Cinta Bernoda Darah 7
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
Menggunakan tongkat yang begitu panjang dan berat?
Akan tetapi ketika ia mengayun pedang dengan putaran lebar, sekaligus menangkis dua batang tongkat itu, terdengar suara keras, bunga api berpijar dan Lin Lin merasa betapa telapak tangannya tergetar. Ia kaget dan diam-diam ia mengeluh. Kiranya di samping kesombongan mereka, dua orang hwesio ini memiliki tenaga lwee-kang yang hebat. Cepat ia menggerakkan tubuh dan dengan mengandalkan kelincahannya, kini ia menghadapi dua orang pengeroyoknya, lupa bahwa lawan lamanya, pemuda itu, kini berdiri menonton dan tidak menyerangnya lagi.
"Tahan senjata. Melihat gerakan, Ji-wi Suhu adalah hwesio-hwesio Siauw-lim. Betulkah?"
Dua orang hwesio setengah tua itu melompat mundur, menahan tongkat mereka lalu memandang pemuda itu. Lin Lin tidak peduli, akan tetapi ia pun tidak sudi menyerang orang yang menarik senjatanya, maka dengan pedang melintang di depan dada, ia hanya memandang, sikapnya gagah.
"Kami memang betul hwesio-hwesio Siauw-lim. Kau siapakah, Sicu, dan apa yang hendak kau katakan kepada kami?"
"Siauw-lim-pai adalah partai persilatan yang selalu menjunjung kebenaran dan keadilan, yang selalu bersih dan terkenal sebagai pusat orang-orang beribadat yang berilmu tinggi. Akan tetapi mengapa Ji-wi Suhu datang-datang menyerang seorang wanita?"
"Gadis liar ini menghina murid-murid keponakan kami"
"Hemmm, pemutarbalikan fakta yang menjijikkan"
Adalah dua orang hwesio itulah yang kurang ajar, mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan terhadap wanita terhormat. Ji-wi Suhu akan membersihkan nama partai kalau sekarang juga memberi hukuman kepada murid-murid sendiri, daripada menyerang orang yang tidak berdosa."
"Orang muda, kau siapakah, berani bicara lancang, memberi kuliah kepada kami?"
Pemuda itu tersenyum.
"Aku she Lie bernama Bok Liong, orang biasa saja. Akan tetapi aku mengenal baik Cheng Han Losuhu, dan pedangku Goat-kong-kiam ini selalu menghendaki kebenaran dibela oleh orang-orang gagah."
Cheng Han Hwesio adalah ketua Siauw-lim-pai, maka mendengar disebutnya nama ini, kedua orang hwesio itu menjadi kaget sekali.
Mereka khawatir kalau-kalau pemuda ini akan mengadu, dan memang akhir-akhir ini banyak sekali anak buah para hwesio yang tersesat, mabuk oleh kesenangan duniawi dan mempergunakan kesempatan selagi negara kacau dan ketua dari pusat tidak sempat melakukan pengawasan, mereka mengumbar nafsu jahatnya. Terutama sekali yang menimbulkan keadaan memalukan dan buruk ini adalah para penjahat dan pelarian yang menyembunyikan diri dengan jalan mencukur rambutnya dan memakai jubah pendeta, tinggal bersembunyi di kelenteng-kelenteng. Merekalah yang menjadi "guru"
Dan menyeret para hwesio muda yang belum teguh batinnya dan masih lemah imannya ke jalan sesat. Dua orang hwesio ini hanya merupakan kepala dari sebuah kelenteng kecil, sudah terlalu lama berkecimpung di dalam keduniaan, maka hanya pada lahirnya saja seperti pendeta, namun batinnya sudah menjadi penjahat-penjahat hamba nafsu buruk.
"Keparat, kau benar kurang ajar"
Kau kira kami takut padamu? Sute, kau hajar dia ini, biar pinceng menangkap Nona liar. Kalau tidak diberi hajaran, tidak akan kapok orang-orang muda kepala batu ini"
Dua orang hwesio Siauw-lim-pai itu terlalu memandang rendah orang muda. Mereka mengandalkan kepandaian yang tinggi dan senjata tongkat yang berat, pula, memang ilmu tongkat atau ilmu toya dari Siauw-lim-pai amat terkenal kuat. Namun, pemuda itu adalah murid orang sakti, juga Lin Lin telah menerima gemblengan dari seorang sakti yang tingkatnya sejajar dengan ketua Siauw-lim-pai di pusat sendiri. Maka kalau mau dibuat perbandingan, tingkat dua orang hwesio itu masih jauh di bawah.
"Aku tidak ingin kau bantu"
Seru Lin Lin sambil menggerakkan pedang menghadapi serangan seorang hwesio.
"Siapa membantumu, Nona? Aku pun diserang oleh hwesio palsu ini"
Jawab pemuda yang bernama Lie Bok Liong itu sambil menggerakkan pedang pula menandingi lawannya. Pertempuran seru terjadi, terpecah menjadi dua.
"Nona, adu ilmu antara kita boleh ditentukan sekarang. Siapa yang lebih dulu mengalahkan lawan, dia yang lebih unggul antara kita"
Pemuda itu berseru.
"Baik, seorang laki-laki tidak melanggar janjinya"
Seru Lin Lin girang. Gadis ini sebentar saja dapat melihat kelemahan lawan dan ia yakin akan dapat merobohkannya dalam waktu cepat, maka usul pemuda itu diterimanya dengan girang.
Melihat tongkat itu menyodok ke arah dadanya, Lin Lin sengaja berlaku lambat, membiarkan lawan lengah dan kegirangan. Beberapa senti meter sebelum ujung tongkat mengenai dadanya, tiba-tiba ia miringkan tubuhnya menggunakan jurus Pek-wan-hian-ko (Lutung Putih Berikan Buah) dari ilmu silat ayahnya, tangan kirinya menangkis dengan jari-jari terbuka, dan pedangnya bergerak cepat ke depan. Inilah gerakan dari Khong-in-liu-san, yang tidak terduga dan amat cepat datangnya. Hwesio lawannya itu menjerit kesakitan, tongkatnya terlepas dan pangkal lengannya terobek pedang sampai kelihatan tulangnya. Sambil tersenyum manis tapi penuh ejekan, Lin Lin membalikkan tubuh memandang ke arah pemuda pesek itu, siap untuk mengejek dan berbangga akan kemenangannya. Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali. Apa yang dilihatnya? Pemuda itu ternyata sudah lebih dulu merobohkan lawannya, hwesio lawan pemuda itu sudah rebah dengan pundak berdarah.
"Nona, kita berhasil dalam waktu yang sama. Hayo kita berlumba merobohkan dua orang hwesio ceriwis itu"
Lin Lin melihat betapa hwesio muda yang dua orang tadi telah melarikan diri tunggang-langgang melihat betapa kedua orang paman guru mereka telah roboh. Karena dua orang hwesio muda itu yang menjadi biang keladi pertempuran, dan dua orang hwesio itu yang sebenarnya amat kurang ajar, Lin Lin menjadi marah sekali dan tubuhnya berkelebat melakukan pengejaran. Ia melihat sesosok bayangan dengan cepat juga berkelebat di sampingnya. Tahu bahwa pemuda pesek itu tidak mau kalah, Lin Lin mengerahkan gin-kangnya dan di lain saat ia sudah tiba di belakang dua orang hwesio itu. Pedangnya menyambar dan dua orang hwesio itu menjerit, roboh terguling. Dua orang hwesio muda itu terluka pahanya. Karena menganggap bahwa dua orang hwesio itu jahat sekali, Lin Lin kembali menggerakkan pedang hendak membunuh mereka.
"Tranggg"
Bunga api berpijar ketika pedangnya bertemu dengan pedang di tangan Lie Bok Liong.
"Nona, harap jangan bunuh mereka. Mereka adalah hwesio-hwesio Siauw-lim"
"Hwesio Siauw-lim atau hwesio-hwesio langit, siapa takut? Mereka ini jahat, kalau hwesio-hwesio tua Siauw-lim-pai membela mereka, berarti mereka pun jahat"
"Omitohud.. kasar akan tetapi harus diakui kebenarannya.."
