Ceritasilat Novel Online

Suling Emas 7


Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Ya! Aku cinta padanya! Aku... aku... takkan sudi berjodoh dengan orang lain! Sekarang ia telah tewas...ah, apa lagi yang kuharapkan di dunia ini? Aku... aku akan berdoa selamanya untuk arwahnya..."

   Sambil terisak Kui Lan lalu membalikkan tubuh dan lari menuruni puncak dengan cepat sekali.

   Lu Sian menarik napas panjang, diam-diam ia menyesal pula akan kesudahan pertandingan antara ayahnya dan Kwee Seng. Ia tidak membalas cinta kasih Kwee Seng karena hatinya sendiri sudah tercuri oleh kegagahan dan kejantanan kam Si Ek, akan tetapi ia pun tidak bisa membenci Kwee Seng, tidak menghendaki pendekar itu mati secara begitu menyedihkan. Setelah malam mulai berganti fajar, ayahnya muncul. Lu Sian cepat menyongsong ayahnya dengan penuh harapan ayahnya dapat menangkap dan membunuh Bayisan yang mencurangi Kwee Seng. Akan tetapi wajah ayahnya muram dan terdengar ayahnya berkata marah.

   "Iblis jahanam Bayisan itu! Kepandainnya boleh juga, ilmu lari cepatnya hebat dan ia menggunakan kegelapan malam menghilang dari kejaranku. Lu Sian, kau seorang gadis yang goblok sekali!"

   Lu Sian membelalakkan matanya, terheran-heran mendengar teguran ayahnya. Akan tetapi, kalau ayahnya sedang marah, gadis ini tak berani banyak bicara, maklum bahwa kalau ayahnya marah sukar untuk dikendalikan.

   "Kau menolak Kwee Seng sama dengan membuang mutiara ke dalam laut, apakah kau hendak memilih batu kali? Dimana didunia ini ada calon suami yang lebih baik dan gagah daripada Kwee Seng? Siapapun juga yang kau pilih, aku tentu tidak akan merasa cocok setelah kau menolak Kwee Seng."

   "Ayah, dalam soal perjodohan, aku ingin memilih sendiri. Aku tidak cinta kepada Kwee Seng, betapapun gagah dan pandai dia!"

   "Huh! Kau keras kepala dan sombong! Tidak akan ada Kwee Seng kedua didunia ini."

   "Tidak ada Kwee Seng kedua memang, akan tetapi pasti ada yang melebihi dia!"

   "Tak mungkin! Sudah, mari kita pulang saja. Kejadian ini benar-benar membikin hatiku penuh kekecewaan dan penyesalan."

   "Ayah, kau menyesal karena kau tidak dapat menguras kepandaian simpanan Kwee Seng. Kau tidak peduli tentang perjodohanku, asal kau dapat menambah ilmu-ilmu yang kau kumpulkan!"

   Karena rahasianya ditebak tepat oleh puterinya, Pat-jiu Sin-ong menjdi marah.

   "Kau anak kecil tahu apa? Betapa pun sukaku mengumpulkan ilmu, namun aku masih memikirkan calon suamimu. Kalau kau berjodoh dengan Kwee Seng, berarti sekali panah mendapatkan dua ekor harimau. Pertama, kau mendapat jodoh pemuda paling hebat didunia, ke dua, setelah ia menjadi suamimu, berarti ia menjadi keluarga kita dan ilmu-ilmunya juga menjadi ilmu keluarga kita yang akan membikin Beng-kauw makin bersinar. Tolol kau. Hayo pulang!"

   "Tidak, Ayah. Aku belum ingin pulang. Aku ingin berkelana."

   Bantah Lu Sian yang sebenarnya ingin mendekati Kam Si Ek pujaan hatinya. Pat-jiu Sin-ong melotot, akan tetapi hatinya sudah terlalu kecewa untuk memusingkan urusan ini. Sudah terlalu sering puterinya ini berkelana seorang diri dan ia pun tidak kuatir karena puterinya memiliki kepandaian yang lebih daripada cukup untuk menjaga diri.

   "Sesukamulah, anak bandel. Akan tetapi kalau dalam waktu setahun kau tidak pulang membawa jodohmu yang setimpal, kau akan kucari dan kuseret pulang, kukurung dalam kamar sampai lima tahun tak boleh keluar. Sebaliknya kalau kau pulang membawa jodoh yang menyebalkan, akan kubunuh laki-laki itu dan kau akan kujodohkan dengan seorang anggota Beng-kauw pilihanku sendiri. Nah, kau dengar baik-baik pesanku itu!"

   Setelah berkata demikian, kakek itu mendengus dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.

   Sejenak Liu Lu Sian tertegun. Betapa pun besar rasa sayang ayahnya terhadap dirinya, namun ayahnya berwatak keras dan ucapannya tadi tentu akan dipegang teguh. Bagaimana kalau kelak ayahnya tidak menyetujui pilihannya? Ah, bagaimana nanti sajalah, demikian ia menghibur hati. Lalu ia memungut pedangnya yang tadi dilepaskan oleh Kwee Seng, sejenak berdiri ditepi jurang melongok kebawah, bergidik melihat jurang yang hitam tak berdasar dan mendengar suara berkericiknya air jatuh dibawah, lalu ia menarik napas panjang dan berjalan pergi meninggalkan puncak itu. Ketika tubuhnya melayang kebawah dengan kelajuan yang menyesakkan napas, Kwee Seng maklum bahwa nyawanya terancam maut yang ia sendiri tak mungkin dapat menolong. Ia terjatuh ditempat yang tak ia ketahui betapa dalamnya, yang gelap pekat tak tampak sesuatu disekelilingnya. Oleh karena itu, ia tidak berani menggerakkan tubuh dan menyerahkan nasibnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

   Suatu sikap yang baik sekali dan patut dicontoh. Memang, sepandai-pandainya manusia, sekali-kali ia akan mengalami hal yang membuat ia sama sekali tidak mampu berdaya, dan dimana ikhtiar dan usaha sudah tiada gunanya lagi, memang jalan terbaik menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa keraguan lagi, sebulat-bulatnya. Tepatlah kata para bijaksana bahwa segala sesuatu didunia ini, kesudahannya berada dalam kekuasaan Tuhan. Apabila Tuhan menghendaki seseorang mati, biarpun si orang bersembunyi dilubang semut, maut pasti akan tetap akan datang menjemput. Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki seseorang tetap hidup, biarpun seribu bahaya datang mengurung, pasti ada jalan orang itu akan tertolong. Kwee Seng sudah hampir pingsan karena napasnya sesak, kepalanya pening dan semangatnya serasa melayang-layang. Betapapun tabahnya, namun malapetaka yang dihadapinya ini membuatnya merasa ngeri, membayangkan apa yang akan menyambut tubuhnya yang pasti akan terbanting hancur luluh pada dasar jurang.

   Terlalu lama rasanya ia menanti, terlalu lama rasanya maut mempermainkan dirinya, tidak segera datang menjangkau. Ya Tuhan, bisiknya, mengapa sebelum mati hamba-Mu ini harus mengalami siksaan begini mengerikan? Tiba-tiba...

   "byuuurr!!"

   Tubuhnya terhempas ke dalam air yang amat dingin.

   Sebagai seorang ahli silat yang ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi, tubuh Kwee Seng segera membuat reaksi, bergerak membalik mengurangi tamparan air. Namun tetap saja ia merasa betapa kulit punggungnya seperti pecah-pecah, nyeri, perih dan panas rasanya. Untung baginya air itu cukup dalam sehingga ketika tubuhnya tenggelam, ia cepat menendang kebawah dan tubuhnya muncul lagi kepermukaan air. Masih gelap pekat di situ, dan tiba-tiba Kwee Seng merasa serem dan terkejut karena tubuhnya terseret arus air yang bukan main kuatnya. Kembali ia menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Sekali tadi Tuhan telah menyelamatkannya, ini alamat baik, pikirnya. Ia hanya menggerakkan kaki tangan agar tubuhnya jangan tenggelam. Arus air itu kuat bukan main, tubuhnya dibawa berputar-putar sampai kepalanya menjadi pening. Kembali rasa takut mencekam hatinya.

