Ceritasilat Novel Online

Suling Emas 29


Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 29



Dua pukulan yang dahsyat itu tepat mengenai sasarannya, dikedua pundak dekat leher kakek tua renta. Akan tetapi kakek itu masih tetap enak-enak duduk mainkan yang-khim sedangkan Lu Sian terhuyung-huyung kebelakang seperti orang mabok. Kedua tangannya tadi jelas mengenai sasaran, akan tetapi semua tenaganya seperti disedot ke dalam samudra yang tak berdasar, membuat ia kehilangan keseimbangan, bahkan akibatnya ia merasa dirinya kosong sama sekali! ia bengong memandang kakek itu yang jelas mulai tampak terkena akibat pukulannya. Kulit kakek itu dari pundak terus sampai keleher dan mukanya berubah hitam sekali, penuh hawa beracun dari pukulannya tadi. Akan tetapi mulut itu masih tersenyum dan kini sepasang mata yang bening seperti mata kanak-kanak memandangnya penuh perasaan iba! Kemudian terdengarlah nyanyian kakek itu diiringi suara yang-khim.

   Kejahatan yang dilakukan terhadap seorang tak berdosa
akan berbalik menimpa si dungu yang melakukannya,
bagaikan menebarkan debu melawan arah angin
yang akan menimpa dirinya sendiri!

   Lu Sian masih berdiri bengong memandang kakek itu dan mengira bahwa sebentar lagi kakek itu tentu akan roboh dan tewas akibat hawa pukulannya. Akan tetapi anehnya, kakek itu masih tersenyum dan warna menghitam itu bahkan perlahan-lahan lenyap dari kulit muka dan lehernya. Bagaikan dalam mimpi Lu Sian jatuh terduduk dan mendengarkan nyanyian wejangan kakek itu yang serasa meremas-remas jantungnya.

   Engkau bagaikan setangkai daun yang mengering layu
urusan kematian telah mendekatimu.
Engkau berdiri diambang pintu kematian
apakah persiapanmu untuk bekal diperjalanan!
Buatlah pulau perlindungan bagimu,
berjuanglah segera penuh bijaksana.
Apabila engkau bersih dari noda dan bebas dari dosa
engkau akan mencapai sorga, alam para Ariya!
Berapa lama hidup ini?
Tanpa terasa engkau sudah menghampiri Raja Kematian.
Tiada akan ada tempat untuk istirahat diperjalanan
dan engkau belum menyiapkan suatu perbekalan!

   Suara itu merayu dan seperti menghimpit perasaan Lu Sian. Tidak kuat ia menahan lebih lama lagi, maka sambil berlutut didepan kakek itu ia berteriak.

   "Orang tua... aku mengaku kalah. Kau bunuhlah aku, tak perlu menyiksaku dengan kata-kata....!"

   Lu Sian lalu menangis tersedu-sedu. Nyanyian kakek itu seakan-akan mendengungkan semua teguran dan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi dan karenanya membuat hatinya makin hancur. Teringatlah ia akan kesesatan hidupnya dan sadarlah ia betapa rindu ia akan kehidupan yang wajar dari manusia biasa dalam sebuah keluarga bahagia, selama ini. Suara yang-khim terhenti. Dengan gerakan tenang kakek itu menyandangkan alat musiknya di pundak lalu berkata,

   "Terasa tersiksa karena sadar akan dosa-dosanya adalah baik. Yang sudah lalu sudahlah, biarlah perbuatan jahat tidak diulangi lagi. Biasakan diri tidak menyenangi perbuatan jahat. Penderitaan dalam hidup adalah buah daripada perbuatan jahat yang menjadi pohon tanaman kita sendiri. Orang yang bersengsara, bukankah engkau yang disebut Tok-siauw-kwi? Tiada permusuhan diantara kita, mengapa kau datang-datang menyerangku dan kini minta kubunuh?"

   Lu Sian mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak kuat ia menentang pandang mata kakek itu lama-lama, maka ia menunduk lagi dan tetap berlutut,

   "Semua orang didunia kang-ouw memusuhiku, mengapa kau tidak? Sudahlah, tak perlu bermain-main denganku, orang tua. Kau terlalu sakti bagiku, aku mengaku kalah. Lekas kau turunkan tangan maut menghabisi riwayatku, aku pun sudah bosan hidup!"

   Akan tetapi kakek itu tertawa perlahan.

   "Mengatasi kemarahan dengan kesabaran, mengatasi kebencian dengan kasih sayang, mengatasi kesombongan dengan kerendahan hati, mengatasi kebohongan dengan kebenaran, mengatasi kejahatan dengan kebajikan. Ah, Tok-siauw-kwi, penyesalan menyesak dadamu, itu tandanya kesadaran sudah mulai muncul. Tumpahkanlah penyesalanmu dalam pengakuan agar tidak menyesak dada dan menjadi lapang untuk kau bertobat."

   Kini Lu Sian memandang penuh perhatian kepada kakek itu dan naiklah sedu sedan dikerongkongannya ketika timbul dugaan hatinya.

   "Kau... kau... Bu Kek Siansu...?"

   Kakek itu tersenyum dan mengangguk.

   "Kau tahu bahwa aku bukan musuhmu, bukan musuh siapapun juga. Anak baik, bersediakah kau kembali ke jalan terang?"

   Suara ini demikian tenang dan penuh rasa kasih sayang, seakan-akan suara seorang ayah sendiri yang penuh perasaan iba, Lu Sian menjadi terharu lalu menubruk kaki orang tua itu dan menangis. Kemudian berceritalah Lu Sian, menceritakan semua pengalamannya yang membuat ia dimusuhi semua orang kang-ouw, semua perbuatannya dalam mengabdi kepada nafsu-nafsunya.

   Tanpa malu-malu dan secara terang-terangan ia bukakan semua isi hatinya kepada kakek ini. Ia bercerita tentang Kwee Seng, tentang Tan Hui, dan tentang partai-partai persilatan besar yang pernah ia datangi. Ia mengaku telah mencuri kitab-kitab di Siauw-lim-pai, di Go-bi-pai, mencuri pedang di Hoa-san-pai. Lu Sian bercerita penuh perasaan sesal sambil menangis dan pada akhir ceritanya ia muntah darah dan roboh pingsan didepan kaki Bu Kek Siansu yang mendengarkan penuh kesabaran dan pengertian. Kemudian Lu Sian merasa seakan-akan ia dituntun ketempat terang, keluar dari tempat yang amat gelap. Dalam keadaan seperti mimpi ia merasa seperti terbang diantara awan yang menyelubunginya, dan terngianglah ditelinganya suara Bu Kek Siansu yang tenang dan sabar.

   "Jauhi segala permusuhan. Jangan layani mereka yang memusuhimu. Bertobat berarti menghentikan semua perbuatan yang keliru. Kampung halaman merupakan tempat yang paling aman."

   Ketika Lu Sian sadar kembali, ia mendapatkan dirinya ditempat tadi, akan tetapi Bu Kek Siansu sudah tidak ada disitu. Hanya suara kakek itu masih terus bergema ditelinganya. Teringat akan ayahnya, akan Beng-kauw dan kota raja Nan-cao, teringat ketika ia masih kecil ikut ayahnya merantau. Terbayanglah ia akan istana dibawah tanah yang menjadi tempat rahasia Beng-kauw. Tempat itukah yang disindirkan oleh Bu Kek Siansu dalam nasihatnya? Lu Sian bangkit berdiri, tubuhnya terasa lemah dan dengan terhuyung-huyung wanita yang selama bertahun-tahun ini menimbulkan banyak geger di dunia kang-ouw, kini pergi dengan hati perih dan pikiran hampa.

   "Kek, apa maksudmu dengan jatuh keatas?"

   "Mereka itu orang-orang yang telah naik menempati kedudukan, akan tetapi makin tinggi kedudukan mereka, makin jahatlah sepak terjang mereka. Yang kuat mempergunakan kekuatannya untuk menindas yang lemah. Yang pintar mempergunakan kepintarannya untuk menipu yang bodoh. Yang bodoh dan lemah memang jatuh kebawah akan tetapi yang kuat dan pintar itu bukankah berarti jatuh keatas? Ada dua macam kejahatan, akan tetapi secelaka-celakanya jatuh kebawah, lebih sialan lagi yang jatuh keatas, ha-ha-ha!"

