Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 12


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 12




   Akan tetapi mereka berdua merasa yakin bahwa biarpun dua orang datuk sakti itu dianggap sebagai datuk sesat, namun mereka amat keras terhadap muridmurid mereka dan tidak sembarangan menurunkan ilmu mereka kepada murid mereka. Tiba giliran Sin-kun butek yang memperlihatkan ilmu pukulan terbarunya. Ilmu itu dinamakan Ilmu Silat Angin Puyuh dan dimainkan dengan pengerahan tenaga sakti yang dinamakannya tenaga Thian-hui-gong-ciang (Tangan Kosong Halilintar). Ketika orang sakti ini memainkan ilmunya, maka terasa oleh tiga orang datuk lainnya betapa ada hawa menyambar-nyambar panas dan disertai angin puyuh yang mengamuk hebat. Debu mengepul tinggi dan berpusing seperti terbawa angin puyuh dan pohon-pohon disekeliling tempat itu bergoyang-goyang, daun-daun rontok beterbangan terbawa berpusing pula.

   "Hebat, hebat..., lo-te. Ilmu pukulan ini hebat sekali" Bu-Eng Sin-yok-ong memuji, demikian pula dua orang datuk sesat juga merasa kagum dan merasa bahwa bagaimanapun juga, kemajuan ilmu mereka masih kalah dibandingkan dengan Sin-kun butek ini.

   "Nah, sekarang tiba giliranmu, lo-heng. Biarpun engkau mengaku belum berhasil, akan tetapi selama empat tahun ini tentu telah ada kemajuan. Siapa tahu engkau telah dapat menghidupkan orang mati! Wah, kalau benar demikian, kami bertiga akan berlutut dan takluk!" kata Sin-kun butek yang dibenarkan oleh dua orang datuk lainnya. Kalau benar Tabib Sakti itu dapat menghidupkan orang mati, apa artinya semua kemajuan yang mereka peroleh? Kecil sekali dibandingkan dengan ilmu yang dapat menghidupkan orang mati! Bu-Eng Sin-yok-ong tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Jangan kalian melebih-lebihkan. Sudah kukatakan, aku baru membuat penyelidikan dan percobaan, dan dibalik kehidupan ini terdapat hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh kekuatan otak belaka. Akan tetapi, memang selama empat tahun ini aku sudah membuat percobaan-percobaan. Nah, Sai-ong, engkau yang paling gesit, cobalah engkau mencari seekor kelinci."

   "Baik!" Begitu menjawab, tubuhnya sudah melesat lenyap dan sebentar saja iblis pendiri Soa-bu-pai ini telah datang kembali membawa seekor kelinci.

   "Bunuhlah tanpa merusak kepalanya!" kata pula Bu-Eng Sin-yok-ong. Kim-mo Sai-ong tertawa dan sekali tangan kirinya bergerak, jari telunjuknya telah memukul punggung kelinci itu.

   "Ngekk!" dan kelinci itupun tewaslah, hanya berkelojotan sekali dua kali saja.

   "Periksalah oleh kalian apa benar-benar binatang, ini sudah mati," kata pula Bu-Eng Sin-yok-ong dengan tenang. Tiga orang datuk itu dengan bergantian memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa kelinci itu memang sudah mati, darahnya sudah terhenti sama sekali dan napasnya tidak jalan walaupun tubuhnya masih hangat. Bu-Eng Sin-yok-ong sudah mengeluarkan serangkaian jarum-jarum emas dan perak. Lalu dia mengambil bangkai kelinci itu dan mulai menggu-nakan jarum-jarumnya untuk menusuk sana-sini. Belum sampai dua belas kali dia menusuk... eh, binatang itu dapat bergerak kembali dan ketika jarum-jarum itu diambil dan kelinci dilepaskan, binatang itu berlari cepat memasuki semak-semak! Tiga orang datuk itu terbelalak dan seperti telah mereka janjikan tadi, mereka menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi Bu-Eng Sin-yok-ong juga berlutut membalas mereka dan berkata,

   "Sudah, sudah, jangan main-main. Mari kita duduk kembali. Aku hanya menghidupkan seekor kelinci yang matinya dalam keadaan utuh. Kalau manusia yang mati dan rusak alat tubuhnya yang penting, sungguh aku tidak berani memastikan apakah aku akan dapat menghidupkannya." Biarpun kakek itu merendah, namun tiga orang datuk itu semakin kagum dan hormat kepadanya. Mereka lalu bercakap-cakap dan mula-mula yang membangkitkan kebanggaan dihati mereka adalah Kim-mo Sai-ong yang berkata,

   "Setelah kita berempat mencapai tingkat seperti sekarang ini, siapakah didunia ini yang sanggup mengatasi kita?"

   "Ha-ha-ha, omonganmu sungguh aneh, Sai-ong!" Cui-beng Kui-ong mencela temannya.

   "Kita berempat adalah datuk-datuk yang memiliki kepandaian tinggi, siapa lagi yang akan mampu melebihi kita? Bahkan Bit-bo-ong saja yang dianggap Rajanya penjahat, menyembunyikan ekornya diantara kaki belakang kalau melihat seorang diantara kita!" Kata-kata dua orang datuk sesat itu sedikit banyak menimbulkan rasa bangga dan angkuh dalam hati dua orang datuk bersih. Sin-kun butek batuk-batuk untuk menekan rasa bangga ini, kemudian dia berkata,

   "Uhh, tua bangka-tua bangka seperti kita ini menghabiskan waktu puluhan tahun untuk menciptakan ilmu-ilmu silat yang tinggi. Kalau sudah mencapai tingkat tertinggi, lalu untuk apa?" Biarpun demikian, dalam ucapannya ini mengakui bahwa mereka telah mencapai tingkat tertinggi!

   "Siancai..., sungguh beruntung bahwa kita berempat dapat bersahabat seperti ini. Kalau ilmu-ilmu kita ini dipergunakan untuk saling hantam, bukankah dunia akan menjadi kacau dan kiamat?" Bu-Eng Sin-yok-ong juga berkata dan dalam kata-katanya juga terbayang rasa bangga akan kepandaian mereka berempat yang mereka anggap sudah tidak ada bandingnya lagi diseluruh dunia ini. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara nyanyian halus yang datangnya dari seberang telaga! Suara itu halus sekali seperti berbisik, akan tetapi mereka dapat mendengar dengan jelas, seperti suara anak-anak yang dibawa angin lalu.

   "Langit biru tinggi nian
Apa gerangan yang berada diatasmu?
Telaga biru betapa dalam
Apa gerangan yang berada dibawahmu?
Adakah yang tertinggi?
Adakah yang paling dalam?
Aku tak tahu...!"

   Empat orang tua itu saling pandang dan dalam pandang mata itu mereka tahu babwa nyanyian itu seolah-olah mengejek dan menusuk jantung mereka, seolah-olah mencela rasa bangga dan angkuh yang tadi mencekam hati mereka. Disamping rasa penasaran, juga mereka merasa malu bahwa mereka yang telah berada ditempat itu selama hampir setengah hari, tidak tahu bahwa didekat telaga itu ada orangnya!

   Orang itu adalah seorang sasterawan, atau seorang kakek yang memakai pakaian sederhana seperti sasterawan, sudah tua sekali, dengan kumis dan jenggot panjang berwarna putih, tubuhnya kurus kering seperti orang kurang makan, namun wajahnya membayangkan kelembutan yang mengharukan. Kakek ini sejak pagi buta telah duduk ditepi telaga, terlindung oleh semak-semak dan pohon-pohon, dan karena dia sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun, seperti gerakan bayangan pohon saja, maka empat orang datuk sakti itu sama sekali tidak tahu akan kehadirannya. Sasterawan itupun tidak memperdulikan mereka berempat, tenggelam dalam kesibukannya sendiri.

