Suling Emas 9
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
"Sudah kami selidiki dan ternyata dibawa ke kota raja, yaitu di ibukota Ho-nan."
Kemanapun juga akan kukejar, pikir Lu Sian. Ibu kota Ho-nan yang sekarang menjadi kota raja adalah Kai-feng, dan ia harus segera berangkat kesana.
"dan Bayisan itu, apa maksudnya dengan pernyataannya bahwa ia hendak menolong Kam-goanswe pula?"
"Kami tidak tahu jelas karena ia seorang yang berhati palsu. Akan tetapi kami dapat menduganya, Li-hiap. Bukan tak mungkin bahwa dia pun seorang kepercayaan Kerajaan Khitan yang juga ingin sekali mempergunakan tenaga dan pikiran Kam-goanswe dalam soal ilmu perang. Bangsa Khitan sendiri sudah berkali-kali mengalami kekalahan apabila berhadapan dengan pasukan yang dipimpin Kam-goanswe."
"Baik, terima kasih, Sin-tung Sam-kai. Sekarang perkenankan aku pergi, aku hendak menyelidiki ke Kai-feng."
"Berhati-hatilah, Li-hiap. Dalam masa perebutan kekuasaan ini, raja-raja muda banyak menarik tenaga orang-orang pandai yang tentu akan berlomba merampas seorang penting seperti Kam-goanswe."
Dengan tergesa-gesa karena masih saja hatinya mengkhawatirkan nasib jenderal muda she Kam itu, Liu Lu Sian segera meninggalkan kota Poki, kembali kedusun keluar kota untuk mengambil kudanya, kemudian ia membalapkan kuda itu ke timur-laut, menuju ke kota raja dari Kerajaan Liang.
Apa yang diceritakan secara singkat oleh Sin-tung Sam-kai tiga orang pimpinan perkumpulan jembel Wei-ho-kai-pang itu memang benar. Perebutan kekuasaan diantara para bekas pembesar tinggi Kerajaan Tang, para bekas pangeran dan raja muda yang mengangkat diri sendiri setelah Kerajaan Tang roboh, benar-benar membuat rakyat amat menderita. Rakyat yang tidak tahu apa-apa, yang lemah dan miskin, selalu yang menjadi korban tiap kali terjadi perang dan keributan. Pemuda-pemudanya dipaksa menjadi tentara, hasil sawah ladangnya dirampasi, pajaknya diperberat secara paksa, gadis-gadisnya yang muda dan cantik diambil secara paksa untuk menghibur pasukan-pasukan yang lewat. Akan tetapi, mereka yang tergolong orang-orang pandai, ahli silat dan ahli perang, bermunculan dan keadaan keruh seperti itulah merupakan masa jaya bagi mereka.
Inilah masanya bagi para perampok untuk beraksi tanpa takut dihancurkan petugas keamanan karena orang lebih meributkan mencari kedudukan daripada menjaga keamanan rakyat. Masanya bagi yang kuat menindas yang lemah. Masanya pula bagi orang-orang sakti yang di masa aman tenteram pergi ke guha-guha, ke puncak-puncak gunung, ke tepi-tepi laut untuk bertapa, untuk turun gunung masuk kota raja untuk menawarkan kepandaian mencari jasa dan kedudukan mulia! Dan memang para raja muda yang mempunyai cita-cita mengangkat diri menjadi raja besar, amat membutuhkan tenaga orang-orang sakti ini. Tidak peduli si orang sakti itu terdiri daripada golongan hitam maupun putih, penjahat maupun pendeta, asal sakti dan tenaganya dapat dipergunakan, tentu oleh si pangeran atau raja muda akan diterima penuh kegembiraan, dihujani hadiah emas permata, pakaian indah, makanan lezat, atau wanita cantik. Memang menurut sejarah, jaman Lima Wangsa selama setengah abad ini, adalah jaman yang paling keruh dan penuh dengan perang antara saudara.
Semenjak Kerajaan Tang jatuh dalam tahun 907, disusul dengan perebutan kekuasaan yang memecah-mecah bangsa. Dunia kang-ouw terpecah-belah pula, karena masing-masing membela yang mempergunakan mereka. Tidak jarang terjadi bentrokan hebat antara perkumpulan-perkumpulan orang gagah. Bahkan parai-partai persilatan besar, kelenteng-kelenteng besar yang mempunyai banyak anak murid banyak yang terseret-seret. Dalam perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai-feng yang berada dilembah selatan Sungai Kuning, Liu Lu Sian banyak sekali melihat pertempuran-pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi! Namun karena ia sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya, maka ia sengaja menjauhkan diri dari semua halangan, tidak mau melayani urusan kecil yang akan memperlambat perjalanannya dan tidak mempedulikan pula penderitaan para pengungsi yang amat menyedihkan itu. Akan tetapi, pada suatu hari, ia tertarik juga akan sesuatu peristiwa dan terpaksa menunda perjalanannya untuk menyaksikan peristiwa itu.
Pagi hari itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang rusak oleh air hujan, tiba-tiba ia mendengar suara jeritan yang sambung menyambung. Suara seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita yang diculik pasukan tentara, atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau mempedulikannya. Akan tetapi pekik itu tidak hanya jerit wanita, bahkan pula teriakan laki-laki yang agaknya menghadapi maut. Ini pun tidak menarik perhatian Lu Sian. Tiba-tiba ia menghentikan kudanya dengan menahan kendali. Telinganya mendengar bersiutnya angin yang aneh. Itulah hawa pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang sakti yang bertempur disana. Sebagai seorang ahli silat, hal ini amat menarik hatinya dan ia segera meloncat turun dari kudanya, membiarkan kudanya makan rumput di situ lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara pohon dan semak-semak.
Ia melihat seorang kakek yang rambutnya riap-riapan, akan tetapi pakaiannya biarpun kotor berdebu terbuat daripada bahan sutera yang mahal, mukanya keruh pandang matanya kejam, alisnya berkerut seperti orang marah. Kakek ini duduk diatas sebuah batu besar di pinggir jalan, kedua kakinya bersila dan kelihatan lemas. Didekat batu besar itu tampak sebuah dipan bambu yang biasa digunakan orang untuk mengangkut orang-orang sakit, dan dua orang pemanggulnya kini berada dibelakang kakek itu, seorang duduk mengipasi lehernya yang berkeringat dan yang seorang lagi berdiri sambil bertolak pinggang mengikuti gerakan kakek tadi. Melihat wajah dua orang itu yang bodoh, mereka itu agaknya hanya tukang panggul dipan itu yang hanya bertenaga besar.
Yang amat menarik perhatian Lu Sian adalah disekeliling tempat duduk kakek itu, dimana tampak belasan mayat bergelimpangan. Mereka itu tidak kelihatan terluka dan di dekat mereka banyak senjata malang melintang, bahkan diantara mayat itu ada yang masih memegang pedang. Akan tetapi semua mayat itu mengeluarkan darah dari mulut, hidung, mata dan telinga! Diantaranya terdapat pula wanita-wanita yang agaknya hanya wanita biasa, mungkin para pengungsi karena di sana-sini kelihatan buntalan-buntalan pakaian. Pada saat itu, datang pula serombongan pengungsi, didepannya berjalan dua orang laki-laki muda dan seorang gadis tanggung. Melihat gerakan mereka, dapat diduga bahwa dua orang pemuda itu memiliki kepandaian silat, bahkan yang seorang sudah memegang sebatang pedang telanjang. Para pengungsi laki-laki dan perempuan dan yang jumlahnya dua puluh orang lebih, berjalan dibelakang tiga orang muda itu dengan mata terbelalak lebar membayangkan kengerian dan ketakutan.
"Mana dia? Mana kakek gila yang jahat dan membunuhi pengungsi itu?"
Bentak pemuda yang memegang pedang. Para pengungsi yang berada dibelakangnya dengan muka pucat menuding ke arah kakek yang sedang duduk tenang di atas batu sambil berkata,
"Itu dia, iblis tua itu..."
