Ceritasilat Novel Online

Tangan Geledek 13


Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 13




   Betapapun besarnya kasih hatinya kepada anaknya yang belum mau mengakuinya itu, Kong Ji tentu saja lebih cinta kepada diri sendiri. Melihat kedatangan Tiang Bu yang melakukan serangan luar biasa, Kong Ji cepat menggerakkan kedua tangannya dan....... sinar hitam yang banyak sekali meluncur memapak kedatangan tubuh Tiang Bu.

   "Tiang Bu, hati-hati.........!" seru Tiong Jin Hwesio kaget. Akan tetapi karena ia memecah perhatian ke arah Tiang Bu, ia berlaku lengah dan ujung tongkat dari tosu buntung itu tepat menotok iga kanannya.

   "Tukk!" Tubuh Tiong Jin Hwesio terlempar dalam keadaan masih berdiri. Hwesio jangkung kurus ini tidak roboh akan tetapi ketika kakek buntung itu melayang dan menyambar, sebuah kitab dapat terampas lawan. Sekarang tinggal dua buah kliab saja di tangan Tiong Jin Hwesio.

   Namun hwesio tua ini benar-benar sakti. Biarpun ia sudah terkena totokan demikian hebat, hanya sebuah saja dapat dirampas musuh dan di lain saat ia sudah mengamuk lagi. Tangan kanannya bergerak-gerak mengeluarkan angin dan hawa pukulannya dapat menahan serangan Bouw Gun dan tosu kaki buntung.

   Adapun Tiang Bu yang terancam bahaya maut oleh jarum-jarum racun hitam (Hek-tok-ciam) yang dilepaskan Kong Ji menjadi bingung. Biarpun bocah ini sudah memiliki kepandaian tinggi, namun pengalamannya masih dangkal sekali. Ia belum pernah bertempur menghadapi orang-orang lihai apalagi menghadapi serangan senjata rahasia yang mengandung racun jahat. Melihat sinar hitam yang berbau amis itu menyerangnya, Tiang Bu hanya menggerakkan dua tangan untuk mengibasnya sambil mengerahkan tenaga.
Memang hebat! Dari kibasan kedua tangannya itu keluar hawa pukulan yang kuat sekali sehingga jarum-jarum hitam itu terkibas runtuh semua. Namun ada dua buah jarum hitam yang masih melukai tangan kirinya sebelum tersampok jatuh. Darah mengucur dari dua luka kccil di tangannya.

   Tiang Bu tidak menjadi gentar biarpun rasa luka-luka di tangan itu sikit dan panas sekali. ia menubruk maju dan mengirim serangan lagi selagi Kong Ji berdiri termangu-mangu. Melihat anaknya terluka Hek-tok-ciang Kong Ji menjadi khawatir juga.

   "Tiang Bu, kau terluka jarumku, jang banyak bergerak........."

   Akan tetapi Tiang Bu tidak perdulikan seruan ini dan segera menyerang orang yang mengaku ayahnya akan tetapi melukainya itu dengan pukulan-pukulan Tat Mo Ciang hoat yang ia pelajari dari Tiong Sin Hweso. Ilmu silat kuno warisan Tat Mo Couwsu, yang merupakan sebuah dari pada sumber-sumber seluruh ilmu silat di dunia. Menghadapi ilmu silat yang aneh, kelihatan lambat namun sukar diikuti gerakan-gerakannya ini, Kong Ji menjadi bingung.

   Ia tahu bahwa bocah di depannya ini biarpun memiliki kepandaian tinggi, namun dalam pertempuran masih hijau sekali, akan tetapi untuk menjatuhkan tangan maut ia merasa sayang karena bacah ini adalah anaknya sendiri. Selain itu, sejak semula telah menyelinap di dalam otaknya yang cerdik suatu niat yang dianggapnya amat baik. Tiang Bu agaknya telah mewarisi kepandaian sakti dari dua orang kakek Omei-san. Kalau kelak bocah itu mau mengakui sebagai ayah, bukankah mudah saja "mengoper" semua kepandaian itu melalui anaknya?

   "Tiang Bu, kau......... kau puteraku. Jangan serang aku, mari kuobati tangnnmu yang terluka itu," katanya bcrulang ulang melompat lompat mundur menghindarkan tangan Tiang Bu.

   "Kau pembohong, penipu, pengecut!" Tiang Bu bukan tunduk terhadap bujukan itu bahkan menjadi marah sekali dan terus menyerang dengan gencar. Karena bingung menahan ilmu silat itu dia tahu bahwa Tiang Bu memiliki tenaga sinkang yang bukan sewajarnya Kong Ji serba susah dan menjadi bingung. Pada saat itu terdengar seruan tosu kaki butung.

   "Tai ciangkun (panglima besar), sudah dapat kitab. Hayo pergi.........!"

   Biarpun kata-kata ini diucapkan seperti perintah, namun jelas bahwa kakek buntung menganggap Kong Ji sebagai atasannya. Kong Ji mendengar ini segera bersuit keras. Heran sekali. Semua orang yang tadi bertempur melawan Pek-tbouw thiauw-ong Lie Kong, dan isterinya, juga yang mengeroyok Ang-jiu Mo-li mendengar suitan ini lalu melompat pergi dan sekejap saja pertempuran berhenti semua dan Kong Ji serta kawan-kawannya lenyap dari situ, meninggalkan kawan-kawan yang sudah
(Lanjut ke Jilid 13)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
tewas, membawa yang terluka bersama mereka.

   Tiang Bu melompat ke arah gurunya yang telah roboh dan duduk bersila di atas tanah dengan muka pucat. Gurunya masih memegang dua buah kitab dan napasnya terengab-engah. ketika melihat bocah itu, ia berkata lemah,

   "Tiang Bu, yang membakar ini....... Thai Gu Cinjin......... kaucari dan kejar dia, rampas kitab yang dibawanya......... kalau perlu bunuh dia.........

   "

   Tiang Bu melompat cepat ke arah gudang yang terbakar. Hatinya terasa perih melihat betapa kitab-kitab kuno itu telah menjadi umpan api yang tak mungkin dapat dipadamkan lagi. Kitab-kitab itu tak dapat ditolong lagi. Ia memandaog ke kanan kiri dengan beringas. Akan tetapi di situ tidak terdapat bayangan manusia, maka ia lalu melompat ke atas genteng pondok dan memandang tajam kesemua jurusan. Jauh sekali di lereng gunung ia melihat bayangan Liok Kong Ji dan kawan-kawannya. Kalau saja di antara tombongan ini tidak terdapat tosu buntung yang lihai, tentu Tiang Bu tidak akan mengenal rombongan siapa itu. Melihat tosu buntung dan banyaknya orang-orang yang turun, ia dapat menduga bahwa itulah bayangan Liok Kong Ji dan kawan-kawannya.

   "Hmmm, kalau saja suhu tidak menyuruh aku mencari Thai Gu Cinjin, tentu aku akan mengejar mereka pikirnya. Tiba tiba di sebelah kiri ia melihat bayangan orang berkelebat. Cepat ia melompat turun dan mengejar sampai di bawah puncak, di daerah batu-batu karang tidak kelihatan ada orang di situ, ia terheran-heran. Tak salah lagi penglihatannya, tadi ada dua atau tiga bayangan orang bcrkelebatan mengapa sebentar saja lenyap?

   Selagi ia celingukan, tiba-tiba terdangar suara orang berkelahi. Suara ini baru terdengar karena terbawa angin yang tiba-tiba bertiup ke arahnya, ia mengejar dan kiranya Giam-lo ong Ci Kui yang sedang bertempur itu, melawan seorang hwesio yang bertubuh gemuk bundar. Hwesio gemuk bundar itu mengeluarkan suara "hah! heh! hayaaa...... .!" dengan suara jenaka. Ilmu silatnyapun aneh, berloncat-loncatan seperti katak melompat Akan tetapi sudah tentu ia bukan lawan Giam lo ong Ci Kui yang mendesak hebat dengan pukulan-pukulan Hui houw-tong.ree yang ganas.