   Dia sedang melukis keindahan telaga dengan gunung-gunung yang mengelilinginya. Didekatnya terdapat tangkai pancing yang ditancapkan, ada beberapa buah berderet-deret ditepi telaga. Akan tetapi sasterawan itupun tidak memperdulikan pancing-pancing ini, melainkan asyik melukis. Hanya setelah empat orang datuk itu berbincang-bincang dengan penuh kebanggaan dan keangkuhan tentang kepandaian mereka, kakek tua ini secara langsung menyanyikan sajak tadi, sama sekali bukan bermaksud untuk mengejek atau menyindir, melainkan karena ucapan-ucapan empat orang yang mengandung keangkuhan itu membuat dia termenung dan bertanya-tanya dalam hati tentang apakah ada yang tertinggi dan terdalam. Pertanyaan ini timbul karena dia melukis langit dan danau, dan terdorong oleh percakapan yang mengandung nada angkuh dan bangga akan diri sendiri itu.

   Empat orang datuk itu dengan kepandaian mereka yang hebat, dalam beberapa detik saja sudah berada ditepi telaga, berhadapan dengan kakek sasterawan yang asyik melukis itu. Kakek itu hanya menengok dan memandang dengan sinar mata lembut dan mulutnya yang kempot tak bergigi itu tersenyum tenang. Akan tetapi Cui-beng Kui-ong, si iblis pengisap darah dari Tai-bong-pai yang berangasan itu sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia melangkah maju dan memandang kepada kakek sasterawan itu dengan sinar mata berapi dari sepasang matanya yang lebar terbelalak, lalu dia menudingkan telunjuknya kearah muka kakek itu.

   "Heh, orang tua yang sombong! Engkau telah lancang mengintai kami, ya? Sungguh kurang ajar sekali perbuatan itu, melanggar peraturan dan kebiasaan orang-orang gagah! Bukan jantan kalau suka mengintai orang lain!" Sasterawan tua itu nampak terkejut dengan serangan kata-kata yang kasar ini. Dia bangkit berdiri dengan gerakan lemah, meninggalkan lukisannya yang terbentang diatas tanah, akan tetapi dia tidak melepaskan tempat tinta bak yang dipegang dengan tangan kiri dan pena bulu yang dipegang dengan tangan kanan, yaitu alat-alatnya untuk melukis tadi.

   "Maaf, maaf... harap cuwi yang gagah perkasa tidak salah sangka dan menuduh aku melakukan hal yang bukan-bukan. Sejak pagi buta aku telah berada disini seperti yang kulakukan setiap hari, memancing dan melukis atau menulis sajak. Rumahkupun tidak jauh dari sini, itu dilereng sebelah sana, nampak dari sini. Siapa yang mengintai? Salahkah aku kalau aku sudah berada disini ketika cuwi datang?"

   Ucapan itu halus dan cukup beralasan, akan tetapi karena Cui-beng Kul-ong merasa penasaran dan menduga bahwa orang ini tentu telah menyaksikan ilmu-ilmu baru yang mereka keluarkan, tadi, dia menjadi naik darah. Apa lagi, sejak tadi dia memang merasa kurang puas, karena dia merasa bahwa ilmu barunya tadi masih kalah hebat dibandingkan dengan ilmu bara dari Sin-kun butek, dan hal ini berarti bahwa dalam empat tahun ini kemajuan ilmunya masih kurang dibandingkan dengan kemajuan tiga orang datuk lainnya.

   "Mancing? Alasan! Beginikah caranya orang mancing?" Dan diapun menggunakan tangannya bergerak kedepan dan batang-batang pancing itu tercabut semuanya dan ternyata dimata kailnya tidak ada seekorpun cacing! Inikah namanya mancing?" Dia melempar-lemparkan semua batang pancing keatas tanah. Akan tetapi, kakek sasterawan itu ternyata sabar sekali. Dia sama sekali tidak marah, bahkan dia lalu mengangkat muka memandang keatas dan bersajak lagi.

   "Memancing tanpa umpan karena tidak butuh ikan hanya memancing ketenangan untuk menikmati kebahagiaan. Apa artinya pintar kalau hanya untuk menipu? Apa artinya kuat kalau hanya untuk menindas? Lebih baik bodoh lebih baik lemah!" Cui-beng Kui-ong menjadi semakin marah karena dia merasa diejek dan disindir.

   "Keparat, berani engkau memaki orang?" katanya dan diapun merenggut lukisan dari atas tanah dan merobek-robek lukisan itu! Datuk yang bertubuh tinggi besar dengan kumis dan jenggot kasar pendek ini kelihatan menyeramkan sekali. Lukisan itu hancur lebur ketika dirobeknya. Padahal, sasterawan tua itu bersusah payah dengan lukisan itu selama berhari-hari dan lukisan itu telah mendapatkan bentuknya. Sebuah lukisan yang amat indahnya. Matahari pagi dilukisan itu seolah-olah menyinarkan cahaya begitu hidup, cahaya keemasan yang gilang-gemilang dan yang membentuk cahaya panjang dipermukaan danau. Padahal, lukisan itu hanya hitam putih saja, namun orang yang menatap lukisan itu seolah-olah melihat keindahan warna-warna aselinya.

   Bu-Eng Sin-yok-ong dan Sin-kun butek mengerutkan alisnya dan merasa bahwa tindakan Cui-beng Kui-ong itu agak keterlaluan walaupunmereka berduapun merasa tidak senang kalau mengingat bahwa kakek sasterawan ini tadi telah mendengarkan semua percakapan mereka berempat, bahkan mungkin sekali telah melihat demonstrasi kepandaian mereka yang amat dirahasiakan itu. Sasterawan tua itu ternyata tidak marah, hanya dengan muka sedih sekali dia melihat betapa lukisan kesayangannya dirobek-robek orang. kedua lengan yang memegang mouw-pit dan tempat bak itu tergantung lemas dan wajahnya yang tua keriputan nampak amat berduka. Lalu dia berlutut didekat robekan-robekan lukisan, menaruh pena bulu dan tempat tinta diatas tanah, memunguti robekan lukisan, melihatnya dengan air mata berlinang, kemudian dia berkata dengan lirih, nadanya penuh keprihatinan,

   "Kuharap dengan sangat agar tuan-tuan suka cepat berlalu dari tempat ini sebelum anak angkatku yang pemarah itu datang kesini dan melihat malapetakka ini."

   Tentu saja ucapan yang mengandung peringatan ini membuat empat orang datuk itu mau tidak mau tertawa, bahkan Bu-Eng Sin-yok-ong sendiripun sempat tersenyum dan mengelus jenggotnya. Mereka adalah empat orang datuk terbesar diseluruh dunia persilatan, merasa tanpa tandingan dan tentu saja menghadapi siapapun mereka tidak merasa takut, apa lagi harus berhadapan dengari anak angkat kakek itu yang berangasan saja, bahkan dengan Kaisar dan bala tentaranya sekalipun mereka tidak akan gentar menghadapinya. Bahkan Sin-kun butek yang berjiwa pendekar juga merasa tersinggung diperingatkan seperti itu, seolah-olah mereka berempat akan merasa takut terhadap ancaman seorang bocah, karena betapapun juga, anak angkat kakek itu tentu masih muda. Maka diapun bertanya dengan suara mengandung kemarahan.

   "Sobat yang pandai melukis dan bersajak, tahukah engkau siapa adanya kami berempat?" Dengan sikap tenang sasterawan itu menjawab,

   "Sejak cuwi datang, sebenarnya aku tidak tahu sama sekali siapa cuwi dan akupun tidak perduli. Akan tetapi aku tahu bahwa cuwi saling bersa-habat dan ingin menguji ilmu masing-masing, Baru setelah cuwi selesai saling menguji ilmu dan bercakap-cakap serta saling memanggil nama masing-masing, aku tahu bahwa cuwi adalah empat orang datuk dunia persilatan yang tersohor itu. Benarkah demikian? Menilik dari kesaktian-kesaktian yang telah cuwi perlihatkan tadi, tentu perkiraanku benar." Jawaban ini tentu saja mengejutkan dan mencengangkan. Kalau sasterawan ini sudah dapat mengenal ilmu kesaktian mereka, berarti kakek ini tidak asing dengan ilmu silat tinggi. Kim-mo Sai-ong yang sejak tadi diam saja kini berkata dengan suara mengejek,

   "Meskipun telah dapat menduga siapa kami, engkau masih berani menakut-nakuti kami dengan anak angkatmu itu? Apakah anak angkatmu itu bisa mengalahkan kami?"