   Ia berputaran, hal ini berarti bahwa ia terbawa oleh pusaran air yang kuat. Benar dugaannya, makin lama makin cepat ia berputaran dan tiba-tiba tubuhnya tanpa dapat ia pertahankan lagi, disedot ke dalam air! Kwee Seng sudah siap. Ia mengambil napas cukup banyak dan ketika ia berada dibawah air ia menggerakkan kaki tangannya kuat-kuat sehingga ia berhasil bebas daripada pusaran air dibawah yang tidak sekuat diatas. Kini tubuhnya hanyut oleh arus dan ketika ia menggerakkan kakinya muncul kembali di permukaan air, hatinya girang melihat bahwa kini ia terbawa oleh air sungai yang sempit dan kuat arusnya, akan tetapi yang tidak begitu gelap lagi sehingga ia dapat melihat. Kanan kiri merupakan tebing tinggi, mungkin ada lima ratus meter tingginya, tebing batu gunung yang hijau berkilau dan licin rata. Akan tetapi sungai kecil itu ternyata cukup dalam, kalau tidak, arus yang kuat itu pasti akan menghantamkannya pada batu-batu.

   Karena tidak ada tempat untuk mendarat, diapit-apit tebing tinggi, terpaksa Kwee Seng membiarkan dirinya hanyut. Ada seperempat jam ia hanyut dan tiba-tiba ia mengeluarkan seruan kaget, wajahnya pucat dan hatinya ngeri. Betapa tidak akan ngeri hatinya melihat bahwa tak jauh didepannya, air itu tertumbuk pada tebing lain yang juga tinggi dan kiranya air itu memasuki terowongan didalam tebing! Bagaimana akalnya? Untuk mendarat tidak mungkin, kanan kiri tebing tinggi dan licin, didepan pun tebing yang sama, menahan arus air tak mungkin! Celaka, pikirnya, kali ini aku akan dibanting hancur oleh arus air kepada tebing di depan! Akan tetapi ia tidak mau menyerah kepada maut begitu saja selama ia masih dapat berikhtiar.

   Ia cepat mengambil napas sampai memenuhi rongga dadanya, kemudian ia menyelam sedalam mungkin. Ikhtiarnya ini menyelamatkannya dari cengkraman maut. Arus air pecah-pecah bagian atasnya menghantam tebing, akan tetapi dibagian bawah dengan kecepatan luar biasa menerobos ke dalam sebuah lubang yang lebar garis tengahnya kurang lebih dua meter. Kalau saja terowongan didalam perut gunung ini terlalu panjang, tentu Kwee Seng takkan tertolong lagi nyawanya. Ia terseret arus yang amat cepat, ia hanya menahan napas meramkan mata, sedapat mungkin mengerahkan sin-kang ditubuhnya karena tubuhnya mulai terbentur-bentur batu. Kalau ia bukan seorang gemblengan, tentu sudah remuk tulang-tulangnya.

   Akan tetapi siksaan alam ini terlalu hebat dan ia sudah hampir pingsan ketika tiba-tiba ia melihat cahaya terang diatas. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya yang terasa sakit-sakit itu dan tubuhnya mumbul keatas. Ia masih berada dalam terowongan yang amat besar, merupakan gua panjang yang amat menyeramkan. Air mengalir ditengah terowongan, kini air makin melebar dan makin dangkal. Diatas bergantungan batu-batu yang meruncing seperti tombak besar, dinding yang hijau berkilauan terkena cahaya matahari yang entah menembus dari mana. Karena air amat dangkal akhirnya tubuhnya yang lemas itu tersangkut pada batu. Kwee Seng mengeluh, kepalanya puyeng, tubuhnya sakit-sakit semua,
(Lanjut ke Jilid 07)
SULING EMAS (Seri ke 02 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07
lemas dan tangan kanannya kaku lumpuh akibat racun jarum yang masih menancap didalam pundak kanannya.

   Rambut awut-awutan menutupi muka, pakaiannya yang basah kuyup itu tidak karuan macamnya, robek sana-sini. Ia mengerahkan tenaganya untuk bangkit berdiri. Kiranya air hanya tinggal sepaha dalamnya. Ketika ia merangkak minggir, air makin dangkal akan tetapi ia beberapa kali terjatuh dan kakinya tersangkut batu. Air yang amat jernih, akan tetapi pandang mata Kwee Seng amat gelap, pikirannya amat keruh. Ia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ berdiri seorang wanita tua, seorang nenek-nenek yang memandang kearahnya penuh perhatian. Nenek ini tubuhnya kecil kurus, mukanya amat tua penuh keriput, pakaiannya bersih akan tetapi penuh tambalan. Mata nenek ini terang jernih bersinar-sinar.

   "Sungguh aneh seorang manusia terbawa arus maut bisa sampai kesini dalam keadaan masih hidup!"

   Nenek itu berkata penuh keheranan, akan tetapi ia segera melangkah, gerakannya cepat dan cekatan sekali ketika ia melihat Kwee Seng mengeluh panjang dan terguling roboh di tepi sungai, tak bergerak lagi karena sudah pingsan.

   Amatlah mengherankan dan mengagumkan betapa nenek-nenek tua renta yang kurus itu setelah memeriksa nadi tangan Kwee Seng, lalu mengangkat tubuh Kwee Seng bagaikan mengangkat tubuh seorang bayi saja, begitu mudah dan ringan, lalu membawa tubuh Kwee Seng kesebuah ruangan dibawah tanah yang tak jauh dari sungai itu, melalui terowongan yang berlika-liku. Dengan hati-hati nenek itu merebahkan tubuh Kwee Seng diatas pembaringan batu, kemudian sekali lagi memeriksa tubuhnya. Ia mengeluarkan suara kaget ketika melihat betapa pundak kanan Kwee Seng berwarna hitam.

   "Aihhh, kejamnya orang yang menggunakan jarum beracun!"

   Serunya, cepat-cepat ia mengambil obat dari pojok dimana terdapat meja dan lemari batu, kemudian ia menggunakan sebatang pisau merobek kulit pundak Kwee Seng, mengeluarkan jarum hitam yang bersarang disitu. Dengan beberapa kali pijatan disekitar pundak ia mengeluarkan darah hitam dan menempelkan sebuah batu yang warnanya putih dan ringan sekali, besarnya sekepalan tangan. Aneh bukan main, batu putih ringan itu dalam sekejap mata menjadi berubah hitam dan berat, dan kiranya darah yang berada disekitar luka telah disedot oleh batu itu!

   Setelah mencuci batu dan mengeringkannya kembali diatas api, nenek itu kembali menggunakan batu mujijat untuk menyedot darah. Sampai lima kali hal ini dilakukan, setelah batu itu warnanya berubah merah, barulah ia berhenti, menggunakan obat bubuk dituangkan ke dalam luka dan membalut luka itu dengan sehelai kain sutera yang agaknya adalah sebuah ikat pinggang. Tekanan batin dan penderitaan lahir yang dialami Kwee Seng agaknya memang hebat sehingga ia seakan-akan keluar kembali dari lubang kubur, terlepas dari cengkraman maut yang mengerikan, sehingga ketika ia roboh pingsan itu, selama tiga hari tiga malam ia tetap dalam keadaan tidak sadar. Ia tidak tahu betapa luka-lukanya dirawat secara tekun oleh seorang nenek tua, tidak tahu betapa setiap hari nenek itu menjaga dan merawatnya siang malam, tidur sambil duduk bersila didekat pembaringan batu.

   Pada hari keempat, pagi-pagi sekali, Kwee Seng siuman dari pingsannya. Ia merasa tubuhnya sakit-sakit dan lemah, ketika ia membuka matanya, ia melihat langit-langit batu yang kasar. Pandang matanya terus menjalari dinding batu itu yang penuh dengan tulisan lebih tepat ukiran karena dinding itu penuh tulisan huruf yang agaknya diukir. Huruf-hurufnya halus dan indah, jelas membayangkan tulisan tangan wanita, dan sekilas pandang tahulah ia bahwa tulisan-tulisan itu merupakan syair-syair yang amat indah pula walaupun mengandung peluapan hati berduka. Ketika mendapat kenyataan bahwa ia rebah diatas pembaringan batu didalam sebuah "kamar"

   Batu seperti gua, teringatlah Kwee Seng dan cepat ia bangkit duduk. Pada saat itu ia melihat seorang nenek duduk bersila diatas lantai, dekat pembaringan batu.

