Suling Emas 11
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Setelah berpikir demikian, ia sengaja memperlambat gerakan pedangnya dan ketika golok menyambar lehernya, ia sengaja tidak menangkis, bahkan meramkan kedua matanya menanti maut! Betapa terkejutnya hati Kam Si Ek, tak usah diceritakan lagi. Pemuda ini berseru kaget dan karena ia sudah tak mungkin menarik pulang goloknya, maka sedapat mungkin ia menyelewengkan bacokannya kearah leher. Namun, tetap saja goloknya itu membabat kearah pundak dan "makan"
Kedalam daging dipangkal lengan Lu Sian. Darah mengucur, membasahi baju gadis itu. Kam Si Ek berdiri tegak seperti patung, mukanya pucat, matanya terbelalak, lalu ia memandang wajah Lu Sian dengan bingung.
"Kau bunuhlah. Mengapa tidak jadi? Bukankah engkau hendak membunuhku?"
Lu Sian berkata, biarpun pangkal lengannya terasa sakit, namun jantungnya berdebar girang melihat hasil ujiannya yang berbahaya ini. Jelas bahwa pemuda itu tidak membencinya, buktinya tidak tega membunuhnya dan tadi serangan pemuda itu hanya digerakkan oleh kemarahan yang tiba-tiba.
"Kau.. kau mengapa begini aneh..? Mengapa membunuh orang... dengan kejam...?"
"Mengapa aku membunuh mereka berenam tadi? Hemm, dengarlah. Mereka adalah anak buah pasukan yang telah menawanmu, mereka adalah musuh. Pula, kita sedang dikejar-kejar dua orang kakek iblis, dan mereka ini sudah melihat kita. Kalau tidak dibunuh, apakah mereka tidak akan membocorkan keadaan kita kepada mereka? Kau seorang jenderal, dengan pasukanmu sudah biasa kau membunuh laksaan orang musuh tanpa berkedip, membunuh laksaan orang yang tidak kau ketahui apa kesalahan mereka dan apa kejahatan mereka. Sekarang aku membunuh enam orang yang terang-terangan adalah orang jahat dan yang akan mendatangkan bahaya bagi kita, mengapa kau marah-marah? Kau mengucapkan fitnah busuk, mengira aku akan membujukmu untuk mengabdi kepada Nan-cao! Alangkah tipis kepercayaanmu, tanda bahwa cintamu palsu belaka, hanya dibibir. Aku... aku... ahhhh....!"
Tubuh Lu Sian terhuyung-huyung lalu ia roboh terguling. Kam Si Ek kaget sekali, cepat ia melompat maju dan memeluk tubuh gadis itu, dan melihat betapa wajah gadis itu pucat, matanya meram, mulutnya terkancing rapat, ia makin gugup.
"Moi-moi.... Moi-moi..., kaumaafkan aku... ah, aku bodoh sekali! Lu Sian...! Moi-moi...!"
Kam Si Ek lalu memondong tubuh gadis itu, menyambar pedang dan golok, lalu berlari kebelakang rumah dan meloncat ke atas dek perahu besar. Hanya diperahu itulah tempat kering, maka ia lalu meletakkan tubuh Lu Sian keatas sebuah pembaringan yang berada dibilik perahu.
"Ah, benar-benar aku lancang tangan... Moi-moi, kau ampunkan aku...!"
Kam Si Ek merobek baju dipundak Lu Sian dan memeriksa. Luka itu cukup dalam dan mengeluarkan banyak sekali darah. Dengan hati penuh kegelisahan pemuda itu lalu merobek ikat pinggangnya dan membalut pundak dengan erat sekali untuk mencegah mengalirnya darah terlalu banyak.
Kemudian, melihat wajah gadis itu masih pucat dan matanya masih meram, napasnya tersengal-sengal seperti orang sekarat, ia lari kesana kemari, mengambil panci dari belakang perahu, membuat api dan memanaskan air. Tidak ada yang lebih baik daripada air matang untuk mencuci luka, pikirnya. Dimusim banjir seperti itu, air sungai amat kotor dan amat tidak baik untuk mencuci luka sebelum dimasak mendidih. Ia sama sekali tidak tahu betapa napas gadis yang tadinya terengah-engah itu menjadi biasa kembali, mata yang tadinya meram itu, terbuka satu dan bergerak mengikuti gerak-geriknya dengan mulut menahan senyum geli! Kalau ia mendekat, mata itu tertutup lagi dan napas itu tersengal-sengal lagi!
Setelah air matang Kam Si Ek lalu membuka balutan pada pundak Lu Sian, mencuci luka sampai bersih lalu membalut lagi. Kemudian, melihat diperahu itu banyak perlengkapan bahan makan ia lalu membuat bubur dan membakar daging asin. Bukan main gelisah hati Kam Si Ek melihat gadis itu biarpun sudah siuman, namun belum sadar, masih bergerak-gerak gelisah diatas pembaringan, matanya tetap ditutup dan sekarang malah mulutnya mengigau seperti orang terserang demam! Dapat dibayangkan betapa terharu hatinya ketika dalam igauannya, sambil meramkan mata gadis itu selalu menyebut-nyebut namanya!
"Ayah, aku tidak mau menikah dengan Kwee Seng! Tidak mau dengan raja muda di timur, pangeran di barat atau putera mahkota di utara! Aku hanya mau menikah dengan Kam Si Ek, biar dia jenderal tolol, biar dia laki-laki canggung, aku sudah cinta kepadanya, Ayah!"
Kam Si Ek duduk bengong dipinggir pembaringan. Bermacam perasaan teraduk dalam hatinya. Girang dan bahagia karena dalam igauannya ini Liu Lu Sian jelas membuka isi hatinya yang amat mencintainya. Bingung karena gadis itu makin malam makin hebat mengigau dan gelisah.
Duka dan khawatir karena ia telah melukai gadis itu, melukai tubuh dan hatinya. Lu Sian mengigau terus. Dalam igauannya itu malah ia menyebut-nyebut bahwa ia bersama Kam Si Ek akan pergi menemui Gubernur Li Ko Yung di Shan-si, untuk minta bantuan gubernur ini menjadi perantara meminangnya kepada ayahnya di Nan-cao. Mendengar igauan ini, sadarlah Kam Si Ek bahwa itulah jalan terbaik. Ia memang tadinya menerima undangan atau panggilan Gubernur Li dan ditengah jalan ia dijebak dan dikhianati komplotan para perwira yang memberontak dan pasukan-pasukan kerajaan Liang. Hal itu perlu ia laporkan kepada Gubernur Li. Disamping itu untuk mengajukan lamaran kepada ayah Liu Lu Sian yang selain menjadi Ketua Beng-kauw, juga menjadi koksu (guru negara) di Nan-cao, siapa lagi yang lebih tepat selain dengan perantaraan Gubernur Li?"
Ia memeluk Lu Sian dan mencium pipinya dengan mesra.
"Moi-moi, tenangkanlah hatimu, kau ampunkan kokomu yang tolol ini. Aku cinta kepadamu, Moi-moi, dan demi Tuhan, aku akan meminangmu dari tangan ayahmu."
Ia lalu sibuk melepaskan perahu daripada ikatan, mendayung ketengah lalu memasang layar. Biarpun bukan ahli, Kam Si Ek tidak asing dengan pelayaran, maka biarpun hari telah berganti malam, ia berani melayarkan perahunya dibawah sinar bulan. Lu Sian membuka matanya dan tersenyum-senyum girang. Melihat Kam Si Ek sibuk mengemudikan perahu, ia lalu mengeluarkan bungkusannya, mengambil obat luka dan mengobati pundaknya. Kemudian ia mengusap-ngusap pipinya yang masih panas oleh ciuman Kam Si Ek, turun dari pembaringan perlahan-lahan lalu keluar dari dalam bilik.
"Koko (Kanda)..."
Ia berseru memanggil lirih. Kam Si Ek terkejut dan menoleh. Melihat gadis itu berdiri bersandar pintu bilik, ia terkejut, girang dan juga khawatir.