Terdengar seruan suara halus dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang hwesio tua yang putih semua jenggotnya, akan tetapi mukanya masih segar kemerahan seperti seorang muda. Hwesio ini berjubah kuning, memegang sebuah tongkat pendeta dan sinar matanya berpengaruh penuh wibawa. Melihat hwesio ini, Lie Bok Liong segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat.
"Cheng Hie Losuhu, Kebetulan sekali Losuhu datang. Kami dua orang muda telah berselisih faham dengan beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai, harap Losuhu memberi kebijaksanaan."
"Lie-sicu tak perlu bersikap sungkan. Pinceng yang tua sudah melihat dan mendengar semua. Memang sudah pinceng dengar kenakalan empat orang anak murid ini, akan tetapi baru sekarang pinceng melihat buktinya."
Kemudian ia mengalihkan pandang mata kepada Lin Lin dan berkata,
"Nona, kepandaianmu hebat bagi seorang semuda Nona. Memang pantas sekali Pedang Besi Kuning berada di tanganmu. Dua orang anak murid Siauw-lim-pai yang durhaka ini telah melakukan kesalahan kepadamu, harap Nona sudi memberi maaf, biar pinceng nanti yang akan menghukum mereka."
Lin Lin kaget bukan main. Hwesio tua ini dapat mengetahui segalanya, bahkan tahu pula tentang pedangnya, pedang curian dari gudang istana. Tentu seorang yang berilmu tinggi, pikirnya. Ia memang marah kepada dua orang hwesio yang kurang ajar itu, akan tetapi sekarang sudah ada pentolan Siauw-lim-pai yang mengurus dan hendak menghukum, hatinya puas.
"Terserah kepada Losuhu. Aku percaya Losuhu akan benar-benar memberi hukuman berat, kalau tidak, berarti Losuhu membantu orang jahat"
Muka hwesio tua itu berubah agak pucat, akan tetapi ia hanya tertawa dan menjura. Lie Bok Liong lalu mengajak Lin Lin pergi,
"Marilah, setelah ada Cheng Hie Losuhu, tentu mereka akan mendapat bagian mereka. Cheng Hie Losuhu terkenal sebagai pengawal tindak-tanduk dan sepak terjang para anak murid Siauw-lim-pai dan dunia kang-ouw mengenal belaka kebijaksanaan dan keadilannya. Losuhu, perkenankan kami pergi."
Cheng Hie Hwesio menggerakkan tangannya, mengangguk-angguk.
"Pergilah.. pergilah dengan hati-hati, orang-orang muda. Doa restu dan berkahku mengiringi kalian berdua.."
Lin Lin tercengang, hendak marah kepada pemuda pesek itu. Enak saja, pikirnya, ajak-ajak seakan-akan dia itu memang teman seperjalanan. Kenal pun tidak, Akan tetapi melihat sikap hwesio yang amat halus dan baik itu, tak enak hatinya menimbulkan ribut di depannya.
Ia pun mengangguk dan berjalan pergi bersama Lie Bok Liong yang menuntun kudanya. Sampai lama mereka jalan berendeng, diam saja, tidak berkata-kata, juga saling lirik saja tidak. Seakan-akan mereka saling tidak ingat lagi bahwa di sebelah mereka berjalan seorang lain. Tentu saja tidak demikian hal yang sebetulnya. Bok Liong sekaligus terbetot semangatnya oleh gadis lincah ini, dan ia berjalan sambil merenung, terheran-heran atas perubahan di dalam hatinya sendiri, mengapa ia merasakan hal yang aneh ini, hal yang selama ia hidup belum pernah ia rasai. Adapun Lin Lin, ia sedang mengumpul-ngumpulkan kata-kata untuk menyerang pemuda pesek lancang ini nanti setelah mereka jauh dari hwesio tua tadi. Setelah mereka keluar dari dalam hutan dan berada di jalan yang sunyi sekali, tiba-tiba Lin Lin berhenti dan berkata ketus,
"Nah, sekarang tidak ada siapa-siapa yang akan menghalangi kita membuat perhitungan"
Pemuda itu seakan-akan baru sadar dari alam mimpi. Ia menengok dan memandang dengan kaget.
"Perhitungan? Perhitungan apa, Nona?"
"Perhitungan apa? Pura-pura tanya lagi. Kau tadi mengajak adu cepat berlumba merobohkan dua orang hwesio ceriwis. Siapa yang menang? Aku. Lalu hwesio tua Siauw-lim-pai tadi memuji-muji dan minta maaf. Memuji siapa dan minta maaf kepada siapa? Aku. Tapi kau memerintah aku ikut denganmu, Sombong"
Bok Liong cepat menjura, sikapnya sungguh-sungguh.
"Nona, harap kau tidak main-main lagi. Maafkanlah kalau sikap dan kata-kataku pernah menyinggungmu. Aku Lie Bok Liong adalah seorang laki-laki sejati, dan kulihat sepak terjangmu membuktikan bahwa kau seorang pendekar wanita yang mengagumkan. Oleh karena itu, terimalah hormatku, Nona, dan sampai mati aku tidak nanti berani mengangkat senjata terhadapmu lagi. Aku mengaku kalah dan menyerah."
Watak Lin Lin memang aneh. Dalam segala hal ia selalu tidak mau kalah. Kalau orang bersikap keras terhadapnya, ia tidak mau kalah keras, kalau orang galak, ia akan lebih galak lagi. Kini Bok Liong bersikap merendah dan mengalah dengan suara sungguh-sungguh dan wajah serius, ia pun tidak mau kalah.
"Nah, kau sih yang sombong tadinya. Padahal aku juga tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan orang seperti kau ini. Aku tahu kau bukan orang jahat, tapi, kalau aku tidak bersikap keras, orang takkan mengetahui kelihaianku. Nah, kau pun kuminta maklum saja kalau tadi aku bersikap kaku. Betapapun juga, kau telah membantuku menghadapi hwesio-hwesio kotor tadi."
Jantung Bok Liong berdebar-debar. Alangkah girangnya melihat bahwa nona yang lincah galak ini kiranya dapat juga bicara dengan baik. Ia menahan senyumnya dan berkata lagi.
"Nona, terima kasih atas pengertianmu. Kita menjadi sahabat, hal yang amat kuinginkan semenjak aku melihat kau menghajar hwesio-hwesio ceriwis di hutan itu. Sekali lagi, namaku Lie Bok Liong, biarpun bukan seorang tokoh besar di dunia kang-ouw, akan tetapi aku mengenal hampir semua tokoh kang-ouw, kecuali tokoh-tokoh besar yang masih muda seperti kau. Bolehkah aku mengetahui nama dan julukanmu? Terus terang saja, aku yang banyak mengenal ilmu silat, tahu akan dasar-dasar gerakan ilmu silat dari Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan banyak partai persilatan lain lagi, sama sekali buta akan ilmu silatmu yang luar biasa tadi, Nona."
Lin Lin merasa diayun-ayun di atas awan saking bangga dan girangnya mendengar kata-kata pujian yang keluar sejujurnya dari mulut pemuda itu. Setelah ia pandang-pandang, pemuda berhidung pesek ini, wajahnya menarik dan menyenangkan hati juga, sikapnya jujur dan sopan tapi tidak bermuka-muka atau menjilat, sikap sewajarnya dari seorang yang memasang isi hati pada wajahnya. Timbul rasa suka di hatinya disertai kepercayaan besar. Apalagi tadi ia mendengar bahwa Bok Liong ini mengenal hampir semua tokoh kang-ouw. Siapa tahu pemuda ini bisa memberitahu kepadanya
(Lanjut ke Jilid 07)
Cinta Bernoda Darah (Seri ke 03 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
tentang Suling Emas, atau mungkin juga tentang kakaknya, Bu Song. Wajahnya seketika berseri, matanya bersinar-sinar, bibirnya yang manis itu tersenyum sehingga pemuda itu merasa betapa tiba-tiba kedua lutut kakinya lemas dan gemetar.
