Cinta Bernoda Darah 32
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 32
"Auuuhhhhh.."
Suling Emas mengeluh dan membalikkan kepala menoleh.
"Hebat.., Luar biasa.."
Kim-sim Yok-ong berseru.
"Enci Sian Eng.."
Lin Lin berseru, terkejut dan marah.
"Eng-moi, apa yang kau lakukan..?"
Bu Sin juga membentak. Akan tetapi secara tiba-tiba keadaan Sian Eng sudah berubah, kini ia menoleh ke arah jendela yang terbuka, matanya liar, mukanya merah padam dan mendadak ia mengeluarkan lengking aneh sekali yang seolah-olah menggetarkan seisi ruangan itu, disusul tubuhnya yang berkelebat melayang keluar jendela.
"Enci Eng.."
Lin Lin loncat mengejar.
"Sian Eng.., tunggu.."
Bu Sin juga mengejar. Sementara itu Kim-sim Yok-ong berdiri terbelalak keheranan melihat Suling Emas sudah dapat meloncat turun dan hendak mengejar pula. Akan tetapi Suling Emas ingat bahwa ia berada dalam keadaan setengah telanjang, maka ia tidak jadi lari mengejar, melainkan cepat-cepat ia menyambar baju dan memakainya.
"Hebat, gadis itu.. ia memiliki tenaga dan ilmu mujijat"
Im-yang Tiam-hoat (Ilmu Menotok Im Yang) seperti itu hanya dimiliki ketua Siauw-lim-si.."
Kata si tabib sakti itu.
"Dia adikku, harus kukejar. Ada sesuatu yang tidak wajar terjadi.."
Kata Suling Emas dan ia pun melompat keluar jendela. Akan tetapi ia mengeluh dan melompat masuk lagi, lalu duduk bersila mengerahkan sin-kang. Ketika melompat tadi, dadanya kembali sesak rasanya.
"Kau sudah sembuh sama sekali oleh totokan Im-yang Tiat-hoat tadi, akan tetapi luka di dalam dadamu belumlah sembuh benar. Tak boleh kau bergerak mengeluarkan tenaga dalam sebelum istirahat dan minum obat,"
Kata Kim-sim Yok-ong.
Suling Emas menarik napas panjang. Hebat memang akibat pukulan dua orang kakek itu. Ia sudah sembuh, akan tetapi sekali mengeluarkan tenaga gin-kang atau lwee-kang, lukanya akan terasa nyeri. Sedikitnya ia harus beristirahat dua hari sehingga lukanya sembuh betul. Sementara itu, Lin Lin yang mengejar dengan cepat, ternyata tidak dapat melihat bayangan Sian Eng. Begitu cepatnya dan begitu anehnya gerakan Sian Eng sehingga dalam sekejap mata saja lenyaplah encinya itu. Namun Lin Lin tetap mengejar dengan hanya mengira-ngirakan arah yang dapat ditempuh encinya. Karena pengejaran yang dilakukan secara kira-kira ini, maka jurusan yang diambil Lin Lin berbeda dengan jurusan yang diambil oleh Bu Sin. Dalam mengejar saudara mereka itu kedua orang muda ini berpencar.
Setelah melalui dua buah hutan di lereng Thai-san tanpa menemukan jejak Sian Eng, Lin Lin tiba-tiba teringat akan keadaan Suling Emas dan ia menghentikan pengejarannya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan diri Suling Emas. Sudah sembuhkah dia? Ataukah totokan Sian Eng, yang aneh tadi malah membahayakan keselamatan nyawanya? Lin Lin merasa khawatir sekali dan akhirnya ia berlari kembali menuju ke pondok Kim-sim Yok-ong. Kiranya ia telah menghabiskan waktu beberapa jam dalam pengejaran itu dan karena ia belum hafal akan daerah hutan-hutan Gunung Thai-san ini, ia mulai menjadi bingung ke mana ia harus mencari pondok Kim-sim Yok-ong. Lin Lin mengingat-ingat jalan yang ditempuhnya tadi dan beberapa kali ia meloncat naik ke puncak pohon tinggi untuk mencari-cari pondok si tabib sakti.
"Locianpwe.. tolonglah.., Selamatkan dia"
Suara setengah menangis ini membangunkan Suling Emas daripada samadhinya. Ia membuka mata dan bangkit berdiri. Kim-sim Yok-ong sedang sibuk mencari daun-daun dan akar-akar obat di sebelah belakang, maka agaknya tidak mendengar suara orang di depan pondok itu. Suling Emas melangkah keluar pintu pondok dan melihat seorang pemuda kurus pucat berlutut di depan pintu pondok sambil menangis. Karena memang Suling Emas mengintai dari tempat jauh ketika pemuda ini untuk pertama kali datang ke pondok, maka ia mengenal bahwa pemuda ini adalah tunangan Tan Lian, pelajar yang bernama Thio San itu.
"Apakah yang terjadi? Ceritakan"
Suling Emas bertanya, di dalam hatinya ia merasa amat tidak enak dan kasihan karena ia merasa dirinya menjadi "gara-gara"
Kesengsaraan hati pemuda ini. Thio San, pemuda itu mengangkat muka dan ia agak bingung melihat seorang laki-laki gagah yang tak dikenalnya. Ia mengharapkan pertolongan tabib sakti, bukan orang muda ini.
"Jangan ragu-ragu, sahabat. Aku tahu bahwa kau adalah tunangan Nona Tan Lian. Saudara Thio San, apakah yang terjadi? Aku adalah sahabat baik tunanganmu itu, ceritakanlah apa yang terjadi, aku menolongmu."
Pada saat itu, Kim-sim Yok-ong berjalan mendatangi dari belakang. Melihat kakek itu muncul, Thio San menangis lagi dan berkata,
"Locianpwe, tolonglah dia. Dia.. dia hendak menjadi nikouw, hendak menggunting rambutnya, dan hendak bunuh diri. Saya tidak kuasa menahannya.."
Mendengar ini, Suling Emas cepat menyambar tangan pemuda itu dan menariknya pergi.
"Cepat, antarkan aku kepadanya"
Jantung Suling Emas berdebar-debar tegang, dan ia merasa khawatir sekali. Sedikit pun tak pernah ia menyangka bahwa hati Tan Lian akan sekeras itu, tak mengira bahwa gadis itu akan menempuh jalan nekat. Sambil berjalan setengah berlari biasa, tak berani ia berlari cepat, pikiran Suling Emas membayangkan keadaan Tan Lian.
Mula-mula gadis itu bersumpah hendak membalaskan dendam ayahnya, kemudian gadis itu kecewa karena tidak mampu mengalahkannya, bahkan lebih celaka lagi, gadis itu jatuh cinta kepadanya. Kemudian, di depan makam ayahnya, Tan Lian bersumpah hendak memusuhi anak isteri Suling Emas, kemudian melihat kenyataan bahwa Suling Emas tidak beristeri, lalu timbul kembali cinta kasihnya dan berhasrat menghabiskan permusuhan dengan perjodohan. Akan tetapi kembali harapan ini buyar ketika Suling Emas dengan terus terang menyatakan tak dapat menerimanya.
Ia dapat membayangkan betapa hancur hati gadis itu. Kecewa, menyesal, malu, merasa terhina dan gadis yang tadinya merupakan seorang pendekar wanita, keturunan pendekar besar mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, anak berbakti, kini telah mengambil keputusan nekat untuk menjadi nikouw, bahkan hendak membunuh diri. Dan semua ini dialah yang menjadi gara-garanya. Kalau Tan Lian berhasil membunuhnya, atau kalau dia mau menerimanya sebagai isterinya, tentu takkan terjadi hal-hal ini. Akan tetapi itu bukanlah merupakan jalan keluar yang baik. Apalagi menerima gadis itu menjadi isterinya. Bukankah itu berarti merebut hak orang lain? Dan dia pun tidak ada rasa kasih terhadap Tan Lian "Sayang, seorang gadis yang baik, seorang anak yang berbakti"
"Berbakti"
Kata-kata ini mendatangkan ilham bagi Suling Emas. Inilah agaknya senjata yang dapat ia pergunakan untuk memecahkan persoalan Tan Lian ini.
"Mari cepat, di mana dia?"