   "Tubuhmu masih lemah, engkau masih perlu beristirahat lebih lama lagi. Berbaringlah, aku akan masak ikan dan sayur untukmu."

   Suara itu halus sekali, teratur dan sopan-santun.

   Kwee Seng terbelalak kaget. Nenek ini bukan orang sembarangan, itu sudah jelas. Akan tetapi, disamping ini, nenek itu membayangkan sifat seorang terpelajar tinggi, seorang yang tahu akan tata susila dan sopan santun, sama sekali berbeda dengan sikap orang-orang kang-ouw, pantasnya seorang nenek yang biasa hidup didalam istana raja-raja! Ketika merasa pundaknya sakit dan ketika diliriknya ia melihat pundaknya sudah dibalut, dan tidak ada rasa kaku maupun gatal tanda bahwa pengaruh racun sudah lenyap, tahulah Kwee Seng bahwa nenek ini merupakan penolongnya. Cepat ia turun dari pembaringan, mengeluh karena hampir saja ia terjungkal saking lemahnya tubuh, kemudian ia terpaksa berlutut karena nenek itu tetap duduk bersila.

   "Locianpwe (Orang Tua Yang Mulia) telah sudi memberi pertolongan kepada saya orang muda yang menderita, saya Kwee Seng takkan melupakan budi kebaikan ini."

   Nenek itu tertawa dan menggunakan punggung tangan kanan menutupi mulutnya, gerakan khas wanita sopan yang tak pernah mau tertawa secara terbuka didepan siapapun juga. Kemudian terdengar pula suaranya yang halus dengan gaya bahasa yang biasa dipergunakan oleh para bangsawan,

   "Saling tolong tidak mengenal tua dan muda, dan akupun tidak bermaksud menolongmu, melainkan kaulah yang datang dan membutuhkan pertolonganku. Air itu disebut Arus Maut, mahluk berjiwa apapun juga yang terseret kedalam Neraka Bumi ini, tentu telah tak bernyawa lagi. Akan tetapi engkau terseret masuk dalam keadaan bernyawa. Ahhh, entah setan yang mana mengirim engkau datang kepadaku untuk menemaniku!"

   "Maaf, Locianpwe, saya kira bukan setan yang Locianpwe maksudkan. Tentu Tuhan yang telah melindungi saya..."

   "Sudah terlalu lama dahulu aku menggantungkan nasibku kepada Tuhan, terlalu banyak hati ini memohon, terlalu sering mulut ini menyebut, akan tetapi buktinya.... Ah, kalau toh ada Tuhan itu sama sekali tidak peduli kepada diriku...."

   Bukan main pahitnya suara dalam kata-kata ini dan Kwee Seng dapat menduga bahwa nenek ini tentu telah mengalami penderitaan hidup yang amat luar biasa sehingga hatinya seakan-akan menjadi beku dan penuh penyesalan mengapa hidupnya selalu menderita seakan-akan Tuhan tidak mempedulikannya. Karena menghadapi seorang nenek yang agaknya sakti dan malah menjadi penolongnya, ia tidak mau membantah lagi walaupun ia merasa penasaran dan terheran-heran mengapa seorang nenek tua yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, begitu dangkal pandangannya tentang kebesaran dan keadilan Tuhan.

   "Bolehkah saya mengetahui nama Locianpwe yang mulia?"

   Akhirnya ia bertanya.

   "Ah, aku sendiri tidak tahu siapa namaku, akan tetapi karena kau sudah berada disini menemaniku, biarlah kelak kau yang memilihkan nama untukku. Siapa saja terserah kepadamu."

   Kembali nenek itu menutupi mulut menahan suara tawanya, kemudian ia bangkit berdiri, gerakannya ringan dan cekatan,

   "Ah, sampai lupa aku. Kau tentu lapar, untung pada musim seperti ini, daun kelabang dibawah Guha Seratus Golok tumbuh dengan suburnya. Daun kelabang merupakan sayur yang selain enak juga dapat mempercepat kembalinya kesehatanmu, dan dimasak dengan ikan ekor putih bukan main lezatnya."

   Setelah berkata demikian, nenek itu pergi meninggalkannya.

   Kwee Seng memandang dengan melongo. Tadi ia berlutut didepan nenek itu yang duduk bersila, mereka berhadapan dalam jarak satu meter sehingga jelas ia dapat mencium keharuman dari tubuh nenek itu. Hal ini tentu saja amat janggal, seorang nenek berbau harum? Apakah memakai minyak bunga? Dan mata nenek itu. Bukan main! Diam-diam meremang bulu tengkuk Kwee Seng, bergidiklah dia. Tak mungkin nenek itu manusia. Ah, masih hidupkah dia? Ataukah sebetulnya sudah mati dan inikah keadaan neraka dimana ia dihukum dan diharuskan tinggal bersama seorang iblis betina? Nenek tadi menyebut air itu Arus Maut dan tempat ini disebutnya Neraka Bumi!

   Gerak-geriknya memang seperti manusia yang berilmu, akan tetapi suaranya begitu halus, matanya seperti mata... ah, sukar mencari perbandingan, pendeknya begitu jernih, begitu tajam, bagian putihnya tiada cacat, bagian hitamnya berkilau seakan menyinarkan api. Serasa ia mengenal mata ini! Ah, tak mungkin! Tiba-tiba nenek itu membalikkan tubuh dan dari jauh ia berkata, suaranya bergema diseluruh ruangan,

   "Oya, di ruangan paling kiri terdapat kamar kitab, kalau kau suka kau boleh membaca kitab yang mana saja. Kitab-kitab tua yang sukar sekali dibaca, aku sendiri ogah membacanya!"

   Suara ini menyadarkan Kwee Seng daripada lamunannya.

   Mengapa ia harus merasa ngeri? Manusia maupun setan, nenek itu telah membuktikan niat baik terhadap dirinya. Telah menolongnya, mengangkatnya dari sungai, merawat lukanya sampai sembuh, dan kini malah bersiap menyediakan makanan untuknya. Kitab-kitab kuno? Lebih baik melihat-lihat daripada duduk menanti orang masak, karena teringat akan masakan, perutnya yang perih akan makin terasa. Ia bangkit berdiri, menahan napas dan mengumpulkan kembali kekuatannya. Kwee Seng merasa betapa lemahnya tubuh, seakan-akan habis semua tenaganya. Hemm, untung nenek itu berniat baik, kalau mengandung niat jahat terhadapnya, dalam keadaan seperti ini, tentu ia takkan mampu mengadakan perlawanan sama sekali. Dengan terhuyung-huyung ia menyeret kedua kakinya menuju ke kiri melalui jalan terowongan mencari kamar kitab-kitab itu.

   Ketika memasuki kamar dalam tanah paling kiri, ia berseru heran dan kagum. Dinding kamar itu merupakan rak buku dan disitu berdiri banyak sekali kitab yang berjajar rapi. Sekilas pandang ia menaksir bahwa disitu terdapat tidak kurang dari seratus buah kitab yang tebal! Sebelum menjadi ahli silat, Kwee Seng adalah seorang kutu buku (penggemar bacaan), apalagi kitab-kitab kuno yang mengandung filsafat-filsafat berat. Kini melihat kitab kuno berderet-deret rapi, ia seperti seorang kelaparan melihat daging segar. Lupa ia akan semua kelemahan tubuhnya, setengah tubuhnya, setengah meloncat ia mendekati rak buku batu itu dan jari-jari tangannya gemetar ketika ia memeriksa judul-judul buku. Ternyata kitab-kitab itu adalah kitab-kitab mengenai Agama To, sebagian pula merupakan kitab dongeng-dongeng raja-raja jaman dahulu, kitab berisi syair-syair para pujangga kuno.