   Tiang Bu mengintai dari belakang batu karang dan ia menjadi bingung siapa yang harus dibantunya. Ia tidak mengenal hwesio gemuk itu, dan tidak tahu pula mengapa mereka bertempur. Ia hanya bingung karena tidak melihat adanya Thai Gu Cinjin, ia merasa tidak perlu mencampuri urusan Giam-lo ong Ci-Kui dan hendak meninggalkan tempat itu. Tiba tiba muncul Liok-te Mo-ko Ang Bouw den Siangkong Ang Louw. Ang Bouw segera berkata.

   "Suheng, tikus gemuk ini bereskan saja lekas-lekas. Semua orang sudah pergi dan biarpun kakek tua itu terluka parah, kalau dia menyusul ke sini kita bisa celaka!"

   "Kalian bantulah. Anjing gemuk ini sukar sekali dipukul mampus," kata Ci Kui. Segera kedua orang sutenya menyerbu.

   "Heh-heh heh, siluman-siluman hutan, majulah. Sebelum kalian mengembalikan kitab curian, aku Hwa Thian Hwesio takkan mau mengampuni kalian maling-maling hina-dina."

   "Hwa Thian Hwesio, kau ini anjing pemerintah Kin, ada sangkut paut apakah dengan urusan kami? Kitab ini bukan kitabmu, kau perduli apakah?" kata Ci Kui marah.

   "Ha-ha-ha, dasar bangsat tetap bangsat. Barang siapapun juga yang kaucolong, itu namanya tetap maling-Bagaimana pinceng harus mendiamkan saja? Pinceng paling anti kepada segala macam maling dan copet. Hayo kaukembalikan!"

   "Suheng, habiskan saja dia ini!" seru Sin saikong Ang Louw marah sekali sambil melompat dan menyerang hwesio gemuk itu dengan cakarnya yang berbahaya.

   "Ayaaa.........! Ini siluman atau binatang buas?" seru Hwa Titian Hwesio sambil mengelak dengan lompatan ke kiri. Biarpun tubuhnya gemuk bundar, namun gerakannya ternyata ringan sekali. Tiap kali tubuhnya turun ke tanah, segera terpental kembali ke atas. Karena ia menarik kedua kakinya, maka ia merupakan segundukan tubuh bundar seperti bola yang selalu mental ke atas lagi tiap kali menyentuh tanah. Betapapun gesitnya, karena yang menyerangnya adalah Pak kek Sam-kui yang lihai, dalam dua gebrakan saja cakar kuku tangan Sin-saikong Ang Louw telah mengenai pundaknya. Hwesio itu cepat miringkan pundak dan "breett......!" bajunyaterobek ke bawah sehinggga nampak dadanya yang penuh daging dan gajih serta sedikit perut yang gendut seperti kerbau hamil.

   "Eh, main rusuh.......! Berkelahi ya berkelahi, masa merobek baju seperti perempuan berkelahi! Rusuh tak tahu malu!" Hwesio gendut itu marah-marah dan mengejek ketiga orang lawannya.

   Diam-diam Tiang Bu menjadi geli melihat lagak hwesio gemuk itu, geli tercampur kagum karena biarpun terdesak hebat terang sekali nyawanya terancam maut, hwesio gendut itu masih sempat mengolok-olok para lawannya, juga Tiang Bu tergerak hatinya ketika mendengar percakapan antara mereka tadi dan sekilas pandang kearah baju Giam-lo-ong Ci-Kui, ia melihat sesuatu yang menonjol dari dalam saku baju Ci Kui. Tak salah lagi, tentu diapun mencuri sebuah kitab dari gudang yang terbakar, pikir Tiang Bu. Segera ia melompat dan menerjang iblis jangkung itu.

   Lompatan Tiang Bu seperti kilat menyambar. Empat orang itu tidak melihat ia datang dan tahu-tahu bocah ini sudah tiba di depan Ci Kui, mengirim pukulan dengan tangan kiri ke arah muka kakek itu sedangkan tangan kanan terulur ke arah jubah yang menonjol.

   "Plakk......... brettt........!" Giam.lo-ong Ci Kui menangkis. Terpekik kesakitan ketika lengan tangannya patah beradu dengan lengan Tiang Bu disusul terobeknya bajunya dan kitab yang disimpan di dalam sakunya telah berada di dalam tangan Tiang Bu.

   Tiga orang setan utara itu menjadi bengong dan juga marah. Mereka merasa kaget dan heran menyaksikan kehebatan bocah yang pernah menjadi murid mereka itu.

   "Tiang Bu......... Kembalikan kitab kami!" Seru Ang Houw dan Ang Louw yang sudah melompat menghadapi Tiang Bu.

   Bocah itu menggeleng kepalanya.

   "Apakah kalian ikut-ikut membakar gudang kitab Omei-san?" tanyanya, suaranya perlahan dan lambat, akan tetapi di dalamnja mengandung ancaman hebat. Kalau tiga orang kakek mengaku ikut membakar, ia takkan segan-sogan lagi untuk menyerang mereka dan kalau perlu membunuh mereka.

   "Tidak, kami tidak membakar..... kau tanya Thai Cu Cinjin, dialah yang membakarnya bersama Tee-tok Kwan Kok Sun......

   " kata Ci Kui.

   "Akan tetapi kitab itu".. kauberikanlah kepada kami, Tiang Bu." Biarpun ia kesakitan dan marah sekali tulang lengannya sudah dipatahkan oleh bocah itu namun ia masih lebih sayang kepada kitab itu dan hendak membujuk Tiang Bu supaya suka memberikannya.

   "Tak mungkin. Bahkan perbuatan kalian mencuri kitab ini saja sudah harus dihukum."

   "Keparat busuk, murid murtad. Berani kau melawan guru-gurumu?" bentak Ang Bou sambil menubruk maju.

   "Aku bukan murid kalian, hanya murid paksaan. Bahkan kalian telah menculikku." Jawab Tiang Bu tenang sambil mengolok, lalu balas menyerang. Ang Bouw menangkis berbareng dengan datangnya Ang Louw yang menyerang hebat. Namun seperti juga Ci Kui, begitu beradu lengan dengan bocah itu, ke duanya melompat mundur dengan meringis kesakitan. Baiknya Tiang Bu yang kini sudah maklum akan kehebatan tenaga sendiri, masih ingat bahwa mereka pernah mengaku murid kepadanya maka tidak mau mengerahkan seluruh tenaga sehingga Ang Bouw dan Ang Louw tidak mengalami patah tulang lengan seperti Ci Kui. Namun cukup ketiga orang kakek ini maklum akan kelihaian Tiang Bu, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu melarikan diri menyusul rombongan Liok Kong Ji.

   "Hayaaaa.........! Kalau tidak kedua mataku yang lamur melihat sendiri, mana aku bisa percaya? Bocah ajaib....... apakah kau penjelmaan Sin-tong Lo cia!" tanya Hwa Thian Hwesio sambil mengelus elus perutnya yang gendut.

   Lo Cia adalah seorang anak dewa yang sakti, tokoh terkenal sekali sepanjang masa dalam dongeng-dongeng Tiongkok. Karena Lo Cia adalah seorang bocah sakti (sin tong) atau bocah ajaib, maka Hwa Thian Hwesio yang melihat kelihaian Tiang Bu mengucapkan perbandingan itu. Memang sesungguhnya hwesio gandut ini kagum dan heran sekali. Selama hidupnya baru kali ini ia bertemu dengan seorang anak berusia paling banyak empat belas tahun dapat mengalahkan tiga orang tokoh iblis seperti Pak kek Sam-kui.

   Sekali pandang saja Tiang Bu merasa suka kepada hwesio gendut ini. Apalagi tadi ia sudah jelas mendengar kata-kata hwesio ini yang berjiwa gagah, hendak mencegah orang membawa lari kitab Omei-san. Akan tetapi pada saat itu ia tidak mempunyai banyak waktu untuk bercakap-cakap, maka setelah tersenyum sebentar ia bertanya.

   "Mohon tanya, apakah losuhu tadi melihat Thai Gu Cinjin? Ke mana larinya?"

   Sepasang mata Hwa Thian Hwesio yang sudah bundar besar itu kini melotot makin lebar seperti hendak meloncat keluar dari pelupuk matanya. Kalau ia terheran heran metihat bocah ini dapat mengusir Pa.k-kek Sam-kui, sekarang ia hampir tak percaya mendengar bocah ini bertanya tentang Thai Gu Cinjin dan seolah-olah hendak mengejarnya. Akan tetapi ia masih penasaran dan balas bertanya,

   "Siauw-hiap mencari Lama Jubah Merah itu mau apakah?"