"Di depan itu, di balik gunung-gunungan batu, di tepi jurang"
Kata Thio San, suaranya gemetar penuh kegelisahan. Dia ini calon suami yang amat baik, pikir Suling Emas. Dengan hati penuh cinta kasih murni, pemuda ini akan dapat mendatangkan bahagia di hati Tan Lian. Benar saja, ketika mereka memutari gunung-gunungan batu, tampaklah Tan Lian duduk menangis, berlindung dari teriknya matahari di bawah batu yang menonjol, jurang curam yang luas terbentang tak jauh di depan.
"Lian-moi.."
Thio San berseru dengan isak tertahan.
Tan Lian mengangkat mukanya dan ia meloncat karena kaget melihat Suling Emas datang bersama tunangannya. Adapun Suling Emas berdiri seperti patung, hatinya serasa tertusuk melihat gadis itu. Muka gadis itu pucat sekali, kedua pipinya basah air mata, matanya kemerahan dan kepalanya gundul plontos. Rambut yang tadinya gemuk hitam dan panjang, yang ia lihat diurai ketika gadis itu bersumpah di depan makam ayahnya, kini lenyap sama sekali. Wajah itu tetap cantik, dan kegundulan kepalanya sama sekali tidak mengakibatkan lucu, melainkan mendatangkan rasa iba.
"Kau.. Kau bawa dia datang bersamamu? Kau.. kalian terlalu menghinaku. Apa gunanya hidup lagi?"
Gadis itu lalu beriari cepat menuju ke tepi jurang, siap hendak meloncat.
"He, tunggu dulu, Nona. Dengar dulu omonganku.."
Suling Emas berlari maju dan Thio San juga lari mengejar dengan kedua lengan dikembangkan, wajahnya makin pucat. Di tepi jurang, Tan Lian menoleh, kedua tangannya sudah berkembang siap meloncat ke dalam mulut maut yang ternganga lebar di bawah kakinya.
"Jangan dekat, Aku akan meloncat dan tak seorang pun dapat mencegahku. Mau bicara apa, boleh bicara, tapi jangan mendekat"
Dengan hati tegang terpaksa Suling Emas menghentikan langkahnya. Ia maklum bahwa kalau ia mendekat lagi, gadis nekat ini akan meloncat turun tanpa mendengarkan lagi kata-katanya. Hatinya perih melihat titik-titik air mata menetes dan sepasang mata yang lebar, jeli itu memandang kepadanya penuh sesal.
"Nona Tan, ingat dan sadarlah. Pikirlah masak-masak. Apa kau tidak kasihan kepada Saudara Thio San, tunanganmu ini? Dia amat mencintamu, mencinta dengan murni, dengan sepenuh jiwa raganya. Nona, dia bersedia melupakan segala-galanya, bersedia, menerimamu dan melanjutkan perjodohan kalian. Tak seorang pun laki-laki di dunia ini yang dapat mencintamu seperti dia.."
Sepasang mata itu terbelalak memandangnya, bibir yang gemetar itu berkata lemah,
"Dia.. dia..?"
Tertusuklah hati Suling Emas oleh pandang mata dan kata-kata ini. Ia maklum apa artinya itu. Pandang mata dan dua kata itu merangkai pertanyaan tek berbunyi.
"Mengapa dia dan dia saja, mengapa bukan engkau?"
"Sudahlah, pergilah kalian. Atau.. barangkali kalian ingin melihat aku terjun?"
Kembali Tan Lian siap untuk terjun ke depan.
"Lian-moi.., Kalau kau bertekad hendak mati, biarlah aku menemanimu ke alam baka"
Teriak Thio San. Teriakan ini agaknya meragukan Tan Lian. Melihat bahwa tidak ada jalan lain untuk menghalangi maksud gadis keras hati itu, tiba-tiba suling Emas berkata keras.
"Nona Tan Lian, kau ternyata adalah seorang anak yang paling murtad dan tidak berbakti di dunia ini. Arwah ayahmu pasti akan merasa malu sekali"
Cepat sekali Tan Lian membalikkan tubuhnya. Matanya memandang penuh kemarahan kepada Suling Emas.
"Suling Emas, Tutup mulutmu"
Kau sudah menghinaku, apakah kau juga hendak menghina ayah? Tak boleh kau sebut-sebut nama ayah, dan aku.. karena baktiku kepada ayah maka sampai begini"
Suling Emas sengaja tersenyum mengejek.
"Huh, orang seperti engkau ini masih mengaku berbakti kepada ayah? Kau durhaka dan tidak berbakti. Orang seperti Saudara Thio San ini, barulah bisa disebut setia dan berbakti. Ia berbakti dan menjunjung tinggi perintah ayahnya untuk menjadi jodohmu dan ia setia kepadamu sampai mati. Akan tetapi engkau? Huh, kau durhaka terhadap ayah, masih pura-pura merasa diri berbakti? Memalukan"
"Jahanam, tutup mulutmu. Buktikan apa yang kau katakan tidak berbakti itu, kalau kau tidak dapat membuktikan, hemmm.. aku akan mengadu nyawa denganmu"
Suling Emas tertawa memanaskan hati.
"Kau sudah bersumpah membalaskan dendam ayahmu, tidak terlaksana. Hal itu masih bisa dimengerti karena ibuku yang hendak kau balas sudah meninggal dunia, pula untuk membalas dendam itu kepadaku, memang kau tidak mampu menangkan aku. Akan tetapi ayahmu telah memilih Thio San menjadi jodohmu. Perintah ayahmu ini bukan tak dapat kau penuhi, karena Thio San masih ada dan pemuda itu mencintamu. Mengapa kau mengingkarinya? Mengapa kau hendak melanggar janji perjodohan yang ditentukan ayahmu? Bukankah dengan demikian berarti kau menyeret ayahmu ke jurang kehinaan, sebagai orang yang mengingkari janji ikatan jodoh? Huh-huh, kukira kalau kau sekarang meloncat terjun ke dalam jurang itu dan mampus, arwahmu akan disambut penuh kemarahan dan kebencian oleh arwah ayahmu. Nah, kau loncatlah, biar kulihat"
Suling Emas berdiri tegak sambil memangku tangan.
"Kurang ajar"
Thio San berteriak sambil berlari menghampiri Suling Emas. Kemarahannya membuat wajah pemuda ini merah padam,
"Kau kurang ajar sekali. berani mengeluarkan kata-kata menghina seperti itu kepada Lian-moi. Biarpun kau seorang pendekar yang pandai ilmu silat, biarlah aku yang mengadu nyawa denganmu untuk mencuci penghinaanmu"
Setelah berkata demikian Thio San menggerakkan kedua tangannya, bertubi-tubi memukuli muka dan dada Suling Emas yang menerima semua pukulan itu tanpa melawan dan dengan mata tidak berkedip
"San-koko.. jangan.."
Thio San yang tadinya sudah merasa betapa sia-sia memukuli "manusia baja"
Yang seperti tidak merasakan pukulannya dan yang sebaliknya malah membuat kedua tangannya sakit itu, tercengang dan cepat menengok mendengar sebutan "koko"
Dari tunangannya. Ia melihat tunangannya itu menangis tersedu-sedu menutupi muka dengan kedua tangan.
"Lian-moi, dia kurang ajar"
".. tidak.. dia benar.. Ya Tuhan.. ayah, ampunkan anakmu ini, ayah.."
Thio San cepat maju memeluk tubuh tunangannya yang terhuyung-huyung hendak roboh. Gadis itu makin tersedu-sedu di atas dada tunangannya.
"Koko.. kau.. pun maafkanlah aku.."
Isaknya. Thio San hanya dapat mengusap pundak gadis pujaan hatinya dengan air mata bercucuran. Ketika ia menengok, ia melihat Suling Emas sudah melangkah pergi dari situ dengan wajah berseri dan bibir tersenyum. Thio San mengejap-ngejapkan matanya menahan haru yang menguasai hatinya. Ia takkan melupakan pendekar itu, selama hidupnya. Tahulah ia sekarang bahwa sesungguhnya nyawa Tan Lian tertolong oleh Suling Emas, bukan hanya nyawa Tan Lian, melainkan juga nyawanya, kebahagiaan hidupnya. Cepat-cepat ia lalu memapah dan merangkul Tan Lian, diajak pergi meninggalkan jurang yang tetap menganga dan sunyi, seakan-akan merenungi peristiwa itu tanpa perasaan apa-apa.