   Sampai bingung Kwee Seng akan melihat bacaan mana yang akan ia dahulukan. Karena ingin sekali tahu semua kitab itu, ia tidak mau mengambil sebuah diantaranya, melainkan ia membuka lembaran pertama dari semua kitab untuk mengetahui judulnya. Dua buah kitab amat menarik hatinya, yaitu kitab Siulian (Meditasi) dan yang sebuah lagi kitab tentang rahasia letak dan gerakan-gerakan bintang-bintang. Yang mula-mula ia buka dan baca adalah kitab tentang samadhi itu dan alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kitab kuno itu benar-benar merupakan kitab rahasia yang amat berharga, dimana dijelaskan tentang pelbagai ilmu samadhi, cara-caranya dan segala yang berhubungan dengan samadhi mengenai peredaran jalan darah, pernapasan dan lain-lain. Ia pernah melatih diri bersamadhi untuk melatih lwee-kang dan memperkuat sin-kangnya, akan tetapi pelajaran yang ia dapat dahulu amatlah dangkal dan tak berarti kalau dibandingkan dengan isi kitab ini.

   Bagaikan seorang miskin menemukan sebuah batu permata yang tak ternilai harganya, Kwee Seng membawa kitab Samadhi dan Perbintangan itu keluar dari kamar kitab dan kembali ke ruangan tadi. Betapapun juga, ia harus minta ijin dulu dari Si Pemilik Kitab. Mengingat ini, ia tercengang. Ternyata wanita itu bukan sembarang orang! Dengan memiliki kitab-kitab seperti ini, jelas bahwa nenek itu adalah seorang yang memiliki ilmu yang amat tinggi! Heran ia memikirkan, siapa gerangan nenek itu yang mengaku tidak punya nama, bahkan minta ia kelak yang memilihkan nama untuknya! Ia sedang tekun membalik-balik lembaran kitab Samadhi ketika nenek itu yang muncul membawa mangkok-mangkok batu dengan masakan yang masih mengebul dan masih menyiarkan bau yang sedap-sedap aneh. Cepat Kwee Seng menutup kitabnya dan berlutut lagi sambil berkata,

   "Mohon maaf sebanyaknya bahwa saya berani lancang mengganggu Locianpwe yang budiman, berani pula memasuki kamar kitab yang terahasia mengambil dua buah kitab ini. Apabila Locianpwe memperkenankan, saya mohon pinjam dua ini untuk saya baca."

   Nenek itu tak bergerak kulit mukanya, menaruh mangkok-mangkok masakan diatas meja batu, lalu menghadapi Kwee Seng, memandang kearah dua kitab itu,

   "Hemm, bangkitlah. Tak enak melihat kau sedikit-sedikit berlutut seperti itu. Kita berdua seakan-akan hidup di dunia tersendiri, terpisah dari dunia ramai, mengapa harus memakai banyak tatacara yang palsu? Kwee Seng, duduklah dan mari kita makan. Kau memilih kitab-kitab itu? Hemm, kitab tentang Samadhi dan kitab Perbintangan? Ah, justeru dua kitab itu yang aku sendiri paling tidak doyan (tidak suka)! Terlalu ruwet dan kalimat-kalimatnya amat kuno, pengertianku tentang sastra tidak sampai disitu. Kau bacalah, dan boleh memiliki dua kitab itu."

   Bukan main girangnya hati Kwee Seng.

   "Locianpwe amat mulia, terima kasih atas pemberian ...."

   "Siapa memberi? Kitab-kitab itu sudah berada disini sebelum aku lahir! Mari kita makan, perutmu kosong dan kita lanjutkan bicara nanti saja."

   Untuk menghormati ajakan orang yang demikian manis budi, Kwee Seng tidak banyak cakap lagi, lalu menghadapi hidangan. Ternyata masakan itu adalah masakan ikan yang gemuk bersama sayur-sayuran yang berwarna hitam. Kelihatannya sayur itu menjijikkan, terasa gurih dan sedap. Tanpa malu-malu lagi Kwee Seng makan dengan lahapnya dan mendapat kenyataan bahwa perutnya menjadi hangat dan badannya terasa segar setelah makan hidangan aneh itu. Sehabis makan Kwee Seng hendak membantu Si Nenek mencuci mangkok batu, akan tetapi cepat-cepat Si Nenek mencegahnya,

   "Mencuci mangkok adalah pekerjaan wanita, kalau kau membantu dan canggung sampai membikin pecah mangkok batu, aku harus bersusah payah membuat lagi."

   Nenek itu lalu pergi lagi dan ketika Kwee Seng mengikutinya, ternyata Neraka Bumi ini merupakan tempat tinggal yang lengkap juga.

   Ada air mancur yang jernih, dan disuatu sudut tumbuh bermacam sayuran aneh yang daun-daunnya berwarna hitam kehijauan, ada yang kemerahan. Tidak kekurangan kayu bakar disitu, agaknya dari kayu-kayu dan ranting-ranting yang terbawa aliran Arus Maut, ditampung dan dikeringkan ditempat itu, dimana terdapat sinar matahari menyinar masuk melalui tebing yang tak dapat diperkirakan tingginya. Jalan lain untuk keluar dari Neraka Bumi ini tidak ada sama sekali! Mereka telah terkurung hidup-hidup dan agaknya hanya melalui terowongan air itu saja jalan keluar masuk neraka ini! Untuk memasukinya saja mempertaruhkan nyawa, apalagi keluarnya, harus melawan arus yang begitu deras, agaknya tidak mungkin lagi. Mendapat kenyataan ini, Kwee Seng lesu dan duka, akan tetapi kalau ia teringat akan derita hidup karena putus cinta, ditolak kasihnya oleh Liu Lu Sian, ia tidak ingin lagi kembali ke dunia ramai.

   Tempat itu biarpun menyeramkan dan sederhana, namun cukup enak untuk menjadi tempat tinggal. Makanan cukup, air cukup, sinar matahari pun tidak kurang, dan disitu terdapat seorang nenek yang merawatnya begitu teliti penuh perhatian seperti seorang nenek merawat cucunya sendiri. Masih terdapat ratusan lebih kitab kuno tebal-tebal yang agaknya tak mungkin dapat habis biarpun ia baca setiap hari sampai selama ia hidup. Mau apa lagi? Namun ternyata kitab Samadhi itu amat menarik perhatian Kwee Seng. Makin dibaca makin menarik, makin di pelajari makin sulit. Akan tetapi, setiap kali ia mencoba bersamadhi menurut petunjuk-petunjuk isi kitab, Kwee Seng mendapat kenyataan bahwa hasilnya luar biasa. Tenaga dalamnya cepat pulih kembali, behkan ia merasa betapa dengan latihan menurut kitab itu.

   Tenaganya menjadi makin kuat, pikirannya makin jernih dan tubuhnya terasa nyaman selalu. Makin tekunlah ia mempelajari isi kitab dan kadang-kadang saja ia membaca kitab kedua tentang perbintangan. Kitab ini pun menarik hatinya karena setelah membaca tentang pergerakan bintang-bintang ia mendapat pandangan yang luas tentang ilmu silat, apalagi tentang ilmu pedangnya Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang)! Nenek itu jarang sekali bicara, namun dalam sikap diamnya, nenek itu kelihatan amat memperhatikan segala keperluannya. Bahkan pakaiannya yang robek-robek itu telah ditambali oleh Si Nenek. Seringkali Kwee Seng memutar otak untuk menerka siapa gerangan nenek ini yang tak pernah mau mengaku namanya maupun riwayatnya. Ketika Kwee Seng mencoba untuk mendesak, nenek itu bersungut-sungut dan menjawab dengan suara kesal.

   "Sudahlah, kau sebut saja aku nenek, habis perkara. Aku tidak suka kau sebut sebut locianpwe segala. Orang macam aku ini ada kepandaian apa sih?"

   Tertegun Kwee Seng kadang-kadang menyaksikan sikap nenek ini. Begitu mudah ngambul dan marah, kadang-kadang diam termenung seperti orang menyedihkan sesuatu. Untuk menyenangkan hatinya terpaksa ia menghilangkan panggilan locianpwe dan memanggilnya nenek.

   Anehnya kadang nenek itu tertawa menutupi mulutnya mendengar sebutan ini. Dan yang amat membingungkan hati Kwee Seng, setiap kali nenek itu memandangnya dengan mata bening jernih memancarkan semangat bernyala-nyala dan amat tajam, ia merasa seakan-akan pernah melihat mata macam ini. Akan tetapi entah kapan dan dimana, ia tidak dapat ingat lagi karena memang rasanya baru pertama kali ini ia bertemu dengan seorang nenek yang begini aneh. Dengan mendapat hiburan kitab samadhi itu waktu tidak terasa lagi oleh Kwee Seng. Saking tekunnya ia melatih diri dalam samadhi dan memperdalam ilmu silatnya dari kitab Perbintangan, tak terasa lagi ia telah terkurung didalam Neraka Bumi itu selama hampir seribu hari! Tiga tahun lewat tanpa terasa oleh Kwee Seng yang semakin girang menyaksikan kemajuan ilmu silatnya.