   Bu Song sejak kecil dijejali filsafat, maka ia dapat menangkap arti kata-kata sulit kakek itu.

   "Kek, jadi menurut keyakinanmu, tidak perlu kita menempuh ujian dan menduduki pangkat?"

   "Kalau kau ikut-ikut jatuh keatas...."

   "Kau keliru sama sekali, Kek. Kalau semua orang terpelajar seperti engkau ini pendiriannya, hanya mengeluh dan menangis, menyanyikan sajak-sajak kosong, meratapi nasib rakyat dan memaki-maki kelaliman para pembesar, apakah akan jadinya? Keadaan takkan berubah baik, bahkan makin memburuk. Kita harus bergerak. Kita harus bekerja dan berusaha memberantas semua yang buruk, mempergunakan kekuasaan dan kebisaan kita masing-masing! Bahkan dengan kepandaian kita, kita harus dapat menempati kedudukan yang memungkinkan kita menggunakan kekuasaan kita merubah segala hal yang tidak patut. Kek, apakah artinya menghafal sepuluh ribu ujar-ujar baik tanpa melakukannya dalam hidup? Lebih baik mengetahui satu saja akan tetapi betul-betul dijalankan dalam hidup."

   Tiba-tiba kakek itu memandang dengan mata terbelalak. Maboknya seperti hilang seketika dan ia memegang pundak Bu Song sambil bertanya,

   "Kau... kau siapa...?"

   "Sudah kukatakan tadi, Kek, namaku Liu Bu Song."

   Pemuda ini tidak mau menggunakan she ayahnya, karena nama Kam Si Ek terlampau terkenal di kota raja, maka ia sengaja menggunakan she ibunya.

   "Kau... lain daripada yang lain. Kau masih muda, semangatmu besar. Kau... murid siapakah?"

   "Guruku yang terhormat, yang memberi bimbingan kepada saya sejak kecil adalah Kim-mo Taisu."

   "Ahhh...! Kiranya dia gurumu! Kalau begitu pantas saja kau bicara besar, kiranya kau seorang ahli silat pula yang dapat mengandalkan kepandaian kasar itu utuk mencari kedudukan!"

   "Harap kau orang tua jangan salah duga. Suhu hanya mengajarkan ilmu sastera kepadaku, sama sekali aku tidak pernah mempelajari ilmu silat. Aku benci ilmu itu yang hanya dipergunakan untuk saling bunuh."

   Sejenak kakek itu memandang penuh keheranan, kemudian ia merangkul pundak Bu Song.

   "Bagus! Kalau begitu kaulah orangnya yang patut mewarisi suling emas!"

   "Apa, Kek? Apa maksudmu?"

   "Orang muda, pernahkah kau mendengar nama sastrawan Ciu Bun?"

   Bu Song menggeleng kepala.

   "Kalau nama kakakku Ciu Bun yang amat terkenal saja kau tidak pernah dengar apalagi namaku. Aku adalah Ciu Gwan Liong, adiknya. Akan tetapi biarpun nama kami berdua kau tak pernah dengar, tentu kau sudah mendengar nama besar Bu Kek Siansu."

   Bu Song mengangguk.

   "Aku pernah mendengar Suhu menyebut-nyebut nama kakek sakti itu."

   "Tentu saja. Gurumu mana bisa menjadi begitu lihai kalau tidak bertemu dengan Bu Kek Siansu? Ketika itu di puncak Thai-san, secara kebetulan gurumu dan kami berdua menerima anugerah dari Bu Kek Siansu. Gurumu menerima petunjuk ilmu silat, sedangkan kami orang-orang sastrawan yang lemah, menerima kitab sajak ini dan suling emas. Kitabnya diberikan kepadaku ini dan suling emasnya berada ditangan kakakku Ciu Bun. Akan tetapi terpaksa kami berdua pisah. Kerajaan jatuh bangun, para sastrawan tidak mendapat penghargaan sama sekali. Selain itu juga ternyata suling emas dan kitab ini tidak hanya berguna bagi para sastrawan menghibur diri dan menenangkan hati, malah dijadikan perebutan para tokoh kang-ouw! Kami dikejar-kejar terutama sekali kakakku sehingga terpaksa kakak Ciu bun melarikan diri dan bersembunyi dipulau kosong di Lam-hai. Kami berdua sudah bersepakat untuk mempertahan kan kitab dan suling, dan telah bersepakat pula kelak memberikan kepada orang yang kami pandang tepat. Nah, pilihanku jatuh kepadamu, orang muda. Tidak salah lagi, apalagi engkau murid Kim-mo Taisu. Ah, Thian agaknya sengaja mengirim kau kesini untuk membebaskan aku daripada tugas menyimpan kitab ini. Kau simpanlah kitab ini baik-baik, dan kelak, kau carilah kakakku di Pek-coa-to di Lam-hai, kau perlihatkan kitab ini tentu suling emasnya akan diberikan kepadamu. Kau minta petunjuk dari padanya, kedua benda pusaka itu kelak amat berguna bagimu. Lekas simpanlah...!"

   Kakek itu memasukkan kitab kecil ditangan cepat-cepat kedalam saku baju Bu Song sebelah dalam.

   "Lindungi kitab ini dengan taruhan nyawamu...!"

   Tergesa-gesa kakek itu memberi pesan ini dan tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Kiranya tujuh orang berkuda tadi sudah kembali lagi dan kini mereka meloncat turun dari atas kuda, lalu langsung menghampiri sastrawan tua Ciu Gwan Liong dan Bu Song. Sastrawan itu masih duduk bersila akan tetapi Bu Song sudah bangkit berdiri melihat tujuh orang itu datang dengan sikap mengancam. Si Komandan bermuka hitam lalu langsung menyerbu Ciu Gwan Liong dan menangkap leher bajunya, ditariknya keatas dengan amat mudah sehingga tubuh kakek sastrawan itu tergantung.

   "Ah, kiranya kau tua bangka pengemis inilah sastrawan Ciu Gwan Liong! Hayo mengakulah, bukankah kau Ciu Gwan Liong?"

   "Aku benar she Ciu bernama Gwan Liong,"

   Jawab kakek itu dengan suara angkuh biarpun keadannya amat terhina seperti itu.

   "Kalian ini anjing-anjing peliharaan yang hanya mengandalkan sisa makanan pembesar negeri, mengapa bersikap begini kasar dan tidak sopan terhadap orang tak bersalah?"

   "Wah, mulut besar! Hayo ikut kami menghadap Taijin!"

   Si Muka Hitam lalu melemparkan tubuh kakek itu kepada anak buahnya yang menerima tubuh kakek itu sambil tertawa-tawa. Dilain saat tubuh kakek itu sudah direbahkan tertelungkup melintang diatas punggung kuda seperti segulung tikar.

   "Mana ada aturan begini?"

   Bu Song melangkah maju menegur Si Muka Hitam.

   "Dengan alasan apakah kalian menangkap orang secara sewenang-wenang?"

   "Hushh! Kau pemuda tolol jangan ikut campur! Tidak tahu bahwa kami adalah alat negara?"

   Bentak Si Muka Hitam marah sekali. Bu Song sama sekali tidak takut, ia malah melangkah maju dan berkata dengan suara keras,

   "Justeru karena kalian alat negara seharusnya menggunakan peraturan dan hukum kesopanan! Bukankah negara itu diatur dengan hukum dan alat-alat negara adalah penegak hukum? Hanya perampok saja yang menindas dan menangkap orang tanpa kesalahan dan kalian sebagai alat negara seharusnya malah memberantas tindakan seperti itu. Hayo bebaskan kakek yang tidak bersalah itu, kalau tidak, aku akan melaporkan kalian kepada pembesar negeri di kota raja, tentu kalian akan dipecat dan dihukum!"