Suling Emas berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ia mengerti betul bahwa sungguhpun tadi ia berhasil mencegah Tan Lian membunuh diri, bukan itu saja, juga menemukan kembali dua buah hati dan mempersatukan dua kasih yang tadinya menyeleweng, namun semua hasil ini dibeli dengan pengorbanan yang cukup besar. Karena biarpun ia berhasil membelokkan cinta kasih Tan Lian kepada tempat yang wajar, kepada orang yang berhak, namun sebagai imbangannya ia membangkitkan kembali dendam gadis itu sebagai pelaksanaan daripada kebaktian terhadap ayahnya. Sumpah di depan kuburan yang tadinya terselimut oleh rasa cinta, kini muncul kembali berupa ancaman terhadap keluarga Suling Emas.
Berkali-kali Suling Emas menarik napas panjang dan karena perjalanan ini sedikit banyak mempergunakan tenaga, ia merasa dadanya sakit kembali. Dalam keadaan melamun dan nelangsa ini ia tidak tahu bahwa dirinya dibayangi orang, juga tidak tahu bahwa udara yang tadinya terang menjadi gelap oleh mendung dan angin mulai bertiup. Baru setelah ada daun-daun gugur yang tertiup angin keras menghantam mukanya, dan kain kepalanya hampir terlepas terbang dari kepalanya, ia sadar dan kaget. Ternyata cuaca sudah menjadi agak gelap dan udara yang tadinya tenang menjadi liar karena angin bertiup keras. Sebentar lagi turun hujan, pikirnya. Ia lalu membelok ke arah gunung batu di mana terdapat banyak gua-gua batu untuk berlindung.
"Suling Emas.."
Di dalam gua ia membalikkan tubuh. Kiranya Lin Lin yang memanggilnya dan kini gadis itu yang berlari cepat sudah masuk gua, serta-merta gadis ini merangkul dan menangis, membenamkan muka ke dadanya. Suling Emas memejamkan dan mendongak ke atas, sekuat tenaga berusaha menekan guncangan hatinya, namun sia-sia.
"Ah, betapa gelisah dan khawatir hatiku tadi.. aku sedang mengejar Enci Sian Eng ketika aku teringat akan keadaanmu. Aku hendak kembali ke pondok namun sesat jalan. Aku.. aku gelisah dan melihat kau berjalan dengan muka pucat bersama pemuda itu, aku heran dan mengikuti.. pertemuanmu dengan gadis baju hijau yang aneh. Ah, Suling Emas, betapa khawatir hatiku. Dia.. dia mencintamu dan.. ah syukurlah. Kini aku bahagia. Kiranya kau hanya mencinta aku seorang, seperti juga aku hanya mencinta engkau seorang di dunia ini.."
Suling Emas tidak menjawab, tidak mampu menjawab karena jantungnya yang berdebar-debar seakan-akan hendak pecah itu mencekik tenggorokannya. Karena itu ia hanya dapat menggelengkan kepalanya keras-keras. Gerakan ini agaknya terasa oleh Lin Lin yang segera mengangkat muka memandang. Suling Emas menunduk, muka mereka berdekatan, dua pasang mata saling pandang. Kembali Suling Emas menggeleng kepala dan pandang matanya sayu. Lin Lin memeluk lebih erat lagi.
"Kenapa kau menggeleng kepala? Apa maksudmu hendak menyangkal? Suling Emas, betapapun kau hendak berpura-pura, hatimu tidak akan dapat menipuku, tidak akan menipumu. Debar jantungmu meneriakkan betapa kau mencintaku. Ah, jangan kau goda aku.."
Kembali Lin Lin membenamkan mukanya pada dada yang bidang itu. Sejenak Suling Emas tenggelam ke dalam alam perasaan indah dan nikmat yang membuat ia membelai-belai rambut hitam halus dan menciuminya penuh nafsu. Biarpun mereka tak berkata-kata, dengan muka Lin Lin terbenam di dada Suling Emas dan muka Suling Emas terbenam di rambut Lin Lin, namun keduanya sama-sama tenggelam dalam kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang terbuai asmara. Mereka tidak menghiraukan bahkan tidak tahu betapa angin makin keras mengamuk di luar gua.
"Koko (kanda).. sebetulnya siapakah namamu?"
Lin Lin berbisik lirih.
Akan tetapi bagi Suling Emas, bisikan lirih ini seakan-akan merupakan halilintar menyambar kepalanya yang menghancurkan semua mimpi indah dan menyeretnya kembali kepada kenyataan. Dengan halus akan tetapi pasti ia memegang kedua pundak Lin Lin dan mendorong gadis itu sehingga terlepas dari padanya kemudian ia melangkah mundur dan memutar tubuhnya membelakangi Lin Lin sambil berseru keras,
"Tidak.. tidak mungkin.."
Tentu saja Lin Lin terkejut sekali dan memandang dengan muka pucat dan hati khawatir.
"Ada apakah? Apa yang tidak mungkin..?"
Katanya sambil memegang lengan Suling Emas, akan tetapi pendekar ini tetap membuang muka dan kedua matanya dipejamkan.
"Tak mungkin kita lanjutkan kegilaan ini. Lin Lin, aku.. betapapun perih rasa hatiku, aku.. aku tak mungkin begitu gila untuk menerima perasaanmu yang murni. Tak mungkin"
Kata-kata terakhir ini keluar dari mulut Suling Emas seperti keluhan dengan suara gemetar dan parau. Lin Lin tersentak bagaikan disambar petir. Dua titik air mata meloncat turun di atas pipinya yang pucat dan sepuluh jari tangannya bergerak-gerak saling remas membayangkan hati yang bingung, perih dan gelisah.
"Kenapa..? Kenapa..? Suling Emas, bukankah kau mencintaiku? Sejak pertama kali kita bertemu di kota raja.. sikapmu selama ini.. pengakuanmu di depan gadis tadi.. bukankah itu semua membuktikan bahwa kau pun mencintaiku seperti aku mencintamu? Ataukah.. aku telah salah duga? Suling Emas, katakanlah, sebagai seorang laki-laki yang gagah, katakanlah, apakah kau menolak kasihku? Apakah kau tidak.. tidak mencintaku seperti yang kuduga?"
Suling Emas bersedakap memangku lengan, ia masih membuang muka dengan mata terpejam karena tidak kuasa ia memandang wajah gadis yang bicara dengan suara begitu tergetar memilukan. Akhirnya ia dapat menjawab, suaranya lirih dan tersendat-sendat menahan goncangan hati.
"Adik Lin Lin, semata-mata bukan aku menolak cinta kasihmu, bukan pula membencimu, akan tetapi justeru aku sangat menyayangkan nasibmu kelak apabila kau menjadi jodohku. Lin Lin, engkau cantik jelita, muda remaja, engkau berhak memperoleh seorang suami yang lebih segala-galanya daripada aku. Masih banyak kesempatan bagimu untuk bertemu jodoh yang tampan dan gagah perkasa, seorang satria sejati yang tepat menjadi teman hidupmu selamanya. Aku.. ah, aku sudah tua untukmu, Lin Lin"
Di belakang punggungnya, Suling Emas mendengar isak tangis Lin Lin. Ia mengeraskan hatinya. Apa yang ia ucapkan tadi adalah suara hatinya. Lin Lin adalah adiknya, sungguhpun bukan adik kandung dan berasal dari orang lain, namun gadis ini sudah menggunakan she (keturunan) ayahnya, bernama Kam Lin, adik Kam Bu Song, dia sendiri. Ayahnya sudah meninggal dunia, berarti dia sebagai putera sulung menjadi pengganti ayahnya. Dia adalah kakak Lin Lin, juga wakil ayah Lin Lin. Dia yang berkewajiban mencarikan jodoh untuk adiknya ini, jodoh yang tepat. Mana mungkin dia sendiri terlibat cinta kasih dengan Lin Lin. Mana mungkin dia memperisteri Lin Lin, mengambilnya sendiri menjadi jodohnya. Dunia akan mentertawakannya, arwah ayahnya akan mengutuknya, Thian akan menghukumnya. Kalau saja Lin Lin bukan bernama Kam Lin, bukan adik angkatnya, agaknya ia akan membuka kedua lengannya, karena hanya pada Lin Lin ia melihat pengganti Suma Ceng.
