Ceritasilat Novel Online

Tangan Geledek 31


Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 31




   "Mudah," jawab Cui Kong.

   "Biar kita mengirim surat tantangan kepada Tiang Bu agar panas hatinya dan ia segera datang ke sini mebdahului Wan Sin Hong."

   Demikianlah. ketika Tiang Bu dan Bi Li tiba di pantai dan sedang mencari perahu di tempat yang sunyi sekali itu, tiba-tiba mata Bi Li yang tajam melihat sesuatu di atas batu karang.

   "Tiang Bu lihat.......... Seperti kertas; bertulis yang sengaja dipasang orang di sana!"

   Tiang Bu, menoleh. Benar saja, di atas batu karang terdapat sehetai kertas kuning muda yang ada tulisannya, ditempel di batu karang. Ketika dua muda-mudi ini mendekati, ternyata tulisan itu memang ditujukan kepada Tiang Bu. Merah muka Tiang Bu ketika membaca tulisan itu yang berbunyi seperti berikut:

   TIANG BU, ANAK PUTHAUW! KAU DATANG MINTA
AMPUN ATAU MINTA MATI, AYAHMU MENANTI

   LIOK KONG JI.

   "Manusia Iblis!? Tiang Bu memaki gemas "Sombong, kaukira aku takut padamu?"

   "Lihat, di sana ada perahu datang!" teriak Bi Li yang sudah menoleh ke arah laut karena ia melihat ancaman maut di dalam surat Liok Kong Ji. Gadis ini amat khawatir akan keselamatan kekasihnya karena ia cukup maklum betapa lihainya manusia iblis itu bersama kaki tangannya.

   Tiang Bu menengok, dan betul saja, dari arah laut datang sebuah perahu yang layarnya terkembang. Anehnya, perahu itu kosong tidak ada penumpangnya.

   "Mereka telah mengirim perahu untukmu!" kata Bi Li, suaranya agak gemetar. Tiang Bu tidak menjawab melainkan menyambut perahu yang sudah sampai di pantai itu. Benar-benar orang telah mengirim perahu kosong untuknya, perahu yang layarnya dikembangkan dan kemudinya diatur sedemikian rupa sehingga dengan adanya angin yang mengbembus ke arah pantai, perahu itu bisa berlayar sendiri ke pantai.

   "Musuh bersikap sombong sekali," kata Tiang Bu.

   "Aku harus ke sana sekarang juga agar jangan dianggap takut. Bi Li, kau tunggu saja di sini. Biarkan aku sendiri Pergi memberi hajaran pada manusia-manusia iblis itu untuk membalaskan sakit hatimu."

   "Tidak, Tiang Bu. Aku ikut dengan kau!"

   "Bi Li," Pemuda itu memegang tangan Bi Li.

   "jangan salah sangka. Untuk melindungimu dari mereka aku masih sanggup dan dengan aku di sampingmu mereka tak mungkin berani mengganggumu. Akan tetapi, kau tahu sendiri betapa licik dan curangnya mereka itu, dan inilah yang kukhawatirkan. Menghadapi kecurangan mereka lebih berat dari pada menghadapi kepandaian mereka. Lebih leluasa bagiku pergi seorang diri. Kau tinggallah saja di sini, Li-moi, percayalah, aku meninggalkanmu hanya sebentar saja dan aku meninggalkanmu ini adalah karena sayangku kepadamu."

   "Akan tetapi.......... aku ingin sekali membalas sendiri kepada manusia jahanam Liok Kong Ji!"

   Tiang Bu mengangguk.

   "Jangan kau khawatir, aku akan menyeretnya ke sini sehingga kau dapat membalas sakit hatimu."

   "Betulkah, Tiang Bu!" tanya Bi Li penuh harap.

   "Mana aku mau membohongimu. Nah, kau baik baik menjaga dirimu, tunggu aku di pantai," kata Tiang Bu sambil melompat ke perahu.

   "Tiang Bu, kau jagalah dirimu baik-baik. Kau tahu semangat dan hatiku ikut bersamamu..........

   " kata Bi Li, hatinya tidak karuan rasanya melihat kekasihnya pergi menempuh bahaya seorang diri.

   Tiang Bu tersenyum.

   "Jangan khawatir, Bi Li. Doa restumu menjadi jimat pelindungku. Kita akan bertemu kembali, Bi Li." Ketika perahu mulai menjauhi pantai dan Bi Li berdiri seperti patung di tepinya, Tiang Bu berseru dari jauh.

   "Bi Li, aku cinta kepadamu..........!"

   Bi Li mengangguk-angguk, tersenyum dan matanya menjadi basah. Setelah perahu itu sudah jauh sekali merupakan titik hitam, gadis itu menjatuhkan diri berlutut, mukanya diangkat ke atas, matanya meram, bibirnya bergerak-gerak seperti orang bardoa mohon berkat perlindungan dari Thian untuk pemuda yang dikasihinya.

   Tiang Bu sudah mendengar dari Bi Li bahwa Pulau Pek-houw to dapat dikenal di antara pulau pulau itu sebagai pulau yang dari jauh tampak keputih-putihan dan bentuknya seperti seekor macan mendekam. Dan pulau ini memang tidak sukar dikenal dari jauh. Setelah perahunya didayung cepat menuju ke kumpulan pulau-pulau itu, ia melihat Pulau Pek-houw-to. Hatinya berdebar girang. Sekarang ia tidak mau bekerja kepalang tanggung.

   Ia harus dapat membasmi Liok Kong Ji dan semua kaki tangannya dan merampas kembali kitab-kitab Omei-san yang sekarang sudah terkumpul ke dalam tangan Liok Kong Ji dan Cun Gi Tosu. Pemuda ini maklum bahwa ia menghadapi orang-orang pandai. Lawan-lawan berat yang tak boleh dipandang ringan akan tetapi ia tidak takut. Ia percaya penuh akan kekuatan sendiri, dan percaya penuh akan dapat mengalahkan mereka semua.

   Tiba-tiba ia mendengar suitan keras beberapa batang anak panah menyambar cepat ke arah perahunya, menancap di atap perahunya melihat anak-anak panah itu tidak di arahkan kapadanya, melainkan kepada atap perahunya, Tiang Bu seolah-olah tidak melihat kejadian ini dan bersikap tenang-tenang saja. Didayungnya perahu layarnya dengan cepat.

   Akan tetapi segera muncul lima buah perahu kecil dengan atap melengkung dari balik-balik batu karang yang menonjol di permukaan laut. Perahu-perahu ini ditumpangi oleh Lam-thian-chit-ong dan belasan anak buahnya, berjumlah dua puluh orang lebih, setiap perahu ditumpangi lima orang. Dengan cepat perahu-perahu ini sudah malang melintang menghadang kedatangan perahu Tiang Bu. Pemuda itu tetap tenang maklum bahwa Liok Kong Ji sudah mengirim rintangan pertama untuk menggagalkan pendaratannya ke Pek-houw-to.

   Aku harus hati-hati, pikir Tiang Bu. Di darat aku tak perlu memusingkan dua puluh orang lawan ini, akan tetapi di air, hmm, berat juga.

   "He, pemuda yang sudah bosan hidup. Kedatanganmu ini dengan keperluan apakah?" Teriak si baju marah, ketua dari Lam-thian-cit-ong.

   Melihat tujuh orang yang pakaiannya tujuh macam ini, diam-diam Tiang Bu sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah merupakau kelumpok kaki tangan Kong Ji yang terdiri dari saudara-saudara seperguruan, dan tentu kepandaiannya tidak lemah.

   "Badut merah, kau mau tahu maksud. kedatanganku?" jawabnya.

   "Dengarlah baik-baik. Aku datang untuk membasmi manusia-manusia iblis seperti Liok Kong Ji, Liok Cui dan kaki tangannya seperti kalian. Sudah jelaskah?"

   Lam-thian-chit ong memang mendapat tugas dari Liok Kong Ji untuk mencegat perahu pemuda itu. Liok Kong Ji masih belum tahu apakah kedatangan Tiang Bu dengan maksud baik ataukah buruk, maka ia menyuruh Lam-thian-chit-ong mewakilinya dan menyelidiki.