"Eh, kau sudah bangun, Moi-moi? Kau beristirahatlah, jangan keluar dulu, nanti kena angin...! Itu ada bubur dimeja, kau makanlah...!"
"Aku tidak lapar, Koko, dan aku sudah sembuh."
Mana bisa ia merasa lapar kalau hatinya sebahagia itu? Pula, ketika ia berpura-pura pingsan dan mengigau, bukankah Kam Si Ek dengan amat telaten telah menyuapinya dengan bubur sampai kekenyangan?
"Aku merasa seperti baru bangun dari mimpi. Eh, Koko kau melayarkan perahu ini kemanakah?"
Girang sekali hati Kam Si Ek melihat kekasihnya benar-benar telah sembuh, wajahnya berseri pipinya merah dan matanya bersinar-seinar.
"Pundakmu tidak nyeri lagi, Moi-moi?"
Dengan gaya manja Lu Sian menggeleng kepalanya lalu berjalan menghampiri. Dengan satu tangan Kam Si Ek memegang tali layar, tangan kedua meraih lengan gadis itu dan mereka berpegang tangan, saling pandang penuh kasih.
"Sian-moi, kau tahu bahwa aku dipanggil oleh Gubernur Li akan tetapi oleh pasukan yang berkhianat dan bersekongkol dengan Raja Liang, aku diculik. Hal ini harus kulaporkan kepada Gubernur Li, maka aku sekarang hendak pergi ke Shan-si untuk berunding dengan beliau. Kuharap kau suka ikut denganku kesana, selain berunding urusan pengkhianatan itu, akupun perlu minta bantuannya."
Sampai disini pemuda itu berhenti bicara dan mukanya menjadi merah.
"Bantuan apa, Koko?"
Lu Sian bertanya, pura-pura tidak tahu akan tetapi diam-diam girang sekali karena agaknya akalnya "mengigau"
Itu berhasil baik.
"Moi-moi."
Tangan Kam Si Ek menggenggam erat-erat tangan Lu Sian.
"Aku hendak mohon bantuannya untuk menjadi orang perantara, mengajukan pinangan atas dirimu dari tangan ayahmu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan di Nan-cao."
Girang sekali hati Lu Sian.
"Koko, kemanapun juga kau pergi, aku suka ikut!"
Tidak ada kegembiraan yang lebih besar bagi muda-mudi daripada kegembiraan dua buah hati yang saling bertemu. Berhari-hari mereka menjalankan perahu sambil bersenda gurau, menceritakan keadaan masing-masing, menangkap ikan dan masak-masak lalu makan bersama. Kam Si Ek makin mendalam cinta dan kagumnya terhadap Lu Sian, mengagumi kecantikan dan kelincahan gadis ini, termasuk wataknya yang kadang-kadang aneh. Dilain pihak, Lu Sian juga kagum akan kekasihnya yang sudah tiada orang tua lagi, tentang keturunan keluarga Kam yang semenjak dahulu terkenal sebagai panglima-panglima perang jagoan. Ketika Lu Sian bercerita tentang pertemuannya dengan kakak seperguruan jenderal itu, yaitu Lai Kui Lan didalam benteng, Kam Si Ek menyatakan kekuatirannya.
"Suci seakan-akan telah menjadi saudara kandungku. Dia seorang pendiam dan bersungguh-sungguh, banyak membantuku dalam perang. Akan tetapi akhir-akhir ini ia sering kudapati menangis dikamarnya, dan sama sekali tidak mau menceritakan apa sebab-sebabnya. Aku kuatir sekali ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Malah sebelum aku pergi dari benteng, Suci seringkali berkunjung ke Kwan-im-bio diluar benteng, bahkan bermalam disana. Agaknya ia menjadi kenalan baik dari para nikouw (pendeta wanita) di kuil itu."
Mendengar ini, Lu Sian dapat menduga dan ia hanya mengeluh didalam hatinya, tidak mau menceritakan apa yang menjadi dugaannya. Ia menduga bahwa Kui Lan tentu menjadi korban asmara, tentu berduka karena Kwee Seng terjatuh kedalam jurang dan binasa.
Gadis itu mencinta Kwee Seng dan menjadi patah hati. Ia tidak berani bercerita tentang Kwee Seng kepada Kam Si Ek karena cerita ini tentu akan membuka pula rahasia tentang perasaan Kwee Seng kepadanya. Akibat ceritanya ini tentu akan mendatangkan suasana tidak enak diantara mereka, apalagi disitu tersangkut pula diri Lai Kui Lan. Cinta memang aneh. Biarpun dua orang muda yang amat jauh berbeda sifat dan wataknya, namun kalau sudah dipengaruhi cinta kasih, mereka seperti lupa akan semua perbedaan ini. Seorang yang mabok dicinta, hanya akan melihat yang baik-baik saja dari kekasihnya. Demikian pula dengan Liu Lu Sian dan Kam Si Ek. Kalau saja mereka tidak sedang mabok cinta, tentu mereka akan dapat melihat bahwa mereka mempunyai watak yang jauh berbeda. Kam Si Ek adalah seorang pemuda yang keras hati, jujur, berdisplin memegang aturan, gagah perkasa dan seorang patriot.
Sebaliknya, Lu Sian memiliki dasar watak yang aneh, kadang-kadang licik dan menjalankan siasat-siasat yang curang bukanlah aneh baginya. Ia tidak peduli akan segala aturan, bebas merdeka dan liar. Tidak mau kalah oleh siapapun juga, tidak peduli akan orang lain menderita atau tidak, tidak peduli sama sekali tentang negara maupun bangsa. Baginya, siapa yang menentangnya akan ia hantam! Perbedaan itu secara mencolok akan tampak kalau kita dapat menjenguk isi hati dan pikiran mereka pada saat mereka duduk melamun. Kam Si Ek melamunkan kebahagiaannya kalau sudah menikah dengan Liu Lu Sian, melamun betapa dengan bantuan isterinya yang memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa itu, ia akan dapat berjuang dan memilih junjungan yang benar-benar tepat pada jaman itu, seorang calon raja yang akan benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Sebaliknya, Lu Sian disamping melamun tentang kesenangannya menjadi isteri pemuda yang dicintanya, juga ia teringat akan kekalahan-kekalahannya yang diderita selama ini. Hatinya panas bukan main kalau ia teringat betapa ia sama sekali tidak berdaya menghadapi orang-orang sakti seperti Kwee Seng, Ban-pi Lo-cia, Bayisan, dan Kong Lo Sengjin. Alangkah masih jauh ia ketinggalan dalam ilmu silat, pikirnya dengan hati tidak puas. Ia bercita-cita untuk memperdalam ilmu silatnya, mencari kitab-kitab pusaka dan wasiat-wasiat ilmu silat agar ia dapat menjadi seorang tokoh sakti yang akan menjagoi dunia persilatan, mengalahkan orang-orang itu. Pertama-tama ia akan minta kepada ayahnya untuk mewariskan ilmu-ilmu baru ciptaan ayahnya, kemudian ia akan menitahkan anak buah suaminya untuk menyelidiki dan mencari orang-orang berilmu!
Untung bagi mereka, didalam perjalanan mereka tidak bertemu dengan Ban-pi Lo-cia maupun Kong Lo Sengjin dan setelah tiba diwilayah Shan-si, mereka merasa aman, melakukan perjalanan cepat dengan menunggang kuda memasuki ibu kota Shan-si, menghadap Gubernur Li Ko Yung. Gubernur Li adalah seorang yang cerdik sekali. Dia merupakan seorang diantara pimpinan pemberontakan yang menggulingkan kedudukan kaisar terakhir Dinasti Tang. Akan tetapi ia tidak semaju Gubernur Cu Bun di Ho-nan yang akhirnya berhasil menggulingkan Kerajaan Tang dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar pertama Kerajaan Liang. Terhadap Jenderal Kam Si Ek, Gubernur Li berlaku amat hati-hati.