"Tidak.., Kau tidak tua bagiku. Aku tidak sudi menjadi jodoh orang lain. Aku hanya mencintaimu seorang"
Suling Emas, apakah cinta kasih murni mengenal usia? Ah, Suling Emas, aku yakin betul akan cinta kasihmu, mengapa kau harus berpura-pura, menipu diri sendiri? Mengapa kau hendak merenggut pertalian kasih antara kita, rela merobek hatimu sendiri dan menghancurkan hatiku, hanya karena alasan usia? Tak tahukah engkau bahwa sikapmu ini mengakibatkan hati kita robek-robek berdarah, dan selama hidup akan menyiksa kita sendiri? Aku hanya mencinta engkau seorang, dan kau pun cinta kepadaku.. ah, aku mohon kepadamu.. jangan patahkan ikatan suci ini.. Suling Emas.."
Lin Lin menangis sesenggukan dan tiba-tiba ia berlutut dan merangkul kedua kaki Suling Emas.
"Jangan.., Jangan begitu.."
Suling Emas berseru kaget sambil melangkah mundur.
"Biarlah, Kau lihat. Demi cinta kasihku kepadamu, aku berlutut dan bermohon kepadamu. Aku merendahkan diri, aku bersikap hina, karena.. karena cintaku. Kau telah mengenalku, kalau bukan demi cintaku, lebih baik aku mati daripada merendahkan diri seperti ini.."
Tiba-tiba Lin Lin mengangkat mukanya dan berteriak,
"Suling Emas.."
Akan tetapi pendekar itu sudah lenyap, tidak berada di dalam gua lagi. Dengan isak tertahan Lin Lin melompat keluar, disambut angin dan air hujan. Matanya sukar dibuka dan lebih sukar lagi melakukan pengejaran dalam keadaan seperti itu.
"Suling Emas.."
Berkali-kali ia menjerit, memanggil-manggil dan lari ke sana ke mari mencari pendekar itu sambil menangis. Air matanya bercucuran menyaingi air hujan. Beberapa jam kemudian tubuh Lin Lin menggeletak pingsan di antara siraman air hujan.
"Lin-moi.."
Bu Sin terkejut bukan main ketika melihat tubuh Lin Lin seperti telah tak bernyawa lagi itu di atas rumput. Cepat-cepat ia memondong tubuh adiknya dan berlari kembali ke pondok Kim-sim Yok-ong.
"Locianpwe.. tolonglah.. tolonglah adikku ini.."
Kudapatkan dia seperti ini di dalam hutan.."
Bu Sin berkata dengan suara gugup kepada kakek tabib yang sedang duduk di ruangan dalam.
Kim-sim Yok-ong menghampiri Lin Lin yang rebah di atas bangku panjang di mana tadinya Suling Emas berbaring. Wajah Lin Lin pucat sekali seperti mayat, dadanya tidak bergerak seakan-akan sudah tak bernapas lagi. Hal inilah yang membuat Bu Sin kebingungan. Setelah menyentuh nadi pergelangan tangan gadis itu, Yok-ong menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang, diawasi oleh Bu Sin yang menjadi amat gelisah.
"Hemmm.. di dunia ini banyak terjadi hal-hal aneh. Entah mengapa adikmu ini sekaligus dapat terserang perasaan malu, kecewa dan duka secara berbareng. Padahal kulihat dia tadi demikian lincah gembira. Akan tetapi jangan khawatir, dia tidak apa-apa."
Bu Sin lega hatinya, namun ia sendiri terheran mendengar keterangan itu. Lin Lin merasa malu, kecewa dan berduka? Apa sebabnya? Ia memang sudah terheran-heran melihat Lin Lin. Adiknya ini tiba-tiba memiliki kepandaian yang hebat, demikian pula Sian Eng. Apakah yang terjadi dengan kedua orang adjknya? Ia belum mendapat kesempatan untuk bercakap-cakap. Kini Sian Eng secara aneh sekali telah pergi entah ke mana, dan Lin Lin.. mengapa bisa begini?
"Tak usah kau khawatir, Yok-ong bilang dia akan sembuh dua tiga hari setelah beristirahat"
Tiba-tiba terdengar suara orang dan Bu Sin segera menengok, kiranya bibi gurunya, Kui Lan Nikouw yang berada di situ. Kui Lan Nikouw memang tiba di pondok Yok-ong setelah orang-orang muda itu pergi. Sebagai seorang beribadat, melihat keadaan Yok-ong, Kui Lan Nikouw menjadi kagum sekali dan tanpa diminta ia lalu membantu merajang akar dan daun obat di sebelah belakang pondok sambil menanti kembalinya para keponakannya.
Nikouw ini biarpun ilmu silatnya tidak sangat tinggi, namun ia merupakan tokoh yang terkenal pula di Cin-ling-san dan tubuhnya masih kuat. Biarpun ia hanya berdiam di Cin-ling-san, bertapa dan mengajarkan ilmu batin menurut pelajaran Agama Buddha. Akan tetapi setelah lama ketiga orang murid keponakannya meninggalkan Ting-chun, ia merasa khawatir juga, lalu pada suatu hari ia meninggalkan Cin-ling-san, mencari keponakan-keponakannya ke kota raja. Secara kebetulan sekali di tengah perjalanan ia bertemu dengan Bu Sin yang hendak mengunjungi Cin-ling-san untuk memberi laporan kepada bibi gurunya tentang mereka bertiga, juga sekalian untuk membicarakan rencana perjodohannya dengan Liu Hwee, puteri dari Beng-kauwcu (ketua Beng-kauw). Girang hati nikouw ini mendengar tentang rencana perjodohan, akan tetapi di samping kegirangannya, ia pun merasa gelisah memikirkan Sian Eng dan Lin Lin, maka ia menegur keponakannya ini,
"Sin-ji (anak Sin), mengapa kau tidak menanti adik-adikmu sehingga dapat pulang bersama mereka? Kau benar-benar terlalu memikirkan kepentingan sendiri. Kurasa, yang dapat menolong kita mendapatkan adik-adikmu hanyalah Bu Song yang kini ternyata menjadi Suling Emas, pendekar besar yang namanya sampai bergema di Cin-ling-san. Pinni (aku) mendengar pula tentang pertandingan besar antara Thian-te Liok-koai di Thai-san. Kurasa Suling Emas akan hadir pula di sana, maka sebaiknya kita langsung ke sana menemuinya. Setelah kita berjumpa dengan Sian Eng dan Lin Lin, baru kita beramai pergi kepada Beng-kauwcu untuk meminang puterinya."
Demikianlah, secara kebetulan sekali Kui Lan Nikouw dan Bu Sin muncul ketika terjadi pertandingan hebat di puncak Thai-san, di mana Kui Lan Nikouw roboh oleh hawa pukulan dua orang kekek sakti karena hendak menyelamatkan Bu Sin, akan tetapi secara mujijat nikouw ini ditolong oleh Bu Kek Siansu. Nikouw ini tadinya gembira sekali karena tepat seperti dugaannya, ia dapat bertemu dengan Suling Emas di puncak Thai-san, bahkan bukan hanya dengan keponakannya yang telah lama hilang ini, juga malah bertemu pula dengan Sian Eng dan Lin Lin yang telah memiliki kepandaian yang ajaib sekali. Akan tetapi kegembiraannya hanya sebentar saja karena sekarang kembali kedua orang keponakannya itu telah lenyap, bahkan kemudian Bu Sin kembali dengan Lin Lin yang berada dalam keadaan pingsan, bahkan seperti telah mati. Baiknya ada Kim-sim Yok-ong yang memberi jaminan bahwa Lin Lin tidaklah berbahaya keadaannya.
Sampai dua hari dua malam Lin Lin tidak sadarkan diri. Tak pernah membuka mata dan kadang-kadang ia mengigau tentang hal-hal yang tak dimengerti sama sekali oleh Kui Lan Nikouw maupun Bu Sin yang dengan hati-hati menjaganya. Ia sering kali mengigau tentang usia tua, tentang cinta yang bernoda darah, tentang ratu-ratu dan puteri-puteri. Sering kali ia menjerit.