   Mendengar jawaban Tiang Bu yang tegas itu, Lam-thian chit ong lalu memerintahkan anak buahnya dan di lain saat puluhan batang anak panah menyambar ke arah Tiang Bu. Akan tetapi pemuda ini sama sekali tidak perduli, hanya menggerakkan dayung mendayung perahunya. Aneh bukan main, perahu itu seperti bernyawa, bergerak-gerak cepat tak sebatangpun anak panah mengenai tubuhnya, hanya menancap di tubuh perahu dan masuk ke laut. Inilah demonstrasi kecelian mata dan kehebatan tenaga menggerakkan perahu yang amat luar biasa.

   "Kami menantimu di darat!` terlak si baju merah dan dia bersama enam orang saudaranya lalu menumpang sebuah perahu dan mendayungnya ke daratan Pulau Pek houw-to.

   Empat buah perabu anak buahnya dengan delapan belas orang masih mancogat di situ. Malah mereka mendayung perahu mendekati perabu Tiang Bu dan mengurung dari empat jurusan.

   Harus diketahui babwa Lam-thian-chit ong seperti juga Tiang Bu, tidak mengerti ilmu dalam air maka siang-siang mereka meninggalkan Tiang Bu untuk melakukan cegatan-cegatan di darat, tidak seperti delapan belas orang itu yang memang kesemuanya bekas bajak laut. Delapan belas orang ini semua pandai berenang dan pandai bermain di dalam air, merupakan ahli-ahli dan penyelam penyelam. Oleh karena itulah maka tugas pertama untuk monyerang Tiang Bu diserahkan kepada delapan belas orang bajak laut ini. Liok Kong Ji memang sudah siap untuk segalanya dan kedudukannya ini kuat sekali.

   Melibat gerakan empat perahu yang mengurungnya, Tiang Bu bersiap sedia. Kini ia tidak duduk di dalam perahunya, melainkan berdiri di kepalanya perahu dengan dayung di tangan, sepasang matanya awas memandang gerak-gerik empat perahu lawan yang mengelilingi. Adapun tujuh orang yang berbeda-beda warna pakaiannya itu kini telah mendarat, berdiri di tepi pantai dan menonton bagaimana para anak buah bajak laut itu hendak mengalahkan pemuda itu. Terdengar pemimpin bajak laut itu memberi aba-aba dengan suitan dan kembali empat perahu itu mereka menghujankan panah ke arah Tiang Bu.

   Berbeda dengan tadi, kini anak panah datang menyerang empat jurusan, depan belakang dan kiri kanan. Kalau tadi semua anak panah datang dari depan maka masih dapat Tiang Bu menggunakan kepandaian menggerakkan perahu untuk mengelak dari sambaran anak panah-anak panah. Akan tetapi sekarang ia tidak dapat berbuat seperti tadi. Cepat ia menggerakkan dayungnya dan....... alangkah terkejut hati semua bajak laut ketika mereka menyaksikan demontrasi kepandaian yang luar biasa.

   Begitu dayung diputar menangkis anakpanah itu tidak runtuh ke bawah, melainkan meleset dan terus menyambar. Anak-anak panah dari depan melesat dan menyambar arah perabu sebelah kanan, yang dari kiri menyambar ke arah perahu di belakang. dari kiri monyambar ke depan. Jadi dengan dayungnya itu, Tiang Bu "mengoperkan" anak panah-anak panah itu ke arah perahu perahu bajak, seakan-akan para bajak itu saling serang sendiri dengan anak panah-anak panah mereka!

   Terdengar mereka berseru kaget dan cepat-cepat menangkis. Akan tetapi dalam kegugupan karena serangan istimewa yang tak pernah disangka-sangka itu, seorang anak buah bajak yang kurang cepat menangkis dan pundaknya tertancap anak panah kawan sendiri. Anehnya, buah bajak itu terus roboh berkelojotan di dalam perahunya dan tewas seketika itu juga, mukanya berubah hitam!

   Melihat hal ini dari atas perahunya, Tiang Bu diam-diam mengutuk Liok Kong Ji. Ia sekarang tahu bahwa sebelum menyerangnya, semua anak panah yang dibawa oleh anak buah bajak ini telah dilumuri racun hitam oleh Liok Kong Ji. Alangkah kejinya orang berhati iblis itu!

   Melihat betapa dengan dayungnya Tiang Bu dapat menangkis dan malah mengoper semua anak panah, para bajak tidak berani menyerang dengan anak panah. Serangan pertama tadi saja sudah mengorbankan nyawa seorang kawan sendiri dan mereka kini berputar-putar mengelilingi perahu, menanti saat datangnya aba-aba dari pemimpin mereka yang sedang memutar otak untuk mengatur serangan-serangan barikutnya.

   Tiang Bu tetap berdiri di kepala perahu, dengan dayungnya disentuhkan ke air ia menjaga supaya perahunya tetap di tangah-tengah. Ia kelihatan gagah dan tegap, tenang dan waspada, membuat para bajak memandang jerih. Mereka semua tahu bahwa kali ini biarpun mereka terdiri dari belasan orang mengepung hanya seorang pemuda, namun tugas mereka jauh lebih berat dari pada kalau mereka ditugaskan membajak sebuah kapal yang dijaga olek sepasukan tentara.

   Kembali pemimpin bajak bersuit. Suitan-suitan yang berbeda-beda sudah merupakan tanda tersendiri. Mendengar suitan ini, semua anak buah bajak mengeluarkan dua macam senjata. Di tangan kiri memegang sebuah galah ujungnya dipasangi kaitan besi sedangkan di tangan kanan memegang sebuah tombak yang runcing. Baik tombak maupun gala kaitan itu panjangnya ada tiga tombak. Melihat ini, Tiang Bu maklum bahwa mereka hendak menyerangnya dengan tombak dan mencoba untuk mengait dan menggulingkan perahunya. Ia pikir bahwa kalau mereka berani menyerangnya dengan dua macam senjata itu, ia sama sekali perlu takut karena dengan mudah dapat merampas semua senjata mereka dan menggunakan senjata-senjata panjang itu untuk menghajar mereka.

   Perahu-perahu itu mulai mendekat sampai pada jarak delapan tombak. Tiba-tiba dari masing-masing perahu, dua orang bajak loncat ke dalam air membawa dua macam senjata itu terus menyelam. Tiang Bu kaget sekali. Celaka, pikirnya. Kalau mereka menyerangnya dari bawah dan menggulingkan perahu, ia bisa tewas!

   Cepat Tiang Bu mendayung perahunya mendekati perahu sebelah kiri. Benar saja dugaannya. Tiba-tiba perahunya bergoyang-goyang dan ternyata telah dikait dari bawah oleh delapan penyelam itu. Perahunya dibotot-betot dan akhirnya menjadi miring. Air mulai masuk. Tiang Bu mempergunalean Chian-kin-kang (Tenaga Seribu Kati) untuk membuat perahu jangan sampai terguling, akan tetapi karena airsudah mengalir masuk, ilmunya ini hanya membikin perahu ambles dan air masuk makin banyak.

   Para bajak dari empat perahu itu bersorak-sorak melihat pemuda ini dengan susah payah mempertahankan diri dan perahunya. Tak lama kemudian perahu Tiang Bu sudah hampir tenggelam, air sudah mulai membasahi sepatu pemuda itu.

   Saking gembiranya, para bajak itu kurang waspada dan tidak dapat menduga apa yang dilakukan Tiang Bu. Tahu-tahu berkelebat bayangan yang hampir tidak dapat diikuti pandangan mata dan pemuda itu sudah meninggalkan perahunya yang tenggelam, kini sudah berada di perahu bajak yang berada di sebelah kini. Jarak kurang lebih enam tombak itu dilompati oleh Tiang Bu dengan amat mudah dan demikian cepatnya hingga seperti burung walet terbang saja. Panik terjadi di dalam perahu yang diserbu Tiang Bu. Untuk menyerang pemuda yang sudah berada di perahu mereka ini, tak mungkin menggunakan dua macam senjata panjang itu. Selagi mereka bingung hendak mencabut golok dan pedang, Tiang Bu tidak memberi waktu lagi. Pemuda ini menggerakkan kaki tangannya dan suara berteriak mengaduh susul-menyusul. Tiga orang anak buah bajak yang berada di perahu itu terlempar ke dalam air untuk terus tenggelam dan tewas!