Ia maklum bahwa jenderal muda ini amat setia terhadap negara dan bangsa, dan bahwa jatuhnya Kerajaan Tang tidak mempengaruhi hati Kam-goanswe. Oleh karena itulah maka dengan cerdik ia hendak mempergunakan tenaga dan pikiran jenderal muda itu secara halus. Ia menyambut kedatangan Kam Si Ek dengan ramah tamah dan penuh penghormatan, juga terhadap Liu Lu Sian yang diperkenalkan sebagai puteri Beng-kauwcu, ia menyambut dengan ramah. Ketika secara singkat Kam Si Ek menceritakan bahwa perwira she Phang yang diutus memanggilnya ke benteng itu telah bersekongkol dengan pasukan Kerajaan Liang untuk menawannya, Gubernur Li menjadi marah sekali.
"Keparat itu berani melakukan kejahatan seperti itu?"
Gubernur Li menggebrak meja, memanggil seorang panglima dan memerintahnya segera berangkat membawa pasukan dan surat perintahnya untuk menangkap Phang-ciangkun dan menjatuhi hukuman mati! Setelah itu ia menjamu kedua orang tamu agung ini dengan arak dan hidangan lezat, berkali-kali ia memberi selamat atas pembebasan Kam-goanswe daripada bahaya. Kemudian, setelah mereka kenyang makan minum dan mengusir para pelayan, Gubernur Li Ko Yung berkata.
"Goanswe, saya ingin sekali bicara empat mata denganmu, untuk merundingkan urusan negara dalam keadaan kacau-balau seperti sekarang ini."
Berkata demikian, ia melirik kearah Liu Lu Sian. Gadis ini tentu saja maklum bahwa dia merupakan "orang luar"
Apalagi dia adalah puteri Guru Negara Nan-cao, maka tentu saja ia tidak berhak mendengar. Namun dasar ia berwatak nakal dan kukwai (aneh), ia pura-pura tidak tahu dan enak-enak duduk minum arak wangi! Kam Si Ek merasa tidak enak sekali. Mengusir Liu Lu Sian pergi, tentu saja tidak enak baginya, mendiamkannya saja kekasihnya berada di situ, juga tidak enak terhadap Gubernur Li. Maka dengan memberanikan hati ia lalu berkata sambil bangkit berdiri dan menjura kepada gubernur itu.
"Li-taijin, harap maafkan. Sebelum kita meningkat kepada percakapan urusan negara yang penting, baiklah lebih dulu saya menyatakan terus terang bahwa Nona Liu ini bukanlah orang luar. Dia adalah... adalah... calon isteri saya, yaitu... eh..., kalau saja Taijin sudi melepas budi kebaikan kepada kami berdua untuk menjadi orang perantara dan mengajukan pinangan kepada Beng-kauwcu di Nan-cao."
Setelah berkata demikian, dengan muka merah ia duduk kembali. Liu Lu Sian tersenyum didalam hati, akan tetapi ia diam saja pura-pura tunduk karena malu. Sejenak gubernur ini tercengang, kemudian ia tertawa bergelak-gelak saking girangnya. Tidak ada kesempatan sebaik ini! Cocok benar dengan cita-cita hatinya. Mengikat hubungan baik dengan Nan-cao! Melepas budi kepada Jenderal Kam! Maka ada kesempatan yang lebih bagus daripada ini demi terlaksananya cita-citanya?
"Ha-ha-ha! Bagus..., bagus sekali! Kionghi, kionghi (selamat,selamat)! Memang sudah tiba waktunya Kam-goanswe memilih teman hidup dan Nona Liu yang cantik jelita puteri Beng-kauwcu benar-benar merupakan pasangan yang amat cocok dengan Kam-goanswe. Sekali lagi kionghi dan tentu saja dengan segala senang hati saya suka menjadi perantara!"
Gubernur Li mengangkat cawan memberi selamat dan dua orang muda itu cepat menghaturkan terima kasih. Setelah itu, Gubernur Li Ko Yung berkata dengan suara bersungguh-sungguh.
"Ji-wi (kalian) tentu maklum bahwa bekas Gubernur Cu Bun yang sekarang mengangkat diri sendiri menjadi Raja Dinasti Liang adalah seorang pengkhianat, maka tidak mengherankan pula ia berusaha menculik Kam-goanswe. Memang dahulu kami bekerja sama dalam usaha menggulingkan Raja Tang yang pada waktu itu merupakan raja lalim. Akan tetapi sama sekali bukan menjadi rencana kami untuk mengangkar diri sendiri menjadi raja, melainkan hanya bermaksud menggulingkan raja lalim dan mencari pengganti yang tepat. Siapa kira Cu Bun berkhianat dan mendirikan dinasti baru yang sekarang ini. Maka tidak mengherankan apabila mereka yang tadinya membantu dalam perjuangan, kini memisahkan diri dan terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil. Sekarang, bagaimana dengan daerah kita yang meliputi Propinsi Shan-si? Tentu saja kita tidak akan tunduk kepada Kerajaan Liang atau kerajaan kecil yang manapun juga. Bagaimana pendapat Kam-goanswe?"
Kam Si Ek mengangguk-angguk, lalu berkata,
"Saya setuju dengan pendapat Taijin. Demi kesetiaan leluhur kita yang berjuang untuk negara dan rakyat, saya sendiri tidak akan mudah memilih junjungan, karena sekali kita salah pilih mengabdi kepada raja lalim berarti kita pun membantu kelalimannya."
"Betul sekali ucapan Kam-goanswe! Kita berjuang di bidang yang lain, saya di bidang sipil, Goanswe dibidang militer, namun pendapat dan tujuan kita cocok! Kita boleh menanti dan memilih secara hati-hati, sementara itu, sebelum muncul seorang pemimpin yang betul-betul cocok, kita tidak bisa membiarkan daerah Shan-si yang menjadi tanggung jawab kita ini dicaplok oleh raja kecil palsu yang manapun juga. Bukankah begitu, Kam-goanswe?"
"Betul sekali, Taijin. Saya akan menyerahkan jiwa raga untuk mempertahankan dan membela Shan-si!"
"Bagus! Nah, ketahuilah, Goanswe. Diantara para raja kecil yang secara lancang mengangkat diri sendiri, kini terjadi perebutan wilayah dan kekuasaan. Bukan hanya dari Kerajaan Liang saja datangnya ancaman terhadap wilayah kita, melainkan dari Se-cuan, dari timur Kerajaan Wu Yue, belum lagi ancaman yang amat membahayakan dari Bangsa Khitan. Untuk mempertahankan wilayah kita, perlu kita membentuk pemerintahan sementara dan kerja sama yang erat antara kita semua yang bertugas di Shan-si. Oleh karena itu, setelah nanti saya menjadi orang perantara dan telah dilangsungkan pernikahan antara Ji-wi berdua, saya minta agar Kam-goanswe sudi memegang tugas panglima di sini dan mengatur semua barisan yang perlu diperkuat untuk mejaga wilayah kita dari ancaman di segala jurusan."
Pandai sekali Gubernur Li mengatur rencana dengan halus sehingga Kam Si Ek yang berwatak jujur itu percaya seratus prosen. Sama sekali Gubernur Li Ko Yung tidak membayangkan niat untuk mencari kekuasaan sendiri, maka serta merta Kam Si Ek menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama. Adapun Lu Sian yang lebih cerdik dan sudah biasa menghadapi kelicikan dan siasat busuk orang, sedikit banyak menaruh curiga, akan tetapi ia tidak mau peduli akan cita-cita gubernur itu. Hasratnya hanya satu yaitu menjadi isteri Kam Si Ek yang dicintainya, dan kalau gubernur itu dapat menjadi perantara sehingga hasrat hatinya terkabul, ia merasa cukup puas. Baginya sama saja apakah Gubernur Li itu seorang patriot tulen ataukah seorang pengkhianat. Juga ia tidak peduli Kam Si Ek akan membantu siapa, asal jenderal muda yang perkasa ini menjadi suaminya.