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan karena tua, akan tetapi karena kau mencinta wanita lain"
Hanya sedikit bubur encer yang memasuki perutnya, disuapkan ke dalam mulutnya oleh Kui Lan Nikouw. Tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat sekali, dan biarpun kedua matanya meram, akan tetapi banyak air mata keluar dari sepasang matanya. Pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali ia membuka matanya, menengok ke kanan kiri, tampaknya bingung.
"Sin-ko.., Sukouw.."
Akhirnya ia berseru ketika mengenal dua orang yang duduk di pinggir dipan. Ia bangkit duduk dan menubruk bibi gurunya sambil menangis. Kui Lan Nikouw mengelus-elus rambutnya, penuh kesabaran,
"Kau berbaringlah saja, anak baik. Kau sudah sembuh, hanya perlu beristirahat."
"Lin-moi, aku mendapatkan kau rebah pingsan di dalam hutan. Apakah gerangan yang terjadi?"
Kui Lan Nikouw memberi isyarat dengan matanya kepada Bu Sin, akan tetapi pemuda ini sudah terlanjur bicara, maka nenek ini menoleh kepada Lin Lin dengan khawatir. Menurut anggapannya, tidak tepat saatnya untuk bicara tentang itu selagi Lin Lin baru saja sadar. Akan tetapi Lin Lin hanya mengerutkan kening, menggeleng kepala, matanya sayu. Ini pun hanya sebentar karena tiba-tiba matanya mengerling kepada Kui Lan Nikouw dan kembali merangkulnya.
"Ah, girang sekali bertemu denganmu, Sukouw. Bagaimanakah Sukouw bisa muncul di sini? Seperti dalam mimpi saja"
Lega hati Kui Lan Nikouw. Kiranya Lin Lin masih biasa seperti dulu, ramah dan lincah.
"Nanti kuceritakan, Lin Lin. Sekarang kau rebahlah, kau perlu beristirahat kata Kim-sim Yok-ong."
"Ah, Si Raja Obat itukah yang menolongku? Benar-benar dia patut disebut Raja Obat, dan tentang hatinya emas atau bukan, perlu diselidiki dulu."
Ia tersenyum dan sudah mendapatkan kegembiraannya kembali.
"Aku tidak merasa sakit apa-apa, Sukouw, hanya.. lemas dan.. dan lapar sekali, Kalau begini rasanya aku sanggup menghabiskan nasi sepanci dan ayam gemuk tiga ekor, bakmi dua kati"
Gadis ini tertawa dan Kui Lan Nikouw juga tertawa.
"Bocah nakal, Dua hari ini kau bikin hatiku penuh kekhawatiran saja."
Nikouw ini girang bukan main. Akan tetapi biarpun mulutnya tersenyum, di dalam hatinya Bu Sin tidak puas. Ia terlampau kenal watak Lin Lin yang memang mudah sekali berduka dan gembira, mudah menangis mudah tertawa semenjak kecilnya. Akan tetapi kini ia melihat betapa di balik wajah berseri dan senyum melebar itu terdapat awan gelap yang membayang dari kesayuan mata adik angkatnya ini, mata sayu lesu yang hanya dapat timbul karena kedukaan yang menindih hati. Maka diam-diam ia merasa prihatin dan kasihan kepada Lin Lin, namun ia tidak berani bertanya karena ia mengenal watak Lin Lin yang takkan mau bercerita kalau tidak atas kehendaknya sendiri. Ditemani oleh Kim-sim Yok-ong, Lin Lin bersama kakaknya dan bibi gurunya lalu makan masakan tanpa daging yang dimasak oleh Kui Lan Nikouw. Selesai makan mereka bicara tentang peristiwa yang lalu terutama sekali tentang keadaan dan sikap Sian Eng yang amat aneh.
"Sungguh aku merasa heran sekali melihat Enci Sian Eng. Mengapa ia melarikan diri dan apakah yang terjadi atas dirinya maka ia berubah seaneh itu?"
Kata Lin Lin.
"Kau sendiri pun aneh, Lin-moi. Kulihat kau telah memiliki ilmu yang hebat sehingga berdua dengan Sian Eng kau mampu melawan tokoh-tokoh iblis. Bagaimana kau bisa mendapatkan kemajuan dalam waktu singkat dan memiliki ilmu yang luar biasa?"
Lin Lin tersenyum.
"Ah, kebetulan saja aku mendapatkan warisan ilmu yang tak dapat kuceritakan dari mana asalnya. Enci Sian Eng lebih hebat, dan menjadi begitu aneh, seakan-akan kumelihat sinar yang tidak sewajarnya dari mukanya."
"Sayang sekali, Bu Song juga ikut pergi dan tidak kembali sampai sekarang. Belum sempat aku bercakap-cakap dengan keponakanku itu. Ah, kurasa dia lebih mengetahui akan keadaan Sian Eng yang aneh,"
Kata Kui Lan Nikouw.
"Siapa katamu, Sukouw? Kakak Bu Song..? Di mana dia..? Siapa..?"
Lin Lin bertanya dengan muka terheran-heran. Sudah dua kali ia mendengar disebutnya nama kakaknya yang sampai kini belum ia lihat itu. Bu Sin tertawa.
"Kasihan kau, Lin-moi. Sampai sekarang pun kau belum tahu dan belum dapat menduga? Aku dan Sian Eng sudah tahu. Yah, mungkin karena kau selalu terpisah dariku, maka kau tidak tahu akan rahasia ini. Suling Emas, pendekar itu, dialah sebetulnya kakak Kam Bu Song yang kita cari-cari"
"Prakkk"
Pecahlah cangkir yang berada di tangan Lin Lin. Gadis ini bangkit berdiri, matanya terbelalak lebar ketika ia memandang kepada Bu Sin dengan sinar mata tak percaya. Kemudian ia memandang Kui Lan Nikouw dengan mata bertanya.
"Dia..? Kakakku..?"
Bu Sin tertawa gembira melihat keheranan dan kekagetan Lin Lin ini. Akan tetapi Kui Lan Nikouw memandang dengan kening berkerut, karena sekarang nenek inilah yang dapat melihat bahwa gadis itu tidak hanya heran dan kaget saja. Ia segera berkata menerangkan.
"Tentu saja dia kakakmu, Lin Lin. Bu Song adalah putera sulung ayahmu dengan Liu Lu Sian. Kemudian Bu Sin dan Sian Eng adalah anak-anak ayahmu yang ke dua dan ke tiga, dari ibu mereka yaitu Souw Bwe Hwa sedangkan kau sendiri adalah.."
"Anak pungut, Aku hanya anak angkat"
Lin Lin berseru keras. Kini Bu Sin memandang kaget.
"Biarpun anak angkat, akan tetapi kau seperti anak ayah ibu sendiri, Lin-moi. Kau adik kami.."
"Adik angkatnya, Sebetulnya orang lain"
Lin Lin kembali bersitegang sambil menggigit bibirnya yang gemetar.
"Hushhh, Mengapa kau bicara begitu?"
Kui Lan Nikouw menegur.
"Lin Lin, kau juga puteri ayahmu, biarpun anak angkat akan tetapi kau sah menjadi keluarga Kam. Kau she (bernama keturunan) Kam dan namamu Lin.."
"Bukan"
Lin Lin sudah meloncat sekarang, dan sinar keemasan berkilauan ketika ia mencabut pedangnya. Pedang Besi Kuning. Melihat ini, Bu Sin dan Kui Lan Nikouw juga bangkit berdiri dengan muka pucat. Hanya Kim-sim Yok-ong yang tetap duduk tenang, hanya melirik sedikit ke arah Lin Lin, agaknya kejadian seperti ini sama sekali tidak aneh baginya karena ia telah mengetahui dasar-dasarnya.
"Bukan, Aku bukan apa-apa kalian, bukan apa-apanya Bu Song. Aku tidak punya she Kam, dan namaku adalah Yalina. Puteri Mahkota, Puteri Khitan, yang mulia Puteri Yalina. Aku bukan apa-apa kalian. Aku bukan adiknya, bukan adiknya.."