   Kembali delapan orang penyelam menyerang perahu bajak yang kini terampas oleh Tiang Bu. Perahu menjadi miring dan sebentar saja tanggelam, Tiang Bu mempergunakan ginkangnya, melompat ke perahu ke dua dan seperti tadi ia mengamuk merobohkan tiga orang anak buah bajak yang sama sekali tidak berdaya menghadapi pemuda sakti ini. Akan tetapi penyelam-penyelam itu tidak mau memberi kesempatan kepada Tiang Bu untuk menyelamatkan diri. Mereka menyerbu dari bawah air dan terpaksa Tiang Bu meninggalkan perahunya lagi, melompat ke perahu ke tiga. Sekarang tanpa ia turun tangan, dua orang bajak yang berada di perahu itu masing-masing sudah melompat ke dalam air.

   Bajak-bajak itu menggunakan siasat baru. Mereka bertekad hendak menenggelamkan semua perahu agar pemuda itu tidak mendapat tempat berpijak lagi. Kemball perahu diserbu dan untuk yang ketiga kalinya Tiang Bu melompat ke perahu bajak yang ke empat! Perahu ini ditumpangi oleh pemimpin bajak bersama dua orang anak buahnya. Mereka sudah siap-siap dengan golok di tangan dan pada saat tubuh Tiang Bu melayang, mereka mamapakinya dengan golok yang dibacokkan kuat-kuat.

   Namun bacokan tiga orang ini seperti orang membacok bayangan saja. Dengan ilmu loncat loh-he (gerakan membalik) yang disebut Sinliong hoan-Sin (Naga Sakti Membalikkan Tubuh), tubuhnya membuat salto di udara dan selagi tiga batang golok itu menyambar, ia sudah melewati atas kepala mereka dan mendarat di atas perahu. Tiga orang bajak itu cepat membalikkan tubuh akan tetapi
(Lanjut ke Jilid 31)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 31
hanya untuk melihat pemuda itu menggerakkan kedua tangannya dan.......... mereka terlempar ke dalam air.

   Tiang Bu maklum bahwa kalau perahu terakhir ini tenggelam, ia tidak mempunyai tempat untuk melompat lagi. Maka cepat ia menggerakkan dayung dan mendayung perahu itu ke arah daratan. Namun kepandaian berenang para bajak laut itu benar-benar lihai. Secepat ikan ikan hiu berenang, mereka telah mengejar dan sebelum mencapai darat, masih ada dua puluh tombak lagi, mereka telah dapat mengait perahu dari bawah dengan senjata-senjata kaitan mereka dan cepat membuat perahu itu miring! Tiang Bu marah sekali.

   Ia melihat bayangan-bayangan tak jelas bergerak di dalam air. Dengan tenaga luar biasa pemuda ini meluncurkan dayungnya ke dalam air menghantam bayangan itu, di antara para penyelam itu terkena pukulan dayung yang disambitkan, kepalanya pecah dan tak lama kemudian mayatnya terapung di permukaan laut, sebentar tenggelam dipermainkan ombak bersama dengan mayat-mayat kawannya yang sudah tewas ketika Tiang Bu melompat-lompat dari perahu ke perahu tadi.

   Perahu tetakhir makin miring dan akhirnya tak dapat ditahan lagi perahu itu tenggelam! Tiang Bu mengerahkan tenaga. menjejak perahu yang hampir lenyap dari permukaan air itu dan melompat ke arah darat. Akan tetapi hanya dapat mencapai jarak sepuluh tombak lagi dari daratan tubuhnya jatuh ke dalam air.

   "Byuuurr......!" Air memercik tinggi dan tubuh Tiang Bu tidak kelihatan lagi. Hanya kelihatan para anak buah bajak dengan tombak di tangan kanan dan kaitan di langan kiri cepat berenang ke arah tempat pemuda itu tenggelam!

   Untungnya Bi Li tidak melihat keadaan kekasihnya itu. Kalau ia menyaksikan betapa kekasihnya terjun ke dalam laut dan dikejar oleh ahli-ahli penyelam yang bermaksud membunuhnya, dapat dibayangkan betapa akan hancur dan bingungnya hati Bi Li.

   Pada saat Tiang Bu terancam nyawanya Bi Li masih berlutut di pinggir laut. Sudah lama titik hitam perahu Tiang Bu lenyap dari pandangan matanya dan gadis ini masih tetap berlutut, hatinya penuh doa untuk keselamatan Tiang Bu, orang satu-satunya yang ia miliki di dunia ini.

   "Bi Li, kau sedang apa di sini?" terdengar pertanyaan halus yang membuat Bi Li terkejut. Seakan-akan gadis ini ditarik turun dari angkasa lamunannya. Ia melompat berdiri dan membalikkan tubuh. Ternyata gurunya Ang jiu Mo-li telah berada di depannya!

   "Bi Li, kau sudah sampai di sini mengapa berlutut dan seorang diri? Mana Tiang Bu?" tanya pula Ang-jiu Mo-li sambil menoleh ke sana ke mari, seakan-akan mengharapkan akan melihat Tiang Bu berada di sekitar tempat itu.

   "Dia sudah berangkat ke Pek-houw to, meninggalkan teecu seorang diri di sini."

   "Lho, mengapa begitu? Mengapa kau tidak ikut serta?"

   "Teecu disuruh menanti di sini karena katanya.......... amat berbahaya kalau teecu menyerbu. Musuh amat lihai dan dia hendak turun tangan sendiri agar lebih leluasa. Dia.......... dia melakukan ini untuk menjaga agar teecu tidak terancam bahaya." Bi Li membela dan melindungi kekasihnya agar tidak dipersalahkan oleh Ang-jiu Mo-li.

   "Hemm, dasar anak muda. Bodoh sekali! Mati hidup siapakah yang kuasa mengatur kecuali Thian? Mengapa takut mati kalau sudah berani hidup? Bi Li, calon jodohmu itu keliru dalam hal ini. Dia hendak menjauhkan kau dari bahaya, akan tetapi sebaliknya dia membuat kau berada dalam kegelisahan dan penderitaan batin. Bukankah kau menderita sekali ditinggalkan tidak tahu bagaimana dengan nasibnya, bukan?"

   Bi Li menundukkan mukanya.

   "Memang betul.........."

   "Dan kau akan suka sekali, rela mati bersama kalau kau berada di sampingnya, ikut membantunya dalam penyerbuan ke Pek-hou to, bukan?"

   Kembali Bi Li mengangguk akan tetapi tidak ada kata-kata keluar dari mulutoya untuk membela Tiang Bu.

   "Baik kita susul dia. Kau ikutlah dengan aku."

   "Akan tetapi...... dia sudah pesan supaya teecu menanti di sini??"

   Ang-jiu Mo-li membelalakkan matanya yang masih bagus.

   "Hemm..... belum jadi isterinya kau sudah begitu setia dan taat, lebih taat dari pada kepada gurumu.......?"

   Bi Li merasa jengah dan malu, hendak berlutut meminta maaf, akan tetapi tidak jadi ia lakukan ketika mendengar kata-kata Ang-jiu Mo-li.

   "Bagus begitu, muridku! seorang wanita harus setia dan taat kepada suaminya dalam hal yang sewajarnya. Memang Tiang Bu melarangmu ikut adalah demi menjaga beselamatanmu, dan memang ia akan dapat bergerak lebih leluasa tampa kau di sampingnya yang hanya akan merupakan gangguan.

   Kepandaianmu masih jauh kalau harus berhadapan dangan musuh-musuh itu. Akan tetapi sekarang ada aku di sampingmu, aku dapat menjagamu baik-baik. Bahkan kita berdua akan dapat membantu Tiang Bu, kalau-kalau ia kewalahan menghadapi lawan-lawannya yang memang berat."