   "Diapun mencuri kitab dan dia yang membakar pondok, aku harus mengejarnya dan menyeretnya ke depan suhu atau membunuhnya!" jawab Tiang Bu tanpa ragu-ragu lagi dengan suara gemas.

   Baru Hwa Thian Hwesio percaya dan sepasang matanya memandang penuh kekaguman. Dapatkah ia menduga bahwa tentu anak ini adalah murid dari kedua orang kakek sakti Omei-san. Ia cepat menudingkan telunjuknya ke arah utara sambil berkata,

   "Tadi pinceng melihat Thai Gu Cinjin berdua Tee-tok Kwan Kok Sun berlari ke sana, masing-masing membawa sebuah kitab. Pinceng tidak berani menghalangi mereka yang amat jahat dan lihai."

   "Sudah lamakah?" Tiang Bu cepat memandang ke jurusan yang ditunjuk oleh hwesio itu.

   "Sudah, tadi sebelum pinccng menghadang Pak-kek Sam-kui. Kiranya sekarang mereka sudah jauh di kaki gunung sebelah utara. Tiang Bu membanting-banting kaki kanannya dan hwesio yang berdiri kira-kira dua meter jauhnya dari padanya itu tiba.tiba terdorong roboh!

   "Celaka......... harus kuheritahukan kepada suhu. Terima kasih atas kebaikanmu, losuhu." Tiang Bu terus berkelebat kembali ke atas puncak tanpa memperdulikan hwesio gendut itu yang masih rebah di atas tanah sambil memandang kepadanya dengan mulut ternganga dan mata terbelalak.

   Setelah ia tiba di dekat pondok, ternyata gudang kitab itu sudah habis terbakar di kini api sudah merembet sampai di pondok depan dan agaknya tak lama lagi seluruh pondok bekas tempat tinggal kedua orang kakek sakti itu akan musnah menjadi abu. Hati Tiang Bu tiba-tiba menjadi perih dan untuk sejenak ia meramkan mata sambil menggigit bibir.

   "Maling-maling buruk itu jahat sekali. Awaslah, kelak aku akan mencari kalian seorang demi seorang untuk diberi hajaran atas kejahatan kalian ini!" katanya perlahan. Kemudian ia menengok ke arah Tiong Jin Hwesio yang masih duduk bersila. Tubuhnya tidak bergerak-gerak, akan tetapi bayangannya bergerak-gerak di depannya karena nyala api yang membakar di belakangnya itu bergerak.

   "Suhu......!" Tiang Bo berlutut di depan gurunya, hatinya penuh haru dan duka. Tahu betapa sedihnya hati gurunya ini yang tidak saja kematian suhengnya, akan tetapi juga kehilangan kitab pusaka yang selama ini amat disayang melebihi nyawa sendiri. Kedua orang kakek itu selama ini menjaga dan melindungi kitab di dalam gudang itu seperti menjaga keselamatan sendiri dan sekarang"... sekaligus kitab-kitab peninggalan Tat Mo, Cauwsu dan Hoat Hian Couwsu itu menjadi abu.

   "Suhu.....!" sekali lagi Tiang Bu berbisik dengan suara serak. Tiong Jin Hwesio menarik napas panjang, membuka mata dan di bawah sinar api itu wajahnya nampak angker sekali. Ia memandang kepada Tiang Bu dan bertanya.

   "Bagaimana dengan Thai Gu Cinjin?"

   "Dia sudah melarikan diri bersama seorang yang bernama Tee tok Kwan Kok Sun. Kalau suhu menghendaki, sekarang juga teecu akan mengejar mereka sampai dapat dan mengadu nyawa dengan maling maling itu," kata Tiang Bu penuh semangat. Gurunya menghela napas dan menggeleng-geleng kepala.

   "Mereka terlalu lihai. Mungkin dengan kepandaianmu dan tenaga sinkang yang diturunkan oleh suheng kepadamu kau akan mampu mengalahkan mereka, akan tetapi kau bisa celaka oleh tipu muslihat mereka. Kau belum banyak pengalaman, muridku dan kau tidak tahu betapa jahat dan kejinya orang orang di dunia kangouw. Hemmm........." Tiba-tiba hwesio jangkung kurus ini menatap tangan muridnya.

   "Coba dekatkan lenganmu yang kiri!"

   Ketika tangan kiri itu diulurkan dan dipegang oleh Tiong Jin Hwesio, kakek ini berkata.

   "Hemm, siapa yang melukai tanganmu ini?"

   "Luka tidak seberapa suhu, hanya kulitnya lecet, mengeluarkan sedikit darah. Tidak apa-apa."

   "Hemm......... inilah yang kumaksudkan bahwa kau masih hijau. Kau tidak tahu bahwa tanganmu ini telah terkena racun yang amat berbahaya. Sudah tentu kau mati seketika kalau saja sinkang di dalam tubuh tidak menolak hawa berbisa itu. Bagaima kau sampai terluka?"

   Tiang Bu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa jarum-jarum hitam itu mengandung racun yang demikian berbahaya.

   "Orang bernama Liok Kong Ji itu yang melukai teecu dengan jarum-jarum gelapnya."

   "Ah, Hek-tok ciam (Jarum Racun Hitam). Nih, kau telan obat ini!" kata Tiong Sin Hwesio sambil memberikan pel putih. Tiang Bu menelannya.

   "Tiang Bu, dengan hawa sin-kang di tubuhmu yang sekarang sudah cukup kuat, memang kau dapat menahan racun yang tidak berapa banyak itu. Akan tetapi di dunia ini masih berkeliaran manusia-manusia macam Liok Kong Ji dan yang sudah biasa mempergunakan senjata gelap dan racun jahat. Apalagi orang yang datang bersama Thai Gu Cinjin dan bernama Tee tok Kwan Kok Sun itu, yang sudah biasa dengan racun racun ular. Belum lagi kita bicara tentang Toat beng Kui Bo dengan racun-racun kelelawar, kelabang dan lain-lain. Kau......... kau berhati-hatilah, Tiang Bu karena sebentar lagi kau harus hidup sebatang kara dan harus menghadapi mereka seorang diri".."

   Jantung Tiang Bu berdebar.

   "Apa maksudmu, suhu.....?"

   "Tiang Bu, tosu kaki buntung kawan Liok Kong Ji tadi amat lihai ilmu silatnya. Aku terluka hebat olehnya, takkan tortolong lagi."

   "Suhuuu...... .!"

   "Hush, tenanglah. Manusia di dunia ini siapa yang takkan mati? Bagiku, untuk apa susah? Aku akan menyusul suheng dan......... kitab kitab kita......... Sekarang kaudengar baik-baik pesanku. Lihat, aku telah berhasil menyelamatkan dua buah kitab ini. Kitabini bersama sebuah kitab lain yang terampas oleh tosu kaki buntung, adalah kitab-kitab paling penting dan berharga dari sekalian kitab peninggalan dua couwsu kita. Kaupelajari dua kitab ini baik-baik dan kiranya kau takkan mudah dikalahkan orang dalam ilmu silat dengan kepandaianmu asalkan berlatih baik-baik, Liok Kong Ji itu manusia jahat, jangan kau mudah dipengaruhi olehnya."

   "Satu-satunya manusia yang boleh kau percaya hanya Wan Sin Hong. Kau datanglah kepadanya dan kauminta dia membuka rahasia apakah benar kau putera Litok Kong Ji yang jahat itu. Kalau benar demikian terserah kepadamu akan tetapi pinceng ikut menyesalkan kalau benar kau putera Liok Kong Ji. Kitab-kitab di sini sebagian besar terbakar musnah lebih baik dari pada terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat. Akan tetapi selain kitab Suan hong-kiam-coan-si yang dirampas oleh tosu buntung tadi, masih ada beberapa kitab terjatuh ke dalam tangan mereka. Kalau pinceng tidak salah lihat Pak-kek Sam-kui juga telah mencuri sebuah."