Ketika utusan Gubernur Li yang merupakan sepasukan berkuda membawa seorang wakil dan surat pribadi mengajukan pinangan, berikut pula berpeti-peti barang berharga, tiba di Nan-cao menghadap kepada Beng-kauwcu pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Ketua Beng-kauw ini membaca surat dan menarik napas panjang. Betapapun juga, ia kurang cocok dengan pilihan puterinya ini, dan ia akan lebih senang kalau puterinya mendapat jodoh seorang tokoh kang-ouw seperti Kwee Seng. Puterinya terdidik sebagai seorang ahli silat, sebagai seorang yang biasa terbang bebas seperti burung di udara, sekarang puterinya memilih Kam Si Ek, seorang jenderal yang terkenal sebagai ahli perang yang berdisiplin, bagaimana dapat cocok watak mereka?
Akan tetapi karena surat itu dilampiri surat puterinya, dan ia mengenal baik watak puterinya yang mewarisi wataknya sendiri, yaitu tidak mau mundur sejengkal pun untuk melaksanakan keinginan hatinya, pula mengingat bahwa Kam Si Ek adalah seorang pemuda perkasa yang dijadikan rebutan oleh kaum wanita, keturunan panglima-panglima perkasa pula, terpaksa ia mengalah. Apalagi kalau Ketua Beng-kauw ini sebagai seorang kok-su (guru negara) mengingat akan suasana dan kedudukan Kam-goanswe sebagai panglima di Shan-si, yang tentu saja merupakan kekuasaan yang amat baik untuk dijadikan sekutu, maka ia segera menulis surat balasan menerima pinangan itu dan menetapkan hari
(Lanjut ke Jilid 11)
SULING EMAS (Seri ke 02 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
pernikahan puterinya di Nan-cao.
Semenjak kerajaan besar Tang yang memerintah selama hampir tiga abad (618-907) roboh oleh Gubernur Cu Bun yang kemudian mengangkat diri sendiri menjadi raja dari Kerajaan Liang Muda, muncul raja-raja kecil diseluruh negara yang jumlahnya sukar dihitung. Disamping perebutan kekuasaan diantara raja-raja kecil ini, banyak pula keluarga Kaisar Tang yang berhasil menyelamatkan diri, dibantu oleh para bekas panglima dan bangsawan, berusaha untuk merebut kembali tahta Kerajaan Tang yang sudah roboh itu. Seorang pangeran Tang secara diam-diam menghimpun kekuatan dan berhasil menarik tenaga-tenaga ahli, diantaranya bahkan telah mendapat bantuan dari bekas Raja Muda Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang sudah menjadi seorang kakek lumpuh yang sakti dan berjuluk Kong Lo Sengjin, dapat pula menarik bantuan Gubernur Li Ko Yung yang dibantu oleh Jenderal Muda Kam Si Ek,
Dan masih banyak pula orang-orang gagah yang menganggap bahwa memang Pangeran Tang itu tepat untuk mendirikan kembali Kerajaan Tang setelah berhasil merampas tahta kerajaan dari Pemerintah Liang Muda. Setelah mengalami perang hebat, yang merupakan perang saudara, maka berhasillah Pangeran Tang itu merobohkan Kerajaan Liang Muda, menghajar habis bala tentaranya dan merampas kota raja Lok-yang. Hal ini terjadi pada tahun 923 sehingga kerajaan Liang Muda itu hanya tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan pertama dari jaman Lima Dinasti, berumur hanya tujuh belas tahun saja (907-923). Kini pemerintahan dikuasai lagi oleh keluarga Kerajaan Tang, dimulai pada tahun 923 itu dan diberi nama Kerajaan Tang Muda.
Akan tetapi ternyata tidaklah seperti Kerajaan Tang yang telah roboh, Kerajaan Tang Muda ini, karena masih terus-menerus timbul rebutan kekuasaan diantara "orang dalam", juga ancaman serangan dari raja-raja kecil masih terus mengepung Kerajaan Tang Muda. Gubernur Li yang berjasa dalam perjuangan ini, ternyata tidak diberi kenaikan pangkat, tidak ditarik ke kota raja untuk dijadikan menteri, melainkan oleh Raja Tang Muda ditetapkan menjadi Gubernur di Shan-si seperti biasa dan hanya diberi pengampunan atas dosa-dosanya karena dahulu pernah ikut memberontak kepada raja terakhir Dinasti Tang! Gubernur ini tidak berani membantah secara berterang, namun didalam hatinya timbul dendam terhadap Kerajaan Tang Muda. Adapun Kam Si Ek yang tenaganya amat dihargai dan terutama sekali masih amat dibutuhkan oleh kerajaan baru ini, Jenderal Kam Si Ek tetap tinggal di Shan-si.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan sementara terjadi pergantian kekuasaan itu, pernikahan antara Kam Si Ek dan Liu Lu Sian sudah berjalan tujuh tahun dan mereka mempunyai seorang putera berusia enam tahun. Anak ini bernama Kam Bu Song, seorang anak yang sinar matanya tajam membayangkan kecerdasan, wajahnya toapan (lebar dan terang), dan mempunyai tulang dan otot yang kuat, menjadi bahan baik untuk menjadi ilmu silat. Akan tetapi, Kam Si Ek lebih suka menggembleng puteranya itu dengan ilmu surat lebih dulu, maka sejak berusia lima tahun, Kam Bu Song sudah pandai membaca ribuan huruf. Suami isteri ini pada tahun-tahun pertama hidup penuh kebahagiaan, berenang dalam madu cinta kasih. Akan tetapi, seperti yang telah dikhawatirkan oleh Pat-jiu Sin-ong, perbedaan watak mereka mulai terasa setelah lewat beberapa tahun.
Dalam soal pendidikan terhadap Bu Song saja, mereka sudah berbeda pendapat dan hal ini sudah menjadi bahan percekcokan. Liu Lu Sian menghendaki puteranya menjadi ahli silat yang kelak akan menjagoi kolong langit, sebaliknya Kam Si Ek berpendapat lain, tidak menyukai puteranya menjadi seorang petualang dunia kang-ouw. Soal-soal lain yang jelas memperlihatkan perbedaan paham dan kesenangan segera susul-menyusul memperlihatkan diri. Kalau tadinya perbedaan-perbedaan itu masih terselimut cinta kasih mereka yang mesra, lambat laun perbedaan ini terlihat mencolok dan mulai mengganggu perasaan.
Lu sian beberapa kali menyatakan keinginannya merantau, malah mengajak suaminya meninggalkan tugas untuk setahun dua tahun agar mereka dapat mengajak putera mereka merantau dan menambah pengalaman didunia kang-ouw. Tentu saja Kam Si Ek menolak ajakan ini. Lu Sian menyatakan bahwa ia ingin sekali memperdalam ilmu kepandaiannya agar kelak dapat diturunkan kepada puteranya atau setidaknya, kelak takkan dapat terhina lagi oleh orang-orang sakti seperti pernah mereka derita ketika mereka bentrok melawan orang-orang sakti, akan tetapi Kam Si Ek menjawab bahwa bukanlah ilmu silat yang dapat melindungi kita, melainkan watak yang baik!
Demikianlah, percekcokan-percekcokan kecil timbul, disusul dengan percekcokan-percekcokan besar, Kam Si Ek yang berwatak keras dan jujur tidak mau mengalah, dan akhirnya tak dapat dicegah lagi rumah tangga yang tadinya penuh kebahagiaan itu menjadi berantakan! Pada suatu pagi yang cerah, kegelapan meliputi rumah Panglima Kam Si Ek, karena isterinya tidak berada di dalam kamarnya. Liu Lu Sian berjiwa petualang! Hanya sehelai kertas ditinggalkan berikut beberapa huruf tulisannya.
Kam Si Ek,
Kita berpisah untuk selamanya. Kau boleh menikah lagi dengan seorang yang kau anggap cocok dengan keadaanmu. Aku titip Bu Song, kelak kalau aku sudah berhasil, akan kujemput dia.