   Bi Li lalu menceritakan tentang tantangan yang ditulis oleh Liok Kong Ji dan tentang perahu yang dikirim untuk menjemput Tiang Bu. Ang-jiu Mo-li mengerutkan kening,

   "Tiang Bu gegabah sekali. Kalau musuh sudah mengetahui kedatangannya, itu berarti musuh sudah bersiap sedia menyambut dengan segala macam daya. Liok Kong Ji terkenal jahat dan keji, penuh tipu daya dan muslihat busuk. Lebih baik menyerbu ke Pek-houw-to dengan diam-diam. Akan tetapi ini dapat dimengerti. Tiang Bu seorang pemuda, tentu saja ia tidak tahan menghadapi tantangan. Mari kita mencari perahu dan segera menyusul."

   Bi Li tidak membantah lagi, bahkan diam-diam ia gembira sekali. Memang sesungguhnya, bagi Bi Li lebih baik ia ikut dan selalu berada di samping kekasihnya. Lebih baik mati bersama dari pada hidup terpisah. Setelah pergi mencari agak jauh dari situ, akhirnya Ang jiu Mo-li dapat bertemu dengan seorang nelayan miskin yang suka menyewakan perahu bututnya. Memang semenjak gerombolan Liok Kong Ji mendiami Pek houw-to, keadaan di situ sunyi sekali.

   Para nelayan sama pergi pindah dari situ, kecuali nelayan nelayan miskin yang hanya mempunyai perahu butut. Perahu-perahu butut dan nelayan-nelayan miskin tentu saja tidak ada harganya bagi anak buah Liok Kong Ji dan karenanya malah tidak akan diganggu.

   Tak lama kemudian, Ang-jiu Mo-li dan Bi Li duduk di dalam perahu butut itu yang mereka dayung perlahan menuju ke tengah samudera. Ang-jiu Mo li sudah mencari keterangan sejelasnya tentang letak pulau ini dan sengaja memutar perahunya dan mendatangi pulau itu dari timur.

   Karena mereka sudah tahu akan kedatangan Taang Bu dari pantai, tentu penjagaqn mereka dikerahkan di pantai pulau sebelah utara. Lebih baik kita ambil jalan dari pantai timur dan masuk dari pintu belakang,? kata Ang-jiu Mo li yang bersikap hati-hati sekali, tidak seperti biasanya. Ini adalah karena Ang-jiu Mo-li maklum akan kelihayaian lawan-lawannya yang berada di Palau Pek houw-to, sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan lawan-lawan yang pernah dia jumpai dan pernah ia tandingi.

   Mari kita mengikuti pengalaman Tiang Bu yang sedang menuju ke Palau Pek-houw-to untuk melakukan perhitungan dengan musuh-musuh besarnya. Seperti telah diceritakan bagian depan, perahu yang ditumpangi oleh Tiang Bu dihadang oleh bajak-bajak anak buah Liok Kong Ji dan dikurung. Setelah melakukan pertempuran hebat di atas perahu, akhirnya bajak-bajak itu menenggelamkan semua perahu sehingga terpaksa Tiang Bu melompat ke darat. Namun, betapapun tinggi kepandaian pemuda ini, lompatannya tidak mencapai darat yang masih amat jauhnya sehingga ia tercebur ke dalam air. Tubuhnya tenggelam dan para anak buah bajak itu dengan tombak di tangan cepat berenang ke arah tempat pemuda itu tenggelam. Para bajak itu berteriak-teriak girang, tombak di tangan kiri siap untuk merobek-robek tubuh pemuda itu untuk mencari pahala.

   Memang baik sekali tadi Tiang Bu tidak mengajak Bi Li. Andaikata kekasihnya itu ikut dan sekarang bersama dia tercebur ke dalam air, tentu payah keadaan mereka. Kini Tiang Bu yang merasa tubuhnya tenggelam, ia cspat mengenjot kakinya ke bawah. Bagaikan didorong oleh tenaga raksasa tubuhnya mumbul lagi ke permukaan air. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tiang Bu untuk menyedot hawa udata. Kemudian ia membiarkan kedua kakinya lurus sehingga tubuhnya tenggelam lagi ke bawah. Para bajak melihat ini mengira bahwa Tiang Bu memang tak berdaya di air, makin bernafsulah mereka, berenang menghampiri.

   Memangsesungguhnya Tiang Bu tidak pandai berenang. Akan tetapi ia memiliki lweekang yang sudah mencapai tingkat yang sukar diukur lagi tingginya. Dengan mengisi paru-paru dengan hawa udara, ia sanggup bertahan tidak bernapas sampai lama sekali. Ia seorang cerdik yang tabah. Ia tahu bahwa kalau ia menjadi gugup, ia akan tewas oleh bajak-bajak itu dan pandai bermain di air. Oleh karena itu ia bersikap tenang, mengisi dada penuh hawa lalu membiarkan tubuhnya tenggelam. Setelah kedua kakinya mencapai dasar laut yang sudah tak begitu dalam lagi karena dekat pantai, Tiang Bu lalu menggerakkan kedua kakinya berjalan menuju ke daratan! Sepasang matanya yang terlatih baik itu dapat melihat ke depan, ia berjalan terus dengan tenang dan, siap menanti serangan lawan.

   Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya para bajak itu. Ketika mereka ini mengejar dan menyelam ke bawah, mereka melihat orang yang dikejarnya itu "berjalan-jalan" di atas dasar laut seperti orang berjalan jalan makan angin di taman bunga saja! Untuk sejenak mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Akan tetapi yakin akan kepandaian sendiri bermain di dalam air para anak buah bajak itu beramai lalu menyerbu, menyerang Tiang Bu dengan tombak dan kaitan mereka. Mereka pikir bahwa di dalam air tidak mungkin pemuda itu masih selihai di darat.

   Akan tetapi perhitungan mereka jauh meleset. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa kalau ia disuruh berenang atau menyelam bermain seperti ikan di dalam air, Tiang Bu akan angkat tangan tidak sanggup.

   Akan tetapi sekarang soalnya lain lagi. Pemuda itu bukan berenang atau menyelam, melainkan tenggelam begitu saja dan berdiri di atas dasar air laut yang sudah berada di tepi, agak dangkal dan tidak besar ombaknya. Berkat khikang dan lweekangnya yang sudah sempurna, Tiang Bu dapat menahan napas dan dapat memberatkan tubuh sehingga dapat bergerak lebih leluasa dari pada penyelam atau ahli berenang yang manapun juga!

   Melihat datangnya serangan tombak dan kaitan, Tiang Bu tidak gentar sama sekali. Dengan kedua tangannya ia menyambar, menangkapi ujung tombak dan sekali gentak saja orang-orang itu sudah terdorong jauh sekali. Sedangkan di darat saja mereka itu bukan apa-apa bagi Tiang Bu, apa lagi di dalam air. Tubuh dan berat badan mereka itu tidak seberapa, tentu saja dengan mudah mereka dapt dibikin kocar-kacir. Bahkan ada yang terkena pukulan dan turukan tombak sendiri, membuat mereka terapung ke permukaan air dalam keadaan terluka berat.

   Para bajak Itu menjadi gentar dan tidak berani lagi menyerang, membiarkan pemuda? Berjalan-jalan? menuju ke pantai. Air makin lama makin dangkal sampai akhirnya Tiang Bu tiba di pinggir daratan yang dalamnya hanya sampai ke leher. Dengan girang ia melihat daratan di depan mata, dapat ia mengambil pernapasan. Hatinya lega. Setelah tiba di darat, ia tak usah khawatir lagi akan keroyokan musuh. Tadipun ia masih untung karena yang mengerojoknya di dalam air hanya bajak bajak dengan kepandaian biasa saja. Kalau ia bertemu dengan orang pandai di dalam air, tentu ia tak dapat melakukan perlawanan sebagai mana mestinya.

   Akan tetapi, begitu ia melompat ke darat ia telah dihadang oleh seorang pesuruh Liok Kong Ji yang memegangi sebuah perahu. Pesuruh itu menjura di depan Tiang Bu lalu berkata.