   "Justeru itulah yang kutakutkan. Biarpun berangasan, aku sangat mengasihinya, dan aku tidak ingin melihat orang menyakitinya. Kalau dia datang dan melihat lukisanku dirobek-robek orang, tentu dia akan marah dan mengamuk. Padahal, pada waktu ini, ilmunya belum mencapai tingkat setinggi tingkat cuwi. Akibatnya tentu dia akan dihajar habis-habisan. Bukankah aku akan merasa sedih sekali kalau begitu?"

   "Sudahlah mari kita pergi saja!" Bu-Eng Sin-yok-ong membujuk tiga orang temannya karena dia merasa kasihan terhadap sasterawan tua itu. Tiga orang datuk lainnya juga merasa enggan untuk mengganggu seorang kakek lemah seperti itu. Tidak pantaslah kalau datuk-datuk sakti seperti mereka harus melayani seorang sasterawan tua lemah. Merendahkan martabat saja dan membuang-buang tenaga sia-sia. Mereka bertiga mengangguk dan sudah hendak pergi bersama Bu-Eng Sin-yok-ong. Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan muncullah seorang pemuda tinggi tegap dari balik tebing gunung. Begitu datang, pemuda ini melihat lukisan yang robek-robek dan ayah angkatnya yang berdiri dengan muka berduka, berhadapan dengan empat orang kakek yang agaknya hendak meninggalkan tempat itu.

   "Tahan!!" Pemuda itu berteriak dan karena teriakannya mengandung tenaga khikang yang cukup dahsyat, maka empat orang datuk itu terkejut dan tertarik, lalu tidak jadi pergi dan memandang kepada pemuda itu. Inikah anak angkat kakek sasterawan yang berangasan itu?

   "Siapakah yang berani merobek-robek lukisan ayahku? Hayo, siapa berani melakukan perbuatan biadab ini? iblis sekalipun tidak akan tega mengganggu ayah, apa lagi merobek lukisannya yang dibuatnya dengan penuh kecintaan dan ketekunan selama berhari-hari. Hayo kalian mengaku, siapa diantara kalian yang merobek-robeknya?"

   "Anakku... sudahlah!" Sasterawan tua itu membujuk, suaranya gemetar.

   "Biar, ayah. Aku tidak akan mau sudah sebelum yang merobeknya berlutut minta-minta ampun kepadamu dan bersumpah lain kali tidak akan berani berbuat sewenang-wenang lagi!" Tentu saja sejak tadi Cui-beng Kui-ong sudah marah bukan main.

   "Heh, bocah gila, akulah yang telah merobek-robek gambar busuk itu! Habis, kau mau apa?" Sambil berkata demikian, datuk ini melangkah maju dan membusungkan dadanya yang bidang dan kokoh kuat. Pemuda itu memandang kepada datuk tinggi besar itu dengan mata berapi-api.

   "Engkau, ya? Siapakah engkau begitu berani menghina ayahku?" Cui-beng Kui-ong masih merasa malu kalau harus melayani seorang pemuda seperti ini, maka dia menahan kemarahannya dan tertawa.

   "Ha-ha-ha, ketahuilah, pemuda tolol. Aku adalah Cui-beng Kui-ong!" Dikiranya bahwa pemuda itu tentu akan ketakutan setengah mati mendengar namanya. Diseluruh dunia ini, baik pendekar maupun penjahat, gemetar ketakutan mendengar namanya, apalagi seorang pemuda tak terkenal seperti ini. Akan tetapi sikap pemuda itu sungguh mengejutkan empat orang datuk itu.

   "Hernm, engkau baru seorang Kui-ong (Raja Iblis) sudah berani mengganggu ayahku. Sedangkan seorang Sian-ong (Raja Dewa) sekalipun tidak akan berani. Iblis seperti ini memang patut dihajar!" Dan pemuda itu langsung saja memukul dengan kepalan lurus kearah dada Cui-beng Kui-ong! Hampir saja Raja iblis ini tertawa bergelak melihat pemuda itu berani menyerangnya dengan kepalan biasa seperti itu. Tentu saja dengan mudah dia akan dapat mengelak, akan tetapi karena dia ingin segebrakan saja membuat pemuda itu "tahu rasa," maka diapun tidak mengelak, melainkan menangkis sambil mengerahkan sinkang biasa yang cukup kuat untuk mematahkan tulang lengan pemuda itu dan sekaligus membuatnya terlempar.

   "Dukkk!!" Akibat benturan kedua lengan itu membuat Cui-beng Kui-ong terbelalak, bahkan tiga orang datuk lainnya juga menjadi bengong. Mereka bertiga itu maklum akan maksud Cui-beng Kui-ong dengan tangkisan itu. Akan tetapi akibatnya, pemuda itu sama sekali tidak terlempar, apa lagi patah tulang lengannya, bahkan Cui-beng Kui-ong merasa betapa pemuda itu memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, setidaknya mampu menandingi tenaganya tadi!

   Tentu saja dia merasa kecelik, terkejut dan juga penasaran dan cepat datuk ini membalas serangan dengan dahsyat dan bertubi-tubi. Akan tetapi kembali dia terkejut setengah mati karena dengan gerakan-gerakan aneh akan tetapi teratur dan cepat sekali, pemuda itu dapat menghindarkan semua serangannya dengan baik, bahkan membalas setiap serangan secara kontan dan berantai! Karena Cui-beng Kui-ong memandang rendah, hal yang tidak aneh karena memang selama ini dia tidak pernah menemukan tanding, nyaris dalam serangan jurus ketiga belas kepalan tangan pemuda itu mengenai lehernya. Untung dia masih dapat melempar tubuh kebelakang sehingga terhindar dari pada malu terkena pukulan lawan. Akan tetapi pemuda itu terus mendesaknya dengan pukulan-pukulan yang mantap sekali.

   "Anakku, sudahlah... sudahlah, Cong Bu... jangan berkelahi!" Sasterawan tua itu meratap-ratap. Akan tetapi anak angkatnya yang berangasan dan yang sudah marah dan sakit hati sekali itu mana mau mendengarkan permintaannya? Pemuda itu menerjang terus dan terjadilah perkelahian yang seru dan yang amat mengherankan hati tiga orang datuk lainnya, juga membuat semakin penasaran hati Cui-beng Kui-ong.

   Dia merasa malu sekali karena tadi memandang rendah dan ternyata pemuda ini sedemikian lihainya sehingga dapat melayaninya sampai hampir tiga puluh jurus. Marahlah Cui-beng Kui-ong an diapun mulai memainkan ilmunya yang paling baru, yaitu Ilmu Pukulan Penghisap Darah! Bu kan main hebatnya pukulan ini dan sekali ini pemuda itu terdesak hebat. Memang harus diakui bahwa bagaimanapun juga, tingkat kepandaian pemuda ini walaupun memiliki bakat yang amat kuat, namun masih belum matang dan masih kalah setingkat dibandingkan dengan Cui-beng Kui-ong. Dia terdesak mundur, akan tetapi dasar wataknya keras dan berangasan, dia masih nekat terus melakukan perlawanan. Akhirnya, sebuah pukulan dahsyat dengan Tenaga Sakti Asap Hio mengenai dada sebelah kanan pemuda itu yang roboh terjengkang dan tak sadarkan diri!