   Tenaga sin-kangnya hebat sekali sehingga ketika ia mencoba kedua tangannya, hawa pukulannya sanggup menahan aliran air yang deras untuk beberapa detik! Dengan latihan-latihan berdasarkan ilmu perbintangan, ia dapat menggunakan dua buah ranting untuk "mendaki"

   Naik sepanjang dinding tebing yang licin dan keras dengan cara menancap-nancapkan dua ranting itu secara bergantian, merayap seperti seekor kelabang! Hubungannya dengan nenek itu makin akrab dan selama itu Si Nenek memperlihatkan sikap yang penuh kasih sayang, benar-benar ia merasa seperti dekat dengan seorang nenek sendiri, atau bahkan dengan ibu sendiri! Tidaklah mengherankan ketika pada suatu hari Kwee Seng menyatakan keinginannya untuk mencari jalan keluar, nenek itu menangis tersedu-sedu!

   "Kalau kau pergi ... aku... aku mati saja..."

   Si Nenek berkata dalam tangisnya.

   "Nenek, mengapa begitu?"

   Kwee Seng menghibur.

   "Percayalah, kalau aku bisa mendapatkan jalan keluar, tentu kau akan kuajak keluar dari neraka ini dan..."

   "Tidak...! Tidak...! Mau apa aku mencari derita didunia ramai? Aku mau mati disini!"

   Kwee Seng terharu, melangkah maju dan menyentuh pundak nenek itu.

   "Harap kau jangan berpendirian begitu, Nek...!"

   "Jangan sentuh aku!"

   Tiba-tiba nenek itu menggerakkan pundaknya dan Kwee Seng merasa betapa dari pundak itu keluar tenaga dorongan yang cukup hebat. Ia merasa heran. Memang hebat tenaga dorongan pundak yang hanya digerakkan begitu saja, akan tetapi ia harus akui bahwa tenaga itu tidaklah sehebat yang ia sangka. Tenaga murni dari sin-kang nenek ini agaknya tidak akan melebihi tenaga sin-kangnya sendiri. Hal ini amatlah mengherankan.

   "Nenek yang baik. Aku harus mengaku bahwa aku telah menerima budimu bertumpuk-tumpuk, sampai mati pun aku takkan mampu membalas budimu. Oleh karena itu, perkenankanlah aku mencari jalan keluar dan membawamu didunia ramai, dan aku bersumpah akan menganggap kau sebagai nenek atau ibu sendiri, dan aku akan berbakti kepadamu, merawatmu, menjagamu untuk membalas budi..."

   "Cukup! Aku tak mau dengar lagi!"

   Nenek itu lalu meninggalkannya dengan sikap marah. Kwee Seng duduk terlongong, terheran-heran. Akan tetapi sikap nenek itu tentu saja tidak memadamkan niatnya untuk mencari jalan keluar. Betapa pun besar ia berhutang budi, masa ia yang masih muda mengubur diri sampai mati ditempat itu? Tiba-tiba terdengar suara berkerosokan hebat disebelah atas, dan keadaan menjadi gelap. Cepat-cepat Kwee Seng menyalakan lampu dari minyak yang dikumpulkan dari ikan sehingga keadaan di situ menjadi remang-remang. Nenek itu datang berjalan perlahan.

   "Suara apakah itu, Nek?"

   "Hujan! Agaknya akan datang musim hujan besar. Dulu pernah sampai tiga puluh hari lebih tidak cahaya matahari, gelap disini dan Arus Maut mengalir deras mengamuk, membabi buta."

   "Wah, celaka! Tentu disini terendam air, Nek?"

   "Jangan kuatir. Air itu membanjir kedepan, terus keluar melalui terowongan. Tak pernah banjir disini, akan tetapi sukar menangkap ikan. Maka sebelum banjir besar dan gelap datang, kita harus banyak mengumulkan ikan untuk bahan makan, juga mengumpulkan sayur."

   Tiga hari mereka kerja keras, setiap saat menangkap ikan dan mengumpulkan kayu bakar, sayur-sayur.

   Kemudian tibalah musim gelap dan hujan yang dikuatirkan. Air yang mengalir kedalam terowongan itu menjadi liar dan besar, batu-batu diterjangnya hanyut, suaranya memenuhi ruangan itu, bergema menakutkan. Lubang diatas melalui tebing-tebing tinggi itu tidak dijenguk matahari lagi. Gelap pekat, hanya diterangi lampu minyak yang hanya kadang-kadang kalau perlu saja dinyalakan, harus seringkali dipadamkan, apalagi di waktu mereka tidur, untuk menghemat minyaknya. Si Nenek tidak marah-marah lagi. Dalam keadaan terancam itu mereka seringkali duduk bercakap-cakap. Pada hari keempat, didalam gelap pekat karena lampu sudah dipadamkan, nenek itu bertanya suaranya halus menggetar penuh perasaan,

   "Kwee Seng, apakah masih ada niat hatimu untuk keluar dari sini?"

   Kwee Seng terharu. Suara itu menggetar, jelas bahwa nenek itu amat kuatir ditinggalkan.

   "Sesungguhnya, Nek. Aku yang masih muda tak mungkin harus mengubur disini terus selamanya. Aku akan keluar dan tentu saja besar harapanku untuk mengajakmu keluar. Kau memiliki kepandaian, tentu dapat pula keluar bersamaku."

   Hening sejenak. Ingin sekali Kwee Seng dapat melihat wajah nenek itu atau lebih tepat melihat matanya, karena wajah nenek yang keriputan itu tak pernah membayangkan isi hatinya. Akan tetapi matanya dapat membayangkan. Namun didalam gelap itu ia hanya menanti, tak dapat melihat apa-apa.

   "Kwee Seng..."

   Tertahan lagi.

   "Ya, Nek? Ada apa?"

   "Kau bilang hendak merawatku selama aku hidup. Akan tetapi aku tidak tahu orang macam apa kau ini, dari mana asalmu dan bagaimana kau sampai dapat tiba ditempat ini. Belum pernah kau bercerita tentang dirimu."

   Kwee Seng tersenyum didalam gelap. Memang tak pernah ia bercerita. Bukankah nenek itu pun tak pernah menanyakan dan tak pernah pula menceritakan tentang dirinya? Pertanyaan nenek itu merupakan harapan. Agaknya Si Nenek hendak menimbang-nimbang untuk ia ajak keluar di dunia ramai!

   "Aku seorang yatim piatu, Nek. Orang tuaku meninggal sejak aku masih kecil. Aku hidup mengabdi kepada orang-orang, menjadi buruh tani, menggembala kerbau. Didunia ini tidak ada seorang pun keluargaku. Aku seorang mahasiswa gagal, kepalang tanggung. Siucai (lulusan mahasiswa) bukan, buta huruf pun bukan. Lebih senang ilmu silat, itu pun serba tanggung-tanggung."

   "Ilmu silatmu hebat, kepandaianmu luar biasa, ini aku tahu."

   Bantah Si Nenek.

   "Ah, agaknya mendapat sedikit kemajuan berkat dua buah kitab yang kau pinjamkan, Nek."

   Kemudian Kwee Seng menceritakan semua pengalamannya, karena makin banyak ia bicara, makin terlepas lidahnya. Ia menganggap seakan-akan ia berhadapan dengan neneknya atau ibunya sendiri. Segala dendam dan sakit hati ia keluarkan, ia tumpahkan karena justeru selama ini ia membutuhkan seorang yang dapat ia ceritakan untuk menumpahkan semua dendam dan sakit hati. Ia bercerita tentang Ang-siauw-hwa, kembangnya pelacur di see-ouw yang bernama Khu Kim Lin itu, ia bercerita pula tentang Liu Lu Sian yang menampik cinta kasihnya. Ia menuturkan pertempurannya melawan Pat-jiu Sin-ong yang mengakibatkan ia terjungkal kedalam Arus Maut dan yang menyeretnya ke dalam Neraka Bumi itu.