   "Teecu merampasnya dari tangan Giam-lo-ong Ci Kui," kata Tiang Bu yang lalu menuturkan tentang pertentuannya dengan Pak-kek Sam kui, juga tentang hwesio gendut yang bernama Hwa Thian Hwesio.

   "Bagus, kausimpan juga kitab itu. Kemudian kaucari Ang-jiu Mo-li, Pek-thouw-tiauw-ong, Thai Gu Cinjin. Tee-tok Kwan Kok Sun dan tosu kaki buntung itu serta Liok Kong Ji. Mungkin mereka itu masing-masing telah membawa pergi sebuah kitab, harus kau rampas kembali."

   "Baik, suhu. Akan teccu balaskan sakit hati itu hari ini," jawab Tiang Bu, mencatat baik-baik nama-nama itu di dalam hatinya.

   "Jangan berlaku kejam. Hanya Thai Gu Cinjin yang membakar pondok kita. Yang lain-lain itu hanya mengambil kitab karena ingin mempelajari ilmu tinggi. Akan tetapi hatiku masih belum tenteram kalau kau tidak memiliki kepandaian dalam ilmu pengobatan seperti Wan Sin Hong. Kalau bisa, muridku, kau "". kau mintalah Wan sicu mengajarmu......

   " Tiba-tiba kakek itu berhenti bicara dan batuk-batuk.

   Tiang Bu kaget melihat suhunya itu pucat sekali dan darah menyembur keluar dari mulutnya ketika batuk-buruk hebat.

   "Suhu, kau istirahatlah.......

   " katanya.

   Hwesio itu menggeleng kepala, lalu berkata, suaranya lantang berpengaruh.

   "Thiang Bu, kau lakukan Khai-khi jiu-hiat!"

   Thing Bu kaget. Biarpun hanya menduga-duga ia sudah tahu apa artinya kalau ia melakukan perintah itu. Bukankah tadi twa-suhunya, Tiong Sin Hwesio, juga menyuruh ia Khai-khi-jiu-hiat dan kakek itu lalu memukul kepalanya dan rupa-rupanya memindahkan sin-kang ke dalam tubuhnya sampai gurunya itu sendiri mati? Apakah guru ke dua inipun bukan hendak melakukan seperti guru pentama tadi? Ia menggeleng-geleng kepalanya.

   "Tidak......... tidak.........jangan,"suhu...." katanya gagap.

   "Tiang Bu, twa-suhumu berlaku betul tepat. Kalau kau tadi tidak menerima sinkangnya, kiranya sekarang kau sudah tidak bernapas lain atau diculik oleh orang jahat. Twa-suhumu tadi sudah hampir tewas dan takkan dapat membantu menghadapi orang orang jahat. Sekarang pinceng juga sudah menghadapi pintu kematian, mengapa pinceng harus membawa pergi sinkang yang di dunia sana tidak akan ada gunanya lagi? Tiang Bu, biarpun sekarang ini sinkang di dalam tubuhmu tidak banyak selisihnya dengan sinkang di dalam tubuhku, namun sedikit hawa murni yang selama ini pinceng latih puluhan tahun, kiranya akan dapat menambah kekuranganmu. Hayo jangan kau membantah lagi, ini perintahku. Khai-khi jiu-hiat!"

   Tiang Bu berlutut sambil menangis menggerung-gerung di depan suhunya.

   "Pesanku terakhir, Tiang Bu. Selama hidupmu kau tidak boleh membawa-bawa senjata tajam, juga tidak bolehmembawa-bawa senjata gelap. Kau pergunakan kaki tanganmu untuk melindungi diri dan segala apa yang berada di dekatmu boleh kau pergunakan sementara kau memerlukannya. Akan tetapi senjata, itu pantang benar." Lapat-lapat terdengar suara Tiong-Jin Hwesio, disusul perintah lagi.

   "Sekarang, Khai-khi jiu-hiat!"

   Tiang Bu yang amat patuh akan perintah suhunya, tidak berani membantah. Dengan hati dan perasaan hancur ia melakukan perintah suhunya berlutut. Tiong Jin Hwesio sambil tetap duduk bersila lalu mengangkat tangan kanan dan seperti dilakukan oleh Tiong Sin Hwesio tadi, ia memukul kepala muridnya dengan pengerahan seluruh hawa sinkangnya,yang dipaksa keluar dari jari-jari tangannya memasuki tubuh muridnya!

   Tadi ketika menerima hawa sinkang dari twa-suhunya, kontan keras Tiang Bu terjungkal dan berkelojotan tak ingat orang. Akan tetapi sekarang lain lagi keadaannya. Di dalam tubuhnya telah mengalir hawa sinkang yang biarpun belum dapat ia gerakkan secara tepat karena belum terlatih namun sudah memiliki tenaga otomatis yang menolak penyerangan dari luar.

   Oleh karena itu, biarpun sebagian dari pada tenaga sinkang yang dilancarkan oleh pukulan Tiong Jin Hwesio dapat memasuki tubuhnya, namun sebagian pula terpental kembali membuat Tiong Jin Hwesio terpelanting roboh dan tewas di saat itu juga. Ada pun Tiang Bu juga terpental dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, akan tetapi ia hanya merasa dada dan perutnya panas seperti orang baru menenggak secawan besar arak keras, ia segera dapat melompat berdiri dan menubruk suhunya yang ternyata telah meninggal dunia.

   Dengan hati sedih dan terharu sekali, Tiang Bu lalu mengurus jenazah kedua orang suhunya itu, dikuburnya di tempat yang baik di dekat pondok yang sekarang sudah padam apinya dan menjadi tumpukan puing. Setelah berlutut berjam-jam di depan gundukan kuburan kedua orang suhunya, Tiang Bu ia berdiri dan bagaikan patung ia memandang mayat orang-orang yang masih malang melintang di tempat itu. Ada tujuh mayat yang tak dikenalnya siapa orangnya, hatinya gemas karena ia maklum bahwa tujuh orang itu adalah mayat dari kawan-kawan Liok Kong Ji yang agaknya tewas ketika memperebutkan kitab-kitab dengan tokoh tokoh seperti Ang-jiu Mo-li dan Lie Kong.

   Akan tetapi, kegemasan itu dikalahkan oleh bisikan hati nuraninya yang mengumandangkan ajaran-ajaran dua kakek sakti Omei-san tentang pribadi dan kebajikan. Akhirnya, ia menggali lubang di suatu tempat dan mengubur mayat-mayat itu secara baik.

   Setelah sekali lagi berlutut sampai lama sambil mengheningkan cipta untuk menghormati makam dua orang suhunya, Tiang Bu lalu turun gunung sambil membawa tiga buah kitab. Dua kitab dari suhunya tadi adalah Seng-thian-to (Jalan Naik ke Sorga) dan Thian-to Si keng (Kitab Sajak Bumi Langit). Tiang Bu terheran sendiri mengapa dua kitab yang judulnya aneh ini dianggap terpenting oleh suhunya. padahal isi dua kitab Seng-thian to itu adalah petunjuk ilmu kebatinan dan Thian-te Si-keng terisi sajak-sajak dan syair-syair melulu.

   Akan tetapi ini hanya pandangan sepintas lalu saja dan Tiang Bu belum sempat mempelajari secara mendalam. Adapun kitab yang dirampasnya dari Giam-lo-ong Ci Kui tadi berjudul Kiang-liong-kun-hoat (lImu Silat Naga Tangguh).

   Demikianlah, sambil membawa tiga buah kitab ini Tiang Bu mulai turun gunung menempuh jalan hidup baru. Cita-citanya, pertama-tama hendak mencari Wan Sin Hong untuk bertanya tentang rahasia hidupnya. Ia akan bertanya secara baik-baik atau memaksa. Pcndeknya. Wan Sin Hong harus bicara terus terang kepadanya siapa sebenarnya ayah bundanya dan mengapa orang yang bernama Liok Kong Ji itu mengaku-aku sebagai ayahnya.

   Selagi ia berjalan perlahan menuruni puncak ia mendengar suara orang batuk-batuk. Tiang Bu memang tidak menggunakan ilmu lari cepat karena sesungguhnya hatinya berat sekali meninggalkan puncak Omei-San dimana ia telah tinggal lima enam tahun lamanya. Cepat ia menengok dan kelihatanlah tubuh gemuk bulat menggelinding keluar dari balik batu karang. Agaknya Hwa Thian Hwesio yang bertubuh gendut itu tadi telah melepaskan lelah di balik batu karang. Wajah yang gemuk itu tersenyum lebar ketika ia melihat Tiang Bu.

