tubuh wanita itu seperti Sian Eng, akan tetapi pakaiannya bukan pakaian seorang ahli silat yang serba ringkas melainkan pakaian seorang wanita dusun atau petani yang sederhana. Juga wanita itu rambutnya panjang terurai, sungguhpun tidak sepanjang rambut Siang-mou Sin-ni, namun terurai sampai ke lutut belakang.

   "Bukan, mari kita ikuti dia, mencurigakan sekali.."

   Kata Suling Emas yang sudah melompat dan mengejar. Lin Lin terpaksa mengejar juga. Dengan sekuat tenaga Lin Lin mengerahkan gin-kang dan berusaha lari mengimbangi kecepatan Suling Emas. Akan tetapi kali ini ia tertinggal, karena Suling Emas betul-betul berlari cepat kini. Baru ia tahu bahwa kepandaiannya dalam berlari cepat masih kalah sedikitnya dua tingkat oleh pendekar yang dikasihinya itu. Sesungguhnya tidak demikian. Hanya karena belum matang dalam latihan ilmunya yang baru, maka Lin Lin masih kalah jauh. Namun sudah banyak maju kalau dibandingkan dengan sebelum ia mendapatkan ilmu itu. Tiba-tiba Suling Emas berhenti ketika melihat Lin Lin tertinggal jauh. Ketika gadis itu sudah datang dekat, ia berkata.

   "Hebat ilmu lari cepat orang itu. Lin-moi, kau pegang tanganku"

   Tak usah menanti diperintah dua kali, Lin Lin menyambar tangan kiri Suling Emas. Kalau boleh ia tak ingin melepas tangan itu untuk selamanya. Akan tetapi tak sempat ia bermimpi muluk karena segera tubuhnya tersentak keras ke depan dan di lain saat ia terpaksa harus mengerahkan gin-kangnya lagi karena Suling Emas sudah membawanya lari seperti terbang cepatnya. Namun, bayangan wanita di depan itu tetap tak dapat tersusul. Hal ini saja membuktikan betapa ilmu lari cepat wanita di depan itu betul-betul sudah mencapai tingkat yang luar biasa. Lin Lin merasa kagum sekali dan ia pun ingin segera melihat siapa sebenarnya wanita itu. Wanita di depan itu lari menuju ke timur. Setelah tiba di daerah pegunungan yang tandus dan sunyi, mulailah ia mengurangi kecepatannya dan akhirnya ia hanya berjalan kaki. Suling Emas mengajak Lin Lin terus mengikutinya dari belakang.

   "Kenapa tidak susul dia? Aku ingin sekali melihat mukanya, ingin melihat siapa dia,"

   Bisik Lin Lin.

   "Sssttt, apa perlunya? Aku merasa curiga. Ilmu larinya bukan main, tentu dia seorang sakti. Aku ingin tahu dia hendak ke mana dan hendak berbuat apa. Serasa sudah mengenal orang itu, akan tetapi lupa lagi.."

   Kata Suling Emas. Akan tetapi wanita itu benar-benar kuat sekali. Tak pernah ia berhenti berjalan sampai senja berganti malam. Lin Lin sudah merasa lelah sekali.

   "Aku.. aku tidak kuat lagi berjalan.."

   Ia mengeluh.

   "Kakiku serasa hendak copot sambungan tulangnya. Mau apa sih mengikuti orang gila? Suling Emas, aku mogok, tidak kuat lagi.."

   Lin Lin tiba-tiba menjatuhkan dirl duduk di atas tanah.

   "Mari kupondong"

   Suling Emas yang betul-betul tertarik oleh wanita di depan itu yang luar biasa ilmu lari cepatnya, tanpa ragu-ragu membungkuk dan memondong tubuh Lin Lin. Gadis ini segera merangkul lehernya dan merebahkan kepala di atas pundaknya dengan hati penuh bahagia dan manja. Suling Emas hanya menghela napas dan melanjutkan perjalanan mengikuti wanita itu. Ia benar-benar merasa kasihan kepada Lin Lin, gadis aneh yang kadang-kadang menyebut "kanda"

   Ada kalanya menyebut "Suling Emas"

   Begitu saja kepadanya. Gadis yang bukan sedarah deging dengannya, lain ayah ibu, gadis berdarah bangsawan, puteri bangsa Khitan yang gagah perkasa.

   Malam itu bulan muncul sepenuhnya. Bulan purnama. Lin Lin agaknya sudah lupa akan wanita yang mereka ikuti. Seluruh perasaannya tenggelam ke dalam laut bahagia dan mesra. Dengan bulan purnama di angkasa, suasana menjadi romantis sekali. Tidak salah kiranya orang tua yang mengatakan bahwa sinar bulan purnama mendorong dan merangsang hati muda ke arah kemesraan dan memperkuat pengaruh asmara. Lin Lin masih merangkul leher Suling Emas, kepalanya rebah miring di atas pundak pendekar itu dan matanya ketap-ketip menatap wajah yang mencuri hatinya itu penuh cinta kasih. Sudah lebih tiga jam Suling Emas memondongnya. Sudah banyak berkurang kelelahan Lin Lin, namun gadis itu tidak sadar akan hal ini. Dirasanya baru sebentar ia dipondong.

   "Koko.."

   Bisiknya di dekat telinga Suling Emas.

   "Hemmm..?"

   Suling Emas menjawab acuh tak acuh karena perhatiannya tertuju ke depan. Wanita itu mendaki sebuah bukit kecil di mana terdapat tanah kuburan yang penuh dengan gundukan-gundukan tanah dan batu nisan.

   ".. ingin sekali aku selamanya berada di dalam pondonganmu.."

   "Huh, kau bukan bayi. Sudah terlalu lama kau kupondong. Turun"

   Suling Emas menurunkan Lin Lin dan baiknya sinar bulan berwarna kemerahan sehingga menyembunyikan muka pendekar ini yang menjadi merah sekali.

   "Koko.."

   "Hushhhhh.. lihat itu.."

   Suling Emas menuding ke depan. Teringatlah Lin Lin akan wanita yang tadi sudah ia lupakan sama sekali. Di dalam pondongan Suling Emas di malam penuh sinar bulan tadi, ia sudah lupa segala, yang teringat hanya dia dan Suling Emas, dunia ini hanya ada mereka berdua, ada urusan cinta kasih mereka, yang lain-lain tidak ada lagi. Sekarang ia teringat dan cepat memandang. Kagetlah hati Lin Lin ketika mendapat kenyataan bahwa mereka telah berada di daerah kuburan, bahkan Suling Emas dan dia sudah mengintai dari balik sebuah batu nisan, di bawah sebatang pohon kecil. Wanita itu dengan lenggang yang menunjukkan bahwa dia seorang yang masih muda dan berperawakan bagus sekali, berjalan menghampiri sebuah makam, lalu menjatuhkan diri berlutut memeluk batu nisan sambil menangis tersedu-sedu.

   

Bu Kek Siansu Eps 21 Bu Kek Siansu Eps 15 Bu Kek Siansu Eps 5

Cari Blog Ini