Memang hebat daya pengaruh asmara yang mulai menggerogoti jantung seorang pemuda. Hanya si pemuda yang bersangkutan sendiri yang dapat merasakannya. Kalau seorang pemuda sedang bercinta, terutama sekali kalau mulai jatuh cinta, segala sesuatu pada diri dara yang dicintainya tampak hebat luar biasa. Kerling mata yang tajam melebihi pedang pusaka langsung menusuk dada menembus punggung"
Senyum sepasang bibir merah membasah bagaikan seribu manis dari madu yang memabukkan dan membuat kepalanya pening tujuh keliling dengan mata berkunang-kunang. Kilauan gigi putih berderet rapi yang hanya tampak sekilas di balik sepasang bibir segar, lebih ampuh daripada sinar petir yang langsung menyambar kepala memasuki tubuh menyelusup ke seluruh tulang sumsum. Tidaklah terlalu mengherankan apabila Bok Lieng berdiri dengan kedua lutut gemetar ketika ia menghadapi wajah Lin Lin yang berseri-seri itu.
"Kau kira aku seorang yang buta?"
Demikian Lin Lin mulai kata-katanya yang kini terdengar manis, hilang sama sekali ketusnya.
"Aku pun sekali bertemu saja tahu bahwa kau bukan orang jahat, akan tetapi aku harus yakin dulu. Twako.. ya, lebih baik kusebut kau Twako, karena kau tentu lebih tua daripada Sin-ko. Eh, berapa sih usiamu?"
Mau tak mau Bok Liong tersenyum, setelah gadis ini bersikap jenaka seperti ini, ia merasa betapa sinar matahari menjadi lebih terang daripada tadi.
"Usiaku hampir dua puluh dua tahun."
"Nah, betul dugaanku. Sin-ko baru dua puluh tahun, aku sendiri baru tujuh belas. Sampai di mana aku tadi? Oya, tentang nama. Namaku Lin Lin, she.. Kam."
"Kam Lin Lin.. indah benar namamu, Nona."
"Wah, kalau kau masih menyebut nona-nonaan segala, aku pun akan menyebutmu dengan tuan-tuanan. Bagaimana pendapatmu, Tuan Besar?"
Bok Liong tertawa bergelak, kemudian terheran. Seingatnya, baru kali inilah ia dapat tertawa sampai begitu keras, sampai basah kedua matanya. Benar-benar mengherankan. Apa yang terjadi dengan dirinya?
"Habis, aku harus menyebut bagaimana? Ah, kau betul. Kau menyebutku Twako, kalau begitu kau adikku, Moi-moi."
"Nah, begitu baru enak bicara. Terhadap seorang tuan mana aku sudi mengobrol begini? Lain lagi kalau terhadap seorang kakak.."
"Maksudmu, terhadap seorang sahabat baik seperti kakak sendiri,"
Potong Bok Liong.
"Sama saja, apa bedanya? Twako, kulihat tadi ilmu silatmu juga hebat sekali. Siapakah gurumu?"
Kalau orang lain yang menanyakan hal ini, tentu Bok Liong takkan mau menerangkannya. Selama ia berkecimpung di dunia kang-ouw, hanya beberapa orang tokoh besar saja yang tahu murid siapa pemuda lihai ini. Akan tetapi terhadap Lin Lin yang sekaligus sudah merobohkan jantung menawan hatinya, ia tidak berani berbohong, apalagi tidak menjawab. Ia takut kalau-kalau gadis yang sekarang sudah "jinak"
Dan baik kepadanya ini akan mengamuk lagi dan memusuhinya. Tidak ada malapetaka baginya di saat itu yang akan lebih besar dan hebat daripada dimusuhi Lin Lin.
"Nona.. eh, Lin-moi. Guruku terkenal dengan namanya yang sederhana sekali, malah sesungguhnya, orang lain termasuk aku sendiri tak pernah mengenal namanya karena ia hanya memperkenalkan she yaitu she Gan. Karena inilah maka di dunia kang-ouw ia dikenal sebagai Gan-lopek (Empat Tua Gan)"
Senyum di bibir Lin Lin melebar.
"Gan-lopek? Hi-hik. Badut tak pernah mandi yang pantatnya besar, kumis dan jenggotnya dijadikan sarang semut, paling takut melihat cacing dan ular? Hi-hi-hik, geli hatiku kalau mengenangkan dia"
Lin Lin menutupi mulut dengan tangan kiri untuk menyembunyikan tawanya. Bok Liong membelalakkan kedua matanya yang lebar,
"Apa? Kau pernah melihat Suhu?"
Lin Lin menggeleng kepala, menahan kekehnya. Agak lama baru dia dapat bicara.
"Aku hanya mendengar ceritanya dari kakek gundul pacul. Wah, kakek dan aku tertawa-tawa sampai perutku menjadi keras dan kakek jatuh terguling dari atas cabang pohon."
Kembali Lin Lin tertawa terkekeh-kekeh dan diam-diam Bok Liong menjadi tak senang hatinya karena merasa betapa suhunya, orang yang ia anggap paling hebat di dunia ini, menjadi buah tertawaan, sungguhpun ia cukup mengenal suhunya sebagai orang yang luar biasa anehnya dan kadang-kadang membuat lelucon yang luar biasa.
"Hemmm, kau pernah mendengar cerita tentang Suhu? Dan kakek gundul pacul yang menceritakan itu, apakah dia jatuh dari cabang pohon terus mati?"
Tiba-tiba suara ketawa Lin Lin terhenti.
"Dia? Mati jatuh dari cabang? Ah, Twako, kau benar-benar tidak mengenal dia. Dialah yang menurunkan ilmu SERBA KOSONG kepadaku, dia orang sakti seperti dewa. Mana bisa mati jatuh dari cabang?"
Bok Liong benar-benar tidak mengerti. Luar biasa sekali dara ini, pikirnya. Kalau kakek gundul pacul itu mengajar ilmu, berarti kakek itu guru si nona. Akan tetapi kenapa nona ini menyebutnya gundul pacul, sebutan yang seakan-akan mengejek dan memandang rendah?
"Ah, kalau begitu beliau seorang sakti? Siapakah beliau itu, atau kau juga tidak tahu namanya?"
"Tentu saja aku tahu. Dia disebut Kim-lun Seng-jin.. eh, kenapa kau, Liong-twako?"
Lin Lin heran melihat pemuda itu meloncat seperti dipagut ular dan matanya menjadi amat bundar dan lebar.
"Kim-lun Seng-jin? Beliau itu gurumukah?"
Tanya Bok Liong. Kembali Lin Lin menggeleng kepala.
"Bukan, Bukan guruku. Dia sahabat baikku."
Makin heranlah Bok Liong. Masa, kakek sakti yang amat terkenal di dunia ini yang tingkatnya sekelas dengan gurunya, menjadi sahabat baik gadis ini?
"Tapi kau bilang tadi bahwa kau menerima ilmu dari padanya. Kan itu berarti bahwa dia gurumu."
"Bukan, Hanya kenalan biasa saja. Tapi ilmunya SERBA KOSONG memang boleh juga."
Lin Lin bersikap seakan-akan hal itu merupakan hal yang "bukan apa-apa"
Baginya, sikap ini sengaja ia "pasang"
Karena melihat betapa Bok Liong terheran-heran dan agaknya amat menjunjung tinggi Kim-lun Seng-jin.
"Serba kosong, Aneh sekali nama ilmu itu. Tapi, Lin-moi, aku percaya bahwa ilmu yang diturunkan oleh Kim-lun Seng-jin tentulah hebat bukan main. Ah, maafkan kalau tadi aku bersikap kurang hormat. Siapa mengira bahwa kau adalah mur.. eh, sahabat baik Kim-lun Seng-jin Locianpwe (Orang Tua Gagah)? Pantas saja beliau bisa bercerita tentang Suhuku."
Senang sekali hati Lin Lin, kebanggaannya bukan main sehingga ia mengangkat dadanya yang sudah membusung. Karena senangnya, ia ingin memberi sekedar hiburan kepada Bok Liong dengan kata-kata manis.
"Tapi kakek berkata bahwa biarpun Gan-lopek itu orangnya lucu dan merupakan seorang badut besar, namun kepandaiannya hebat. Maka sekarang, melihat kepandaianmu, aku percaya akan kesaktiannya."
Sekarang Bok Liong teringat akan matanya menatap ke arah pedang yang tergantung di pinggang Lin Lin.