   "Hamba diutus oleh Liok-taihiap untuk mengganti perahu kongcu yang sudah tenggelam. Kalau kongcu hendak bertemu dengan Liok taihiap, kongcu dinanti di ujung pulau ini. Karena perjalanan melalui darat amat sukar dan khawatir kongcu, sesat jalan, maka perahu ini sengaja disediakan untuk kongcu. Dengan mendayung perahu ini sepanjang pantai terus ke sana, dalam waktu satu jam kongcu akan tiba di tempat Liok taihiap. Demikianlah pesan taihiap, kecuali kalau kongcu sudah kapok dan takut naik perahu, kongcu persilahkan mengambil jalan darat yang lebih jauh dan sukar."

   Tiang Bu mendongkol sekali. Ia tak beleh percaya omongan seorang utusan Liok Kong Ji, akan tetapi embel embel dalam ucapan tadi yang menyatakan bahwa kalau ia takut naik perahu ia dipersilahkan melalui darat, memanaskan perutnya. Mengapa ia harus takut?

   Ia tersenyum mengejek.

   "Siapa sih yang takut menghadapi segala bajak tiada guna? Kalau menantangku naik ke perahu, baik. Aku akan naik perahu ini."

   Setelah berkata demikian, Tiang Bu melompat ke dalam perabu itu dan mendayung agak ke tengah. Perahu itu mungil dan enak dayungannya, maka Tiang Bu tidak mengkhawatirkan sesuatu. Dengan hati-hati akan tetapi cepat ia mendayung perahu itu. Pantai pulau selalu berada di sebelah kirinya dan ia menuju ke ujung pulau yang tadi ditunjukan oleh pesuruh yang membawa perahu.

   Pantai yang tadinya berpasir berganti pantai yang terhias tetumbuhan, pohon-pehon dan batu karang. Batu-batu karang dan pohon-pohon besar berdiri di tepi pantai, tempat ini amat baiknya untuk orang bersembunyi memasang barisan pendam. Tiang Bu melirik dan ia berlaku makin hati-hati. Ia maklum sekali bahwa kalau fihak musuh hendak membokongnya, tempat inilah kiranya yang paling baik dan tepat. Ia sengaja mendekatkan perahu agak ke pinggir untuk menjaga agar ia mudah mendarat kalau sampai terjadi apa-apa.

   Tiang Bu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi, sepasang mata yang tajam bersinar aneh mengintainya dengan penuh kebencian. Inilah mata Liok Cui Kong yang sejak tadi sudah mengamat-amati gerak-gerik musuh besarnya. Akan tetapi hatinya terlalu pengecut untuk muncul begitu saja, maklum bahwa terhadap Tiang Bu ia tidak berdaya sedikitpun juga. Di belakangnya juga sembunyi banyak kawannya, di antaranya Lam-thian-chit-ong akan tetapi mereka inipun tidak mau bergerak sebelum menerima tugas.

   Ketika Cui Kong sedang memutar otak bagaimana harus menyerang musuhnya itu, tiba-tiba ia melihat Tiang Bu mendekatkan perahunya ke pantai. Girang sekali hati Cui Kong ia mendapat jalan untuk menyerang lawannya. Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, pemuda jahat ini mengangkat sebuah batu karang besar sekali dan beratnya ada lima ratus kati lebih. Ia memasang kuda-kuda, menggerakkan tangan dan tubuh dan.......... sekali lontar batu itu melayang jauh menuju ke depan perahu yang ditumpangi Tiang Bu!

   Memang Cui Kong pintar sekali. Ia tahu bahwa perahu itu bergerak ke depan dan Tiang Bu memiliki tenaga yang luar biasa, sehingga kalau ia melontarkan batu ke arah perahu, tipis sekali kemungkinan akan mengenai perahu dengan tepat. Oleh karena itu ia sengaja membidik ke depan perahu dan memang perhitungannya tepat sekali. Batu itu besar dan berat, dilontarkan dengan tenaga lweekang yang sudah terlatih, maka luncurannya tidak kalah lajunya dengan sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya! Kalau diserang seperti ini di darat, tentu Tiang Bu akan memandang ringan saja, akan tetapi sekarang ia berada di atas perahu yang sedang meluncur di atas air! Namun, karena dia memang sudah siap dan waspada, ia tidak sampai kena bokong, tidak menjadi gugup. Melihat datangnya batu besar itu hendak menimpanya, Tiang Bu mendahului dengan gerakan melompat yang indah dan cepat sekali, bahkan kecepatannya melebihi kecepatan batu.

   Memang hampir tak dapat dipercaya oleh Cui Kong ketika pemuda ini melihat betapa Tiang Bn melesat ke atas sebelum batu itu menimpa perahu dan Tiang Bu malah menginjakkan kaki ke atas batu itu dan dipergunakan sebagai batu loncatan ke daratan! Hampir bersamaan waktunya, ketika batu besar itu menimpa perahu sampai hancur lebur, Tiang Bu juga sudah tiba di darat dengan selamat!

   "Hebat......!" para anggauta Lam-thian-chit-ong berseru memuji, lupa bahwa yang mereka puji adalah musuh. Memang, kepandaian yang sudah diperlihatkan oleh Tiang Bu tadi benar-benar hebat dan mengagumkan.

   Sementara itu, melihat Cui Kong, sudah gatal-gatal tlangan Tiang Bu hendak menyerang.?Cui Kong, manusia iblis! Sekarang kita sudah berhadapan satu dengan yang lain, kalau kau benar jantan jungan main curang, mari kita mengadu tenaga sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa. Ucapan ini dikelurkan oleh Tiang Bu dengan sikap tenang, akan tetapi mengandung tantangan dan ancaman yang membuat nyali Cui Kong mengecil. Biarpun begitu, Cui Kong yang cerdik dan penuh akal bulus ini segera menyambut tantangan Tiang Bu dengan ketawa mengejek,

   "Ha-ha ha, Tiang Bu manusia sombong. Kau datang hanya untuk mengantar kematianmu di sini. Kaulihat tujuh orang gagah ini? Mereka adalah paman-pamanku, Lam-thian-chit-ong yang terkenal dengan Chit-seng-tin mereka! Apa kau berani menerjang barisan mereka? Ha.ha-ha, Tiang Bu. Kau takkan dapat keluar dari kurungan Chit-seng-tin dengan tubuh bernyawa!"

   Memang Cui Kong patut menjadi putera angkat Liok Kong Ji. Pemuda ini memiliki siasat yang lihai dan otaknya dapat dengan cepat mengatur tipu daya. Kegagalannya menyerang Tiang Bu dengan batu tadi membuat ia makin insyaf bahwa menghadapi Tiang Bu bukanlah pekerjaan ringan. Maka ia cepat mengajukan Lam thian-chit-ong untuk dapat menahan musuh itu untuk sementara sedan Ian dia dapat mendatangkan bala bantuan.

   Oleh karena memang ia tadi mengajukan Lam-thian-chit-ong hanya untuk dapat melepaskan diri dari ancaman Tiang Bu, begitu melihat tujuh orang pembantu ayahnya itu bergerak membentuk barisan dan menghampiri Tiang Bu, Cui Kong diam diam menyelinap pergi untuk memberi laporan kepada ayah dan gurunya. Akan tetapi ia mendapatkan ayahnya dan gurunya juga sedang dalam keadaan panik. Semua tenaga di atas pulau dikerahkan untuk melakukan penjagaan dan Liok Kong Ji berdua Lo thian-tung Cun Ga Tosusudah dalam keadaan bersiaga dengan sejata di tangan, wajah mereka tegang!

   Setelah Cui Kong menyelidiki, baru dia tahu bahwa ada penjaga melapor akan datangnya serbuan Wan Sin Hong dan kawan-kawannya ke pulau itu mereka masih dalam perjalanan akan tetapi tak lama lagi, mungkin pada hari itu atau besok hari, akan tiba di pulau ini. Cui Kong mengetuh.