   Sesaat Si Muka Hitam tercengang sampai melongo. Benar-benar belum pernah selama hidupnya ia melihat orang berani berkata-kata seperti itu terhadapnya. Kemudian ia tertawa bergelak dan sekali kakinya bergerak perut Bu Song sudah tersambar tendangan keras yang membuat tubuh Bu Song terpelanting dan bergulingan.

   "Ha-ha-ha, kau boleh melapor, ha-ha! Justeru yang menyuruh tangkap sastrawan ini adalah pembesar negeri, tolol!"

   Bu Song masih penasaran dan tendangan itu biarpun membuatnya jatuh terguling akan tetapi tidaklah amat nyeri, maka ia sudah cepat bangun kembali.

   "Kalau begitu pembesar negeri yang menyuruhmu itu sewenang-wenang!"

   Bentaknya pula. Si Muka Hitam tertawa dan juga penasaran. Tendangannya amat keras dan ia terkenal sebagai seorang yang kuat. Bagaimana orang muda ini masih sanggup bangun dan malah kini membuka mulut menegur pembesar negeri?

   "Kau menentang?"

   Bentaknya dan kini tangan kanannya bergerak memukul, menyambar kearah muka Bu Song. Pemuda ini melihat jelas pukulan menyambar. Ia kaget dan berusaha mengelak, akan tetapi mukanya bertemu dengan pukulan kiri yang menyusul.

   "Dessss!"

   Pukulan ini keras sekali dan membuat matanya berkunang dan pada saat itu sebuah tinju yang amat keras telah menghantam dadanya, membuat tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Tujuh orang itu tertawa-tawa, akan tetapi diam-diam Si Muka Hitam heran dan kaget sekali melihat betapa pemuda itu sudah bangun lagi dengan cepat, seakan-akan tidak merasakan pukulan-pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga itu!

   Diam-diam ia menaruh curiga dan memandang pemuda yang luar biasa kuat menahan pukulan itu yang sudah berdiri tegak lagi, kemudian ia memerintahkan anak buahnya untuk naik kuda dan membawa pergi tawanan mereka. Diam-diam ia merasa jerih juga terhadap pemuda aneh itu. Akan tetapi baru saja ketujuh orang itu meloncat keatas kuda sambil tertawa-tawa, suara ketawa mereka berubah menjadi jerit-jerit mengerikan dan mereka semua termasuk Si Muka Hitam terlempar dari atas punggung kuda dan ketika Bu Song memandang, ternyata mereka bertujuh sudah putus nyawanya. Darah mengucur dari leher mereka seperti sekawanan lembu dipotong lehernya. Dua bayangan melompat keluar dari balik pohon dan mereka ini langsung menghampiri kakek sastrawan dan menolongnya turun dari atas punggung kuda. Dua orang laki-laki ini berkepala gundul, berpakaian ringkas dengan lengan pendek, usia mereka empat puluh tahun lebih dan agaknya mereka adalah sebangsa hwesio.

   "Saudara Ciu Gwan Liong harap jangan khawatir. Mari kami kawal Saudara menghadap ketua kami. Biar ada seratus anjing-anjing macam mereka tentu akan kami basmi semua."

   Ciu Gwan Liong mengangkat kedua tangan memberi hormat.

   "Kehormatan besar! Akan tetapi siapakah Ji-wi Suhu ini dan siapa pula ketua kalian? Aku tidak ada urusan dengan ketua kalian."

   "Kami dari Hui-to-pang, dan ketua kami mengundang Saudara untuk diajak berunding."

   "Ha-ha-ha, berunding?"

   Sastrawan tua itu tertawa bergelak.

   "Kalian orang-orang kang-ouw dimana-mana sama saja! Orang lemah macam aku ini mana dibutuhkan kalau tidak karena sebuah kitab kuno? Ji-wi Losuhu ketahuilah bahwa kitab yang dicari-cari itu tidak ada padaku. Aku bersumpah, kitab itu tidak ada padaku!"

   Dua orang gundul itu saling pandang, kemudian seorang diantara mereka berkata sambil tertawa dingin,

   "Kami hanya melakukan perintah membawa Saudara menghadap Pangcu (Ketua) kami."

   "Ji-wi (Tuan Berdua) adalah pendeta-pendeta yang mengutamakan kebajikan, mengapa kini menggunakan kekerasan memaksa orang untuk ikut?"

   Tiba-tiba Bu Song mendekati dan membela kakek itu.

   "Bukankah dalam kitab sucimu terdapat ujar-ujar Nabi Buddha bahwa seorang bhikku (pendeta) biarpun masih muda asal ia mentaati ajaran Sang Buddha, ia akan menerima penerangan dunia seperti bulan purnama terbebas awan? Kalau dua orang pendeta seperti Ji-wi sudah menggunakan kekerasan, membunuh orang dan memaksa kakek ini untuk ikut, bukankah itu sudah melanggar segala hukum agama kalian sendiri dan berarti memupuk dosa?"

   Dua orang hwesio itu saling pandang, muka mereka berubah merah dan sinar mata mereka menjadi bengis. Melihat pemuda yang telah diserahi kitab ini kembali mencampuri urusan secara berani mati untuk membelanya, sastrawan tua itu cepat-cepat berkata,

   "He sastrawan muda yang gila! Kau mau mengikuti ujian, pergilah dan jangan usil mencampuri urusan orang lain! Terhadap Ji-wi Losuhu ini, aku sanggup mengatasi, tidak membutuhkan bantuanmu. Hayo pergi, sikapmu memualkan perutku!"

   Bu Song terkejut dan heran. Masa kakek ini begini tak kenal budi, dibela malah balas memaki? Akan tetapi kemudian ia ingat bahwa kakek ini telah menyerahkan kitab kepadanya dan agaknya kitab itu yang kini diperebutkan, maka ia lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,

   "Orang tua, kalau begitu biarlah kita berpisah. Harap kau orang tua suka menjaga diri baik-baik."

   Kemudian ia melempar pandang penuh teguran kepada dua orang hwesio itu dan membalikan tubuhnya, melangkah hendak pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba Bu Song roboh terguling ketika sebuah tangan seorang hwesio bergerak kedepan dan menyentuh pundaknya. Bukan main kuat tangan itu sehingga tanpa dapat dicegah lagi Bu Song terpelanting.

   "Nanti dulu, orang muda. Kau pun harus ikut kami!"

   "Hei, apa-apaan ini? Ji-wi Suhu kalau mau mengajak aku mengunjungi ketua kalian boleh saja, mari kita berangkat biar aku berunding atau berdebat dengannya. Akan tetapi orang muda ini tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini. Aku tidak sudi kalau pergi bersama dia!"

   "Dia sudah melihat kami hendak pergi bersamamu, maka ia tak boleh hidup lagi. Kalau dia tidak boleh ikut, biar dia kita tinggalkan!"

   Jawab seorang hwesio dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Sebuah benda bersinar terang menyambar kearah Bu Song dan pemuda yang tanpa disadarinya sendiri telah memiliki pandang mata yang kuat dan tajam itu dapat melihat sebatang golok kecil melayang menuju kearah lehernya! Akan tetapi karena ia tidak pernah memperlajari bagaimana cara orang mengelak dari ancaman seperti itu, ia menjadi bingung dan pada saat itu, dari arah yang berlawanan, menyambar sebuah benda kecil yang dengan kecepatan kilat melayang dan membentur hui-to (golok terbang) itu.

   "Cringg!"

   Golok itu runtuh diatas tanah terpukul oleh sebuah benda yang hanya sebuah batu kerikil saja. Dua orang hwesio itu mengangkat muka dan ternyata tak jauh dari situ telah berdiri seorang kakek tua yang kedua kakinya lumpuh dan berdirinya diatas kedua tongkat yang dipegangnya. Kedua kakinya bersila. Bu Song tentu saja mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin, kakek yang menjadi paman dari ibu gurunya! Biarpun ia tidak pernah menyukai kakek ini yang ia anggap kasar, galak, aneh dan ganas, namun kini ia harus mengakui bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman golok terbang tadi.

   "Kong-lo Sengjin!"

   Seorang diantara dua hwesio itu membentak.