Liu Lu Sian
Kam Si Ek menjadi pucat mukanya ketika ia menjatuhkan diri diatas kursi dalam kamar mandi memegang surat itu dengan tangan gemetar. Ia tahu bahwa ia telah salah pilih dalam perjodohan, bahwa watak isterinya itu sama sekali berbeda dengan wataknya, berbeda watak berbeda paham, namun sebagai seorang laki-laki ia menerima penderitaan daripada kesalahan ini dengan hati tabah. Betapapun juga, ia mencinta isterinya itu dan sekarang, melihat kenyataan pahit bahwa isterinya meninggalkannya, hatinya menjadi kosong dan perasaannya perih. Terbayang percekcokan mereka malam tadi ketika Lu Sian untuk kesekian kalinya membujuknya untuk meletakkan jabatan dan meletakkan jabatan dan melakukan perantauan.
"Si Ek!"
Demikian isterinya berkata marah, isterinya itu sejak menikah menyebut namanya begitu saja.
"Kau sendiri bilang bahwa Kerajaan Tang Muda ini tidaklah sama dengan Kerajaan Tang yang telah roboh, bahwa kerajaan ini menjadi sarang koruptor dan medan perebutan kekuasaan. Apalagi rajanya mengandalkan bimbingan seorang kejam dan jahat seperti Kong Lo Sengjin, mengapa kau masih mau diperkuda oleh pemerintah macam itu?"
"Lu Sian, isteriku, jangan kau salah mengerti. Aku sama sekali bukan menghambakan diriku kepada orang-orang tertentu, melainkan kepada negara dan bangsaku. Itulah sebabnya mengapa aku bisa mengatakan bahwa Kerajaan Tang Muda ini tetap bukan pemerintahan yang baik, dan sesungguhnya aku sama sekali tidak ikut-ikut dengan kelaliman mereka, aku bertugas menjaga keamanan diperbatasan barat untuk menghalau musuh dari luar yang hendak mengganggu wilayah kita, bertugas mengamankan keadaan daerah ini dari gangguan orang-orang jahat."
"Apa bedanya?"
Lu Sian panas dan mukanya merah menambah kecantikannya.
"Kau kurung dirimu dengan tugas, dan kau kurung diriku pula dengan kekukuhanmu, Si Ek, kenapa kau tidak mau menerima permintaanku? Ah, kiranya cintamu terhadapku sudah mulai luntur!"
Lu Sian bersungut-sungut, akan tetapi tidak seperti kebiasaan kaum wanita kalau bertengkar, dia tidak menangis.
"Lu Sian, mengapa kau selalu berpemandangan sempit terhadap hubungan suami isteri? Ketahuilah, isteriku. Cinta kasih antar suami isteri haruslah lebih masak, tidak seperti cinta kasih muda-mudi yang belum terikat oleh pernikahan. Cinta muda-mudi masih mentah, hanya terdorong rasa saling suka dan mabuk oleh daya tarik masing-masing. Akan tetapi, cinta kasih suami istri lebih mendalam, lebih matang dan libat-melibat dengan kewajiban, saling berkorban dan mengurangi pementingan diri sendiri. Sekarang ini, aku menjalankan kewajibanku sebagai suami dan ayah, juga sebagai seorang patriot, kau tingal disisiku melaksanakan kewajiban sebagai isteri dan ibu, apalagi kekurangannya? Kalau kau ajak aku dan anak kita pergi merantau, bukankah itu berarti kita sama-sama melarikan diri dari pada kewajiban? Bagaimana pula dengan pendidikan Bu Song? Kau tahu sendiri, anak kita itu maju sekali dalam ilmu surat."
Lu Sian menggebrak meja dengan tangannya sehingga ujung meja tebal itu menjadi somplak! "Cukup! Bosan aku mendengar kuliahmu! Kalau aku tahu bahwa cintamu terhadapku hanya untuk membuat aku terikat kewajiban-kewajiban, tak sudi aku!"
Sambil berkata demikian Lu Sian lari memasuki kamar dan membanting pintu keras-keras. Kam Si Ek berdiri tercengang dan terpaku memandang meja, berulang kali menarik napas panjang, kemudian ia pun memasuki kamar lain karena tidak mau membuat isterinya makin marah. Ia tahu bahwa kalau sedang marah begitu, isterinya sama sekali tidak suka didekatinya. Didalam kamar, Kam Si Ek duduk termenung sampai akhirnya ia tertidur dengan duduk, mukanya disembunyikan diatas kedua lengan. Dan pada pagi harinya, baru ia tahu bahwa isterinya telah pergi meninggalkannya, meninggalkan putera mereka, dan ia yang sudah mengenal baik watak isterinya, tahu pula bahwa percuma saja kalau ia mengejar, percuma pula kalau ia menanti.
Isterinya tidak akan mau kembali, karena watak isterinya itu, sekali mengeluarkan kata-kata, akan dipegangnya sampai mati! Baru tujuh tahun mereka menikah. Ia baru berusia dua puluh sembilan tahun. Lu Sian baru berusia dua puluh lima! Mereka berdua masih muda dan harus sudah berpisah. Kam Si Ek merasa betapa berat derita hidup yang dialaminya. Apalagi kalau Bu Song, puteranya yang baru berusia enam tahun itu bertanya tentang ibunya, serasa dicabik-cabik hatinya. Puteranya itu cerdik sekali dan agaknya puteranya yang berusia enam tahun itu sudah dapat menduga apa yang terjadi antara ayah dan bundanya.
"Apakah ibu nakal dan ayah mengusirnya? Apakah kesalahan ibu?"
Berkali-kali Bu Song bertanya, dan selalu Kam Si Ek menjawab bahwa ibunya sedang pergi ke selatan, menengok kakeknya yang sedang menjadi ketua Beng-kauw di Nan-cao. Bu Song tidak menangis, hanya menyatakan heran dan tidak percaya mengapa ibunya pergi begitu saja tanpa pamit kepadanya, pergi tidak mengajak ayahnya ataupun dia. Ketika anak itu mendesak-desaknya, Kam Si Ek yang sedang pusing dan duka itu, membentaknya dengan keras dan sejak itu Bu Song tidak mau bertanya lagi tentang ibunya, akan tetapi diam-diam anak ini hatinya penuh pertanyaan dan menduga-duga siapa yang bersalah antara ayah dan ibunya.
Ia sudah terlalu sering mendengar ayah dan ibunya bercekcok, ia tahu bahwa mereka bertengkar akan tetapi tidak tahu apa urusannya dan tidak tahu pula siapakah sebetulnya yang salah diantara mereka. Hidup seakan-akan hukuman bagi Kam Si Ek semenjak isterinya pergi meninggalkannya. Setelah Lu Sian pergi, barulah ia merasa betapa sunyi rasanya dan betapa tiada kegembiraan sama sekali dalam hidupnya. Kalau keadaan Kerajaan Tang Muda tidak seburuk itu, agaknya ia akan mendapat hiburan dengan pekerjaannya. Akan tetapi keadaan Kerajaan Tang Muda ini benar-benar seperti yang digambarkan Lu Sian dalam pertengkaran mereka. Memang betul bahwa Kerajaan Liang yang meerobohkan Dinasti Tang itu dapat dihancurkan dan dapat pula didirikan Kerajaan Tang Muda dengan pimpinan para keturunan keluarga Raja Tang, namun keadaannya sudah amat buruk dan rusak.
Pimpinan muda itu hanya sekelompok orang-orang yang mengumbar nafsu, orang-orang yang mengejar kesenangan belaka, mengejar kedudukan dan kemuliaan. Orang-orang yang tadinya menjadi pejuang gagah berani, setelah memperoleh kedudukan dan kemuliaan, menjadi lupa sama sekali akan tujuan perjuangan mereka. Setiap orang pejuang tadinya bercita-cita menghalau penindas, menghalau kelaliman demi kesejahteraan rakyat jelata, demi nusa dan bangsa. Akan tetapi, begitu para pejuang ini merasai kenikmatan daripada kedudukan dan kemuliaan, maboklah mereka dan lupalah mereka akan cita-cita luhur itu. Masa bodoh rakyat yang melarat tertindas. Masa bodoh orang lain. Aku yang berjuang mati-matian. Aku yang bertaruh nyawa. Aku pula yang harus senang.