Si Pemuda bersama dua orang temannya tercengang, seperti tidak percaya. Pemuda berpedang melangkah maju.
"Dia ini...? Kakek lumpuh...?"
Kakek itu membuka matanya yang tadinya seperti selalu ditutup, memandang tiga orang muda dengan penuh perhatian, lalu dengan suara malas bertanya.
"Kalian juga mengungsi? Apakah hendak tunduk kepada Kerajaan pemberontak Liang?"
"Kakek iblis! Orang-orang ini mengungsi menyelamatkan diri dari ancaman perang, mengapa kau bunuh mereka? Siapa kau?"
Bentak pemuda berpedang.
"Jawab! Kalian hendak mengungsi dan tunduk kepada pemberontak Liang?"
"Kami tunduk kepada pemerintah yang mana, peduli apa denganmu?"
"Hemm, kalian tidak setia kepada Kerajaan Tang, maka harus mati juga."
"Kakek gila! Kau... kau pembunuh kejam, kau harus dienyahkan..."
Pemuda itu menerjang maju dengan pedang digerakkan, akan tetapi dengan kakek itu menggerakkan tangan kirinya, didorongkan dengan jari tangan terbuka. Bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, pemuda berpedang itu terangkat dan terlempar ke belakang, menjerit dan roboh dengan pedang di tangan, dari mulut, hidung, mata dan telinganya keluar darah. Gadis tanggung itu menubruknya dan menangis ketika menyaksikan bahwa kakaknya itu ternyata telah tewas!
"Siluman keji...!"
Pemuda ke dua marah sekali, lupa akan bahaya dan melompat ke depan, kedua tangannya bergerak memukul.
Si kakek tetap tenang, kembali tangan kirinya terangkat dan... pemuda kedua itu mengalami nasib sama. Tubuhnya terangkat dan terlempar lalu terbanting kebawah, tewas dalam keadaan mengerikan! Kakek itu tidak berhenti sampai disitu, ia menggerakkan tangannya pula dan kini gadis tanggung yang menangis itu bagaikan kena hantam kepalanya oleh palu godam, terjengkang dan tewas, juga berdarah dari mulut, hidung, mata dan telinganya! Melihat ini, para pengungsi itu lari seperti dikejar setan dan keadaan di situ sunyi kembali. Lu Sian bergidik. Hebat kakek ini. Pukulan jarak jauh membayangkan tenaga sin-kang yang luar biasa. Lu Sian bersembunyi dan mengintai terus. Dari jauh datang lagi rombongan pengungsi baru, terdiri dari sebelas orang. Mereka itu terkejut ketika melihat mayat bergelimpangan dipinggir jalan, akan tetapi mereka tidak menaruh curiga kepada Si Kakek Lumpuh.
"Apa yang terjadi? Lopek, apakah yang terjadi disini? Mengapa begini banyak orang mati..."
Seorang diantara rombongan pengungsi itu bertanya. Dengan gerakan perlahan, kakek itu menoleh, menyapu para pengungsi yang terdiri dari dua keluarga itu dengan pandang mata dingin.
"Kalian hendak mengungsi kedaerah Kerajaan Liang?"
"Tidak."
Jawab orang itu.
"Kami mencari daerah tak bertuan, lebih baik hidup di gunung-gunung dimana terdapat ketentraman."
"Hemm, kalian tidak senang dengan pemberontak Liang?"
"Ah, semenjak runtuhnya Kerajaan Tang, kami tidak pernah mengalami ketenteraman lagi. Mana ada pemerintah yang menyenangkan sekarang ini, biarpun banyak hidup kerajaan-kerajaan baru?"
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak, tangannya merogoh saku baju dan ia melemparkan sekantung uang perak.
"Terimalah ini, berangkatlah dan memang lebih baik kalian mengungsi ke gunung-gunung. Selamat jalan!"
Orang itu terkejut dan bingung, pandang matanya menaruh curiga. Pasti ada hubungannya keadaan kakek aneh ini dengan kematian begitu banyak orang.
Setelah menghaturkan terima kasih, ia tergesa-gesa membawa keluarganya meninggalkan tempat itu. Setelah rombongan ini pergi, sampai sore hari, hanya serombongan pengungsi lagi yang lewat disitu, terdiri dari belasan orang yang kesemuanya, dari anak bayi sampai kakek-kakek, dibunuh oleh kakek lumpuh ini karena mereka itu semua hendak mengungsi ke kota raja Liang, yaitu kota Lok-yang! Bertumpuk-tumpuk mayat pengungsi ditempat itu, dan Si Kakek Lumpuh lalu pergi dari situ, duduk diatas pikulan yang berupa dipan bambu digotong dua orang pemikulnya. Liu Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw. Semenjak kecil gadis ini berdekatan dengan orang kang-ouw yang sakti dan aneh, tidak heran pula melihat kekejaman-kekejaman dilakukan orang. Ayahnya dan para pimpinan Beng-kauw juga merupakan orang-orang aneh yang dapat membunuh orang lain begitu saja tanpa berkedip.
Akan tetapi kini menyaksikan kakek lumpuh yang membunuh para pengungsi tanpa pilih bulu, laki perempuan tua muda, sampai bayi dibunuh hanya karena mereka hendak mengungsi ke Lok-yang, benar-benar menjadi kaget dan bergidik. Bukan main kejamnya kakek lumpuh ini, pikirnya. Biarpun urusannya itu tiada tiada sangkut-pautnya dengan dirinya, namun ia sudah merasa tertarik untuk mengikuti kakek lumpuh itu, dan kalau perlu ia hendak turun tangan mencoba-coba kehebatan Si Kakek Lumpuh yang ia percaya tentu mempunyai kepandaian tinggi sekali. Kakek itu bermalam disebuah gubuk rusak dipinggir sawah, dilayani oleh kedua orang pemikulnya. Betapa herannya hati Lu Sian ketika kakek itu mengeluarkan sekantung uang emas, memberikan kepada kedua pemikulnya sambil berpesan agar besok kedua orang itu mencarikan sebuah kereta dan kuda yang baik untuknya.
"Aku hendak melakukan perjalanan jauh ke selatan, kalian mana kuat memikul aku terus?"
Demikian katanya dengan suara perlahan akan tetapi berpengaruh sedangkan kalimatnya teratur baik seperti ucapan seorang pembesar atau bangsawan. Dua orang pemikul itu tidak banyak cakap, akan tetapi mereka itu memperlihatkan sikap menghormat sekali, menyanggupi dan menyebut paduka kepada kakek itu, kadang-kadang menyebut Ong-ya atau Taijin.
Malam itu bulan bersinar penuh,Lu Sian masih mengintai disekitar tempat itu ketika ia melihat berkelebatnya bayangan yang gerakannya cepat bukan main. Tahu-tahu bayangan itu sudah tiba didepan gubuk dimana Si Kakek Lumpuh berada, dan terdengar suara erang laki-laki yang parau tetapi nyaring.
"Hee, Couw Pa Ong! Kau terkenal dengan julukan Sin-jiu (Tangan Sakti), apakah tangan saktimu itu hanya untuk membunuhi rakyat tidak berdosa? Sin-jiu Couw Pa Ong, kalau ada kepandaian, keluarlah!"
Terdengar suara tertawa mengejek dari dalam gubuk.
"Couw Pa Ong Si Raja Muda sudah lenyap bersama lenyapnya Kerajaan Tang yang besar! Akan tetapi aku Si Tua Bangka Kong Lo Sengjin akan membunuh setiap orang yang tidak setia kepada Dinasti Tang. Orang usilan, kau siapa?"
Orang diluar itu tertawa juga,
"Ha-ha-ha, Couw Pa Ong! Setelah kau kalah dan remuk kedua kakimu, kau merasa malu dengan kekelahanmu sehingga kau mengganti nama? Ha-ha-ha, sungguh lucu! Biarpun mengganti nama seribu kali, siapa tidak akan mengenal Sin-jiu Couw Pa Ong yang besar namanya akan tetapi kini sudah bangkrut dan lumpuh? Pinceng Houw Hwat Hwesio dari Siauw-lim-si, tidak akan mendiamkan saja melihat kau bertindak sewenang-wenang!"