Tadi ketika mendengar ucapan Cheng Hie Hwesio tentang Pedang Besi Kuning, ia amat terkejut. Ia mendengar pula tentang lenyapnya pedang pusaka itu dari gudang pusaka istana, dan ia tadi masih terheran-heran bagaimana pedang itu bisa terjatuh ke tangan Lin Lin. Betapapun pandainya Lin Lin, kiranya bukanlah hal yang mudah untuk dapat memasuki istana dan mencuri sebuah pedang pusaka. Akan tetapi sekarang terbukalah rahasia itu, kalau gadis itu pergi bersama scorang sakti seperti Kim-lun Seng-jin, soal memasuki istana dan mencuri pedang pusaka bukanlah merupakan hal yang aneh lagi. Akan tetapi, ia mulai mengenal watak Lin Lin dan karenanya ia tidak mau bertanya-tanya akan hal pedang itu, takut kalau-kalau Lin Lin akan menjadi curiga dan marah kepadanya. Sebaliknya ia lalu bertanya.
"Lin-moi, setelah kita menjadi sahabat dan kenalan sekarang, bolehkah aku mengetahui apa yang kau kehendaki sehingga kau seorang diri sampai berada di tempat ini? Hendak pergi ke manakah kau?"
Ini memang merupakan pertanyaan yang dinanti-nanti Lin Lin. Gadis ini sudah mengambil keputusan untuk minta bantuan Bok Liong. Kakek gundul Kim-lun Seng-jin biarpun telah mewariskan ilmu dan mengajaknya ke kota raja, malah ke dalam istana dan mencuri pedang, namun tidak berhasil menolong dia mendapatkan musuh besarnya, juga kakek angkatnya. Setelah mendengar tentang sangkaan Kim-lun Seng-jin mengenal asal-usulnya dengan bangsa Khitan, makin besar keinginan hatinya untuk bertemu dengan Bu Song, karena dialah satu-satunya orang yang boleh diharapkan akan dapat menceritakan asal-usulnya, karena ketika ia diambil anak oleh Jenderal Kam, tentu Bu Song sudah besar dan dapat mengingat semua peristiwa di waktu itu.
"Liong-twako, sebelum aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, lebih dulu kau jawablah. Apakah kau akan suka membantuku?"
"Tentu saja, Dengan segala senang hati aku akan membantumu. Apakah yang dapat kulakukan untukmu, Moi-moi?"
"Tanpa syarat?"
"Eh.. tanpa syarat bagaimana? Tentu saja, aku harus mendengar dulu apa urusanmu itu dan apa yang harus kulakukan."
Bibir manis itu cemberut, tapi bagi Bok Liong malah tampak makin manis.
"Kalau begitu, tak usah kau membantuku. Ucapanmu itu menyatakan bahwa tidak sepenuh hatimu kau berniat membantuku. Kalau sepenuh hati suka membantu, tentu tidak akan bertanya-tanya lagi, apa saja urusannya, akan suka membantu."
Merah muka Bok Liong mendengar celaan ini, dan diam-diam ia harus akui bahwa ucapan gadis ini, biarpun terdengar seperti mencari menang sendiri, namun ada benarnya juga.
"Baiklah, aku akan membantumu. Akan tetapi, Moi-moi, kau tentu tahu bahwa biarpun untuk kau sendiri, terpaksa aku tidak mau melakukan hal-hal yang berlawanan dengan kebenaran, ringkasnya, aku tidak mau membantu pihak yang melakukan kejahatan.."
Bok Liong terpaksa menghentikan kata-katanya karena seketika Lin Lin menjadi marah sekali. Gadis ini berdiri tegak, mengedikkan kepala, kedua tangan di pinggang, pandang matanya keras.
"Sudahlah, kita tidak jadi bersahabat. Aku tidak sudi bersahabat dengan orang yang tidak percaya kepadaku sedangkan aku amat percaya kepadamu"
Tubuhnya membalik dan berkelebat pergi.
Bukan main kagetnya hati Bok Liong. Ia pun cepat mengerahkan gin-kangnya untuk mengejar,
"Nanti dulu, Non.. eh, Moi-moi. Tunggu.., Mari kita bicara.."
Akan tetapi Lin Lin tidak mempedulikannya, terus lari kencang. Karena ia mempergunakan gin-kang dari Khong-in-ban-kin, tentu saja larinya cepat sekali, mengalahkan kuda betina yang kabur dikejar kuda jantan. Dan Bok Liong sampai berkeringat karena harus mengerahkan seluruh tenaga mengejar.
"Lin-moi.. tunggu dulu.., Aku percaya padamu.."
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lin Lin mendengar derap kaki kuda. Kiranya Bok Liong yang melihat betapa gerakan Lin Lin amat gesit dan cepat, kembali ke tempat tadi, meloncat ke atas punggung kudanya dan membalapkan kuda tunggangnya itu, melakukan pengejaran.
Tapi ilmu lari cepat yang dipergunakan Lin Lin benar-benar luar biasa sekali. Kalau gadis itu sudah matang dalam melatih Khong-in-ban-kin, kiranya pemuda itu biarpun berkuda takkan mampu menyusulnya. Sekarang pun, sukar sekali Bok Liong dapat menyusul. Setelah berkejaran hampir dua jam dan mereka tiba di luar kota Pao-teng sebelah selatan kota raja, barulah Lin Lin tersusul. Hal inipun hanya karena gadis itu kehabisan napas, terpaksa ia berhenti dengan napas memburu. Sepasang pipinya menjadi merah seperti buah tomat karena darahnya bergerak cepat setelah berlari selama itu. Bok Liong cepat-cepat melompat turun dari atas kudanya dan menghadapi Lin Lin yang berdiri cemberut. Bok Liong kembali mengangkat kedua tangan memberi hormat dan suaranya benar-benar penuh bujuk rayu,
"Adikku yang baik, Moi-moi yang baik budi, maafkanlah aku yang tolol. Aku sungguh tidak mengerti mangapa kau marah-marah kepadaku, kalau kau suka menjelaskan, biarlah aku akan membunuh diri kalau memang aku berbuat dosa terhadapmu."
Di dalam hatinya, Lin Lin tertawa geli dan mengira pemuda itu membadut. Akan tetapi karena ia masih mendongkol, ia menjawab ketus,
"Kau sudah tidak percaya kepadaku, mengapa masih memperlihatkan sikap bersahabat?"
"Siapa bilang aku tidak percaya, Lin-moi? Aku percaya seribu prosen kepadamu. Percaya mati-matian dan bulat-bulat"
Bok Liong sengaja bersikap jenaka dan benar saja, dara yang memang pada dasarnya berwatak jenaka gembira itu sebentar saja sudah hilang marahnya.
"Kau bilang percaya hanya di mulut tapi di hati kau menyangka aku akan melakukan hal-hal jahat dan akan menyeretmu ke dalam perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan kebenaran. Bagus, ya? Lain di mulut lain di hati, berani sumpah tak berani mati"
Kini tiba giliran Bok Liong yang tertawa geli di dalam hatinya. Entah dari mana dara ini memungut kata-kata sindiran yang merupakan istilah dalam panggung sandiwara itu untuk mengukur watak laki-laki.
"Wah, benar aku telah bersalah, Lin-moi, akan tetapi sungguh mati bukan maksudku untuk tidak percaya kepadamu."
"Nah, sekarang bunuh dirilah. Aku ingin sekali lihat"
Kata Lin Lin sambil duduk di atas tanah, dibawah pohon. Peluhnya membasahi jidat dan leher, diusapnya dengan saputangan sutera.
"Bunuh diri..? Apa maksudmu..?"
"Eh, pakai tanya lagi. Kan kau sendiri yang tadi berjanji hendak bunuh diri kalau berdosa kepadaku. Nah, kau bunuh dirilah. Atau memang kau pun termasuk golongan yang berani sumpah tak berani mati?"
"Waduh-waduh, masa kesalahan begitu saja dianggap dosa besar yang harus ditebus dengan nyawa? Lin-moi, harap jangan main-main. Biarlah, aku mengaku salah dan tidak akan banyak tanya lagi. Aku akan membantumu tanpa syarat dan tanpa tanya-tanya lagi. Sekarang katakan, apa yang dapat kulakukan untuk membantumu? Apakah kesukaranmu?"