   "Cong Bu... ah, Cong Bu, mengapa engkau tidak mentaati kata-kataku tadi?" Sasterawan tua itu menubruk dan menangisi anak angkatnya, mengeluh panjang pendek. Diambilnya sehelai koyo (obat tempel) dan ditempelkan pada dada anaknya yang terluka parah itu. Baju bagian dada itu berlubang seperti terbakar dan kulitnya juga matang hangus terkena pukulan itu dan masih mengepulkan uap! Melihat ini Raja Tabib Sakti lalu mendekat dan sekali lihat saja tahulah dia bahwa pemuda itu terkena pukulan Tenaga Sakti Uap Hio, maka diapun cepat-cepat mengeluarkan obat cair dalam botol. Dia percaya bahwa pemuda itu tidak terancam nyawanya karena tadi sudah dilihatnya bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang cukup kuat, akan tetapi kalau tidak cepat diberi obat yang tepat, hawa beracun dari pukulan itu bisa merusak jalan darah.

   "Sobat, tuangkan obat ini pada luka didadanya dan paksa dia minum sebagian sisanya," katanya halus. Tanpa berkata apa-apa, sasterawan itu menerima botol dan membukanya, lalu menyiram luka itu dengan sebagian dari obat cair itu. Kemudian, dia membuka mulut anaknya dan menuangkan sisa obat kedalam mulutnya. Kalau dia tidak memiliki kepercayaan sepenuhnya kepada datuk yang berjuluk Raja Tabib Sakti itu, tentu dia meragu mendengar bahwa obat luar bisa dipergunakan untuk obat dalam itu. Dan memang hebat sekali obat dari Raja Tabib Sakti itu. Begitu diobati, pemuda itu siuman kembali dan mengeluh lirih.

   "Nah, apa kataku tadi, Cong Bu, janganlah kau lanjutkan sifatmu yang berangasan itu, hanya mendatangkan malapetaka saja bagimu. Untung engkau tidak mati dan menerima pertolongan dari Bu-Eng Sin-yok-ong!" kakek sasterawan itu menegur anaknya.

   "Akan tetapi... akan tetapi mereka menghina ayah! Hemm, kelak aku akan membalas penghinaan ini, setelah aku menyempurnakan pelajaran ilmu yang ayah berikan. Sungguh kurang ajar sekali! Aduhh... huh-huh... kepandaiannya cuma seperti itu sudah berani menyombongkan didepan ayah! Huh, lihat saja dua tahun lagi, aku tentu akan menghajar Raja iblis itu!" Sasterawan tua itu cepat membungkam mulut anaknya yang marah-marah dan penasaran itu, sambil dengan muka was-was melirik kepada empat orang datuk yang sudah hendak pergi itu. Dan memang sesungguhnyalah apa yang dikhawatirkannya.

   Cui-beng Kui-ong marah bukan main mendengar ocehan pemuda yang telah dirobohkannya itu. Sambil menggeram dia melangkah kedepan, sekali mengulur tangan dia telah mencengkeram leher sasterawan tua itu dan melemparkannya ketengah telaga. Tubuh yang kurus kecil itu terlempar bagaikan layang-layang putus talinya. Cui-beng Kui-ong yang marah-marah itu melanjutkan gerakannya, menjambak rambut pemuda itu untuk dijotos. Melihat ini, Bu-Eng Sin-yok-ong hendak mencegah akan tetapi tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh hal yang sama sekali tidak pernah mereka duga! Tubuh sasterawan tua itu tadi terlempar kearah telaga seperti layang-layang putus talinya, dan tak dapat diragukan lagi bahwa tubuhnya yang ringan itu tentu akan terjatuh keair telaga. Akan tetapi, ketika sasterawan tua itu melihat betapa anaknya dijambak rambutnya dan terancam nyawanya,

   Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking tinggi halus sekali seperti suara nyamuk terdengar didekat telinga dan tubuhnya yang tadinya meluncur itu, mendadak menggeliat diudara dan dapat menukik kembali kedarat dengan kecepatan seperti seekor burung walet terbang saja. Bu-Eng Sin-yok-ong adalah seorang ahli ginkang yang tiada keduanya didunia persilatan, akan tetapi menyaksikan ginkang yang diperlihatkan oleh kakek sasterawan itu, dia sampai melongo dan bengong keheranan. Kemudian, sekali kedua tangan kakek sasterawan itu bergerak, tahu-tahu pemuda yang tadinya dijambak rambutnya oleh Cui-beng Kui-ong itu telah berpindah tangan dan dipondong oleh kakek sasterawan kecil kurus itu! Sasterawan itu memangku anaknya diatas tanah dan sambil mengelus-elus kepala puteranya, dia berkata dengan suara gemetar,

   "Agaknya cuwi memiliki hati yang demikian angkuhnya sehingga selalu mau menang sendiri. Agaknya untuk memohon agar cuwi suka pergi, haruslah lebih dulu menundukkan keangkuhan itu. Nah, sekali lagi, harap cuwi suka meninggalkan tempat ini sebelum cuwi kehilangan keangkuhan itu." Sebelum yang lain menjawab, Cui-beng Kui-ong sudah menjadi marah sekali dan dia maju menghampiri kakek sasterawan itu.

   "Tua bangka sombong! Inilah aku, Cui-beng Kui ong yang telah memukul anakmu karena anakmu lancang mulut. kau hendak menundukkan keangkuhan kami? Hemmu, majulah, siapa takut kepadamu? Akan tetapi ingat, kalau engkau mampus ditanganku, anakmu inipun akan kubunuh agar engkau tidak mati sendiri!" Ucapan datuk ini bukan sekali-kali karena kekejamannya, melainkan karena kecerdikannya. Kalau kakek itu tewas, tentu kelak anaknya yang berangasan itu hanya akan mendatangkan kesulitan saja baginya, maka harus dibunuh sekali untuk menghilangkan balas dendam.
Dengan perlahan kakek sasterawan itu bangkit berdiri dan mengangguk.

   "Sesukamulah, akan tetapi dengan kepandaianmu yang jauh dari pada bersih itu, dengan banyak kelemahan dan kekurangannya disana-sini, bagaimana engkau akan dapat memastikan kemenanganmu? Pertamatama, engkau harus merobah watakmu yang bukan saja kejam, akan tetapi juga sombong dan. tekebur itu, ini merupakan pelajaran pertama bagimu, Cui-beng Kui-ong!" Kini ucapan sasterawan itu tidak lemah seperti tadi, melainkan penuh wibawa dan mengandung kekuatan yang menggetarkan jantung.
(Lanjut ke Jilid 09)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 09
Tentu saja Cui-beng Kui-ong menjadi semakin marah. Sambil menghardik, diapun sudah menerjang maju. Karena dia tahu bahwa sebagai ayah pemuda itu, tentu kakek ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka begitu menerjang, dia sudah mengeluarkan ilmu andalannya, yaitu dia memukul dengan Tenaga Sakti Asap Hio yang mengeluarkan bau harum aneh itu. Biasanya, ilmu ini akan mengeluarkan bau yang membuat lawan menjadi pusing dan bisa roboh sendiri tanpa dipukul. Dan dari kedua tangannya keluar asap tipis putih berbau, harum yang melengkung keayah lawannya. Akan tetapi, dengan tenang saja kakek sasterawan ini menghadapi semua pukulannya sambil menerangkan kelemahan-kelemahan jurus yang dimainkan Cui-beng Kui-ong.

   "Lihat, bukankah lambung kirimu terbuka? kalau kumasukkan kakiku kesitu, engkau sudah roboh! Nah, penutupan lambung itu membuka lehermu sebelah kiri, dan pukulanku dengan tangan miring pada leher itu tentu sukar kau hindarkan lagi!" Dan setiap gerakan Cui-beng Kui-ong disambutnya dengan uraian tentang kelemahan-kelemahannya.