Mengapa memikirkan orang lain? Begitulah kira-kira bantahan dan sanggahan mereka apabila sewaktu-waktu suara hati pejuang menuntut mereka di dalam hati sanubari. Namun, tiada yang kekal di dunia ini. Kesenangan tidak. Kedudukan pun tidak. Semua pasti berakhir, kesenangan dan kesusahan silih berganti mengisi hidup. Semua serba berputar. Selama manusia mengenal suka, tentu ia akan bertemu dengan duka. Siapa yang mengabdi kepada duka, pasti sekali waktu akan diperbudak suka. Inilah hukum timbal balik yang tak terbantahkan lagi. Im Yang! Titik kedua ujung poros yang memutar segala sesuatu di alam mayapada ini.
Tiga tahun semenjak Lu Sian meninggalkan Kam Si Ek tanpa pernah ada berita, maka Kam Si Ek mengalami pernikahannya yang kedua. Gadis pilihannya kali ini adalah puteri seorang siucai (gelar sastrawan), bernama Ciu Bwee Hwa. Tidak secantik Liu Lu Sian tentu saja karena puteri Beng-kauwcu itu memang memiliki kecantikan yang sukar dicari keduanya, akan tetapi Ciu Bwee Hwa terdidik sebagai seorang wanita yang halus perangainya, bersusila dan berkebudayaan tinggi. Yang mendesak Kam Si Ek adalah sucinya sendiri, yaitu Lai Kui Lan yang sekarang telah menjadi nikouw (pendeta wanita) di Kelenteng Kwan-im-bio, dan berjuluk Kui Lan Nikouw.
Seperti telah diceritakan dibagian depan, Lai Kui Lan ini pun menjadi korban asmara. Ia jatuh hati kepada Kwee Seng, kemudian patah hati melihat Kwee Seng terjungkal di dalam jurang yang pasti akan membawa maut bagi pendekar itu. Inilah sebabnya mengapa Lai Kui Lan kini menjadi seorang nikouw, setelah ia tertarik oleh ajaran dan ceramah para pendeta wanita yang sering dikunjunginya. Kui Lan Nikouw yang menyaksikan kehancuran rumah tangga sutenya, menjadi ikut berduka. Maka dari itu, dialah yang mendesak kepada Kam Si Ek untuk menikah lagi, karena hal ini selain perlu bagi Kam Si Ek sendiri, juga amat perlu bagi Bu Song. Anak itu tentu saja memerlukan kasih sayang seorang ibu, dan karena ibunya sendiri sudah pergi meninggalkannya, sebaiknya dicarikan pengganti seorang ibu yang baik budi. Dan pilihan mereka jatuh kepada Ciu Bwee Hwa, puteri tunggal sastrawan Ciu Kwan yang hidup menduda di dusun Ting-chun dikaki Gunung Cin-ling-san di lembah sungai Han.
Upacara pernikahan antara Kam Si Ek dengan Ciu Bwee Hwa, dilangsungkan secara sederhana sekali. Namun karena Kam Si Ek adalah seorang jenderal muda yang terkenal dan disegani, maka tetap saja menjadi meriah dengan datangnya para pembesar dan orang-orang ternama. Akan tetapi, setelah perayaan pesta pernikahan itu selesai, muncullah peristiwa-peristiwa yang membuat hati Kam Si Ek lebih menderita lagi. Tepat pada malam pernikahannya, ketika para tamu sudah pulang, diwaktu malam sunyi dan kedua mempelai sudah memasuki kamar pengantin, tiba-tiba jendela kamar itu diketuk orang dari luar dan ada suara membentak,
"Kam Si Ek, kalau kau benar laki-laki, keluarlah!"
Mendengar suara ini, Ciu Bwee Hwa menjadi pucat dan mempelai wanita ini memegang lengan suaminya sambil berkata, suaranya gemetar,
"Harap jangan layani orang itu...!"
Tentu saja Kam Si Ek menjadi curiga. Sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa, mana mungkin ia tidak melayani orang yang menantangnya seperti itu? Ia memandang tajam wajah isterinya, lalu bertanya,
"Mengapa? Siapa dia?"
Dalam suaranya jelas terkandung kecurigaan dan penasaran. Tiba-tiba Ciu Bwee menangis sedih. Lalu terisak-isak berkata,
"Dia... dia... itu Giam Sui Lok, orang sekampung denganku. Dia... seorang jago silat muda di kampung kami... dan dia pernah melamarku akan tetapi ... ditolak oleh ayah. Biarpun dia seorang pendekar yang terkenal baik, namun ayah tidak suka... karena dia buta huruf. Ah, dia telah bersumpah hendak menjadi suamiku, harap kau suka menaruh kasihan... dan jangan melayaninya..."
Kam Si Ek mengerutkan keningnya.
"Mana ada aturan begini? biarpun disebut pendekar oleh isterinya, jelas bahwa pemuda itu seorang yang tidak tahu aturan. Setelah ditolak lamarannya, bagaimana berani bersumpah hendak memusuhi siapapun yang menjadi suami Bee Hwa? Dan kalau dia tidak mau melayaninya, bukankah ia akan disangka pengecut dan penakut? Kau bilanglah terus terang, apakah sebabnya kau melarangku melayaninya? Apakah kau suka kepadanya?"
Bwee Hwa masih menangis ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut didepan suaminya.
"Bagaima kau bisa bilang begitu? Ahh..., bukankah aku sudah menjadi isterimu? Jiwa ragaku kuserahkan kepadamu, bagaimana pikiranku dapat mengingat laki-laki lain? Suamiku, aku memohon kau tidak melayaninya, karena aku tidak ingin kalian bertempur, kemudian seorang diantara kalian terluka atau terbunuh. Kau suamiku, tentu saja aku berpihak kepadamu... akan tetapi, dia terkenal sebagai seorang yang gagah dan baik di kampung kami, dia bukan orang jahat..."
Kam Si Ek mengangkat bangun isterinya dan memeluknya.
"Jangan kau kuatir, aku akan menasihatinya, kalau tidak terpaksa, aku takkan bertanding dengannya."
Kembali daun jendela diketuk dari luar.
"Kam Si Ek, aku Gam Sui Lok dari Cin-ling-san! Ada urusan diantara kita berdua yang harus diselesaikan sekarang juga. Apakah kau benar-benar tidak berani keluar?"
"Hemm, kautunggulah!"
Kam Si Ek lalu melepaskan isterinya, menyambar senjatanya dan membuka daun jendela, terus melompat keluar. Di pekarangan belakang rumah, tempat yang sunyi, di bawah sinar bulan purnama, ia melihat seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Sinar mata orang itu muram, akan tetapi wajahnya membayangkan kegagahan dan kejujuran. Biarpun merasa tak senang melihat orang ini begitu tidak tahu aturan, namun sedikitnya Kam Si Ek kagum akan keberanian dan kejujurannya.
"Orang she Giam, baru saja isteriku bercerita tentang dirimu. Kau seorang laki-laki, bagaimana begini tak tahu aturan dan tak tahu malu? Dia sudah menjadi isteri orang, mengapa kau masih saja mengejar-ngejar? Apakah didunia ini hanya ada dia seorang wanita? Perbuatanmu datang malam ini, benar-benar merupakan penghinaan bagiku, akan tetapi mengingat bahwa kau bertindak karena kebodohanmu, aku mau maafkan dan harap kau segera pergi dari sini, jangan memperlihatkan diri lagi. Perkara ini habis sampai disini saja."
Giam Sui Lok mengertak gigi dan berkata, suaranya lantang penuh kegeraman hati,
"Kam Si Ek, enak saja kau bicara! Semenjak kecil aku mengenal Bee Hwa, belasan tahun aku melihatnya, aku mimpikan dia, dan ayahnya menolak lamaranku karena aku seorang miskin dan bodoh! Karena itu aku sudah tak dapat hidup lagi kalau tidak dapat berjodoh dengan Ciu Bwee Hwa. Aku sudah bersumpah akan mati diujung senjata siapa yang menjadi suaminya, atau membunuh suami itu. Sekarang dia menjadi isterimu. Nah, mari kita selesaikan persoalan ini. Kau harus mati ditanganku atau aku yang akan mampus ditanganmu untuk mengakhiri penderitaan batin ini!"