Kata Bok Liong sambil duduk pula di atas tanah, berhadapan dengan Lin Lin. Kudanya yang juga tampak lelah itu beristirahat sambil makan rumput gemuk hijau di pinggir jalan, ekornya dikebut-kebutkan ke kanan kiri mengusir lalat, kelihatan girang dan lega kuda itu setelah tadi berlumba lari. Kini wajah Lin Lin tampak sungguh-sungguh. Memang, ia tadi mendongkol. Akan tetapi tidak mendalam dan puaslah ia sudah dapat balas menggoda Bok Liong. Kini dengan suara serius ia berkata.
"Liong-twako, sebetulnya pikiranku amat bingung. Aku mencari musuh besar tidak bertemu, mencari kakak angkatku juga tidak berhasil, malah-malah Kakak Bu Sin dan Enci Sian Eng pun sampai sekarang tidak bertemu kembali denganku, entah lenyap ke mana mereka itu"
Tahulah sekarang Bok Liong bahwa gadis ini adalah seorang dara remaja yang hilang dalam arti kata, terpisah daripada dua orang kakaknya. Ia tidak memotong, melainkan menanti gadis itu melanjutkan penuturannya.
"Kami bertiga pergi meninggalkan dusun kami di kaki Gunung Cin-ling-san, dengan niat mencari musuh besar kami, juga mencari kakak angkatku yang semenjak kami lahir tak pernah kami temui. Celakanya, kami bercerai-berai dan aku mencari sendiri, dibantu oleh kakek gundul Kim-lun Seng-jin. Namun hasilnya sia-sia belaka. Kakek gundul itu ternyata tidak becus membantuku, tak dapat membawaku kepada kakak angkatku, juga tidak tahu di mana adanya musuh besarku. Nah, sekarang aku minta bantuanmu, Liong-twako, bantulah aku mencari mereka itu."
Bok Liong tertawa. Hatinya lega bukan main.
"Ah, Lin-moi, kau ini memang suka bikin orang bingung. Kalau tadi-tadi kau bilang hanya bantuan seperti ini saja, tentu aku seribu kali setuju. Akan kubantu engkau, Moi-moi. Akan tetapi, tentu saja aku harus tahu lebih dulu siapakah gerangan mereka yang kau cari. Siapakah musuh besarmu itu?"
"Aku sendiri juga tidak tahu, akan tetapi menurut dugaan kami, dia adalah Si Suling Emas."
Tiba-tiba Bok Liong meloncat sampai satu meter lebih. Mukanya berubah dan ia memandang kepada Lin Lin dengan bengong. Lin Lin juga meloncat dan membanting kakinya.
"Nah-nah-nah, kau kumat lagi. Apakah semua laki-laki memang pengecut sehingga begitu mendengar nama Suling Emas lantas menjadi ketakutan macam ini? Kau dan kakek gundul sama saja. Menjemukan benar"
"Wah, kau yang kumat, bukan aku,"
Demikian suara hati Bok Liong. Akan tetapi mulutnya segera berkata.
"Jangan salah sangka, Lin-moi. Aku tidak takut, hanya terheran-heran. Kau agaknya tidak tahu orang macam apa dia itu, maka begitu mudah kau menuduh dia sebagai musuh besarmu. Lin-moi, Suling Emas adalah seorang pendekar sakti yang dipandang tinggi oleh para tokoh bersih di dunia kang-ouw. Masa dia membunuh ayah bundamu?"
"Biar dipandang tinggi oleh semua orang di dunia atau dipandang tinggi oleh para dewa sekali pun, aku tidak takut. Ihhh, semua orang takut kepada Suling Emas. Sampai bagaimana sih kepandaiannya? Ingin aku bertemu dengan dia dan mengajak dia duel sampai selaksa jurus". Bok Liong meraba-raba bawah hidungnya yang tidak berkumis untuk menahan tawa.
"Baiklah, Lin-moi. Aku akan membantumu dan kurasa kalau diusahakan benar, bukan tidak mungkin aku akan dapat memperjumpakan kau dengan Suling Emas."
Wajah yang cemberut itu seketika berseri dan kembali Bok Liong merasa dadanya tergetar. Sekarang demikian hebat ia terpengaruh sehingga jantung di dalam rongga dadanya berloncatan ke atas kemudian jatuh kembali di tempatnya dalam keadaan terbalik. Mulutnya sampai ternganga ketika ia memandang wajah Lin Lin, sinar matanya sayu penuh keharuan. Baru kali ini ia menyaksikan sesuatu yang demikian indahnya sampai mengharukan. Akan tetapi Lin Lin mana memperhatikan hal ini? Ia sudah terlampau girang cepat ia menyambar tangan Bok Liong, di guncang-guncangnya.
"Betul, Liong-twako? Kau bisa mencari dia? Ah, kakek gundul itu saja tidak becus. Di mana adanya Suling Emas, Liong-ko? Jauh atau dekat? Hayo kita segera pergi ke sana, ingin kupaksa dia mengaku tentang pembunuhan itu"
Kembali Bok Liong tersenyum. Kini ia berani tersenyum dan ini memudahkan ia menahan tawanya mendengar kata-kata dan melihat sikap yang lucu ini. Benar-benar seorang dara lincah jenaka yang seperti seekor burung baru belajar terbang, tidak tahu tingginya gunung lebarnya lautan.
"Tidak begitu mudah, Lin-moi. Orang macam dia itu tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Akan tetapi, aku akan bertanya-tanya kepada tokoh kang-ouw. Aku mempunyai banyak kenalan di dunia kang-ouw dan dari mereka, kurasa akhirnya kita akan dapat berjumpa dengan Suling Emas. Sekarang soal ke dua, tentang kakakmu itu. Siapa dia dan bagaimana mungkin seorang kakak tidak pernah bertemu dengan adik-adiknya selamanya?"
"Kakak angkatku itu bernama Kam Bu Song, akan tetapi ketika ia mengikuti ujian di kota raja empat belas tahun yang lalu, ia memakai she Liu. Apakah kau bisa mencari keterangan tentang dia?"
"Kam.. Liu Bu Song? Tak pernah aku mendengar nama ini, akan tetapi kalau empat belas tahun yang lalu dia di kota raja, tentu saja aku tidak ingat lagi. Tentu aku masih kanak-kanak waktu itu. Akan tetapi, aku dapat mencari keterangan di kota raja tentang dia. Sekarang, kau hendak mencari yang mana lebih dulu? Kalau mencari kakakmu lebih dulu, kita kembali ke kota raja. Kalau mencari Suling Emas, tidak perlu kita ke kota raja."
Lin Lin termenung. Kedua orang itu sama pentingnya. Akan tetapi, pertemuan dengan Kim-lun Seng-jin dan cerita tentang "Puteri Khitan"
Amat menarik hatinya dan membuat ia ingin sekali segera mendengar pemecahan rahasia ini. Pula, kalau ia mencari Bu Song di kota raja, ada keuntungannya, yaitu sambil menanti datangnya Bu Sin dan Sian Eng. Mereka berdua itu pasti akan datang ke kota raja pula.
"Biar kita mencari Kakak Bu Song lebih dulu, ke kota raja."
Akhirnya ia berkata.
"Sekalian menanti munculnya Sin-ko dan Enci Sian Eng. Liong-twako, kau baik sekali. Perlu kau kuperkenalkan dengan Sin-ko dan terutama dengan Eng-cici. Wah, dia itu gagah perkasa, ilmu pedangnya hebat dan dia cantik sekali, Twako"
Setelah berkata demikian ia tertawa-tawa gembira. Merah muka Bok Liong.
"Hush, kau bicara apa ini? Kenapa kau bilang kepadaku tentang Cicimu? Apa perlunya?"
"Ihhh, kalau aku memuji kecantikan Enciku di depanmu, apa sih salahnya?"
Ia tertawa-tawa lagi dan matanya menggoda. Bok Liong tersenyum masam, hatinya mengeluh. Engkaulah yang cantik, tidak ada wanita ke dua di dalam dunia ini yang dapat menggerakkan hatiku seperti engkau, demikian suara hatinya.