   Lebih hebat lagi, asap tipis putih berbau hio yang tadinya melengkung kearah kakek sasterawan itu, kini membalik dan dari kedua lengan Cui-beng Kui-ong bukan melengkung kedepan, melainkan membalik kebelakang! Cui-beng Kui-ong merasa terkejut bukan main. Memang semua yang dinyatakan kakek itu tentang kelemahan semua jurusnya itu tepat dan bahkan baru sekarang dia melihatnya! Dia merasa penasaran sekali dan cepat diapun mainkan pukulan Pehisap Darah yang amat hebat itu. Akan tetapi, kembali pukulan keji ini sama sekali tidak mempengaruhi si kakek sasterawan. Tidak ada setetespun darah sasterawan itu terpecik keluar seperti yang biasa terjadi pada lawan-lawan iblis itu kalau mempergunakan Ilmu Penghisap Darah, padahal berkali-kali sasterawan itu mengadu lengan dengan si Raja iblis. Bahkan dalam jurus-jurus ilmu inipun si sasterawan menunjukkan kelemahan-kelemahannya.

   "Yang paling berbahaya adalah ilmu-ilmu hitam seperti ini, Kui-ong. Kalau engkau tidak merobah sifat dan watakmu, maka ilmu-ilmu seperti ini bahkan akan menjadi kutukan bagimu. Lihat, kalau kulawan begini, bukankah engkau yang akan celaka sendiri?" Kakek itu menggerakkan kedua lengannya yang kecil dan angin yang menyambar amat dahsyatnya, kemudian Cui-beng Kui-ong terpekik kaget melihat betapa ada darah keluar dari pori-pori kedua lengannya, tanda bahwa dia sendiri telah menjadi korban ilmunya sendiri, seperti senjata makan tuan! Maka tahulah dia bahwa kakek sasterawan ini benar-benar maha sakti dan diapun bukan orang bodoh, melainkan seorang datuk sehingga dia tahu saat kekalahannya. Diapun meloncat kebelakang.

   "Hari ini Cui-beng Kui-ong mengaku kalah!" katanya dengan menahan geram lalu mengatur pernapasannya untuk mengobati luka-lukanya sendiri akibat ilmu yang membalik tadi. Tentu saja tiga orang datuk lainnya hampir tidak percaya akan apa yang mereka saksikan tadi. Disamping keheranan dan kekagetan, juga mereka merasa penasaran. Mungkinkah kepandaian mereka yang menggemparkan dunia persilatan itu harus kalah oleh seorang sasterawan tua renta yang sama sekali tidak terkenal! Kim-mo Sai-ong meloncat maju dan menjura kepada kakek itu. Dia tahu bahwa kakek itu seorang sakti, maka diapun tidak sembrono.

   "Sobat, aku mohon petunjukmu!" Dan tanpa menanti jawaban, Kim-mo Sai-ong sudah menerjang dengan dahsyatnya dan begitu turun tangan diapun sudah mempergunakan ilmunya yang paling hebat, yaitu Pukulan Pusaran Pasir Maut dan dimainkannya ilmu silatnya yang, dinamakan Soa-hu-lian (Teratai Danau Pasir). Hawa dingin yang menggigilkan terpancar dengan daya tolak hebat dari tubuhnya. Kuda-kudanya kokoh kuat, lengannya yang panjang itu mencuat kesana kemari mencari lowongan, dengan jari-jari tangan terkembang siap untuk mencengkeram lawan. seluruh tubuhnya melambangkan setangkai bunga teratai, nampak sangat indah dipandang. Kalau kedua kakinya yang kokoh kuat itu bergerak lamban dan kuat seperti menjadi akar-akar teratai, maka kedua tangannya bergerak cepat dari atas, melambai-lambai seperti tangkai-tangkai bunga teratai tertiup angin.

   "Bagus, Kim-mo Sai-ong, akan tetapi ilmumu ini terlalu mengandalkan kekuatan kaki belaka, dan ingat, orang bisa roboh karena kelemahan bagian atasnya, walaupun kakinya tidak roboh akan tetapi kalau bagian atas terluka, apa artinya? Lihat, aku membuat tangkai-tangkai terataimu tidak berdaya!" Dan benar saja, dengan totokan-totokan satu jari yang mengeluarkan hawa panas, kakek sasterawan itu membuat kedua lengan Kim-mo Sai-ong tidak berdaya karena sebelum mendekati tubuh lawan telah bertemu dengan hawa-hawa yang menotok kearah jalan darah diseluruh kedua lengannya.

   Kim-mo Sai-ong yang telah mencapai tingkat ketiga belas, tingkat terakhir dari Soa-hu-pai ini mengerahkan seluruh tenaganya sampai daya tolak nya membuat batu-batu besar bergoyang-goyang dan pohon-pohon disekitar tempat itu seperti tertolak angin badai. Akan tetapi kakek sasterawan itu tenang saja menghadapi daya tolak Tenaga Sakti Pusaran Pasir Maut, seolah-olah tonggak besi kecil namun kokoh kuat yang tidak goyang sedikitpun juga dilanda angin. Karena kedua lengannya selalu menjadi sasaran totokan yang menyambut semua serangannya, akhirnya Kim-mo Sai-ong kewalahan dan mati kutu. Ilmu yang diandalkannya itu seperti api bertemu air, tidak berdaya sama sekali dan akhirnya, karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga sia-sia, dengan terengah-engah diapun meloncat kebelakang.

   "Terimakasih, aku Kim-mo Sai-ong mengaku kalah!" Giliran Sin-kun butek yang maju. Datuk ini terkenal memiliki ilmu silat yang luar biasa ampuhnya sehingga dijuluki Sin-kun butek (Tangan Sakti Tanpa Tanding). Sebagai seorang datuk golongan bersih, walaupun wataknya lebih keras dibandingkan dengan Bu-Eng Sin-yok-ong, namun datuk ini tidaklah sekasar dua orang datuk pertama. Dia menjura dengan hormat dan berkata,

   "Kiranya mata kami seperti buta tidak mengenal Gunung Thai-san menjulang didepan mata! Sahabat yang sakti, saya Sin-kun butek mohon petunjuk!" Kakek sasterawan itu telah mengalahkan dua orang datuk, akan tetapi dia kelihatan masih tenang saja, seolah-olah dia mengalahkan mereka tadi tanpa pengerahan tenaga sama sekali. Sikapnya masih biasa, tenang dan merendah.

   "Sin-kun butek, julukanmu saja menandakan bahwa ilmu silatmu adalah ilmu pilihan. Belum tentu aku akan dapat mengalahkanmu, akan tetapi aku ingin engkau mengalahkan dan menundukkan keangkuhanmu sendiri. Nah, majulah!" Sin-kun butek menerjang dengan ilmu silat andalannya, yaitu Ilmu Silat Angin Puyuh dengan tenaga sakti Thian-hui-gong-ciang (Tangan Kosong Halilintar). Hebat bukan main datuk ini memang dan tingkatnya hanya kalah sedikit saja dibandingkan dengan Bu-Eng Sin-yok-ong. Gerakan kaki tangannya amat cepat sehingga tubuhnya lenyap berobah bentuknya menjadi bayangan yang berkelebatan dan gerakan ini mendatangkan angin yang berputar-putar membuat semua pohon bergoyang-goyang disekeliling tempat itu.

   Dan yang hebat sekali adalah kedua tangan yang melancarkan pukulan Thian-hui-gong-ciang itu. Kadang-kadang terdengar ledakan dan nampak asap mengepul ketika kedua tangan itu memukul dan saling bersentuhan, seolah-olah kedua tangan itu mengandung aliran listrik atau aliran kilat yang dapat menghanguskan tubuh lawan yang terkena pukulannya. Namun, kakek sasterawan itu bersikap tenang saja dan seperti juga tadi, kini diapun memberi petunjuk kepada Sin-kun butek tentang kelemahan-kelemahan dari ilmu silatnya, mengeritik dengan petunjuk dan bukti-bukti sehingga kalau dia mau, tentu dia akan dapat merobohkan Sin-kun butek dengan ilmunya yang dipakai untuk menghadapi ilmu datuk utara itu. Sebelum lewat lima puluh jurus, Sin-kun butek yang selalu ditunjuk kelemahan-kelemahan ilmunya, merasa takluk dan diapun meloncat kebelakang dan mengaku kalah!