Sambil berkata demikian, Giam Sui Lok mencabut goloknya! Kam Si Ek menjadi marah.
"Kau benar-benar seorang yang berwatak berandalan dan tidak menggunakan aturan."
"Tak perlu banyak cakap, pendeknya berani atau tidak kau mengakhiri urusan ini diujung senjata? Kalau tidak berani, sudahlah, sedikitnya aku tidak akan menderita lagi karena tahu bahwa ayah Bwee Hwa memilih kau bukan karena kau lebih gagah daripada aku, melainkan karena kau seorang panglima, biarpun hanya panglima pengecut."
"Tutup mulut! Lihat golokku siap menandingimu!"
Bentak Kam Si Ek yang juga sudah mencabut golok emasnya. Giam Sui Lok tertawa bergelak lalu menerjang maju dan terjadilah pertandingan hebat dan seru antara kedua orang itu. Pemuda tinggi besar bermuka hitam itu bertanding dengan nekat, goloknya menyambar-nyambar dengan amat cepat dan kuat agaknya bernafsu sekali untuk segera merobohkan lawan yang amat dibencinya karena telah mengawini wanita yang menjadi idaman hatinya!
Kalau saja ilmu silatnya agak lebih tinggi tingkatnya, agaknya Kam Si Ek akan repot menghadapi terjangan penuh nafsu dan nekat ini. Akan tetapi, ternyata tingkat kepandaian Giam Sui Lok tidaklah sehebat nafsunya, dan dibandingkan dengan Kam Si Ek ia kalah jauh. Dengan tenang sekali Kam Si Ek menggerakkan golok emasnya menangkis sampai belasan jurus, kemudian setelah ia melihat kelemahan lawan dan banyaknya kesempatan terbuka karena kenekatan itu, mulailah ia menerjang dan membalas. Akan tetapi Kam Si Ek tidak berniat membunuh lawannya yang sama sekali tidak mempunyai dosa terhadapnya itu, maka setelah melihat kesempatan baik, goloknya menyerempet pangkal lengan kanan lawannya. Giam Sui Lok mengeluh, pangkal lengannya luka dan goloknya terlepas dari pegangan. Ia tidak mengerang kesakitan, menahan rasa nyeri lalu berkata,
"Kau menang. Nah, lekas bacoklah leherku, aku tidak ingin hidup lagi!"
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kam Si Ek tersenyum dan menyimpan goloknya.
"Justeru aku hendak membiarkan kau hidup, sobat! Kau masih muda dan biarlah kau hidup lebih lama untuk menyesali perbuatanmu yang lancang ini. Kelak kau akan merasa malu sendiri akan sepak terjangmu yang bodoh ini. Nah, kau pergilah!"
Giam Sui Lok memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan.
"Kam Si Ek! Aku mengaku kalah dan minta mati, akan tetapi kau membiarkan aku hidup, agaknya kau ingin lebih menyiksaku. Akan tetapi, akan datang saatnya aku kembali mencarimu dan sebelum aku mati ditanganmu atau kau mati ditanganku, aku takkan mau sudah!"
Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri ia menjemput goloknya lalu pergi menghilang dibalik gelap malam. Kam Si Ek berdiri tertegun, hatinya penuh penyesalan. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi, seorang anak kecil berusia sembilan tahun mengintai dari balik semak-semak. Anak ini adalah puteranya sendiri, Kam Bu Song!
Semenjak beberapa hari ini, Bu Song mengunci diri didalam kamarnya dan menangis saja. Malam ini ia membawa buntalan pakaian, diam-diam keluar dari kamarnya, dan terkejut menyaksikan pertempuran dipekarangan belakang. Ia bersembunyi dan mengintai, kemudian setelah ayahnya kembali kedalam rumah, ia cepat berlari keluar dan lenyap pula di tempat gelap. Dapat dibayangkan betapa duka dan bingungnya hati Kam Si Ek. Pernikahannya yang kedua itu amat cepat disusul dua peristiwa yang mengganjal hatinya. Peristiwa dengan Giam Sui Lok sudah cukup menjengkelkan, akan tetapi peristiwa kedua, larinya Kam Bu Song benar-benar membuatnya berduka dan gelisah sekali. Tentu saja ia segera menyebar orang-orangnya untuk mencari, namun hasilnya sia-sia belaka. Anak itu tidak dapat ditemukan, seakan-akan ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas. Mula-mula ia menyangka bahwa Giam Sui Lok yang melakukan penculikan, akan tetapi ketika ia menyuruh orangnya menyelidik, ternyata Giam Sui Lok kembali ke Cin-ling-san, merawat luka dan memperdalam ilmu silat, sama sekali tidak tahu-menahu tentang lenyapnya Kam Bu Song!
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng! Sengaja kita lakukan ini agar jalan cerita dapat tersusun baik, karena memang ada hubungannya antara tokoh-tokoh yang diceritakan itu. Telah kita ketahui betapa dalam keadaan linglung, Kwee Seng telah melayani cinta kasih seorang nenek-nenek di Neraka Bumi selama belasan hari ketika Arus Maut di Neraka Bumi itu meluap airnya dan cuaca menjadi gelap. Setelah cuaca menjadi terang kembali, pikirannya pun menjadi terang dan sadarlah ia bahwa ia telah mencurahkan kasih sayangnya kepada seorang nenek-nenek yang memang menghendaki ia menjadi suaminya! Bagaikan gila Kwee Seng memukuli muka dan kepalanya sendiri, kemudian ia meloncat kedalam air arus Arus Maut, menyelam dan berenang melawan arus. Bukan main kuatnya arus itu, seekor ikan pun agaknya takkan mampu berenang melawan arus itu. Akan tetapi, selama tiga tahun berdiam didalam Neraka Bumi, Kwee Seng telah memperoleh kemajuan yang luar biasa.
Berkat latihan samadhi menurut ajaran kitab samadhi, tenaga lweekangnya meningkat hebat beberapa kali lipat, sedangkan ilmu silatnya juga tanpa ia sadari telah menjadi hebat luar biasa setelah ia memahami kitab Ilmu Perbintangan. Kini, menghadapi terjangan arus yang demikian ganasnya, Kwee Seng dapat mempergunakan lweekangnya, menyelam dan berenang sepenuh tenaga sambil menahan napas. Beberapa kali ia terpukul kembali, namun dengan gigih Kwee Seng maju terus. Benturan-benturan dengan batu ketika ia dihempaskan Arus Maut, tidak terasa oleh tubuhnya yang sudah menjadi kuat dan kebal. Kadang-kadang ia muncul di permukaan air untuk mengambil napas, lalu menyelam kembali dan bergerak maju terus. Bukan main hebatnya perjuangan melawan Arus Maut ini. Perjuangan mati-matian dan ia tidak tahu bahwa andaikata tiga tahun yang lalu ia harus melakukan perjuangan macam ini, tentu ia akan tewas!
Akhirnya ia dapat keluar dari dalam terowongan dan ketika ia muncul di permukaan air, ia melihat langit menyinarkan cahaya terang benderang, membuat matanya silau karena sudah terlalu lama ia tinggal ditempat agak gelap. Biarpun sudah keluar dari terowongan Arus Maut, namun sungai yang diterjangnya ini diapit-apit dinding batu karang yang amat tinggi. Ia berenang terus dan akhirnya, sejam kemudian, ia melihat dinding yang biarpun masih amat tinggi dan curam, namun tidak selicin dinding yang telah ia lalui. Cepat ia berenang ke pinggir, menangkap celah dinding batu karang dan mengangkat tubuhnya keatas. Cepat ia bersila di bawah dinding karang, untuk memulihkan tenaganya dan pernapasannya. Akan tetapi, setelah tenaganya pulih, ia teringat akan perbuatannya dengan nenek itu dan...