   "Kembali kau hendak memusuhi Hui-to-pang! Belum lama ini seorang saudara kami kau bujuk membunuh isteri Kim-mo Taisu dan kau biarkan ia tewas ditangan Kim-mo Taisu!"

   "Ha-ha, salahnya sendiri dia tidak kuat melawan Kim-mo Taisu!"

   "Kau yang mengkhianatinya, kau berjanji hendak menghadapi Kim-mo Taisu. Sekarang ternyata kau malah menarik Kim-mo Taisu menjadi sekutumu. Kau curang dan sekarang apalagi yang hendak kau lakukan kepada kami?"

   "Hwesio-hwesio tengik. Kau ini orang-orang apa berani bicara seperti itu kepadaku? Aku datang melarang kalian membunuh pemuda ini, dan tentang Ciu Gwan Liong, dia akan ikut bersamaku, bukan bersama kalian! Hayo lekas menggelinding pergi dari sini!"

   "Kong Lo Sengjin orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi kami tidak!"

   Bentakan ini disusul gerakan kedua tangan mereka dan tampaklah sinar berkelebatan.

   Kiranya banyak sekali golok terbang telah menyambar dan melayang ke arah tubuh kakek lumpuh itu bagaikan hujan. Hebat memang kepandaian yang merupakan keistimewaan tokoh-tokoh Hui-to-pang ini. Sinar terang golok-golok kecil itu sampai menyilaukan mata, mengeluarkan suara angin besar dan selain cepat melebihi anak panah terlepas dari busur, juga amat kuat karena digerakkan dengan pengerahan tenaga lwee-kang tinggi. Bu Song yang menonton dari samping merasa ngeri karena ia selain silau memandang sinar berkelebatan, juga tidak tahu bagaimana seorang manusia dapat menyelamatkan diri dari bahaya yang demikian hebatnya. Tujuh orang penunggang kuda yang lihai-lihai tadi seketika tewas, karena diserang sebuah hui-to setiap orang dan dia sendiri kalau tidak tertolong Kong Lo Sengjin, tentu telah disembilih golok terbang.

   Apalagi sekarang kakek lumpuh itu sekaligus diserang dengan hui-to yang sedemikian banyaknya. Mana mungkin menyelamatkan diri? Ia sudah membayangkan betapa kakek itu akan roboh dengan tubuh tersayat-sayat menjadi beberapa potong daging kecil-kecil! Akan tetapi kali ini serangan golok-golok terbang itu ditujukan kepada Kong Lo Sengjin, seorang kakek sakti yang berilmu tinggi. Memang kakek ini pun terkejut melihat hebatnya serangan kedua orang hwesio itu, dan maklum bahwa benda-benda terbang itu amat kuat dan berbahaya, tidak mungkin dapat ia halau dengan kedua lengan kosong belaka. Namun kakek ini segera mengayun tubuhnya dan kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu kini diputar-putar di sekeliling tubuhnya, berubah menjadi segulung sinar yang melingkar-lingkar.

   Terdengar suara trang-tring-trang-tring tiada hentinya dan amatlah indah pemandangan diwaktu itu. Sinar-sinar berkeredepan itu yang melayang kearah kakek lumpuh, kini berpencaran seperti bintang-bintang jatuh dan suara nyaring yang terdengar karena bertemunya golok-golok terbang dengan kedua tongkat seakan-akan menimbulkan semacam musik yang aneh. Akhirnya habislah puluhan batang golok yang menjadi bekal kedua orang tokoh Hui-to-pang itu. Mereka berhenti melemparkan golok terbang dan berdiri dengan mata mendelik memandang lawan. Akan tetapi kini Kong Lo Sengjin pun sudah kehilangan tongkatnya dan tampak ia duduk bersila diatas tanah. Kedua tongkat yang tadinya mewakili kedua kaki dan kemudian dipergunakan untuk menangkisi golok-golok terbang itu ternyata telah hancur menjadi beberapa potong, menggeletak didepan kakinya yang lumpuh.

   Ternyata semua golok terbang dapat ditangkis akan tetapi kakek itupun kehilangan sepasang tongkatnya yang menjadi rusak. Bu Song kaget dan mengira bahwa kakek itu terluka. Biarpun ia tidak pernah merasa suka kepada kakek itu, dan tadi hatinya berdebar keras mendengar percakapan antara mereka tentang pembunuhan yang dilakukan atas diri ibu gurunya yang ternyata merupakan persekongkolan antara kakek lumpuh itu dan orang Hui-to-pang, namun melihat kakek itu tak berdaya agaknya, ia merasa kasihan dan melangkah mendekati.

   "Locianpwe, apakah kau terluka? Sungguh tak tahu malu kedua hwesio itu, mengeroyok seorang tua yang lumpuh dengan golok terbang!"

   Kong Lo Sengjin tertawa.

   "Aku hanya kehilangan kedua tongkatku, akan tetapi tidak mengapa, ada engkau disini yang menggantikannya. Hayo, anak tolol, kau Bantu kakekmu mengantar mereka ke neraka!"

   Bu Song kaget sekali.

   "Apa... apa maksud Locianpwe...?"

   Akan tetapi tiba-tiba tubuh kakek itu bergerak, mencelat keatas dan sebelum Bu Song tahu apa yang hendak dilakukan kakek itu, tubuh itu telah menyambar dan tahu-tahu telah berada diatas punggungnya! Kedua kaki yang lumpuh itu bergantungan dari atas kedua pundaknya dan ternyata kakek itu sudah menduduki tengkuknya!

   "Hayo bawa aku mendekati mereka!"

   Teriak Kong Lo Sengjin. Tahulah kini Bu Song maksud kakek itu. Ia hendak dijadikan semacam kuda tunggang karena kakek itu lumpuh dan tidak dapat berjalan! Tentu saja ia merasa tidak suka, apalagi kalau disuruh bertempur, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya terdorong kedepan dan tanpa dapat ia tahan lagi kedua kakinya sudah melangkah cepat kedepan. Kiranya kakek sakti itu menggunakan tenaga saktinya untuk memaksa dan mendorongnya.

   Kedua orang hwesio Hui-to-pang itu pun marah melihat hui-to-pang mereka tidak berhasil tidak berhasil merobohkan Kong Lo Sengjin, hanya merusak sepasang tongkatnya. Akan tetapi mengingat bahwa kakek lumpuh itu kehilangan senjatanya, mereka menjadi besar hati dan segera menerjang maju, menyerang Kong Lo Sengjin dan tentu saja karena Bu Song tidak terluput pula dari serangan-serangan! Dapat dibayangkan betapa kecut hati Bu Song. Ia merasa angin menyambar-nyambar dari depan dengan dahsyatnya. Akan tetapi Kong Lo Sengjin juga sudah bergerak, kedua tangannya menyambar-nyambar kedepan dan bukan main hebat dan dahsyatnya angin pukulan yang keluar dari tangan dan lengan bajunya. Begitu kakek lumpuh ini memutar kedua tangannya, lawan-lawannya terdesak mundur dan mengeluarkan seruan kaget.

   "Ha-ha-ha, kalian hendak lari kemana?"

   Kong Lo Sengjin berseru dan tubuhnya sampai hampir tergantung dari leher Bu Song saking besarnya nafsu menjatuhkan kedua lawannya yang selalu melompat menjauhkan diri. Beberapa kali kakek itu menepuk kepala Bu Song sambil menghardik.

   "Hayo cepat kejar mereka, tolol!"

   Akan tetapi Bu Song yang tidak mempunyai nafsu untuk berkelahi, hanya bergerak seenaknya saja, hanya menurutkan dorongan yang memaksa tubuhnya mendoyong ke depan atau kekanan kiri dan melakukan langkah kalau terpaksa saja. Ternyata bahwa kedua orang hwesio itu hanya istimewa dalam penggunaan hui-to saja. Dalam pertandingan tangan kosong, mereka bukanlah lawan Kong Lo Sengjin yang memiliki sin-kang jauh lebih kuat daripada mereka. Semua serangan mereka, baik yang ditujukan kepada tubuh kakek itu maupun yang mereka arahkan kepada Bu Song membalik oleh dahsyatnya angin gerakan kedua lengan kakek lumpuh. Mereka menyadari hal ini, maka setelah melawan dengan susah payah selama puluhan jurus, keduanya lalu melompat dan melarikan diri.