Tiba-tiba Lin Lin meloncat dan lari keluar dari dalam pondok, pedangnya berkilauan.
"Lin-moi.."
Bu Sin hendak mengejar akan tetapi lengannya dipegang Kui Lan Nikouw.
"Takkan ada gunanya, Sin-ji. Sejak dulu aku sudah menduga bahwa sewaktu-waktu ia akan memenuhi panggilan darahnya. Memang dia berdarah bangsawan Khitan. Kau tidak lihat sikapnya tadi? Begitu agung seperti puteri. Biarkanlah, hatinya keras sekali dan kepandaiannya juga luar biasa, percuma saja dihalangi kehendaknya."
"Korban asmara lagi.."
Kim-sim Yok-ong bicara perlahan seperti orang bicara kepada dirinya sendiri.
"Penyakit orang muda yang amat sukar diobati. Percuma saja aku disebut Raja Obat, terhadap penyakit yang satu ini aku benar-benar angkat tangan.."
Lalu ia menarik napas panjang dan meninggalkan meja, memasuki kamarnya untuk mengaso.
Bu Sin hanya dapat saling pandang dengan bibi gurunya, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Raja Obat itu. Yang paling bingung dan sedih adalah Bu Sin. Kembali ia harus berpisah dari Sian Eng dan Lin Lin. Perpisahan yang amat aneh dan luar biasa. Sian Eng lenyap tak meninggalkan bekas sehingga sukar baginya untuk mencarinya. Akan tetapi Lin Lin biarpun pergi secara aneh dan tidak sewajarnya, dapat ia duga bahwa adiknya, adik angkat, yang luar biasa ini besar sekali kemungkinannya pergi ke Khitan. Hanya Suling Emas yang dapat ia harapkan. Suling Emas, atau kakaknya, Kam Bu Song seoranglah yang dapat ia harapkan bantuannya untuk mencari kedua orang adiknya itu. Akan tetapi, Suling Emas juga lenyap tak berbekas, ke mana ia harus mencarinya? Sementara itu, Lin Lin berlari-lari seperti orang gila, tidak peduli ke mana kakinya bergerak membawanya, berlari sambil mengulang kata-kata,
"Dia bukan kakakku.. dia bukan kakakku.."
Sampai malam gelap tiba, gadis ini terus berlari meninggalkan Pegunungan Thai-san dan akhirnya tibalah ia di sebuah hutan di kaki gunung bagian utara.
Malam yang gelap tidak memungkinkan ia melanjutkan larinya. Ia menjatuhkan diri di atas rumput dan duduk termenung. Tidak menangis lagi, namun beberapa kali ia masih terisak, sedu-sedan menyelingi napasnya yang terengah-engah karena berjam-jam lari cepat tadi melelahkannya. Pikirannya penuh dengan bayangan Suling Emas, penuh dengan persoalan Suling Emas. Sambil menyadarkan tubuhnya pada sebatang pohon, Lin Lin merenung. Ia merasa yakin benar bahwa Suling Emas mencintanya. Hal ini jelas dapat ia tangkap dari pandang mata, dari kata-kata, maupun dari gerak dan belaiannya kemarin. Ia tahu bahwa Suling Emas memaksa diri menjauhinya, memaksa diri memutus rasa cinta kasih. Apakah sebabnya? Inilah yang menjadi bahan pemikirannya. Karena mereka masih bersaudara? Hanya namanya saja saudara.
She Kam yang ia pakai bukanlah she-nya yang aseli. Ia tidak berdarah Kam. Tidak dari ayah, juga tidak dari ibu, tidak menghubungkan pertalian darah antara dia dan Suling Emas. Apakah karena Suling Emas betul-betul merasa telah tua? Ini pun tidak betul, karena biarpun ada selisih usia antara dia dan Suling Emas, namun pendekar itu belumlah tua, baru tiga puluh tahun lebih. Lalu, apa sebabnya dia menolaknya. Karena di sana ada wanita lain. Tapi.. ia yakin bahwa Suling Emas mencintanya. Tiba-tiba ia teringat dan meloncat bangun. Mengapa ia hanya mengingat akan Suling Emas? Sehingga ia lupa akan Kam Bu Song? Ah, sekarang tahulah dia. Pernah ia mendengar tentang hubungan asmara antara kakaknya itu, Kam Bu Song pernah bercinta dengan puteri bangsawan adik Suma Boan. Dan Kam Bu Song adalah Suling Emas. Ah, mengapa ia begini tolol? Teringat ia sekarang akan perjumpaannya yang pertama kali dengan Suling Emas.
Di dalam gedung perpustakaan di istana kaisar. Perjumpaan pertama di tempat yang agak gelap itu, di mana serta-merta Suling Emas memeluk dan menciumnya, kemudian kaget dan minta maaf, bukankah ini jelas membuktikan bahwa Suling Emas menyangka dia wanita lain, wanita yang menjadi kekasihnya, yang biasa dipeluk-ciumnya dan biasa mengadakan pertemuan rahasia dengannya? Ah, mengapa ia begitu bodoh? Terang bahwa Suling Emas mencinta wanita lain, tak salah lagi, wanita itu tentulah adik Suma Boan. Berpikir sampai di sini, muka Lin Lin menjadi merah padam. Alangkah memalukan. Ia mencinta orang yang selama ini dicari-carinya sebagai kakaknya. Dan ia bertepuk sebelah tangan. Orang yang dicintanya sama sekali tidak membalas, karena telah mencinta orang lain. Benar-benar ia telah merendahkan diri sampai sehina-hinanya. Ia merasa malu sekali.
"Aku harus pergi jauh. Aku harus kembali ke Khitan. Aku takkan mau bertemu muka dengan dia lagi, kecuali kalau aku sudah menjadi ratu di Khitan"
Baru aku suka bertemu dengan dia, sebagai ratu bukan sebagai adiknya, apalagi sebagai.. kekasihnya. Tapi sebelum ke Khitan.. aku harus melenyapkan wanita itu, wanita yang berani menolak cinta kasih Suling Emas, wanita yang berani merampas hati Suling Emas, wanita yang menjadi penghalang kebahagiaannya"
Berpikir demikian, hati panas membuat Lin Lin lupa akan kelelahannya dan bangkitlah ia, lalu melanjutkan perjalanan di waktu malam, keluar masuk hutan.
Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kakinya dan kepalanya dimiringkan. Ia mendengar suara aneh. Lengking tinggi berkali-kali menggema di malam gelap. Hatinya berdebar. Suara sulingkah itu? Ia ragu-ragu. Ia tidak sudi bertemu kembali dengan Suling Emas sebelum ia menjadi ratu di Khitan. Akan tetapi.. sebelum ia pergi jauh, apa salahnya satu kali lagi saja melihat wajahnya? Keraguan meliputi hati Lin Lin, akibat daripada dua macam perasaan yang bertentangan. Namun akhirnya kakinya melangkah, seakan-akan di luar kesadarannya, menuju ke arah suara melengking-lengking, Pedang Besi Kuning sudah berada di dalam tangannya.
Ketika tiba di tempat itu, Lin Lin tertegun. Di sebuah tempat terbuka, di bawah sinar bintang-bintang yang remang-remang, ia melihat pertempuran yang hebat dan ia tersentak kaget. Siang-mou Sin-ni agaknya yang sedang bertanding, melawan seorang kakek bongkok yang bukan lain adalah It-gan Kai-ong. Akan tetapi mana mungkin? Bukankah Siang-mou Sin-ni sudah tewas, terjerumus ke dalam jurang, mati di tangan Suling Emas? Dan suara melengking-lengking itu keluar dari mulut Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi, biarpun wanita itu bertanding dengan rambut terurai, rambut itu tidak sepanjang Siang-mou Sin-ni dan wanita ini bertanding tanpa menggunakan rambutnya seperti keistimewaan Siang-mou Sin-ni. Apakah wanita baju hijau?