Tiba-tiba Kwee Seng menangis, lalu menampari pipinya beberapa kali sampai kedua pipinya bengkak-bengkak matang biru! Sebentar kemudian ia tertawa-tawa, suara ketawanya bergema disepanjang sungai yang diapit dinding karang. Kemudian ia merayap naik melalui dinding yang tidak rata, menggunakan tangan kirinya menangkap dan menginjak celah-celah karang. Cepat sekali gerakannya, seperti seekor monyet saja dan tak sampai seperempat jam, ia telah berada dia atas tanah datar, dilembah sungai di lereng Bukit Liong-kui-san! Tak jauh disebelah depan, ia melihat puncak dimana tiga tahun yang lalu ia bertanding mati-matian melawan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, dimana ia dirobohkan secara pengecut oleh jarum-jarum beracun Bayisan.
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Tiba-tiba Kwee Seng tertawa bergelak sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar dan rambut riap-riapan karena ketika melawan arus tadi pita rambutnya hilang entah kemana, bajunya robek-robek, kedua pipinya bengkak-bengkak, akan tetapi matanya bersinar terang biarpun mulutnya tersenyum setengah mewek seperti orang mau menangis! Masih terdengar suaranya tertawa-tawa ketika tubuhnya berloncatan dengan gerakan yang luar biasa, tidak seperti manusia lagi, melainkan lebih pantas iblis penjaga gunung sedang menari-nari.
Memang patut dikasihani Kwee Seng ini. Karena tergila-gila akan kecantikan Liu Lu Sian dan kecewa melihat watak gadis yang ia cinta, ia menjadi seorang pemabok, dan kini setiap kali teringat kepada Lu Sian ia masih tertawa-tawa. Kemudian pengalamannya dengan nenek-nenek di dalam Neraka Bumi, benar-benar telah membuat rusak pikirannya, membuat ia tak kuat lagi menahan tekanan batin, membuatnya seperti gila. Kalau teringat kepada nenek-nenek itu, ia menangis. Maka sejak saat itu kembali ke dunia ramai, tawa dan tangis silih berganti dilakukan oleh pendekar muda ini! Seorang pendekar muda yang tadinya terkenal tampan dan gagah perkasa, kini berubah menjadi seorang berpakaian compang-camping yang suka tertawa dan menangis, pendeknya berubah menjadi seorang jembel gila! Dan semua ini karena asmara.
Akan tetapi, sesungguhnya Kwee Seng sama sekali tidaklah gila. Ia hanya seperti orang gila kalau teringat kepada Liu Lu Sian dan teringat pula kepada Si Nenek, karena kedua orang itu mengingatkan ia akan semua pengalaman dan perbuatannya. Kalau ia sedang sadar, Kwee Seng tetap merupakan pendekar yang gagah perkasa, yang cerdik dan berpemandangan luas. Ia tidak pernah pula melupakan Bayisan yang telah berlaku curang dan menyebabkan ia terjungkal ke dalam jurang di puncak Liong-kui-san. Ia tidak pula dapat melupakan guru Bayisan, Ban-pi Lo-cia yang telah membunuh atau lebih hebat lagi, menodai Ang-siauw-hwa sehingga wanita itu membunuh diri, tidak pula lupa kepada Liu Lu Sian yang telah menolak cintanya dan bahkan menghinanya. Demikianlah, Kwee Seng mulai dengan perantauannya. Ia tetap berpakaian seperti jembel, pakaian yang compang-camping penuh tambalan, rambutnya riap-riapan, akan tetapi tubuhnya selalu bersih terpelihara!
Didalam perantauannya bertahun-tahun ini, tak pernah ia melupakan tugasnya sebagai seorang gagah, seorang pendekar yang aneh dan sakti. Namun, tetap seperti dahulu, ia melakukan perbuatannya dengan sembunyi dan semenjak ia keluar dari Neraka Bumi, muncullah didunia kang-ouw seorang tokoh aneh tak terkenal yang luar biasa, yang menggegerkan dunia kang-ouw karena banyak sekali tokoh-tokoh dunia hitam dihancurkan oleh pendekar gila ini. Akhirnya ada yang mengenalnya sebagai Kim-mo-eng dan makin terkenalah nama ini yang dahulu malah tidak begitu terkenal. Kalau dulu hanya tokoh-tokoh terbesar didunia kang-ouw saja yang mengenal Kim-mo-eng sebagai seorang pendekar muda yang berkepandaian tinggi, kini dunia kang-ouw mengenal Kim-mo-eng sebagai seorang pendekar gila, sungguhpun jarang ada orang pernah melihatnya beraksi. Dengan demikian, dalam perantauannya, orang-orang yang bertemu dengan Kwee Seng hanya mengira dia seorang jembel gila, sama sekali tidak ada yang pernah mengira bahwa dia inilah Kim-mo-eng, tokoh kang-ouw yang baru muncul dan membikin geger dunia persilatan itu!
Rasa penasaran dihatinya terhadap Bayisan membuat Kwee Seng mengarahkan perantauannya menuju ke daerah Khitan! Ia hendak meluaskan pengalaman dan sekalian mencari Bayisan atau Ban-pi Lo-cia yang keduanya masih mempunyai perhitungan dengannya. Bangsa Khitan adalah bangsa nomad (perantau) yang terkenal gagah perkasa, ulet dan pandai perang. Karena iklim dan keadaan tanah di mana mereka hidup, yaitu di daerah timur laut yang penuh gunung-gunung, gurun-gurun pasir, dan salju, maka mereka dipaksa oleh keadaan untuk selalu berpindah-pindah tempat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Inilah sebabnya mengapa suku bangsa Khitan amat ulet dan berani. Dan ini pula agaknya yang menyebabkan Khitan seringkali mengadakan penyerbuan ke selatan dalam usaha mereka mencari tempat yang lebih makmur untuk bangsa mereka. Akan tetapi, berkali-kali mereka terpukul mundur oleh bala tentara kerajaan selatan sehingga akhirnya mereka tidaklah begitu berani melakukan penyerbuan secara liar, melainkan baru berani menyerbu setelah direncanakan terlebih dahulu. Karena usaha mereka yang terus menerus menyerbu ke selatan inilah maka bangsa Khitan selalu dianggap sebagai musuh besar oleh orang selatan, dari jaman dinasti manapun juga.
Pada waktu Kwee Seng melakukan perantauannya ke daerah Khitan, yang dijadikan ibu kota Khitan adalah kota Paoto di lembah Sungai Kuning, termasuk daerah Mancuria selatan. Rajanya adalah Raja Kulu-khan, seorang raja yang terkenal gagah suka perang, namun amat dicinta oleh rakyatnya karena terhadap rakyatnya ia selalu bertindak adil dan penuh perhatian. Raja Kulu-khan mempunyai belasan orang putera dan puteri, akan tetapi semua itu lahir dari para selir. Adapun permaisurinya hanya mempunyai seorang anak perempuan, yang dengan sendirinya menjadi puteri mahkota. Puteri mahkota ini bernama Puteri Tayami yang semenjak kecilnya digembleng oleh ayahnya sendiri, pandai menunggang kuda, pandai bermain panah dan pandai pula mainkan tombak dan pedang. Selain ini, ia pun seorang puteri yang amat cantik jelita, menjadi kenangan dan kembang mimpi semua pemuda Khitan.
Namun, tak seorang pun diantara para pemuda berani main-main dengan puteri Tayami, bukan saja karena Tayami adalah Puteri Mahkota, akan tetapi terutama karena mereka gentar menghadapi kegagahan puteri ini. Kalau Tayami sudah ikut maju perang dengan pedang pusaka ditangan, yaitu Pedang Besi Kuning, dengan gendewa dan anak panah menghias bahu, menyengkelit tombak, bukan main hebatnya puteri ini. Entah sudah berapa banyak tentara musuh yang roboh oleh anak panahnya, pedangnya, maupun tombaknya. Khitan memiliki pula banyak panglima-panglima perang yang berilmu tinggi diantaranya adalah Panglima Tua Kalisani dan Panglima Muda Bayisan. Hanya dua orang ini yang paling hebat kepandaiannya diantara semua panglima yang juga memiliki keistimewaan masing-masing.
Tangan Geledek Eps 22 Bu Kek Siansu Eps 12 Bu Kek Siansu Eps 19