   "Celaka benar, mengapa mereka bisa datang dalam waktu yang sama? Ayah, sekarang Tiang Bu juga sudah mendarat, untuk sementara dilayani oleh Lam-thian-chit-ong. Aku cepat pulang untuk melapor bahwa usahaku membikin dia mampus dalam perahu sia-sia belaka."

   Liok Kong Ji mengerutkan alisnya.

   "Kalau anak setan itu tak dapat dibinasakan cepat-cepat dan Sin Hong keburu datang, kita bisa menghadapi lawan yang sangat berat. Mari kita gempur dulu bocah murtad itu, baru kita himpun tenaga untuk menghadapi Wan Sin Hong yang kabarnya datang bersama tokoh-tokok kang-ouw."

   Cepat Kong Ji mengajak Cun Gi Tosu dan Cui Kong ke tempat di mana Tiang Bu tadi dikeroyok oleh barisan Lam-thian-chit-ong. Mereka melakukan perjalanan cepat sekali karena khawatir kalau-kalau Lam-thian-chit-ong tidak kuat menanggulangi amukan Tiang Bu yang mereka semua sudah kenal kelihaiannya.

   Kekhawatiran mereka memang tidak berlebihan. Tiang Bu yang menghadapi tujuh orang berpakaian aneh itu berlaku teneng sekali bahkan sekali lirik ke arah kedudukan mereka saja, tahulah pemuda ini bahwa barisan Chit-seng-tin (Barisan Tujuh Bintang, mereka itu mudah saja pemecahannya. Namun, ia maklum pula bahwa siapa yang belum pernah mempelajari kitab-kitab seperti Sen thian-to dan Thian-te Si-keng, memang akan mengorbankan waktu berpuluh tahun untuk menciptakan barisan seperti yang sekarang diatur oleh tujuh orang berpakaian aneh ini. Maka ia menghela napas panjang. Orang orang ini sudah bersusah payah menciptakan barisan, yang dalam kalangan kang-ouw tentu merupakan barisan istimewa yang sukar dilawa. Sebetulnya sayang juga kalau usahanya sedemikian sukar dan lamanya kini dilenyapkan begitu saja.

   "Chit-wi loenghiong (tujuh orang tua gagah), sesungguhnya di antara aku dan chit-wi tidak ada perhitungan apa-apa yang patut diperhitungkan dengan pertempuran, tidak pernah ada permusuhan. Melihat barisan chit-wi ini, berpusat pada Li-seng (Bintang Wanita) dan Nam-seng (Bintang Pria) dan bersumber pada pertukaran tertentu dari pada Im Yang. Cambuk di tangan kanan cu-wi (saudara sekalian) itu mewakili Im-kang (tenaga lemas) dan pisau pendek itu mewakili Yang-kang (tenaga kasar). Ditilik demikian, barisan cu-wi ini diciptakan oleh seorang yang sudah tahu akan hukum alam, tahu pula akan pekerjaan Im Yang. Tidak amat sayangkah kulau sekarang dipergunakan untuk membantu manusia jahat seperti Liok Kong Ji dan untuk mengeroyok orang yang sama sekali tidak ada hubungan atau permusuhan dengan cu-wi? Ingat, lebih baik pikir masak-masak sebelum bertindak dari pada menyesal setelah terlambat!"

   Dua orang di antara mereka, yang berpakaian putih dan hitam melengak dan saling pandang. Mereka kagum dan heran bukan kepalang mendengar ucapan pemuda ini yang sekali lirik saja sudah dapat mengenal inti dari pada Chit seng-tin mereka! Akan tetapi lima orang yang lain lebih merasa marah dari pada kagum. Mereka marah dan mendongkol sekali, apa lagi yang berpakaian merah. Dengan keras ia membentak sambil menudingkan pisaunya,

   "Bocah sombong! Kami tidak minta petuah darimu. Kalau kau takut menghadapi Chit-seng-tin kami, lebih baik terus terang saja dan lekas kau minggat dari sini, tak usah banyak mengoceh seperti burung mau mati."

   Dalam hal mengendalikan perasaan, tentu saja Tiang Bu menang jauh. Pemuda ini setelah memperdalam kepandaiannya dari kitab Seng thian-to, memoperoleh kemajuan hebat sekali lahir batinnya. Ia tersenyum saja mendengar bentakan si baju merah dan kembali menarik napas panjang.

   "Memang tepat sekalt kalian mengatur pembagian warna. Warna merah itu bersifat penuh semangat, panas dan menjadi sifat dari pada api. Dan orang yang memakai warna ini memang cocok, telinganya mudah merah, otak mudah sinting."

   Si baju merah menjadi makin marah. Dia memang merupakan pimpinan barisan itu, maka segera ia memberi tanda kepada kawan-kawannya dengan gerakan cambuknya ke atas sambil memaki,

   "Setan cilik, kau sudah bosan hidup!"

   
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Melihat isyarat yang diberikan oleh saudara tua itu, semua anggauta Chit-seng-tin bersiap siaga dengan senjata mereka dan mulai mengurung Tiang Bu. Akan tetapi si baju putih dan si baju hitam nampak ragu-ragu. Si baju putih berkata,

   "Ang-ko ( kakak merah ), bocah ini tahu akan sifat tin kita, jangan jangan kita memukul orang segolongan!"

   "Betul, Ang-ko, dia begitu tepat bicara tentang keadaan tin kita. Apakah tidak lebih baik berunding saja?" kata si hitam.

   "Tutup mulut, dia musuh Liok-taihiap. Kewajiban kita untuk membasminya. Serbuuu!" kata si baju merah.

   Tin itu mulai bergerak dan menurut isyarat si baju merah, tin itu membentuk gerakan Tujuh Bintang Berpindah Tempat. Barisan ini bergerak cepat dan melenggang-lenggok seperti naga berjalan, sukar sekali diduga lebih dulu ke mana seorang-seorang hendak bergerak. Tahu-tahu cambuk panjang mereka berbunyi dan susul menyusul menyambar ke arah kepala Tiang Bu! Ini masih ditanjutkan dengan sambitan pisau yang dipergunakan sebagai senjata rahasia. Tujuh batang pisau kecil runcing melayang ke arah tuhuh pemuda yang masih tenang-tenang itu sebagai penyerangan susulan dari tujuh ujung cambuk yang menyambar dari segala jurusan mengarah jalan darah.

   Tiang Bu dalam menghadapi serangan hebat ini, masih dapat membedakan dan dapat melihat bahwa ujung cambuk kedua orang berpakaian putih dan hitam itu hanya meyambar ke arah jalan darah di pundaknya, bagian yang tidak berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Juga pisau-pisau mereka itu hanya melayang ke arah kedua pahanya, tidak seperti lima orang yang lain. Lima orang lawan yang lain ini mengirim senjata-senjata mereka, baik cambuk maupun pisau, ke arah bagian yang mematikan.

   Menghadapi serangan berantai yang berbahaya ini, Tiang Bu berlaku tenang sekali akan tetapi tubuhnya segera bergerak dan empat kaki tangannya bekerja dengan tepat sekali. Tujuh orang lawannya menjadi terheran heran karena sebelum cambuk mereka mengenai tubuh pemuda itu, sudah lebih dulu tertolak kembali oleh semacam hawa pukulan sakti yang keluar dari kaki tangan itu. Sedangkan tujuh batang pisau itupun runtuh semua di atas tanah tanpa melukai kulit atau merobek baju. Sambil terus menggerak-gerakkan kaki tangannya, Tiang Bu berkata seperti orang bernyanyi.

   "Bintang-bintang di langit sudah mempunyai jalan sendiri maka dapat bergerak menurut jalannya dan terhindar dari kehancuran. Hanya bintang yang menyeleweng dari jalannya akan hancur. Masih ada kesempatan bagi kalian, mati hidup ditentukan oleh Thian akan tetapi sebab-sebabnya ditentukan oleh manusia sendiri sebagai akibat perbuatannya!"

   Setelah berkata demikian, iapun sudah selesai menangkis semua pakulan cambuk dan Tiang Bu malangkah mundur tiga tindak, berdiri tegak dan memandang ke arah musuh-musuhnya dengan mata tajam.