   "Tolol, kejar mereka!"

   Kong Lo Sengjin menjambak-jambak rambut Bu Song. Akan tetapi Bu Song tidak mau, bahkan berdiri tegak.

   "Saya tidak bisa lari secepat mereka, pula apa gunanya saya mengejar mereka, Locianpwe?"

   
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hayo kejar mereka, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!"

   Kong Lo Sengjin membentak lagi. Akan tetapi Bu Song tidak menjawab, melainkan memandang kekiri dan berseru.

   "Celaka, Kakek itu menggantung diri!"

   Amat cepat gerakan Kong Lo Sengjin. Tubuhnya sudah mencelat dari atas pundak Bu Song dan dalam keadaan melayang ini ia sekali sambar sudah memutuskan tali gantungan dan melempar tubuh Ciu Gwan Liong keatas tanah, sedangkan dia sendiri pun sudah bersila didekatnya.

   "Tua bangka sialan!"

   Kong Lo Sengjin mengomel, akan tetapi ia tidak pedulikan kakek sastrawan yang sudah megap-megap itu, melainkan cepat ia memeriksa semua pakaian Ciu Gwan Liong dan mengeluarkan isi sakunya. Akan tetapi benda yang dicari-cari, kitab itu, tidak ada. Kong Lo Sengjin menjadi marah, ia mencengkeram kedua pundak kakek yang sudah sekarat itu, mengguncang-guncang dan mengangkat tubuhnya sambil berseru,

   "Dimana kitab itu? Hayo katakan, dimana kitab itu?"

   Suaranya amat menakutkan dan penuh ancaman.

   "Locianpwe, jangan siksa dia. Lihat dia sudah payah..."

   "Tidak peduli! Heii, Ciu Gwan Liong, hayo bilang, dimana kitab itu kau sembunyikan? Demi iblis, kalau tidak mengaku, kusiksa kau biar mati perlahan-lahan!"

   "Locianpwe..."

   Bu Song sudah hampir saja mengaku dan menyerahkan kitab itu karena ia tidak tahan menyaksikan kakek yang lemah itu tersiksa, akan tetapi pada saat itu Si Sastrawan tua sudah membuka mata dan berkata lemah.

   "Kitab itu kuberikan... kepada... Kim-mo Taisu..."

   Setelah berkata demikian, kakek itu menjadi lemas dan ketika Kong Lo Sengjin melepaskannya, ia telah tewas! Bu Song menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.

   "Biarkan aku mengubur jenazahnya..."

   Katanya perlahan, lalu ia memungut sebatang golok besar dari pinggang mayat seorang diantara tujuh penunggang kuda tadi.

   "Dan mayat mereka juga..."

   Tambahnya.

   "Huh, bocah kurang pekerjaan engkau ini. Eh, mana Gurumu? Dan mengapa engkau berada disini?"

   "Saya diutus oleh Suhu untuk menempuh ujian di kota raja, Locianpwe. Adapun Suhu sendiri sudah meninggalkan gunung untuk membalas dendam kematian Subo."

   Kong Lo Sengjin termenung sejenak.

   "Kau buatkan sepasang tongkat untukku. Hayo lekas! Aku harus segera pergi dari sini!"

   Bagi Bu Song, lebih lekas kakek itu pergi lebih baik, maka tanpa membantah ia lalu naik keatas pohon, memilih dua batang cabang pohon dan menebangnya dengan golok. Setelah membuangi ranting dan daunnya, ia menyerahkan sepasang tongkat itu kepada Kong Lo Sengjin. Kakek ini menerima sepasang tongkat dan sekali menggerakkan tubuhnya, ia sudah "berdiri"

   Diatas kedua tongkat itu.

   "Kau dengar baik-baik! Menurut Kakek sastrawan ini, kitabnya diserahkan kepada Suhumu. Hal ini berarti Suhumu akan dimusuhi dan dicari orang seluruh kang-ouw. Maka kau harus tutup mulut, jangan bicarakan hal itu kepada siapapun juga. Awas kalau, kau membongkar rahasia ini, aku akan datang dan menghacurkan kepalamu, mengerti?"

   "Mengerti, Locianpwe."

   Kong Lo Sengjin tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian ia melesat pergi dengan kecepatan yang membuat Bu Song kagum dan bengong. Tapi ia lalu tak memperhatikan lagi kakek itu dan segera mulai dengan tugasnya mengubur mayat Ciu Gwan Liong dan mayat ke tujuh orang penunggang kuda tadi.

   Matahari telah terbenam kelangit barat ketika ia menyelesaikan tugasnya, kemudian sambil menggendong bungkusan pakaiannya, ia melanjut kan perjalanannya, melangkahkan kaki menuju ke tembok kota raja. Untung pintu gerbang belum tertutup dan tergesa-gesa ia memasuki kota raja yang amat asing baginya. Kagum ia melihat gedung-gedung besar akan tetapi juga hatinya kecut ketika ia menyaksikan para pengawal dan orang-orang berpakaian seperti tujuh orang penunggang kuda yang mayatnya ia kubur tadi menjaga ditiap pintu gerbang gedung-gedung besar itu. Dengan bertanya-tanya, mudah saja ia mencari rumah penginapan Liok-an yang berada diujung kiri jalan raya, dekat pintu gerbang kotaraja sebelah barat.

   Rumah penginapan Liok-an ini tidak besar, dan huruf Liok-an yang terpancang diatas papan depan rumah itu sudah tua. Karena hari sudah menjelang gelap, Bu Song merasa tidak sopan mencari tempat sahabat atau kenalan gurunya, maka ia lalu memasuki rumah penginapan itu dan minta kamar kepada seorang pelayan tua yang menyambutnya. Losmen ini kecil dan miskin, maka tidak banyak tamunya dan dengan mudah Bu Song mendapatkan sebuah kamar. Kemudian kepada pelayan tua ia bertanya tentang seorang pengurus rumah gadai bernama Ciu Tang yang katanya tinggal disebelah kiri losmen itu.

   "Ciu Tang? Memang ada, dan sore hari begini rumah gadai sudah tutup. Rumahnya disebelah belakang losmen ini. Apakah Kongcu hendak menemuinya?"

   "Benar, Lopek. Akan tetapi besok pagi-pagi saja. Saya harap kau suka mengantar saya kesana."

   Pelayan itu senang dengan sikap dan kata-kata pemuda yang sopan ini, maka ia segera menyatakan kesanggupannya. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah diantar pelayan itu ke sebuah rumah dalam lorong kecil dekat losmen. Setelah bertemu dengan orang yang dicarinya, pelayan itu meninggalkannya. Ciu Tang seorang setengah tua yang tinggi kurus, berjenggot panjang akan tetapi terpelihara dan pakaiannya biarpun tidak mewah cukup rapi. Bu Song cepat memberi hormat dan berkata,

   "Maafkan kalau kedatangan saya mengganggu Paman. Saya Liu Bu Song dan kedatangan saya adalah atas kehendak Suhu yang membawakan sebuah surat untuk Paman."

   Ia mengeluarkan surat Kim-mo Taisu dan menyerahkannya kepada laki-laki berjenggot itu. Begitu menerima surat dan membaca nama pengirimnya, Ciu Tang cepat-cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan wajahnya berubah penuh hormat.

   "Ah, kiranya hiante ini murid tuan penolong kami Kim-mo Taisu? Silakan duduk, silakan..."

   Bu Song menghaturkan terima kasih dan mereka duduk diatas bangku menghadapi sebuah meja bundar bentuknya. Ciu Tang membuka sampul surat dan membaca sambil meraba-raba jenggot dan mengangguk-angguk. Kemudian ia melipat surat dan menyimpannya dalam saku baju.

   "In-kong (Tuan Penolong) sudah mengatakan halmu hendak mengikuti ujian dan mengingat akan budi yang dilimpahkan in-kong kepada kami, maka saya akan berusaha sedapat mugkin menolongmu, Hiante."