Pernah ia melihat wanita baju hijau itu berurai rambut ketika bersumpah di depan makam ayahnya. Akan tetapi wanita itu baru-baru ini ia lihat tidak berambut lagi, sudah gundul seperti seorang nikouw. Siapakah gerangan wanita ini? Ia mendekati dan melihat betapa wanita itu gerakan-gerakannya dahsyat dan aneh luar biasa, It-gan Kai-ong merupakan lawan yang berat, tongkatnya menyambar-nyambar mendatangkan angin keras. Akan tetapi gerakan kakek itu lamban, dan teringatlah Lin Lin bahwa kakek pengemis mata satu ini pun sudah terluka parah. Kalau tidak terluka, agaknya wanita itu bukan lawannya. Lin Lin makin mendekat dan alangkah kaget dan marahnya ketika ia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Sian Eng.
"Enci Sian Eng, jangan takut. Kubantu kau menghajar mampus iblis ini"
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat ke depan, didahului sinar kuning emas pedangnya yang sudah menerjang It-gan Kai-ong dengan ganas. Maklum akan kelihaian lawan, serta-merta Lin Lin mainkan jurus-jurus yang ia pelajari dari ilmu rahasia dalam tongkat pusaka Beng-kauw. Hebat gerakannya itu, biarpun belum matang sekali namun karena jurus-jurus itu adalah jurus sakti yang khusus diciptakan oleh mendiang pendiri Beng-kauw, Pat-jiu Sin-ong, maka hebatnya bukan main. Begitu pedangnya bergerak, It-gan Kai-ong berseru.
"Uhhhhh"
Dan kakek ini terhuyung ke belakang, hampir saja perutnya termakan ujung pedang.
"Bagus, Lin-moi adikku. Mari bantu aku bikin mampus anjing ini"
Teriak Sian Eng dengan gembira dan kedua tangannya melakukan serangan hebat, dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah dada kakek itu. Lin Lin tertegun karena melihat betapa kedudukan kaki dan gerakan tangan encinya itu mirip sedikit dengan ilmu barunya. Hal ini sebenarnya tidak aneh karena sebuah di antara kitab yang dipelajari Sian Eng di dalam gua adalah kitab ilmu silat Beng-kauw peninggalan Tok-siauw-kui yang tentu saja dasarnya sama dengan ilmu yang ia warisi dari Pat-jiu Sin-ong. Karena ini ia menjadi gembira dan mainkan pedangnya.
Secara aneh sekali, gerakan mereka seimbang dan setelah mereka menyerang bersama, maka serangan itu merupakan rangkaian yang cocok dan daya serangannya hebat bukan main. It-gan Kai-ong yang sudah terluka parah dalam pertandingannya melawan Suling Emas beberapa hari yang lalu, menjadi terkejut sekali. Biarpun dua orang gadis itu sudah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian yang luar biasa, namun andaikata ia tidak terluka parah, agaknya tidaklah mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkannya. Akan tetapi, apa hendak dikata, ia terluka hebat dan luka itu belum sembuh, maka sekarang ia menghadapi keroyokan ini dengan berat. Beberapa kali ia terhuyung dan pada saat ia menangkis Pedang Besi Kuning dengan tongkat yang ia buat dari dahan pohon, kedua senjata itu saling tempel tak dapat dipisahkan lagi. Inilah saat yang celaka bagi It-gan Kai-ong karena pada detik berikutnya, pukulan tangan kanan Sian Eng dengan hebat menghantam lambungnya.
"Blukkk.."
It-gan Kai-ong memekik aneh dan mulutnya menyemburkan darah segar, lalu tubuhnya terjengkang ke belakang. Pedang Besi Kuning yang sudah terlepas dari tempelan tongkat, menyambar dan sebuah bacokan membuat pundak kiri It-gan Kai-ong hampir putus. Kakek itu roboh dan pingsan seketika.
"Adikku, pinjamkan pedangmu sebentar"
Kata Sian Eng dengan suara bersorak, kemudian ia menerima Pedang Besi Kuning itu dan.. sambil tertawa-tawa seperti orang gila Sian Eng lalu menghujani tubuh It-gan Kai-ong dengan bacokan dan tusukan sehingga dalam sekejap mata saja tubuh kakek itu hancur tidak karuan macamnya lagi.
"Sudah, Enci Eng.."
Lin Lin merasa ngeri dan memalingkan mukanya. Ia merasa ngeri dan heran mengapa encinya meniadi begitu ganas.
"Cukup, Dia sudah mati.."
Akan tetapi Sian Eng terus membacok-bacok sambil tertawa-tawa sampai tubuh itu tidak merupakan tubuh manusia lagi, melainkan merupakan daging cacahan yang mengerikan. Tiba-tiba ia berhenti membacok, melempar pedangnya ke atas tanah lalu.. gadis ini menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu, sedih sekali. Lin Lin sejenak terkesima. Kemudian ia mengambil pedangnya, membersihkannya dengan rumput dan menyarungkannya. Setelah itu ia mendekati Sian Eng, berlutut, merangkulnya dan membujuk.
"Sudahlah, Enci Eng. Mengapa kau agaknya begitu membencinya? Mengapa pula kau melarikan diri secara aneh? Ada rahasia apakah yang terjadi padamu? Ceritakanlah kepada adik.."
Sampai di sini Lin Lin teringat dan menyambung.
"ceritakan kepadaku, apa yang kau susahkan."
Mendengar ini, Sian Eng menangis makin keras sampai tubuhnya berguncang-guncang sesenggukan ketika ia membenamkan mukanya pada rangkulan Lin Lin. Akhirnya tangisnya mereda dan ia dapat bicara,
"Lin Lin, aku menangis saking girang hatiku dapat membunuh anjing ini. Dapat membunuh.. gurunya dan sekarang aku akan mencarinya. Sebelum aku dapat membunuhnya, aku tidak mau berhenti"
Lin Lin belum dapat mengerti.
"Membunuh siapa, Enci Eng?"
"Siapa lagi kalau bukan murid anjing ini?"
Lin Lin terkejut, terheran. Setahunya murid It-gan Kai-ong adalah Suma Boan. Memang mereka semua membenci Suma Boan, akan tetapi mengapa agaknya encinya membenci secara luar biasa?
"Kau maksudkan, Suma Boan?"
Tiba-tiba meledak lagi tangis Sian Eng.
"Betul, Anjing biadab itu. Keparat jahanam Suma Boan, kau tunggulah pembalasanku"
Ia berteriak-teriak. Diam-diam Lin Lin girang. Dia sendiri bermaksud mencari adik perempuan Suma Boan yang ia anggap telah merampas kekasihnya. Akan tetapi di samping kegirangannya mendapat teman encinya pergi ke kota raja, ia pun merasa heran bukan main.
"Enci Sian Eng, memang Suma Boan itu bukan manusia baik-baik dan sudah sepatutnya kita membencinya. Akan tetapi, kau sebut-sebut tentang pembalasan. Apakah artinya itu?"
Sian Eng merangkul Lin Lin. Pada saat itu, ia telah kembali normal. Lin Lin merapikan rambut encinya, mengatur dan menyanggulkannya kembali.
"Lin-moi, dia.. dia.. ah, tadinya aku.. aku telah gila. Aku.. aku mencintanya.."
"Hemmm..?"
Tapi Lin Lin menindas keheranannya.
"Apa anehnya dengan itu? Wajar, Enci. Memang hati ini tidak dapat dikuasai kalau sudah menjatuhkan pilihannya."
"Tapi dia menipuku, Dia mengkhianatiku. Ah.. Lin-moi, pilihanku keliru.."
Sambil menangis Sian Eng lalu menceritakan semua pengalamannya, mulai dia diperalat oleh Suma Boan mencari ilmu warisan Tok-siauw-kui sampai peristiwa di dalam perahu di mana ia dinodai oleh pemuda bangsawan yang berwatak kotor itu. Berdiri sepasang alis Lin Lin, ia mempertemukan giginya dengan penuh kegemasan sambil berkata,
"Bedebah, Dia patut dibasmi. Mari kubantu kau, Enci Sian Eng. Kita cari dia di kota raja dan kita bunuh anjing itu, setelah itu, kita langsung pergi ke istana karena aku pun harus membunuh adik perempuan Suma Boan."
Kini Sian Eng yang memandangnya dengan mata terbelalak heran. Saking kaget dan herannya, Sian Eng lupa akan tangisnya dan dengan mata merah dan pipi masih basah air mata ia menatap wajah adiknya, bertanya,
"Suma Ceng? Mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng? Aku pernah bertemu dengannya, dia itu biarpun adik dari Suma Boan, namun wataknya baik sekali, berbeda dengan kakaknya. Pula, dia adalah bekas kekasih kakak Kam Bu Song yang sampai sekarang masih mencintanya."