   "Nah, begitulah riwayatku, Nek. Nek, apakah kau tertidur?"

   Kwee Seng mendongkol dan bertanya agak keras. Ia bercerita dua jam lebih, mulutnya sampai lelah, akan tetapi nenek itu diam saja, agaknya sudah tertidur pulas! Akan tetapi ternyata tidak. Ia mendengar suara nenek itu menjawab, suara yang serak seperti orang menangis.

   "Nek, mengapa kau menangis?"

   "Aku... aku kasihan kepadamu, Kwee Seng. Orang macam Liu Lu Sian itu mana pantas kau cinta? Agaknya... agaknya lebih patut kau mencinta Ang-siauw-hwa."

   "Hemm, memang agaknya begitu. Dan terus terang saja, aku mengalami kebahagiaan yang takkan terlupa olehku selamanya bersama Ang-siauw-hwa, walaupun hanya satu malam. Ah, siapa sangka, ia meninggal dunia dalam usia muda..."

   "Kurasa lebih baik begitu. Dia sudah menjadi pelacur, apakah baiknya? Hina sekali itu! Lebih baik mati! Akan tetapi, apakah... kau dapat mencintanya andai kata ia tidak mati?"

   "Hemm, kurasa... hal itu mungkin. Dia wanita yang hebat! Dan wataknya... ah, jauh lebih menyenangkan daripada Liu Lu Sian..."

   Hening pula sejenak, akan tetapi Kwee Seng masih mendengar nenek itu terisak-isak menangis, ia mendiamkannya saja, mengira bahwa nenek itu masih terharu mendengar riwayat hidupnya yang memang tidak menyenangkan. Ia pun menjadi terharu. Nenek ini sudah amat mencintainya, seperti kepada anak sendiri, atau cucu sendiri sehingga mendengar semua penderitaannya, nenek ini menjadi amat berduka! Akan tetapi setelah lewat satu jam nenek itu masih saja terisak-isak, Kwee Seng menjadi kuatir juga.

   "Nek, apa kau menangis? Sudahlah, harap jangan menangis, menyedihkan hati, Nek."

   Akan tetapi nenek itu tetap menangis. Kwee Seng curiga dan khawatir. Jangan-jangan nenek yang sudah tua renta ini jatuh sakit karena kesedihannya. Ia mencetuskan batu api dan membakar daun kering, menyalakan pelita. Akan tetapi begitu lampu menyala, menyambarlah angin yang kecil akan tetapi keras dan api itu pun padam. Kiranya Si Nenek meniupnya dari jauh, memadamkan api. Kwee Seng mengangkat pundak.

   "Nek, kau mengkuatirkan hatiku karena menangis sejak tadi. Diamlah, Nek. Apakah kau sakit?"

   Tidak ada jawaban pula, akan tetapi suara isak itu mengendur dan mereda, akhirnya terdiam. Lega hati Kwee Seng dan ia sudah merebahkan diri telentang, bermaksud untuk beristirahat dan tidur. Akan tetapi beberapa menit kemudian terdengar suara Si Nenek, agak jauh dari tempat ia berbaring.

   "Kwee Seng..."

   
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ya, Nek. Ada apa?"

   "Kalau kau keluar dari sini..."

   Berhenti seakan sukar dilanjutkan.

   "Ya....?"

   Kwee Seng mendesak.

   ".... Aku tidak akan ikut. Tapi aku hanya mempunyai sebuah permintaan..."

   "Ya...? Permintaan apa, Nek? Tentu aku siap untuk melaksanakan semua permintaanmu."

   "Kwee Seng, bukankah kau bilang bahwa kau berhutang budi kepadaku dan sanggup untuk membalas budi dengan merawatku selamanya?"

   "Betul, Nek, betul. Karena itu kau harus ikut..."

   "Tak perlu kau lakukan hal itu. Tak perlu bersusah payah merawatku selama hidup. Sebagai gantinya, aku hanya minta sedikit.."

   "Apa, Nek? Katakanlah."

   Hening kembali sampai lama, menegangkan hati Kwee Seng yang makin tidak mengerti akan keanehan nenek itu.

   "Ya, Nek? Bagaimana kehendakmu?"

   "Kwee Seng, keadaan hujan dan gelap ini akan makan waktu sedikitnya lima belas hari lagi."

   "Ya, betul agaknya. Lalu?"

   "Selama itu kau tidak boleh mencoba keluar..."

   Kwee Seng tertawa. Hanya inikah permintaannya? Gila benar. Mengapa bersusah-susah mengucapkannya?

   "Ha-ha-ha! Tentu saja, Nek. Tidak usah meminta pun bagaimana aku dapat keluar kalau Arus Maut begitu hebat mengamuk?"

   "Selama gelap dan hujan kau tinggal disini dan..."

   "Ya...?"

   Kwee Seng mulai tidak sabar.

   ".... dan... kita menjadi suami isteri sampai hujan berhenti!"

   "Apa?"

   Kini Kwee Seng terloncat keatas dan jatuh berdebuk diatas tanah. Begitu saja ia terguling dari atas pembaringan batu, saking kagetnya. Ia terhenyak diatas lantai, terlongong keheranan, seketika menjadi bisu tak dapat mengeluarkan suara. Setelah lidahnya tidak kaku lagi, suara yang dapat keluar dari mulutnya hanya,

   "apa...? ah... bagaimana...?"

   Ia tidak percaya kepada telinganya sendiri. Suara nenek itu penuh kegetiran, terdengar lirih mengandung rasa malu.

   "Hanya itu permintaanku. Kita menjadi suami isteri sampai pada saat kau berhasil keluar dari sini, yaitu setelah hujan berhenti."

   Kwee Seng meloncat berdiri, mengepal tinjunya, mengerutkan keningnya.

   "Apa? Gila ini! Tak mungkin!"

   Sunyi sejenak, lalu terdengar nenek itu tersedu-sedu menangis, ditahan-tahan sehingga suara tangisnya tertutup, agaknya kedua tangan nenek yang kecil itu menutupi mulut dan hidung agar sedu sedannya tidak terlalu keras. Kemudian terdengar suara nenek itu makin jauh dari situ, diantara tangisnya,

   "Ah, aku tahu...kau tentu menolak..."

   Kwee Seng terduduk diatas pembaringan batu, ada sejam lebih tak bergerak-gerak, seakan-akan ia sudah pula berubah menjadi batu. Suara sedu-sedan nenek itu seakan-akan pisau menusuk-nusuk jantungnya. Apakah nenek itu sudah menjadi gila? Nenek-nenek yang melihat keriput di mukanya tentu berusia enam puluh tahun kurang lebih, bagaimana ingin menjadi isterinya? Mana ia sudi melayani kehendak nenek yang gila-gilaan ini? Menjemukan sekali! Sialan! Kwee Seng mengumpat diri sendiri. Ada wanita yang mencintanya, seorang nenek-nenek hampir mati! Mana mungkin ia membalas cinta seorang nenek-nenek yang buruk rupa? Teringat ia akan Ang-siauw-hwa. Teringat pula Liu Lu Sian.

   Gadis puteri Beng-kauw itu pun menolak cintanya. Padahal ia tergila-gila kepada nona itu. Penolakan cinta yang menyakitkan hati. Kwee Seng terkejut teringat akan hal ini. Nenek itu pun mencintanya, mencinta dengan suci, sudah dibuktikan dengan perawatan dan pelayanan yang demikian sungguh-sungguh penuh kasih sayang selama seribu hari! Dan dia menolak cinta nenek itu. Menolak begitu saja! Padahal nenek itu pun hanya menghendaki pembalasan cinta hanya untuk beberapa hari lamanya! Ah, betapa sakit hati nenek itu, dapat ia membayangkannya. Ia menjadi seorang yang tak kenal budi! Mungkin nenek itu pun hanya ingin diakui sebagai isteri saja, hanya ingin ia dekati dan ia sebut isteri, tak lebih daripada itu. Mungkin nenek itu, ingin menjadikan pengalaman manis ini sebagai kenang-kenangan manis untuk dibawa mati!