   Bu Song cepat-cepat memberi hormat dan berkata,

   "Terima kasih atas kesanggupan Paman, dan saya mohon petunjuk."

   Orang yang bernama Ciu Tang itu menarik napas panjang.

   "Aahhh, dengan adanya perang terus-menerus, perebutan kekuasaan dan penggantian pemerintahan, nasib kita kaum terpelajar sungguh celaka! Karena keadaan tidak pernah aman, maka para pembesar jarang ada yang jujur, bertindak menindas dan korup. Dalam hal ujian juga sama saja. Setiap tahun banyak yang mengikuti ujian, namun yang berhasil dan lulus hanyalah mereka yang dapat menyuap dengan banyak emas! Namun, saya mengenal kepala bagian ujian, yaitu Pangeran Suma Kong. Biarpun belum tentu beliau sudi memandang muka saya, namun setidaknya tentu Hiante akan mendapat perhatiannya dan tidak akan dilewatkan begitu saja."

   "Banyak terima kasih, Paman. Sungguh budi Paman amat besar."

   "Ah, jangan bicara tentang budi, Hiante. Kalau mau bicara tentang budi, maka gurumulah yang telah melimpahkan budi kepada kami sekeluarga. Kalau tidak Gurumu, tidak hanya perusahaanku bangkrut, akan tetapi mungkin kami serumah tangga sudah binasa semua!"

   Lalu tuan rumah itu bercerita betapa dahulu ketika ia diganggu gerombolan penjahat di kota raja dan anak perempuannya hendak dirampas, ia telah ditolong oleh Kim-mo Taisu yang membasmi gerombolan itu sehingga keluarganya selamat dan perusahaannya biarpun kecil masih dapat berjalan sampai sekarang.

   Bu Song lalu diperkenalkan dengan nyonya rumah yang amat ramah dan tiga orang anak laki-laki belasan tahun yang semua merupakan anak-anak terpelajar pula. Puteri sulung keluarga itu sudah menikah dan tinggal di kota An-sui. Selanjutnya Bu Song diminta tinggal dirumah keluarga Ciu Tang sambil menanti pembukaan waktu ujian. Memang benar apa yang diceritakan Ciu Tang kepada Bu Song. Pada waktu itu, yang menjadi kepala bagian ujian adalah Pangeran Suma Kong, seorang pangeran yang menggunakan kedudukannya untuk mencari keuntungan besar bagi dirinya sendiri. karena dia masih terhitung warga dengan keluarga Raja Cou Muda, maka kekuasaannya besar juga dan biarpun tindakannya yang korup ini bukan rahasia lagi, namun tidak ada yang berani mengganggunya. Karena ia hanya memperhatikan para pelajar pengikut ujian yang sanggup memberi sogokan besar, maka hasil ujian itu tentu saja bukan didasarkan atas baik buruknya tulisan atau pandai tidaknya si pengikut, melainkan didasarkan atas besar kecilnya uang sogokan!

   Tentu saja Pangeran Suma Kong bukan seorang sembrono. Dia tentu lebih senang kalau mendapatkan penyogok yang memang pintar, karena meluluskan seorang pengikut yang terlalu bodoh juga merupakan hal yang mendatangkan resiko besar baginya. Maka setiap diadakan ujian, dia sendiri selalu memeriksa hasil para pengikut. Kurang lebih sebulan setelah Bu Song tiba di kota raja, ujian diadakan. Dengan hati berdebar Bu Song mengikuti ujian dan alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan betapa mudah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kertan ujias, dan betapa mudah judul-judul yang harus ia buat dalam karangan. Pada masa itu, ujian didasarkan kepada pengetahuan filsafat-filsafat dan ujar-ujar dari kitab-kitab kuno. Karena Bu Song memang menggemari hal ini, tentu saja hampir semua telah hafal olehnya dan dengan mudah saja ia memenuhi syarat dan dapat menjawab dengan memuaskan dalam bentuk tulisan yang indah. Ciu Tang bukanlah seorang kaya raya. Memang ia pun memberi uang sogokan untuk membela Bu Song, akan tetapi dibandingkan dengan penyogok-penyogok lain, jumlahnya terlalu kecil.

   Akan tetapi karena Ciu Tang seringkali menjadi "perantara"

   Bagi para penyogok yang tiap tahun membanjiri kota raja, dia sudah dikenal oleh pangeran Suma Kong dan inilah yang memberi harapan kepadanya karena dalam suratnya ia mengaku bahwa Liu Bu Song adalah seorang keponakannya sendiri! Seperti biasa terjadi tiap tahun, hasil ujian itu menghancurkan harapan puluhan, bahkan ratusan pelajar yang semula datang ke kota raja penuh harapan. Mereka dinyatakan gagal dalam ujian! Bertahun-tahun waktu terbuang sia-sia mempelajari puluhan ribu huruf, menghafal ratusan sajak, menelan ribuan bait ujar-ujar kuno! Hanya beberapa puluh orang yang dinyatakan lulus, yaitu mereka yang membawa bekal cukup tebal. Diantara mereka yang dinyatakan tidak lulus termasuk nama Liu Bu Song!

   "Luar biasa!"

   Bu Song berseru heran dan menyesal ketika mendengar pengumuman itu.

   "Semua pertanyaan dapat saya jawab dan semua sajak dan karangan saya tulis sebaiknya dalam waktu paling cepat!"

   "Tidak aneh... sama sekali tidak aneh!"

   Kata Ciu Tang sambil menggerak-gerakkan tangan.

   "Kita tidak punya banyak emas, itulah sebabnya kau tidak lulus, Hiante. Saya menyesal sekali, dan merasa malu hati terhadap inkong Kim-mo Taisu, akan tetapi apa mau dikata, saya bukanlah orang kaya..."

   "Harap Paman Ciu Tang jangan sesalkan hal itu!"

   Cepat Bu Song berkata menghibur.

   "Suhu sendiri sudah tahu akan hal ini dan sama sekali bukan kesalahan Paman. Saya yakin bahwa Paman sudah cukup memperjuangkan dan biarpun saya tidak lulus, tetap saja saya takkan melupakan budi kebaikan Paman. Hanya saya merasa penasaran dan heran, mengapa orang-orang terpelajar seperti mereka yang duduk diatas itu sampai hati melakukan hal-hal yang demikian memalukan? Tadinya saya kira hanya ilmu kepandaian bu (silat) saja yang dapat dipergunakan orang untuk kejahatan, siapa orangnya tidak akan merasa heran dan bingung memikirkan betapa orang-orang yang mempelajari segala macam keindahan seni seperti melukis dan membuat sajak, menulis halus, dapat melakukan hal-hal yang hanya patut dilakukan seorang penjahat!"

   "Sekarang bagaimana, Hiante? Kemana Hiante hendak pergi? Apakah hendak kembali kepada inkong Kim-mo Taisu?"

   Bu Song termenung. Kemana? Gurunya pergi entah kemana dan entah bila kembalinya. Dan untuk apa kembali ke puncak gunung? Tidak ada siapa-siapa disana, yang ada hanya kuburan Eng Eng! Yang ada hanya kenangan penuh duka. Mencari ibunya! Ya, dia akan mencari ibunya, akan merantau kemana saja.

   "Saya akan pergi, Paman. Besok saya pergi, entah kemana belum dapat saya katakan..."

   Ciu Tang merasa kasihan kepada pemuda ini.

   "Liu-hiante, kalau kau suka tinggal disini, biarlah kau membantu perusahaanku. Bukan pekerjaan yang layak untuk seorang pelajar seperti engkau, akan tetapi lumayanlah sambil menanti kesempatan diadakan ujian lain tahun."

   Akan tetapi sama sekali Bu Song tidak tertarik lagi. Ia menggeleng kepala dan menjawab,

   "Terima kasih, Paman. Akan tetapi saya lebih suka merantau..."

   Pada keesokan harinya, pagi sekali Bu Song sudah siap hendak berangkat. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berhenti di depan rumah Ciu Tang dan seorang laki-laki berpakaian gagah turun dari kuda, menghampiri pintu dan langsung bertanya kepada Bu Song yang duduk di luar bersama Ciu Tang.