"Justeru itulah sebabnya mengapa aku harus membunuhnya"
"Apa? Karena ia mencinta kakak Bu Song?"
"Karena ia berani mencinta Suling Emas"
"Eh, Lin-moi. Bagaimana itu? Apa salahnya itu? Mengapa kau marah melihat Suma Ceng mencinta.."
"Karena aku mencinta Suling Emas"
Ucapan Lin Lin ini terdengar keras. Sian Eng melongo dan sejenak tak dapat mengeluarkan kata-kata. Kemudian ia memegang lengan adiknya dan mengguncang-guncang, seakan-akan ia hendak membangunkan adiknya daripada tidur dan mimpi buruk.
"Lin-moi.., Gilakah kau? Suling Emas adalah Kam Bu Song"
"Aku tahu"
Jawabnya dingin. Sian Eng makin bingung.
"Kau tahu dan kau bilang mencintanya? Suling Emas atau Kam Bu Song adalah kakakmu.."
"Bukan, Sekali lagi bukan kakakku. Pertalian apakah yang mengikat persaudaraan kami? Dia itu kakak tiriku, memang betul. Kalian seayah lain ibu. Akan tetapi aku? Aku adalah Yalina, Puteri Yalina, Puteri Mahkota Khitan. Dia itu, juga kau, dengan aku adalah orang lain, berlainan darah. Mengapa aku tidak boleh mencinta Suling Emas?"
Hening sejenak. Agaknya Sian Eng terpukul mendengar kenyataan yang benar-benar mengguncangkan hatinya ini. Sama sekali tak pernah disangkanya akan terjadi keruwetan cinta kasih semacam ini. Tadinya ia mengira bahwa dialah orang paling tidak beruntung di dunia ini, yang menjatuhkan hati secara keliru. Kiranya sekarang terjadi pertalian asmara yang lebih aneh pada diri Lin Lin.
"Hemmm, begitukah? Kau mencinta Suling Emas. Lalu, mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng? Dia sudah bersuami orang lain, sudah mempunyai anak, mengapa diganggu lagi? Bagaimana sikap Suling Emas terhadap cintamu?"
Ditanya begini, tiba-tiba Lin Lin menangis. Keadaan menjadi terbalik sama sekali. Sekarang Lin Lin yang menangis dan Sian Eng memeluknya, menghiburnya. Kemudian, di antara isak tangisnya, Lin Lin yang menceritakan pengalamannya, betapa secara aneh Suling Emas menolak cintanya dengan alasan sudah tua, alasan yang sama sekali tidak dipercayanya karena ia yakin bahwa kakak angkatnya itu juga mencintanya.
"Tentu karena gara-gara Suma Ceng itulah maka ia tidak membalas cintaku, atau lebih tepat ia memaksa diri memutuskan pertalian asmara denganku. Enci Sian Eng, biarpun kita bukan saudara sedarah, namun semenjak kecil kita berkumpul. Aku akan membantumu membunuh Suma Boan, kemudian kau membantu aku membunuh Suma Ceng. Setelah itu, aku akan pergi ke Khitan untuk merampas kedudukan ratu yang menjadi hakku. Nah, bagaimana? Apakah kau mau ikut denganku? Aku akan tetap menganggapmu sebagai kakakku sendiri. Biarlah kita yang menderita karena asmara ini bersama-sama menghadapi segala hal, sehidup semati."
Sian Eng terharu, merangkulnya dan kedua orang gadis itu bertangisan. Kemudian mereka meninggalkan tempat itu tempat yang amat menyeramkan karena di situ terdapat onggokan daging tulang dan darah It-gan Kai-ong yang sudah tidak dapat disebut mayat lagi, dan tak lama setelah kedua orang gadis itu pergi, burung-burung liar beterbangan datang untuk menyantap hidangan yang lezat bagi mereka ini.
Sementara itu, terjadi perubahan besar di Kota Raja Kerajaan Sung. Kaisar Sung Thai Cu, Kaisar Kerajaan Sung pertama, telah menyerahkan tahta kerajaan kepada adiknya sendiri yang berjuluk Kaisar Sung Thai Cung juga melanjutkan politik pemerintahan kakaknya, namun dibandingkan dengan Sung Thai Cu kaisar ke dua ini lebih berhasil kemudian Sung Thai Cung berani mempergunakan tangan besi terhadap para pejabat tinggi yang melakukan penyelewengan, tidak mudah dijilat oleh sikap memuji-muji, dan di samping ini, memperkuat pasukan kerajaan dalam persiapan menggempur kerajaan-kerajaan kecil yang sampai saat itu belum juga mau tunduk dan belum mengakui kekuasaan Kerajaan Sung. Berbeda dengan jaman kerajaan yang sudah-sudah, terutama di jaman Kerajaan Tang yang sering kali terjadi perebutan kekuasaan dan perang saudara di kala tahta kerajaan berpindah tangan, pemindahan kekuasaan dan penggantian kaisar kali ini terjadi dengan aman dan tidak terjadi sesuatu keributan.
Hal ini adalah karena kebijaksanaan Kaisar Sung Thai Cu yang dalam hal ini melaksanakan anjuran ibunya, yaitu menyerahkan kekuasaan dan mengangkat adiknya sendiri sebagai penggantinya. Andaikata ia tidak bijaksana dan memaksa untuk mewariskan tahta kerajaan kepada putera-puteranya yang kurang pengalaman, pasti hal ini akan menimbulkan kekeruhan, mendatangkan perebutan kekuasaan dan perang saudara, seperti yang sudah-sudah. Kaisar yang baru, Sung Thai Cung, adalah seorang yang luas pandangan dan bijaksana. Namun tindakannya yang pertama, yaitu membersihkan petugas-petugas negara yang korup dan nyeleweng, sedikit banyak menimbulkan keributan pula dari para pembesar yang melakukan perlawanan. Betapapun juga, mereka ini semua dapat ditundukkan dan diseret ke dalam penjara, bahkan banyak di antaranya yang diberi hukuman mati.
Biarpun peristiwa pembersihan ini melegakan hati rakyat, namun mengubah suasana di kota raja. Karena terlalu banyak pembesar korup dibunuh, dan juga karena memang hampir semua petugas tadinya menyeleweng, banyak di antara mereka yang melarikan diri sebelum tertangkap, dan mereka yang masih berani tinggal di kota raja dengan harapan takkan diketahui dosa-dosa mereka yang lalu, tidak pernah berani keluar rumah, takut ada jari telunjuk menudingnya. Inilah yang membuat kota raja menjadi sunyi. Tidak ada lagi pembesar, lama maupun baru, yang berani berfoya-foya dan berpelesir seperti yang sudah-sudah. Keadaan di kota raja ini mempengaruhi pula keadaan kota-kota besar lain, terutama sekali yang berdekatan dengan kota raja, seperti kota An-sui. Kota ini pun menjadi sepi dan banyak pembesarnya melarikan diri atau ditangkap.
Gedung besar Pangeran Suma Kong tetap berdiri megah dan pangeran tua ini tidak mau melarikan diri. Memang ia dahulu terkenal sebagai seorang pangeran yang korup dan banyak makan uang negara. Akan tetapi sudah bertahun-tahun ia tidak memegang tugas lagi karena dipecat dan tidak diperbolehkan bertempat tinggal di kota raja oleh kaisar pertama. Selain merasa bahwa dia sekarang sudah "bersih", juga dengan adanya Suma Boan yang amat terkenal, tentu saja keluarga bangsawan Suma ini tidak merasa takut. Bahkan Suma Boan mengumpulkan anak buahnya, yaitu para buaya dan tukang pukul yang memiliki kepandaian, untuk menjaga gedungnya siang malam. Di luar gedung, di setiap pintu, di atas genteng di sebelah kanan kiri dan belakang, semua terjaga dengan kuat siang malam sehingga gedung Pangeran Suma itu seakan-akan berubah menjadi sebuah benteng.
Bu Kek Siansu Eps 25 Bu Kek Siansu Eps 24 Bu Kek Siansu Eps 11