   Tidak terdesak, tapi mundur tiga tindak itu hanya boleh diartikan sebagai gerak mengalah dalam pertandingan silat, mengalah bukan karena terdesak atau kalah, melainkan karena pemuda ini enggan menurunkan tangan kepada orang orang yang tidak ada permusuhan dengannya. Kalau si baju merah dengan kawan-kawannya itu orang baik-baik, tentu mereka tahu diri! Melihat betapa pisau pisau mereka tadi runtuh dan cambuk mereka terpental kembali sebelum menyentuh kulit tubuh Tiang Bu, seharusnya mereka maklum bahwa tingkat mereka masih jauh di bawah tingkat pemuda luar biasa ini. Akan tetapi Lam thian chit-ong ini semenjak dahulu terkenal sebagai perampok-perampok jahat yang tidak tahu artinya takut, tidak mau pula mengenal kesalahan sendiri, maunya menang saja, benar ataupun salah. Mendengar ucapan Tiang Bu itu si baju merah tidak mau insyaf, malah mengira bahwa Tiang Bu merasa jerih menghadapi pengeroyokan tin mereka. Ia kembali memberi isyarat dan majulah barisan itu, kini berbentuk lingkaran yang mengurung Tiang Bu.

   Hanya si baju hitam dan si baju putih yang masih ragu-ragu. Mereka bergerak lambat dan tidak segera menyerang. Yang lain-lain sudah mulai mengayun cambuk dan mengerahkan seluruh tenaga lweekang untuk melakukan serangan. Tidak seperti tadi, kini semua cambuk diarahkan ke bagian kepala Tiang Bu dengan pukulan maut! Hanya si baju hitam dan si baju putih yang tidak mau menyerang kepala hanya menyabet ke arah pundak.

   "Kalian sudah memilih jalan hidup dan mati, jangan salahkan aku!" bentak Tiang Bu tanpa menggerakkan kaki atau tangannya. Akan tetapi setiap kali ada cambuk menghantam kepalanya, tangannya bergerak cepat sekali dan aneh sekali.....! Cambuk yang menyambarnya itu bagaikan bisa bergerak sendiri, ujungnya membalik secepat kilat dan menyerang si pemegang tepat nada bagian yang tadi hendak dtserangnya. Si baju merah yang gerakan cambuknya paling cepat dan paling dulu, menjadi korban pertama.

   Cambuk si baju merah tadi menyambar ke arah ubun-uban kepala Tiang Bu dan ketika ujung cambuk bertemu dengan jari tangan pemuda itu, secepat kilat cambuk ini membatik dan ujungnya menghantam ubun-ubun kepala si baju merah sendiri dengan tenaga yang jauh lebih hebat dari pada tadi. Hal ini karena tenaga si baju merah membalik, ditambah oleh tenaga sentilan jari tangan Tiang Bu. Tanpa dapat mengeluarkan suara lagi, si baju merah terguling roboh dengan ubun-ubun kepala pecah oleh cambuknya sendiri dan ia menggeletak tak bernyawa lagi.

   Oleh karena gerakan tujuh orang ini hampir berbareng, yang lain-lain tak sempat melihat akibat yang hebat ini karena mereka sendiripun secara susul menyusul dan hampir berbareng mengalami akibat itu dari cara pukulan masing-masing. Si baju hijau juga roboh dengan ubun-ubun bolong, si baju biru roboh dengan jidat remuk demikian pula yang lain lain, roboh tak bernyawa pula. Hanya si baju hitam dan si baju putih yang roboh tanpa kehilangan nyawa karena mereka ini hanya terserang oleh cambuk sendiri di bagian pundak saja, membuut tulang pundak mereka remuk namun tidak sampai mengakibatkan kematian. Tiang Bu menarik napas panjang melihat lima orang lawannya tewas dan dua yang lain merintih-rintih kesakitan.

   "Kalian masih ditakdirkan hidup. Kalau tadinya kalian berdua merupakan Hek-pek-mo (Iblis Hitam dan Putih), kuharap sungguh agar kelak kalian bisa menjadi Hek-pek-cinjin (Budiman Hitam Putih). Pergilah sebelum kalian mengalami bencana lebih besar." Tiang Bu memberi dua bungkus obat kepada mereka dan dua orang saudara hitam dan putih ini segera pergi dengan muka pucat. Mereka maklum bahwi kalau Liok Kong Ji melihat mereka masih hidup, tentu akan timbul kecurigaan dan bukan hal aneh kalau mereka juga akan dibunuh sekalian oleh Liok Kong Ji.

   Demikianlah, ketika Liok Kong Ji, Cun Gi Tosu, dan Liok Cui Kong tiba di tempat mereka hanya melihat lima orang anggaota chit ong yang sudah menjadi mayat. Dua orang lagi yang berpakaian hitam dan putih tidak kelihatan, juga Tiang Bu tidak berada di situ.

   "Hemm, agaknya mereka ini bukan lawan Tiang Bu," kata Liok Kong Ji, suaranya terdengar tenang akan tetapi sebetulnya jantungnya sudah berdebar tidak karuan. Cui Kong menjadi pucat sekali.

   "Ke mana Hok-pek-hu (paman Hitam) dan Pek-pet-hu (paman Putih)?" tanyanya dan suaranya jelas menggigil ketakutan.

   "Penakut!" Kong Ji membentak sambil meludah. Hatinya mendongkol sekali mendengar suara Cui Kong yang menggigil.

   "Mereka tentu sudah lari. Mengapa kau begitu ketakutan?"

   "Ayah.......... Tiang Bu begitu.......... begitu keji dan kuat........."

   "Pengecut! Kau kira aku tidak dapat melawannya? Lihat saja nanti aku akan mencabut isi perut anak durhaka ini!" Memang Liok Kong Ji tidak hanya menyombong dan bicara untuk membesarkan hati. Semenjak tinggal di pulau ini, ia telah melatih diri dengan tekun sekali. Apa lagi ia telah mempelajari ilmu dari kitab DELAPAN JALAN UTAMA yang didapatkannya dari Toat-beng Kui-bo. Dari kitab ini ia memperoleh kemajuan ilmu lwee-kang yang luar biasa, juga ilmu pedangnya menjadi makin kuat, maka ia menaruh kepereayaan bahwa ini kali ia akan dapat mengalahkan musuh-musuhnya, baik Wan Sin Hong maupun Tiang Bu.

   "Cun Gi totiang kedatangan Wan Sin Hong tentu untuk minta kembali puterinya. Kalau mereka bergabung dengan Tiang Bu, keadaan musuh akan menjadi lebih kuat. Oleh karena Leng ji merupakan senjata terakhir kita, dia itu penting sekali dan jangan sampai terampas oleh musuh. Harap totiang segera mengambil anak itu lebih dulu sebelum kita menghadapi musuh. Kalau keadaan musuh terlampau kuat, mungkin bocah itu akan dapat menyelamatkan kita."

   Cun GI Tosu juga percaya akan kepandaian sendiri. Dia tidak takut berhadapan dengan musuh, akan tetapi ia pikir ucapan Liok Kong Ji ini memang tepat, mengandung kecerdikan luar biasa. Maka ia mengangguk dan berkelebat pergi. Mengagumkan sekali kalau melihat kakek yang kakinya tinggal sebelah itu?berlari" secepat itu, seperti orang yang tidak cacad saja, bahkan melebihi ahli ginkang yang kakinya masih utuh.

   Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong juga pergi dari situ untuk mengatur penjagaan dengan mengerahkan semua penjaga yang berada di pulau itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kekagetan dan kegelisahan hati mereka ketika melihat di sana-sini para penjaga menggeletak dalam keadaan tertotok atau terluka .

   "Kita harus membantu Cun Gi totiang," kata Liok Kong Ji sambil mencabut pedang.

   "Jangan sampai dia roboh oleh musuh, apa lagi jangan sampai Leng-ji dirampas. Dengan berkumpul kita bertiga cukup kuat!"