Dari dalam gubuk terdengar suara meludah.
"Cuhhh! Segala macam pendeta! Kau selalu hanya membantu yang menang, untuk yang kuat memberi
(Lanjut ke Jilid 09)
SULING EMAS (Seri ke 02 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
sumbangan, untuk orang-orang kaya dan orang-orang segolongan. He, pendeta tengik! Selama kau menjadi pendeta pernahkah kau berdoa untuk si miskin jembel kelaparan? Pernahkah kau berdoa untuk si jahat agar kembali ke jalan yang benar? Pernah kau membantu untuk pelaksanaan doa-doamu dengan perbuatan nyata? Apa jasamu untuk negara dan bangsa? Apakah orang-orang menjadi baik setelah kau setiap hari bersembahyang?"
"Cukup! Kau bekas raja muda memang terkenal jahat, tidak mengenal Thian!"
Si Hwesio marah, memutar toya (tongkat panjang) dan mendekati pintu gubuk.
"Ha-ha-ha-ha! Apakah tandanya orang mengenal Tuhan? Hanya karena gerak bibir dan goyang lidah cukup menjadi tanda mengenal Tuhan? Dengar, pendeta tengik, orang bisa saja mengenal Tuhan tanpa mempedulikan perilaku kebajikan, akan tetapi tak mungkin orang mengabdi kebajikan tanpa mengenal Tuhan! Perbuatan nyata yang menjadi ukuran, bukan gerak bibir dan goyang lidah!"
"Apa perbuatanmu baik? Ihhh, manusia yang sudah gelap hatinya! Kalau pinceng (aku) tidak turun tangan menghukummu mewakili Thian, kau tentu akan makin merajalela!"
Setelah berkata demikian, hwesio itu berkelebat memasuki pintu gubuk. Liu Lu Sian memandang penuh perhatian. Gerakan hwesio cukup hebat dan ia pikir tentu kakek lumpuh itu akan menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi setelah hwesio itu menerobos masuk, ia hanya mendengar suara ketawa Si Kakek Lumpuh, dibarengi suara
"krakkk!"
Dan disusul melayangnya tubuh hwesio itu keluar gubuk bersama toyanya yang sudah patah-patah menjadi tiga potong! Akan tetapi hwesio itu bukan terlempar melainkan melompat keluar. Agaknya ia gentar dan juga marah.
"Couw Pa Ong orang buronan (pelarian)! Pinceng datang memang bukan untuk melawanmu seorang diri, akan tetapi hendak menyampaikan tantangan! Kalau memang gagah, datanglah ditepi sungai, kami Wei-ho Si-eng (Empat Orang Gagah Sungai Wei-ho) menantimu malam ini juga!"
"Ha-ha-ha! Aku Kong Lo Sengjin mana kenal segala cacing tanah yang bernama Wei-ho Si-eng segala? Akan tetapi jangan kira karena kedua kakiku lumpuh, kalian empat ekor cacing tanah dapat menghinaku. Kalian tentulah empat orang pengkhianat dan penjilat Kerajaan Liang, harus kubunuh. Kau tunggulah, sekarang juga aku datang memenuhi tantanganmu!"
Hwesio itu meleset pergi dengan gerakan cepat sekali. Liu Sian makin tertarik. Ia sudah mendengar dari ayahnya akan nama Sin-jiu Couw Pa Ong yang terhitung seorang diantara tokoh-tokoh besar di dunian persilatan.
Menurut cerita ayahnya, Couw-Pa Ong adalah seorang Raja Muda Kerajaan Tang yang memiliki ilmu silat tinggi sekali, seorang yang mempertahankan Kerajaan Tang, akan tetapi karena pengeroyokan orang-orang gagah yang berusaha menjatuhkan kerajaan itu, ia kalah dan terpukul hancur kedua kakinya. Semenjak itu orang tidak mendengar lagi namanya dan ia dianggap sebagai seorang pelarian yang selalu dicari oleh Kerajaan Liang untuk dibinasakan. Sekarang ia secara kebetulan bertemu dengan tokoh ini, menyaksikan keganasan yang luar biasa dan juga sebentar lagi ia akan menyaksikan kelihaian kakek lumpuh ini menghadapi empat orang gagah yang berjuluk Wei-ho Si-eng. Maka ketika ia melihat kakek itu keluar dari gubuk, duduk di atas dipan bambu dan dipukul dua orang pelayannya, secara diam-diam ia mengikuti dari jauh.
Tidak berani ia mengikuti terlalu dekat karena kakek lihai itu berbahaya sekali dan ia tidak mau melibatkan diri dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Maka ia malah mendahului larinya dua orang pemikul itu, menuju ketepi sungai, ia melihat empat orang sudah menanti musuh. Ia memperhatikan mereka. Di bawah sinar bulan yang penuh dan terang, ia melihat seorang hwesio setengah tua, yang ia duga tentulah hwesio yang tadi dipatahkan toyanya oleh Si Kakek Lumpuh. Hwesio ini bertangan kosong, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang tegap, dapat dibayangkan bahwa tanpa toya, hwesio bernama Houw Hwat Hwesio murid Siauw-lim-pai ini tentulah seorang lawan yang cukup tangguh. Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, memegang sebatang tongkat baja, berdiri tegak memandang ke depan. Orang ke tiga adalah seorang tosu (pendeta To) yang tidak memegang senjata apa-apa, akan tetapi pinggangnya terlibat sebuah cambuk hitam.
Adapun orang ke empat adalah seorang wanita berusia empat puluh tahun, dipunggungnya terselip sebatang pedang. Mereka berempat berdiri dengan sikap tegang dan memandang ke depan, menanti datangnya musuh mereka yang lihai, yang akan muncul dari arah timur. Lu Sian juga memandang kearah itu. Dan tak lama kemudian, dibawah sinar bulan yang mencorong yang merupakan bola api merah bulat di sebelah timur, muncullah dua orang pemikul itu, berjalan dengan langkah lebar setengah berlari. Kakek lumpuh itu bersila di atas dipan bambu, rambutnya sebagian besar menutupi muka, menyembunyikan sepasang matanya yang bersinar-sinar seperti mata harimau. Suasana menjadi tegang sekali, dan ini terasa oleh Liu Lu Sian yang sudah merasa gembira karena sebentar lagi ia akan menyaksikan pertandingan hebat.
"Berhenti!"
Kakek lumpuh mengomando dan kedua orang pemikul itu berhenti pada jarak dua puluh meter dari keempat orang yang sudah siap itu. Tiba-tiba pikulan itu berikut dipan bambu dan kakek lumpuh, terlempar ke atas, melayang ke depan dan turun ke atas tanah di depan empat orang musuh, turun tanpa suara dan tanpa menimbulkan debu seakan-akan sehelai daun kering melayang turun dari pohon. Bukan main hebatnya gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang diperlihatkan kakek lumpuh itu!
Dua orang pemikul lau berjongkok dan sikap mereka tidak peduli. Agaknya sudah terlalu sering mereka ini melihat tuan mereka bertempur atau membunuh orang. Memang selama belasan tahun ini setelah Kerajaan Tang roboh, Sin-jiu Couw Pa Ong yang sudah mengganti namanya menjadi Kong Lo Sengjin, kerjanya hanyalah mencari perkara dan membunuhi orang-orang yang dianggapnya tidak setia kepada Kerajaan Tang yang sudah roboh. Dalam kecewanya dan sakit hatinya karena kedua kakinya lumpuh, kakek ini menjadi seperti tidak normal lagi pikirannya, menjadikan ia ganas kejam dan gila-gilaan!
"Nah, kalian menentangku, aku sudah datang. Majulah!"