   "Eh, kiranya siauwhiap. Hendak ke manakah? Harap sebelum pergi kau suka menolong pinceng lebih dulu."

   "Losuhu, kau berada di puncak Omei-san ada perlu apakah?" tiba-tiba Tiang Bu bertanya penuh curiga. Semenjak datang orang-orang yang telah mendatangkan mala petaka hatinya selalu curiga kepada siapapun juga.

   "Pinceng sengaja datang untuk menghadap Jiwi locianpwe di puncak Omei-san. Bukan saja karena pinceng sudah lama kagum sekali kepada Jiwi-locianpwe itu, juga kedatangan pinceng ini diutus oleh Pangeran Wanyen Ci-Lun di kota raja, kerajaan Kin di utara. Ku lihat siauw-sicu ini tentulah murid dari Jiwi locianpwe di sini, maka mohon sudilah siauw-hiap melaporkan kedatangan pinceng untuk menghadap."

   Tiang Bu memandang tajam, keningnya berkerut. Kalau ia tidak salah ingat, yang bernama Pangeran Wanyen Ci Lun adalah Pangeran di Negara Kin yang mukan ya hampir sama dengan Wan Sin Hong dan yang pernah menolongnya dari serangan Pak-kek Sam kui dahulu. Apakah niat pangeran itu mengutus seorang hwesio menemui kedua orang gurunya.

   "Losuhu hendak menghadap dua orang guruku? Boleh, mari ikut!" pemuda cilik ini membalikkan tubuh dan berjalan naik ke puncak lagi. Dengan wajah tersenyum lebar Hwa Thian Hwesio mengulur langkah mengikuti Tiang Bu. Akan tetapi alangkah heran hati hwesio itu ketika Tiang Bu mengajaknya berhenti di depan dua makam yang masih amat baru yang berada di dekat tumpukan puing.

   "Losuhu. kau sudah menghadap kedua guruku. Lekas kauberitahukan apa maksud kedatanganmu dan apa kehendakmu datang ka tempat ini."

   "Omitohud...... jadi..... jadi jiwi locianpwe telah......... telah meninggal dunia......?" katanya gagap.

   "Akan tetapi kau sudah kubawa menghadap, Biarpun dua orang guruku sudah meninggal dunia, namun ada aku wakilnya yang dapat mendengar apa maksud kedatanganmu !" kata Tiang Bu suaranya keren.

   Hwesio gendut itu melirik ke arah Tiang Bu, kagum dan juga heran. Melihat betapa bocah berusia tiga empat belas tahun itu bersikap gagah biarpun pakaiannya robek-robek dan dandanannya sederhana sekali, benar-benar ia merasa kagum. Apalagi sepasang mata bocah itu yang membuat Hwa Thian Hwesio diam-diam berpikir bahwa anak ini kelak akan lebih hebat dari Wan Sin Hong pendekar yang ia kagumi.

   "Hayo katakan apa maksud kedatangan di depan makam suhu-suhuku, kalau tidak akan berubah pandanganku kepadamu, losuhu. Tadinya kau kuanggap satu-satunya di antara orang yang baru-baru ini banyak datang ke sini, satu-satunya yang dapat dipercaya dan bukan maling kitab. Akan tetapi kalau kau tidak mau mengaku apa maksud kedatargan mungkin akan berubah pandarganku itu." Hwa Thian Hwesio menarik napas panjang. Lebih dulu ia memberi hormat di depan d makam itu, lalu ia menghadapi Tiang Bu.

   "Siauw-sicu, ketahuilah bahwa pinceng adalah utusan Pangeran Wanyen Ci Lun. Pinceng disuruh menghadap Jiwi locianpwe di Omei-san untuk mohon bantuan mereka. Pada waktu ini, Negara kita di utara sedang terancam bahaya besar, bahaya penyerbuan bangsa Mongol yang dirajai oleh Temu Cin dan dibantu oleh orang-orang pandai dan jahat seperti Liok Kong Ji, Pak-kek Sam kui, dan lain-lain. Oleh karena itu demi menjaga keselamatan rakyat apabila bangsa Mongol menyerbu, Pangeran Wanyen Ci Lun atas nama kaisar Kerajaan mohon bantuan Jiwi-locianpwe di sini. Sudi kiranya untuk sementara tinggal di istana dan melatih ilmu silat kepada panglima-panglima Kerajaan Kin. Demikianlah tugas pinceng, tidak tahunya Jiwi locianpwe meninggal dunia."

   Tiang Bu mengerutkan kening. Ia tidak begitu tahu tentang keadaan kerajaan dan negara juga tidak perduli. Akan tetapi disebutnya Liok Kong Ji sebagai pembantu kaisar bangsa Mongol mengingatkan dia akim pengalaman-pengalamannya ketika dahulu ia dibawa melalui perbatasan utara ke daerah orang Mongol oleh Pak-kek Sam-kui. Hatinya makin timbul kebenciannya tcrhadap orang yang bernama Liok Kong Ji itu. Inilah serangan macamnya orang yang oleh suhunya dianggap penghianat baugsa, pcnjahat yang paling rendah di permukaan bumi. Tiong Sin Hwesio dahulu pernah berkata kepadanya bahwa penjahat yang paling hina dina dan harus dibasmi di dunia ini adalah Penghianat bangsa itu orang yang membantu musuh negara serta orang semacam Liok Korg Ji. Liok Kong Ji seorang bangsa Han, mengapa membantu bangsa Mongol musuh negara? Getir dan pahit rasa hati Tiang Bu kalau ia ingat akan kemungkinan bahwa orang macam ini menjadi ayahnya.

   "Kedatanganmu percuma saja, losuhu." jawabnya. suaranya dingin.

   "Andaikata kedua orang suhuku masih hidup. juga takkan ada gunanya. Di waktu hidupnya, kedua orang guruku adalah orang-orang yang menyucikan diri, tidak mau memusingkan urusan dunia bagaimana beliau dapat diajak ke istana kaisar? Pula, kedua orang guruku patriot-patriot sejati, bagaimana bisa diajak membantu Kerajaan Kin? Tidak, kedatanganmu sia-sia belaka, losuhu."

   Biarpun orangnya suka melawak dan tingkah lakunya kadang-kadang lucu. Hwa Thian Hwesio adalah seorang yang cerdik. Ia, dapat menduga bahwa satu-satunya orang yang telah mewarisi ilmu kepandaian hebat dari dua orang kakek sakti di Omei-sun hanyalah bocah ini.

   "Siauw-sicu, salah duga. Biarpun daerah utara dipimpin oleh Kerajaan Kin, namun mereka itu tidak ada bedanya dengan kita orang-orang Han. Buktinya, banyak orang-orang pandai seperti Wan-sicu dan lain-lain membantu Kerajaan Kin Bahkan Ang-jiu Sian li juga membantu menjadi guru di sana. Sedangkan orang-orang Mongol merupakan pengaruh asing yang hendak menjajah kita dan pasti rakyat akan menderita kalau mereka sampai menyerbu ke selatan, maka membantu memperkuat kedudukan Kerajaan Kin di perbatasan utara sama halnya dengan membantu negara dan menyelamatkan rakyat, kewajiban utama bagi para patriot. Oleh karena itu, sauw-sicu sendiri tentu saja sebagai seorang patriot muda, sudah berkewajiban untuk membela rakyat Han yang tinggal di utara dan terancam maut di tangan para serdadu Mongol."

   Hati Tiang Bu tergerak.

   "Bagaimana nanti sajalah. Toh sekarang orang-orang Mongol belum menyerbu dan pula orang seperti aku ini yang bodoh dan tidak tahu apa.apa, sungguh bingung memikirkan tentang perang dan sebagainya. Aku masih mempunyai banyak tugas dari mendiang suhu-suhuku untuk kulaksanakan.

   "Memang kau belum mengerti tentang semua itu, siauw sicu. Sayang sekali Wan sicu telah pergi, kalau tidak tentu dia dapat menjelaskan kepadamu. Ah, entah bagaimana dengan nasib, Wan sicu tadi......