   Kini tinggallah Bu-Eng Sin-yok-ong seorang. Datuk ini berbeda dari yang lain. Dia sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat, ilmu pengobatan dan ilmu kebatinan sehingga dia tidak bersikap kasar dan tidak pula penasaran. Kini diapun tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang maha sakti yang sengaja menyembunyikan diri dan diam-diam dia merasa malu bahwa dia menerima sebutan datuk, padahal ada orang yang lebih lihai tidak dikenal sama sekali! Betapapun juga, setelah tiga orang sahabatnya diberi petunjuk, kalau dia tidak maju, berarti dia akan membikin malu tiga orang sahabatnya itu. Disamping itu, sebagai seorang ahli silat tinggi, diapun suka sekali akan ilmu silat dan tiada salahnya kalau kini setelah mendapat kesempatan bertemu orang sesakti ini, diapun mencoba-coba ilmunya.

   "Seorang Lo-cianpwe tinggal disini tanpa nama, sungguh membuat kami merasa malu kepada diri sendiri. Harap sahabat yang mulia sudi memberi petunjuk kepadaku," katanya sambil mengibaskan lengan bajunya yang lebar. Kakek sasterawan itu tersenyum pahit.

   "Siancai... nama besar Bu-Eng Sin-yok-ong bukan sembarangan. Aku jauh lebih kagum akan ilmu pengobatanmu dari pada ilmu silat. Ilmu pengobatanmu itulah ilmu yang amat berguna dan baik, tidak seperti ilmu silat yang selalu disalah-gunakan untuk menindas kaum lemah. Marilah, Yok-ong, mari kita main-main sebentar, siapa tahu ada gunanya bagi kita berdua."

   "Maafkan kelancanganku!" Sin-yok-ong berseru dan setelah memberi hormat diapun langsung mengeluarkan ilmu simpanannya yang merupakan gabungan dari Ilmu Silat Kim-hong-kun (Silat Burung Hong Emas) digerakkan dengan ginkang Pek-in (Awan Putih) dan dengan tenaga sakti Pai-hud-ciang (Tangan Sakti Penyembah Buddha). Sukar diceritakan betapa hebatnya gerakan kakek yang berjuluk Bu-Eng (Tanpa Bayangan) ini. Ginkangnya memang hebat luar biasa sehingga tubuhnya kadang-kadang lenyap menghilang, dan ilmu silatnya juga amat indah dan halus, menyambar-nyambar dari atas dan bawah sedangkan tenaganya adalah tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat tertinggi, begitu halus dan mengandung getaran yang hampir tidak terasa, akan tetapi tenaga getaran ini mampu menghancurkan batu karang dari jarak jauh!

   "Siancai bukan main hebatnya!" kata kakek sasterawan itu sambil menandingi lawannya. Dan biarpun agak lama, akhirnya dia dapat juga menemukan beberapa kekurangan dan kelemahan dalam ilmu silat Bu-Eng Sin-yok-ong sehingga kalau dia menghendaki, dalam waktu kurang dari seratus jurus dia tentu akan dapat mengalahkan Raja Tabib Sakti itu! Akhirnya, kakek sakti inipun meloncat kebelakang, terlongong sejenak kemudian menjura sambil berkata dengan hati penuh rasa kagum.

   "Kami sungguh tak tahu diri..., dan benarlah bahwa kami amat angkuh dan terlalu membanggakan diri sendiri. Mulai sekarang, aku tabib tua yang bodoh tidak berani lagi menjual lagak didunia luar!" Setelah berkata demikian, Sin-yok-ong lalu pergi dari situ, diikuti oleh tiga orang datuk lainnya. Dan memang benar, sejak saat itu, empat orang datuk itu tidak pernah lagi muncul, lebih banyak mengasingkan diri dan diam-diam memperdalam ilmu masing-masing.

   Demikianlah cerita yang amat menarik, yang diceritakan oleh Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang kepada para pendengarnya, yaitu nenek Siang Houw Nio-nio, Ouwyang Kwan Ek, Yap Kiong Lee, Pek In, Ang In, dan juga Ho Pek Lian. Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian dan hati tertarik sekali. Siang Houw Nio-nio yang juga menjadi murid dari Sin-kun butek, belum pernah mendengar cerita ini dari suhunya, bahkan Ouwyang Kwan Ek, murid kedua dari Si Raja Tabib Saktipun tidak pernah diceritakan oleh gurunya. Agaknya, empat orang datuk itu sungguh merasa terpukul dan tidak pernah bercerita kepada mereka, kecuali Sin-kun butek yang menceritakannya kepada muridnya yang tersayang, yaitu Yap Cu Kiat atau Yap-lojin, sambil menyerahkan gambar-gambar itu. Yap-lojin melanjutkan ceritanya.

   "Lihat, gambar-gambar ini adalah petunjuk-petunjuk dari sasterawan tua itu. Disini diperlihatkan betapa dengan mudahnya beliau memunahkan setiap ilmu khas dari empat orang datuk. Empat gambar ini memperlihatkan jelas, dan dilukis oleh mendiang suhu sebagai peringatan dan juga untuk memperdalam ilmunya dengan meneliti kelemahan-kelemahan seperti yang ditunjukkan oleh sasterawan itu. Dan memang, semenjak kekalahan yang mutlak itu, empat orang datuk tekun memperbaiki ilmu masing-masing dan karena mereka sudah tidak tekebur lagi, mereka dapat menciptakan ilmu yang jauh lebih baik dan matang." Kakek berjubah naga mengangguk-angguk.

   "Sejak dahulu aku menduga bahwa ada rahasia sesuatu yang membuat suhu selalu marah kalau ada muridnya yang tekebur. Mungkin saja rahasia itu diceritakannya kepada twa-suheng Bu Cian yang sayang agaknya juga menyimpan rahasia itu sampai matinya." Yap-lojin berkata,

   "Berdasarkan cerita itu maka aku percaya bahwa biarpun kita orang-orang tua tidak mampu menghadapi Raja Kelelawar yang amat hebat itu, nanti pasti akan muncul seseorang yang akan mampu menundukkannya."

   "Mudah-mudahan begitulah," kata isterinya.

   "Menurut pengamatanku, biarpun si pendek Pek-lui-kong Tok Ciak cucu murid Kim-mo Sai-ong itupun agaknya masih jauh untuk dapat menandingi Raja Kelelawar." Setelah menceritakan rahasia itu dan memperlihatkan gambar-gambar, kakek Yap mengajak mereka semua untuk keluar lagi dari terowongan dibawah tanah. Dalam perjalanan ini. Yap Kiong Lee merasa penasaran bukan main mendengar dongeng gurunya itu. Selama ini, gurunya tidak pernah bercerita tentang rahasia itu. Dia merasa penasaran karena selama ini, dia merasa bahwa ilmu rahasia perguruan mereka yang hanya diturunkan kepadanya oleh gurunya dianggap sebagai tidak ada cacat celanya. Mereka tiba diluar terowongan, ditepi telaga yang kini sunyi melengang dan menyeramkan itu karena semua bangunannya telah runtuh.

   "Suhu, setelah peristiwa itu, lalu apa saja yang dikerjakan oleh kakek guru dan para Lo-cianpwe yang lain?" Kiong Lee tidak dapat menahan diri dan mengajukan pertanyaan itu kepada suhunya. Yap-lojin menoleh dan tersenyum melihat keinginan tahu murid kesayangannya ini.

   "Kakek gurumu lalu menyepi didalam kamar rahasia itu dan berusaha menyempurnakan ilmunya. Gambar-gambar tadi adalah peninggalan beliau. Selama bertahun-tahun empat orang datuk mengasingkan diri, tidak pernah keluar, dan masing-masing menyempurnakan ilmu-ilmu mereka. Dan pada waktu itu, hanya Kim-mo Sai-ong saja yang telah menerima murid."