Dengan sikap tenang saja, masih bersila, kedua tangannya diletakkan di atas paha, kakek itu menantang. Hwesio itu mewakili teman-temannya menjawab setelah melangkah maju setindak,
"Couw Pa Oag, sebelum kami turun tangan terhadapmu, baiklah kau ketahui lebih dulu bahwa kami bukanlah orang-orang yang tidak tahu bahwa kau seorang bekas raja muda yang setia terhadap rajamu, dan di samping itu seorang yang terkenal di dunia kang-ouw. Kalau kau membunuhi musuh-musuhmu atau membunuhi orang-orang yang kau anggap telah menghianati Kerajaan Tang, itu pinceng dan adik-adik pinceng ini tidak akan ambil peduli. Akan tetapi secara kejam kau membunuhi para pengungsi hanya karena mereka hendak mengungsi ke daerah Kerajaan Liang, hal ini amatlah keji dan bukan hanya kami, melainkan semua orang gagah tentu akan menentangmu. Kami berempat sudah mengangkat saudara, bersumpah hendak membasmi kejahatan. Pinceng Houw Hwat hwesio murid dari Siauw-lim-pai, Toheng ini Liong Sin Cu seorang tosu dari Kun-lun-pai, dia itu Bun-tanio dari Hoa-san-pai beserta Lu Tek Gu adik seperguruannya. Kaulihat kami adalah murid-murid partai besar, selalu mentaati perintah perguruan untuk membasmi kejahatan..."
"Cukup! Ha-ha-ha, hwesio mentah! Kau perlu apa berpidato didepanku? Kau tahu apa? Dengan membunuhi para pengungsi itu, aku telah berbuat kebaikan terhadap mereka. Pertama, mereka mengungsi ke daerah pemerintah pemberontakan Liang, sama dengan mencari kesengsaraan, maka aku bebaskan mereka sehingga tidak usah menghadapi bencana. Ke dua, mereka itu mudah melupakan pemberontakan Cu Bun yang merebut tahta kerajaan, berarti mereka itu lemah dan pengecut, tidak setia. Apa harganya untuk hidup lebih lama lagi!"
"Benar-benar alasan yang bocengli (tak pakai aturan), seenak perutnya sendiri!"
Bentak Lo Tek Gu si murid Hoa-san-pai yang memegang tongkat.
"Mari kita hajar tua bangka keji ini!"
Liu Lu Sian yang menonton sambil sembunyi, diam-diam merasa gembira dan kagum terhadap Kong Lo Sengjin Si Kakek Lumpuh. Lihai ilmu silatnya, lihai pula kata-katanya, aneh dan juga terlalu sekali! Ia mengharapkan pertandingan yang ramai sehingga tidak percuma ia mengintai dan mengikuti kakek itu sampai sehari lamanya, apalagi kalau diingat bahwa empat orang pengeroyok ini adalah murid-murid partai persilatan besar, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, dan Hoa-san-pai! Tiga buah partai besar yang sering disebut-sebut ayahnya dan dikagumi.
Mula-mula memang empat orang itu bergerak dengan cepat dan indah sekali mengurung Si Kakek Lumpuh. Hwesio Siauw-lim-pai itu yang telah kehilangan toya, kini mematahkan dahan pohon dan memutar-mutar dahan ini dengan tenaga besar menimbulkan angin berderu, Tosu dari Kun-lun-pai yang bernama Liong Sun Cu itu pun meloloskan cambuknya dan terdengar bunyi keras seperti petir menyambar diatas kepala. Sungguhpun tidak sehebat paman gurunya, Kauw Bian, permaianan cambuk itu, namun Lu Sian mengagumi keindahannya. Adapun kakak beradik seperguruan dari Hoa-san-pai, juga tidak kalah hebatnya. Permainan pedang wanita itu amat cepat, pedangnya lenyap berubah sinar pedang bergulung-gulung, sedangkan tongkat sutenya juga bergerak-gerak laksana seekor naga mengamuk.
Akan tetapi segera Lu Sian kecewa. Entah empat orang itu hanya memiliki gerakan ilmu silat indah yang kosong saja, ataukah Si Kakek Lumpuh yang terlalu ampuh bagi mereka? Disambar empat macam senjata dari empat penjuru, tubuh bagian atas kakek itu hanya bergerak-gerak seperti batang padi tertiup angin pukulannya menyeleweng ke kanan ke kiri. Tiba-tiba terdengar kakek itu tertawa bergelak, tubuhnya yang masih bersila itu tahu-tahu sudah melayang ke atas kemudian menyambar ke arah Houw Hwat Hwesio. Hwesio Siauw-lim-pai ini kaget sekali, cepat ia menyambut dengan sodokan toyanya kearah ulu hati. Kong Lo Sengjin menangkap toya itu berbareng tangan kirinya menampar dilanjutkan dengan tangan kanan yang menangkap toya mendorong keras. Houw Hwat Hwesio berteriak sekali dan tubuhnya sudah terlempar ke bawah. Terdengar air muncrat dan tampaklah tubuh hwesio itu terapung-apung seperti sebatang balok hanyut!
"Siluman tua, berani kau membunuh saudara kami?"
Bentak Liong Sun Cu si tosu Kun-lun-pai. Cambuknya menyambar-nyambar dengan suara keras. Karena kakek tua itu kini sudah duduk bersila lagi di atas bambu setelah tadi menyerang Houw Hwat Hwesio, maka cambuk Liong Sun Cu menyambar ke bawah, ke arah kepalanya.
Bun-toanio yang juga marah, menerjang dengan tusukan pedang dari belakang, mengarah punggungnya, sedangkan Lu Tek Gu menghantamkan tonkatnya ke arah pundak kiri. Kong Lo Sengjin kembali mengeluarkan suara ketawa keras. Ia membiarkan cambuk itu mengenai kepalanya. Ujung cambuk menghantam kepalanya terus melibat, akan tetapi ketika tosu Kun-lun-pai yang kegirangan melihat hasil serangannya itu hendak menarik kembali cambuknya, ia kaget setengah mati karena cambuknya seakan-akan telah tumbuh akar dikepala kakek itu, tak dapat ditarik kembali! Pedang yang menusuk punggung dan tongkat yang menghantam pundak juga tidak ditangkis, akan tetapi pedang dan tongkat meleset hanya merobek baju saja, seakan-akan yang diserang adalah baja yang keras dan licin sekali.
Selagi tiga orang pengeroyoknya kaget, kakek itu sudah menyambar cambuk dan tubuhnya kembali mencelat ke atas. Kedua tangannya bergerak, cepat sekali sehingga sukar diikuti dengan pandang mata, menampar tiga kali kearah kepala para pengeroyoknya, sambil menampar, ia terus mencengkram dan melempar. Hanya jerit tiga kali terdengar dan tampaklah tiga orang gagah itu berturut-turut melayang dari atas tebing, jatuh ke dalam sungai dan tubuh mereka terapung-apung seperti ikan-ikan mati, hanyut mengikuti mayat Houw Hwat Hwesio! Dua orang pemikul itu kini menghampiri Si Kakek Lumpuh. Mereka itu dengan wajah takut sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Seorang yang lebih tua berkata.
"Ong-ya, hamba berdua mohon pembebasan, sampai disini saja hamba berdua dapat melayani Ong-ya, harap beri perkenan kepada kami untuk mengambil jalan sendiri."
Kong Lo Sengjin memandang mereka dan diam-diam Liu Lu Sian sudah menduga bahwa dua orang pemikul itu tentu akan mampus ditangan kakek sakti itu!
"Hemm, kenapa? Apakah kalian takut?"
"Sesungguhnya, Ong-ya, hamba berdua takut menyaksikan sepak terjang Ong-ya yang mudah dan suka membunuh orang banyak, Ong-ya berkepandaian tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi pembalasan mereka, akan tetapi hamba berdua yang bodoh, mana dapat melindungi diri sendiri kalau kelak orang-orang gagah datang kepada kami?"