   " Kata-kata tentang Wan Sin Hong yang tak disengaja ini menarik hati Tiang Bu. Memang ia sedang mencari Wan Sin Hong dan tidak tahu harus mencari di mana.

   "Di manakah adanya Wan Sin Hong?" tanyanya sambil lalu. akan tetapi sebetulnya penuh perhatian. Memang Tiang Bu biar masih kecil sudah memiliki kecerdikan.

   "Entah di mana. Tadi pinceng melihat bertempur dengan Toat-beng Kui-bo nenek mengerikan itu. Kemudian nenek itupun menyerbu gudang kitab dan mencuri sebuah kitab, tetapi dikejar dan diserang oleh Wan-sicu yang hendak memaksa nenek itu mengembalikan isterinya yang dirampas oleh nenek dari tangan Liok Kong Ji. Akan tetapi agaknya Wan-sicu biarpun lihai sekali belum dapat menangkan nenek itu. Akhirnya pinceng yang bersembunyi di balik batu karang, melihat nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil berseru kepada Wan-sicu bahwa kalau Wan-sicu hendak mencari isterinya, supaya menyusulnya ke Ban-mo-tongng (Gua Selaksa Iblis) di tepI pantai Laut Selatan."

   
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lalu bagaimana?" tanya Tiang Bu, kini amat tertarik.

   "Nenek itu lari cepat sekali, dikejar-kejar oleh Wan-bengcu. Entah bagaimana jadinya. Akan tetapi melihat gerakan nenek itu, pinceng menduga kiranya Wan-bengcu takkan dapat menyusulnya."

   Tiang Bu diam tejenak berpikir.

   "Losuhu yang baik, kelak kalau sudah selesai tugasku tentu kita akan bertemu lagi di kota raja Kerajaan Kin. Kita sama lihat saja kelak, apakah aku perlu membantumu. Sekarang bolehkah aku bertanya di mana adanya Ban mo-tong itu?"

   "Siauw-si-cu hendak menyusul ke sana?" tanya hwesio itu membelalakkan mata. Tiang Bu mengangguk.

   "Dia membawa kitab, aku harus memintanya kembali," katanya dingin.

   Hwa Thian Hwesio menggerak gerakkan kepala yang bundar itu ke atas ke bawah beberapa kali.

   "Siauw-sicu pandai, memang baik berbakti kepada guru biarpun guru sudah meninggal dunia. Siauw-sicu pergilah ke selatan, ke Propinsi Kiangsi yang berbatasan dengan Hokkian, carilah Pegunungan Wu-yi-san dan Tai-yun-san dan di antara dua pegunungan itu pergilah terus ke selatan sampai bertemu dengan laut. Di daerah situlah kalau tidak salah letaknya Ban-mo-tong. Akan tetapi harap siauw-sicu berhati-hati karena daerah itu amat berbahaya."

   Tiang Bu menghaturkan terima kasih lalu cepat mempergunakan kepandaiannya, dalam sekejap mata saja ia lenyap dari depan Hwa Thian Hwesio yang berdiri melongo. Ginkang bocah itu malah lebih hebat dari Wan-bengcu pikirnya. Kemudian iapun turun gunung.

   Pagunungan Wu-yi-san da Tai-yun-san terletak di bagian paling selatan dari daratan Tiongkok yang luas. Untuk mencapai daerah ini, Tiang Bu telah melalui perjalanan beberapa bulan lamanya menjelajah daerah-daerah yang amat asing baginya. menempuh bahaya-bahaya besar dalam perjalanan. Akan tetapi berkat kepandaiannya yang tinggi dan kekuatan tubuhnya yang luar biasa semua rintangan dapat diatasinya dan pada suatu hari kelihatan pemuda cilik ini dengan tenangnya berjalan masuk hutan keluar hutan yang tumbuh di lereng gunung di antara Pegunungan Wu-yin-san dan Tai-yun-san itu.

   Biarpun usia Tiang Bu baru kurang lebih empat atau lima belas tahun, namun benar-benar mengherankan sekali, setelah ia mewarisi sinkang yang hebat dari dua orang suhunya, tubuhnya mengalami perubahan cepat. Pertumbuhan badannya mengagetkan sekali, membuat ia dalam usia itu kelihatan seperti seorang laki-laki dewasa. Bahkan wajahnya yang membayangkan kejujuran itu kelihatan "matang" hilang sifat kekanak-kanakannya. Tiang Bu memang rajin bukan main. Selama melakukan perjalanan, tiada hentinya ia membuka-buka tiga buah kitab yang dibawanya untuk dipelajari.

   Kitab yang mengandung pelajaran silat Kiang liong-kun-hwat dibuka-buka sebentar saja karena Ilmu Silat Naga Tangguh yang termuat di situ tidak begitu berarti baginya. Dia telah pula mempelajari ilmu-ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada Kiang liong-kun-hwat ini dari dua orang suhunya. Akan tetapi dua kitab lainnya yangtadinya sukar ia mengerti dan yang mengherankan hatinya mengapa justru dua kitab ini yang dibela mati-matian oleh suhunya, sekarang amat menarik hatinya. Setelah ia teliti secara mendalam, ia menjadi girang bukan main karena ilmu-ilmu yang luar biasa sekali bersembunyi di dalam dua kitab ini. Kitab Seng-thian to (Jalan Naik ke Surga) mengandung pelajaran samadhi tingkat tertinggi.

   Biasanya, pelajaran siulian atau samadhi sudah mencapai tingkat paling tinggi apabila orang dapat mengheningkan cipta mengumpulkan segala panca-indra sampai lupa diri atau yang disebut "mati dalam hidup" atau "tidur dalam kesadaran". Akan tetapi ilmu Seng thian-to ini mengajar cara bersamadhi lebih tinggi lagi sehingga orang mencapai persatuan dengan jalannyapernapasan dan peredaran darah. Apabila ilmu ini sudah dilatih baik-baik, maka orang itu akan dapat mengikuti dan menguasai jalannya pernapasan dan darah di dalam tubub dan ini merupa sinkang yang tertinggi juga khikang yang tak dapat diukur lagi tingkatnya karena orangakan dapat mempergunakan hawa di dalam tubuh sesuka hatinya.

   Dengan kekuatan hawa ini orang akan dapat nembikin semua bagian tubuh menjadi kebal, karena tidak ada kekuatan dan kekerasan di dunia ini yang dapat melebihi hawa.

   Adapun kitab yang ke dua, yaitu Thian-te Sikeng (Kitab Sejak Bumi Langit) itu biarpun kalau dibuka lembarannya hanya akan berisi sajak dan syair melulu, namun di situ tercakup rahasia alam tentang bumi dan langit. Inilah sari pelajaran yang tidak saja membuka rahasia tentang Im dan Yang, termasuk sifat dan kekuatan Ngo heng yang menjadi lima sifat bumi-langit.

   Setiap sajak yang termuat dalam Thian-te Sikeng ini dengan sendirinya merupakan semacam imbangan yang dapat dirangkaikan menjadi semacam ilmu silat yattg luar biasa. Tiang Bu yang memiliki kecerdikan luar biasa tentu saja segera dapat membentuk atau mencipta bermacam-macam ilmu silat dari pada sajak-sajak ini. Tentu saja ia menjadi girang luar biasa dan kemajuan ilmu kepandaiannya meningkat secara kilat.

   Selagi Tiang Bu berlari-lari keluar dari hutan untuk memasuki hutan berikutnya yang amat besar, tiba-tiba ia mendengar suara keras orang menebang pohon. Suara orang menebang pohon bukanlah aneh, karena kiranya setiap orang tentu sudah pernah mendengar bunyi kapak membacok batang pohon yang berbunyi "crok, crok, crok........" dengan irama menentu dan tiada henti hentinya. Akan tatapi pendengaran Tiang Bu sudah menjadi luar biasa sekali setelah ia melatih diri dengan ilmu Seng-thian-to, maka ia mendengar sesuatu yang tidak sewajarnya dengan penebangan ini. Saking tertarik, ia menghentikan larinya dan mendengarkan lebih teliti.