   "Apakah disini tinggal seorang pelajar bernama Liu Bu Song?"

   Bu Song cepat bangkit berdiri dan menjura.

   "Saya sendiri bernama Liu Bu Song."

   Orang itu memandangi Bu Song penuh perhatian, lalu balas menjura.

   "Saya diutus sama Suma-ongya menyerahkan sepucuk surat."

   Ia mengeluarkan surat itu yang terbungkus sebuah sampul yang gagah tulisannya.

   "Ah, kiranya dari Suma-ongya...! Liu-hiante lekas sambut surat ongya dengan penghormatan selayaknya!"

   Berkata demikian, Ciu Tang menarik tangan Bu Song untuk menjatuhkan diri berlutut didepan utusan itu dan menerima surat sambil berlutut!

   "Silakan Tuan mengambil tempat duduk dan minum sedikit arak kami yang hangat,"

   Ciu Tang menawarkan. Orang itu memberi hormat dan berkata,

   "Terima kasih, saya ada keperluan lain. Hanya saya mendengar pesan Ong-ya tadi bahwa orang muda ini amat diharapkan kedatangannya menghadap secepatnya!"

   Ia menjura lagi lalu keluar dan meloncat keatas kudanya. Terdengar derap kaki kuda menjauhi rumah itu. Ciu Tang menarik tangan Bu Song berdiri. Pemuda itu masih bengong karena ia merasa kurang senang harus menerima surat secara itu, seperti menerima maklumat raja saja!

   "Lekas buka dan baca, Hiante. Siapa tahu engkau mendapatkan keistimewaan, karena surat dari Suma-ongya tentu hanya ada hubungannya dengan hasil ujianmu. Lekas buka dan baca!"

   Suara Ciu Tang gemetar penuh ketegangan. Akan tetapi Bu Song tenang-tenang saja. Jari-jarinya tidak gemetar ketika ia membuka sampul surat itu dan mencabut keluar sehelai kertas tipis halus yang penuh tulisan indah.

   "Pangeran Suma Kong tertarik akan tulisan pengikut ujian Liu Bu Song dan memerintahkan kepadanya datang menghadap secepatnya ke istana untuk diberi tugas pekerjaan."

   "Wah, kionghi..., kionghi... (selamat..., selamat), Liu-hiante!"

   Seru Ciu Tang kegirangan. Akan tetapi Bu Song tidaklah segembira Ciu Tang.

   Sesungguhnya bukan pangkat dan kedudukan yang ia harapkan dari hasil ikut ujian ini, apalagi kalau kedudukan itu ia dapatkan seperti seorang pengemis menerima sedekah! Apa sesungguhnya yang menjadi tujuannya mengikuti ujian, dia sendiri pun tidak tahu. Semenjak kecil dahulu, ia mempelajari ilmu kesusasteraan adalah karena memang ia suka membaca dan menulis, suka membaca sajak-sajak dan kitab-kitab kuno tentang filsafat hidup. Dan kini ia mengikuti ujian hanya untuk mentaati perintah suhunya. Disamping ini, memang ia pun tahu bahwa semua orang mengejar ilmu kepandaian bun akhirnya untuk mengikuti ujian dan mendapat gelar siucai, sungguhpun ia sendiri tidak pernah mengerti apakah artinya mendapatkan gelar itu. Agaknya oleh karena ia tidak suka mempelajari ilmu silat itulah yang membuat ia lebih condong memperdalam ilmu sastera.

   "Paman Ciu, mengapa Paman memberi selamat kepadaku? Bagiku sendiri, aku belum tentu suka menerima penawaran ini."

   "Hah? Bagaimana ini, Liu-hiante? Diberi tugas pekerjaan oleh Suma-ongya, hal ini merupakan penghormatan yang amat tinggi! Belum tentu ada seorang diantara seratus yang memiliki nasib sebaik ini. Apalagi kalau diingat bahwa kau dinyatakan tidak lulus ujian!"

   "Justeru itulah, Paman, yang membuat hatiku menjadi dingin. Kalau aku dinyatakan tidak lulus, mengapa diberi pekerjaan? Kalau Pangeran itu tertarik akan tulisanku, mengapa pula aku tidak lulus?"

   "Ah, engkau masih saja belum dapat melihat kenyataan, Liu-hiante. Suma-ongya tertarik hatinya melihat tulisanmu yang indah lalu ingin memberi pekerjaan, itu berarti jodoh dan memang bintangmu sedang terang. Adapun tentang tidak lulusmu dalam ujian, itu adalah karena kurang syaratnya. Mengapa hal seperti itu masih diherankan pula?"

   Bu Song mengangguk.

   "Sungguh, Paman. Aku sudah dapat melihat kenyataan, kenyataan yang amat pahit, kenyataan menyedihkan yang membuat aku enggan bekerja pada seorang pembesar yang demikian tidak adilnya. Aku akan pergi saja sekarang juga, Paman."

   Ciu Tang melompat bangun dan memegangi lengan pemuda itu, mukanya berubah pucat.

   "Liu-hiante... memang saya tidak berhak memaksamu..., akan tetapi apakah kau hendak merusak apa yang pernah dilindungi Suhumu?"

   "Apa maksudmu, Paman?"

   "Keselamatan keluargaku pernah satu kali diselamatkan Suhumu dan untuk itu aku selamanya takkan melupakan budi Suhumu. Akan tetapi kalau sekarang engkau pergi, berarti keselamatan keluargaku akan hancur. Suma-ongya tentu takkan mau menerima penolakanmu begitu saja. Penolakanmu akan dianggap sebagai penghinaan dan karena aku sudah mengakuimu sebagai keponakanku sendiri, tentu saja kemarahannya akan ditimpakan kepada diriku sekeluarga."

   "Ah, begitukah...?"

   Bu Song menjatuhkan diri duduk diatas bangku dengan tubuh lemas. Tentu saja ia tidak menghendaki hal itu terjadi.

   "Kalau Hiante suka memenuhi undangan dan perintah Suma-ongya, berarti kau telah mengulang perbuatan mulia Suhumu dan telah menolong kami sekeluarga, karena sedikit banyak diterimanya
(Lanjut ke Jilid 29)
SULING EMAS (Seri ke 02 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 29
engkau disana memberi muka terang kepadaku. Untuk itu sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih!"

   Setelah berkata demikian, Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut didepan pemuda itu. Bu Song cepat-cepat dan sibuk mengangkat bangun tuan rumah itu dan ia berkata,

   "Harap Paman jangan bersikap seperti ini. Baiklah, saya akan pergi menghadap Suma-ongya sekarang juga dan marilah Paman menemaniku."

   "Tentu saja! Tentu saya antar! Tunggu saya berganti pakaian, dan kau pun harus mengenakan pakaian yang paling rapi, Hiante?"

   Seperti seorang anak kecil menerima hadiah Ciu Tang berlari-lari memasuki rumahnya dengan wajah amat gembira. Bu Song menarik napas panjang, termenung sejenak, lalu mengangkat kedua pundaknya dan membuka bungkusan untuk berganti dengan pakaiannya yang bersih. Tak lama kemudian keduanya telah berangkat menuju ke istana Pangeran Suma Kong. Di sepanjang jalan, Ciu Tang mengangkat dadanya tinggi-tinggi dan setiap kali ada seorang kenalan bertanya, ia menjawab dengan suara dikeraskan,

   "Pergi mengantar keponakanku yang diterima menjadi pembatu Suma-ongya!"

   Bu Song yang dapat melihat dan mengenal watak manusia dari pelajaran di kitab-kitabnya, hanya tersenyum dan diam-diam ia merasa kasihan kepada orang baik yang berwatak lemah ini. Betapapun juga, ia merasa amat kagum ketika ia diterima oleh penjaga dan dibawa masuk keruangan depan istana yang megah itu. Semua perabot serba indah dan mewah, juga bersih mengkilap. Pada dinding bergantungan lukisan-lukisan yang amat luar biasa, dihias tulisan-tulisan yang luar biasa indahnya pula. Bukan main, pikir Bu Song. Samar-samar ia masih teringat bahwa ketika kecil dahulupun rumah ayahnya merupakan sebuah gedung besar, namun tidaklah sehebat ini. Istana ini penuh dengan benda-benda seni yang menggetarkan hati setiap orang sastrawan yang suka akan hasil karya yang indah-indah seperti itu.