"Hemm, apakah kalian juga hendak menakluk kepada pemerintah pemberontak?"
Pertanyaan ini dilakukan dengan suara penuh ancaman.
"Ahh, bagaimana Ong-ya masih dapat menyangsikan kami? Tidak sudi kami menjadi anjing penjilat mengekor kepada raja pemberontak! Hamba berdua malah akan masuk hutan menjadi perampok, mengacaukan wilayah kerajaan Liang!"
"Bagus! Nah, kau perhatikan baik-baik ilmu ini untuk bekal!"
Kakek itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya sambil tiada hentinya memberi petunjuk bagaimana kedudukan dan perubahan kaki harus dilakukan.
Agaknya kedua orang bekas pemikul itu sudah pernah menerima pelajaran ini dan sekarang mereka mendapatkan petunjuk tentang rahasia-rahasianya, maka dalam waktu setengah malam, mereka sudah berhasil menyelesaikan pelajaran ilmu silat yang luar biasa itu. Liu Lu Sian demikian tertariknya sehingga ia bertahan untuk mengintai terus sampai semalam suntuk. Ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang diwariskan kakek lumpuh itu kepada dua orang bekas pemikulnya, merupakan ilmu pilihan yang termasuk tingkat tinggi. Ia percaya bahwa biarpun baginya sendiri ilmu itu masih tidak usah mendatangkan kuatir, namun menghadapi orang lain, dua orang bekas pemikul ini tentu merupakan dua orang perampok yang amat tangguh dan berbahaya. Ilmu silat tadi gerakan-gerakannya seperti ilmu silat Sin-coa-kun, agaknya ciptaan Si Kakek Lumpuh mengambil contoh ular pula.
Teringat ini, ia membayangkan betapa hebatnya kepandaian Si Kakek Lumpuh, dan kalau dibanding dengan ayahnya, agaknya mereka itu seimbang. Dia sendiri terang tidak akan dapat menangkan Kong Lo Sengjin, akan tetapi kalau di situ ada Kwee Seng, tentu ia akan berani keluar mencoba-coba. Hanya ayahnya, atau Kwee Seng, yang agaknya akan dapat menandingi kakek ini dalam pertandingan yang luar biasa tegang dan ramainya. Menjelang pagi, pada saat ayam ramai berkokok menyambut munculnya matahari yang sudah mengirim lebih dulu cahaya merahnya, dua orang bekas pemikul itu berpamit, kemudian berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu. Kong Lo Sengjin lalu merenggut lepas dua batang bambu bekas pikulan, kemudian ia... berjalan dengan langkah-langkah lebar, dengan kedua kaki masih bersila, tergantung di antara dua batang bambu yang menggantikan sepasang kakinya.
Biarpun kedua kakinya terganti bambu yang terpegang kedua tangannya, namun dibandingkan dengan orang yang tidak lumpuh, jalannya jauh lebih sigap dan cepat. Bahkan dibandingkan dengan ahli-ahli ilmu lari cepat, kakek lumpuh ini masih menang jauh! Sebentar saja bayangannya lenyap kearah timur dari mana malam tadi muncul. Liu Lu Sian menarik napas panjang. Sayang tidak ada Kwee Seng disitu. Kalau ada, agaknya pemuda sakti itu tidak akan mau melepaskan kakek lumpuh itu begitu saja. Berbeda sekali dengan dia. Andaikata dia selihai Kwee Seng, ia akan mengajak kakek itu bertempur, bukan sekali-kali untuk membalaskan kematian sekian banyaknya pengungsi yang menjadi korban, melainkan untuk diukur kepandaiannya, karena ia memang mempunyai watak tidak mau kalah oleh siapapun juga. Kalau Kwee Seng tentu lain, tentu menggempur kakek itu karena telah membunuhi orang tak bersalah.
Teringat akan Kwee Seng, wajah Lu Sian menjadi muram dan agaknya ia kecewa. Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang pemuda tampan dan menyenangkan, apalagi amat mencintainya, merupakan seorang teman seperjalanan yang lumayan, daripada sekarang ini berjalan tanpa teman! Akan tetapi setelah wajah Kam Si Ek terbayang lenyaplah segala kekecewaan dan pemikiran tentang Kwee Seng, dan tiba-tiba ia teringat akan keadaan Kam Si Ek yang berbahaya, timbul kekhawatirannya dan segera ia meninggalkan tempat itu untuk cepat-cepat pergi ke kota raja dari Kerajaan Liang, yaitu kota raja Lok-yang yang terletak di Propinsi Honan. Karena ia sama sekali kehilangan jejak Kam Si Ek dan disepanjang jalan tak seorang pun pernah melihat jenderal muda ini, Lu Sian menduga bahwa andaikata benar pemujaan hatinya itu diculik oleh kaki tangan Kerajaan Liang, agaknya mereka itu membawa Kam Si Ek ke kota raja melalui jalan sungai.
Maka ia pun segera mencari tukang perahu dan menyewa perahu itu ke timur. Kota raja Lok-yang letaknya masih diLembah Sungai Kuning, namun agak jauh dari sungai, disebelah selatan. Pada saat itu, Sungai Kunimg airnya penuh, bahkan dibeberapa bagian membanjir, meluap sampai jauh dari sungai, menyelimuti ratusan hektar sawah ladang. Dusun-dusun yang berada dilembah, yang terlalu dekat sungai, sudah banyak yang dilanda banjir. Namun karena airnya mengalir tenang, Si Tukang Perahu berani melayarkan perahunya menurut aliran air. Keadaan dikanan kiri sungai amat menyedihkan dan perjalanan dengan perahu kali ini bagi Lu Sian benar-benar tidak menyenangkan sama sekali. Lenyap pemandangan alam yang biasanya amat indah, terganti keadaan yang mengenaskan, sungguhpun Lu Sian tidak ambil peduli terhadap bencana alam ini. Hatinya sendiri sedang penuh dengan rasa gelisah kalau ia memikirkan nasib Kam Si Ek.
"Tahan perahumu, minggir kesana...!"
Tiba-tiba Lu Sian memerintah tukang perahu ketika ia melihat sebuah perahu besar berlabuh disebelah kanan. Ia merasa curiga.
Perahu itu besar dan mewah, sama sekali bukan perahu nelayan miskin, patutnya perahu bangsawan atau hartawan yang sedang pesiar. Saat seperti itu sama sekali bukan saat yang patut untuk berpesiar, maka adanya perahu ditempat sunyi itu sungguh mencurigakan hatinya. Apalagi ketika ia melihat bahwa dusun ditempat itu juga sudah tenggelam oleh air bah, hanya satu-satunya rumah gedung yang berada didusun, yang kebetulan letaknya ditempat agak tinggi masih belum kemasukan air. Tak seorang pun manusia tampak di dusun yang kebanjiran itu, agaknya semua penghuninya telah pergi mengungsi. Kalau demikian halnya, mengapa perahu besar berada di situ dan perahu itu pun kosong tidak ada orangnya? Setelah perahu kecil itu minggir dan Lu Sian mendapat kenyataan bahwa perahu besar itu benar-benar kosong ia berkata,
"Kau tunggu disini, aku hendak menyelidiki kemana perginya orang-orang dari perahu ini!"
Tanpa menanti jawaban, Lu Sian menggerakkan tubuhnya meloncat keatas wuwungan rumah yang terendam air, kemudian dengan kelincahan yang mengagumkan ia berloncatan dari rumah ke rumah, kadang-kadang melalui pohon yang juga terendam air, menuju ke rumah gedung yang masih belum terendam air. Tukang perahu itu melongo, lalu bergidik ia sudah mengira bahwa penumpangnya adalah seorang wanita kang-ouw yang pandai ilmu silat, kalu tidak demikian tak mungkin gadis muda dan cantik jelita ini berani melakukan perjalanan seorang diri, apalagi gadis ini membawa pedang! Akan tetapi ia hanya mengira Lu Sian seorang gadis yang pandai main pedang seperti biasa dipertunjukan para penjual obat, siapa kira gadis ini dapat berloncatan seperti itu.