   "Crok crak-cruk"". bruuuukk.........!" demikian terdengar suara jauh di sebelah kirinya. Belum juga habis gema suara ini, terutama suara terakhir yang diikuti oleh getaran tanah, tahu-tahu di sebelah belakangnya sudah terdengar lagi.

   "Crok-crak-cruk.............. bruuuk.........!" Cepat Tiang Bu menengok ke belakang dan,...... eh,......... lagi-lagi terdengar suara yang sama, kini dari sebelah kanannya.

   "Crok-cruk......cruk... bruuuuk.........!"

   "Hebat," pikirnya sambil cepat-cepat mempergunakun ginkangnya melompat ke kanan, ke arah suara terakhir itu. Mana ada cara menebang pohon secepat itu?

   Ketika mengejar ke kanan tadi Tiang Bu sudah mempergunakan ilmunya yang hebat yaitu Liap-in-sut (Ilmu Mengejar Awan), cepatnya bukan main. Akan tetapi tetap saja terlambat karena ketika ia tiba di tempat suara tadi, ia hanya melihat sebatang pohon siong besar sekali telah tumbang dan melihat daun-daunnya masih bergoyang-goyang menandakan bahwa pohon itu baru saja tumbang. Dan saat itu, jauh di depan sudah mulai lagi terdengar suara yang sama, suara orang menebang pohon besar hanya dengan tiga kali bacokan.

   "Hebat!" Tanpa membuang waktu lagi Tiang Bu melompat, kali ini ia menggunakan ilmunya melompat, yang disebut Sam-teng-jig thian (Tipa Kali Lari Melompat Memasuki Langit)! Ilmu ini luar biasa hebatnya sehingga tubuh pemuda itu lenyap dan tak dapat diikuti lagi dengan pandangan mata saking cepatnya gerakannya. Satu kali lompatan ia bisa mencapai jarak belasan sampai dua puluh tombak.

   Kali ini Tiang Bu tidak terlambat dan dapat melihat seorang laki berusia kurang lebih empat puluh tahun sedang menebang pohon besar. Laki-laki ini hebat sekali. Tubutnya tinggi besar, jenggot dan kumis pendek kasar, mukanya segi empat, dan telinganya lebar. Karena ia bekerja dengan tubuh atas telanjang, nampak dadanya yang bidang peruh otot-otot besar. Demikian pula sepasang lengannya penuh otot-otot yang melingkar, celananya sampai sebatas lutut, berwarna hitam. Kapak yang dipergunakan juga luar biasa. Besar dan matanya lebar, tajam bukan kepalang tajam sampai gemerlapan terkena sinar matahari. Orang itu bekerja dengan tubuh penuh peluh. Dengan gerakan tegap, kapak diayun ke arah batang pohon siong yang besarnya dua kali tubuh orang.

   "Crok-crak cruk.........

   " Tiga kali ayunan saja batang pohon itu roboh dan tumbang, mengeluarkan suara "brukkk.........!" dan tergetarlah pohon-pohon di sekelilingnya. Begitu pohon itu roboh, orang itu lalu berlari cepat sekali ke depan, kepalanya menengok ke kanan kiri memilih pohon lain. Begitu mendapatkan pohon yang dikehendaki, ia berhenti dan kembali mengayun kapaknya!

   "Sahabat gagah, harap berhenti dulu. Siauwte ingin bicara...... .!" Tiang Bu cepat melompat mengejar dan mengangkat tangan mengajak bicara, Akan tetapi orang itu mengerlingpun tidak, terus melanjutkan pekerjaannya, mengayun kapaknya. Tiang Bu memperhatikan. Kapak itu mula-mula menghantam dari kanan agak miring atau menyerong dari atas ke bawah, lalu ayunan kedua kali dari kiri ke kanan kemudian yang ke tiga kalinya kembali dari kanan, akan tetapi kali ini gerakannya lurus menabas. Dan kembali sebatang pohon baru tumbang. Kemudian orang itu lari lagi.

   "Hee, sahabat tukang kayu! Berhenti dulu sebentar!" Kembali Tiang Bu berseru keras. Namun orang itu tetap tidak perduli, terus saja lari ke depan sambil memilih pohon dengan pandang matanya kemudian berdiri dekat pohon yang terpilih dan mengayun kapak.

   "Sahabat baik, siauwte Tiang Bu mohon bicara sebentar.........!" kata Tiang Bu lagi, ia berdiri di depan orang tinggi besar ini. Namun ia dianggap seperti lalat saja oleh orang luar biasa itu.

   Tiang Bu mendongkol. Terlalu memandang rendah orang ini, pikirnya. Aku harus memperlihatkan sedikit kepandaian. Tanpa berkata apa-apa lagi ia lalu menggunakan ginkangnya melompat ke atas menyambar ujung cabang yang cukup besar dari pohon yang ditebang itu, dan duduklah Tiang Bu di dalam pohon yang berdekatan sambil memegangi cabang pohon yang ditebang. Pemuda ini tadi sudah memperhatikan betapa pohon yang ditebang oleh penebang aneh itu, robohnya ke kiri, oleh karena itu ia sengaja duduk di atas pohon sebelah kanan pohon yang ditebang itu.

   "Crok-crak crok "..! Tiga kali ayunan dahsyat itu dilakukan dan batang pohon yang besar itu telah terbacok dalam sekali dan hanya tinggal sedikit hati kayu saja yang masih menahan. Biasanya sedikit tahanan ini tidak kuat menahan batang itu berdiri dan tentu segera tumbang akan tetapi kali ini tidak demikian. Barang pobon yang sudah kena sambaran kapak sampai tiga kali itu tidak roboh.Masih berdiri tegak bagaikan raksasa yang tidak merasakan hantaman kapak.

   Penebang kayu itu mengerutkan keningnya yang lebar, mengusap muka yang penuh peluh itu, lalu memandang ke atas. Segera ia dapat melihat seorang pemuda tegap, berhidung pesek berbibir tebal dan berkulit hitam sedang duduk di atas cabang pohon yang berdekatan sambil memegangi ujung cabang pohon yang ditebangnya! Pantas saja pohon ini tak mau roboh, pikirnya, kiranya ada orang yang sengaja menahan dengan memegang cabangnya. Dengan tak acuh penebang pohon itu mendupak pohon di depannya. Pohon berguncang keras, namun tetap tidak tumbang!

   Mulailah penebang pohon itu menaruh sedikit perhatian kepada Tiang Bu. Ia maklum bahwa untuk menahan sebatang pohon roboh dengan memegangi cabangnya saja bukanlah pekerjaan sukar, karena memang daya berat pohon itu berada di bawah, di atasnya ringan sekali. Seorang bocah saja kiranya akan mampu melakukan hal itu. Akan tetapi tadi ia sudah mendorong pohon dengan kakinya dan bocah di atas itu sanggup mempertahankan, tentu memiliki sedikit tenaga.

   "Monyet cari perkara, rasakanlah!" Tiba-tba penebang pohon itu berkata dengan suaranya yang keras dan tiba-tiba ia menendang pohon itu bukan ke kiri, melainkan ke kanan! Ia sengaja membalik arah robohnya pohon sehingga bagi pemuda itu tidak ada jalan lain lagi untuk menahan, bahkan akan tartimpa oleh pohon itu!

   Akan tetapi, aneh di atas aneh, pohon yang didupak oleh kakinya yang sedikitnya bertenaga lima ratus kati itu, tetap saja tidak roboh sungguhpun sudah bergoyang-goyang dan daunnya pada rontok! Kali ini penebang kayu itu tertegun sejenak. Menarik cabang untuk menahan robohnya pohon bukan hal mengherankan akan tetapi menahan robohnya pohon ke arahnya dengan jalan mendorong cabang itu, benar benar mustahil! Namun benar-benar telah dilakukan oleh pemuda itu.

   "Anak muda, turunlah. Kau cukup berharga untuk orang meninggalkan pekerjaannya dan melayanimu."

   "Ha, akhirnya kau mau juga bicara, lopek!" seru Tiang Bu dengan girang dan sekarang pcmuda ini melepaskan pegangannya pada ujung cabang sambilmelompat ke bawah, pohon itupun tumbanglah, menerbitkan suara hiruk pikuk. Dengan gerakan ringan Tiang Bu melayang ke depan penebang pohon itu dan ia sudah menjura dengan hormat sebelum penebang itu hilang kaget dan herannya menyaksikan cara Tiang Bu melayang turun benar-benar merupakan gerakan yang jarang ia jumpai. Pemuda itu tadi telah melayang diantara cabang-cabang dan ranting-ranting pohon raksasa yang sedang tumbang menimpanya, benar-benar gesit melebihi seekor burung kecil.