   "Apakah para Lo-cianpwe itu tidak lagi berkunjung ketelaga Hoa-san, setelah mereka memperbaiki ilmu masing-masing untuk mencari sasterawan itu?" Kiong Lee mendesak.

   "Baru sepuluh tahun kemudian, setelah kakek gurumu merasa bahwa ilmunya sudah maju, beliau berkunjung kesana. Akan tetapi sasterawan tua dan anaknya itu sudah tidak lagi berada disana. Kakek gurumu lalu berkelana mencarinya, akan tetapi usahanya gagal, tidak pernah ketemu. Akhirnya suhu menjadi bosan, pulang kesini dan menerima murid, yaitu aku dan subomu ini," katanya sambil melirik kepada isterinya, yaitu nenek Siang Houw Nio-nio. Ouwyang Kwan Ek menarik napas panjang.

   "Sekarang aku tahu mengapa guruku, menurut cerita twa-suheng, pernah pula mengasingkan diri untuk menyempurnakan ilmu. belasan tahun Kemudian baru suhu keluar dan merantau dan barulah beliau menerima murid-muridnya." Kiong Lee merasa penasaran.

   "Jadi kalau begitu, agaknya sampai para Lo-cianpwe itu meninggal dunia, mereka tidak pernah dapat menemukan sasterawan tua yang maha sakti itu, suhu?" Yap-lojin mengangguk.

   "Agaknya begitulah. Dan selama mereka berempat itu mengembara untuk mencari si sasterawan, mereka telah membuat nama besar sehingga tersohor diseluruh dunia persilatan. Mereka berempat dipuja-puja sebagai tokoh sakti yang tak terkalahkan, tokoh-tokoh yang memiliki ilmu silat sempurna. Tak ada yang mengetahui bahwa empat datuk yang mereka puja-puja itu didalam hatinya masih merasa gentar terhadap seseorang."

   "Ahh, siapakah gerangan sasterawan itu dan dimana beliau sekarang, atau keturunannya?" tiba-tiba Ho Pek Lian tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya. Sebetulnya hatinya yang bersuara dan tanpa disadarinya mulutnya ikut pula bicara. Akan tetapi tidak ada yang merasa heran karena pertanyaan itu memang berkecamuk didalam hati mereka semua.

   "Sebetulnya dari perguruan-perguruan kita sendiri saja, kalau ilmu dari perguruan kita terpusat dan terkumpul, tidak terpecah-pecah antara para murid, kiranya kita masih mampu menghadapi dan mengatasi Raja Kelelawar!" kata kakek berjubah naga Ouwyang Kwan Ek dengan suara menyesal. Mendengar ini, diam-diam Pek Lian memandang tajam kepada kakek ini. Bukankah kakek ini telah mengirim murid-murid dan anak-buahnya untuk merampas kitab-kitab pusaka perguruannya sendiri dan bahkan telah dengan kejam membasmi semua keluarga Bu?

   Hemm, pikirnya dengan penasaran. Kalau caramu mengumpulkan ilmu perguruan sendiri secara demikian kejam, membunuh saudara seperguruan sendiri, maka engkau tidaklah lebih baik dari pada Si Raja Kelelawar! Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani mengeluarkan bisikan hatinya ini. Tiba-tiba semua orang menoleh kearah bayangan empat orang yang berlari mendatangi tempat itu. Setelah dekat, mereka itu ternyata adalah murid-murid Thian-kiam-pang, yaitu para sute dari Yap Kiong Lee yang diperintahkan oleh pemuda ini untuk mencari jejak penculik yang melarikan Yap Kim. Tentu saja mereka berempat terkejut bukan main melihat betapa bangunan perguruan mereka sudah rusak binasa habis terbakar, dan mereka tak dapat menahan tangis mereka ketika mendengar malapetaka yang menimpa perguruan mereka dan tewasnya dua orang suheng dan para anak-buah Thian-kiam-pang.

   "Sudah, jangan menangis seperti anak-anak cengeng!" Akhirnya Siang Houw Nio-nio membentak mereka.

   "Lekas ceritakan bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian!" Empat orang murid itu sambil berlutut lalu bercerita. Mereka dapat menemukan jejak orang yang melarikan Yap Kian dan ternyata bahwa yang melarikan itu memang seorang gemuk pendek yang kemungkinan besar adalah cengyakang (Si Kelabang Hijau), seorang tokoh dari Ban-kwi-to.

   "Kim-sute dibawa dengan perahu yang berlayar diSungai Huang-ho. Kami tidak berani melakukan pengejaran karena selain kami tidak mempunyai perahu, juga kami ingin cepat melapor kepada suhu, subo dan suheng."

   "Celaka! Kalau Kim-ji berada ditangan kawanan iblis dari Ban-kwi-to, tentu akan celaka! Semua ini adalah kesalahanmu, orang tua yang tidak becus mengurus anak sendiri! Engkau membiarkan anak tunggalmu sendiri untuk bergaul dengan segala macam iblis dari Ban-kwi-to. Huh, dimana pertanggungan jawabmu? Bagaimana caramu mendidik anak?" Yap-lojin yang dimaki-maki didepan orang banyak, terutama didepan Ouwyang Kwan Ek yang menjadi tamunya, memandang dengan muka merah, dan mata mengeluarkan sinar marah. Kakek inipun pada hakekatnya mempunyai watak yang keras, tidak kalah kerasnya dengan watak isterinya.

   "Hemm, kalau orang tuanya retak, mana mungkin anaknya dapat memperoleh pendidikan yang baik? Keretakan orang tuanya sudah merupakan contoh, yang amat buruk, yang dapat menghancurkan perasaan anak. Dan kalau seorang isteri meninggalkan suami dan anaknya sehingga kehidupan suami dan anak itu menjadi hancur, si anak tidak memperoleh pendidikan yang baik, salah siapakah itu?" Diserang oleh ucapan begini, nenek Siang Houw Nio-nio menjadi marah bukan main. Mukanya berobah merah sekali dan matanya berkilat-kilat. Ia membanting kakinya keatas tanah dan membentak marah.

   "Yap Cu Kiat!" Telunjuk kanannya menuding kearah hidung suaminya itu yang biasanya disebutnya suheng.

   "Enak saja engkau bicara! Sudah berulang kali aku membujuk, menyembahnyembahmu, agar keluarga kita pindah ke Kotaraja. Aku adalah keluarga Kaisar, dan sudah sepatutnya kalau aku menyumbangkan tenagaku pada saat terakhir hidupku untuk kerajaan keluargaku! Akan tetapi, engkau berkeras kepala dan tidak sudi, bahkan engkau berkukuh untuk tidak membolehkan Kim-ji kubawa ke Istana! Dan engkau mendidiknya sendiri, sekarang apa jadinya?"

   "Wah, kau kira kalau kau bawa dia menjadi orang Istana dia akan menjadi lebih baik, ya? Paling-paling dia akan menjadi seorang pemuda bangsawan yang sombong, angkuh dan manja!"

   "Jelas tidak serusak sekarang ini!"

   "Siapa bilang rusak? Harus diselidiki dulu mengapa dia sampai berdekatan dengan orang Ban-kwi-to dan mengapa pula dia sampai diculik." Kakek itu mencoba untuk menahan kemarahannya.

   "Jangan sembarangan menuduh yang bukan-bukan!"'

   "Tidak perduli! Pokoknya, kalau engkau tidak bisa mencarinya dan menemukannya, membawanya kembali kepada aku ibunya dalam keadaan utuh, aku bersumpah akan mengadu nyawa denganmu! Melihat keadaan yang meruncing antara suheng dan sumoi yang telah menjadi suami-isteri akan tetapi kemudian saling berpisah karena masing-masing mempertahankan pendirian sendiri itu, Ouwyang Kwan Ek yang menjadi tamu merasa tidak enak sekali. Dia lalu maju dan menjura kepada dua orang itu.