Jangan-jangan dia bukan manusia, pikir Si Tukang Perahu. Diwaktu sungai banjir meluap-luap seperti itu, menurut cerita rakyat, siluman-siluman pada bermunculan, juga para dewi-dewi yang sengaja turun dari khayangan untuk menggempur para siluman yang hendak merusak manusia dengan air banjir. Biarpun rakyat tak pernah melihatnya, akan tetapi selalu terjadi pertarungan hebat antara para dewa-dewi melawan siluman-siluman, dan betapapun juga dewa-dewi yang menang dan air yang digerakkan siluman mengamuk kedusun-dusun itu kembali kesungai pula seperti biasa! Kini melihat gadis penyewa perahunya pandai "terbang"
Melayang-layang dari rumah kerumah, Si Tukang Perahu bergidik.
"Tidak tahu dia itu dewi atau siluman, akan tetapi sinar matanya tajam mengerikan. Lebih baik aku pegi sebelum ia kembali!"
Melihat Lu Sian berloncatan makin jauh, diam-diam tukang perahu segera mendayung perahunya ketengah lagi dan melarikan diri dengan perahunya dari tempat itu! Ia tidak peduli bahwa uang sewa perahu belum dibayar, ia sudah merasa lega dan puas dapat meninggalkan gadis itu, karena siapa tahu, bukan dia menerima pembayaran, malah dia harus membayar nyawa.
Liu Lu Sian tidak tahu bahwa perahunya telah pergi meninggalkannya, karena ia sedang berloncatan mendekati gedung dengan hati berdebar penuh harapan akan dapat melihat Kam Si Ek. Ia meloncat keatas genteng gedung itu dan dari atas genteng ia mengintai kedalam. Ternyata didalamnya terdapat enam orang anak perahu. Mereka duduk menghangatkan tubuh didekat tempat perapian sambil makan roti kering dan dendeng. Terdengar mereka bersungut-sungut.
"Kita ditinggalkan disini, untuk apa? Kalau banjir makin besar, kemana kita harus bawa perahu? Ah, lebih enak menjadi pegawai didarat kalau begini. Banyak teman dan aman. Masa untuk mengawal seorang tawanan saja harus menggunakan pasukan lima puluh orang lebih? Dan keadaan tawanan itu lebih enak daripada kita!"
"Sam-lote, jangan kau bilang begitu."
Cela temannya.
"Tawanan itu memang seorang penting, siapa tidak mengenal Jenderal Kam Si Ek? Malah aku mendengar dari anggota pasukan, bahwa komandan mereka menerima perintah khusus dari kota raja untuk menghormati Kam-goanswe sebagai tamu agung. Kita hanya petugas-petugas biasa, mau apa lagi?"
Mendengar percakapan mereka ini.
Lu Sian girang sekali. Dengan kepandaiannya yang tinggi, ia meninggalkan tempat itu tanpa ada yang mengetahui. Gedung itu letaknya ditempat tinggi maka tidak terlanda banjir, dibagian belakang gedung merupakan kaki sebuah bukit kecil dan kesinilah Lu Sian mengambil jalan keselatan, ke kota raja Lok-yang. Tak lama kemudian ia sampai di jalan besar dan segera mempercepat larinya. Sayang kudanya ia tinggalkan ketika ia mempergunakan jalan sungai, akan tetapi karena ilmu lari cepatnya juga sudah mencapai tingkat tinggi, Lu Sian segera mempergunakan Ilmu Lari Cepat Liok-te-hui-teng sehingga tubuhnya berkelebat seperti terbang cepatnya, tidak kalah cepatnya, oleh larinya seekor kuda biasa!
Perjalanan selanjutnya melalui pegunungan yang biarpun jalannya lebar, namun banyak naik turun dan amat sunyi. Ini pegunungan Fu-niu yang puncaknya menjulang tinggi. Dari atas puncak ini tampaklah gunung-gunung yang memang banyak mengepung daerah itu. Di utara tampak puncak-puncak Pegunungan Luliang-san dan Tai-hang-san, disebelah barat tampak Pegunungan Cin-ling-san, di selatan samar-samar tampak dibalik mega puncak Pegunungan Tapa-san. Biasanya Lu Sian amat suka menikmati tamasya alam di pegunungan, akan tetapi kali ini ia tidak mempunyai perhatian terhadap semua keindahan itu karena hati dan pikirannya penuh oleh bayangan Kam Si Ek yang hendak ditolongnya.
Ketika ia membelok disebuah lereng, tiba-tiba ia melihat banyak tubuh orang menggeletak di pinggir jalan. Golok dan pedang malang melintang, darah berceceran dan dua belas orang itu sudah menjadi mayat. Mereka ini kelihatan sebagai orang-orang kang-ouw yang gagah, dan melihat betapa senjata-senjata mereka tidak berjauhan, malah ada yang masih didalam cengkraman tangan, melihat tubuh mereka penuh luka, agaknya orang-orang ini telah melakukan pertandingan mati-matian dan nekat. Jelas kejadian ini belum lewat lama, mungkin pagi tadi dan di situ tampak bekas-bekas pertempuran dahsayat. Lu Sian berdebar. Apakah hubungannya belasan mayat orang ini dengan ditawannya Kam Si Ek? Hatinya makin kuatir dan ia mempercepat larinya mengejar kedepan.
Menjelang senja, ketika ia menuruni lereng, ia mendengar suara hiruk-pikuk dikaki bukit. Jelas terdengar suara banyak orang sedang berkelahi, diseling ringkik kuda dan denting senjata tajam saling bertemu. Lu Sian mempercepat larinya dan napasnya terengah-engah ketika ia tiba ditempat pertempuran, karena selain terus-menerus ia mengerahkan gin-kang untuk berlari cepat juga hatinya selalu penuh ketegangan dan kekuatiran akan keselamatan pemuda idaman hatinya. Kiranya banyak sekali orang yang bertanding didepan sebuah danau kecil dikaki bukit itu. Hampir seratus orang banyaknya saling gempur dan merupakan perang kecil yang kacau-balau.
Ada yang masih menunggang kuda, ada yang sudah bertanding diatas tanah, bahkan ada yang bergulat sambil bergulingan, saling cekik dan saling jotos. Tidak kurang pula yang terlempar ke danau sedang berusaha berenang minggir. Kacau-balau dan hiruk-pikuk, suara makian diseling teriakan marah, keluh kesakitan dan ketakutan. Lu Sian dapat menduga bahwa orang-orang yang berpakaian seragam biru itu tentulah pasukan yang mengawal atau yang menawan Kam Si Ek, karena diantara mereka ini masih banyak yang menunggang kuda. Adapun lawan pasukan ini adalah orang-orang yang berpakaian macam-macam, ada yang berpakaian petani, ada pula yang berpakaian pendeta, akan tetapi sebagian besar berpakaian pengemis. Tentulah segolongan dengan Wei-ho-kai-pang, pikir Lu Sian dan tentu saja hatinya lalu condong membantu para pengemis.
Bukankah Kam Si Ek tertawan oleh pasukan itu dan kini para pengemis hendak menolongnya? Akan tetapi, Lu Sian tidak berniat membantu mereka, matanya mencari-cari karena ia tidak melihat Kam Si Ek. Ia tidak mempedulikan pertempuran hebat itu, karena yang ia butuhkan untuk dicari adalah Jenderal Kam. Dengan sama sekali tidak mengacuhkan pertandingan, Lu Sian berjalan terus memasuki gelangang perang. Kalau ada senjata menyambar, tidak perduli senjata pihak pasukan atau lawan mereka ia mengelak dan kaki tangannya bergerak merobohkan siapa saja yang menghalangi jalannya! Hebat sepak terjang gadis ini. Baik pihak pasukan maupun pihak pengemis, sekali terkena pukulan maupun tendangannya pasti roboh!