"Baiklah, kita kembali ke kota raja. Akan tetapi sarung pedangmu itu harus diganti. Biar nanti kucarikan gantinya."
"Sarung pedang? Mengapa?"
Lin Lin meraba pedangnya.
"Moi-moi, tadi aku mendengar dari kata-kata Cheng Hie Hwesio tentang Pedang Besi Kuning yang hilang dari istana dan berada di tanganmu. Lebih baik sarungnya yang istimewa itu diganti, sehingga tidak akan dikenal orang."
"Memang inilah pedang itu, kakek gundul dan aku yang mengambilnya. Wah, kalau kau ikut tentu senang sekali, Liong-twako. Kami berdua sikat habis semua masakan di dalam dapur istana. Wah, enak-enak, pendeknya, selama hidup belum pernah kau merasakannya. Sampai sakit perutku, terlalu kenyang dan perut kakek itu menjadi busung. Dan kami.. kami menyamar seperti kucing.."
Lin Lin terkekeh gembira, menutupi mulutnya dan dengan suara terputus-putus diseling tawa ia menceritakan pengalamannya di istana.
Bok Liong kagum bukan main. Kagum akan kehebatan Kim-lun Seng-jin, juga kagum akan manisnya mulut yang bergerak-gerak bicara itu. Kemudian mereka berdua memasuki kota Pao-teng dan di sebuah toko senjata, Bok Liong membeli sebuah sarung pedang untuk pedang yang tergantung di pinggang Lin Lin. Kini pedang itu, tanpa ronce-ronce dan dengan sarung lain, tiada bedanya dengan pedang biasa, maka tentu tidak akan ada yang tahu bahwa itulah Pedang Besi Kuning, pedang pusaka rampasan dari bangsa Khitan yang lenyap dari dalam gudang pusaka istana.
Di kota Pao-teng, Bok Liong mengajak Lin Lin memasuki sebuah rumah makan yang cukup besar dan bersih. Hari menjelang senja dan perut mereka telah lapar. Tanpa sungkan-sungkan Lin Lin menyetujui dan seorang pelayan segera menyambut mereka dengan hormat, apalagi ketika melihat pedang yang tergantung di punggung Bok Liong dan di punggung Lin Lin.
"Kau hendak makan apa, Moi-moi?"
"Apa sajalah. Setelah makan eh.. anu.. semua itu, kiranya tidak ada makanan yang cukup bagiku."
Ia mengernyitkan hidung dan Bok Liong maklum bahwa yang dimaksudkan Lin Lin tentu masakan-masakan di dapur istana itu. Pelayan yang menanti pesanan mereka tentu saja tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh nona yang cantik jelita dan gagah perkasa ini.
Bok Liong memesan arak wangi, nasi putih, bakmi, bakso dan beberapa macam sayur-mayur lagi. Pesanan itu dilayani dengan cepat sehingga beberapa menit kemudian mereka telah mulai makan minum. Kelahapan Bok Liong dan perutnya yang sudah amat lapar itu membuat Lin Lin dapat makan dengan enak juga, malah tidak kalah enaknya dengan masakan-masakan dapur istana ketika ia sudah kekenyangan. Bukanlah masakannya yang menjadi syarat mutlak untuk kelezatan, melainkan perut lapar. Perut lapar menyedapkan setiap makanan yang paling sederhana seakalipun.
Suara orang bercakap-cakap riuh rendah memasuki restoran itu tidak menarik perhatian Lin Lin dan Bok Liong yang sedang enak makan, juga ketika beberapa orang tamu memesan masakan dengan suara parau, mereka tidak menengok dan terus makan. Akan tetapi karena tiga orang laki-laki yang baru datang itu duduknya di meja yang berhadapan dengan Lin Lin, mau tak mau Lin Lin dapat melihat mereka. Mendadak gadis ini meletakkan sumpit dan mangkoknya, kemudian ia bangkit dari tempat duduk dengan mata berapi Bok Liong melihat keadaan gadis ini, sambil menghirup kuah dari mangkok, menoleh lalu mengerutkan keningnya. Kiranya yang bercakap-cakap dan duduk mengelilingi meja itu adalah tiga orang laki-laki yang pakaiannya ditambal-tambal, pakaian pengemis gembel.
"Sssttttt, Lin-moi, tenang dan duduklah. Tak baik membuat ribut di restoran orang, bikin kacau dan rusak barang orang saja."
Bisiknya.
Lin Lin sadar, menekan perasaannya dan duduk kembali. Seorang pelayan sedang siap untuk mengambilkan pesanan tiga orang pengemis itu, memandang penuh kekhawatiran dan curiga kepada Lin Lin, akan tetapi ketika melihat gadis ini duduk kembali, ia cepat-cepat pergi ke dapur. Tidak mengherankan apabila Lin Lin kaget dan marah melihat tiga orang laki-laki itu, karena mereka ini adalah tiga orang di antara para pengemis yang malam-malam mengeroyok dia dan dua orang saudaranya. Sebaliknya, tiga orang pengemis itu agaknya tidak mengenal Lin Lin, dan hal inipun tidak aneh. Mereka baru satu kali saja melihat Lin Lin, inipun di waktu malam dan dalam pertempuran. Apalagi ketika itu Lin Lin ditemani oleh Bu Sin dan Sian Eng, sedangkan sekarang hanya berdua dengan Bok Liong.
"Mereka adalah pengemis-pengemis yang dulu ikut mengeroyok kami,"
Bisik Lin Lin. Bok Liong mengangguk-angguk. Gadis itu sudah menceritakan tentang perselisihannya dengan para pengemis yang dipimpin oleh Si Raja Pengemis It-gan Kai-ong.
"Mereka itu tokoh-tokoh Hui-houw-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Harimau Terbang) dan agaknya mereka datang sebagai tamu. Wilayah mereka bukanlah di Pao-teng sini. Lin-moi, mari kita ke luar."
Bok Liong memanggil pelayan, membayar dan mengajak Lin Lin keluar dari restoran.
"Lin-moi, malam ini kita sebaiknya bermalam di sini. Pengemis-pengemis itu mencurigakan. Pengemis-pengemis Hui-houw-kai-pang merupakan orang-orang kepercayaan It-gan Kai-ong. Mereka itu bekerja untuk Kerajaan Wu-yue, kalau datang ke dekat kota raja tentu ada maksud-maksud tertentu, sebagai mata-mata. Aku akan membayangi mereka."
"Liong-ko, kenapa kau akan lakukan hal ini? Apa hubunganmu dengan urusan itu?"
Bok Liong memandang dengan sinar mata penuh perasaan ketika ia berkata.
"Lin-moi, seorang warga negara harus setia kepada negaranya. Demikian pula aku, harus setia kepada Kerajaan Sung. Kalau aku melihat persekutuan yang membahayakan negara dan aku diamkan saja bukankah itu berarti bahwa aku menjadi seorang pengkhianat? Tidak Moi-moi, takkan kudiamkan saja kalau orang-orang Hui-houw-kai-pang ini mempunyai niat melakukan sesuatu yang membahayakan negara."
Kagum hati Lin Lin, Sebagai anak angkat Jenderal Kam, seorang patriot sejati yang rela mengorbankan diri dan kebahagiaan demi negara, tentu saja ia tahu akan hal ini, dan ia dapat menghormati sikap ini.
Malam hari itu, Bok Liong dan Lin Lin membayangi tiga orang pengemis yang memasuki sebuah rumah gedung kecil di sebelah timur kota Pao-teng. Rumah ini jauh dari tetangga, pekarangannya lebar dan kelihatannya sunyi. Sebuah rumah kuno yang modelnya seperti rumah pesanggrahan bangsawan, yang hanya ditinggali sewaktu-waktu saja. Bagi para penduduk Pao-teng, rumah gedung mungil ini terkenal dengan sebutan "Gedung Merah", karena memang cat rumah itu merah. Orang-orang hanya tahu bahwa rumah itu milik seorang hanya bangsawan muda dari An-sui yang kadang-kadang saja datang ke rumah ini di mana ia mempunyai beberapa orang wanita penghibur yang menjadi selir-selirnya. Kalau bangsawan muda itu datang, barulah tampak kesibukan di gedung merah ini. Tukang-tukang masak pandai dipanggil, rombongan penghibur, penari dan penyanyi, diundang dan sering kali diadakan pesta oleh bangsawan itu bersama selir-selirnya, kadang-kadang ditemani beberapa orang tamu.