   "Lojin! Nio-nio! Harap maafkan aku, bukan maksudku mencampuri, akan tetapi sebagai sahabat, kiranya aku berkewajiban untuk mengingatkan kalian bahwa dalam keadaan seperti ini, cekcok saja tidak akan dapat mengembalikan putera kalian. Aku akan suka membantu mencarinya." Suami dan isteri yang sudah tua itu saling pandang dengan sinar mata berkilat, kemudian mereka lalu membuang muka dengan muka masih merah. Memang mereka saling berpisah karena masing-masing mempertahankan pendirian dengan hati keras. Siang Houw Nio-nio ingin untuk menyumbangkan tenaganya kepada kerajaan, dan iapun sudah minta kepada suaminya untuk membantunya dan hidup di Kotaraja, untuk mengangkat derajat putera tunggal dan putera angkat mereka, yaitu Kiong Lee yang sudah mereka anggap sebagai anak sendiri.

   Akan tetapi, Yap Cu Kiat merasa tidak suka akan sepak terjang Kaisar dan diapun berkeras tidak mau sehingga timbullah percekcokkan antara mereka yang mengakibatkan Siang Houw Nio-nio meninggalkan suami dan puteranya, dan pergi sendirian ke Kotaraja dimana ia lalu menjadi pengawal pribadi dari Kaisar. Pendidikan anak merupakan kewajiban mutlak dan utama bagi orang tua, disamping tentu saja memelihara dan membesarkannya... Dan pendidik an yang tepat adalah pencurahan kasih sayang yang murni, bukan sekedar pendidikan melalui nasihat-nasihat dari mulut. Seorang anak membutuhkan pencurahan cinta kasih dari ayah-bundanya. getaran cinta kasih akan terasa oleh anak itu dan orang tua yang benar-benar mencinta anaknya, sudah pasti akan selalu mendidik diri sendiri terlebih dahulu agar si anak dapat melihat dan mengerti, tanpa dibujuk melalui mulut.

   Apa artinya orang tua melarang anaknya agar jangan berjudi kalau si orang tua sendiri tukang judi? Apa artinya orang tua melarang anaknya agar jangan memaki kalau si orang tua sendiri tukang maki? Kerukunan ayah dan ibu merupakan pendidikan yang paling baik bagi anak mereka. Sebaliknya percekcokan antara ayah dan ibu merupakan racun-racun dan benih-benih buruk pertama yang merusak watak si anak. Pujian-pujian tidak akan menjadikan anak baik, karena hal itu bahkan akan membuat si anak menjadi seorang yang selalu haus akan pujian dan kebaikannya itupun hanya palsu karena dilakukan hanya untuk memancing agar memperoleh pujian belaka. Memanjakannya secara berlebihan akan membuat si anak menjadi seorang yang lemah tergantung kepada orang tua, tidak berani dan lemah menghadapi halangan dan kesukaran hidup.

   Akan tetapi, mendidik dengan kekerasan akan membuat si anak berwatak keras, juga dapat membuatnya menjadi rendah diri. Anak yang menurut kepada orang tuanya karena pendidikan keras, hanya menurut karena takut saja, akan tetapi didalam hatinya dia memberontak dan kalau sekali waktu dia merasa kuat, dia akan memberontak secara berterang, bahkan mungkin akan sengaja memberontak untuk membalas dendam yang sudah lama disimpan didalam hatinya. Ucapan Ouwyang Kwan Ek menyadarkan suami-isteri itu bahwa mereka telah dikuasai perasaan sehingga melupakan nasib putera mereka yang berada ditangan orang Ban-kwi-to dan masih belum diketahui bagaimana keadaannya itu. Akan tetapi, Siang Houw Nio nio masih bersungut-sungut ketika berkata,

   "Pendeknya engkau harus cepat mencari dan menemukan kembali anakku!" Ucapan ini ditujukan kepada suaminya.

   "Baliklah, sumoi baiklah, aku akan turun gunung mencarinya," jawab Yap-lojin dengan suara duka. Siang Houw Nio-nio lalu mendengus, membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada dua orang muridnya untuk pergi bersamanya, kemudian, hanya dengan anggukan kecil pada Ouwyang Kwan Ek, iapun lalu pergi meninggalkan tempat itu. Pek In dan Ang In berlutut kepada Yap-lojin untuk berpamit. Kakek itu menggerakkan tangan kanan menyuruh mereka bangkit.

   "Pergilah dan jaga baik-baik subo kalian." Dua orang gadis itu mengangguk dan menahan air mata mereka. Mereka masih diliputi kedukaan melihat apa yang menimpa Thian-kiam-pang dan Pek In mengerling kearah Yap Kiong Lee dengan pandang mata sayu. Kemudian merekapun pergi sambil mengajak Pek Lian. Setelah isterinya dan tiga orang gadis itu pergi, Yap-lojin menghela napas panjang.

   "Sungguh aku tidak mengerti, apa maksudnya orang Ban-kwi-to menculik puteraku. Aku harus menyusul ke pulau itu Sekarang juga."

   "Memang sebaiknya begitu, suhu, dan aku akan menemani suhu untuk mendapatkan kembali Kim-sute," kata Kiong Lee. Pemuda ini memang diangkat anak oleh keluarga Yap, bahkan dia sendiripun memakai she Yap, akan tetapi terhadap ayah dan ibu angkatnya itu, dia selalu menyebut mereka suhu dan subo, seperti murid-murid yang lain. Dan agaknya Yap-lojin dan isterinya itupun tidak menaruh keberatan, apa lagi setelah mereka sendiri juga mempunyai anak, yaitu Yap Kim.

   "Jangan khawatir, lojin, biar akupun akan membantumu menghadapi orang-orang Ban-kwi-to," tiba-tiba Ouwyang Kwan Ek juga berkata.

   "Ah, mana aku berani merepotkanmu, sahabat Ouwyang?"

   "Aku kebetulan berada disini ketika tempatmu diserbu orang dan aku mendengar akan musibah yang menimpa keluargamu. Hal ini berarti aku berjodoh untuk terlibat dalam urusanmu. Selain itu, akupun ingin sekali melihat sampai dimana kehebatan nama besar Pulau Selaksa Setan itu." Yap Cu Kiat tidak dapat menolak lagi dan diapun lalu memerintahkan empat orang muridnya untuk mencari tenaga bantuan dan membangun kembali sedapatnya rumah mereka yang terbakar itu. Kemudian, bersama Ouwyang Kwan Ek dan Kiong Lee, diapun meninggalkan sarang Thian-kiam-pang yang telah rusak terbakar itu.

   * * *

   "Seharusnya kita membantu Yap-Lo-cianpwe untuk menyusul dan mencari puteranya itu kesarang Ban-kwi-to!" Ucapan Pek Lian ini mengejutkan Pek In dan Ang In. Dua orang ini sendiri tidak akan berani mengeluarkan ucapan itu didepan subo mereka, apa lagi ucapan itu dikeluarkan dengan nada suara kaku dan mencela! Benar saja kekhawatiran dua orang gadis ini. Tiba-tiba kereta dihentikan dan kepala nenek itu keluar dari tirai jendela kereta, sepasang matanya mencorong menatap wajah Pek Lian yang juga menghentikan kudanya didekat kereta.

   "Mengapa kau berkata demikian?" bentak nenek itu, matanya agak terpejam dan mulutnya cemberut.

   "Melihat orang lain tertimpa bencana, sudah sepatutnya kalau kita turun tangan membantu. kalau tidak demikian, apa perlunya kita belajar ilmu sejak kecil? Apa lagi kalau yang tertimpa malapetaka itu masih keluarga sendiri, sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu. Pula, harus diingat bahwa Ban-kwi-to kabarnya merupakan tempat yang berbahaya, dihuni oleh tokoh-tokoh sesat yang lihai, maka sudah selayaknyalah kalau kita ikut membantu Yap-Lo-cianpwe menghadapi mereka."

   

Naga Beracun Eps 22 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 27 Naga Beracun Eps 4

Cari Blog Ini