"Dimana Kam Si Ek?"
Berkali-kali Lu Sian bertanya kepada seorang anggota pasukan yang ia robohkan, akan tetapi tak seorangpun mau menjawabnya, bahkan ia segera dikeroyok empat anggota pasukan. Golok gagang panjang dari dua orang lawan yang masih menunggang kuda, menyambar kearah leher dan pinggang Lu Sian. Cepat gadis itu melompat, menyambar belakang golok, membetot dengan gerakan mendadak sambil menendang ke arah golok ke dua. Golok pertama yang ia tarik itu terlepas dari pegangan dan menghantam kawan sendiri yang menyerang dari kiri, tepat mengenai pahanya dan menembus memasuki perut kuda!
Kuda itu meringkik keras dan kabur membawa penungganya yang hampir putus paha kakinya. Adapun orang yang terampas goloknya, hampir saja jatuh terguling karena terbetotot. Pada saat itu, dua orang pasukan yang tidak berkuda sudah menyerbu pula dari depan dan belakang, menggunakan pedang, Lu Sian tidak pedulikan mereka, tubuhnya meloncat keatas dan tahu-tahu ia sudah berdiri diatas punggung kuda, tepat dibelakang lawan yang terampas goloknya tadi. Sekali menggerakan tangan, ia sudah mencekik leher lawan dari belakang. Dua orang temannya hendak menolong, akan tetapi Lu Sian mengangkat tubuh lawan dan menggunakannya sebagai perisai! Tentu saja dua orang itu tidak berani menyerang, takut melukai tubuh teman mereka sendiri yang ternyata adalah seorang atasan mereka.
"Hayo, katakan dimana adanya Kam-goanswe!"
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lu Sian membentak sambil mempererat cekikan pada tengkuk Si Perwira yang sudah tidak berdaya itu.
"Di... disana..."
Perwira itu menuding kearah batu karang besar dan Lu Sian cepat membanting tubuhnya ke atas tanah, meloncat turun dari kuda dan berloncatan ke arah sekelompok batu karang yang memang terdapat tidak jauh dari tempat itu.
Tempat itu terjaga oleh beberapa orang anggota pasukan, dan agaknya orang tawanan itu disembunyika dibelakang batu-batu. Sebelum Lu Sian sempat turun tangan, tiba-tiba ia mendengar gaduh luar biasa diantara orang-orang yang bertanding. Alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul menggunakan kedua lengan bajunya mengamuk. Seperti sepak terjangnya sendiri tadi, laki-laki gundul itu tidak peduli siapa saja, asal berada dekatnya, lalu disapu roboh oleh ujung kedua lengan bajunya. Akan tetapi gerakan laki-laki ini jauh lebih hebat, lebih ganas dan sebentar saja tubuh orang-orang bergelimpangan disekitarnya. Kemudian laki-laki itu melompat dan bagaikan terbang saja tahu-tahu ia sudah tiba di depan batu-batu karang besar.
Lima orang penjaganya segera mencegat dengan senjata di tangan, akan tetapi sekali laki-laki tinggi besar itu menggerakkan tangan kakinya, lima orang itu terlempar semua, terbanting pada batu karang dan hebatlah kesudahannya. Dua di antaranya pecah-pecah kepalanya, yang tiga mungkin patah-patah tulang iganya karena mereka roboh tak dapat berkutik lagi! Raksasa gundul itu tertawa ha-ha-he-heh, lalu melangkah lebar memasuki sekelompok batu karang itu dan di lain saat ia telah melesat keluar mengempit tubuh Kam Si Ek! Kagetlah Lu Sian. Cepat ia menggerakkan kakinya menjejak tanah dan tubuhnya melesat pula mengejar. Akan tetapi gerakan Si Raksasa gundul itu benar-benar hebat karena sebentar saja ia sudah jauh meninggalkan tempat pertempuran. Betapapun juga, Lu Sian tidak mau mengalah, gadis ini mengeluarkan ilmunya berlari cepat sehingga kedua kakinya seakan-akan tidak menyentuh tanah lagi!
"Lepaskan dia!!"
Ia membentak setelah dapat menyusul sehingga jarak mereka hanya tinggal lima meter lagi. Kedua tangan gadis ini bergerak dan serangkum sinar kemerahan menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum rahasia yang amat hebat.
Gadis ini amat suka akan bunga-bunga yang harum, maka sejak kecil ia mempelajari keadaan segala macam bunga. Setelah ia pandai ilmu silat dan banyak mendapat petunjuk ayahnya tentang pelbagai macam racun, maka ia lalu dapat mencampur racun-racun berbahaya dengan sari keharuman bunga, maka terciptalah jarum-jarumnya yang ia namakan Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum). Memang amat harum baunya jarum-jarum ini, bahkan ketika menyambar dengan sinar merah, sudah tercium baunya yang amat harum, begitu harumnya sehingga dapat memabokkan orang. Tidak terkena jarumnya, baru mencium baunya saja sudah cukup berbahaya, apalagi kalau sampai jarum itu menembus kulit memasuki jalan darah! Akan tetapi, raksasa gundul itu benar-benar lihai sekali. Tanpa menoleh ia sudah mengebutkan lengan bajunya dan... jarum-jarum itu memasuki lubang tangan baju dan menancap disitu. Tiba-tiba raksasa gundul itu berseru keras, tangannya bergerak dan jarum-jarum itu menyambar keluar, kembali kepemiliknya!
Tentu saja Lu Sian terkejut sekali, cepat ia menyampok jarum-jarumnya sendiri dengan pedangnya yang sudah ia cabut keluar. Lawan ini benar lihai, pikirnya dan terkejutlah ia ketika teringat bahwa raksasa gundul selihai ini kiranya hanya ada seorang saja di dunia, yaitu Ban-pi Lo-cia! Ban-pi Lo-cia tokoh utara yang sudah bertanding dua hari dua malam melawan ayahnya dan berkesudahan seri! Bahkan Kwee Seng sendiri yang begitu sakti, sampai dapat dihancurkan sulingnya oleh raksasa gundul ini. Sejenak Lu Sian meragu. Terang bahwa dia bukan lawan kakek itu. Akan tetapi Kam Si Ek telah dikempit dan dibawa lari, bagaimana ia dapat mendiamkannya saja? Gadis ini sudah mempersiapkan jarum-jarumnya lagi, akan tetapi melihat kakek itu tidak mempedulikannya dan malah lari makin cepat, ia berpikir dan tidak jadi menyerang, melainkan terus mengikuti dengan cepat pula, takut kalau-kalau tak dapat menyusul.
"Ia tentu tidak berniat membunuh Kam Si Ek."
"Kalau hendak membunuhnya, perlu apa dibawa-bawa lari? Agaknya Kam Si Ek tidak berdaya, kelihatannya lemas tentu sudah terkena totokan, kalau mau dibunuh sekali pukul juga mati."
Karena berpikir demikian maka Lu Sian tidak jadi menyerang secara nekat, melainkan kini ia membayangi Ban-pi Lo-cia yang terus lari memasuki sebuah hutan dikaki bukit.
Dengan hati-hati sekali Lu Sian menghampiri sebuah bangunan kuil tua yang berada didalam hutan. Ia tahu bahwa Ban-pi Lo-cia memasuki kuil itu maka ia tidak berani menerjang masuk secara sembrono. Bukan ia takut menhadapi bahaya, melainkan Lu Sian seorang gadis yang cerdik. Sia-sia saja kalau harus menempuh bahaya dan membiarkan dirinya dirobohkan atau ditangkap pula, akan gagallah usahanya menolong Kam Si Ek. Ia berindap menghampiri kuil dan mengintai. Senja telah datang akan tetapi cuaca diluar kuil belum gelap benar. Hanya disebelah dalam kuil yang tua dan rusak itu sudah gelap. Akan tetapi ia dapat mendengar suara Ban-pi Lo-cia yang parau diselingi suara ketawanya penuh ejekan.