Bangsawan muda itu bukan lain adalah Suma Boan, putera Pangeran Suma. Memang dia seorang pemuda penghambur nafsu dan uang. Sebetulnya, hanya kelihatannya saja Suma Boan merupakan seorang kongcu hidung belang yang menghabiskan waktunya dengan pelesir dan bersenang-senang. Padahal sebetulnya, dia seorang muda yang mempunyai penuh cita-cita. Tidak sia-sia ia menjadi murid orang sakti It-gan Kai-ong, karena tidak saja ia memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun juga memiliki cita-cita setinggi langit. Sudah banyak tokoh-tokoh kang-ouw ia hubungi, dan ia menghimpun tenaga untuk sewaktu-waktu bergerak melaksanakan tujuan dan cita-citanya, yaitu menggulingkan kedudukan kaisar dan mengangkat diri sendiri menjadi penggantinya.
Tentu saja cita-citanya ini masih merupakan rahasia dalam hatinya dan kiranya hanya gurunya dan pembantu-pembantunya yang paling setia saja yang tahu. Orang lain hanya menganggap bahwa Suma Boan adalah seorang bangsawan, putera pangeran, masih sanak dengan kaisar, kaya raya dan royal di samping memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Maka dari itu, Bok Liong menjadi heran sekali ketika ia mengintai dari atas genteng gedung merah bersama Lin Lin, ia melihat bahwa tiga orang pengemis itu mengadakan pertemuan dengan Suma Boan. Hal ini sama sekali tak pernah diduganya. Suma Boan putera pangeran yang tinggai di An-sui itu berada di sini? Benar-benar di luar dugaannya, yang sejak dahulu berkelana, Bok Liong mengenal siapa adanya Suma Boan, murid It-gan Kai-ong yang lihai.
Akan tetapi ia sama sekali tidak tahu akan rahasia putera pangeran ini. Ia tidak menjadi heran karena Suma Boan berhubungan dengan pengemis, karena guru pemuda bangsawan itu adalah raja pengemis sendiri. Akan tetapi yang membuat ia terheran-heran adalah munculnya pemuda bangsawan itu di gedung merah, karena tadinya ia mengira bahwa tiga orang pengemis itu hendak mengadakan persekutuan atau pertemuan rahasia dengan musuh-musuh Kerajaan Sung. Maka ia kecewa dan memberi isyarat kepada Lin Lin untuk pergi dari situ. Akan tetapi, sebaliknya wajah Lin Lin menengang ketika ia mengenal Suma Boan. Ia malah memberi isyarat kepada Bok Liong untuk mendengarkan percakapan mereka di bawah, lalu mendekatkan mulut pada telinga Bok Liong sambil berbisik.
"Di rumah dia itulah aku berpisah dengan kedua kakakku."
Mendengar ini, hati Bok Liong tertarik dan ia segera mendekam dan mendengarkan percakapan empat orang itu.
"Mana Suhu? Kenapa tidak datang dan bagaimana hasilnya dengan surat yang dirampas Hek-giam-lo?"
"Kai-ong-ya tidak berhasil merampas kembali, tapi memberi tahu bahwa surat itu agaknya sudah terampas kembali oleh Siang-mou Sin-ni dari tangan Hek-giam-lo. Sekarang Ong-ya berkenan pergi sendiri menyelidik ke Yu-nan."
"Apa? Suhu mendatangi wilayah Nan-cao?"
"Betul, Kongcu. Pada pertengahan bulan depan, tepat pada bulan purnama, di sana diadakan pesta menyambut hari raya kaum Agama Beng-kauw, sekalian memperingati hari wafat ke seribu dari Kauw-cu (Ketua Agama) yang telah meninggal dunia. Dalam kesempatan ini, tentu saja Kai-ong-ya dapat menghadiri karena para tokoh hitam dan putih semua diterima dengan tangan terbuka oleh Beng-kauw."
"Bagus"
Suma Boan kelihatan girang sekali.
"Hanya sayang sekali, kalau Suhu memberi tahu, tentu aku akan ikut ke sana, untuk melihat dan menambah pengalaman."
"Kai-ong-ya berpesan agar Kongcu suka menanti kedatangan Tok-sim Lo-tong yang sudah berjanji akan datang mengunjungi dan sudah siap memberi bantuan untuk menghadapi Suling Emas."
"Hemmm, si keparat itu apakah sudah dapat diketahui Suhu di mana tempatnya kalau ia datang ke kota raja?"
"Menurut Kai-ong-ya, sering kali ia berada di dalam gedung perpustakaan istana."
"Heeeee"
Apa itu?"
Tubuh Suma Boan berkelebat, diikuti tiga orang pengemis itu yeng sudah melompat keluar dan langsung melayang ke atas genteng. Kiranya tadi ketika mendengar percakapan di bawah, Bok Liong dan Lin Lin menjadi tertarik sekali. Apalagi ketika nama Suling Emas disebut-sebut, Lin Lin menjadi begitu bernafsu sehingga ia bergerak untuk membuat lubang lebih besar. Karena kurang hati-hati dan hatinya tegang, gerakannya mengeluarkan bunyi dan terdengar oleh telinga Suma Boan yang tajam.
"Keparat, berani kalian main-main di depan Lui-kong-sian?"
Bentak Suma Boan sambil menerjang maju. Lui-kong-sian atau Dewa Geledek adalah julukannya.
Bok Liong maklum akan lihainya lawan, maka cepat ia memasang kuda-kuda dan menangkis. Dua lengan yang sama kuatnya bertemu dan akibatnya, keduanya terpental melayang dan tentu akan roboh terguling di atas genteng kalau tidak cepat-cepat mereka meloncat turun. Lin Lin yang tahu bahaya, juga mendahului meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Baru saja kakinya menginjak tanah, tiga orang pengemis itu sudah menerjangnya dengan tongkat, gerakan mereka cepat dan kuat. Namun Lin Lin sudah memutar pedangnya, tampak sinar kuning bergulung-gulung dari pedang itu menyambut datangnya tiga bayangan tongkat. Adapun Suma Boan ketika tertangkis oleh lengan Bok Liong, terkejut bukan main dan ia menjadi penasaran.
"Siapakah kau? Apa perlunya kau malam-malam datang seperti pencuri?"
Bentaknya ketika ia sudah berhadapan dengan lawannya di atas tanah. Sayang keadaannya agak gelap sehingga ia tidak dapat mengenal siapa pemuda yang lihai di depannya ini.
"Suma-kongcu, suruh orang-orangmu mundur, dan kami akan segera pergi, tidak akan mengganggumu lagi,"
Kata Bok Liong sambil memandang ke arah pertempuran. Akan tetapi ia tidak khawatir akan keselamatan Lin Lin karena tiga orang pengemis itu telah terdesak hebat oleh sinar pedang kuning yang bergulung-gulung dahsyat.
"Enak saja bicara, berani kau datang untuk memerintahku? Ke neraka kau"
Suma Boan cepat menerjang dengan pukulan-pukulan maut. Keistimewaan pemuda bangsawan ini adalah ilmu pukulan tangan kosong. Tenaganya kuat dan ia memiliki banyak tipu muslihat, juga memiliki beberapa pukulan yang mengandung tenaga beracun. Namun kali ini ia menghadapi lawan yang tangguh, murid seorang sakti pula, maka semua pukulannya dapat dihalau oleh Bok Liong. Karena dia seorang pendekar yang gagah dan memang suka mengadu ilmu, apalagi sudah lama mendengar akan nama besar Lui-kong-sian Suma Boan, Bok Liong juga tidak mau mencabut pedangnya dan melayani lawannya dengan tangan kosong pula. Keduanya sama kuat, sama cepat dan masing-masing mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi.