   Penebang kayu itu memandang kepada Tiang Bu dengan tajam dan penuh perhatian peluhnya deleweran dari leher dan dadanya. Kemudian ia berkata.

   "Kau yang semuda ini sudah memiliki tenaga luar biasa, siapakah kau dan mengapa kau mengganggu pekerjaanku?"

   Sambil tersenyum ramah dan bersikap hormat-Tiang Bu menjawab.

   "Harap maafkan lopek. Aku Tiang Bu dan bukan maksud mengganggu pekerjaan lopek. Aku merasa amat tertarik dan kagum sekali menyaksikan cara lopek menebang kayu yang menunjukkan bahwa lopek adalah seorang berilmu tinggi. Mohon tanya siapakah nama lopek yang terhormat dan mengapa lopek menebangi kayu-kayu pohon yang besar besar ini?"

   Penebang itu menggerak-gerakkan alisnya yang hitam dan tebal.

   "Hemm, apa sih anehnya menebang kayu, dan lebih-lebih lagi apa sih anehnya seorang penebang kayu? Kerjaku menebangi kayu-kayu yang tua dan dan baik, kukapak menjadi kayu-kayu balok dan kujual kepada pedagang kayu. Apa anehnya dalam hal itu? Kau bilang aku memiliki kepandaian luar biasa dan berilmu, tentu saja. Kepandaianku ialah menebang kayu dan ilmuku tentu saja cara mempergunakan kapak menumbangkan pohon. Apa anehnya dalam hal ini? Orang muda jadikanlah hal ini sebagai pegangan olehmu bahwa di dunia ini memang terdapat banyak sekali macam ilmu, setiap orang lain lagi ilmunya. Ilmu apakah yang boleh dibanggakan? Kau boleh memiliki lweekang dan ginkang istimewa, akan tetapi dalam hal menebang kayu, kiranya kau harus belajar dulu kepadaku! Juga terhadap ahli silat lain seperti aku ini, kau tentu akan kalah. Apa anehnya dalam hal itu? Seorang ahli tentu saja mudah mengerjakan pekerjaan keahliannya, ini sudah lumrah."

   Tiang Bu menjura dengan lebih hormat setelah mendengar kata-kata ini. Ia tahu bahwa di balik kesederhanaan gerak-gerik dan kata-katanya ini, ia berhadapan dengan seorang yang pandai.

   "Lopek, hari ini aku Tiang Bu yang muda dan bodoh telah bertemu dengan lopek dan menerima pelajaran, sungguh merupakan hari yang amat beruntung bagiku. Mohon tanya namamu yang mulia agar tak mudah kulupakan."

   "Eh, orang muda, apakah tadi kau menghentikan pekerjaanku hanya untuk bertanya nama belaka?" tiba-tiba orang itu membentak kelihatan marah.

   Diam-diam Tiang Bu merasa terkejut akan sikap orang yang amat aneh. Tak disangkanya bahwa di bagian selatan, di tempat yang sunyi ini terdapat orang seaneh ini. Ia tidak berani membohong dan segera berkata terus terang.

   "Sesungguhnya, lopek. Selain merasa tertarik dan kagum sehingga aku ingin sekali mengenal dan mengetahui nama lopek, juga ada sedikit urusan yang ingin aku mendapat bantuanmu. Aku sedang mencari pantai di mana terdapat gua-gua yang disebut Ban-mo-to. Dapatkah kau menunjukkan di mana tempat itu dan jalan mana yang harus kuambil untuk menuju ke sana?" Tiba-tiba orang itu memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, untuk sementara tak dapat menjawab.

   "Kau....... kau hendak pergi ke Ban mo-tong.........?" akhirnya ia dapat bertanya gagap. Tiang Bu mengangguk dan pada saat itu terdengar suara nyaring.

   "Thia thia (Ayah), mengapa kau berhenti menebang?" Suara ini nyaring sekali dan tak lama kemudian dari selatan datang berlari-lari seorang gadis berpakaian serba hijau. Gadis ini cepat sekali larinya, pakaiannya berkibar ketika ia lari membuat ia kelihatan seperti seekor kupu besar. Tangannya memegang sepasang kapak kecil di kanan kiri dan tiap kali ia tiba di dekat pohon yang sudah ditumbangkan oleh ayahnya, ia menggerakkan kedua kapak itu cepat sekali dan tubuhnya melompat ke sana ke mari di sekitar pohon itu.

   Gerakannya tangkas dan gesit seperti burung walet menyambar-nyambar, dan sebentar saja pohon yang telah tumbang itu telah digunduli, semua cabang dan ranting berikut daun-daunnya telah habis dibacok kapak, tinggal batang pohonnya saja yang kini telah merupakan balok besar panjang. Kalau cara manebang pohon dari penebang tadi sudah luar biasa, maka cara membersihkan cabang ranting dan daun ini tidak kalah hebatnya. Pekerjaan yang kiranya oleh dua orang laki-laki biasa akan dilakukan setengah hari, oleh gadis baju hijau itu hanya dilakukan dalam beberapa menit saja!

   Setelah memandang ke arah puterinya yang bekerja itu dengan puas dan mulut tersenyum si penebang pohon lalu menjawab pertanyaan tadi.

   "Pemuda ini yang menghentikan pekerjaanku. Kau ke sinilah, Fei Lan!"

   Karena pohon yang ditebang oleh ayahnya sudab dibersihkanya semua, gadis itu lalu berlari-lari ke tempat ayahnya. Dari jauh ia sudah memandang ke arah Tiang Bu dengan penuh perhatian. Akan terapi setelah tiba di situ ia membuang muka dan berkata kepada ayahnya,

   "Ayah, bocah seperti ini bagaimana sampai bisa menghentikan pekerjaanmu?" Memang sudah sepatutnya kalau Fei Lan terheran-heran karena ia tahu betul bahwa biasanya kalau ayahnya sudah mulai bekerja jangankan manusia, biarpun alam yang mendatangkan hujan angin besar, tidak mampu menghentikan ayahnya dan pekerjaannya. Bagaimana sekarang seorang manusia biasa saja dapat melakukan hal itu?

   "A-Lan, jangan kau memandang ringan kepadanya," kata penebang pohon itu sambil tersenyum penuh arti.

   "semuda ini ia telah memiliki kepandaian tinggi. Kiranya inilah orang yang kau nanti-nantikan. Kalau kau setuju hemmm"".. aku akan girang sekali menjadi mertuanya!"

   Mendengar ucapan ayahnya, sepasang pipi gadis itu menjadi merah sekali. Namun dengan tabah ia memutar tubuh menghadapi Tiang Bu dan sepasang matanya memandangi pemuda itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Terdengar ia menarik napas panjang lalu berkata,

   "Hemmm, kau tak dapat dikatakan tampan........."

   Tiang Bu sejak tadi sudah memperhatikan gadis baju hijau yang berdiri tegak di depannya itu. Gadis ini usianya tentu tak kurang dari delapan belas tahun, tubuhnya berbentuk indah, ramping dan berisi seperti biasa bentuk tubuh gadis gunung yang biasa bekerja berat.

   Kulit tangan dan leher yang tidak tertutup pakaian nampak tidak begitu putih karena setiap hari terbakar matahari, namun kelihatan kulit yang halus kecuali di telapak tangan yang sudah biasa bertemu dengan gagang kapak. Kedua kakinya biasa, tidak kecil seperti kaki wanita yang dibungkus semenjak lahir. Rambutnya panjang dan hitam sekali, digelung ke atas secara sederhena dan diikat dengan tali rambut warna hijau pula. Wajah gadis itu cantik dan manis, sayang sekali matanya tidak lembut seperti kebanyakan gadis cantik, keras dan membayangkan kegalakan dan kesombongan.

   

Pendekar Budiman Eps 18 Pedang Penakluk Iblis Eps 23 Pendekar Budiman Eps 13

Cari Blog Ini