"Heh-heh-heh, Kam-goanswe tentu banyak kaget. Untung saya keburu datang, kalau tidak tentu keselamatan Goanswe takkan dapat dipertahankan lagi."
Kembali kakek itu tertawa. Lu Sian merasa heran mendengar kata-kata ini dan ia mengerahkan pandang matanya untuk melihat sebelah dalam yang agak gelap. Setelah matanya biasa, ia dapat melihat bayangan Kam Si Ek duduk bersila diatas lantai, agaknya mengatur napas dan tenaga, sedangkan Ban-pi Lo-cia juga duduk bersandar tembok. Kam Si Ek menggerakkan kedua lengannya menjura, masih sambil bersila, dan terdengar suaranya yang nyaring,
"Losuhu (Bapak Pendeta) siapakah? Harap suka memperkenalkan diri, agar aku yang sudah menerima budi pertolongan akan dapat mengingat nama besar Losuhu."
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha! Kam Si Ek, dengarlah. Aku bukan seorang hwesio seperti kau sangka, aku orang biasa. Sebaliknya kau seorang jenderal yang amat dibutuhkan orang pada saat seperti sekarang ini. Oleh karena itu, aku menolongmu tentu bukan sekali untuk melepas budi, melainkan untuk keperluan yang tiada bedanya dengan para penculikmu. Ha-ha-ha!"
"Hemmm, kiranya begitulah? Kalau begitu, siapapun adanya kau, dan betapapun tinggi kepandaianmu, tak mungkin kau akan dapat memaksa aku untuk tunduk dan mentaati perintahmu. Raja Liang bermaksud menculikku, akan tetapi kau lihat sendiri, banyak orang mencoba menggagalkan penculikannya. Kulihat pendeta, orang-orang Kang-ouw, dan para pengemis yang menyerbu. Aku boleh jadi terkenal dalam perang, akan tetapi aku sama sekali tidak terkenal diantara mereka. Kalau mereka juga berusaha menolongku, tentu juga bermaksud menguasaiku. Ah, alangkah bodoh dan sia-sia! Selama negara terpecah-pecah seperti sekarang, selama orang-orang besar dan pemimpin rakyat main berebutan, kemuliaan dan kedudukan, selama tentara dipergunakan untuk memerangi saudara sebangsa, aku Kam Si Ek takkan sudi mengeluarkan setetes pun keringat untuk membantu!"
Ban-pi Lo-cia bangkit berdiri, bertolak pinggang dan menundukkan muka memandang orang muda yang sedang duduk bersila itu.
"Ah, Kam Si Ek, tahukah kau siapa aku?"
"Kau seorang tua yang berilmu tinggi, sayang..."
"Eh, kenapa sayang?"
"Sayang bahwa seorang tua yang lihai seperti kau ini masih dapat diperalat oleh orang-orang yang haus akan kedudukan tinggi, yang ingin memperoleh kekuasaan dan kemuliaan diatas ratusan ribu mayat dari rakyat!"
"Ha-ha-ha! Kalau aku memperkenalkan diriku, tentu kau juga takkan mengenal namaku, karena kau bukan seorang kang-ouw, melainkan seorang ahli perang. Akan tetapi agaknya menarik bagimu kalau kukatakan bahwa aku menangkapmu untuk kuserahkan kepada rajaku di Khitan."
"Ahhh...!"
Kam Si Ek benar-benar terkejut mendengar ini. Ia sudah amat terkenal sebagai pemukul orang-orang Khitan sehingga di kalangan musuh besar ini, yaitu para prajurit Khitan, menjulukinya Im-kan-ciangkun (Panglima Akhirat)! Ia tahu bahwa orang-orang Khitan paling membencinya, maka tahulah Kam Si Ek bahwa kali ini ia tentu akan tewas. Akan tetapi ia sama sekali tidak sudi memperlihatkan rasa takut, maka ia lalu tertawa mengejek.
"Hemm, sejak dahulu aku tahu bahwa orang-orang Khitan amat licik dan pengecut..."
Ban-pi Lo-cia berseru keras dan diluar kuil, Lu Sian sudah siap dengan jarum-jarum dan pedangnya. Kalau kakek itu turun tangan membunuh Kam Si Ek, ia akan mendahuluinya dengan serangan jarum beracun disusul serbuannya ke dalam untuk mengadu nyawa!
"Apa kau bilang? Bangsa Khitan adalah bangsa yang paling besar, bangsa paling gagah perkasa. Bagaimana kau berani menyebut licik dan pengecut?"
"Mereka kalah perang, entah sudah berapa kali mereka terpukul muncur dalam perang melawan pasukanku. Mengapa sekarang mereka menggunakan akal keji untuk menculikku? Bukankah ini cara yang licik sekali? Kalau memang gagah, mengapa tidak mengajukan panglima perang yang ulung untuk melawanku mengatur barisan?"
"Ha-ha-ha! Kalau kau katakan itu licik, kau gila! Justeru karena kami membutuhkan kepandaianmu mengatur maka kami sengaja menculikmu. He, Kam Si Ek. Tinggal kau pilih sekarang. Kau sudah menumpuk hutang terhadap kami bangsa Khitan. Untuk membalas dendam, membunuhmu sama mudahnya dengan membunuh seekor cacing. Akan tetapi rajaku tidak menghendaki demikian. Kau ikut denganku ke Khitan dan bekerja untuk rajakku. Kelak kau tentu akan menjadi panglima tertinggi dan hidup penuh kemuliaan."
"Tidak sudi! Lebih baik mati ditanganmu!"
Tiba-tiba Kam Si Ek melompat bangun dan goloknya menyambar dalam serangannya kepada Ban-pi Lo-cia.
Kiranya, tadi ketika ia ditawan oleh pasukan Kerajaan Liang, ia diperlakukan baik dan golok emasnya pun tidak dirampas, akan tetapi karena ia tidak dapat melawan puluhan orang, pula karena ia belum mendengar apa kehendak Raja Liang memanggilnya secara diculik, Kam Si Ek tidak melawan. Sekarang menghadapi seorang Khitan yang hanya memberi dua jalan, yaitu mati dibunuh kakek ini atau takluk dan membantu Khitan, tentu saja ia lebih senang memilih mati daripada harus menjadi penghianat bangsa. Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. Entah apa yang terjadi di dalam kuil itu Lu Sian tidak dapat melihat jelas. Selagi ia hendak meloncat masuk membantu Kam Si Ek , tiba-tiba ia mendengar desir angin dari dalam. Cepat ia mengelak dan kiranya golok emas di tangan Kam Si Ek tadi sudah terlepas dari pegangan pemiliknya dan menyambar ke luar mengarah Lu Sian! Gadis itu terkejut dan cepat meloncat keluar kuil, maklum bahwa kakek itu agaknya sejak tadi sudah tahu bahwa ada orang mengintai.
Benar saja, bayangan kakek gundul itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berhadapan dengan Lu Sian. Kakek itu menyeringai, matanya terbelalak lebar, dan sepasang biji matanya yang bundar itu melotot. Memang ia sudah tahu bahwa ada orang mengintai, akan tetapi karena ia memang "besar kepala"
Dan memandang rendah semua orang, ia tidak peduli. Baru setelah Kam Si Ek menyerangnya, ia "menangkap"
Golok emas itu dengan ujung lengan baju dan menggentak golok emas itu terlepas dari tangan Kam Si Ek lalu melontarkannya langsung menyerang Si Pengintai. Sama sekali tidak disangkanya bahwa pengintainya adalah seorang gadis yang begini cantik jelita sehingga membuat matanya melotot dan mulutnya mengiler. Biarpun sudah banyak sekali kakek gundul ini mempermainkan wanita cantik, namun harus ia akui selama itu belum pernah ia berjumpa dengan seorang gadis yang seperti ini jelitanya. Tentu saja hatinya girang bukan main.
Tangan Geledek Eps 22 Tangan Geledek Eps 25 Tangan Geledek Eps 14