   Nenek ini semenjak kecil berada disini, demikian pengakuannya beberapa hari yang lalu secara pendek ketika ia tanya. Berarti bahwa nenek ini tak pernah mengalami dewasa didunia ramai! Sebagai wanita yang selamanya tak pernah menjadi isteri orang, tentu timbul keinginan untuk menerima perlakuan manis dari seorang pria yang mengaku sebagai suaminya! Ah, betapa bodohnya. Apa sih artinya pengorbanan sekecil ini? Hanya bermain sandiwara, menyebut nenek itu sebagai isteri, bicara manis dan menghibur dengan kata-kata penuh sayang. Kiranya cukup bagi Si Nenek yang tak mungkin menghendaki lebih daripada itu. Berjam-jam Kwee Seng duduk termenung. Terjadi perang didalam hatinya sendiri, sedangkan suara sedu-sedan nenek itu tetap terdengar olehnya makin lama makin menusuk jantung.

   Teringat ia akan pengalamannya bersama Ang-siauw-hwa. Selama ia hidup, baru sekali itu ia bercinta kasih dengan seorang wanita. Mencinta dan dibalas cinta. Merasai kemesraan seorang kekasih yang mencinta sepenuh hatinya. Mendengar bisikan halus yang menyatakan cinta kasih Ang-siauw-hwa, melihat mata indah dari dekat, mata yang memandang kepadanya penuh bayangan kasih sayang, mata yang..! Kwee Seng tersentak kaget. Mata itu! Mata nenek itu! Itulah mata Ang-siauw-hwa! Tak salah lagi. Mata Ang-siauw-hwa Si Kembang Pelacur Telaga Barat. Sama jernihnya, sama lebarnya, sama tajamnya dan lirikannya pun sama. Mata Ang-siauw-hwa! Pantas ia merasa seperti pernah mengenal mata itu apabila Si Nenek memandangnya.

   "Ahhh...!"

   Terdengar Kwee Seng berseru melalui kerongkongannya. Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah mati. Hanya persamaan yang kebetulan saja. Banyak mata wanita yang cantik-cantik hampir serupa dan agaknya nenek ini dahulu pun seorang wanita cantik. Seorang wanita terpelajar dan cantik jelita. Kecantikan hanya sebatas kulit. Kalau orang sudah mencinta, apa artinya usia? Apa artinya keburukan rupa? Nenek itu masih menangis terus. Dari suara tangisnya, Kwee Seng tahu bahwa nenek itu tentu pergi menyendiri di kamar kitab.

   Memang seringkali nenek itu tidur disana, ditempat yang sunyi, tempat istirahat yang paling jauh dalam "rumah tinggal"

   Itu. Kalau ia menangis terus sampai jatuh sakit dan mati, maka akulah pembunuhnya! Aku membalas budinya dengan menghancurkan hatinya. Ah, betapa rendah perbuatan ini! Kwee Seng berdiri, meraba-raba dalam gelap, membawa pelita dan batu api, akan tetapi tidak berani menyalakannya. Pertama, karena ia takut kalau-kalau nenek itu marah melihat ia menyalakan pelita. Kedua, karena untuk melakukan "sandiwara"

   Yang bertentangan dengan hatinya ini, lebih baik di dalam gelap, tanpa melihat wajah Si Nenek! Ia meraba-raba dan akhirnya kedua kakinya yang sudah hafal keadaan disitu, membawanya kedepan pintu kamar kitab. Nenek itu masih terisak-isak perlahan.

   "Nek... aku datang..."

   "...pergi! Mau apa lagi kau datang? Kalau kau mengejekku, mau menghinaku..., demi setan... akan kubunuh kau!"

   "Tidak, aku berhutang budi kepadamu, berhutang nyawa, bagaimana aku sampai hati melukai hatimu? Aku datang kepadamu untuk... untuk memenuhi permintaanmu..."

   Tiba-tiba isak tangis itu berhenti dan sejenak keadaan menjadi sunyi sekali. Tak terdengar sesuatu oleh Kwee Seng, seakan-akan nenek itu tidak hanya berhenti menangis tapi juga berhenti bernapas! Kemudian tedengar gerakan nenek itu mendekat, terdengar suaranya menggetar berbisik.

   "Apa...? Kau.. kau tidak menipuku...? Kau... kau mau menerimaku sebagai... sebagai isterimu...?"

   "Ya!"

   Jawab Kwee Seng dengan suara penuh keyakinan.

   "Karena inilah cara terbaik untuk menyenangkan hatimu, untuk membalas budimu. Aku menerima permintaanmu dengan kesungguhan hati, walaupun kita sama tahu bahwa aku tidak mencintamu."

   Hal inilah yang mengganggu perasaan hati Kwee Seng tadi, maka kini ia terpaksa mengucapkannya agar ia tidak merasa seperti seorang penipu.

   "Ah, terimakasih...!"

   Nenek itu tahu-tahu sudah merangkulnya dan menangis, mendekapkan muka pada dadanya, berbisik-bisik.

   "Terimakasih... Kwee-koko (Kanda Kwee)... sekarang matipun aku tidak akan penasaran lagi..."

   Girang rasa hati Kwee Seng. Ternyata dugaannya cocok. Nenek ini ingin mendapatkan kenang-kenangan manis untuk dibawa mati. Biarlah ia memenuhi hasrat hati ini, bukan menipu, melainkan bersandiwara, karena bukankah tadi ia sudah menyatakan sejujurnya bahwa ia memenuhi permintaan ini hanya untuk membalas budi, sama sekali bukan karena cinta? Betapapun juga, meremang bulu tengkuknya mendengar suara halus nenek itu menyebutnya "kakanda"!

   "Niocu.."

   Katanya perlahan sambil mengelus rambut di kepala yang bersandar didadanya. Menggigil tubuh yang bersandar dan merapat padanya itu ketika mendengar sebutan "niocu".

   "Karena keadaan tidak mengijinkan, maka kita menikah tanpa upacara. Biarlah Tuhan yang menyaksikan pernikahan kita tanpa upacara ini, menyaksikan bahwa pada saat ini aku, Kwee Seng menyatakan dirimu sebagai isteriku."

   "Dan aku, Nenek Neraka Bumi, pada saat ini menyatakan bahwa kau menjadi suamiku... ah, Koko, betapa rindu hatiku selama tiga tahun ini! Hampir gila aku dibuatnya, melihat engkau sama sekali tidak pernah pedulikan aku...!"

   Nenek itu memeluknya makin erat.

   Biarpun keadaan disitu amat gelap, Kwee Seng masih meramkan matanya! Akan tetapi hidungnya kembang-kempis, bau harum yang selalu ia rasakan apabila nenek itu mendekatinya, kini makin menghebat. Sedap harum mengusir rasa muak dan jijik yang tadinya mulai menggerogoti hatinya. Dan lengan yang merangkulnya begitu halus! Begitu halus dan hangat. Dan ia teringat betapa sepasang mata nenek ini amat indahnya. Didalam gelap itu, terbayanglah oleh Kwee Seng akan semua kemesraan yang baru pertama kali dialaminya selama hidupnya, yaitu ketika ia berjumpa dengan Ang-siauw-hwa. Hatinya tergerak dan tanpa ia sadari, ia balas memeluk dan ia menundukkan mukanya. Tanpa ia ketahui, nenek itu pun sedang menghadapkan muka kepadanya, sehingga muka mereka bertemu.

   Kwee Seng tersentak kaget. Muka itu halus kulitnya seperti muka Ang-siauw-hwa ketika dahulu ia menciumnya. Ah, Kwee Seng, kau sudah menjadi gila, ia mengumpat diri. Ini nenek, tua bangka bermuka keriputan, hampir mati! Pikirannya dan perasaannya membantah, namun kenyataannya, ia bukan seorang nenek yang sudah tua, melainkan dalam perasannya ia memeluk Ang-siauw-hwa! Beberapa kali ia menciumi muka wanita dalam pelukannya ini, tangannya meraba-raba membelai muka, rambut dan leher. Ia yakin, ini Ang-siauw-hwa! Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah meninggal dunia! Mana mungkin?

   "Kwee-koko... ah, betapa cintaku kepadamu..."

   Nenek itu berbisik-bisik dan terisak penuh kebahagiaan dan haru. Suaranya pun suara Ang-siauw-hwa! "Kwee-koko, betapa rindunya aku kepadamu..."