   Ayah dan anak ini dengan hati dag-dig-dug berlari-larian cepat menyusul ke tempat tinggal Cun Gi Tosu karena Leng Leng memang disembunyikan di situ, dikawani beberapa orang pengasuh. Ketika mereka tiba di depan pondok tempat tinggal Cun Gi Tosu, betul saja tosu itu sedang mati-matian bertempur melawan Tiang Bu! Cun Gi Tosu mainkan tongkatnya secara hebat dan dahsyat, dan Tiang Bu menghadapinya, dengan tangan kosong.

   Bagaimana Tiang Bu bisa muncul di situ dan bertempur dengan Cun Gi Tosu? Tadinya Cun Gi Tosu berlari cepat menuju ke pondoknya untuk mengambil Leng Leng, dan di dalam hatinya ia sudah mempunyai muslihat licik. Ia adalah guru Leng Leng dan melihat Leng Leng dalam keadaan selamat, tentu Wan Sin Hong takkan terlalu mendesaknya. Kalau ia menukarkan Leng Leng dengan keselamatannya, masa Wan Sin Hong takkan mau menerimanya?

   Akan tetapi ketika ia sedang berjalan cepat sampai di depan pondoknya, dari balik rumpun bambu berkelebat bayangan lain yang segera menegurnya.

   "Cun Gi totiang perlahan dulu!?

   Cun Gi Tosu berhenti dan memandang. Di depannya berdiri seorang pemuda dengan sepasang mata seperti bintang pagi, bibir tebal membentuk watak teguh dan iman kuat.

   "Siapa kau? Mau apa?" Cun Gi Tosu membentak.

   "Cun Gi totiang. Selama hidupku, baru untuk kedua kali ini aku bertemu dengan totiang yang bercacad, sebetulnya patut dikasihani. Sayangnya, perbuatan totiang yang tidak patut menditangkan kebencian yang lebih besar dari pada rasa kasihan kepada tubuh totiang."

   "Eh, bocah lancang. Kau siapakah dan apa artinya semua ocehanmu tadi?" Cun Gi Tosu membentak marah, namun hatinya sudah dapat menduga siapa adanya bocah yang begitu berani mampus, datang-datang mencelanya.

   "Aku yang muda dan bodoh bernama Tiang Bu, dahulu ketika masih kecil pernah melihat totiang ikut menyerbu Omei-san dan mencuri kitab-kitab dari suhu."

   "Ho ho, jadinya kau ini murid Omei san? Dan kau datang hendak minta kembali kitab kitab Omei-san?" kali tosu itu membesarkan hatinya.

   "Bukan itu saja, totiang. Selain minta kitab juga aku tidak dapat membiarkan kejahatanmu yang lain-lain. Kau sudah membantu manusia-manusia jahat macam Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong. Juga kau sudah menculik anak dari Wan-taihiap.....

   "

   "Bocah keparat, jadi kau anak durhaka dari Liok-taihiap? Alangkah memalukan punya anak macam kau. Rasakan tongkatku!"

   Dengan marah Cun Gi Tosu mengayun tongkatnya melakukan serangan kilat dengan tongkatnya ke arah kepala Tiang Bu. Memang tadinya tosu ini sudah sering mendengar dari Liok Kong Ji dan Cui Kong tentang kelihaian Tiang Bu, akan tetapi sekarang melihat bahwa Tiang Bu hanya pemuda yang tidak lebih usianya dari pada Cui Kong muridnya, ia memandang ringan. Apa lagi ia melihat pemuda ini bertangan kosong dan tongkatnya mendapat julukan Lo-thian-tung (Tongkat Pengacau Langit), maka serangannya ini hebat bukan main. Cun Gi Tosu mengira bahwa sekali pukul ia akan dapat membikin mampus lawan muda ini. Ilmu tongkatnya memang hebat, pukulannya mengandurg tenaga lweekang hampir seribu kati dan sukar sekali dielakkan lawan, apa lagi ditangkis. Akan tetapi, alangkah heran dan juga gembira hatinya ketika ia melihat bocah itu mengangkat tangan kanan dan hendak menangkis pukulan tongkat itu dengan telapak tangan!

   "Ha-ha, remuk tulang-tulangmu!" bentak Cun Gi Tosu sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Tak dapat tidak, pikirnya, tangan pemuda goblok ini pasti remuk. Jangankan baru telapak tangan orang lagi masih muda, senjata baja yang bukan pusaka ampuh tentu akan patah-patah atau hancur!

   Sama sekali Cun Gi Tosu tak pernah mimpi bahwa ia tidak menghadapi seorang manusia dengan kepandaian silat biasa, melainkan menghadapi seorang ahli waris langsung dari Omei-san, murid Tiong Sin Hwesio pewaris Tat Mo Couwsu dan Tiong Sin Hwesio pewaris Hoat Hian Couwsu! Bukan hanya mewarisi kepandaian kedua orang tokoh Omei-san yang tidak ada tandingannya itu, malah sudah pula mewarisi sinkang dari kedua orang sakti itu. Apa lagi setelah mempelajari kitab Seng-thian-to, tenaga dalam dari pemuda ini sudah jangan dikata lagi kehebatannya, mendekati tenaga sakti yang dimiliki oleh para couwsu (guru besar) dari sekalian partai persilatan besar.

   "Plak!" Ujung Tongkat Pengacau Langit bertemu di udara dengan telapak tangan Tiang Bu dan.......... Cun Gi Tosu meloncat-loncat ke belakang dengan sebelah kakinya. Hampir saja ia terjengkang roboh kalau ia tidak cepat-cepat melambung tinggi dan berpoksai (berjungkir-balik) sampai tiga kali, baru ia mampu berdiri tegak dan dapat pula menggunakan tongkatnya untuk menyandarkan diri. Matanya terbuka lebar lebar dan mulutnya melongo. Serasa mimpi kejadian tadi, hampir tak dapat ia percaya. Apakah tiba-tiba tenaganya sudah musnah? Tak mungkin! Ia mengayun tongkatnya ke arah batang pohon besar di sebelah kirinya.

   "Brakk......!" Batang pohon itu patah dan pohonnya tumbang mengeluarkan suara berisik. Baru ia mau percaya bahwa pemuda di depannya ini memang sakti bukan main dan mulai ia percaya bahwa muridnya, Cui Kong dan Liok Kong Ji tidak berlebih-lebihan ketika memuji kepandaian Tiang Bu. Akan tetapi dia adalah Lo-thian-tung Cun Gi Tosu yang terkenal berilmu tinggi. Masa ia harus takut menghadapi lawan begini muda? Mungkin bocah ini sudah mewarisi tenaga besar, akan tetapi dalam hal ilmu silat. tentu belum masak, belum lama terlatih dan belum banyak pengalaman. Oleh karena pikiran ini, hati Cun Gi Tosu tetap besar dan tabah. Ia memutar tongkatnya dan menyerang lagi sambil membentak,

   "Bocah, tenagamu besar. Akan tetapi jangan kira Lo-thian tung takut!"

   Memang benar semua dugaan Cun Gi Tosu tadi. Melihat usianya yang baru dua puluhan, tentu saja dibanding dengan Cun Gi Tosu, Tiang Bu sama sekali tak dapat direndengkan dalam hal kematangan latihan den pengalaman bertempur. Sebelum Tiang Bu terlahir di dunia. Cun Gi Tosu sudah menjadi seorang tokoh besar. Akan tetapi, harus diketahui bahwa Tiang Bu telah mewarisi ilmu silat yang diciptakan sendiri oleh Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Couwsu.

   Mengingat bahwa ilmu ilmu silat yang ada sebagian besar bersumber pada dua orang guru besar ini, dapat dibayangkan bahwa ilmu silat yang dipelajari oleh Tiang Bu memang lebih sempurna dan lebih tinggi tingkatnya dari pada ilmu silat yang dimiliki oleh Cun Gi Tosu. Memang dia kalah matang dan kalah pengalaman, andaikata pengalaman dan kematangan ilmu silatnya sebanding dengan tosu itu kiranya dalam sepuluh jurus saja tosu buntung itu akan roboh.

   

Pendekar Budiman Eps 14 Pedang Penakluk Iblis Eps 23 Pendekar Budiman Eps 18

Cari Blog Ini