   Mereka disuruh menanti diruangan depan, yaitu ruangan tamu, karena menurut penjaga, Sang Pangeran masih belum bangun dari tidurnya! Akan tetapi, agaknya maklum bahwa mereka adalah orang-orang yang diundang oleh Pangeran, maka tak lama kemudian seorang pelayan keluar membawa teh wangi yang hangat! Bu Song tak dapat diam diatas bangku. Ia menoleh kesana kemari mengagumi dan membaca sajak-sajak pasangan yang menghias dinding, juga kadang-kadang menengok keluar untuk menikmati keindahan taman bunga yang mengelilingi istana itu. Jauh disamping, agak ke belakang, melalui sebuah pintu berbentuk bulan, ia dapat melihat kolam ikan dengan air mancur tinggi. Air itu memecah diatas dan karena matahari pagi sudah mulai bersinar, tampaklah air itu menjadi beraneka warna seperti pelangi. Bukan main!

   Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh langkah seorang dari luar dan ternyata dia adalah seorang pemuda yang berpakaian indah dan berwajah tampan, berusia dua puluh tahun lebih, pakaiannya seperti sastrawan pula, akan tetapi begitu bertemu pandang, Bu Song didalam hatinya mendapat kesan tak menyenangkan. Pada pandang mata itu, dan bentuk hidung itu, membayangkan sesuatu yang tidak baik. Ia tidak tahu siapa adanya pemuda berpakaian mewah ini, maka ia duduk saja dengan tenang. Tidak demikian dengan Ciu Tang. Melihat pemuda ini, segera ia bangkit berdiri menyambut maju dan begitu pemuda itu memasuki ruangan, ia segera menjura dengan dalam sehingga tubunya terlipat dua, mulutnya berkata penuh hormat.

   "Suma-kongcu, selamat pagi....! Harap kongcu selalu dalam sehat gembira!"

   Pemuda itu berhenti dan membalas penghormatan yang berlebihan itu dengan anggukan kepalanya.

   "Ah, bukankah kau Paman Ciu Tang yang membuka pegadaian didekat losmen Liok-an? Ada apa pagi-pagi kesini, dan siapakah Saudara ini?"

   Biarpun kata-katanya ramah, namun mengandung ketinggian hati. Ciu Tang menengok dan berkedip kepada Bu Song, memberi isyarat supaya pemuda itu bangkit berdiri lalu memperkenalkan,

   "Begini, Kongcu. Keponakan hamba ini, Liu Bu Song, mengikuti ujian dan agaknya menarik perhatian Suma-ongya maka kini dipanggil menghadap."

   Terpaksa Bu Song mengangkat kedua tangan dan memberi hormat selayaknya menurut kesopanan. Pemuda itupun hanya mengangguk, akan tetapi matanya memandang Bu Song penuh perhatian.

   Ia melihat pemuda sederhana itu tubuhnya tinggi besar dan membayangkan tenaga kuat, namun sikapnya sederhana dan sewajarnya, sama sekali tidak memperlihatkan sikap congkak seperti biasa seorang terpelajar, juga tidak membayangkan sikap menjilat seperti orang-orang macam Ciu Tang. Diam-diam putera pangeran ini tertarik dan senang hatinya. Ia benci melihat pemuda-pemuda yang tinggi hati, akan tetapi lebih benci lagi melihat mereka yang suka menjilat. Pemuda ini adalah putera Pangeran Suma Kong. Namanya Suma Boan dan dia bukanlah seorang pemuda yang tidak terkenal. Mungkin lebih terkenal daripada ayahnya, karena pemuda ini selain suka bergaul dengan rakyat, juga ia terkenal seorang pemuda yang pandai ilmu silat. Kesukaannya memang mempelajari ilmu silat dan entah berapa banyaknya guru silat yang pernah mengajarnya dan juga pernah ia robohkan. Setiap ia mendengar ada seorang guru silat baru, ia tentu mendatanginya dan mengajaknya pibu.

   Kalau ia kalah, dia memberi hadiah banyak dan minta diajar ilmu yang telah mengalahkannya, akan tetapi kalau guru silat itu kalah, jangan harap guru silat itu dapat membuka perguruannya. Wataknya peramah dan pandai bergaul, akan tetapi sayang sekali, pemuda bangsawan ini pun seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita cantik mengandalkan kedudukan dan kepandaiannya. Akhir-akhir ini kepandaiannya melonjak cepat sekali. ia menemukan seorang guru yang benar-benar hebat, yaitu Pouw-kai-ong yang sudah kita kenal! Raja Pengemis she Pouw itu menjadi guru Suma Boan sehingga pemuda bangsawan ini memiliki ilmu silat tinggi dan ia bahkan di dunia kang-ouw mendapat julukan Lui-kong-sian (Dewa Geledek), sebuah julukan yang diberikan orang untuk mengangungkannya dengan maksud menjilat!

   "Saudara Liu, apakah kau selain pandai bun juga pernah mempelajari silat?"

   Dengan sikap seperti seorang kenalan lama Suma Boan bertanya, matanya mengincar tajam. Bu Song menggeleng kepalanya.

   "Tidak pernah, Kongcu. Seorang terpelajar yang tahu bahwa penggunaan kekerasan adalah tidak baik, untuk apa belajar silat? Saya tidak pernah mempelajarinya."

   Suma Boan tersenyum mengejek dan pandangannya kini merendahkan.

   "Memang jarang ada Bun-bu-coan-jai (pandai silat dan sastera) sekarang ini!"

   Ia berjalan keluar lalu berhenti dekat sebuah arca singa barong.

   "Kalian lihat, apakah kepandaian seperti ini tidak ada gunanya?"

   Tangannya menangkap leher arca itu dan sekali ia berseru, singa-singaan itu terlontar ke atas, lebih tiga meter tingginya, kemudian ia sambut lagi kini terletak diatas telapak tangannya! Lengan dan tubuhnya tergetar tanda bahwa ia mengerahkan tenaganya, kemudian sekali ia menggerakkan tangan, arca itu terlempar ke depan dan roboh terguling di atas tanah.

   "Hebat... sungguh luar biasa kekuatan Suma-kongcu...!"

   Ciu Tang bersorak, bukan hanya terdorong sikapnya suka merendah dan menjilat, akan tetapi betul-betul ia kagum. Singa-singaan dari batu sebesar itu tentulah amat berat.

   Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bagaimana, Saudara Liu?"

   Suma Boan bertanya, tidak pedulikan pujian Ciu Tang.

   "Tenaga Suma-kongcu benar-benar luar biasa. Saya kagum sekali."

   Agaknya putera bagsawan itu cukup merasa puas mendengar ini. Bu Song memang seorang pemuda yang pandai membawa diri. Tanpa menjilat pun ia sanggup untuk menyesuaikan diri dan menyenangkan hati orang lain. Suma Boan lalu berteriak memanggil beberapa orang penjaga yang menjaga di gerbang pintu luar. Empat orang penjaga berlarian datang, siap menangkap atau memukul siapa saja atas perintah putera majikan mereka. Akan tetapi kali ini tidak ada pekerjaan pukul-memukul bagi mereka.

   "Kalian angkat singa-singaan ini dan kembalikan ditempatnya semula!"

   Kata Suma Boan, kemudian sambil menepuk-nepuk telapak tangan menghilangkan debu ia melangkah lebar memasuki taman disamping istana dan lenyap kedalam pintu berbentuk bulan. Empat orang penjaga itu saling pandang.

   "Bagaimana bisa pindah kesini?"

   Seorang diantara mereka mengomel. Ciu Tang tertawa dan memberi keterangan.

   "Baru saja Suma-kongcu mempermainkannya dan melontarkan keatas seperti sebuah singa kertas saja."

   

Tangan Geledek Eps 17 Tangan Geledek Eps 36 Tangan Geledek Eps 20

Cari Blog Ini