   Kwee Seng teringat akan batu api dan pelita yang ia letakkan diatas lantai. Tangannya meraba-raba dan lain saat ia telah mencetuskan batu api sehingga bunga api berpijar-pijar memberi penerangan sekilatan saja. Namun sinar terang sekilat itu cukuplah sudah. Tangannya menggigil. Dalam kilatan sinar bunga api itu ia melihat muka yang halus, cantik jelita, hidung mancung bibir merah mata indah. Muka Ang-siauw-hwa!

   "Koko, jangan nyalakan pelita, aku... malu..."

   Dalam gelap Kwee Seng terbelalak. Akan tetapi ia segera memeluk wanita itu, penuh kasih sayang, penuh kerinduan yang selama ini ditekan-tekannya.

   "Kekasihku..., kau.. kau Kim Lin... Ang-siauw-hwa... alangkah rinduku kepadamu!"

   Kwee Seng menjadi seperti gila. Ia menumpahkan seluruh rasa rindu dan cintanya, bahkan cinta kasihnya yang pernah ia kandung terhadap diri Liu Lu Sian, ia tumpahkan kepada nenek itu! Kesadarannya kadang-kadang memperingatkannya bahwa yang berada dalam pelukannya adalah seorang nenek akan tetapi ia tidak mau menerima peringatan ini, karena menurut perasaannya ia berkasih-kasihan mesra dengan seorang wanita muda yang dalam anggapannya kadang-kadang seperti Ang-siauw-hwa dan kadang-kadang seperti Liu Lu Sian!

   Memang didunia, tiada yang sempurna kecuali Tuhan. Apalagi manusia, mahluk yang banyak sekali melakukan penyelewengan-penyelewengan, mahluk yang selemah-lemahnya, setiap orang manusia tentu ada saja kelemahannya di samping kebaikan-kebaikannya. Pemuda ini dahulunya tidak suka minum arak, mencium arak pun menimbulkan rasa muak. Akan tetapi setelah ia terguncang batinnya oleh Lu Sian di dalam pesta Beng-kauw, ia menjadi pemabok, minum tanpa batas lagi, tenggelam ke dalam nafsunya, seperti orang mabok, lupa daratan lupa segalanya. Lupa bahwa ia barkasih-kasihan dengan seorang nenek? Dalam anggapannya, ia memperisteri seorang wanita yang muda dan cantik jelita! Inilah kelemahan Kwee Seng, pendekar muda yang sakti itu.

   Perasaannya terlalu halus, terlalu lemah, mudah terpengaruh. Belasan hari lamanya dalam gelap gulita itu ia berkasih-kasihan dengan nenek Neraka Bumi yang dianggapnya seorang gadis jelita setengah Ang-siauw-hwa setengah Liu Lu Sian! Tak pernah nenek itu membolehkan dia menyalakan pelita. Tak pernah Kwee Seng meninggalkan kamar kitab, dilayani nenek itu yang bergerak cepat menyediakan segala kebutuhan makan mereka, semua dilakukan didalam gelap. Akan tetapi Kwee Seng merasa bahagia, tak pernah teringat pula olehnya tentang diri nenek tua renta yang berkeriputan kedua pipinya. Dua pekan lewat dengan cepatnya bagi dua orang mahluk yang berkasih-kasihan itu. Malam itu Kwee Seng tidur dengan nyenyaknya, tidur dengan senyum menghias bibirnya, dengan bayangan kepuasan batin menyelimuti wajahnya.

   Ia mimpi tentang rumah gedung seperti istana, dimana ia tidur dalam sebuah kamar yang terhias indah, di atas pembaringan dari kayu cendana berukir, di samping isterinya, seorang puteri yang cantik jelita! Hawa udara amat dingin, menyusup ke tulang sum-sum, membuatnya setengah sadar. Ketika membuka matanya sedikit, ia melihat keadaan remang-remang, teringat ia akan isteri dalam mimpi, tangannya meraba-raba dan menyentuh rambut halus didekatnya, ia membalik dan memeluk isterinya puteri cantik jelita, menarik napas panjang penuh kebahagiaan. Tiba-tiba Kwee Seng teringat dan kaget. Ia tidak mimpi! Ia berada dalam kamar kitab bersama isterinya. Dan mengapa keadaan tidak gelap lagi? Ada cahaya memasuki kamar.

   Ah, musim gelap dan banjir sudah berhenti! Ia dapat melihat tangannya, dapat melihat rambut hitam halus yang melibat-libat tangan dan lehernya, dapat melihat kepala yang ia dekap didadanya. Kegelapan yang mengerikan telah pergi! Ia melompat bangun, bukan main gembiranya. Saking gembiranya, ia hendak memeluk isterinya, hendak memberi tahu bahwa kegelapan sudah pergi. Ia membungkuk dan... tiba-tiba ia terbelalak dan tubuhnya mencelat mundur seakan-akan dipagut ular berbisa. Yang tidur melingkar karena hawa dingin, tidur pulas dengan napas panjang, rambut hitam gemuk terurai kacau, pakaian tambalan, ternyata sama sekali bukan gadis jelita seperti yang ia anggap selama belasan hari ini, melainkan seorang nenek tua bermuka penuh keriput!

   Teringatlah Kwee Seng akan segala hal yang selama ini tertutup oleh gelora nafsunya sendiri. Sadarlah ia bahwa selama belasan hari ini ia berkasih-kasihan dengan seorang nenek-nenek! Bukan lagi mengorbankan diri untuk menyenangkan hati nenek-nenek itu, bukan lagi mengorbankan diri untuk membalas budi, sama sekali bukan, karena selama belasan hari ini dialah yang memperlihatkan kasih sayang yang mesra! Dialah yang seakan-akan tergila-gila, dan ternyata ia telah tergila-gila kepada seorang nenek-nenek! Mendadak Kwee Seng tertawa dan kedua tangannya menampari mukanya sendiri,

   "Plak-plak-plak-plak!"

   Begitu terus menerus berkali-kali sampai kedua pipinya menjadi merah biru dan bengkak-bengkak, kemudian ia lari keluar dari kamar itu sambil masih terus tertawa-tawa. Cepat sekali ia lari seperti dikejar setan. Memang ia dikejar setan. Setan bayangan pikirannya sendiri. Kesadaran yang telah membuka matanya kini berubah menjadi setan yang mengejar-ngejarnya, yang mengejeknya, sehingga ia malu! Malu dan harus ia pergi dari situ cepat-cepat. Begitu cepat larinya sehingga ia tidak mendengar lagi seruan jauh dibelakangnya, seruan suara halus memanggil-manggilnya. Begitu tiba ditepi sungai didalam terowongan, yaitu Arus Maut yang sudah mulai menurun airnya dan tidak begitu ganas lagi, tanpa berpikir panjang Kwee Seng yang lari ketakutan terhadap kejaran setan itu segera meloncat ketengah.

   "Byuuur!"

   Air muncrat tinggi. Akan tetapi biarpun ia sudah terjun kedalam air dan menyelam didalam air dingin, tetap saja bayangan itu mengejar-ngejarnya dan mengejeknya, Kwee Seng meramkan mata, menggerakkan kaki tangannya melawan arus air sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

   Ia tidak tahu betapa di pinggir sungai itu, seorang wanita berlutut dan menangis, memanggil-manggil namanya dengan suara mengharukan, seorang wanita yang rambutnya riap-riapan; rambut yang hitam halus dan panjang, seorang wanita yang pakaiannya tambal-tambalan, yang mukanya basah air mata, muka yang cantik jelita kedua pipinya kemerahan hidungnya mancung bibirnya merah matanya jernih, muka yang muda dan jelita. Kwee Seng tidak sempat melihat betapa wanita muda yang cantik ini menangis, ditangan kanannya tergenggam gagang kipasnya yang dahulu rusak ketika ia terseret arus dan tinggal gagangnya saja, tidak sempat melihat betapa tangan kiri wanita jelita itu tergenggam sebuah topeng daripada kulit yang amat halus buatannya, topeng seorang nenek-nenek tua renta..!

   

Tangan Geledek Eps 14 Bu Kek Siansu Eps 9 Tangan Geledek Eps 36

Cari Blog Ini