Tidak seramai dua orang jago muda ini keadaan Lin Lin dan para pengeroyoknya. Dalam sekejap mata saja, pedangnya telah merobohkan dua orang pengeroyok dan pengemis yang ke tiga lari ketakutan menjauhkan diri"
Diam-diam Lin Lin menjadi girang dan juga bangga. Ia pernah dikeroyok orang-orang seperti ini, ketika bersama Bu Sin dan Sian Eng dahulu, dan mereka bertiga amat repot menghadapi pengeroyokan banyak pengemis. Akan tetapi sekarang, biarpun yang mengeroyoknya hanya bertiga, namun dengan pedang curian itu dan dengan ilmu warisan Kim-lun Seng-jin, terasa betapa lemahnya tiga orang pengeroyoknya dan betapa mudah ia merobohkan mereka"
Lin Lin menoleh dan melihat Bok Liong masih bertanding hebat dengan pemuda jangkung yang sombong itu.
"Liong-twako, jangan takut, pedangku akan mencabut nyawanya"
Seru Lin Lin dan cepat ia menerjang. Sinar kuning berkelebat dan Suma Boan mengeluh sambil membuang diri ke kiri lalu berjungkir balik. Pucat wajahnya karena hampir saja ia menjadi korban sinar pedang yang mengandung hawa dingin seperti es. Ia tadi terlalu memandang rendah. Kiranya selain pemuda lawannya itu hebat, juga gadis itu amat lihai dan ganas ilmu pedangnya. Lin Lin hendak menerjang lagi, akan tetapi tangannya disambar Bok Liong, ditarik dan pemuda itu berkata,
"Moi-moi, mari kita pergi, jangan bikin kacau rumah orang"
Lin Lin baru teringat bahwa sebetulnya bukan menjadi kehendak mereka bertempur dengan orang-orang itu.
Tadi ia terpaksa merobohkan lawan karena ia dikeroyok. Sekarang, apa perlunya bertanding terus? Ia tidak bermusuhan dengan pemuda bangsawan itu. Malah pemuda itu telah berjasa dalam menyebut-nyebut Suling Emas tadi. Ia tahu sekarang ke mana harus mencari Suling Emas, musuh besarnya. Ke kota raja. Di dalam gedung perpustakaan istana. Hatinya girang mengingat akan hal ini dan ia cepat meloneat pergi bersama Bok Liong, menghilang ke dalam gelap. Suma Boan tidak mengejar. Pemuda bangsawan ini cukup cerdik dan hati-hati. Dua orang itu lihai, dan belum ia kenal siapa mereka. Tiga orangnya telah roboh, mengapa ia harus mengejar tanpa bantuan yang kuat? Setelah berlari jauh meninggaikan kota Pao-teng, Bok Liong dan Lin Lin berhenti untuk mengatur napas.
"Wah, untung kebetulan It-gan Kai-ong tidak berada di sana bersama Suma-kongcu. Kalau ada, bisa berbahaya tadi. Sama sekali tidak kuduga bahwa gedung merah itu milik Suma Boan,"
Kata Bok Liong.
"Aku tidak takut"
Biar ada gembel tua bangka setengah buta itu aku tidak takut dan akan melawannya mati-matian"
Seru Lin Lin dengan suara gagah.
"Kau memang hebat, Lin-moi. Memang tenaga kita digabung menjadi satu, belum tentu si tua dapat berbuat sekehendak hatinya. Tapi Suma Boan itupun tak boleh dipandang ringan. Dia lihai..."
Bok Liong menggeleng-geleng kepala dan ia maklum bahwa kata-katanya ini hanya untuk mencegah agar Lin Lin tidak menjadi marah. Padahal ia tahu benar bahwa mereka berdua bukanlah lawan It-gan Kai-ong. Melawan Suma Boan saja, baru seimbang dengan kepandaiannya. Pemuda bangsawan itu harus ia akui amat hebat ilmu pukulannya. Tadi pun ia sudah kewalahan dan hampir mencabut pedangnya kalau saja Lin Lin tak segera maju membantunya.
"Liong-ko, sekarang kita harus kembali ke kota raja. Suling Emas berada di sana, di dalam gedung perpustakaan istana. Wah, kali ini dia tidak akan dapat terlepas dari tanganku"
"Memang kurasa kali ini kita akan dapat bertemu dengannya. Akan tetapi sebelumnya, kuminta kepadamu, Lin-moi. Jangan kau terburu nafsu dan lancang menyerangnya kalau kita bertemu dengannya. Aku yang akan bicara dengannya, dan aku dapat mengajukan pertanyaan yang akan memaksanya mengaku apakah dia membunuh orang tua angkatmu ataukah tidak. Tak boleh sembrono dan lancang terhadap seorang seperti dia."
"Aku tidak takut"
"Memang kau tidak takut, Moi-moi, akan tetapi bagaimana kalau penyeranganmu itu salah alamat? Bagaimana kalau ternyata dia itu tidak berdosa? Bukankah kau menyerang orang yang tidak bersalah kepadamu dan kalau terjadi demikian maka berarti kaulah yang bersalah kepadanya?"
"Baiklah, baiklah, aku akan menutup mulut dan mau menyerahkan urusan kepadamu. Asal aku segera bertemu dengannya dan mendapat kepastian, baru aku puas, Twako."
Bok Liong tersenyum. Ia khawatir kalau-kalau sahabat barunya ini marah dan mengambul.
"Marilah, Moi-moi. Kau suka melakukan perjalanan malam begini?"
"Biar malam udara terang, lihat bulan tersenyum di atas tuh"
Akan tetapi Bok Liong tidak memandang bulan, melainkan memandang wajah yang tengadah, wajah yang baginya lebih daripada bulan sendiri.
"Kau tidak lelah dan ngantuk nanti?"
Lin Lin menggeleng kepala.
Maka berangkatlah dua orang muda itu, berjalan kaki di bawah sinar bulan, berendeng mereka berjalan. Bagi Lin Lin, hal ini adalah biasa saja dan tidak mendatangkan perasaan apa-apa. Ia merasa seperti berjalan di samping Bu Sin. Terhadap Bok Liong ia mempunyai perasaan persaudaraan yang tebal dan menganggap pemuda ini seperti kakaknya sendiri. Tentu saja tidak demikian apa yang berkecamuk di dalam rongga dada Bok Liong. Suasana romantis ini mendorong-dorong hasratnya, menekan-nekan hatinya dan membakar darahnya, membuat ia ingin sekali menjatuhkan diri berlutut di depan Lin Lin menyatakan cinta kasihnya yang berkobar-kobar menghanguskan jiwanya. Ingin ia memegang jari-jari tangan yang kecil halus itu. Ingin ia mendekap kepala dengan wajah cantik dan rambut hitam halus harum itu ke dadanya, ingin membisikkan sumpah cinta, ingin ia.. ingin..
"Plakkk"
"Eh, ada apa, Twako?"
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lin Lin berhenti dan menoleh ke samping, memandang heran kepada pemuda yang baru saja menempiling kepala sendiri itu.
"Oh.. eh.. tidak ada apa-apa, ada nyamuk tadi menggigit pelipisku,"
Jawabnya. Untung bayang-bayang pohon menyembunyikan sinar bulan dari mukanya yang menjadi merah sekali.
"Kau bikin kaget orang saja. Masa menepuk nyamuk di pelipis sendiri begitu kerasnya?"
Lin Lin mengomel karena tadi ia dikagetkan daripada lamunannya. Sambil berjalan ia pun melamun, teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin akan keadaan dirinya. Betulkah ia seorang Puteri Khitan? Ia seorang puteri, keturunan langsung dari Raja Khitan? Inilah yang ia lamunkan dan ia seperti melihat dirinya dengan pakaian puteri yang indah sekali, berada di dalam gedung istana seperti yang pernah ia lihat bersama Kim-lun Seng-jin, disembah-sembah ribuan orang. Apalagi kalau ia yang menjadi ratu dari bangsa Khitan, ia akan.. akan apakah dia? Inilah yang baru ia pikir-pikir dan rencanakan dalam alam lamunannya ketika tiba-tiba Bok Liong menempiling kepala sendiri dan mengagetkannya serta menariknya turun daripada angkasa ke alam sadar.
Bu Kek Siansu Eps 26 Bu Kek Siansu Eps 2 Bu Kek Siansu Eps 2